Wednesday, September 30, 2009

Berkelok Kelok di Kelok Ampek Puluah Ampek, Maninjau

Akhirnya, walaupun tidak direkomendasikan untuk pergi mengunjungi, kami tetap nekad saja. Kapan lagi ada kesempatan untuk bakunjuang ke Danau Maninjau? Kapan lagi ada kesempatan bisa mengunjungi Sumatera Barat? Selama kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga saya di danau ini. Jreng! Danau tersebut tiba-tiba saja menyeruak muncul di depan mata. Upss...jangan senang dahulu, danau tersebut masih berkilo-kilo meter di bawah sana (sekitar 8 kilometer). Yang saya lihat adalah plang penanda area wisata Danau Maninjau dan kecantikan danau yang manis tersebut di bawah sana.Danau Maninjau sendiri terkenal dengan keloak ampek puluh ampeknya yang kalau diterjemahkan menjadi kelok empat puluh empat. Jalan masuk utama Danau Maninjau memang di Kelok 44 ini. Walaupun ada jalan lain, namun jalan ini yang paling direkomendasikan untuk dikunjungi. Apalagi kalau bukan ingin promosi keindahan alam Ranah Minang tentunya? Kelok 44 sendiri adalah nama jalan berkelok-kelok dan berputar-putar seperti (orang barat menyebutnya) sisir rambut sebanyak empat puluh empat buah. Jalan ini mengular berkelok-kelok dari pintu masuk awal di atas sana (dari sini, danau sudah terlihat jelas) hingga Desa Maninjau di bawah sana. Banyak orang bilang, melewati kelok 44 ini sudah pasti mabuk darat dashyat. Saya, sebagai seorang pemabuk (bukan mabuk minuman keras yach) sudah cukup jiper mendengar kata-kata ini. Namun, ketika dilewati, ternyata saya tidak mabuk sama sekali. Dorongan ingin mual pun tidak ada sama sekali. Ajaib!
Sebelum mencapai danau, ada baiknya kalau anda berhenti dahulu di titik tertinggi danau yang bisa dipantau. Disini, ada sebuah warung dan plang besar “Anda Memasuki Kawasan Wisata Maninjau”. Ada tempat duduk juga dan bunga-bungaan segar di sekeliling. Boleh banget buat menikmati kecantikan danau kan? Orang bilang, danau ini lebih cantik di pagi hari. Kabut tebal yang bergantung di leher perbukitan di sekeliling danau konon katanya manis sekali dan mampu membuat danau ini ternobatkan menjadi danau tercantik di Sumatera Barat (bahkan Sumatera!). Kalau nekad pergi juga di sore hari, yah...anda tetap beroleh keindahan yang sama namun udara segar pagi hari dan ketiadaan kabut akan membuat suasana tersebut kurang terasa. Nggak usah terburu-buru, danau ini masih bisa menunggu. Duduk-duduklah dan foto-foto dulu di atas puncak bukit dan menikmati angin danau dari atas sana. Kalau benar-benar jelas, anda bahkan bisa melihat deretan ratusan bahkan ribuan keramba di dasar danau di bawah sana. Perbukitan yang mengelilingi danau memberikan efek latar yang dramatis, biru tua kelam. Bunga-bungaan yang tumbuh di sekitar anda boleh juga diabadikan. Rasanya, nggak setiap hari dech bisa melihat bunga-bungaan ini. Apalagi di kota!
Oh yach, buat anda yang belum tahu, jangan harap bisa berhenti dan turun di salah satu kelok yach. Sebenernya, bukan karena ada larangan tertentu namun lebih kepada kesadaran pribadi aja sich. Jalur kelok adalah jalur sempit yang hanya mampu menampung dua kendaraan bolak balik. Jalurnya sendiri sudah cukup sempit tanpa adanya mobil atau kendaraan tertentu yang berhenti di jalurnya. Apalagi mogok! Wah, nggak kebayang ribetnya. Jadi, berhenti di kelok memang tidak dianjurkan karena akan sangat-sangat-sangat merepotkan pengunjung lain. Namun, ada beberapa opsi seperti : kalau anda jeli, anda akan menemukan beberapa titik yang cukup lebar dan bahkan sepotong area perumahan atau desa di lereng yang bisa digunakan untuk memarkir mobil/kendaraan anda sejenak untuk menikmati danau dari setengah ketinggian. Coba dech jeli perhatikan. Tempat-tempat yang agak lebar ini berada di kelok 20 ke bawah (mendekati arah danau). Opsi kedua adalah berjalan kaki sejauh satu jam untuk mencapai dasar permukaan danau. Pertama, saya berpikir, kemungkinan jalanan tersebut memang diciptakan khusus untuk pejalan kaki, berbeda dengan jalur kendaraan. Namun, setelah mencari info kesana kemari, ternyata saya meragukan adanya jalur khusus pejalan kaki. Saya bahkan tidak melihat adanya pejalan kaki yang nekad menuruni atau menaiki jalur ini. Mungkinkah kalau lebih pagi akan lebih banyak orang yang melakukannya?
Nah, ketika mulai bertualang menjelajah kelok, kita akan bertemu dengan kelok 44 dan terus turun makin lama turun ke bawah hingga kelok 1. jarak antara kelok tidak selalu sama. Kadang kala, ada kelok yang berjarak sangat pendek, namun kadang-kadang ada ruas cukup panjang tanpa adanya kelok sama sekali. Terkadang, ada kelok yang hanya berupa belokan sedikit, namun lebih banyak lagi kelokan yang berupa putaran ekstra tajam sambil menurun sekian puluh derajat. Saya menjadi saksi tergerusnya bagian bemper kendaraan bus bertubuh panjang karena turunan yang terlalu curam. Bunyinya berkerosak dan menimbulkan bekas putih di aspal. Mudah-mudahan saja knalpotnya jangan sampai lepas! Nah, pemandangan di sepanjang kelok adalah pemandangan indah yang ga boleh anda lewatkan. Terkadang, bahkan ada satu atau dua rumah adat Minang bertengger manis di wilayah ini. Sayang, kalau boleh berhenti, saya akan puas berfoto-foto disini. Menjelang kelok akhir, mendekati permukaan danau, akan ada banyak sekali baruak (beruk atau monyet) yang melintasi atau duduk-duduk di pinggir jalan. Beruk-beruk tersebut walaupun liar namun tidak ganas. Walaupun demikian, anda tetap harus berhati-hati. Tidak lucu kalau anda sembarangan da serampangan memegang barang-barang anda dan kemudian beruk tersebut membawanya kabur ke dalam rerimbunan peopohonan. Runyam ceritanya! Pengalaman dengan monyet sudah membawa saya ke level dimana saya harus ekstra waspada dalam memegang barang bawaan saya.
Akhirnya, setelah sekian lamanya, saya akhirnya mencapai plang yang bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan Wisata Danau Maninjau”. Sudah sampai di Danau Maninjau! Yup, betul. Di ujung pertemuan kelok dengan danau, anda akan banyak menjumpai penginapan berderet memanjang ke arah utara. Lokasi Desa Maninjau ini memang pusat kegiatan utama danau vulkanis ini. Nggak susah mencari penginapan disini. Lokasi sekitar danau banyak dipenuhi oleh keramba. Lagi-lagi, objek menarik untuk difoto bukan? Malihat danau dari sisi bawah dan atas memang nggak bisa disamakan. Keduanya punya kelebihan tersendiri. Makanya, tadi saya bilang anda harus puas-puasin foto di atas karena pemandangan yang akan didapat akan beda. Sekeliling danau dikelilingi oleh perbukitan biru tua kelam. Sementara sisi seberang danau di luar jalanan berupa hamparan sawah menguning yang sangat luas. Lokasi perhentian yang paling umum ya kalau nggak di Desa Maninjau yakni di Desa Muko-Muko di titik ujung yang paling berlawanan dari Desa Maninjau ini. Desa Muko-Muko dapat dicapai kurang lebih selama setengah jam arah Lubuk Basung (memutari pinggiran utara danau).

