Tuesday, June 30, 2009

Keramaian Pasar Niki-Niki Di Hari Rabu

Entah mengapa saya beruntung sekali tiba di Niki-Niki tepat pada hari rabu. (Yayyyy!!!) Padahal, saya tidak merencakan perjalanan ini akan berakhir di Niki-Niki pada hari rabu. Syukur, saya bisa tiba di desa ini pada hari ini sehingga saya mendapatkan alternatif lain untuk hal yang bisa dilihat.
Desa-desa di Timor terkenal dengan pasar mingguannya. Beda desa beda pula waktu penyelenggaraan pasarnya. Apabila anda beruntung dan mampu mengatur rencana perjalanan dengan baik, mungkin saja anda bisa sampai di berbagai desa ketika desa tersebut mengadakan pasar. (Desa A menggelar pasar pada hari senin, Desa B menggelar pasar pada hari selasa, dan desa C di hari rabunya, dst) Untuk di Niki-Niki, pasar digelar pada hari rabu. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya pernah menjejakkan kaki saya di Niki-Niki pada hari selasa. Kondisi yang sangat berbeda saya temui pada kedua hari tersebut. Ketika hari selasa, Niki-Niki sangat sunyi dan jarang terlihat adanya manusia melintas kecuali pelintas Jalan Trans Timor. Pada hari rabu, keramaian sudah terlihat dimana-mana. Banyak penduduk duduk dan bergerombol di tepi jalan, baik beristirahat maupun melakukan berbagai kegiatan. Dari kejauhan, keramaian penduduk sudah terlihat jelas, apalagi di pasarnya.
Pasar Niki-Niki terletak sekitar 300 meter arah barat dari Rumah Makan Singgalang. Pasar ini terletak tepat di tepi Jalan Trans Timor, tepat di seberang lapangan besar Niki-Niki. Keramaian warga tidak hanya berpusat di sekitar pasar saja namun panjang hingga seluruh wilayah jalan tampak ramai. Apabila anda bergerak dari Rumah Makan Singgalang, berjalanlah terus ke arah barat, hingga anda menjumpai Kantor Pos Niki-Niki. Dari kantor pos ini, Pasar Niki-Niki sudah tidak terlalu jauh lagi. Pasar ini dan Desa Niki-Niki dapat dikelilingi dengan mudah dengan berjalan kaki. Yang jelas, siapkan kaki anda disini...hehehe...
Uniknya dari pasar ini adalah anda bisa melihat hampir semua warga, kecuali sebagian besar warga yang muda-muda, mengenakan pakaian adat semi lengkap dan lengkap. Wanita berpakaian sarung ikat lapis tiga dengan bundelan besar di depan perutnya (bulatan kain sarung ikat yang dibundel) dan tak lupa kepalanya ditutup dengan kain ikat. Para pria-nya lebih unik lagi, selain mengenakan kain sarung ikat (bukan celana loh yah), mereka mengenakan sebuah tas kecil yang dianyam dan diberi hiasan manik-manik dan digantung di leher mereka. Unik sekali. Sayangnya, saya nggak dapat fotonya. Hiks. Apabila Orang Skotlandia bangga dengan Kilt mereka, maka warga Timor harus bangga dengan tenun ikat mereka yang unik. Ada pun modernitas sudah merasuk ke dalam peri kehidupan warga sehingga beberapa pria ada yang mengenakan kaus biasa sementara bawahnya masih ditutupi oleh sarung ikat. Beberapa warga lainnya tampak mengenakan batik dibanding tenun ikat. Tampaknya batik tersebut adalah batik produksi pabrik yang banyak bisa ditemui di pasar-pasar tradisional di Timor seperti contohnya Pasar Oeba di Kupang. Untuk warga muda, kebanyakan malah sudah mengenakan celana jeans, baggy dan bermuda yang lebih terlihat modern.
Selain melihat warga Niki-Niki dan sekitar yang unik dalam hal pakaian adat, sempatkanlah untuk masuk ke dalam pasar yang bagian atasnya ditutupi dengan terpal-terpal berwarna oranye dan biru itu. Walaupun panas, tapi masuk ke dalamnya adalah satu pengalaman menarik. Saya sendiri tampak asing dan dipandangi oleh warga setempat. Hihi...serasa jadi bintang film dech. Ketika saya berhenti di depan sebuah lapak, bapak tersebut tersenyum kepada saya, memamerkan deretan gigi putih yang dimilikinya. Bapak tersebut menjual produk yang agak asing di mata saya, tumpukan benda yang seperti lembaran lintingan daun kering dan buah sebesar ibu jari berwarna hijau serta plastik-plastik kecil dengan isi serbuk putih. Saya menyempatkan diri untuk bertanya, benda apakah tersebut. Bapak tersebut menjelaskan, tumpukan lembaran lintingan daun kering tersebut adalah tembakau. Rupanya itu adalah wujud dari tembakau kering yang sudah dibentuk menjadi lembaran dan bisa digulung hingga menjadi rokok linting atau dihisap dengan pipa. Buah berwarna hijau yang sekilas seperti melinjo besar tersebut adalah pinang. Tampaknya, kebudayaan mengunyah sirih pinang memang khas sekali bisa ditemukan di desa-desa seluruh Indonesia. Selain memabukkan dan punya efek menghangatkan, sirih pinang ini bisa digunakan sebagai pengganti rokok dan bisa memutihkan gigi (menurut penelitian medis). Serbuk putih di dalam kantung kecil-kecil tersebut adalah kapur. Teman makan sirih pinang haruslah kapur. Saya sendiri tidak nekad untuk mencobanya sebab konon rasanya pahit dan membuat ludah berwarna merah. Saya tidak terlalu tertarik untuk mencobanya. Mungkin kapan-kapan kali yach. Hehehe....Saya masih harus naik kendaraan lagi sehabis ini. Ngeri mabuk ajah.
Selain menjual hasil tradisional seperti sirih, pinang dan tembakau, pasar ini juga menyediakan berbagai jenis hasil laut kering seperti ikan asin, ikan kering, teri dan udang, kemuduan ada juga daging dan ayam, lalu sayur-sayuran dan buah hingga produk yang tiak ada hubungannya sama sekali dengan makanan seperti misalnya gunting kuku, pembersih telinga, hingga bingkai foto dan jam dinding. Ya, produk pabrikan dan plastik tampaknya sudah merasuk ke dalam pasar ini. Ketika saya datang dan berkeliling ke dalam pasar, waktu menunjukkan pukul satu siang. Segerombolan ibu-ibu sudah beranjak pergi dengan iringan seperti barisan menyusuri Jalan Trans Timor di sebelah pinggir. Pasar ini sejatinya buka pagi hari dan tutup pada siang hari. Namun, lagi-lagi beruntungnya saya, saya masih bisa melihat pasar ini dengan keramaian di dalamnya. Walaupun sudah banyak lapak yang kosong dan banyak ibu-ibu yang sudah beranjak untuk pulang sambil membawa barang belanjaan mereka di tangan atau pun di atas kepala, pasar ini masih tetap ramai. Angkutan umum dan bus tidak henti-hentinya berhenti di depan pasar dan memanggil calon penumpang dengan jurusan mereka. Angkutan pengangkut barang tidak ada hentinya juga menaikkan dan menurunkan barang bawaannya. Sayang, suasana siang itu cukup panas terik sehingga saya tidak bisa berlama-lama memanggang diri di bawah terik matahari.
Di sekitar lapangan pasar Niki-Niki itu sendiri, suasana memang cukup ramai. Selain pasar, ada sejumlah toko yang berada di luar pasar namun menjual kebutuhan rumah tangga seperti panci, wajan, ember, tempayan, baskom, jerigen, dan keranjang anyaman yang biasa digunakan oleh ibu-ibu di Niki-Niki untuk berbelanja dan mengangkut barang belanjaan mereka. Di depan pasar di seberang pintu masuk, ada tempat billyar yang berisi sekumpulan anak muda dan bapak-bapak sedang berlatih. Ketika saya ingin berteduh di depan rumah billyar tersebut, saya bahkan sempat ditawari untuk ikut bermain. Saya membalas tawaran tersebut dengan senyum termanis milik saya dan menggeleng perlahan. Agak jauh dari pasar, tepat di depan Rumah Makan Singgalang dan di seberangnya, terdapat kios penjual apel So’E (karena dahulu apel So’E pernah berjaya dan terkenal). Apel So’E berukuran kecil dan berwarna hijau mayoritas dengan semburat merah di ujungnya. Saya tidak sempat mencoba apel ini sama sekali dan tidak membelinya karena akan memberatkan beban perjalanan saya. (Lumayan bo', kalau barang bawaan nambah sekian kilo) Niki-Niki justru lebih terkenal dalam hal menjual apel So’E dibanding Kota So’E sendiri dimana saya tidak ditemukan adanya apel satu pun di kota ini. Saya pernah dengar bahwa sekitar belasan tahun lalu, apel So’E sangat terkenal dan menjadi primadona di Timor Tengah Selatan serta menjadi komoditi ekspor. Sayangnya, karena ada serangan hama beberapa tahun silam, apel ini mati total dan tidak tersisa sedikit pun bibit untuk dikembangkan. Hingga kini, perkebunan apel So’E masih tertaih-tatih menunggu usaha penyelamatan lainnya dari pemerintah kota dan kabupaten. Lokasi Pasar Niki-Niki di sebelah barat diakhiri dengan Kapolres Timor Tengah Selatan, Kapolsek Amanuban Tengah. Selepas bangunan polisi ini, keramaian sudah jauh berkurang. Jalan Raya Timor yang lebar membentang sepi hingga menuju So’E.

