Thursday, July 30, 2009

Sekilas Sumatera Barat

Ranah Minang, begitu masyarakat Indonesia menyebutnya. Siapa sich yang nggak kenal dengan Sumatera Barat (Sumbar)? Hampir semua orang Indonesia tahu akan Sumatera Barat. Mau coba bukti? Perhatikan deh, sampai pelosok-pelosok wilayah Indonesia pun anda akan menemukan Restoran Masakan Padang. Makanan Padang itu sendiri sangat khas dengan cabai, pedas, gulai dan santannya. Ya, jangan-jangan inilah salah satu jenis kuliner yang paling populer tersebar di seluruh Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dari Nemberala sampai Miangas. Walaupun tidak selalu berasal dari Padang, namun masakan ini sudah terkenal dengan nama Masakan Padang, bukan dengan nama kota lainnya di Sumbar. Intinya, segala sesuatu yang menggunakan santan, bergulai, dimasak balado, dan ada jeroannya pastilah langsung dinamakan Masakan Padang. (bukannya Masakan Bukittinggi, Masakan Payakumbuh, Masakan Solok atau Masakan Agam, dst)
Terletak di tengah-tengah pulau Sumatera, Ranah Minang (tentunya karena penduduknya sebagian besar bersuku Minang) memang cantik. Wilayah yang terletak di ‘punggung’ Bukit Barisan ini sangat tersohor akan kecantikan alam dan destinasi wisatanya. Ranah Minang masuk dalam sepuluh besar destinasi wisata utama di Indonesia. Dikaruniai dengan deretan gunung berapi, danau kawah, bukit dan tanah yang tidak rata, Urang Minang boleh berbangga karena dengan kontur alam yang sedemikianlah mereka dapat menyambut tamu-tamu dari luar untuk berkunjung ke ranah mereka. Pasti, dijamin kita yang bakunjuang kesini bakalan berdecak kagum tiada henti di setiap titik sudut wilayah ini. Menakjubkan dan bener-bener liburan sejati!
Beribukota di Padang, wilayah ini menawarkan berbagi pesona bentangan alam yang tiada duanya di Indonesia. Mau lihat lembah, air terjun, danau, pantai, gunung berapi, bukit, hutan dan kekayaan budaya dalam satu hari? Anda harus berkunjung ke Ranah Minang! Semua kekayaan bentang alam itu memang tersedia disini dan hampir bisa dicapai dalam waktu satu hari perjalanan saja. Mau lihat pantai, silahkan ke pantai barat Sumatera. Kalau mau liat perbukitan dan gunung, mainlah ke dataran tinggi di jantung wilayah ini. Nggak susah mau cari objek wisata di tempat ini. Seakan-akan, hampir semua tempat adalah objek wisata. Yang asik di tempat ini memang pemandangan alamnya yang tentu akan menyegarkan jiwa kita setelah penat dengan segala keruwetan hidup. Yuk, rencanakan perjalanan anda ke wilayah ini. Hampir semua maskapai punyai jadwal penerbangan atau pelayaran untuk sampai di tempat ini loch. Cobain juga donk masakan Padang di tempat aslinya. Rasakan bedanya.

Saturday, July 25, 2009

Sebelum Ke Sumatera Barat

5 Hari! Adalah waktu yang saya punya untuk melakukan maraton perjalanan selama kunjungan di Sumatera Barat. Tidak tepat 5 hari karena pesawat yang akan membawa saya dari Jakarta ke Padang baru tiba sore hari. Alhasil, saya tiba di Padang pada malam hari. Praktis, waktu yang tersisa bagi saya hanyalah 4 hari dan 4 malam saja. Mau melihat apa di Sumatera Barat selama 4 hari dan 4 malam?
Sumatera Barat memang bukanlah rute wisata yang tidak umum. Sudah banyak rute wisata yang berkeliling tempat ini dan bisa memberikan rekomendasi kepada saya. Sumatera Barat memang dikaruniai dengan kecantikan fenomena alam disertai dengan lokasi yang tidak terlalu berjauhan antar objek wisata. Bukan hal yang cukup sulit untuk berwisata ke Sumatera Barat. Dari sekian jumlah teman anda, paling tidak pastinya ada satu atau dua yang pernah berjalan-jalan ke tempat ini. Coba dech, korek-korek informasi akan tempat ini dari mereka. Biasanya, akan muncul satu atau dua hal yang sangat menarik dan tidak dapat anda temukan pada rekomendasi oleh teman anda yang berbeda. Misalnya, teman A makan di tempat A dan teman B makan di tempat B di dalam kota yang sama. Keduanya mengklaim kedua jenis makanan tersebut enak! Pusing memilihnya kan?
Waktu 5 hari yang saya peroleh untuk mengelilingi Sumatera Barat pun tidak terasa cukup pastinya. Ada banyak sekali objek wisata yang tidak akan dapat saya sentuh karena keterbatasan waktu. Berhubung luasnya wilayah ini, saya yakin, saya hanya dapat mengeksplorasi sebagian kecil objek wisata saja. Itupun pada umumnya termasuk objek wisata yang umum dan terkenal. Buat anda pelancong pertama Sumatera Barat, anda wajib mengunjungi lokasi-lokasi utama ini. Sekedar mengesahkan bahwa anda sudah pernah menjejakkan kaki di Tanah Sumatera Barat. Apabila anda datang lagi ke Sumatera Barat untuk kali kedua atau ketiga, anda bisa coba objek wisata yang tidak umum dan sedikit ‘tersembunyi’ guna menikmati keasrian alamnya yang pastinya lebih terjaga.
Berhubung budget kita terbatas, maka perjalanan ini bukanlah perjalanan bermewah-mewah yang anda idam-idamkan namun menguras kantung. Kegiatan wisata ini bisa dilakukan siapa saja asalkan mempunyai dana cukup dan waktu untuk memastikan segalanya berada tempatnya. Lupakan hotel berbintang-bintang atau bermelati-melati. Buat saya, sepanjang kasurnya nyaman dan cukup bersih, saya bisa tertidur dengan nyenyak biar besoknya seger kembali dan siap untuk berjalan-jalan. Penginapan benar-benar difungsikan sebagai tempat untuk tidur saja. Siap Berkeliling Ranah Minang sama saya? Yuk...Mari!