Tuesday, September 29, 2009

Jurang Menganga Ngarai Sianouk Bukittinggi

Mungkin predikat Kota Wisata Bukittinggi datang dari ngarai ini. Ngarai, dalam bahasa Indonesia adalah jurang. Banyak pula orang membandingkan ngarai ini dengan Grand Canyon yang ada di Arizona, Amerika Serikat. Walaupun sangat berbeda jauh dalam hal lebar, panjang dan kedalaman, nampaknya pemahaman bahwa Canyon adalah Ngarai cukup bisa membuat impresi yang baik di benak masyakarat. Sayangnya, sekali lagi, Grand Canyon dan Ngarai Sianouk sama sekali berbeda dan tidak dapat disamakan. Kontur alam dan bentang alamnya saja sudah berbeda.Ngarai Sianouk yang kita bicarakan ini terletak persis di dalam kota. Tidak perlu bersusah payah mencapai lokasi wisata ini. Letaknya benar-benar mudah dicapai. Banyak angkutan umum yang melewati tempat ini. Ngarai sendiri adalah sebuah jurang, hasil bentukan alam ketika terjadi lipatan lempeng bumi. Hasilnya ya seperti yang bisa kita lihat disini, tebing-tebing tinggi terdiri atas batu-batuan cadas. Diantara tebing-tebing tersebut terdapat jurang menganga beberapa puluh meter di bawahnya. Di bawah jurang tersebut terdapat sungai yang mengalir. Cerita saya tampaknya nggak cukup baik dalam menjelaskan jurang atau ngarai ini. Namun, ngarai ini adalah hal pertama yang membuka mata saya lebar-lebar bahwa Indonesia ini teramat indah. Begitu melihat ngarai ini pertama kali, saya menahan nafas, jantung berdegup kencang. Saya melihat sesuatu yang unik, dan belum pernah saya lihat sebelumnya. Terlebih, hujan agak deras membuat ngarai ini diselimuti kabut. Saya bertemu dengan Bukittinggi yang dingin. Mantap! Sejak saat itu, saya jadi suka melihat objek-objek wisata lain sebagai penanda kecantikan alam Indonesia. Dan disinilah saya, semenjak Desember 2006, kembali lagi ke Bukittinggi untuk melihat ngarai ini sekali lagi.
Ngarai Sianouk ini memang merupakan bagian dari deretan Bukit Barisan yang memunggungi Sumatera di sebelah barat. Sungai Batang Sianouk mengalir di bawahnya. Sudah pasti, objek wisata utama di Bukittinggi adalah Ngarai Sianouk ini selain Jam Gadang. Pokoknya, harus berkunjung ke ngarai ini baru anda bisa dikatakan berkunjung ke Bukittinggi.
Nah, menyaksikan pemandangan Ngarai terbagi menjadi dua tempat. DI atas dan di bawah. Di atas, anda bisa masuk Taman Panorama (tiket Rp. 8.000). Sementara, di bawah, anda bisa melenggang masuk begitu saja karena wilayah bawah tidak dibatasi oleh objek wisata tertentu. Hanya keangkuhan ngarai cadas tinggi, sungai mengalir dan beberapa buah rumah di pinggir ngarai. Sayangnya, menurut saya pula, memandang ngarai dari sisi atas jauh lebih menarik daripada sisi bawah. Entah mengapa, fisik ngarai tidak terlihat dari bawah. Kurang impresif! Seakan-akan kita hanya berfoto dengan latar belakang dinding bukit cadas. Sementara di atas, anda bisa dengan gamblang menunjukkan bahwa anda berfoto di Ngarai Sianouk, jurang terkenal seIndonesia. Saya sich, lebih suka dan menyarankan agar anda berkunjung ke Taman Panorama di atas untuk menikmati kecantikan ngarai. Walaupun nggak bisa disentuh, namun hasil fotonya pasti jauh lebih menarik di atas daripada di bawah. Selain itu, di atas banyak baruak (monyet) yang tinggal di sisi balkon tempat memandang ngarai. Ada Kios-kios cendera mata pula, bisa belanja-belanja nich. Kesan yang didapat agak kurang kalau bertandang ke kaki ngarai. Wilayah kaki ngarai sendiri juga sebagian besar tertutup air dan lumpur. Alhasil, agak susah menyusuri dasar ngarai ini. Air sungainya berwarna agak keruh kecoklatan. Mungkin bekas banjir kali yach? Objek lainnya yang cukup oke dijadikan lokasi berfoto mungkin sebuah gerbang penanda Kenagarian Sianouk VI Suku. Jalan yang akan ditempuh selepas gerbang adalah menyusuri sisi ngarai. Mungkin lokasi ini malah lebih menarik daripada berfoto di dasar ngarai dengan air sungai keruh kecoklatan.
Artikel lain mengenai memandang Ngarai Sianouk dari atas bisa anda temukan pada Tag Sumatera Barat lainnya.