Monday, June 29, 2009

Sonaf Niki-Niki, Kediaman Keluarga Besar Raja Nope

Dengan bentuk desa yang berupa satu jalan panjang, mencari lokasi Sonaf Niki-Niki tidaklah susah. Terletak sekitar 200 meter dari Rumah Makan Singgalang arah Kefa Menanu tepat di tepi Jalan trans Timor, anda sudah bisa melihat plang tulisan “Sonaf Niki-Niki” dengan jelas dalam balutan warna oranye dan hitam.
Dari jalan masuk tersebut, Sonaf bisa anda temukan dengan berjalan kaki sejauh 200 meteran. Sebelum saya masuk ke dalam jalan tersebut, saya disapa oleh sekumpulan gadis dan ibu-ibu yang sedang duduk-duduk mengobrol sambil mengunyah pinang sirih di bawah sebuah pohon besar. Saya tersenyum kepada mereka dan mereka spontan langsung bertanya (tentunya ini diakibatkan oleh pakaian saya yang tidak biasa dan saya membawa kamera) “Mau kemana?” sambil tetap tersenyum. Maka saya pun menjawab bahwa saya ingin melihat Sonaf Niki-Niki dan saya berasal dari Jakarta. Mereka kemudian sambil tetap tersenyum mempersilahkan saya sambil memberitahukan jalan mana yang harus saya tempuh. “Tidak jauh lagi, ada di bawah sana, dik” begitu kata salah seorang gadis tersebut. Sungguh, kemurahan hati masyarakat Timor telah menggugah hati saya dan saya sangat tersanjung karenanya.
Sesampainya di dekat Sonaf, saya melihat ada dua percabangan jalan. Agak bingung melihat jalan mana yang harus saya tempuh, tiba-tiba seorang bapak memanggil saya dan bertanya, ada keperluan apa saya datang kesana. Saya jelaskan kepada beliau bahwa saya datang dari Jakarta dan ingin melihat Sonaf Niki-Niki. Beliau menjelaskan kepada saya bahwa beliau adalah orang yang ditunjuk untuk menjaga Sonaf dan rumah baru keluarga Nope. Beliau kemudian memberitahukan bahwa Sonafnya ada di turunan bawah sedikit lagi. Ketika saya tanyakan, adakah Sonaf lain yang mungkin dimaksud, beliau menjawab bahwa disini hanya ada satu Sonaf saja yang dimiliki Keluarga Nope ini. Di dalam jalanan yang terus tampaknya akan tembus ke pedalaman, tidak ada lagi Sonaf disana. Beliau mengijinkan saya untuk berkeliling melihat-lihat dan berfoto.
Agak bingung dengan istilah Sonaf dan Lopo yang tampaknya tertukar, Sonaf di Niki-Niki memiliki empat kaki, bukan satu kaki sebagai tiang utama. Hal ini sedikit berbeda dengan pengertian Sonaf dan Lopo yang pernah dijabarkan oleh Raja Bana di Kefa Menanu. Yah, apapun istilahnya, intinya Sonaf dan Lopo ini merujuk pada rumah atau tempat pemerintahan yang esensinya adalah istana atau rumah. Sesuai dengan bahasa resmi Niki-Niki, maka saya akan meybeut kediaman Raja Nope ini sebagai Sonaf.
Sayangnya, pada saat kunjungan saya ke Niki-Niki, Sonaf Raja Nope ini telah rusak. Yang tersisa di lokasi hanyalah empat tiangnya yang sudah tidak terlalu utuh, fondasi bata dan semak-semak tinggi yang memenuhi sekeliling tiang Sonaf. Atap Sonaf atau bagian atas Sonaf sama sekali sudah tidak dapat disaksikan. Sebagai gantinya, tepat di belakang Sonaf tersebut, terdapat sebuah rumah permanen yang terbuat dari bata dengan gaya tahun 1980-an yang tampaknya menjadi kediaman baru Raja Nope dan keluarga (menurut informasi, anak-anak Raja Nope pun sudah bersekolah ke luar negeri dan telah menjadi orang sukses). Tiang-tiang Sonaf yang tersisa itu pun tidak memiliki hiasan atau ukiran sebanyak Lopo Raja Bana yang saya temui di Kefa Menanu, Satu dari tiang Sonaf tersebut tidak memiliki ‘kuping’ lagi atau bagian bundar yang terletak di bagian hampir pucuk suatu tiang Sonaf. Hiasan maupun ukiran tidak tampak ditemukan di sisa Sonaf ini namun ‘Buni’ atau ukiran bulat pada tiang dan ‘Flasu’ yakni ukiran silindris pada tiang masih ada. Di kejauhan sepelemparan batu, terdapat sepasang tiang Sonaf lainnya yang berada dalam kondisi lebih menyedihkan. Dari empat tiang, tampaknya hanya tinggal dua buah saja yang bertahan. Sudah tentu, atap Sonaf untuk sepasang tiang tersebut sudah tidak ada.
Bapak penjaga yang tadi menyapa saya tidak bersama saya sepanjang kunjungan saya. Jadi, saya tidak bisa bertanya terlalu banyak tentang Sonaf ini kepada beliau. Menurut sedikit informasi, atap Sonafnya memang sudah rusak namun dilepas dan disimpan di dalam rumah permanen yang sekarang berdiri di belakang Sonaf utama Raja Nope. Berhubung Niki-Niki adalah daerah dataran tinggi, maka bunga-bungaan banyak tumbuh di sekeliling Sonaf dan cukup menakjubkan karena berwarna-warni. Sebagian dari bunga-bungaan tersebut memang tumbuh liar namun sebagian besar tampaknya ditanam di penjuru rumah. Mungkin keluarga Nope memang menyukai bunga-bungaan. Sementara itu, ada sejumlah bunga-bungaan aneh yang, ketika saya dekati, saya terperanjat karenanya. Bunga yang membuat kaget tersebut terbuat dari kertas tisu makan yang berwarna-warni dan digabung dalam sebuah pot tanaman hidup sehingga, dari jauh, cukup memberikan kesan itu adalah bunga hidup.
Puas berkeliling area Sonaf dan puas terpanggang panas matahari, saya kembali menemui sang bapak penjaga rumah dan mohon pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan saya. Sayang sekali, apabila Sonaf ini mau dibetulkan dan dipromosikan, tampaknya Niki-Niki akan terkenal berkat Sonafnya. Sayang, sekarang hanya tinggal tiang-tiang Sonaf yang saya jumpai dan tentu ini tidak memberikan kepuasan dibanding melihat Sonaf utuh dengan atap di tengah-tengah pemukiman.

Saturday, June 27, 2009

Tiba Di Niki-Niki, Amanuban Tengah, Timor Tengah Selatan

Dua jam lebih penantian bagaikan abadi. Saya sudah sekuat tenaga menahan agar saya tidak muntah di dalam bus. Saya berjuang keras dengan mengambil nafas sebanyak-banyaknya dan mengoleskan minyak kayu putih cukup banyak juga. Sambil terus menahan, saya tiba-tiba melihat sebuah toko kartu perdana dan voucher, tempat saya berhenti pada hari selasa untuk membeli kartu perdana. “Niki-Niki” kata ibu di sebelah saya, sedikit banyak meluapkan kegembiraan pada diri saya. Selain karena sudah tiba di Niki-Niki, saya gembira sudah melewati ruas jalan Kefa Menanu – Niki-Niki yang sangat kejam.
Kemudian, saya menunggu bus berhenti di Rumah Makan Singgalang agar saya bisa turun. Namun, bus tetap melaju dan tidak berhenti di rumah makan tersebut. Saya yang sedikit kaget lalu langsung mengambil kesimpulan : Selain Bus Kupang – Atambua dan Atambua – Kupang, bus tidak akan berhenti di Niki-Niki karena jarak yang masih terlalu pendek dengan daerah asal. Panik. Saya segera membereskan barang-barang saya, mengambil dompet dan mengatakan pada kenek di depan saya bahwa saya berhenti di Niki-Niki. Tak lupa, saya mengucapkan salam dan pamitan kepada ibu dan bapak yang sudah baik hati mau mengobrol dengan saya. Ibu tersebut bahkan sempat mengucapkan berkat agar saya selamat sampai tujuan dan sukses dalam pekerjaan saya dan menemukan apa yang saya cari di Niki-Niki ini. Wah, Ibu, sayang sekali kita tidak berkenalan lebih jauh. Terima kasih sekali untuk salam dan berkatnya.
Bus berhenti tepat di lapangan besar Desa Niki-Niki. Saya ditagih biaya perjalanan dari Kefa Menanu sampai Niki-Niki sebesar Rp. 15.000. Saya harus berjuang dengan keras menerjang karung-karung besar yang dibawa penumpang lainnya agar sampai di pintu keluar. Begitu turun, panas sengatan matahari langsung menyambut saya. Saya tiba di Niki-Niki tepat pada tengah hari, hari rabu, hari terpenting di Niki-Niki sepanjang minggu selain minggu tentunya.
Niki-Niki adalah sebuah desa yang terletak di Amanuban Tengah (merupakan ibu desa dari Amanuban Tengah). Wilayah ini masih merupakan desa karena keterbatasan fasilitas yang menunjang untuk disebut sebagai kota. Dengan jumlah penduduk sebanyak 4000-an jiwa, Niki-Niki memang tidak terlalu ramai (keramaian baru muncul pada hari tertentu saja, itu pun karena datangnya sejumlah penduduk dari banyak daerah di sekitar Amanuban, Amanatun, Oenino, dan Kie). Wilayah desa ini adalah sebuah jalan panjang yang juga menjadi bagian dari Jalan Trans Timor. Hingga saat ini, Niki-Niki hanya memiliki rumah makan namun tanpa hotel atau penginapan umum lainnya. Maka dari pada itu, usahakan agar tidak terjebak malam di desa ini. Angkutan umum maupun bus akan berkurang drastis selepas pukul 7 malam. Jarak kota terdekat yang memiliki hotel adalah So’E (30 KM-setengah jam) dan Kefa Menanu (56KM-dua jam).
Niki-Niki disebut-sebut sebagai desa di Lintas Timor dengan masih aslinya kebudayaan asli dipergunakan. Masih banyak warga desa ini yang mengenakan tenunan ikat lengkap dengan hiasan dan tas unik yang semuanya terbuat dari ikat. Walaupun sebagian dari warga sudah ada yang terkena pengaruh modernitas, namun pemandangan warga yang mengenakan ikat lengkap bukanlah suatu pemandangan aneh. Alasan utama orang/turis mengunjungi Niki-Niki adalah untuk melihat sebuah Sonaf yang masih ada di wilayah ini. Sonaf Niki-Niki yang dimiliki oleh keluarga Raja Nope. Selain masih memiliki Sonaf Niki-Niki yang bisa dicapai dengan berjalan kaki, Niki-Niki juga memiliki hal unik lain. Beruntung, saya yang bisa sampai di desa ini pada hari rabu. Rabu adalah hari pasar. Pasar akan dibuka di area di sebelah lapangan besar Niki-Niki. Keindahan Niki-Niki yang terletak di tengah-tengah dataran tinggi Timor serta dikelilingi bukit akan tampak lebih nyata apabila anda menyempatkan diri mengunjungi pasar Niki-Niki.