Thursday, July 23, 2009

Pengalaman PDKT sama internet

Perkenalan saya dengan dunia internet pertama kali terjadi sekitar tahun 1996. Waktu itu saya masih kelas 6 SD. Saya kenal internet dari sebuah kolom biodata. Itu loch, sebuah buku fancy yang di dalamnya ada kolom-kolom data diri untuk diisi teman-teman sekelas. Biasa donk, ada nama, alamat, tempat tanggal lahir, telepon dan yang terakhir e-mail. Saya tidak menemukan kesulitan apapun waktu mengisi empat data pertama. Namun, pada saat mengisi kolom e-mail, saya berpikir keras. Apakah e-mail itu? Tampaknya ini sesuatu yang berteknologi canggih. Begitu pikir saya. Karena nggak ingin terlihat gaptek (Anak kelas 6 SD sudah ingin tidak terlihat gaptek, bayangkan!) saya mengisi data ini dengan sesuatu yang tampaknya pernah saya lihat di iklan-iklan majalah. Saya mengisi www.lomardasika.com. JRENGGGGG!
Perkenalan saya dengan internet berikutnya terjadi beberapa tahun sesudahnya. Tepatnya sekitar tahun 1998. Pada tahun ini, saya sudah menyadari penuh kekeliruan yang pernah saya perbuat pada tahun sebelumnya. Saya menyadari bahwa www.lomardasika.com bukanlah alamat e-mail. Tidak ada alamat e-mail satu pun di dunia ini dengan format demikian. Yach, maklum toh, namanya juga anak kelas 6 SD yang sok-sok nggak mau dibilang gaptek. Akhirnya, karena sok tahu malah jadi kelihatan gapteknya. Hehehe….
Saya mencoba internet pertama kali dari warnet yang dibuka di dekat rumah saya. Saya masih ingat betul, tarif internet pada masa itu RP. 6.000 per satu jam. Jaman itu, flash disk belum populer (atau bahkan belum ditemukan!). Yang populer saat itu tentu saja floppy disk 3½ inch berkapasitas 1,44 MB. Kalau punya uang lebihan (dalam artian berjuta-juta) bisa membeli MO Disk. MO Disk ini memiliki drive sendiri yang bisa dibawa-bawa dan disket khusus yang kapasitasnya pada waktu itu kalau tidak salah mencapai 500 MB-an. Penggunaan MO disk cukup mudah. Hanya dengan mencolokkan kabel USB saja, MO disk sudah dapat digunakan. Pada waktu itu, MO Disk adalah sangat mengagumkan. Saya sampai terbawa-bawa mimpi ingin memilikinya! Teknologi CD-R sama sekali tidak populer saat itu. Penyebabnya karena perangkatnya yang mahal dan tidak portabel.
Saya mengalami saat-saat frustasi harus membawa berpak-pak disket untuk mendownload data dari warnet sebelum dipindahkan di rumah. Sesampainya di rumah, tidak pernah ada jaminan bahwa data tersebut sampai di rumah sampai selamat. Biasanya, dari sekian puluh disket, ada satu atau dua yang datanya tidak bisa dibuka di rumah. Disket tersebut malah meminta kita untuk memformatnya. Yang lebih parah, disket-disket tersebut tampaknya tidak berumur panjang. Entah setiap berapa bulan sekali, pasti koleksi disket saya menipis sehingga saya wajib membeli berkotak-kotak disket baru agar saya tetap bisa melakukan aktifitas saya. Selain tidak kembali karena dipinjam, disket-disket tersebut tampaknya mengalami apa yang disebut dengan jamuran dan corrupt. Walaupun saya membeli disket yang lebih ‘bagusan’ yang transparan dan warna-warni, namun kualitas yang ditawarkan tampaknya sama saja. Jaman itu benar-benar jaman boros. Uang yang saya keluarkan untuk membeli disket tampaknya sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Munculnya flash disk untuk pertama kalinya pada jaman itu sama sekali bukan solusi. Flash disk pertama yang muncul berkapasitas 16 Mban dengan harga jual juta-jutaan. Belum lagi, flashdisk tersebut meminta kita unstuk menginstall driver setiap kali kita mencolokkan di komputer manapun. Satu kata : melelahkan!
Kembali ke masalah e-mail, setelah menyadari kesalahan saya, saya pun berniat membuat satu alamat e-mail yang valid agar tidak terlalu malu-maluin. Pilihan e-mail pada masa itu menakjubkan. Selain e-mail gratisan standard yang cukup terkenal pada masa itu, sebut saja Yahoo!, Hotmail, Lycos, Angelfire, dan Eudoramail, ada banyak e-mail – e-mail lain yang menarik untuk dicoba. Tentu, saya nggak berniat membuat e-mail di tempat-tempat standard tersebut. Selain ingin ‘unjuk gigi’ dengan keunikan, saya ingin sekreatif mungkin membuat e-mail baik dari segi nama, maupun dari segi domain. Pilihan saya waktu itu jatuh ke Usamail. Kenapa saya pilih Usamail waktu itu, sekarang pun saya nggak bisa jawab. Itu merupakan misteri. Yang jelas, waktu itu saya memilih Usamail. Hehehe…nama yang waktu itu saya pilih sebenernya cukup panjang dan kampungan sampai saya tidak berniat mencantumkan kembali e-mail tersebut sama sekali disini. Intinya, saya menggabung-gabungkan nama artis favorit saya sehingga mendapatkan sebuah nama unik yang bisa saya banggakan (kalau sekarang, saya pasti muntah dengan alamat e-mail ini. Bener-bener malu-maluin. Hehe…). Format alamat e-mail saya ini kurang lebih seperti ini : namaartis_namaartis_namaartis_namaartis@usamail.com. Kebayang nggak repotnya mencatat alamat e-mail saya ini? Hehehe…Maklum, waktu itu saya ngefans banget sama artis ini sehingga semua unsur yang ada di namanya saya jadikan alamat e-mail saya. Kalau sekarang, walaupun masih ngefans, tapi saya nggak berniat sama sekali menjadikan unsur-unsur dari namanya untuk dijadikan alamat e-mail saya. Nggak banget! Kalau sekarang, tentu selain malu-maluin, alamat e-mail ini juga sangat panjang dan tidak praktis untuk dicatat apalagi diingat! Mudah-mudahan teman masa lalu saya sudah nggak ada yang ingat e-mail saya yang satu ini.
Perjalanan saya berpindah-pindah domain masih terus berlanjut hingga beberapa kali. Salah satu domain yang saya pakai cukup lama sebagai pengganti Usamail (setelah sedikit sadar bahwa e-mail tersebut ‘agak’ norak) adalah Doramail (bukan Eudora loch yach!). disini, saya sudah menyadari kesalahan saya dengan menggunakan nama yang terlalu panjang. Saya mencoba menggunakan nama yang agak pendek disini. Sekali lagi, nama ini masih mengandung unsur artis kesayangan saya. Dan tolong, anda tidak bisa membujuk saya untuk menuliskan e-mail tersebut disini. Hehehe…
Alasan saya memakai Doramail adalah e-mail ini bernuansa Doraemon. Saya suka dengan Doraemon. Tampilannya tentu sudah banyak berubah dengan kali terakhir saya gunakan. Namun, tetap, unsur Doraemon masih menyertai tampilan halaman e-mail ini. Cukup lama saya menggunakan e-mail ini dan saya cukup percaya diri menggunakannya lantaran namanya sudah tidak senorak pendahulunya. Belakangan, entah mengapa kinerja Doramail seperti menurun. Aksesnya luar biasa lambat (kalau dipikir wajar saja, elemen halamannya sangat banyak, ditambah dengan gambar-gambar tokoh-tokoh Doraemon disana sini) dibarengi dengan kapasitasnya yang masih di seputaran 4 MB (bayangkan!). Akibatnya saya kerap tidak bisa menerima e-mail karena e-mail saya cepat penuh dengan spam sementara menghapus e-mail di doramail adalah pekerjaan yang cukup sulit karena tidak tersedia fitur untuk menghapus semua e-mail. E-mail harus dihapus satu persatu. Spam pun menjadi hal yang menyebalkan, banyak sekali bentuk penawaran spam seperti video porno, viagra, tiket undian dan banyak lainnya. Saya kerap kali juga mengalami gagal kirim e-mail di Doramail. Entah apa sebabnya yang jelas teman-teman saya tidak bisa menerima sejumlah e-mail yang saya kirimkan. Terakhir, Doramail itu sendiri kalah pamor dengan Eudoramail. E-mail saya kerap ditulis sebagai Eudoramail bagi teman-teman yang mencatat e-mail saya. Apa karena alasan ini banyak e-mail yang tidak sampai ke tempat saya? Karena alasan-alasan ini, akhirnya saya beralih ke Yahoo! (dimana, banyak teman-teman menyarankan saya agar berpindah kesini). Waktu itu Yahoo! Sudah menawarkan jasa e-mail gratis hingga 10 MB. Saya pun sudah cukup cerdas untuk menggunakan e-mail dengan nama asli saya saja. Selain tidak terlihat norak, e-mail dengan nama sendiri akan terlihat lebih elegan tentunya. Maklum, waktu yang sudah mendewasakan saya. Hehehe…Soal pengalaman gonta-gonta e-mail itu sendiri sebenarnya adalah suatu proses yang sangat panjang. Saya sempat berganti-ganti puluhan domain hanya dalam hitungan minggu bahkan hingga hari. Banyak unsur yang menyebabkan saya berpindah lagi ke lain hati. Namun, yang paling membekas di benak saya karena waktunya cukup lama berlangsung adalah di tiga tempat ini, Usamail, Doramail, dan Yahoo! Kayaknya segitu saja pengalaman yang saya mau bagikan soal pengalaman saya pertama kali mengenal internet. Soal pengalaman lainnya, lain waktu yaaaaa….
Mudah-mudahan, anda bisa memetik pelajaran dari kisah saya ini. Pesan moralnya adalah, gunakan nama anda sendiri sebagai alamat e-mail anda. Percaya dech, anda tidak akan pernah menyesal dan malu bertahun-tahun sesudahnya karena kenorakan anda. Hehehe…

Mengisi Perut Di Rumah Makan Pak Kumis, Cimareme

Tersesat di Cimareme dalam pencarian Saguling ternyata membawa sedikit keberuntungan juga. Dalam perjalanan pencarian arah jalan, saya menemukan sebuah rumah makan di Cimareme yang masuk kategori enak. Rumah makan tersebut bagaikan oase di tengah-tengah warung-warung pinggir jalan yang jenis makanannya tidak begitu menggiurkan. (Rumah Makan Pak Kumis 3, Jalan Raya Cimareme No. 272. Telp 022-6860629, dekat pertigaan arah Batujajar-Cimahi). Rumah Makan ini menjual berbagai makana khas Indonesia mulai dari nasi goreng, ayam bakar/goreng, sate, soto, pecel lele, tahu, tempe, mie goreng hingga seafood seperti ikan, udang, dan cumi-cumi. Harganya menurut saya sich gak mahal, malah cenderung murah. Padahal rumah makan ini besar dan fasilitas oke punya. Tempat duduk yang disediakan berjumlah puluhan (kayaknya ada seratusan). Suasana dalamnya cukup nyaman dan ada tv. Selain saya, ada beberapa rombongan keluarga dan anak muda. Kelihatan banget kalau tempat ini tidak terlalu ramai. Ingat rumah makan jaman dahulu kan? Atau rumah makan yang ada di pinggiran kota atau di jalur jalan raya antar kota. Yah, seperti inilah rumah makan ini. Yang mengejutkan dan membahagiakan, tentu saja harga makanan yang ditawarkannya sangat tidak mahal, malah cenderung murah. Misalnya saja nasi goreng Rp. 7.000, sate berkisar RP. 10.000, soto sekitar Rp. 6.000 dan ayam bakar/goreng Rp. 7.500. Murah meriah. Harga segini baru saya temui kalau saya jalan-jalan ke sekitar sekolahan atau kampus di Jakarta. Murah. Saya memesan ayam bakar dan langsung saja saya tidak kecewa. Ayam bakarnya oke punya dan pelayanannya juga cepat. Ada the gratis pula. Makin seneng dech. Soal minuman, aneka jus ‘Cuma’ seharga Rp. 4.500 mulai dari marqisa, alpukat, mangga, melon, nanas, jeruk, sirsak, dan tomat. Minuman lainnya tidak terentang jauh dari harga ini. Yang termahal hanyalah Fanta Susu Rp. 6.500 dan Es Marqisa Soda Rp.5.000. Yang termurah adalah Kopi dan Es Teh Manis Rp. 2.000. Menyenangkan. Sayangnya, pelayannya terutama si eneng kurang tahu arah jalan. Jadi, pas saya coba tanya, si eneng mengatakan tidak tahu namun kurang inisiatif untuk mencoba membantu dengan menanyakan ke staff lain yang mungkin tahu. Tapi lainnya sich OK.