Monday, September 28, 2009

Luruik Bajalan Mancari Itiak Lado Mudo Di Dasar Ngarai Sianouk

Bukan rahasia umum lagi kalau Bukittinggi itu surganya makanan. Memang sich, hampir seluruh daratan Minang adalah surganya makanan. Tapi di Bukittinggi, makanan melimpah ruah jenisnya! Sabar...jangan terbit air liurnya dulu yach. Kita telusuri dulu apa aja itu.
Banyak banget makanan di Bukittinggi. Maklum, semenjak kegiatan wisata kuliner naik daun, rasanya perut ini jadi minta perhatian lebih. Haha.. Rasanya, nggak bakalan cukup dech keliling Bukittinggi selama satu atau dua hari kalau ingin memuaskan nafsu lidah dan perut akan kuliner Bukittinggi. Bisa-bisa, seminggu baru kita menyelesaikan kuliner di Bukittinggi ini, sudah termasuk sarapan dan makan malam tentunya.
Oke, makanan di Bukittinggi itu sangat banyak dan beragam. Nich, saya sebutin : Nasi Kapau yang sangat khas Bukittinggi, Sate Khas Bukittinggi, Jus Alpukat Bukittinggi, Gulai Pakis yang terbuat dari pucuk daun pakis muda, Teh Talua, teh yang dicampur telur dan diaduk dengan tangan dalam kecepatan tinggi, Bika Simaryana, sejenis Serabi, Karipiak Sanjai yang memang hanya khas Bukittinggi, Lapek Bugih yang mirip dengan kue Bugis dan Lamang Tapai yang tentunya akan mengingatkan kita pada Tapai Uli. Itu baru yang mendominasi. Kalau anda mau menelusuri lebih lanjut, pasti dech banyak banget kuliner unik-unik yang bisa ditemukan.
Nah, khusus untuk makan siang kali ini, bolehlah kita mencoba Itiak Lado Mudo. Itiak disini artinya bebek, Lado artinya cabai dan Mudo artinya muda atau hijau jadinya Secara gamblang, Itiak Lado Mudo artinya bebek cabai hijau. Duh, saya nulis artikelnya aja sambil nelen ludah berkali-kali. Tempat makan Itiak Lado Mudo ini ada di dasar Ngarai Sianouk. Gak jauh setelah melewati Taman Panorama dari arah Jam Gadang, ada belokan jalan ke arah kiri. Nah, jalanan ini akan terus menurun terus dan berwujud seperti lorong dengan kanopi pepohonan tebal yang tumbuh di lereng lembah. Seakan-akan masuk ke dalam lorong apa gitu dech. Nah, sambil turun, di sisi kiri kita ada sejumlah pintu kerangkeng berjeruji. Di dalamnya...gelap abis! Hiasan di sekeliling pintu adalah diorama pembantaian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Seram bener dech! Temen-temen seperjuanganku aja sampe diam seribu bahasa. Gak berani ngomong apapun. Yang ada hanya bisik-bisik bergumam “untung gak masuk kesana!”. Sekeliling lubang gelap berpintu jeruji itu ditumbuhi semak-semak dan akar serta sulur tanaman. Suasana semakin mencekam berkat kehadiran tanaman-tanaman tersebut. Pintunya sendiri ada banyak banget. Selama proses turun, kita menjumpai beberapa buah pintu yang masih merupakan terusan dari Lubang Jepang di atas sana. Lubang-lubang ini katanya dahulu dipakai sebagai tempat pembantaian manusia atau lebih dikenal sebagai “human kitchen”. Manusia yang dibantai dan dipotong-potong tersebut, hasil mutilasinya akan digelindingkan ke bawah lubang dan bermuara ke dasar ngarai yang kita lewati ini. Entah, terbayang atau tidak, tapi suasana gelap dan sunyi di tempat yang kita lewati memang mendukung penuh cerita tersebut. Saya membayangkan sebelum ada jalanan aspal yang mulus yang saya lewati, potongan-potongan tubuh manusia tersebut bergelimpangan berjatuhan dari pintu-pintu dan lubang-lubang di dinding ngarai tersebut. Bukan pemandangan yang bikin nafsu makan pokoknya. Tiba-tiba jadi kenyang...hahaha.
Sekarang, berpuluh-puluh tahun semenjak kejadian tersebut, jalanan aspal curam telah terbentuk di sisi dinding ngarai. Saya dan rekan-rekan melintasi di atasnya. Konon, dahulu waktu pembuatan jalan yang masih dalam hitungan dasawarsa, banyak ditemukan sisa tulang belulang di dasar ngarai. Sisa tulang belulang tersebut tentu sudah dibersihkan dan didoakan agar mereka diterima di sisiNya dan tidak berkelana di bumi ini lagi. Nah, pelintasan tersebut, selain mampu membangkitkan cerita seram dan menakutkan (berkat suasananya yang emang gelap juga), ternyata menyimpan potensi kecantikan alam Bukittinggi. Ngarai yang akan kita tuju terletak di sebelah sisi kanan, cantik untuk dilihat. Sayangnya, nggak bisa berhenti di sisi jalan dan berfoto-foto. Selain jalanannya memang tidak terlalu lebar (hanya bisa dimuati dua kendaraan saja), memangnya anda yakin mau foto foto di tempat gelap dekat Lubang jepang tersebut? Hihihi...Sampai di dasar ngarai, akhirnya saya melihat plangnya. Kedai Nasi Gulai Itiak Lado Mudo Ngarai. Rumah makan ini berlatar pemandangan ngarai yang masif. Hebat. Bravo. Indah. Mantep. Cakeph. Tempatnya memang hanya sebuah rumah makan sederhana khas daerah yang pasti anda cukup kenali. Namun, deretan mobil-mobil mewah memadati halaman depan rumah makan yang tidak terlalu lebar ini. Alhasil, mobil-mobil tersebut diparkir di banyak tempat di sekeliling rumah makan. Yuk, udah cukup komentarin eksteriornya. Mari masyuk.