Friday, June 26, 2009

Melintasi Ruas Kefamenanu - Niki-Niki

Bus yang bergerak perlahan tersebut lambat laun meninggalkan Kefa Menanu. Namun belum secara resmi keluar dari kota, di bagian hampir ujung kota terdapat sebuah bundaran besar dengan sebuah gedung besar yang sedang giat dibangun menjadi Kantor Bupati Timor Tengah Utara yang baru (yang lama di Jalan Sudirman, mau diapakan yach?). Melewati gedung tersebut, pemandangan kota pun perlahan berubah. Semak-semak dan rerumputan serta bukit menjadi pemandangan yang mulai umum ditemui. Saya sudah masuk Jalan Trans-Timor dan bergerak menuju ke arah barat. Pulang.
Tujuan perjalanan saya selanjutnya adalah desa Niki-Niki yang terletak di Amanuban Tengah, Timor Tengah Selatan. Lama perjalanan kurang lebih 2 hingga 2.5 jam dengan jarak sekitar 56 KM. Jarak sejauh 56 KM ditempuh dalam kurun waktu 2 hingga 2.5 jam karena ruas Kefa Menanu – Niki-Niki adalah ruas terparah yang harus saya lalui selama melintasi Jalan Trans-Timor. Parahnya ruas ini bukan karena rusaknya jaringan jalan namun lebih kepada medan jalan yang meliuk-liuk, tikungan patah yang tajam dan curam, naikan dan turunan yang sangat ekstrem. Akibatnya, sudah jelas, akibat medan yang berlebihan tersebut, waktu yang digunakan untuk menempuh ruas jalan tersebut menjadi lebih panjang. Kadang kala, beberapa ruas jalan hanya memiliki satu aljur kendaraan saya untuk arah bolak balik dan ruas tersebut terdapat di belokan tajam yang sempit. Sungguh menegangkan. Di bawah saya adalah hutan dan bukit-bukit yang tinggi. Rimbunnya pepohonan menutupi sebagian besar wajah perbukitan dan gunung di wilayah Dataran Tinggi Timor Tengah Utara.
Untungnya, wilayah ini termasuk daerah yang cukup banyak memiliki penduduk yang tinggal di tengah hutan. Sambil melintas ruas ini, anda bisa melihat beberapa Sonaf dan Lopo yang didirikan tepat di samping jalan raya dan tertutup oleh pepohonan yang lebat. Beberapa diantara Lopo dan Sonaf tersebut ada yang masih mulus dan ada pula yang sudah agak rusak dan rusak. Karena banyaknya pemukiman yang tersebar di dalam hutan hingga ke tepi jalan raya, maka banyak juga warga yang memiliki mobilitas tinggi utnuk mengangkut hasil kebun atau pertanian mereka ke kota besar, terutama Kupang. Cukup sering bus berhenti di tepi jalan untuk mengangkut (biasanya) ibu yang berdiri sambil menjagai karung hasil bumi mereka. Sembari bus menunggu, saya bersyukur karena ada kesempatan bagi saya untuk bernafas sejenak dan tidak dikocok-kocok di bus dalam perjalanan menuju Niki-Niki. Apabila anda ingin buang air kecil, anda bahkan bisa mengajukan permintaan tersebut kepada sang supir. Bapak di sebelah saya meminta agar bus berhenti karena beliau ingin buang air kecil. Maka, berhentilah bus dan beberapa orang keluar untuk buang air kecil. Sekali lagi, saya merasa lega karena bus bisa berhenti dan saya bisa beritirahat sebentar. Kegiatan yang saya lakukan di dalam bus praktis tidak ada. Saya tidak dapat mengobrol banyak-banyak karena hal itu akan membuat saya semakin mual. Padahal ingin rasanya mengobrol banyak dengan ibu dan bapak tersebut. Namun, keterbatasan saya membuat saya tidak dapat berkutik. Pemandangan yang tersuguhkan selama kurang lebih dua jam berupa hutan, semak dan gunung bukit tidak urung membuat saya ngantuk juga. Sambil berusaha untuk tidur dan mengoleskan minyak kayu putih ke leher dan hidung, saya berharap bahwa dengan tidur, saya tidak akan mabok darat.

Thursday, June 25, 2009

Siap Meninggalkan Kefamenanu

Pagi hari menyambut saya di Kefa, kota terbesar di wilayah Timor Tengah Utara, hari rabu. Sebagian dari diri saya tidak rela untuk berpisah dengan kota ini. Sebagian lagi, saya sadar harus mengejar waktu agar sampai di Kupang tepat waktu. Mengingat saya masih memiliki dua tempat tujuan yang harus didatangi, maka bermalas-malas bukanlah pilihan.
Saya keluar dari hotel dan membeli beberapa makanan ringan di warung di depan hotel. Walaupun saya diberikan telur rebus utuh, dua potong kue nanas dan secangkir teh hangat, namun saya ingin ngemil lebih banyak karena saya akan menempuh perjalanan jauh juga untuk hari ini. Saya takut tidak bisa menempuh perjalanan dengan baik apabila perut saya kosong dan yang terburuk, saya masuk angin. Ketakutan saya lainnya adalah tidak berhentinya kendaraan yang saya tumpangi ketika tubuh saya sudah meminta jatah makan. Maka, makanan ringan seperti biskuit dan botol kecil minyak kayu putih menjadi barang belanjaan saya.
Sebelum saya berpisah, saya menyempatkan diri untuk berfoto bersama staff hotel ini, Joséph Netsa yang sungguh sangat ramah dan baik hati. Rasa sedih langsung menyeruak walaupun baru satu hari saya tinggal di hotel ini. Saya tidak tahu kapan akan kembali lagi namun saya berjanji di dalam hati, saya harus kembali ke Timor suatu saat nanti. Kemudian saya berjalan keluar Jalan Sonbay, menuju El Lake dan El Tari. Saya menyempatkan diri untuk berpamitan dengan teman-teman dari PMKRI yang saya ajak berbincang kemarin, ibu penjual bakso dari Bumi Ayu dan polisi yang membantu saya menemukan lokasi Lopo Raja Bana, Pak Naya. Perjalanan saya dari hotel ke terminal bus Kefa membutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki. Berhubung pagi itu masih cukup sejuk, maka saya nekad untuk berjalan kaki.
Saya tidak masuk ke dalam terminal di sebelah pasar Kefa. Saya lebih memilih untuk berjalan lurus ke arah pintu keluar Kefa dan disana terdapat dua buah bus yang sedang menaikkan muatan. Salah seorang dari kenek langsung bertanya kepada saya “Kupang?” dan saya menjawab “Niki-Niki” dan ia mempersilahkan saya untuk naik. Saya naik bus yang masih kosong sama sekali tersebut. Tampaknya, bus tersebut memang sedang menunggu penumpang. Wah, saya sudah sedikit panik apabila harus membuang banyak waktu di dalam bus sambil menunggu penumpang lainnya. Tempat tujuan saya tidak dapat menunggu.
Sebenarnya ada dua cara yang dapat anda gunakan untuk naik kendaraan dari Kefa menuju Kupang atau daerah di sepanjang Jalan Trans Timor. Anda bisa saja menunggu kendaraan seperti yang saya lakukan ini. Bus memang tidak berjalan setiap jam namun anda pasti mendapatkan bus walaupun harus menunggu cukup lama. Lokasi menunggu bus yang akan berjalan ke arah barat bukan di terminal Kefa namun lebih ke selatan, tepat di depan tempat billyar. Cara kedua, adalah cara yang untung-untungan. Mengapa untung-untungan? Anda bisa saja memberhentikan bus dari Atambua yang pasti melintas di jalan raya ini. Masalahnya, saya seperti Kefa, bus dari Atambua tidak berjalan setiap jam sehingga anda bisa saja bertemu dengan bus yang kebetulan melintas sehingga anda bisa langsung naik dan bergerak ke arah barat. Sialnya, bisa saja selama anda menunggu, anda tidak dilewati satu bus pun dari Atambua sementara bus Kefa – Kupang sudah berjalan. Bus paling malam berjalan dari Atambua pada pukul 7 malam. Dengan lama perjalanan 8 jam, bus tersebut akan tiba di Kupang pada pukul 3 pagi esok harinya. Dengan lama perjalanan 2 jam, bus tersebut akan tiba di Kefa pada pukul 9 malam. Apabila cara ini terlalu beresiko, sebaiknya anda sabar menunggu di dalam bus-bus yang diparkir yang hendak bergerak ke arah barat.
Ya, saya memang menunggu cukup lama di dalam bus ini. Sambil menunggu barang-barang dinaikkan ke puncak bus, saya duduk mengamati kondisi sekitar sambil perlahan-lahan satu dua penumpang naik dan duduk di dalam bus. Sambil mengamati para kenek tersebut bersenda gurau dan menaikkan barang (cukup lama), saya mendapat rekan perjalanan. Adalah seorang ibu yang tinggal di dekat Lopo Raja Bana yang orang tuanya berasal dari Manado dan Ambon kemudian tinggal di Kefa Menanu di masa tuanya. Ada juga seorang bapak yang berwajah bijak yang berasal dari Atambua ingin menuju So’E. Kami bertiga pun terlibat dalam obrolan mulai dari tujuan perjalanan masing-masing, profesi, sejarah hidup, tentang Timor, Nusa Tenggara Timur, kehidupan masyarakat dan perpolitikan serta tenun ikat Insana. Untung ada bapak dan ibu tersebut sehingga saya tidak harus membunuh banyak waktu.
Kurang lebih satu jam menunggu, bus pun bergerak. Bus tersebut sudah penuh dengan sejumlah orang dari berbagai ragam profesi. Ada yang bawaan tangannya kosong, ada pula yang membawa banyak sekali karung-karung berisi entah mungkin pakaian. Seakan tidak mau rugi, sebelum benar-benar beranjak, bus pun menunggu satu orang ibu dengan dua anaknya sebelum benar-benar berangkat. Selamat Tinggal Kefa Menanu.