Tuesday, July 21, 2009

Waduk Saguling

Waduk Saguling adalah satu dari tiga waduk yang membendung aliran Sungai Citarum. Dua waduk lainnya yang membendung Sungai Citarum berturut-turut adalah Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur. Walaupun air Sungai Citarum pertama kali dibendung di waduk ini, pada kenyataannya, waduk ini terbangun terakhir setelah dua waduk lainnya. Waduk ini juga menjadi sorotan karena tingkat pencemarannya yang tinggi. Sehubungan dengan tingginya aktifitas warga desa di waduk mulai dari penggunaan air untuk minum, masak hingga mandi, cuci, kakus maka waduk ini kerapkali disorot karena pencemarannya. Memang, air waduk disaring terus menerus dari Saguling, ke Cirata hingga Jatiluhur. Alhasil, tingkat pencemaran terendah adalah Waduk Jatiluhur di Purwakarta. Waduk ini juga agak berbeda dengan dua waduk lainnya karena wilayah cakupannya yang berteluk-teluk.
Sukar mencari informasi wisata tentang Waduk Saguling di internet atau di buku. Akhirnya, saya sampai harus survey sendiri ke lokasi untuk mencari tahu lokasi wisata ini. Waduk Saguling sebenarnya memang merupakan area wisata. Di pintu gerbang masuk utamanya di Rajamandala ada plang bertuliskan “Objek Wisata Saguling” dengan detail :
- Pemandian Air Panas 7 KM
- Bumi Perkemahan 21 KM
- Bendungan 20 KM
- Wisma Sangkuriang Lengkap
- Sarana Olahraga
Jadi, mengapa objek wisata ini tidak terekspos sama sekali dari dunia luar? Kita lihat kelanjutan cerita ini.
Sekitar 1 kilometer perjalanan melewati rumah-rumah penduduk sekitar, sampailah saya di percabangan antara Kantor PLTA Saguling dan pintu masuk waduk. Di pintu masuk yang berpalang rendah, saya diberhentikan oleh satpam. Di pos satpam tersebut ada dua orang polisi yang sedang duduk. Saya ditanya perihal kepentingan saya memasuki areal bendungan. Saya jawab “jalan-jalan”. Kemudian beliau meminta saya menepikan mobil saya dan saya diminta masuk ke pos satpam tersebut. Di pos satpam tersebut, saya diminta menunjukkan KTP saya guna dicatat identitas dan kepentingannya. Selesai, tidak ada tiket masuk atau pembayaran apapun. KTP yang dipinjam hanya satu buah saja, tidak semua peserta diminta menunjukkan KTP-nya. Bahkan saya bisa bertanya-tanya detail akan objek wisata di dalam waduk yang akan saya kunjungi. Yang mengejutkan, beliau menjawab, jarak bendungan masih jauh. Kalau mau yang dekat, paling pemandian air panas saja. Selesai proses administrasi yang cenderung lebih menyerupai kunjungan ke kantor daripada objek wisata, saya kembali ke kendaraan dan memasuki wilayah Saguling.Ternyata, apa yang tertulis di plang dan dikatakan oleh pak satpam tersebut adalah benar. Bendungan masih jauh sekali dari pos satpam yang ada di depan Rajamandala. Saya jadi berpikir, mengapa tidak membangun akses yang lebih mudah saja? Yang jelas, 20 kilometer yang saya lalui ini tidaklah mulus. Ada sebagian jalan yang amblas sehingga hanya tersisa satu setengah ruas jalan saja, ada yang tertimbun longsoran tanah sehingga tersisa satu jalur saja, banyak yang bopeng dan bolong, dan keseluruhan, jalanan yang saya lalui mendaki dan menurun curam tanpa adanya terlihat penerangan di sisi jalan. Saya nggak yakin mau berkunjung ke Saguling selepas malam turun. Saya nggak melihat adanya satupun lampu penerangan jalan (walaupun kabel listrik terlihat beberapa kali melintas). Adalah ide yang sangat baik untuk pulang dari tempat ini sebelum malam tiba.
Hampir seluruh wilayah masuk menuju bendungan adalah wilayah perbukitan yang tertutup dengan hutan dan semak-semak. Desa hanya tersisa di sebagian kecil wilayah dekat pintu air. Warung-warung penjual makanan kecil terdapat satu dua buah sepanjang perjalanan ini. Sekitar 7 kilometer dari pintu masuk, anda akan bertemu percabangan yang menuju ke pemandian air panas. Sayang, saya nggak sempat berendam karena mengejar kunjungan ke pintu air. Jalanan sebelum pemandian banyak yang longsor dan amblas. Anda akan bertemu banyak menara tegangan tinggi aliran listrik disini. Sementara itu, jalanan selepas percabangan pemandian mulai mendaki curam. Objek wisata yang dapat anda nikmati adalah Curug Bedil, sebuah air terjun kecil yang terletak persis di tepi jalan pada sebuah belokan. Pada putaran sebelum sampai di air terjun mini ini, anda akan berjumpa dengan kaki Curug Bedil ini. Objek wisata berikutnya yang terletak agak ke atas lagi dimana anda bisa melihat pemandangan seluruh perbukitan yang tertutup kabut adalah Tangki Pendatar Air (Surge Tank) yang jelas-jelas bukan objek wisata alam. Namun, bangunan tinggi besar yang masif seperti ini di tengah-tengah hutan tentu menarik untuk dijadikan objek berfoto. Bentuk bangunan yang tidak lazim serta unik, sangat menarik minat saya untuk berfoto di tempat ini. Tepat di seberang tangki ini, pemandangan perbukitan sekeliling bisa terlihat dengan jelas kalau kabut tidak menghalangi. Yang jelas, posisi tangki ini sudah di bagian bukit yang agak tinggi sehingga pemandangan sekitar bisa terlihat dengan leluasa. Selepas tangki, barulah anda akan bertemu dengan tonggak pembatas antara kawasan operasional waduk dengan Desa Saguling, wilayah Batujajar. Disini, anda akan melihat kembali rumah-rumah penduduk, lapangan bola, bahkan sekolah. Tidak lama sesudahnya, anda akan melihat areal perkantoran bendungan dengan Waduk Saguling sebagai latar belakangnya. Yak, anda sudah sampai di Waduk Saguling. Yang menyenangkan, udara selama perjalanan sangat mendukung. Cuacanya sejuk dan bahkan cenderung mendung. Uniknya, beberapa kali saya bertemu dengan sepeda motor yang mengenakan jas hujan dimana jas hujan yang mereka kenakan betul-betul basah kuyub. Saya sampai bertanya-tanya, akankah kita melewati air terjun dengan kendaraan? Saya juga mengamati, pengunjung waduk ini lebih banyak sepeda motor dibanding mobil. Ini mungkin berkaitan juga dengan leluasanya mobilitas sepeda motor untuk keluar masuk wilayah ini (ada beberapa area yang dipalang namun motor bisa melewati celah di palang tersebut). Apabila saya warga lokal, pasti dech, saya akan mempertimbangkan untuk menggunakan sepeda motor. Pasti mengasyikkan!Waduk Saguling, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya adalah wilayah berteluk-teluk. Waduk di satu sisi belum tentu waduk lagi di sebelahnya. Saya sendiri akhirnya hanya bisa masuk ke dalam areal sebuah taman yang tampaknya dalam perbaikan. Dari taman ini, saya hanya bisa melihat sebagian kecil wilayah waduk karena terhalang oleh perbukitan dan pepohonan. Waduk, tentu ada di seberang perbukitan tersebut. Kurang leluasa sich intinya. Walaupun demikian, wajah waduk cukup dapat terlihat dari taman ini. Saya bisa melihat air waduk yang tenang beserta pintu airnya. Airnya ternyata cukup bersih dan tidak seperti yang saya bayangkan. Sayang, tidak seperti Jatiluhur dimana terdapat perahu-perahu di pantai waduk yang akan membawa wisatawan ke tengah waduk, Waduk Saguling benar-benar menyerupai sebuah waduk sejati, terutama dengan dinding beton di sekelilingnya. Tidak ada interaksi antara wisatawan dengan air waduk. Hujan yang turun (tampaknya sudah turun berkali-kali di sini) mengacaukan kunjungan saya. Akhirnya saya berteduh di sebuah gorong-gorong besar di tengah taman. Gorong-gorong berwarna kuning ini bentuknya menyerupai deretan tapal kuda yang disusun sehingga membentuk terowongan. Ternyata, benda yang tadinya saya kira gorong-gorong adalah sebuah monumen penghargaan untuk para pekerja yang meninggal dalam pembangunan waduk ini. Mereka yang meninggal dalam periode tahun 1980 – 1984 (masa pembangunan waduk) tercantum dalam batu prasasti yang ada di depan bangunan tapal kuda tersebut. Bangunan tapal kuda tersebut sebenarnya menarik untuk dijadikan objek foto-foto. Tadinya, saya malah berpikir ini bagian dari pipa bendungan atau bagian dari alat PLTA yang tidak digunakan. Sayangnya, hampir keseluruhan bangunan, prasasti dan bagian dari taman ini habis tercoret-coret oleh grafitti yang dicoret oleh tangan-tangan usil. Kesannya, taman dan bangunan ini jadi kumuh tak terawat. Bahkan, beberapa nama sudah pudar, terhalang oleh grafitti yang lebih mencolok warnanya tersebut. Sayangnya, saya tidak memiliki waktu banyak untuk menyesalinya karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore lewat 11 menit. Awan mendung berat tergantung di langit di atas saya. Sebaiknya saya bergegas kalau tidak ingin terjebak malam di tengah gunung. Suatu hal yang saya sangat hindari. Dalam perjalanan pulang dan kedatangan tadi, saya sempat mencoba untuk mematikan AC dan membuka kaca jendela lebar-lebar. Maksudnya agar mobil kuat menanjak dan udara segar pegunungan bisa membersihkan paru-paru saya. Yang jelas, saya akan kembali lagi suatu saat nanti ke Saguling. Berharap ada lebih banyak lagi titik yang dibuka untuk kendaraan mobil. Pada waktu kedatangan saya saja, akses menuju bumi perkemahan tertutup dan hanya bisa dilalui oleh motor saja.