Begitu masuk, kami dihadapkan pada kenyataan mengecewakan. Banyak yang sudah habis termasuk itiaknyo! Bagaimano iko! Padahal waktu masih menunjukkan pukul 1 siangg loh. Kayaknya rumah makan ini memang super duper laris manis. Terkenal pula. Makanya, nggak heran kalau baru jam 1 tapi banyak menu sudah habis. Melihat tampang kita yang kecewa, mungkin ibunya gak sampai hati kali yach.Tapi kita juga gak nyerah. Saya coba bertanya apakah ada pilihan lain misalnya ayam lado mudo dan ternyata untungnya ada. Ndak apo apo deh gak dapat itiak yang penting kan merasakan bumbu lado mudonyo, yo?! Ayam dan itiak apo bedanyo? Samo sajo rasanyo....Hihihi...
Jadi, begitulah disajikan berbagai jenis makanan seperti khas rumah makan Minang seperti paru, telur, jeroan, daun singkong, usus dan karipiak jangek yang gede banget! Tentu, yang diserbu adalah ayam lado mudo dan karipiak jangeknyo! Kerupuk jangek atau yang biasa dikenal dengan rambak atau kerupuk kulit ini memang besar.ukurannya sendiri mencapai selengan anak bayi. Besar dan puas makannya. Makan satu pastinya nggak cukup dech! Harganya juga lumayan. Maklum, ukurannya gede. Bikinnya juga susah donk. Jangan samain sama kerupuk jangek yang kecil. Kalau misalnya nggak inget budget, saya pasti udah makan kerupuknya banyak banged. Mana di belakang si ibu ada sekantong besar kerupuk jangek diiket. Wah, naluri maling langsung berdering. Hihihi....
Saya sendiri nggak berminat sama sekali untuk mencicipi jeroannya. Paru masih acceptable, tapi kalau yang lain nggak dech. Selain nggak terlalu suka jeroan, saya juga mikir kesehatan. Hehehe...Paru memang bikin penyakit juga sich tapi saya kan makannya nggak banyak-banyak. Boleh donk... Hehehe...Lagipula ayam lado mudonya saja sudah lebih dari cukup. Rasa lado mudonya memang bener-bener mantep. Pedas tapi tidak berlebihan. Malah terasa segar dan asin (asin sangat mendominasi) dan mau lagi dan lagi. Duh, air liur saya berlinang...hahaha. begitu ayamnya habis, kita gak rela melihat bumbunya tersisa begitu saja. Mentimun potong yang ada di meja dikorbankan untuk kepentingan perut. Mentimun campur lado mudo ternyata enak juga. Slurppp... bener-bener puas dech makan siang kali ini.
Nah, soal minumannya, berhubung kami semua sedang berada di jantung kuliner Sumatera Barat. Nggak ketinggalan donk mau icip-icip kuliner minumannya. Yang saya pesan adalah Teh Talua dan rekan saya memesan Jus Alpukat. Walaupun Teh Talua memang lebih cocok diminum sebagai menu sarapan karena kehangatannya cucok banget untuk udara Bukittinggi yang sejuk dan dingin, namun saya sempetin minum siang-siang. Ternyata, enak juga sich. Rasa minuman ini ada yang bilang kayak Cappuccino. Menurut saya, nggak terlalu sama persis. Kandungan dan bau amis yang ada di minuman ini masih terasa. Untuk orang yang nggak tahan amis, sebaiknya gak memesan minuman ini daripada mual. Minuman ini tergolong berat karena rasa dan teksturnya. Rasanya mengingatkan saya akan jamu-jamuan tertentu atau ramuan herbal. Walaupun manis mendominasi, namun secara keseluruhan, minuman ini berat dan tebal. Sesekali nanti saya akan memesannya kembali tapi nggak sering-sering lah. Enak tapi bukan favorit saya. Sementara itu, teman saya yang memesan Jus Alpukat ternyata harus sedikit kecewa lantaran tidak ada yang spesial dari Jus Alpukat yang diminumnya. Bukannya tidak enak, namun rasa minuman tersebut hampir sama atau bahkan sama seperti jus alpukat yang pernah ia minum. Tidak ada perbedaan signifikan. Saya mencobanya dan menyimpulkan hal serupa juga. Mungkinkah perbedaannya dari buah alpukat yang digunakan? Siapa tahu alpukat yang digunakan ditanam di sekitar Bukittinggi? Saya tidak menanyakannya kepada Uni penjualnyo.
Untuk makan siang kali ini, walaupun harganya masih masuk dalam kategori murah meriah dan terjangkau, namun harganya memang agak sedikit lebih tinggi daripada rumah makan pada umumnya. Kalau rumah makan Padang pada umumnya, kami bisa menghabiskan dana sekitar 100 ribuan, namun di Itiak Lado Mudo, untuk makan siang 5 orang, kami menghabiskan dana sekitar 160 ribuan. Artinya, satu orang menghabiskan sekitar 30 ribuan lebih. Walaupun demikian, harga yang dibayarkan sebanding sama kepuasannya. Perut pun tidak meronta-ronta lagi. Sudah duduk tenang, akur, hampir mengantuk.
Beberapa tamu yang datang sesudah kami tampaknya harus benar-benar menelan kekecewaan karena hampir semua menu telah kosong. Perut dan lidah memang nggak bisa bohong. Tauk aja mana yang enak dan yang ngga. Nah, seusai makan, saatnya tepat sekali untuk meluruskan perut dan kaki dengan berjalan-jalan kaki ringan ke arah Ngarai. Siap foto-foto lagi!
Oh yah, agar nggak kecewa, coba dech telepon dulu Itiak Lado Mudo Ngarai di 0752.35574, Jalan Ngarai Binuang No. 41. Siapa tahu itiaknya masih tersisa dan anda masih bisa kejar waktu kesana, berlomba-lomba dengan peserta lain. Hehe...