Monday, June 22, 2009

Ayam Goreng Lagi Di Kefamenanu

Tampaknya, budaya Jawa memang sudah menyebar kemana-mana. Mungkin ini efek dari program transmigrasi yang dahulu digagas pemerintah. Ketika pesawat saya didaratkan di Surabaya, banyak penumpang eksotis Timor dan orang-orang Jawa naik ke dalam pesawat. Beberapa tamu hotel yang saya temui di hotel, kebanyakan berasal dari Surabaya. Di Kefa Menanu, saya sudah berjumpa dengan seorang ibu penjual bakso yang berasal dari Bumi Ayu. Sedikit heran juga, ciri khas Timor Tengah Utara (TTU) atau Kefa Menanu tidak banyak ditemukan di kota ini. Terlebih, ketika mencoba mencari makanan khas TTU, saya tidak menemukan adanya satu pun restoran yang menjual makanan TTU atau Kefa. Oleh karena itu, ketika ingin makan malam dan menemukan sebuah rumah makan dengan gaya lesehan Yogyakarta, saya langsung masuk dan memesan makanan.
Nama rumah makan tersebut adalah Ayam Bakar, Ayam Goreng dan Ayam Panggang Rumah Makan Kahyangan. Rumah makan ini terletak di Jalan El Tari, tepat di depan toko alat tulis kantor Giovani. Rumah makan ini ditata dengan gaya Yogyakarta karena sejumlah meja pendek di susun di lantai kayu parquette, sehingga tamu yang datang berkunjung dan makan harus duduk lesehan (di bawah). Pencahayaan temaram dari lampu berwarna kuning dan kayu yang berwarna kecoklatan memang membuat suasana Jawa begitu terasa. Tambahan lagi, mbak dan mas penjaga rumah makan ini tampaknya bukan orang Timor. Komplitlah sudah kesan Jawa terhadap Timor.
Rumah makan ini buka sepanjang hari hingga malam hari. Namun, pada malam itu, saya tidak menemukan adanya pengunjung lain yang ikut menikmati ayam bakar, panggang dan goreng dari rumah makan itu. Kata mbak penjaga sekaligus yang memasak dan menghidangkan makanan, tamu biasanya datang pada pukul 8-an. Biasanya berupa anak muda dan keluarga yang mungkin memang tidak memasak di rumah. Dan saya pun memesan ayam goreng dan nasi. (niat awalnya, saya memesan bebek bakar, namun sehubungan dengan ditiadakannya menu bebek dan metode bakar dan panggang pada malam itu, ujung-ujungnya jelas, saya harus memesan menu standar, ayam goreng.
Sambil menunggu ayam datang, saya berfoto-foto dengan rumah makan yang belum ramai tersebut. Ketika tidak lama kemudian pesanan saya datang, saya pun kaget. Yang dimaksud ayam disini adalah paket ayam komplit dengan nasi, tahu, tempe dan sayur-sayuran dan lalap dan sambal. Porsinya tampaknya kebanyakan untuk saya. Namun, saya tetap merasa harus makan sehingga saya tetap menghabiskan makan malam di tempat ini karena saya butuh tenaga setelah seharian berjalan kaki keliling Kefa Menanu dan masih ada dua hari lagi untuk dijalankan di Timor.
Rasa ayam gorengnya lumayan (piring saya licin, tandas dan bersih). Tidak lupa semua salad dan sayurnya saya makan. Sayangnya, saya tidak sempat mengobrol dengan mbak dan mas penjaga rumah makan ini. Walaupun sepi, mereka berjaga di luar dan tidak berada di ruangan yang sama dengan saya. Saya cukup merekomendasikan rumah makan ini untuk makan malam anda karena tempatnya cukup bersih dan suasana Jawa yang berhasil dibangun oleh pengelolanya. Sayangnya, beberapa menu varian dan metode tidak ada (atau ditiadakan). Agar pengunjung lebih tertarik, mungkin menu bebek dan metoda panggang dan bakar boleh diadakan lagi. Ketika membayar, saya sudah sempat menduga bahwa harga yang saya bayar akan lebih tinggi dari seharusnya mengingat porsi berukuran besar yang baru saja saya makan dan segala macam sayur-sayuran dan makanan pendukung lain yang ada di baki anyaman rotan tersebut. Keyakinan saya terbukit tepat. Harga makana tersebut Rp. 20.000 ditambah dengan teh manis seharga Rp. 3.000. Sudahkah saya menjelaskan sebelumnya bahwa orang Timor senang sekali akan teh manis (sangat tidak bagus bagi anda penderita penyakit gula). Untungnya, walaupun harganya di luar prediksi dan sedikit membuat kaget, namun masih berada dalam ambang batas wajar suatu makanan. Selain membayar menu lengkap, tampaknya anda juga harus membayar sebuah ruangan besar dengan suasana Jawa di dalamnya. Cukup direkomendasikan untuk makan malam di tempat ini.

Saturday, June 20, 2009

Ada Bakso Juga Di Kefamenanu

Saya tiba di Kefa Menanu tepat pada tengah hari. Menenteng kantong muntah, perut keroncongan karena isinya terbuang semua, dan kepanasan serta keberatan membawa barang. Dalam suasana yang menyedihkan itu, saya segera mencari hotel, minum air segar dan duduk beritirahat sambil merenung, “Ya ampun, saya sudah berada 197 kilometer dari Kupang”. Saya sudah melangkah terlalu jauh. Memikirkan perjalanan kembali saja sudah membuat perut saya bergejolak kembali. Terlalu kejam untuk dipikirkan kembali. Maka, saya mengenyahkan perasaan tersebut dan fokus pada kota ini. Tidak mungkin saya sia-siakan kesempatan 197 KM dari Kota Kupang dengan duduk duduk saja di hotel dan merenung. Sadar sudah waktunya perut diisi dan waktu yang mendesak, memaksa saya untuk melangkahkan kaki keluar dari hotel yang adem dan nyaman untuk mencari makan.
Kesimpulan pertama yang saya dapat dalam mencari makan di Kefa Menanu : susah. Saya berjalan dari Jalan Sonbay ke Jalan El Lake. Nihil. Saya tidak menemukan adanya tanda-tanda keberadaan rumah makan atau apapun untuk membantu saya mengatasi keroncong di perut saya. Ada segerombolan anak muda penarik ojek yang sedang mangkal memanggil-manggil saya dari kejauhan dengan panggilan “Mister..mister...take a photo, mister...”. Saya pun mendekat dan memfoto mereka. Dengan senang hati mereka berpose untuk diabadikan. Begitu sampai, saya ajak bicara dalam bahasa Indonesia, dan mereka pun tidak mampu menyembunyikan kekagetan di muka mereka. Namun setelah itu, suasana kembali menjadi cair karena saya bisa berbicara dengan santai kepada mereka. Setelah perbincangan tersebut, saya permisi untuk melanjutkan perjalanan. Satu diantara mereka pun memberikan nomor handphone-nya untuk saya. “Kalau bapak butuh ojek selama di Kefa, hubungi saya”, begitu pesannya kepada saya.
Saya pun menyimpan nomornya dan tidak yakin akan menggunakan nomor tersebut karena saya ingin berjalan, berjalan dan berjalan.
Di ujung Jalan El Lake, di perempatan Jalan El Tari, akhirnya saya menemukan apa yang saya cari. Sebuah warung bakso sederhana. Perut saya yang sudah tidak bisa diajak berkompromi namun belum siap untuk menerima makanan berat, tampaknya cocok jika disiram bakso, mi dan kuahnya. Saya pun memesan menu standar, semangkuk bakso (sekitar 5 buah dengan satu yang besar karena mengandung telur utuh) dan mie berwarna kuning. Dalam pikiran saya, bakso cocok sekali ditemani dengan minuman ringan teh yang manis. Namun, sayangnya, warung ini tidak menyediakan minuman ringan namun dapat membuatkan teh manis dalam gelas. Okelah, tidak jadi soal. Perlahan demi perlahan saya memasukkan bakso itu ke dalam perut saya. Bukan karena rasa baksonya yang tidak enak, namun karena perut saya yang baru saja berkontraksi belum siap menerima makanan.
Dengan pelan-pelan sambil menunggu matahari condong ke barat, saya menghabiskan bakso. Yang membuat saya terkesima adalah bakso besar yang berisi telur rebus utuh di mangkok saya. Ini makin menguatkan pendapat saya bahwa orang Timor suka sekali dengan telur rebus yang utuh. Sembari menikmati sisa-sisa bakso saya, saya mengobrol dengan ibu pemilik warung. Ibu yang bertubuh subur ini sempat berbicara dengan Bahasa Jawa Banyumasan kepada saudaranya yang sedang mengasuh anak. Tertarik untuk mengikuti lebih lanjut, saya pun bertanya kepada ibu tersebut. Ternyata, ibu tersebut berasal dari Bumi Ayu, Jawa Tengah. Ini menjawab tentang bahasa Jawa yang ia gunakan yang agak sedikit “Banyumasan”. Beliau menceritakan kepada saya bahwa rejeki bisa didapat dimana saja, belum tentu di tanah asal. Buktinya, ibu ini mampu merajut hidup di tanah orang, di Timor Tengah Utara, di Kefa Menanu. Sangat jauh sekali dari tanah kelahirannya di Bumi Ayu. Ongkos pulang ke kampung halamannya juga sangat tinggi, jadi tidak mungkin ibu ini bisa pulang setiap tahun di saat lebaran. Ibu ini pun bercerita tentang Jalan Lintas Timor yang memang yahud. Ia mengatakan, jalanan di Jawa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jalan Lintas Timor ini. Untuk ibu yang sudah cukup lama tinggal di Kefa Menanu, ternyata melewati Jalan Lintas Timor pun merupakan suatu momok tersendiri. Beliau harus selalu bersiap-siap dengan minyak angin dan kantong plastik. Saya pun tidak mau ketinggalan, bercerita tentang pengalaman yang baru saja saya lalui dan maksud dari perjalanan saya.
Tidak lama,selain karena pembicaraan sudah selesai dan matahari sudah sedikit condong sehingga panasnya sudah berkurang, saya pun bergegas membayar makanan saya. Untuk satu porsi bakso dan segelas teh manis dingin, saya harus membayar Rp. 10.000. Lokasi warung bakso ini ada di dekat pos polisi Kefa Menanu, tepat di jalan masuk El Lake dari perempatan El Tari.