Saturday, July 18, 2009

Pencarian Waduk Saguling di Belantara Bandung Barat

Sungguh mengherankan mengingat luasnya belantara internet namun baru kali ini saya kecewa sama Om Google. Entah memang saya yang kurang tekun mencari atau memang tidak ada informasi yang memadai di belantara internet sana. Yang jelas, saya kecewa karena Om Google tidak bisa memberitahukan bagaimana caranya ke Waduk Saguling, termasuk detail dan data waduk tersebut. Memang, ada 3 waduk besar di Jawa Barat (Waduk keempat adalah Waduk Dharma di Kuningan). Waduk tersebut ialah Waduk Jatiluhur, Waduk Cirata, dan Waduk Saguling. Saya sudah pernah ke Waduk Jatiluhur, jadi pada waktu senggang kali ini, saya ingin berkunjung ke Waduk Saguling. Pertimbangan saya adalah Waduk Jatiluhur cukup panas walaupun dikelilingi oleh perbukitan-secara perbukitannya masih rendah. Saya sedang ingin berjalan-jalan ke tempat yang sejuk, dimana perbukitannya tinggi-tinggi. Mengherankan, selain waduk Jatiluhur, tampaknya nggak ada informasi yang bener-bener kompeten untuk bisa digunakan sebagai dasar perjalanan saya menuju ke Waduk Cirata dan Saguling. Frustasi, waktu sudah hampir mepet, saya nekad menerobos jalan tanpa tahu arah.
Kalau melihat di peta (saya sampai membuka peta besar Megapolitan dan peta kecamatan se-Indonesia), Waduk Saguling terletak di Bandung Barat. Lokasinya tertulis cukup jelas, Batujajar, Rajamandala. Namun, bagaimana caranya menuju kesana? Kalau lewat logika, jalannya hanya ada 3 :
1. Jakarta – Purwakarta via Tol Cipularang, lalu ambil jalan raya Purwakarta menuju Cimahi.
2. Jakarta – Padalarang via Tol Cipularang, keluar di Padalarang.
3. Jakarta – Cibubur – Cileungsi – Jonggol – Cariu – Ciranjang via Jalan Trans Yogi (Jalan raya biasa).
Sampai hari H pun saya masih belum bisa memutuskan melalui mana. Masalahnya, Waduk Saguling ini sangat luas, saya tidak tahu sebaiknya berhenti di titik mana agar posisinya paling mendekati pemandangan waduk. Tentu, ini diperparah dengan hampir semua sumber yang saya bisa percayai, mulai dari peta besar Megapolitan, peta Indonesia detail kecamatan, Lonely Planet Indonesia, Insight Guides, dan Periplus gagal memberitahukan kepada saya dimana letak waduk tersebut. Apakah waduk ini hampir tidak pernah dikunjungi orang? Koq saya jadi ragu-ragu yach?
Saya nekad melalui Jalan Tol Jakarta – Cikampek dan dilanjutkan dengan Cikampek – Padalarang dengan asumsi Waduk Saguling berada di Bandung Barat. Akses termudahnya harusnya di sekitar sini. Jangan lupa, selepas keluar dari Padalarang Barat (titik terakhir dari Cipularang), ambil arah Padalarang. Selepas tol Padalarang, anda langsung berhadapan dengan jalan raya bercabang. Satu ke Cimareme, satu lagi ke Cianjur/Jakarta. Saya sempat tersasar ke Cimareme walaupun dari Cimareme ada akses jalan menuju ke Desa Batujajar, desa tempat PLTA Waduk Saguling berada. Sayangnya, akses menuju ke Desa Batujajar dari Cimareme tidaklah mudah. Jalannya sempit dan kecil. Orang terakhir yang membuat saya memutarkan arah kendaraan saya adalah orang yang memberitahukan hal ini. Walaupun lebih dekat, tapi akses jalannya sama sekali tidak dianjurkan. Titik dimana saya tersasar adalah daerah Batujajar, tempat yang sama dengan pintu air Saguling berada. Parahnya, akses jalan yang buruk memisahkan jauh kedua tempat ini. Padahal, saya kira saya sudah sepelemparan batu dari pintu air Saguling. Yang menyebalkan, sepanjang jalan, tidak banyak orang tahu kemana saya harus mengambil arah agar bisa sampai di waduk. Beberapa diantaranya malah tidak tahu sama sekali akan waduk tersebut (please dech, kemana aja looo?!), sementara beberapa lainnya memberitahukan arah yang salah (yach, secara, Desa Batujajar adalah tempat Waduk Saguling berada, maka mereka pun menunjukkan Desa Batujajar, tanpa memikirkan aspek akses). Akhirnya saya tersasar ke Jalan Raya Batujajar beberapa kilometer sebelum ada yang memberitahukan arah yang ‘lebih baik’ aksesnya. Yang menyeramkan, di salah satu belokan ada tulisan sejenis suatu tempat militer dengan detail 1 kilometer dan “Kalau anda tidak yakin, sebaiknya jangan meneruskan perjalanan, berbalik arahlah!”. Maksudnya apa yach itu? Secara, jalanan tersebut adalah jalan raya umum. Namun, nggak bisa dipungkiri juga, tulisan itu bikin saya jiper karena tidak mengetahui apa yang akan saya hadapi di depan saya nantinya. Kembalilah saya ke arah pintu masuk tol Padalarang. Jadi, pelajaran yang bisa ditarik adalah, keluar dari Padalarang, JANGAN AMBIL Cimareme, namun langsung ke arah Cianjur/Jakarta.
Dari arah Cianjur, jalanan beberapa kali bercabang (termasuk percabangan ke Purwakarta). Jangan hiraukan percabangan, ambil selalu arah lurus. Jarak jalan dari pintu tol sampai ke Rajamandala memang masih cukup jauh. Sekitar 20 kilometer jauhnya. Jarak ini bisa ditempuh dalam waktu 1 jam karena kondisi jalan yang berbukit-bukit. Agar meyakinkan saya beritahu landmark yang akan anda temui. Tentu, biar anda yakin dan tidak salah jalan seperti yang sudah saya lakukan. Dari pintu keluar tol, anda akan langsung bertemu dengan sebuah pasar (harusnya sich Pasar Padalarang). Kemudian, anda akan bertemu dengan Kota Baru Parahyangan, Ciburuy, Cipatat dan terakhir Rajamandala. Selepas Kota baru Parahyangan di Padalarang, ada sejumlah toko oleh-oleh khas Bandung. Silahkan dibeli kalau belum beli snack untuk oleh-oleh ataupun bekal di jalan. Salah satu tempat yang cukup saya rekomendasikan adalah Okeke 2 yang terletak di Ciburuy, dekat Situ Ciburuy. Di tempat oleh-oleh ini, parkirnya luas dan nyaman serta mereka menjual berbagai macam keripik dan varian roti unyil. (Okeke 2, Jalan Raya Padalarang (Ciburuy) No. 263 Telp. 022-6805852 Bandung Barat). Di Ciburuy, anda akan melewati Situ Ciburuy yang cukup menggoda untuk menjadi tempat perhentian (Ya, saya tergoda untuk berhenti namun mengurungkan niat karena masih harus mencari Saguling) serta beberapa tungku raksasa tempat (mungkin) pembakaran gamping dan kapur. Asap tebal berwarna hitam pekat keluar dari tungku batu besar menyeramkan tersebut. Sebenarnya, workshop pembakaran gamping ini cukup menarik dijadikan objek foto. Sayang, sekali lagi saya masih dalam pencarian Saguling. Di Cipatat, anda akan melintasi daerah pegunungan yang naik turun. Disini, banyak pemandangan puncak bukit yang unik dan menarik (misalnya, lancip sebagian, bercabang-cabang, berwarna pucat, keropeng, dsb) sehingga bisa digunakan untuk berfoto-foto. Di Cipatat tepatnya di wilayah Citatah/Cibogo ini, ada banyak restoran dengan view menghadap perbukitan yang cakep banged tersebut. Ditambah dengan suasana sejuk, pas banged dunk buat foto-foto dan makan siang? Seusai melihat perbukitan, coba dech keluar beli oleh-oleh khas Bandung, beli tapai yang banyak banget dijajakan di pinggir jalan di dalam kios dan kerajinan tangan dari kayu (aneka produk mainan dan hiasan rumah). Gak berapa lama, sampailah anda di Rajamandala. Anda akan mencapai wilayah ini ketika usai melewati daerah pegunungan yang naik turun tersebut. Sabar, yang anda cari ada di sebelah kiri. Picingkan mata baik-baik hingga melihat papan penunjuk jalan yang bercabang dan menunjukkan arah atas Cianjur dan arah kiri, Waduk Saguling. Pintu gerbang utamanya sendiri cukup besar dan bertuliskan “Saguling” dengan latar kekuningan. Gak mungkin terlewatkan koq. Upss…Jangan senang dulu, dari pintu masuk Saguling di Rajamandala, hingga mencapai Bendungan masih ada 15 kilometer lagi dengan jalanan tanpa penerangan, rawan longsor, namun luar biasa menakjubkan pemandangannya. 20 kilometer ini bisa ditempuh dalam waktu setengah hingga satu jam perjalanan. Kalau nggak tertarik sama sekali ke pintu air, bolehlah coba pemandian air panas di dekat pintu masuk (sekitar 7 kilometer). Kesimpulan yang bisa diambil yakni, akses termudah menuju waduk ini adalah Jakarta – Padalarang via tol kemudian akses jalan raya Ciburuy – Cipatat sampai di Rajamandala (arah Cianjur/arah balik Jakarta). Saya mendapat satu pelajaran juga, bahwa jalan arah balik yang saya tempuh adalah masih merupakan bagian dari jalan lingkar luar Cariu – Ciranjang – Padalarang. Kalau males melewati tol yang tingkat kepadatannya tidak bisa diprediksi, bolehlah anda coba lewat jalan alternatif ini yang hampir bisa dipastikan lebih sepi. Buat info saja, pada saat kedatangan saya, jalan tol Jakarta – Cikampek sedang dalam pengerjaan. Saya terjebak hampir satu jam di ruas yang pendek sekitar Karawang. Kalau lewat jalur alternatif, Selepas Ciranjang, mulai dech waspada sama petunjuk arah jalan kalau sudah di Rajamandala. Pintu gerbang Saguling ada di kanan.

Friday, July 17, 2009

Kembali Dari El Tari Kupang ke Jakarta

Pagi hari, saya terbangun di Hotel Dewata. Hari ini adalah hari terakhir saya di pulau ini. Hari ini, saya harus kembali ke kenyataan. Ah...sedihnya...apalagi jika saya mengingat besok harus bekerja kembali ke kantor, ingin rasanya liburan ini bisa diperpanjang. Sayangnya, uang saya pun tak mengijinkan saya untuk melanjutkan liburan ini. Anggaran yang saya susun dan punya telah habis dan inilah ujung dari perjalanan saya. Untuk anda yang menghindari membawa barang terlalu banyak, silahkan mencari oleh-oleh untuk sanak saudara di tempat ini pada hari terakhir. Hati-hati juga, jangan sampai keasyikan mencari oleh-oleh sehingga terlupa kapan waktu seharusnya check in dan pesawat lepas landas.
Bandara El Tari bukanlah bandara besar yang memiliki banyak kegiatan dari pagi hingga sore hari. Kebanyakan, pesawat-pesawat yang akan bertolak menuju Surabaya akan berangkat pada tengah hari. Pesawat yang saya tumpangi, Mandala akan lepas landas pada pukul 12:55 WITA sementara penumpang Citilink akan diberangkatkan pada pukul 13.00 WITA.
Perjalanan dari pusat Kota Kupang menuju bandara bisa berlangsung kurang lebih selama setengah jam. Jarak 15 kilometer yang akan anda tempuh bisa dilalui dengan angkot, ojek maupun taksi (mobil sewaan). Bagi anda yang naik angkot, naiklah angkot lampu 10 dari Terminal Bus Oebobo hingga perempatan pertamina. Dari perempatan pertamina di Oesapa ini, naik angkot lampu 14 atau 15 jurusan Penfui yang akan membawa anda ke Tugu Adipura Kota Kupang. Dari tugu ini, berjalan kakilah sejauh 1 kilometer ke dalam areal bandara. Tarif masing-masing angkot adalah RP. 2.000 sehingga total biaya yang harus anda keluarkan adalah Rp. 4.000 dan perpanjangan waktu karena angkot adalah moda yang paling lambat dibanding dua moda lainnya. Apabila anda menggunakan ojek, harga sewanya sebesar Rp. 20.000. Berhubung perjalanan cukup jauh (15 kilometer) dan melewati kota, padang rumput dan kebun, maka persiapkan jaket anda agar anda tidak masuk angin dan tentu saja helm agar dikenakan yang benar. Moda terakhir adalah taksi dengan biaya Rp. 50.000. Mencari taksi di tengah kota lebih sulit dibanding ojek maupun angkot. Apabila anda berada dari dalam hotel, anda bisa mencoba mencarter kendaraan dari hotel atau minta bantuan hotel untuk menyewakan jasa taksi yang akan mengantarkan anda ke bandara.
Mengulang kembali cerita kedatangan, Bandara El Tari adalah bandara yang berukuran tidak terlalu luas. Dari pintu masuk, anda langsung bertemu dengan mesin sinar X dan kemudian loket penukaran boarding pass. Hanya ada beberapa loket saja yang membuka operasional mereka dan di sebelahnya, ada loket untuk pembayaran pajak bandara sebesar Rp. 20.000. Dari loket pembayaran pajak bandara, kembali lagi ke pintu di samping mesin sinar X yang pertama tadi. Di sini, ada mesin sinar X yang kedua dan segera, anda akan berjumpa dengan ruang tunggu yang berukuran cukup lebar dan merupakan gabungan untuk ruang tunggu dari berbagai maskapai.
Ruang tunggu tersebut dilengkapi dengan dua buah televisi yang memutar siaran yang sama. Di seputar dinding ruang tunggu, ada panel kecil berukir motif khas Nusa Tenggara Timur saling menyambung tidak terputus. Di dekat pintu masuk ada sejumlah guci yang tidak memiliki keterangan berasal dari masa atau kebudayaan apa. Walaupun tidak tertulis, sebenarnya cukup jelas bahwa guci-guci besar tersebut memiliki bentuk yang cukup mulus sehingga bisa dipastikan itu adalah benda kebudayaan masa kini yang diberi motif khas Nusa Tenggara Timur.
Untuk anda yang belum sempat membeli oleh-oleh, ada dua buah toko kerajinan tangan dan satu buah kios kecil yang menjual makanan kecil untuk oleh-oleh. Oleh-oleh yang ditawarkan kebanyakan berupa kacang-kacangan. Untuk toko kerajinan tangan, hampir seluruh bagian toko digantungi oleh kain tenun ikat dalam berbagai motif dan berbagai ukuran serta bentuk kain. Sebagian besar dari tenunan tersebut masih berwujud kain namun sebagian lainnya sudah berwujud tas, dompet dan hasil kerajinan tangan lainnya. Sayangnya, saya tidak sempat masuk sama sekali ke dalam toko untuk menanyakan harga dan untuk membandingkan apakah di bandara, produk ini dijual dengan harga lebih mahal atau tidak. Sisa dari ruangan tersebut adalah sebuah Executive Lounge Merpati yang menyediakan makanan dan minuman kecil serta ruang tunggu yang berbeda dari ruang tunggu umum.
Tepat jam 12.55, pertugas pesawat Mandala datang dan berdiri di depan pintu penukaran boarding pass. Bersamaan dengan hal itu, informasi keberangkatan pesawat Mandala Air dikumandangkan. Para penumpang dengan segera berbondong-bondong menuju petugas tersebut untuk mengantri dan menukarkan boarding pass mereka. Siap untuk perjalanan berikutnya dan kembali ke realitas.