Saturday, September 26, 2009

Kembali (Lagi) Ke Jam Gadang Bukittinggi

Akhirnya sampai juga di Sumatera Barat! Eh..Bukittinggi maksudnya! Saya rasa setiap orang yang berkunjung ke sini pasti akan mengatakan hal yang sama kalau melihat jam ini. Autentik Sumatera Barat Banget kan? Oh yach, Jam Gadang yang sangat khas Bukittinggi (dan Sumatera Barat) ini memang terletak di tengah-tengah jantung Kota Bukittinggi. Pokoknya, ada yang salah dengan anda kalau sampai ke Bukittinggi tapi gak ke jam ini (pengecualian buat orang yang sudah keseringan ke Bukittinggi dan bosen sama jam ini..hihihi...). Jam Gadang ini bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Kebun Binatang Kinantan, terus melalui Jalan Minangkabau melewati Pasar Atas. Kalau anda sewa mobil, harusnya lebih gampang lagi yach.
Jadi, lokasi yang saya kunjungi ini adalah sebuah pelataran kecil, sejenis taman yang dipenuhi dengan pohon dan bunga-bungaan dalam pot. Aktifitas penduduk Bukittinggi tampaknya memang terkonsentrasi di tempat ini. Banyak banget orang yang berlalu lalang di sekitar kita, baik yang bajunya rapi banged, a la turis, hingga super santai a la penduduk lokal. Jam Gadang Bukittinggi terletak di salah satu sudut pelataran ini.
Jam Gadang ini adalah warisan dari pemerintah kolonial Belanda waktu mereka menjajah Indonesia. Atraksi utama jam ini (selain berfoto bersamanya) adalah menaiki puncaknya sehingga keseluruhan kota dapat terlihat (tentunya dengan gunung-gunung yang mengelilingi kota ini). Sayangnya, dua kali kunjungan saya ke Bukittinggi, dua kali pula saya tidak menemukan adanya petunjuk tentang bagaimana menaiki puncak jam atau bahkan suatu indikasi bahwa objek wisata ini dibuka untuk umum. Saya pernah mendengar, di dalam jam terdapat sekitar berpuluh-puluh set anak tangga curam dinaiki (berhubung tidak ada lift). Di dalamnya kita bisa melihat bagian dalam mesin jam dan pemandangan di atas yang (katanya) menakjubkan. Sayang, saya nggak memiliki kesempatan untuk menaiki jam (tentunya, waktu juga yang memisahkan kita...hayah...).
Jadi, kegiatan utama dan satu-satunya yang bisa kita lakukan disini adalah berfoto-foto (kebetulan, cuaca mendukung, adem sejuk semriwing). Berhubung pelatarannya lebar dan objek wisatanya juga bagus, maka foto-foto dengan latar belakang jam ini juga seru-seru aja. Di sekeliling jam, banyak terdapat pedagang mainan menjajakan mainan-mainan lucu seperti remote control atau boneka ayam dan kelinci yang bisa bergerak. Banyak anak-anak merengek kepada bapak atau emaknya untuk dibelikan mainan-mainan tersebut. Mungkin berhubung waktu kunjungan saya yang pas hari minggu, pelataran ini cukup ramai yach.
Sayang, yang menganggu adalah rombongan pengamen sekitar pelataran yang bergaya (maaf) kumuh dan memaksa orang untuk memberikan derma pada kantong yang mereka bawa. Ketika saya mengatakan ‘maaf’ tanda tidak ingin memberi, mereka terus memaksa dengan menyorongkan kantong uang tersebut ke saya. Ketika saya katakan dengan tegas bahwa saya tidak ingin memberikan sesuatu, mereka pergi sambil mengumpat. Sungguh hari yang menyenangkan! Kalau saya boleh kasih saran sama walikota Bukittinggi, yang kayak begini ini yang harus dibasmi!Maaf saja, Bukittinggi adalah kota wisata yang harusnya nyaman dan aman. Mereka bahkan tidak memainkan musik (hanya genjrang genjreng seadanya dan langsung meminta derma). Musik yang dimainkan jauh dari bagus atau menarik. Saya malah menganggap mereka mengganggu. Saran saya, kalau anda-anda ini memang orang yang ‘nyeni’, coba dech sedikit kreatif dengan alat musik anda, jangan hanya genjrang genjreng begitu saja. Ciptakan musik yang unik yang justru membuat orang berduyun-duyun ingin melihat pementasan anda. Dijamin, uang sumbangan juga akan datang tanpa diminta. Salah satu ide yang terlintas di kepala saya adalah pementasan tari atau setidaknya musik rampak dan gondang. Lebih menarik dan tidak merusak harmoni yang ada di kota yang cantik ini, bukan?
Di sekitar pelataran, ada sejumlah bendi wisata (lengkap dengan hiasan rumbai-rumbai dan bantal cantik berimpel) yang diparkir dan siap mengantarkan anda-anda sekalian berkeliling kota. Kebetulan cuaca biasanya tidak terlalu panas di sini, sehingga jalan-jalan sich asik asik saja. Pemandangan di sekitar pelataran adalah Kota Bukittinggi bagian bawah, kantor turis, Balai Sidang Bung Hatta, dan Plaza Bukittinggi. Kalau memang waktunya panjang, coba dech Makan di Nasi Kapau Uni Lis (di bawah pintu masuk Pasar Atas) atau bisa juga beli makanan bungkus, lalu makan di sekitar pelataran (jangan sampai ngotorin yach, selalu jaga kebersihan!).

Friday, September 25, 2009

Pasar Atas Bukittinggi

Walaupun masuk dalam daftar rekomendasi tujuan wisata di Bukittinggi, namun kenyataannya saya hanya sekedar lewat saja di pasar ini. Selain memang tidak mencari sesuatu yang spesifik di pasar ini (pasar ini terkenal karena oleh-oleh penganan kue basahnya), kebetulan saja saya melintas dari arah Taman Bundo Kanduang menuju Jam Gadang dan melewatinya. Di tengah-tengah ujung kerumunan mobil yang diparkir di halaman tengah area, ada sebuah gerbang masuk yang bertuliskan “Pasar Wisata Pasar Atas” di atas gerbang tersebut. Sayang, waktu yang sempit nggak mengijinkan saya untuk menjelajah pasar ini lebih jauh. Saya masih harus ngejar beberapa tempat untuk melihat landmark Bukittinggi dan Sumatera Barat. Alhasil, puas berfoto sebentar dengan wajah Pasar Atas ini, saya segera kembali melaju ke arah Jam Gadang.
Memang, nggak ada yang terlalu spesial dengan pasar ini. Uniknya hanyalah detail ukiran Minang dan lis yang menghiasi pasar, bahkan hingga ke semacam tempat pembuangan sampahnya! Manis banget. Jangan lupa, Nasi Kapau Uni Lis yang terkenal itu ada di Pasar Atas ini. Perhatiin dech pintu masuk di sisi kiri gerbang utama, anda akan melihat spanduk Nasi Kapau Uni Lis disitu. Kalau pas lagi jam makan siang dan penasaran sama Nasi Kapau khas Bukittinggi yang paling terkenal, cobain aja masuk ke dalam dan nikmati rasa khas Bukittinggi. Sebagai perbandingan juga, selain Pasar Atas, adapula Pasar Bawah di Bukittinggi ini. Keduanya terkenal sebagai pasar wisata yang menjual berbagai pernak-pernik makanan maupun aksesoris dan oleh-oleh. Walaupun demikian, saya juga agak heran. Pasar Atas lebih banyak mendapat rekomendasi dimana-mana dibanding Pasar Bawah. Kenapa yach?

Thursday, September 24, 2009

Benteng Fort De Kock Di Tengah Taman Bundo Kanduang

Di bagian kiri Taman Bundo Kanduang, di tengah-tengah taman yang ditutupi oleh hutan pinus (banyak pinecone loch yang berserakan disini. Kegiatan mengumpulkan pinecone bisa asyik juga). Ada sebuah benteng kecil yang dilihat dari rupanya sich, nggak mirip benteng seperti yang kita bayangkan. Dalam bayangan saya, benteng seharusnya memiliki pintu gerbang dan pagar tinggi yang luas sebagai barikade menuju bangunan utama. Kenyataannya, benteng ini tidak terlalu besar. Bentuknya malahan mirip dengan sebuah menara pengawas saja. Ditambah dengan kegiatan di bawahnya, sebuah ruangan terbuka mirip aula dengan segerombolan keluarga yang makan siang bersama, bangunan ini semakin tidak menyerupai benteng.
Benteng Fort De Kock namanya. Benteng ini didirikan pada tahun 1825 oleh Belanda sebagai basis pertahanan. Tanda kehidupan benteng bisa dilihat dari sisi sekitar benteng yang ternyata banyak meriam kecil. Sempet terbersit rasa penasaran juga sich, ada apa di puncak benteng ini. Konon, katanya wilayah perbukitan ini tergolong tinggi di Bukittinggi ini. Alhasil, dari puncak benteng, kita dapat melihat seluruh wilayah kota, pas banget untuk memantau pergerakan musuh. Ada sebuah tangga panjat yang terjal, terbuat dari besi dan sedikit keropos langsung menuju puncak menara. Tapi, melihat kondisinya, saya langsung urung untuk menaiki benteng tersebut. Takut gak bisa naik dan takut kalau berhasil naik, malah ga bisa turun. Sudahlah, pengamatan benteng cukup dari bawah saja. Hehe...
Ada sejumlah permainan anak-anak seperti rumah mini dan perosotan yang ada di depan benteng. Gak heran wilayah sekitar benteng penuh banget sama anak-anak dan keluarga yang makan siang (waktu itu sedang jam makan siang). Ditambah dengan adanya taman burung (lebih tepatnya sejumlah burung yang dikandangin di area depan taman) membuat tempat ini ramai banget. Sejumlah anak-anak malah lebih asik bermain dengan meriam (menaiki meriam) daripada mainan resmi yang disediakan. Mungkin karena keterbatasan jumlah kali yach, makanya mereka sampai naik meriam beramai-ramai. Hehe...