Friday, June 19, 2009

Berkunjung Ke Warisan Dunia : Sonaf Nai Neno

Selain terkenal sebagai daerah pusatnya tenun ikat, Kefa Menanu juga diketahui memiliki sejumlah desa tradisional Timor yang masih menggunakan Ume, atau Lopo dan Sonaf sebagai tempat tinggal mereka. Pemandangan Lopo akan banyak ditemui di ruas jalan Camplong – Kefa Menanu. (Harusnya di Atambua kesana sich ada yah, kan masih masuk dataran tinggi Timor yach). Apabila tidak memungkinkan bagi anda untuk berhenti di tengah-tengah jalan di pedalaman (berhenti di tengah jalan demi ngeliat Lopo maksudnya) , cobalah untuk mencari Lopo di Kefa Menanu.
Di Kefa Menanu, terdapat sebuah Lopo yang ternyata, tidak semua warga Kefa tahu akan keberadaannya. Hal ini yang saya alami ketika saya memulai perjalanan saya di Kefa demi mencari Lopo ini. Dalam satu gerombolan masyarakat yang saya temui, mulai dari anak muda, polisi, anak sekolah, hanya sebagian dari mereka saja yang tahu dan mampu untuk menunjukkan lokasi tempat Lopo berada. Sebagian lainnya malah tidak tahu sama sekali. Saya sempat tersasar beberapa kali dalam pencarian ini. Uniknya, ketika saya tersasar di dekat lokasi pun, warga sekitar masih banyak yang tidak mengetahui dan tidak dapat menunjukkan dimana letak Lopo tersebut. Hampir saya menyerah dan tidak meneruskan pencarian berhubung hari sudah hampir gelap dan jalanan sekitar tidak memiliki penerangan sama sekali. Namun, sekali lagi saya mencoba mencari jalan dengan bertanya pada warga terakhir yang saya jumpai. Untungnya, informasi yang diberikan ternyata benar. Saya tersasar dengan hanya berbeda gang saja. Ketika saya pindah gang, saya menemukan Lopo yang dimaksud.
Lopo yang saya maksud ini terletak di Jalan Cendana, nomor 1. Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor, begitu namanya. Lopo Raja Bana, begitu masyarakat setempat menyebutnya, ternyata masih dihuni oleh Raja Bana Nai Neno II, PR.B hingga saat ini, bersama istrinya. Sempat saya memutar mencari jalan masuk Lopo ini sebelum akhirnya saya disapa oleh beliau dan mengatakan agar saya masuk lewat pintu depan (waktu itu terpalang).
Ternyata, Raja Bana adalah seorang pria yang sangat ramah dan baik hati serta informatif. Ini yang paling penting. Beliau menerima saya dengan penuh rasa suka dan bercerita panjang lebar akan Lopo-nya, kebudayaan dan kerajaan Timor serta aspek-aspek lainnya. Ketika saya masuk, beliau tidak mengenalkan diri terlebih dahulu. Beliau justru memperlihatkan beberapa foto di dinding yang merekam aktifitasnya sebagai Raja. Setelah melihat beberapa foto tersebut, barulah saya tersadar, bapak yang berada di depan saya ini adalah Raja Bana sendiri. Beliau menanyakan maksud kedatangan saya dan dengan suka hati bercerita banyak hal serta mengijinkan saya untuk berfoto.
Dalam kebudayaan Atoni-Timor, suku bangsa yang mendiami bagian barat pulau Timor dan berkonsentrasi di dataran tinggi Timor, Lopo adalah rumah. Lopo ini sering disebut juga sebagai Ume. Bentuk fisik dari Lopo adalah berkaki empat, dan memiliki atap yang berbentuk hampir bulat dan berujung agak runcing di puncaknya. Bahan utama dari atapnya adalah ijuk atau rumbia. Bagian dinding dari Lopo bisa saja dikosongkan sehingga hanya terlihat empat tiang penyangga Lopo di masing-masing sisi. Sementara itu, ada juga Lopo yang dibuat dengan menutup dindingnya. Bahan utama untuk menutup dindingnya adalah kayu. Jadi, ada Lopo yang terbuka, ada pula Lopo yang tertutup. Sementara itu, Sonaf adalah bangunan menyerupai Lopo, lengkap dengan atap yang berbentuk serupa dengan Lopo. Perbedaan fisik yang jelas antara Sonaf dan Lopo terletak pada jumlah tiang penyangganya. Lopo memiliki 4 tiang penyangga pada setiap sudutnya sementara Sonaf hanya memiliki satu tiang utama di tengah-tengah.
Kediaman Raja Bana Nai Neno II, PR.B ini disebut Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor karena memiliki 4 tiang penyangga di setiap sudutnya dan satu tiang utama di tengah-tengah. Beliau mengatakan, inilah keunikan tradisi Timor. Rumah ini juga diakui oleh Departemen Perumahan Negara sebagai rumah tradisional Indonesia. Bentuk tiang yang berdiri menegakkan Lopo dan Sonaf pun memiliki arti. Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa Lopo dan Sonfa yang memiliki tiang biasa saja tanpa ukiran atau hiasan apapun. Namun, di kediaman Raja Bana ini, anda bisa menyaksikan tiang penyangga Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor ini dipenuhi dengan berbagai ukiran, hiasan dan tulisan yang tentunya mempunyai maksud dan arti. Sebagai informasi, tiang tengah Sonaf berdiri memanjang dari fondasi hingga bagian atas Sonaf. Di belakang tiang ada sebuah tangga yang digunakan untuk mobilitas Raja dan keluarga yang naik turun Sonaf dan Lopo sebagai tempat tinggal. Ya, Raja dan keluarga tinggal di bagian atas Lopo. Lopo sendiri terbagi menjadi tiga kawasan, bawah, tengah, dan atas. Tiang tengah yang berdiri sebagai fondasi Sonaf dipenuhi oleh hiasan ukiran dan tulisan seperti “Sonaf” dan “Usi Neno” serta ukiran berbentuk bulat yang disebut “Buni” dan silindris yang disebut “Flasu”. Hiasan gambar matahari, bulan dan bintang serta ayam pun dapat anda saksikan disini. Tiang tengah ini melambangkan Usi Neno, atau Tuhan dalam kepercayaan warga Atoni-Timor. Sementara itu, keempat tiang lainnya, sepasang-sepasang disebut sebagai tiang laki-laki dan tiang perempuan. Sepasang tiang yang bersilangan ini melambangkan ibu dan sepasang lainnya melambangkan ayah. Saya sendiri tidak menemukan perbedaan antara tiang laki-laki dan tiang perempuan. Namun, Raja Bana mengatakan, hanya yang tahu yang dapat membedakan mana tiang laki-laki dan mana tiang perempuan.
Selain tiang utama penyangga Sonaf dan Lopo, ada juga tiang-tiang yang dipasang untuk menyangga atap Sonaf dan Lopo. Tiang-tiang ini menggunakan pohon cemara, yang juga dikenal sebagai pohon lambang perdamaian. Maka daripada itu, Raja Bana menegaskan bahwa orang Timor cinta damai sebab filosofi perdamaian sudah terangkum di dalam Lopo itu sendiri.
Di sekeliling saya, banyak terdapat potongan batang pohon yang disusun melingkar dengan pusat lokasi tahta Raja Bana sendiri. Potongan batang pohon tersebut digunakan sebagai tempat duduk untuk 7 puteri kahyangan dan 4 ketua kepercayaan Raja. Di dalam Sonaf dan Lopo, ada Mesbah, kotak donasi, beberapa meja panjang yang digunakan sebagai tempat berkumpul para kepala suku, tombak dan Catur Timor (bentuknya mirip sekali dengan permainan congklak yang kita kenal). Bedanya, Catur Timor ini digunakan oleh para panglima Kerajaan untuk menyusun strategi peperangan. Selain Sonaf dan Lopo utama yang dibicarakan, masih ada Lopo yang berdinding penuh di sebelah kiri Sonaf dan Lopo dan sebuah rumah bata biasa. Ada pula Pohon Cabang Tiga yang sangat unik dengan satu cabang lebih tinggi daripada dua cabang lainnya. Cabang tertinggi ini melambangkan Usi Neno (Tuhan dalam kebudayaan Atoni-Atoni) dan dua cabang lainnya melambangkan orang tua kita. Suatu prinsip filosofi yang baik sekali untuk terus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbakti kepada kedua orang tua.
Berada dalam satu pulau Timor, orang Atoni memiliki tingkat kekerabatan tinggi dengan orang Tetum yang hidup di wilayah timur pulau dan orang Helong yang berada di sekitar “ekor” pulau yakni Kupang. Raja Bana mengatakan, Dari terbitnya matahari, atau Timor Loro Sae (berada di sekitar Tutuala, Los Palos, Timor Leste) hingga terbenamnya matahari di jembatan terpanjang di Timor yang membelah Sungai Mina (berada di Batu Putih, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur) adalah wilayah Kerajaan Bikomi – Meomafo (Oenun) & Noebana – Timor. Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor tempat kediaman Raja Bana sekaligus tempat pemerintahan di Kefa Menanu ini adalah Tali Sumbu/Pusar Pulau Timor. Bahkan, Padi pertama yang ditanam dan dimakan oleh penduduk Pulau Timor berasal dari Kefa Menanu.
Hingga kini, Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor ini digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bikomi – Meomafo (Oenun) & Noebana – Timor dan kediaman Raja beserta keluarga. Sonaf dan Lopo ini merupakan The most unique and richest heritage of Atoni-Timor serta the only Sonaf and Lopo in the world. Apabila anda mencermati bentuk Sonaf dan Lopo lainnya di penjuru Timor, maka anda tidak akan menemukan Sonaf dan Lopo yang digabung menjadi satu yang sekaligus berfungsi sebagai lokasi pemerintahan dan tempat tinggal. Sangat unik. Dalam waktu setahun atau selang beberapa tahun, ada kegiatan yang bisa anda saksikan di Sonaf dan Lopo seperti upacara masuknya bibit asli padi dan jagung Timor kembali ke dalam Sonaf, berkumpulnya seluruh kepala suku di wilayah Timor dan banyak lainnya. Untuk mengetahui kapan waktu yang tepat menyaksikan kegiatan ini, anda dapat bertanya kepada Raja Bana langsung.
Saya sempat bertanya kepada Raja Bana, sebab saya sedikit heran melihat ada sebuah rumah biasa di belakang Sonaf dan Lopo yang memiliki berbagai pernak-pernik pengajaran anak-anak pra-sekolah. Jawaban yang didapat sungguh sangat mengagetkan. Selain memiliki kebudayaan tinggi, hidup Sang Raja Bana juga penuh dengan dedikasi untuk menyejahterakan kehidupan sosial warga lainnya. Sang Raja menyelenggarakan sebuah playgroup untuk anak-anak warga asli Timor dan non-Timor dan diutamakan untuk mereka yang kurang beruntung dalam segi finansial. Walaupun Raja mengutamakan warga asli Timor, namun Raja Bana tidak menutup kemungkinan anak non-Timor yang ingin belajar di playgroup ini. Ada seorang anak dari keluarga non-Timor yang hidup berkecukupan namun terkesan dengan metode pendidikan yang dekat dengan kebudayaan bangsa asli Timor sehingga bersekolah disini. Sungguh suatu perbuatan yang terpuji dari segi sosial dan juga dalam hal pelestarian kebudayaan daerah.
Beruntungnya saya yang tidak membuat janji terlebih dahulu hari itu namun dapat bertemu langsung dengan Raja Bana dan mendapat penjelasan langsung dariNya. Raja Bana dengan serius namun santai menginformasikan tentang kebudayaan Timor dan KerajaanNya kepada saya. Beliau juga mengijinkan saya untuk melakukan foto-foto di sekeliling Sonaf dan Lopo. Yang paling mengesankan adalah Raja Bana menyempatkan diri untuk berganti pakaian dengan pakaian resminya ketika memerintah kerajaan, dan saya diajak berfoto bersama. Sungguh, saya sangat terkesan oleh keramahan hati Raja Bana dan kerendahan hatinya untuk menerima tamu dari berbagai golongan. Dalam rangka sebagai misi kebudayaan dan misi sosial, Raja Bana juga mengajak saya berdonasi sebagai bentuk pelestarian warisan kebudayaan Timor dan mendukung pendidikan anak-anak playgroup yang kurang beruntung dalam segi finansial. Sungguh, apabila anda berkunjung ke Kefa Menanu, anda wajib datang ke Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor Raja Bana Nai Neno II, PR.B. Jangan lupa berdonasi dalam rangka melestarikan kebudayaan Timor dan mendukung program playgroup bagi anak-anak.
Asik mendengarkan penjelasan dan berfoto, ternyata malam sudah turun dengan cepatnya. Saya berjalan dalam kegelapan karena wilayah di belakang Kantor Bupati Timor Tengah Utara hampir tidak memiliki lampu jalanan. Kurang lebih sekitar 15 menit, baru saya sampai di Jalan Raya El Tari, dimana lampu jalanan baru saya temui. Namun, kembali menyebrang ke Jalan El Lake, kegelapan total kembali menyelubungi saya. Searsa berjalan di dalam hutan! Dari Jalan El Lake menyebrangi Jalan Sonbay, saya bertemu dengan Jalan Achmad Yani yang mengarah ke Atambua dan Nunpene. Yang agak membuat heran, arah Nunpene, jalan raya memiliki deretan lampu jalanan dengan sinar terang benderang, semantara di sisi sebaliknya arah Atambua gelap gulita. Masuk lagi ke Jalan Sonbay, tempat Hotel saya berada, jalanan kembali gelap gulita. Satu-satunya yang membantu penerangan jalan hanyalah motor atau mobil yang sesekali melintas. Agak menakutkan sebenarnya. Ternyata, sesampainya di hotel, saya baru tahu ternyata sedang terjadi pemadaman listrik. Hotel yang terang sendiri ternyata menggunakan generator untuk menyalakan listrik. Pemadaman listrik tampaknya sering terjadi di Kefa Menanu. Namun saya tidak mengetahui dengan pasti apakah gelapnya jalan yang saya lalui tadi merupakan efek dari pemadaman listrik atau memang jalannya gelap gulita. Buat anda yang tidak suka kegelapan, sebaiknya hindari berkeliaran di jalan-jalan Kota Kefa Menanu selepas matahari terbenam sebab anda akan menemui beberapa ruas jalan yang gelap total sama sekali.