Thursday, July 16, 2009

Camplong - Kupang, Jangan Lupa Berhenti Di Oesau

Selanjutnya, bus pun bergerak kembali, meninggalkan Camplong dan Dataran Tinggi Timor. Bus masuk ke dalam wilayah perkotaan dan jalan raya yang bentangannya hampir lurus. Dari Camplong, hampir tidak ada lagi belokan, tukikan atau tanjakan yang sangat tajam seperti jalan di daerah pegunungan. Sisa jalan yang harus dilalui cukup lurus sehingga supir bus bisa menginjak pedal gas dalam-dalam dan bus pun melaju kencang, kembali ke Kota Kupang.
Walaupun tampaknya dekat, 46 kilometer, terlebih ruas jalan yang dilalui lurus saja, ditambah dengan bus cukup cepat melaju, ternyata Kota Kupang seakan-akan tidak tercapai oleh bus ini. Saya mengamati, dari semenjak matahari masih bersinar dan cahayanya masuk ke dalam bus, hingga sudah tenggelam seutuhnya dan menyisakan keremangan suasana petang, waktu yang dibutuhkan dari Camplong hingga Kupang adalah satu setengah jam. Sisa pemandangan yang akan tersuguh di kiri dan kanan jalan kebanyakan berupa perumahan, gedung perkantoran hingga sawah. Tak urung, pemandangan serupa membuat saya menjadi mengantuk dan sempat tertidur beberapa kali di dalam bus.
Apabila kebetulan anda masih tersadar di dalam bus dan tidak tertidur dan masih menginginkan jalan-jalan, jangan lewatkan Pasar Oesao yang terletak 18 kilometer dari Camplong. Pasar yang berukuran cukup besar ini terletak tepat di tengah Jalan Raya Trans Timor. Yang menarik perhatian saya ialah ibu-ibu yang menggunakan lemari kaca untuk menjual kue-kue mereka, termasuk martabak dan gorengan. Untuk produk lainnya, modelnya hampir mirip-mirip dengan pasar pada umumnya. Pasar ini cukup ramai dengan kendaraan yang lalu lalang dan bus yang bergerak melambat.
Sekali ke pasar ini, jangan lupa untuk turun ke Monumen Prasasti yang terletak di lokasi sesudah Pasar Oesao, dari Camplong menuju Kupang. Ada sebuah gundukan sejenis bukit yang dipagari di bagian atasnya. Di bagian puncak bukit terdapat sebuah monumen batu prasasti yang digunakan untuk mengenang perang dan didedikasikan untuk 2/40th batalion infanteri Australia. Tampaknya tidak ada yang begitu spesial dengan monumen ini karena tidak tampak ada orang atau siapapun yang berada di dekat monumen ini.
Sekitar 10 kilometer sebelum sampai Kota Kupang, saya ditagih ongkos oleh kenek yang mengawal bus ini. Tiket bus untuk ruas So’E – Kupang adalah yang termahal dibanding dengan rute lainnya. Untuk sekali jalan, harganya Rp. 25.000. Dibanding dengan ruas Niki-Niki – So’E atau Kefa Menanu – Niki-Niki, jelas ini yang paling mahal. Bus ini akhirnya mendekati Jalan El Tari ketika hari sudah semakin malam. Patung El Tari bersma dua orang lainnya sudah tampak gelap. Saya tiba di Terminal Bus Oebobo sekitar pukul 7 malam. Di saat saya tidak mau menaiki angkot –takutnya saya mual kembali-, datang pak ojek yang datang menyelamatkan saya. Untuk jarak Terminal Oebobo – Jalan Tom Pelo, beliau menetapkan harga Rp. 10.000. Saya tolak, saya menawar Rp. 5.000. Setelah perdebatan alot dan saya tampaknya rela naik angkot, akhirnya beliau mau mengantarkan saya dengan biaya Rp. 5.000. Maaf yach Pak, uang saya terbatas. hehe...

Wednesday, July 15, 2009

Taman Wisata Camplong Di Kaki Gunung Fatuleu

Selepas Desa Batu Putih, bus masuk ke dalam desa Fatuleu yang berada dalam wilayah Kupang. Gunung Fatuleu (1115 meter) adalah titik tertinggi yang dekat dengan ruas jalan ini. Akibatnya, jelas, sisa perjalanan sampai ke Kota Kupang harus ditempuh sepertiganya dalam jalan menembus pegunungan. Saya sempat berpikir, begitu keluar dari Timor Tengah, maka jalanan sudah akan kembali normal. Ternyata salah, masih ada lereng Gunung Fatuleu yang harus saya lalui. Begitu menyentuh bagian yang landai dan lurus, saya sudah berdecak senang, mengira hampir sampai. Ternyata, tiba-tiba medan kembali meliuk-liuk dan berliku-liku menuruni lereng gunung dengan pemandangan bukit berkabut di kejauhan. Dari Desa Batu Putih, waktu tempuh untuk sampai Kota Kupang masih sekitar 2 jam lagi. Sekali lagi, saya tidak merasakan gejala akan mual atau muntah di ruas ini. Sungguh menyenangkan.
Ada tempat wisata kecil di kaki Gunung Fatuleu. Bus yang saya tumpangi berhenti di lokasi ini setelah kurang lebih setengah jam perjalanan dari Batu Putih. Secara tiba-tiba (lagi) banyak segerombolan ibu-ibu dan bapak-bapak yang membawa baskom berisi jagung bakar untuk dijajakan kepada penumpang bus yang justru mayoritas sedang tertidur. Berhubung tertidur namun suasana cukup ramai, maka beberapa dari penumpang terbangun untuk melihat apa yang terjadi. Saya sendiri tampaknya tertidur sebentar di ruas terakhir ini dan baru terbangun ketika bus berhenti di tempat ibu-ibu dan bapak-bapak menjual jagung bakar ini. Dengan memicingkan mata, saya melihat sekeliling guna mencari informasi apa yang bisa saya dapatkan dari lokasi ini. Sedikit di ujung, agak jauh dari pandangan, terdapat sebuah plang bertuliskan “Taman Wisata Alam Camplong”. Ooo...saya sudah sampai di Camplong.
Menurut informasi, Taman Wisata Alam Camplong adalah taman wisata yang terletak 46 kilometer dari Kota Kupang dan bisa ditempuh dengan menggunakan bus antar kota yang menuju So’E, Kefa Menanu atau Atambua karena taman wisata ini terletak di Jalan Trans Timor. Di dalam taman ini, konon terdapat gua, kolam renang dengan mata air alami, komodo dan buaya yang masing-masing berada di dalam kandang. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Sinar matahari masih bersinar menembus pepohonan tebal dan lebat di sekitar Camplong. Ibu dan bapak masih menjajakan jagung bakarnya ke para penumpang. Saya sendiri sebenarnya masih mempunyai semangat untuk menjelajah, termasuk turun dan masuk ke Taman Wisata Alam Camplong ini. Sayangnya, waktu yang sudah cukup sore membuat saya takut tidak akan mendapatkan kendaraan malam hari yang akan membawa saya ke Kota Kupang. Iya, saya bisa pulang kalau ternyata bertemu bus dari Atambua. Bagaimana kalau tidak? Apakah saya harus tidur dengan komodo di kandang? Haha...
Saya segera menyadari Taman Wisata Alam Camplong ini sudah hampir tutup karena waktu sudah cukup sore. Para ibu dan bapak ini menjajakan jagung bakarnya selain untuk menawarkan dagangannya kepada penumpang bus, mungkin juga menghabiskan stock jagung bakar pada hari mereka berjualan. Apabila tidak berjualan, tampaknya mereka akan rugi. Saya masih sempat melihat di sekeliling pintu masuk taman yang didominasi oleh pedagang jagung bakar dan warung makanan, justru dipenuhi oleh para pedagang dibanding pengunjung. Mungkin pengunjungnya sudah pulang sebelum sore menjelang kali yach? Di dekat taman, ada sebuah kolam buatan yang berukuran kecil. Ada dua anak yang sedang main cebur-ceburan sambil melompat ke dalam kolam tersebut dengan hanya mengenakan celana pendek saja. Ya, waktu memang sudah cukup sore sehingga saya sudah tidak terlalu berani mencoba masuk taman ini. Ditambah dengan semua barang bawaan saya, lengkaplah sudah kemalasan saya. Ditambah dengan posisi saya yang sudah nyaman di dalam bus. Sempurna!
Apabila suatu saat anda berkunjung ke taman ini, tampaknya anda tidak perlu kuatir akan kehabisan makanan atau kesulitan mencari makan. Makan jagung bakar Camplong tampaknya cukup seru untuk dilakukan. Dari Taman Wisata Alam Camplong ini, anda bisa menuju Gunung Fatuleu yang berjarak 7 kilometer saja. Di gunung Fatuleu ini, konon banyak ditumbuhi oleh tumbuan pegunungan yang unik dan jarang anda lihat. Apabila anda punya waktu lebih, Taman Wisata Camplong dipadu dengan gunung Fatuleu bisa menjadi alternatif. Dengan jarak 46 kilometer, taman wisata ini bisa dicapai dalam waktu 1 – 1,5 jam dari Kota Kupang.

Tuesday, July 14, 2009

Canon PowerShot A470 yang Mudah, Ringan, Tajam, Kuat dan Bandel! [Alnect Computer]