Wednesday, September 23, 2009

Jalur Alternatif Jonggol Dari Cibubur Ke Cianjur

Sungguh menggelikan melihat ritual tahunan orang-orang yang tidak berangkat mudik dan memilih untuk tetap berada di Jakarta. Sepanjang tahun, mereka harus menelan dengan susah payah pil pahit yang namanya kemacetan. Ketika Jakarta ‘agak’ sedikit lowong di kala Lebaran, mereka malah mencari sumber kemacetan lainnya, yakni tempat-tempat wisata di dalam kota dan di seputaran Jabodetabek. Alhasil, Anyer, Bandung, Bogor, Purwakarta, Puncak, penuh sesak dijejali oleh orang-orang yang berwisata. Tak ayal pula, jalan akses menuju tempat wisata akan padat dan cenderung macet. Sudah mengalaminya setahun penuh, masih rindu pula untuk mengalaminya di saat Lebaran. Orang Jakarta…
Padahal, ada satu buah jalan yang untuk saya, bagaikan sebuah oase di kala Puncak, Bogor dan Bandung penuh sesak oleh orang-orang Jakarta yang berwisata. Jalan itu bernama Jalan Trans-Yogie atau yang lebih dikenal dengan Jalan Alternatif Jonggol. Jalan ini menghubungkan Jakarta di pintu Cibubur dengan Cianjur dan bahkan Bandung melalui jalur alternatif. Bertahun-tahun saya mengalami dan melalui jalan ini. Jalan alternatif ini tetap seperti yang saya kenal, sama seperti dahulu, sepi, sedikit fasilitas dan aspal yang bagus.
Entah mengapa, hingga sekarang saya selalu merasa heran. Ada akses jalan yang bagus dari Jakarta menuju Puncak atau Bandung ketika ruas jalan lainnya tidak dapat diharapkan tetapi mengapa masih menggunakan akses jalan yang lama untuk menuju tempat wisata? Disana-sini saya mendengar macet di kilometer sekian Tol Cipularang atau diam tak bergerak di Pasar Cisarua. Jalan Alternatif Jonggol ini bebas dari semua hal tersebut.
Kalau anda dari Jakarta, coba dech pertimbangkan jalan ini ketika anda ingin berlibur ke Puncak atau Bandung. Dari Tol Jagorawi atau Jalan Raya Bogor, pilihlah exit Cibubur sehingga berujung di Bumi Perkemahan Cibubur. Dari sini, silahkan ambil jalan yang menuju Cileungsi. Inilah Jalan Trans-Yogie atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jalan Alternatif Joggol. Jalan raya dengan lebar 6 kendaraan (selepas Cileungsi, lebar menyusut menjadi 2 kendaraan hingga Ciranjang) ini menghubungkan Cibubur, Cileungsi, Jonggol, Cariu, Cikalong Kulon, Cianjur dan Ciranjang serta Padalarang. Secara umum, jalanan ini beraspal bagus walau ada sebagian kecil yang bertambal sulam dan sebagian lainnya sedang diperbaiki. Namun, 90% kondisi jalan bisa dikatakan laik pakai. Memang, dibandingkan dengan jalan yang sudah ada seperti ruas Tol Jagorawi-Ciawi-Cipanas atau Tol Cipularang-Bandung, jalan ini kalah dari segi fasilitas. Jumlah rumah makan, toilet, Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) hingga tempat perhentian wisata tidak sebanyak dua jalan akses utama lainnya. Jalan alternatif Jonggol ini tidak memiliki SPBU dengan fasilitas yang komplit seperti yang ada di Tol Cikampek atau Jagorawi. Tidak ada SPBU yang ber-café atau memiliki minimarket disini. Rumah makan yang tersedia sepanjang Jalan Alternatif Jonggol ini pun tidak menentu. Sebagian besar rumah makan yang ada hanyalah rumah makan sederhana dan tanpa adanya fasilitas rambu-rambu petunjuk keberadaan rumah makan tersebut. Kondisi yang sangat kontras terjadi di Jalan Raya Puncak dimana rumah makan berderet di kiri dan kanan jalan dengan jumlah pengunjung yang ramai. Mau makan apa saja ada. Kalau di jalur alternatif ini, rumah makan yang ada kebanyakan sangat sederhana dengan lauk sederhana pula. Kebanyakan rumah makan disini bertemakan masakan Sunda. Saya bahkan tidak yakin rumah makan tersebut beroperasi mengingat sepinya wisatawan yang melintas.
Walau demikian, ada hal yang tidak boleh diremehkan dari jalur alternatif ini. Kalau di Purbaleunyi, kita akan mendapat suguhan pemandangan bukit-bukit dan rel kereta api. Kalau di Puncak, kita akan mendapatkan suguhan pemandangan Gunung Gede dan Gunung Pangrango plus hawa sejuk sepanjang jalan (terkadang, ekstra bau kopling dari bus yang bergerak lambat di depan kita). Nah, Jalan Alternatif Jonggol ini memiliki bentangan alam yang cukup beragam, mulai dari persawahan dengan latar gunung di kejauhan di wilayah Cariu, sampai pemandangan gunung kapur di wilayah Cikalong Kulon. Sayang, hawa pegunungan yang saya diidam-idamkan tidak terlalu kentara di jalur ini. Suhu udara masih tergolong biasa saja cenderung panas walaupun pemandangan gunung yang disajikan tidak kalah menawan dibanding Puncak atau Purwakarta. Untungnya, walaupun panas, namun udaranya terasa segar tidak berpolusi.
Jalur yang tersedia memang hanya dua selepas Cibubur. Mulai dari Cileungsi terus hingga ke Ciranjang, hanya dua buah mobil yang dapat bersisian jalan untuk melintasi jalur ini. Walau demikian, nilai plus jalur ini adalah kondisi aspalnya yang bisa dikatakan cukup baik. Sayang, pe
nerangan jalur ini masih minim. Walaupun jalurnya hanya satu dan tidak terlalu bercabang-cabang, namun tanpa adanya penerangan yang cukup, pelintas bisa mengalami kesulitan saat melalui jalur ini. Oleh karena itu, usahakan melintas disini hanya sebelum matahari terbenam saja.
Untuk anda yang bosan dengan Puncak dan Bandung, Jalan alternatif Jonggol ini memiliki sejumlah tempat wisata yang unik dan agak berbeda dari yang sudah ada di kedua jalur utama tersebut. Hampir sebagian besar tempat wisata tersebut berlokasi di Cikalong Kulon. Dari arah Jakarta, anda akan bertemu dengan Kota Wisata, Taman Buah Mekarsari, Taman Pendidikan Penangkaran Rusa, Wisata Ziarah Dalem Cikundul, Waduk Cirata, Kota Cianjur, dan Waduk Saguling. Soal Hotel dan penginapan, jalur ini memiliki sedikit sekali penginapan yang bisa diandalkan. Memang, ada beberapa buah penginapan sederhana satu dua buah di Jonggol, Cariu dan di Cikalong Kulon. Penginapan umumnya terletak dekat dengan kawasan puncak gunung (dikelilingi kios-kios makanan) hingga berdiri sendiri tanpa adanya fasilitas pendukung lainnya di sekeliling. Kalau mau menginap, sebaiknya memang melaju ke kota terdekat seperti Cianjur, Puncak atau bandung dimana anda memiliki lebih banyak pilihan.
Kalau sudah bosan bermacet-macet ria di jalan raya utama Puncak dan Bandung , mengapa tidak sesekali mencoba yang agak berbeda dengan melintasi jalur ini? Perjalanan pulang atau pergi anda bisa dipangkas hingga beberapa jam. Tidak perlulah rasanya menjadi penggembira di lokasi-lokasi wisata yang penuh sesak. Anda nggak nyaman, dan bisa-bisa bukannya menjadi rileks malah menjadi semakin stres karena macet yang tak terperi di jalan tol dan jalan raya.