Wednesday, June 17, 2009

Gereja Naesleu Di Kefamenanu

Di Jalan Achmad Yani (Yah, hampir setiap kota maupun desa di Indonesia memiliki nama jalan ini, yach?) di Kefa Menanu (tepatnya di jalan yang paralel dengan Jalan EL Tari, arah Atambua) terdapat sebuah gereja besar Katolik. Sekali lagi, karena Kefa Menanu adalah kota di Timor Barat dengan penyebaran agama Katolik terbesar, maka kehadiran gereja sudah tentu bukan barang asing lagi. Bisa-bisa, belum jauh anda berjalan, anda sudah bertemu dengan gereja lagi. Alkisah, Ketika Portugis meninggalkan Larantuka, mereka tiba di Oecussi/Ambeno. Enclave tersebutlah yang menjadi bagian dari wilayah Timor Leste saat ini. Dari Oecussi yang berbatasan langsung dengan wilayah Timor Tengah Utara saat ini, mereka melintas, bergerak menuju arah timur menuju tempat yang dahulu dikenal sebagai Timor Timur (Sekarang namanya Negara Timor Leste) . Dalam perjalanan, mereka pun turut menyebarkan agama Katolik di sepanjang daerah yang dilalui (sambil tentunya memperebutkan Sandalwood atau Cendana). Kota yang terkena pengaruhnya adalah Kefa Menanu, sebagai basis Katolik terbesar di Timor Barat saat ini dan Atambua yang juga kental pengaruh Katoliknya. Ketika Belanda dengan Kristen Protestan-nya datang, mereka berdua memperebutkan pulau ini. Maka, jadilah bagian timur milik Portugis dan bagian barat dikuasai oleh Belanda. Agama mayoritas yang dibawa oleh kaum penjajah tersebut turut mempengaruhi peri kehidupan masyarakat Timor Barat dan Timor Timur hingga saat ini.
Kembali ke Jalan Achmad Yani, disini terdapat sebuah gereja besar untuk jemaat Naesleu. Gereja ini bernama Gereja Santo Yohanes Pemandi. Uniknya, gereja yang dimaksud berjumlah dua buah, berdiri berdempetan. Yang satu gereja lama (ditilik dari bentuk fisik bangunannya) dan satu lagi adalah gereja baru. Apabila anda keluar dari Jalan Sonbay menuju Jalan El Lake menyebrangi Jalan Achmad Yani, anda akan melihat sebuah gudang berwarna kuning pucat kusam di sebelah kiri anda di seberang jalan. Itulah gereja lama Naesleu yang bentuk fisiknya memang menyerupai gudang. Hiasan batu warna-warni di sepanjang dinding dan ventilasi yang tersusun atas batu, semakin memperkuat kesan kuno pada bangunan ini. Padahal, bangunan ini dibangun pada tanggal 13 Agustus 1992, hampir 20 tahun lalu dan diberkati oleh Yang Mulia Uskup Atambua, Mgr. Anton Pain Ratu SVD pada tanggal 31 Juli 1994. Saat ini, bangunan yang masih tegap berdiri tersebut sudah tidak dipergunakan lagi walaupun sisa-sisa perlengkapan gereja masih tampak di sekelilingnya. Pintu yang terbuat dari susunan kayu tersebut memang tampak sedikit membuat goyah mental yang ingin mendekat. (Kesannya : Seram!) Kesan gudang tampak begitu kuat dari bentuk fisik bangunan. Untungnya, bangunan ini memiliki kerangka salib di pucuknya sehingga identitasnya sebagai gereja tidak tersamarkan. Sisa corong speaker masih tampak tergantung di atas pintu kayu besar tersebut.
Memasuki gedung tersebut (saya nggak begitu yakin apakah ruangan ini boleh dimasuki atau ngga) saya mendapati beberapa pernak-pernik yang tampaknya masih baru ditata di dalam ruangan tersebut. Potongan kertas krep, kertas mengkilat warna-warni digantung dan sebagian tersusun di dinding dekat wilayah altar. Ada beberapa potong kain yang dibentangkan namun masih dalam kondisi baik di bagian belakang ruangan. Patung Yesus dan Bunda Maria pun tidak tertinggal berdiri di kiri dan kanan sudut ruangan. Yang menarik, bagian dalam ruangan tersebut tampaknya terbuat sama sekali dari susunan batu cadas besar berwarna kecoklatan dengan perekat antar batu sesuatu yang berwarna putih. Sangat mengingatkan saya akan motif kulit jerapah. Lalu, yang tersisa lainnya di ruangan tersebut adalah sekumpulan kursi-kursi plastik yang lusuh (beberapa diantaranya sudah patah dan lapuk) tersebar di tengah ruangan dan pinggir. Mungkin bekas menyelenggarakan pesta natal dan tahun baru? (Soalnya ada tulisan Perayaan Natal dan Tahun Baru sich) Selain kursi tersebut, masih ada sejumlah kursi panjang misa yang terbuat dari besi dan sudah reyot. Ruangan ini sebenarnya tidak membutuhkan sama sekali bantuan dekorasi. Motif di dinding yang menyerupai kulit jerapah dan ventilasi pada dinding sisi tepi yang berasal dari susunan kerangka besi sudah cukup membuat unik. Tambahan lagi, lubang ventilasi di bagian atas ternyata ditutup dengan kaca berwarna biru dan kuning. Mungkin sejenis kaca patri warna pada jaman sekarang. Pada jaman dahulu, tampaknya sepotong kaca dibenamkan dalam bangunan masif sehingga memberi efek warna ketika disinari cahaya matahari. Kesannya tua banget pas saya lihat kaca itu.
Tidak yakin juga boleh berlama-lama di dalam gereja yang sudah tidak dipergunakan ini, saya beranjak keluar. Di luar gereja lama ini, saya bahkan menemukan sebuah tiang lonceng gereja yang sudah tidak berlonceng. Seluruh bagian dari tiang lonceng tersebut berkarat dan menyembunyikan cat aslinya yang berwarna putih. Menyebrang jalan kecil yang masih dalam kompleks gereja, saya mencapai gereja Naesleu baru. Secara fisik, tampak sangat jelas terlihat bahwa bangunan gereja ini adalah bangunan baru. Gereja ini diberkati pada tanggal 26 Juni 2007 oleh Uskup Atambua (terdapat pada ukiran batu pualam tidak beraturan yang ada di depan gereja). Patung Santo Yohanes Pemandi tidak lupa disertakan di tengah gereja ini. Anda dapat melihatnya di balkon tengah. Sayangnya, pada saat hari kunjungan itu, gereja ini tampaknya sedang tutup. Alhasil, saya tidak dapat masuk dan melihat-lihat isi gereja ini. Berkeliling ke samping, gereja ini memiliki banyak sekali pintu, jendela dan hiasan kaca patri warna yang menggambarkan orang-orang suci. Sayang, saya tidak tiba di Kefa Menanu pada hari minggu. Berhubung di daerah, konon katanya banyak penduduk lokal yang datang ke misa di gereja dengan pakaian rapih dan bertenun ikat. Apalagi Timor Tengah Utara memiliki kain tenun yang indah dari beberapa wilayahnya. Apabila di pedalaman, tingkat penggunaan kain tenunan ikat makin tinggi lagi, begitu kata rekan saya.
Dari gereja Naesleu ini, sejauh mata memandang di kejauhan Jalan Achmad Yani, yang tampak hanyalah bukit dan hijau-hijauan. Jalan ke arah selatan adalah yang menuju Atambua dan jalan yang menuju utara adalah yang menuju Nunpene. Kembali ke keramaian (walaupun suasana siang itu sama sekali tidak ramai), saya menjumpai sekolah SMA Yayasan Katolik masih dalam satu kawasan kompleks yang sama dan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) di seberang jalan. Beruntung bagi saya, beberapa anggota PMKRI sedang berbincang-bincang di tempat itu. Sembari meminta ijin untuk berfoto, saya memperkenalkan diri dan mengajak mereka mengobrol. Mereka banyak bercerita tentang kisah Kefa Menanu dan sejarah kota ini beserta Timor Tengah Utara. Ketika ditanya tentang objek wisata, sebagian dari mereka menggeleng-geleng dan mengatakan tidak ada objek wisata di Kefa. Saya yang sudah hampir kecewa mendengar jawaban mereka tiba-tiba bersemangat lagi ketika obrolan berlanjut ke Lopo. Salah seorang dari mereka mengatakan ada sebuah Lopo di Kefa Menanu yang masih ditinggali hingga saat ini dan bisa dijadikan lokasi wisata bagi turis. Penjelasan dari pemilik Lopo tersebut akan sangat detail dan informatif untuk turis yang berminat. Lopo Raja Bana, begitu mereka menyebutnya. Saya pun berterima kasih dan melanjutkan kembali perjalanan saya menuju pusat Kota Kefa.