Tau jepretan foto-foto di blog saya ini? Ya, seluruh foto-foto perjalanan saya keliling nusantara ini dibantu oleh teman kecil saya yang hingga saat ini berjasa sekali. Pengalamannya sama banyaknya dengan pengalaman saya menjelajahi setiap sudut nusantara ini demi mendapatkan foto-foto unik dan menarik yang sekiranya bisa membuka mata anda akan cantiknya negeri kita ini.
Semenjak tahun 2005, dalam setiap perjalanan saya, saya selalu ditemani oleh Canon PowerShot A400. Kamera poket milik saya ini terbukti tahan banting, tahan air, kuat, hasil fotonya bagus, warnanya tajam serta awet. Apabila dihitung kasar, maka hingga saat ini, kamera tersebut telah menemani saya selama 4,5 tahun lamanya. Kamera tersebut sudah terbukti menemani saya berendam di Pantai Carita, berbasah ria di Air Terjun Sipiso-Piso, jatuh di Ngalau Indah Payakumbuh, berjemur di Pantai Pasir Panjang Kupang, hujan-hujanan di Kota Banjarmasin, dan berfoto pada banyak macam kondisi. Hingga sekarang, kualitas kerjanya tidak perlu diragukan lagi. Selalu mantap. Saya sangat sayang sama kamera ini. Apalagi, dia nggak rewel loch. Nggak butuh banyak perawatan. Selalu sedia membantu saya saat apapun.
Nah, dalam perkembangannya, Canon ternyata telah mengeluarkan banyak sekali saudara kandung dari kamera yang saya pegang ini. Terhitung semenjak saya membeli Canon PowerShot A400 ini, kamera A410, A420, A430, A440, A450, A460, A470 dan A480 telah beredar di pasaran. Hingga saat ini, yang tersebar cukup luas di pasaran adalah Canon PowerShot A470. A480 sendiri masih tergolong sangat baru sehingga belum 100% menembus pasar. Kalau soal kualitas, kayaknya saya nggak ragu sama sekali dengan kamera ini. Keunggulannya sich sebenarnya sederhana banget. Namun, keunggulan tersebut yang bikin saya betah membawa Canon saya kemana-mana. Buat saya, yang paling penting adalah soal warna. Kamera ini mampu menghasilkan gambar-gambar cantik dan seindah warna aslinya. Tidak terlalu kuning atau terlalu merah. Warnanya tajam namun di sisi lain, kontrasnya lembut. Tidak terlalu ngejreng. Tajam dan cerah warnanya ini disebabkan oleh Image Processor Digic yang dikandungnya. Pada Canon PowerShot A470, Image Processor ini sudah naik kelas menjadi Digic III. Makin cerdas dech mengolah gambar yang ditangkapnya. Berbekal keunggulan utamanya tersebut, sebenarnya saya sudah cukup puas sekali dengan Canon PowerShot A400 saya ini. Namun, Canon PowerShot A470 ternyata memiliki banyak sekali sejumlah fitur yang ternyata sudah sangat signifikan berkembang semenjak generasi Canon saya. Resolusi maksimum yang dapat diambil sebesar 7.1 Mega Pixel. Mantap yach? Akibatnya, detail-detail kecil pun bisa dengan mudah tertangkap oleh kamera ini tanpa mengalami distorsi. Mau dicetak hingga sebesar apapun, anda nggak akan kesulitan. Tinggal sebut saja ke tukang cetak mau dibesarkan seperti apa hasil fotonya. Hal lain yang menarik dari Canon PowerShot A470 ini adalah level ISO-nya. A470 memiliki level ISO hingga ISO 1600. Sangat tinggi untuk ukuran kamera saku. Jadi, dengan ISO tinggi ini, pengambilan foto di malam hari pun tidak masalah. Anda tetap beroleh hasil foto yang sama terangnya seperti di siang hari walaupun kondisinya minim cahaya. Kini, ambil foto malam-malam bukan beban lagi donk? Hasil fotonya sama saja bagusnya. Kapanpun itu diambil. Fasilitas Macro di kamera ini pun telah berkembang pesat. Kini, A470 bisa mengambil foto hingga jarak 1 cm saja. Kalau mau foto serangga, urat daun atau kelopak bunga, hasilnya bisa lebih tajam dengan fitur macro super dekat ini. Nggak perlu gambar menjadi blur karena memaksakan kamera terlalu dekat dengan objek foto. Fitur unik lainnya adalah Face Detect, dimana kamera ini secara pintar bisa mencari wajah diantara berbagai objek yang mengelilinginya. Kalau wajahnya banyak dalam satu foto bagaimana? Ya, semuanya akan difokuskan! Jadi, nggak perlu kuatir hasilnya buram karena salah mengenal wajah sebagai latar toh? Kamera A470 ini pun telah dibekali dengan Image Stabilizer Hi-ISO Auto with Motion Detection Technology. Apaan tuch? Yang jelas, kamu gak usah kuatir lagi akan tangan gemeteran pas lagi foto artis atau binatang buas. Kamera ini mampu meredam getar di tangan anda dan tetap menjadikan gambar anda solid. Lagi-lagi mantap yach? Hmm…kalau gitu sudah saatnya nich saya beli kamera baru! Apalagi harga Canon PowerShot A470 ini cukup ramah di kantong, hanya Rp. 1.495.000 aja! Kalau sudah nggak sabar pengen punya, buruan saja ke www.alnect.net buat beli kamera yang pastinya bakalan jadi idaman dan teman perjalanan kamu yang paling setia. Butuh informasi lebih lengkap mengenai kamera ini, coba dech cek ke http://www.alnect.net/products.php?/10/56/120/191/Gadget/Digital_Camera/Canon/Kamera_Canon_PowerShot_A470
Saat ini pula, Alnect Computer sedang menyelenggarakan lomba blog dimana pemenangnya akan mendapatkan hadiah notebook, netbook, kamera, modem HSDPA, flashdisk dan banyak lainnya. Pendaftarannya gratis pula! Tertarik? Kalau kamu punya blog dan tertarik buat dapatin hadiah-hadiah yang tadi saya sebutin, masuk dech ke www.alnect.net, terus review salah satu produk Alnect Computer untuk dipajang di blog kamu. Selesai. Kamu telah berpartisipasi aktif dalam lomba blog ini. Hendaknya, blog kamu bisa menjelaskan dengan baik tentang bagaimana suatu produk tersebut digunakan. Lebih bagus lagi kalau blog kamu bisa mengajak orang lain yang membaca buat ikutan nge-blog juga. Mantep nggak tuch? Untuk ikut kuis ini dan info lebih lengkap, silahkan klik link di bawah ini : Alnect computer Blog Contest

Di Tepi Timor Tengah Selatan, Di Tepi Batu Putih, Di Tepi Noelmina

Desa Batu Putih adalah desa yang terletak di mulut Timor Tengah Selatan, di Jalan Trans Timor. Ketika melewati desa ini, bus berhenti dan tiba-tiba dari sekeliling bus muncul anak-anak (mayoritas anak-anak dan anak baru gede) yang meramaikan suasana dan menawarkan makanan ringan dan minuman untuk bekal perjalanan. Mereka menawarkan kacang-kacangan dan keripik serta minuman di desa ini. Dari desa ini, tampak sebuah plang percabangan jalan menuju Desa Bena, sesuatu yang sudah tidak terlihat ketika melintasi hutan Timor Tengah tadi.
Desa Batu Putih ini selain sebagai penanda pintu masuk Timor Tengah Selatan, juga sebagai wilayah di ujung jembatan terpanjang di Timor. Jembatan terpanjang di timor, yang terletak di antara dua kabupaten, Kupang dan Timor Tengah Selatan terletak di antara Desa Batu Putih dan desa Fatuleu. Jembatan ini melintasi Sungai Mina yang merupakan sungai terbesar di Pulau Timor (ukurannya lebar). Walaupun hujan turun setidaknya satu kali pada setiap hari kunjungan saya di Timor, saya sedikit heran melihat sungai yang luar biasa besarnya tersebut kering sebagian. Tidak bernasib sama buruknya dengan sungai-sungai yang sedari tadi dilalui, Sungai Mina masih memiliki beberapa titik aliran air sehingga sungai ini masih tepat dikatakan sungai. Entah legal atau tidak, tapi di sungai-sungai yang kering tersebut, dan di Sungai Mina ini, saya menyaksikan truk-truk kecil dengan alat penggali beroperasi di bagian sungai yang kering dan hanya terdiri atas pasir. Tampaknya, penambangan pasir cukup marak disini.
Kondisi sungai yang kering memang dikatakan sebagai ciri khas Timor. Air datang hanya dalam jangka waktu sesaat saja dan kemudian kemarau panjang melintasi pulau ini. Pulau ini memang terkenal karena keringnya lahan. Namun, saat ini pembalakan liar semakin menjadi-jadi di pulau ini di wilayah pedalaman. Akibatnya, sudah tentu, pada saat hujan deras berlangsung, sebagian besar wilayah Timor Tengah Selatan akan berubah menjadi danau karena banjir. Namun, seusai banjir, air berlalu begitu saja tanpa terserap sehingga kering menjadi semakin parah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan saya masih berada di pedalaman Dataran Tinggi Timor. Bus pun bergerak perlahan menembus hutan lagi, menuju Kupang.

Monday, July 13, 2009

Melintasi So'E, Kembali Ke Kupang

Dari So’E menuju Kupang, jarak yang harus bus tersebut tempuh sejauh 110 kilometer. Jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu 2.5 hingga 3 jam. Kondisi Jalan Raya Trans Timor yang akan dilewati oleh bus, berbeda dibanding dengan wilayah-wilayah sebelumnya. Timor Tengah Selatan adalah wilayah dataran tinggi yang paling tinggi di Timor Barat. Gunung-gunung tertinggi Timor barat terdapat di area ini seperti gunung Mutis (2427 meter) dan Gunung Molo (1636 meter). Akibatnya, jalan yang harus dilalui bukan lagi berbukit-bukit namun bergunung-gunung. Disini, anda bisa melihat jalan raya yang dibuat melingkar-lingkar memutari kaki gunung untuk menyebrang menuju ke kaki gunung berikutnya. Sampai ke kaki gunung berikutnya, jalanan kembali memutar sehingga kita bisa melihat ruas jalan di bawah maupun di atas kita, berbentuk menuruni lereng bukit sambil terus membentuk huruf S. Suasana hutan lebat akan anda dapatkan total disini, hampir serupa dengan ruas Kefa Menanu – Niki-Niki. Jalan trans tersebut sekana hanya dimiliki oleh bus yang sedang melintas. Sangat jarang menemukan pengendara di wilayah depan atau pengendara di bagian belakang. Untung, lagu-lagu pop Timor yang diputar terus menerus mampu memecah keheningan hutan. Saya tidak bisa membayangkan apabila malam hari harus melintasi jalan ini. Saya tidak meihat adanya penerangan jalan sama sekali. Bagaimana dengan Bus Kupang – Atambua yang bergerak malam hingga dini hari yach? Selain hutan lebat, jalan trans ini dilalui oleh sejumlah sungai. Saya sendiri menyaksikan sejumlah sungai besar maupun kecil, kering maupun berair memotong jalan trans di bagian bawah. Di wilayah perbatasan dengan Kupang, anda akan menyaksikan sungai terbesar di Pulau Timor, Sungai Mina yang dapat dilintasi dengan jembatan terpanjang di Pulau Timor. Di ruas ini anda juga akan banyak menemui sejumlah desa dan rumah adat masyarakat Timor, Lopo yang berada di tepi jalan trans, atau agak sedikit di bagian dalam. Bentuk atapnya yang gondrong sekedar mengingatkan kita bahwa kita ada di daerah selatan. Saya sendiri agak heran dan takjub dengan kegigihan mereka yang bisa tinggal di tengah-tengah hutan Timor.
Anehnya, begitu melewati Kota So’E dan berjumpa kembali dengan pepohonan, saya tidak merasakan mual atau apapun yang saya alami di ruas sebelumnya. Malahan, saya sangat santai menikmati perjalanan ini. Lagu pop Timor yang mengalun, pemandangan Lopo di tepi hutan, satu atau dua orang masyarakat Timor yang beraktifitas justru menjadi hiburan di kala saya melewati waktu tempuh yang cukup panjang tersebut. Memang, hujan turun di sejumlah ruas So’E sore itu sehingga suhu udara turun drastis dan cukup nyaman bagi saya berada di dalam bus. Entah apakah jalur ini lebih ramah terhadap pengunjung, saya tidak terlalu merasa pusing dan mual di ruas ini. Saya yang tadinya sudah takut dan bersugesti akan muntah, perlahan-lahan kembali normal dan ceria sambil menikmati pemandangan di pinggir jalan. Selama kurang lebih satu jam, saya dan ibu-ibu (mayoritas memang ibu-ibu yang membawa hasil perkebunannya untuk dibawa ke Kupang) terombang-ambing dalam ruas jalan tersebut, naik, turun, menyusuri lereng gunung, berhenti mengambil penumpang hingga kemudian tiba di Desa Batu Putih.