Saturday, September 19, 2009

Meniti Jembatan Limpapeh Bukittinggi

Sebenarnya ini jembatan biasa saja. Jembatan Limpapeh ini melintas di atas Jalan Achmad Yani, salah satu jalan paling ramai dan paling banyak hotel di Bukittinggi. Jembatan ini menghubungkan Taman Bundo Kanduang di sebelah kanan dan kiri (Benteng Fort De Kock dan Kebun Binatang Kinantan). Uniknya, jembatan ini berada di dalam taman, oleh karena itu tidak dapat dilintasi oleh kendaraan. Hanya pejalan kakilah yang dapat melintasi jembatan ini. Jembatan ini dihiasi oleh arsitektur Minang di gerbang masuknya. Kepala gonjong dan corak moghul menghiasi gerbang masuk dan bagian tengah jembatan ini. Tak ketinggalan, penjual aksesori dan kacamata hitam menggelar dagangannya, menawarkan jualannya pada pembeli yang melintas.
Dari atas jembatan, pemandangan yang bisa disaksikan masuk kategori lumayan. Dari atas jembatan, kita bisa menyaksikan pemandangan Kota Bukittinggi (terutama Jalan Achmad Yani). Beberapa rumah dengan atap bagonjong, Jam Gadang bisa terlihat dari atas jembatan. Nggak ketinggalan, gunung yang melingkari Kota Bukittinggi juga terlihat dengan jelas. Gunung Merapi dan Gunung Singgalang berwarna biru yang hampir selalu tertutup dengan awan dan kabut pada bagian lerengnya. Kalau bisa sich, jangan sampai terjebak hujan di jembatan ini. Soalnya, jembatan ini nggak punya kanopi pada bagian atapnya. Alhasil, kalau hujan, kita bakalan basah kuyub, kecuali berteduh di bagian tengah jembatan yang beratap gonjong. Namun, coba pikirin lagi dech, kalau sampai hujannya lama, berbadai dan berpetir, saya rasa menunggu di bawah tengah jembatan adalah hal yang salah juga. Soalnya saya kebetulan mengalami kehujanan ketika di tengah jembatan ini. Hehehe...