Tuesday, June 16, 2009

Pilih Hotel Atau Penginapan Di Kefamenanu

Sesak dengan barang bawaan yang banyak (beberapa barang tersebut bahkan saya tinggal di Kupang!), akhirnya saya memutuskan untuk mencari hotel terlebih dahulu. Ditambah lagi, saat itu waktu menunjukkan pukul 12 siang. Tidak ada yang lebih baik dilakukan selain berdiam di hotel menghindari udara panas. Daripada gosong plus pingsan di jalan? hahaha...Ada beberapa rekomendasi hotel yang dapat saya sarankan. Silahkan pilih dari beberapa daftar ini (dan ketersediaan mereka akan kamar dengan menghubungi telepon mereka dahulu).
Hotel Cendana, di Jalan Sonbay, adalah hotel yang paling saya rekomendasikan karena cukup bersih dan staffnya ramah dan dapat membantu.
Hotel Ariesta atau Hotel Aries, Jalan Basuki Rachmat, cukup bersih dan memiliki restoran yang lumayan.
Hotel Livero, Jalan El Tari, hotel terbaru dan termewah di Kefa. Hotel ini masuk kategori bintang dengan harga kamar terendah mulai dari Rp. 200.000 hingga RP. 550.000. Tampaknya Hotel Livero ini adalah hotel dan bangunan yang paling tinggi di Kefa. Berlantai 3, dengan gaya minimalis elegan, wajar apabila hotel ini mematok biaya setaraf hotel berbintang. Sebelum Hotel Livero ini terbangun, praktis, Kefa hanya memiliki sejumlah penginapan dan hotel tradisional. Sekarang, setelah hotel Livero ini terbangun, para pelancong dan sales/marketing (golongan yang paling umum mengunjungi Kota Kefa) tentu punya pilihan lagi.
Losmen Kasih, di Jalan El Tari, dekat dengan gereja yang baru dibangun. Cukup sepi (karena tidak tampak adanya kehidupan tamu atau staff di hotel tersebut) namun memiliki keuntungan berada di jalan raya.
Dan beberapa penginapan lainnya yang tidak saya masukkan daftar karena cukup sulit dihubungi untuk memastikan adanya kamar atau tidak. Saya malah curiga kalau-kalau hotel atau penginapannya sudah tidak beroperasi lantaran teleponnya sukar dihubungi atau nggak diangkat-angkat.
Dari sejumlah nama tersebut, saya mendapat rekomendasi terbanyak adalah Hotel Cendana yang terletak di Jalan Sonbay. Uniknya, Hotel Cendana dan Jalan Sonbay ini tidak memiliki sistem penomoran jalan sehingga secara kasar, apabila disebutkan "Hotel Cendana, Jalan Sonbay", orang harusnya sudah tahu dimana lokasi ini berada. Ini yang saya alami dengan pak ojek yang mengantarkan saya ke hotel ini. Begitu saya beritahu, “Hotel Cendana”, ia langsung tahu dan menyerahkan helm ke saya. Brummm...langsunglah ia mengantarkan saya.
Jalan Sonbay, adalah perpanjangan dari Jalan El Lake yang merupakan percabangan dari Jalan El Tari di depan pos polisi. Ternyata, dari lokasi saya turun, Hotel Cendana sudah tidak terlalu jauh dan dapat dicapai dalam waktu sekitar 15-20 menit berjalan kaki. Sayangnya, siang itu panas dan saya membawa barang bawaan yang banyak sehingga hanya satu keinginan dan cita-cita saya, sampai di hotel, check in dan beristirahat. Fiuh...
Jalan Sonbay adalah jalan yang sepi, sungguh tidak terbayang ada hotel disini. Namun, seusai melewati pompa bensin besar, rumah-rumah penduduk dan ladang jagung serta sekolahan, Hotel Cendana pun tampak. Bangunan hotel ini sekilas mengingatkan kita akan sekolah-sekolah jaman dahulu. Ada dua buah papan terpisah yang bertuliskan “Selamat Datang” dan “Di Hotel Cendana”.
Ada sekitar 28 buah kamar di Hotel Cendana, terbagi menjadi ekonomi, penyejuk udara dan air panas. Lobby Hotel Cendana mengingatkan kita pada ruang-ruang tamu keluarga di era 90-an. Sofa berjajar mengikuti kontur dinding dan kemudian di belakang meja resepsionis, terdapat satu buah karpet besar tergantung dengan gambar perjamuan kudus malam terakhir. Di lobby ini terdapat sebuah televisi dan dua buah kamar tipe keluarga. Lanjut lagi ke areal yang lebih dalam, terdapat sebuah taman dengan kamar-kamar mengelilingi taman tersebut. Selain kamar, ada pula kamar mandi staff, dapur dan ruang cuci. Kamar Ekonomi (kamar nomor 9 yang saya tempati) berharga Rp. 75.000 dengan fasilitas tempat tidur single dua buah (untuk dua orang), kamar mandi dalam termasuk toilet serta kudapan kecil sepanjang hari dan sarapan. Kamar di atas ekonomi, memiliki fasilitas penyejuk udara, harganya Rp. 100.000. Untuk tambahan fasilitas air panas, harganya menjadi Rp. 140.000. kamar keluarga juga seharga demikian. Areal depan Hotel Cendana sedang dalam renovasi dan pihak pengelola bermaksud menambah sejumlah kamar VIP di bagian depan.
Untuk hotel dengan 28 kamar, staff yang bekerja hanya dua orang! Cukup mengagetkan karena mereka tinggal di hotel namun bekerja hampir 24 jam. Saya kenal dengan kedua staff Hotel Cendana yang baik dan ramah tersebut. Walaupun terkadang, mereka masih memiliki waktu untuk bersenda gurau dan berbincang-bincang, namun kesiapan mereka untuk melayani hampir 24 jam patut diacungi jempol.
Berhubung kamar saya tidak memiliki televisi, maka yang saya lakukan adalah berbincang-bincang dengan staff hotel ini. Cukup menyenangkan, sambil menemani mereka memilih beras atau mencuci, saya bisa mendapat pengetahuan tentang Kota Kefa dan Timor, mendapatkan informasi tentang objek-objek wisata di sekeliling kota dan produk tenunan terbaik di Timor Tengah. Pada malam hari, ketika sebagian besar tamu-umumnya adalah sales dan marketing-sudah kembali ke kamar masing-masing, (saya sudah katakan sebelumnya, tamu yang berprofesi sebagai pelancong murni akan menguncang reaksi tanda tanya disini karena umumnya Kefa dijadikan kota tempat tujuan berbisnis) hotel menjadi ramai. Beberapa diantara mereka duduk di teras di depan kamar masing-masing, sambil mengobrol, merokok dan makan, mereka akan mengajak mengobrol. Suasana ini sangat hangat dan akrab serta tidak pernah saya dapatkan di hotel-hotel lain. Bahkan, seandainya saya tidak memaksakan diri untuk tidur, mungkin tamu dan staff akan menemani saya mengobrol hingga pagi. Pengetahuan saya akan Timor dan Kefa bertambah sangat pesat. Terlebih, beberapa diantara tamu lain ada yang merupakan pengusaha. Jadi, mendengar cerita mereka tentang kiat usahanya, juga merupakan cerita yang asik untuk disimak. Sembari mengobrol, saya ditawarkan kopi atau teh oleh staff hotel tersebut. Ingat, teh disini adalah teh manis. Masih ingat anjuran saya tentang konotasi teh di Tanah Timor bukan? Teh adalah teh manis. Kalau mau yang tanpa gula, sebut teh tawar. Sembari mengobrol, saya menyeruput teh manis dari hotel. Esok paginya, sarapan pun tersedia untuk mereka yang menyewa kamar. Beberapa buah kue kering, telur rebus utuh (ini yang agak mengejutkan karena saya tidak terbiasa sarapan telur rebus utus namun di Timor, ini adalah hal yang tampaknya sudah umum) dan segelas kopi atau teh manis sesuai dengan pilihan. Kalau anda datang ke Kefa, bolehlah menginap di Hotel Cendana dan rasakan keramahan para staffnya. Coba untuk memastikan ketersediaan kamar anda karena bisa saja ketika anda sampai, hotel sudah terisi penuh. Sayang sekali, bukan? Telepon Hotel Cendana di (0388) 31168

Monday, June 15, 2009

Pakai Jasa Ojek di Kefamenanu

Ketika anda turun di lampu merah tengah kota, umumnya beberapa tukang ojek akan menyerbu anda. *GLEG* Saya sampai pusing dikelilingi oleh tukang ojek. Rasa mual karena saya baru saja mengeluarkan isi perut saya, dicampur dengan saya belum tahu harus berjalan ke arah mana, dan siang yang panas, membuat saya menjadi pusing. Oh yah, Untuk lima jam perjalanan dari Kupang ke Kefa Menanu, saya harus membayar Rp. 40.000.*ada yang bilang, ongkos ke Kefa dari Kupang Rp. 30.000...apakah saya kena tipu? dari So'E ke Kefa kan jauh banget!*
Apabila anda tidak pusing, segera tentukan lokasi tujuan anda di Kefa ini. Apabila yang anda tuju adalah hotel, sayangnya tidak semua hotel memiliki akses transport yang baik. Hotel Livero dan Losmen Kasih yang terletak di jalan raya utama mungkin dapat dicapai dengan angkot utama, namun beberapa hotel yang agak ‘dalam’ membutuhkan angkutan seperti ojek. Estimasi jarak tempuh anda dengan ojek ke lokasi tujuan (umumnya hotel di seputaran Kefa), maka anda hanya butuh biaya Rp. 3.000. (Kayaknya kalau anda lokal, anda bisa dapat Rp. 1.500 hingga Rp. 2.000) Silahkan tawar apabila mereka mematok harga tinggi. Ini biasanya terjadi karena mereka mengira anda wisatawan berkantung tebal. Berhubung banyak pak ojek yang mengerubungi, ini kesempatan anda untuk menawar harga terendah untuk mencapai lokasi tujuan. Manfaatkan kesempatan ini. (itu, jangan lupa, kantong muntahnya dibuang di tong sampah terdekat...hehehe)