Saturday, July 11, 2009

Di Ujung So'E ada Tugu Adipura

Perjalanan saya pun akhirnya mencapai ujung di Jalan Gajah Mada ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore dan tampaknya saya harus bersiap mencari bus jurusan Kupang yang melintas sebab perjalanan So’E – Kupang adalah ruas terpanjang diantara ruas-ruas lain di kota-kota di sepanjang Jalan Trans Timor. Waktu tempuh untuk ruas ini bisa mencapai 2,5 hingga 3jam lamanya. Saya pun sudah membayangkan kembali saya yang akan segera dikocok-kocok di dalam bus. Uh, memikirkannya saja membuat saya stres kembali. Sambil menunggu dan tidak membuang-buang waktu, karena bus yang ditunggu tidak selalu ada setiap saat, saya berjalan ke arah jalan keluar Kota So’E. Sebenarnya, jalan Gajah Mada ini bukan jalan keluar Kota So’E. Pusat Kota So’E memang hanya sampai titik perjalanan saya ini namun Kota So’E sendiri berukuran cukup luas hingga Hotel Bahagia II (1,25 kilometer lagi) dan Terminal Bus Haumeni di ujung barat sana (4 kilometer lagi). Mulai Jalan Gajah Mada, pemandangan kota akan perlahan-lahan berubah menjadi perkebunan dan ketika sudah semakin menjauh, pemandangan hutan lebat akan kembali terlihat. Sambil berjalan menjauhi kota, saya menjumpai satu buah tugu yang terpancang di perempatan di ujung Jalan Gajah Mada. Tugu yang berada di salah satu sudut persimpangan adalah Tugu Adipura. Bentuk tugu tersebut menyerupai kartu domino namun secara tiga dimensi dan memiliki tiga wajah. Di bagian atas, ada satu bulatan besar berwarna keemasan (mirip kartu domino khan?) dan di bagian bawahnya ada simbol-simbol bulat di dalam kotak sejumlah empat buah beserta tulisan diantara bulatan besar dan bulatan bawah “ADIPURA Penghargaan Presiden Republik Indonesia Untuk kota kecil Terbersih So’E 5 Juni 1997”. Di bawah piagam tersebut, terdapat sejenis piring fondasi berbentuk lingkaran dan kaki tiga di bawahnya. Uniknya, di sisi piring dan kaki fondasi tersebut dihiasi dengan ukir-ukiran yang tampaknya adalah ukiran khas Timor Tengah Selatan. Jalan raya di sekitar Tugu Adipura tersebut sudah sepi walaupun masih ada sejumlah mobil dan motor berlalu lalang. Jam 4 di So’E, matahari sudah condong cukup barat sehingga suasana sudah menjadi remang-remang. Ketika saya berfoto, hasilnya pun tidak maksimal karena pencahayaan sudah berkurang banyak. Walaupun sepi, tetap saja, ada yang melihat saya ketika berfoto di tugu tersebut. Haha...
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 lewat 10 menit dan belum ada tanda-tanda bus arah Kupang akan melintas. Yang tampak sedari tadi hanyalah angkot kota yang menawarkan saya tumpangan namun yah, lagi-lagi saya tolak dengan gelengan halus. “Saya ingin ke Kupang. Tidak mungkin naik angkot kan?” begitu kata saya dalam hati. Akhirnya, bosan menunggu di persimpangan, saya mencoba untuk berjalan sedikit ke arah jalan keluar dan tidak lama kemudian bus Kefa Menanu – Kupang melintas. Untung, bus tersebut tidak terlalu ramai dan saya segera bergembira menyambut bus tersebut (kenek bus tersebut tentunya juga bergembira menyambut saya, tambahan satu penumpang lagi kan?). Maka, mulailah perjalanan 3 jam menuju kota asal, Kupang. Pikiran-pikiran buruk tentang dikocok-kocok selama perjalanan sudah membayangi saya saat ini.

Friday, July 10, 2009

Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Maranatha

Dari Gereja Santa Maria Mater Dolorosa, saya berencana melanjutkan perjalanan ke Gereja ketiga di So’E. Dari Jalan Tompelo, gereja tersebut berjarak sekitar 400 meter dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Dari Jalan Tompelo, terus jalan ke arah selatan (jalanan kembali menurun dan mendaki seperti bukit) dan ketika bertemu dengan perempatan besar dimana banyak terdapat toko dan bus lalu lalang, beloklah ke arah kanan, masuk ke Jalan Sudirman. Dari Jalan Sudirman, berjalanlah terus hingga bertemu taman kota berbentuk segitiga (sebenarnya lebih tepat disebut hutan kota karena rimbun dan tingginya pepohonan yang hidup di taman itu). Sambil berjalan menyusuri jalan utama Kota So’E di bagian ujung barat, saya menjumpai Toko Buku Sinar Putain Soe yang bergaya klasik dan membuat bernostalgia. Bentuk bangunan toko buku tersebut lebih mirip sebuah rumah lama dengan papan penunjuk merek yang sama klasiknya. Unik sekali. Sambil berjalan, saya disapa oleh pemuda dan pemudi Kota So’E dan mereka minta berfoto. Yach, saya sich senang-senang saja memfoto mereka. Yang pria tampak semangat namun wanitanya malu-malu. Seusai berfoto, seperti biasa, saya menceritakan maksud perjalanan saya baik asal maupun tujuan berikutnya. Seusai percakapan singkat tersebut, saya berpamitan dan mereka mengucap salam dengan tulus. Memang, warga Timor sangat baik hati.
Di sisi utara taman segitiga, ada berderet-deret rumah tua yang tidak terurus dan terbengkalai. Hampir seluruh dari rumah tua tersebut memiliki kondisi fisik yang bolong-bolong, rusak parah, lapuk, dan berjamur. Pemandangan ini membuat saya serasa kembali ke masa silam. Pemandangan yang tidak biasa saya saksikan, bisa dilihat di So’E ini. Kemudian di sisi ujung taman, ada sebuah sekolah SMU yang kemudian dilanjutkan dengan gereja. Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Maranatha So’E terletak di pertigaan Jalan Gajah Mada, Jalan Sudirman dan Jalan Bill Nope. Dibandingkan dengan kedua gereja terdahulu, gereja ini memang tidak memiliki karakteristik tersendiri. Bentuk dasar gereja ini hanyalah bangunan rumah besar dan memiliki satu buah menara dengan pucuk atap yang berukuran kecil dan salib di atasnya. Memang, bangunan ini berusia cukup tua yang dapat dilihat dari arsitektur yang digunakan. Gereja ini banyak menggunakan ventilasi berukuran kecil sehingga lebih mengesankan sebagai benteng daripada rumah tinggal. Anda bisa lihat menara gereja ini dengan cat yang sudah hampir mengelupas sebagian. Di menara tersebut hanya terdapat sejumlah lubang ventilasi berukuran kecil berbentuk vertikal. Benar, mirip menyerupai menara benteng pertahanan. Sayangnya, pada saat sore itu, sedang ada kebaktian berlangsung di gereja tersebut. Tampak umat yang berkerumun hingga pintu masuk sibuk menyanyi. Tidak mau mengganggu, saya sudahi kunjungan saya ke gereja ini.

Thursday, July 09, 2009

Gereja Sancta Maria Dolorosa So'E

Tujuan selanjutnya adalah Gereja Santa Maria Mater Dolorosa. Gereja Katolik ini bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Efata So’E. Dengan jarak sekitar 200 meter, capailah gereja ini dengan berjalan ke arah barat Jalan Soekarno. Sampai di perempatan besar (ada lampu penerang jalan cantik di tengah-tengah perempatan besar tersebut), ambilah jalan ke kiri. Nah, dari kiri ini, jalan bercabang lagi menjadi tiga arah. Ambil jalan terkiri yang ada. Sekitar 100 meter berjalan, Gereja Santa Maria Mater Dolorosa sudah dapat terlihat.
Sedikit berbeda dengan gereja lainnya, gereja ini terletak di Jalan Tompelo, jalan yang cukup sepi di So’E. Apabila anda melihat bangunan di sekeliling gereja, pasti anda akan setuju dengan pendapat bahwa daerah sekeliling ini cocok sekali untuk dijadikan tempat rekreasi, peristirahatan, melakukan kontemplasi, atau resort. Ya, ketiadaan bangunan tinggi di sekitar gereja, vegetasi yang kebanyakan berupa pohon pinus dan cemara, ditambah dengan setiap rumah yang ada disini memiliki kebun atau taman di halaman rumahnya yang dilengkapi dengan pagar hidup yang terpotong rapih, sangat mengingatkan saya akan suasana perumahan di era 1980an akhir. Kesunyian yang melingkupi tempat ini juga didukung oleh jarangnya kendaraan yang melintas di lokasi. Ketika saya berada disini, mungkin hanya dua atau tiga buah kendaraan yang lewat melintas. Tidak usah jauh-jauh mencari resort peristirahatan yang tenang, Jalan Tompelo ini sudah sangat cocok sekali.
Gereja Santa Maria Mater Dolorosa adalah sebuah gereja Katolik dengan bangunan berwarna kuning telur pucat dan gaya jadul. Gereja ini berada satu kompleks dengan biara, asrama dan koperasi Sint Vianney. Di muka jalan masuk gereja ini, terdapat sebuah air mancur yang entah tidak menyala atau mati sebab airnya tidak mengalir. Kolam air mancur tersebut yang bercat putih dan biru ksong tanpa adanya air di dalamnya. Bangunan utama gereja berada di belakang air mancur tersebut. Bangunan tersebut adalah bangunan lama dengan rongga ventilasi yang banyak di sekujur gedung. Patung Maria yang memangku Yesus tampak di atas pintu masuk dan di pucuk menara terdapat sebuah salib dan lonceng. Di sisi kiri gereja, terdapat sebuah bangunan yang tampaknya difungsikan sebagai biara, asrama dan koperasi Asrama Putra Sint Vianney. Bangunan yang menjadi satu tersebut sudah tampak tua dan kurang terawat. Sebagian besar dari bangunan tersebut tampak kotor, tertutup lumut dan catnya mengelupas. Pada beberapa bagian, sejumlah kaca retak dan pecah. Beberapa botol dan bungkus makanan tampak teronggok di sudut bangunan. Sayang, tidak ada seorang pun yang bertugas di gereja yang ada saat itu untuk saya ajak mengobrol tentang gereja ini. Hanya ada segerombolan anak-anak So’E yang sedang bermain dan sedikit ingin tahu apa yang saya lakukan di gereja tersebut.
Ada satu buah benda yang cukup mengundang bagi tamu yang datang ke gereja ini. Akhirnya, saya bisa bertemu dengan Lopo So’E. Ya, diantara gereja dan asrama, ada sebuah Lopo yang berdiri tegak. Sekilas, Lopo tersebut tampak seperti Lopo Timor dengan atapnya yang terbuat dari ijuk. Namun, ketika anda mencoba mendekat, maka anda bisa melihat bahwa bagian bawah Lopo tersebut disemen dan sekelilingnya dicat dengan waran kuning dan biru muda. Konsep Lopo yang pembangunannya tidak menggunakan paku sama sekali pun terlanggar. Anda bisa melihat bahwa piringan kayu yang biasanya terdapat di sekitar pucuk tiang-tiang penyangga dikaitkan dengan menggunakan sekrup. Kayu yang menjadi penyangga Lopo tersebut juga polos tanpa adanya hiasan ukiran ataupun Buni dan Flasu. Yah, bagaimanapun, bentuk ini tetap layak disebut sebagai Lopo atau Ume. Tampaknya Lopo di samping gereja ini digunakan sebagai tempat berkumpul bagi pada biarawan atau tamu untuk beristirahat atau berbincang-bincang. Sayang, di bagian bawah Lopo ini banyak terdapat sampah. Sayang juga, bentuk Lopo So’E tidak seperti yang saya bayangkan dengan ijuk yang gondrong menyentuh tanah. Kalau dibayangkan, tampaknya susah juga menjadikan Lopo ini tempat pertemuan dengan ijuk yang gondrong menyentuh tanah. Mungkin malah menjadi gelap dan jarang dipergunakan karena gondrong ijuknya.
Pertama, saya agak kesulitan menemukan nama dari gereja ini, namun setelah melihat ada sebuah kayu ukir di depan pohon yang ada di depan gereja, barulah saya menyadarinya. Ada tulisan “Mater Dolorosa” di ukiran kayu tersebut (tampaknya diambil dari kayu utuh yang sudah bertekstur) namun tidak disertai dengan sejarah gereja ini seperti tahun pembuatan dan lainnya. Hingga saat saya melangkahkan kaki keluar dari gereja ini, tidak tampak adanya petugas gereja yang berkeliaran di sekitar gereja. Saya mengakhiri kunjungan di gereja ini karena matahari beranjak semakin condong ke barat dan awan sekeliling sudah mulai gelap kembali.

Tuesday, July 07, 2009

Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Efata So'E

Seperti kota-kota lainnya di Timor, So’E banyak memiliki gereja berusia tua dengan desain menarik. Walaupun bukan pusat agama nasrani terbesar seperti di Kefa Menanu, ada sejumlah gereja di Kota So’E yang dapat anda singgahi demi melihat arsitekturnya. Tercatat, ada empat buah gereja yang tersebar di penjuru Kota So’E yakni :
1.Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Efata So’E di Jalan Soekarno
2.Gereja Santa Maria Mater Dolorosa di Jalan Tompelo
3.Gereja Masehi injili di Timor Jemaat Maranatha So’E di Jalan Bill Nope
4.Gereja yang tidak saya kunjungi di jalan Cendana
Seluruh gereja ini bisa dilihat dalam satu kali jalan. Apabila anda ingin mencoba rute religi ini bisa dimulai di Jalan Soekarno, dengan Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Efata. Ikuti Jalan dan berbelok di persimpangan pertama, ambil belokan paling kiri dan masuklah Jalan Tompelo, anda akan menemukan Gereja Katolik Santa Maria Mater Dolorosa, lengkap dengan Asrama Putra Sint Vianney. Dari Jalan Tompelo, beloklah ke arah kanan dan ikuti Jalan Sudirman. Anda akan bertemu dengan buah taman berbentuk segitiga, ikuti taman tersebut. Di ujung taman terdapat sebuah sekolah dan gereja. Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Maranatha dengan pintu masuk berada di Jalan Bill Nope ada disini. Apabila anda masuk dan mengikuti Jalan Bill Nope lalu berbelok ke kanan arah Jalan Cendana, anda bisa menemukan gereja terakhir yang saya sebutkan tadi.
Dari Pasar So’E, berjalanlah sekitar 300 meter ke arah barat mengikuti Jalan Hayam Wuruk. Sampai pada percabangan jalan kedua (yang terletak di puncak bukit), berbeloklah ke sebelah kiri. Sehabis belok kiri, beloklah lagi ke kanan dan anda sudah berada di Jalan Soekarno. Susuri jalan tersebut dan anda bisa melihat Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Efata So’E. Ciri khas unik gereja ini adalah bangunannya yang bergaya lama dengan banyak ventilasi dan cat putih serta sebuah menara besar (berventilasi juga) dengan tulisan EFATA di sisinya plus bentuk atap menara yang tampak seperti buku yang terbuka. Siang yang sudah tidak terlalu terik itu, saya hanya melewati dan berfoto dari sisi samping gereja karena gerbang gerejanya tertutup. Saya tidak dapat bertanya kepada siapapun tentang arsitektur unik di pucuk menara EFATA tersebut.

Monday, July 06, 2009

Pasar So'E

Bagai jamur tumbuh di musim hujan, seusai hujan reda namun langit masih berawan tebal, orang-orang pun keluar dari persembunyian mereka dan berjalan di jalan raya. Tujuan saya sesudah saya mengisi energi di Rumah Makan SukaJadi adalah Pasar So’E. Pasar So’E terletak sekitar 500 meter arah utara Rumah Makan SukaJadi. Jalanan di sekitar yang saya lalui cukup unik. Mengingat So’E adalah kota bukit sehingga jalanan di dalam kotanya sendiri menikung, naik dan turun mengikuti kontur bukit tempat ia berada. Dari Rumah Makan SukaJadi, ikuti terus Jalan Soeharto ke arah utara hingga bertemu Masjid Agung Al Ikhlas So’E. Masjid yang berwarna putih dengan tiang menara yang tinggi dan kubah berwarna keperakan sangat mudah terlihat dari Jalan Soeharto. Anda tidak akan salah sampai masjid ini. Dari Masjid, anda akan bertemu percabangan jalan. Di tengah-tengah percabangan tersebut terdapat sebuah tugu. Tugu di tengah jalan ini kerap kali disebut sebagai Tugu Three In One oleh buku panduan perjalanan luar. Yang saya lihat, tugu tersebut adalah sebuah tangan kanan dengan posisi jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran dan tiga jari lainnya ke arah atas seperti ketiak orang menandakan OK. Sayangnya, selain kondisi tugu yang sudah bocel-bocel, tidak ada penanda tugu tersebut adalah tugu dengan maksud tertentu. Jadi, ya saya lewati tugu ini sambil mendaki jalanan mendaki terakhir sebelum sampai Pasar So’E
Yang pertama istimewa tentang Pasar So’E adalah pemandangannya. Jalan mendaki terakhir yang saya naiki ternyata cukup tinggi. Ketika sampai di titik tertinggi jalan tersebut, tampaklah wilayah perbukitan dan gunung di sekitar So’E yang masih hijau. Tampak sangat jelas bahwa So’E dikelilingi oleh perbukitan. Dari titik tertinggi ini, apabila anda melanjutkan ke arah utara, jalan yang anda lalui akan terus menurun. Sambil menurun-lah, saya bisa mengabadikan pemandangan perbukitan yang menjadi pemandangan latar Pasar So’E. Jangan lupa untuk berfoto-foto disini yach.
Sekembalinya menuju jalur utama perjalanan, anda akan dihadang oleh kandang babi di sebelah timur pasar. Sebelumnya, mohon maaf untuk rekan-rekan muslim yang membaca buku ini. Sudah disinggung sebelumnya, Timor adalah wilayah dengan mayoritas penduduk beragama nasrani sehingga konsumsi babi bukanlah hal yang haram bagi mereka. Saya sendiri melihat pula kerukunan beragama hadir di tempat ini, terbukti dengan sejumlah perempuan berjilbab yang melintas di pasar, dekat dengan kandang babi tersebut. Buat saya yang jarang sekali melihat babi hidup, pemandangan seperti ini justru sangat unik. Babi-babi tersebut hadir dalam berbagai warna seperti putih, hitam dan belang hitam putih. Semua babi tersebut terikat dan terlindung oleh terpal berwarna oranye dan hitam. Cukup unik melihat babi-babi tersebut yang justru lebih banyak diamnya daripada bergerak. Apabila tidak tidur-tiduran dengan tubuh mereka yang gembrot, mereka lebih banyak mengendus-endus tanah sambil makan lalu diam berdiri saja. Memang, identik sekali apabila membayangkan babi dengan kemalasan karena posisi mereka ketika tidur memang rebahan total. Entah, saya tidak dapat membayangkan bagaimana mereka melakukan itu dengan kaki mereka yang kecil. Apakah menekuk dan langsung ambruk atau ada cara lain. Saya tidak dapat membayangkannya. Jangan bayangkan babi disini seperti babi yang berwarna merah muda dan berukuran besar dan sangat gemuk seperti di film-film. Saya curiga, babi ini berasal dari keluarga yang berbeda dengan babi yang saya maksud tadi. Babi yang saya lihat disini sedikit mempunyai bulu dan cenderung menyerupai babi hutan namun tanpa taring yang menjadi ciri khas babi hutan. Babi sejenis inilah yang banyak diternakan atau dipelihara di seluruh Timor.
Puas melihat-lihat kandang babi, saya kembali ke jalur utama perjalanan So’E. Saya melewati daerah Pasar So’E, tepatnya dari jalan Soeharto berbelok ke arah barat, masuk Jalan Hayam Wuruk. Pasar So’E segera terlihat jelas di kejauhan karena bentuk atapnya yang unik dan khas So’E. Jalan Hayam Wuruk juga berkontur tidak rata dan menukik menuju pintu masuk pasar. Atap yang digunakan di atas gedung utama pasar sangat khas So’E sebab saya menemukan beberapa rumah atau gedung di kota ini memiliki bentuk atap yang khas dan tidak ditemukan tiruannya di wilayah lain. Atap tersebut adalah modifikasi bentuk dari atap Ume atau Lopo namun terbuat dari material seperti genteng atau plastik atau mika atau bahan lainnya selain daun. Material ini terlihat jelas buatan pabrik dan memiliki warna-warna mencolok. Untuk Pasar So’E, atapnya menggunakan genteng dengan warna coklat. Sedikit heran saja, bagaimana mereka bisa menyusun genteng dengan kemiringan bentuk atap yang sangat curam tersebut. Salut.
Pasar So’E sendiri adalah bangunan yang biasa saja terbuat dari bata. Apabila tidak ada hiasan atap yang unik tersebut, saya rasa pasar ini biasa-biasa saja dan tidak ada bedanya dengan pasar lainnya di Indonesia. Pasar ini memiliki sebuah bangunan utama yang terdiri atas dua tingkat. Bangunan lainnya yang tampaknya permanen dan semi permanen beridir di kiri dan kanan bangunan utamanya. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan cuaca cerah. Banyak dari toko maupun lapak sudah tutup dan kosong. Hanya sejumlah pedagang masih bertahan dan menjajakan dagangannya. Toko yang masih buka kebanyakan adalah toko material yang menjual produk plastik seperti sapu dan ember lalu peralatan bertukang seperti gunting dan gergaji, serta kabel listrik dan makanan ringan. Saya tidak menyempatkan diri masuk ke pasar karena aktifitas pasar tersebut sudah hampir selesai dan saya juga harus berpacu dengan waktu. Beberapa tukang ojek yang mangkal di depan pasar menyapa saya dalam bahasa Inggris. Maksudnya untuk menawarkan ojek mereka tapi saya menggeleng sambil tersenyum dan memandangi mereka dengan tulus. Pasar So’E adalah pasar harian karena sudah berdiri di atas bangunan permanen. Untuk pemngunjungi pasar ini, tidak ada hari tertentu yang harus anda kejar. Setiap hari, pasar ini selalu terbuka untuk kedatangan anda.