Saturday, June 13, 2009

Kota Kefamenanu

Kefa Menanu atau Kefa, bukanlah kota yang besar. Dalam buku-buku petunjuk wisata, peta Kefa sangat jarang dicantumkan yang mungkin memang disebabkan oleh tidak terlalu lebarnya kota ini. Dalam satu hari, dengan berjalan kaki pun saya bisa mengelilingi kota ini sampai habis. *beneran, dari ujung ke ujung bisa ditempuh dalam waktu sehari ajah* Walaupun kecil, kegiatan utama kota ini tidaklah stagnan. Kotanya ramai dan hidup juga loch. Cukup banyak toko, rumah makan, hotel yang beroperasi di jalan raya utamanya. Dua pompa bensin besar baru saja dibangun di Kefa ini (terlihat jelas dari fisik bangunannya yang masih bersih). Tanda konsumsi bensin disini tinggi juga kan? Toko yang terdapat di Kefa antara lain toko alat tulis, pangan dan kebutuhan sehari-hari, kendaraan bermotor, bengkel, (bengkel banyak loch disini) plastik, pakaian hingga salon dan jasa penjualan tiket. Sejumlah hotel juga telah lama beroperasi di kota ini. Hotelnya sendiri mulai dari yang sangat tradisional hingga modern yang baru saja terbangun, ada di kota ini.
Secara kasar, Kota Kefa Menanu ini terlihat bagaikan punggung bukit yang dibelah/dipotong untuk diletakkan sebuah jalan raya yang panjang dan di sekelilingnya dijadikan kota. Masih tampak di beberapa sudut bangunan dinas pemerintahan, dimana bagian belakangnya merupakan potongan bukit atau bukit yang dipenuhi dengan tanaman-tanaman lebat. Kota yang cukup asri namun suhu udara tidak terbantu banyak dengan kondisi alamnya yang demikian. (Kefamenanu panas, nggak dingin seperti yang saya bayangkan).
Kefa Menanu, terkenal dengan pengaruh Katoliknya yang amat kuat. Oleh karena itu, tidak heran apabila anda akan melihat sejumlah gereja yang bagus dan unik di beberapa lokasi di kota ini. Sejumlah objek wisata juga dapat menjadi pilihan anda ketika anda berkunjung ke Kefa. Pusat kota ini berada di sekitar jembatan masuk Kefa Selatan hingga pos polisi di ujung Jalan El Tari. Walaupun kecil, Kefa pun memiliki rumah tahanan, rumah potong hewan dan kantor bupati yang megah. Satu jembatan kerangka yang cukup baik juga berdiri menghubungkan pertigaan Kefa Selatan dan Maubeli. Jembatan ini menjadi poros utama Jalan Trans Timor sekaligus sebagai jalan raya utama kota. Di sisi jembatan, terdapat sisa-sisa tanggul yang terbuat dari batu-batuan yang kokoh yang tampaknya merupakan sisa dari jembatan terdahulu. Setelah tidak terpakai, fondasi penahan jembatan lama dibiarkan begitu saja dan justru menjadi unik (bisa buat foto-foto!) karena fisik fondasi yang terdiri atas bebatuan tersebut. Bahkan, jalan lama yang melintasi jembatan tersebut masih ada dan tertutup semak dan pepohonan.
Seperti halnya wilayah Timor Tengah, daerah ini tidak terlayani oleh provider selain Simpati dan As. Sinyal XL saya mati sama sekali ketika berada di kota ini. Belum punya kartu dari Telkomsel? Jangan kuatir, ada beberapa toko yang menjual perdana dan voucher di kota ini. Anda tidak akan terputus dari jaringan komunikasi. Walaupun saya melihat beberapa poster Indosat, namun saya tidak berani coba-coba sebab inilah kartu yang disarankan oleh rekan saya apabila ingin tetap ‘hidup’ di pedalaman Timor. Hihi...berkesan seram yach? Selain itu, Kota Kefa juga memiliki masalah dengan kelistrikan. Beberapa bagian kotanya belum memiliki penerangan yang baik. Kota ini juga sering terkena pemadaman bergilir. Pernah pada suatu malam saya melewati Jalan Sonbay dan Jalan El Lake yang ternyata tidak memiliki lampu penerang jalan sama sekali. Saya bagaikan berjalan di tengah-tengah hutan yang gelap. Hanya sesekali lampu sorot dari motor atau mobil yang melintas yang sedikit bisa meringankan rasa takut saya. Saya benar-benar berjalan di dalam kegelapan total. Gelap gulita. Kanan kiri saya pepohonan lebat, kebun dan sesekali baru berjumpa rumah penduduk yang sama-sama gelap gulita juga. Penduduk kota ini tampaknya sudah sangat terbiasa dengan pemadaman yang dalam seminggu bisa terjadi beberapa kali.
Walaupun terletak di tengah-tengah dataran tinggi Timor, Kefa Menanu tidaklah berhawa dingin. Anda tidak perlu syal atau jaket di sini. Dengan ketinggian kurang lebih 400 meter di atas permukaan laut, walaupun dikelilingi oleh bukit-bukit yang hijau, anda tidak akan merasa kedinginan, bahkan pada malam hari (waktu kunjungan saya adalah bulan Januari). Duh, ngeberat-beratin aja dech bawa-bawa syal. Kelebihan dari Kota Kefa adalah kebersahajaan penduduknya. Dalam perjalanan saya ke Kefa, saya beberapa kali berinteraksi dengan penduduknya. Mungkin karena tidak terlalu besar, namun justru keramahan orang Kefa justru paling tiada duanya. Pernah saya ditanya “mau kemana, ko?” oleh seorang gadis ketika ia melihat saya sedang memegang selembar kertas seperti peta. Padahal, gadis tersebut sedang terburu-buru dijemput oleh temannya. Namun gadis tersebut dapat menjelaskan dengan baik lokasi tujuan saya. Ketika ia buntu dalam penjelasan, ia pun bertanya pada rekan-rekannya untuk membantu menambahkan informasi apapun yang sekiranya saya butuhkan. Mantep! Di dalam kendaraan yang akan kembali membawa saya ke Kupang pun, saya berbincang-bincang dengan seorang Ibu asal campuran Manado dan Ambon yang telah lama menetap di Kefa namun kerap ke So’E untuk mengunjungi anaknya. Ia menjelaskan bahwa tinggal di Tanah Kefa adalah suatu kebaikan untuk dirinya. Ia merasa sangat bersahaja dan bahagia tinggal di Tanah Kefa ini, terutama karena keramahan warganya. Saya pun mengobrol dengan ibu tersebut dan bertukar informasi terntang rencana perjalanan saya. Ia bahkan memberi saya bonus informasi tenun terbaik yang ada di Tanah TTU. Ketika saya turun di Niki-Niki, ia pun mengucapkan salam dan mengucapkan berkat untuk saya dan pekerjaan saya. Ibu yang baik hati. Jadi sayang sama si Ibu. hehe... Sungguh menyenangkan bukan? Walaupun tidak sempat mengenal namanya, namun hal-hal ini yang langsung membuat saya meleleh dan jatuh cinta terhadap Kefa.
Penduduk di beberapa lokasi senang sekali dengan pendatang, walaupun tampaknya jarang sekali turis mengunjungi Kefa Menanu. Hal ini saya sadari ketika mereka menanyakan apa profesi saya dan kebanyakan mereka tidak percaya ketika saya bilang “berpesiar, ne!”. Walaupun demikian, beberapa kali mereka berpose untuk minta difoto oleh saya yang memegang kamera. Saya malah senang, karena ini bisa menjadi jalan masuk untuk berbincang-bincang leluasa dengan penduduk lokal. Pak supir ojek dan abang penjual ikan, semuanya tidak luput ingin difoto. Petugas keamanan kota alias polisinya pun serupa dalam hal kebaikannya. Ketika saya menanyakan suatu alamat, mereka dengan senang hati menjelaskan dengan detail termasuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Ada yang sampai menggambarkan peta jalan yang harus dilalui. Ada pula yang menawarkan untuk mengantarkan saya. Sayangnya, kebaikan hati polisi tersebut untuk mengantarkan, saya tolak karena saya ingin berjalan kaki di Kota Kefa. Adakah alasan lain untuk tidak jatuh cinta dengan kota ini?
Hal yang agak kurang menyenangkan saya alami juga walaupun saya hanya berada dua hari di kota ini. Ketika melintas di trotoar yang masih merupakan bagian dari jalanan, saya pernah disalak dan dikejar anjing, hingga dua kali! Entah mungkin ajing-anjing tersebut tertarik dengan saya, bau saya, atau mereka bisa mengendus pendatang? Yang jelas, saya tidak masuk ke dalam area privat seperti pekarangan rumah, namun anjing tersebut menyalak dan mengejar saya. Heran dech! sampai-sampai ada beberapa penduduk lokal yang tertawa melihat saya kaget dan panik seperti itu. haha...Yang dapat saya lakukan adalah menggunakan payung yang saya pegang untuk menakut-nakuti anjing tersebut. Ketika anjing tersebut tidak mau beranjak, saya pura-pura berbalik untuk mengambil batu dan pura-pura menimpuknya (saya tidak berani sampai menimpuk anjing tersebut, takut pemiliknya marah. Kalau sampai mati disambit kan berabe...hehe). Untungnya beberapa kali dilakukan, anjing tersebut sudah tidak seribut tadi. Saya lanjut kelilin Kefa lagi.

Friday, June 12, 2009

Sekelumit Tentang Timor Tengah Utara

Timor Tengah Utara, adalah bagian dari Dataran Tinggi Timor dengan mayoritas warga suku Atoni dan sebagian Tetum Terik (karena berbatasan dengan wilayah Belu). Fisik sih kayaknya gak beda jauh yach, tapi yang cukup berbeda adalah bahasa yang digunakan. Uniknya, antara Atoni atau Tetum Terik bisa saling mengerti bahasa lainnya. Timor Tengah Utara juga berbatasan langsung dengan Ambeno (enclave Timor Leste di sebelah barat laut) dan Laut Timor di utara. Tinggi permukaan wilayah Timor Tengah Utara secara umum lebih rendah dibanding wilayah selatan. (ini menjelaskan mengapa wilayah ini nggak sedingin So'e). Penduduk Timor Tengah Utara memiliki rumah tradisional yang disebut dengan Lopo. Sonaf adalah bentukan lain dari Lopo, memiliki tiang penyangga sebanyak satu buah. (informasi ini saya dapatkan dari Raja Bana di Kefamenanu. Di beberapa tempat lainnya, tampaknya definisi antara sonaf maupun lopo sedikit tertukar. Tapi yang jelas, Sonaf adalah istana). Timor Tengah Utara terkenal memiliki kualitas tenun ikat terbaik di seluruh daratan Timor Barat. Sebutlah Tenun Insana, Miomaffo dan Biboki yang memang ketiganya adalah daerah penghasil tenun ikat di Timor Tengah Utara (TTU). Apabila anda mencari tenun ikat, boleh lah anda berkunjung ke Pasar Maubesi, lokasi dimana tenun paling sering dibawa oleh penenun langsung. Para pengrajin sudah cukup biasa membawakan produk kerajinan mereka ke pasar ini. Anda bisa memilih-milih tenunan dengan motif yang cocok di pasar ini, tentu dengan harga bersaing. Ada juga Oelolok yang terkenal karena tenunannya dan juga Tamkessi yang terkenal karena teguhnya desa ini memegang adat istiadat desa mereka hingga hari ini. Ibukota dari TTU adalah Kota Kefa Menanu atau yang lebih sering disingkat menjadi Kefa saja. Kota Kefa adalah kota terkecil dari empat kota terbesar yang ada di Timor Barat. Kota Kefa hanya terdiri atas jalan utama yang lurus dan jalan paralel lain yang mengikuti jalan raya utama tersebut. Sehubungan dengan lokasi wilayahnya, Kefa Menanu adalah lokasi pusat penyebaran agama Katolik terbesar di Timor Barat. Kenapa? Ketika Portugis pertama kali mendapat di Oecussi, mereka melintas jalan darat dari sana hingga Timor Timur sambil menyebarkan agama Katolik. Jelas donk yach, mengapa Kefa yang berada di perlintasan tersebut menjadi pusat agama Katolik terbesar di Timor Barat. Kehidupan di Kefa pun hingga hari ini bersahaja dan hangat. Saya mengalaminya ketika berkunjung ke Kefa dan dalam sekejap langsung jatuh cinta kepada kota ini karena keramahan yang ditawarkannya memang tulus. Siap untuk berkeliling Kefa?