Friday, September 18, 2009

Kembali Ke Kebun Binatang Kinantan

Sebenarnya, Kebun Binatang ini, bersama-sama dengan Jembayan Limpapeh dan Benteng Fort De Kock bersama Taman Burung, membentuk tempat yang dinamakan Taman Bundo Kanduang. Jalan masuk menuju taman ini ada dua : satu di Jalan Minangkabau, sebelah kanan Jalan Ahmad Yani, jalan utama Kota Bukittinggi, satunya lagi berada di Jalan Benteng, di sebelah kiri Jalan Ahmad Yani. Tiket masuknya sama dimana pun anda masuk. Rp. 8.000 untuk hari libur dan minggu. Untuk hari biasa, Rp. 5.000 per orang.Nggak ada sesuatu yang bener-bener spesial di Kebun Binatang Kinantan ini. Koleksi hewannya boleh dikatakan cukup untuk penduduk kota ini. Yang jelas, kebanyakan hewan-hewan tersebut terlihat kurus dan dalam kondisi yang agak menyedihkan. Mungkin karena tiket masuknya yang tergolong murah yach? Hewan penghuni kebun binatang ini terdiri atas (yang cukup jelas terlihat) Gajah, Beruang Madu, Harimau, Anoa, Binturong, dan Rusa Totol. Lain-lainnya berupa beberapa jenis burung yang agak kurang diketahui jenisnya, maklum, nggak ada papan petunjuk informasi jenis hewan sama sekali.
Ukuran tamannya sendiri sich cukup luas sebenernya, jadi, kalau nggak melihat hewan, pengunjung bisa berkeliaran dengan bebas di dalam taman yang cukup sejuk ini sebenernya. Pepohonannya cukup banyak dan rindang. Areal buat hewannya sendiri cukup luas koq sebenernya, hanya saja ya itu, terlihat agak kurang perawatan. Di hari itu, banyak keluarga yang memboyong anak-anak mereka untuk melihat-lihat hewan-hewan yang ada di dalam kebun binatang ini. Untungnya, atraksi yang tersaji bukan hanya kandang-kandang hewan saja. Walaupun cukup untuk bisa memberi pengetahuan lebih pada anak-anak, namun nggak setiap minggu donk, anak-anak harus dibawa ke taman ini? Lama-lama mereka bisa jadi peta berjalan taman ini saking hafalnya! Hehehe…Yang jelas, di kebun binatang ini ada sejenis pasar malam dengan atraksi utama sebuah bianglala warna-warni (lokasi dekat dengan kandang primata). Selain pasar malam, ada pula museum kecil tempat hewan-hewan awetan (hewan yang diawetkan disini adalah hewan yang mati alami di kebun binatang ini, bukan dibunuh secara paksa). Koleksinya sangat beragam dan bahkan unik. Saya melihat sejumlah burung Kuau dan Kasuari yang menurut saya sangat eksotis. Sayang, sekali lagi sayang, museum kecil ini tampak kurang perawatan. Beberapa bulu binatang sudah cacat mengelupas, termakan usia atau proses pembuatannya kurang baik mungkin? Ada juga kerangka ikan paus yang sudah tidak tampak utuh dan –tolong dech- dicorat-coret oleh tangan-tangan jahil. Kata ‘Beradab’ memang masih jauh di awang-awang rupanya. Vandalisme dan ‘keisengan’ masih merajalela dimana-mana. Nggak hanya museum dan pasar malam, kebun binatang ini memiliki sebuah rumah tradisional Sumatera Barat, Rumah Gadang Baanjuang namanya. Tiket masuk ke rumah adat ini adalah Rp. 1.000. Di dalamnya, ada berbagai pernak-pernik kedaerahan Sumatera Barat mulai dari pakaian adat, kain, hingga perhiasan dan segala perlengkapan adat Suku Minang. DI dalamnya, kita bahkan bisa berfoto sambil mengenakan pakaian adat khas Minangkabau, tertarik? Boleh coba! Kalau misalnya nggak ada waktu untuk berfoto, boleh coba foto-foto di luarnya saja. Rumah adat yang digunakan pun dibuat dengan mendetail dan hampir sama seperti rumah adat pada umumnya. Di sekitar rumah adat ini bahkan terdapat lumbung dan sejenis beduk dalam balutan khas Minang. Di depan rumah adat Baanjuang ini juga terdapat patung-patung wanita menumbuk pagi dan sepasang pengantin khas Minang yang sedang berpose. Kalau sudah malas berfoto-foto dengan ornamen di dalam taman, misalnya meriam, ya duduk aja. Duduk disini juga lumayan koq. Bau hewan yang biasanya tercium kuat di kebun binatang tidak terlalu mendominasi. Perkecualian untuk kandang Anoa yang memang cenderung agak basah, di tempat lain, bau hewan tidak terlalu mendominasi sehingga masih nyaman-nyaman aja tuh duduk lama-lama disini. Buat yang bawa anak, bisa coba kegiatan seperti menunggang gajah atau kuda (Gajah Rp. 2.000, Kuda Rp. 5.000). Saya sendiri nggak mencoba kegiatan ini karena saya nggak bawa anak dan saya bukan anak-anak. Haha...

Thursday, September 17, 2009

Kota Bukittinggi

Inilah kota resort, tempat peristirahatan yang sudah terkenal sejak masa kolonialisme Belanda di negeri ini. Kalau diumpamakan, kota ini bisa disejajarkan dengan Puncak-nya Jakarta, Brastagi-nya Medan, Ungaran-nya Semarang, Trawas-nya Surabaya atau Batu-nya Malang dan Malino-nya Makassar. Selalu ada kota resort yang sejuk yang menjadi favorit orang-orang untuk berwisata, sebagai tempat pelarian dari rutinitas dan kesibukan kota.
Dalam perjalanannya, kota ini adalah kota yang penuh dengan sejarah. Tercatat, tahun 1825, Belanda telah menjadikan kota ini sebagai tempat basis pertahanannya. Hal ini terbukti dengan adanya benteng Fort De Kock di wilayah ini. Kota Bukittinggi juga menjadi tempat asal dan kelahiran proklamator Indonesia, Bung Hatta. Dalam sejarah pula, Kota Bukittinggi pernah menjadi pusat pemerintahan Negara Indonesia. Mungkin sejenis Ibukota Negara pada jaman dahulu yach.
Kota Bukittinggi ini memang berhawa sejuk karena terletak di ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut. Konon, pada jaman dahulu, ketika malam hari, penduduk sini nggak berani mandi dan ketika berbicara, hawa dingin keluar dari mulut. Dingin banget! Sayangnya, saya tidak merasakan hawa dingin yang sama ketika saya berkunjung ke kota ini. Entah sudah terlalu banyak orangnya atau sudah semakin penuhnya pemukiman disini. Kalau ditelaah, ya sebenarnya wajar-wajar saja mengingat Sumatera Barat adalah 5 besar daerah tujuan wisata di Indonesia. Hampir semua paket tur dan perjalanan yang ‘menjual’ Sumatera Barat akan menyertakan Bukittinggi dalam itinerary perjalanan. Sudah sangat terkenal banged yach kota ini?
Kota Bukittinggi seringkali juga dicirikan sebagai identitas Sumatera Barat secara keseluruhan, dan bahkan mencirikan kebudayaan Minang. Jam Gadang yang terletak persis di tengah-tengah jantung kota menjadi salah satu ikon kota dan sekaligus ikon Sumatera Barat. Kata orang, nggak afdol kalau ke Sumatera Barat tapi gak datang dan berfoto bersama jam besar ini. Bukittinggi juga surganya makanan asal tanah Sumatera Barat. Hampir mayoritas makanan asal Sumatera Barat yang terkenal dan mampu melanglang jauh hingga ke daerah lain, ternyata berasal dari sini. Sebut saja Nasi Kapau, Bubur Kampiun dan Teh Talua. Segudang makanan lain juga banyak di kota ini misalnya Lapek Bugih, Lamang Tapai dan Bika Simaryana. Jangan lupa Gulai Pakis dan lewatilah tempat orang berjualan Karipiak Sanjai sebagai oleh-oleh bahwa anda dari kota ini. Buat informasi saja, Nasi Kapau adalah nasi khas Bukittinggi yang berbeda dengan Nasi Padang. Perbedaannya terletak pada cita rasanya yang lebih kuat rasa bumbunya dibanding daerah pesisir. Bubur Kampiun adalah bubur dengan isi beragam bisa berupa kolak pisang, ketan hitam, kacang hijau, dan sumsum. Teh Talua adalah teh yang dicampur dengan telur dan dikocok tangan dengan kecepatan tinggi. Jadilah teh dengan warna mirip seperti kopi. Rasanya sich agak mirip dengan Cappucino kalau kata orang-orang. Namun, buat anda yang tidak suka yang agak amis, sebaiknya hindari minuman ini. Namun, buat anda yang eksperimental, wajib hukumnya untuk mencobai minuman satu ini. Nggak dua kali anda bisa datang jauh-jauh sampai ke Bukittinggi! Siapa tahu anda malah ketagihan. Lapek Bugih adalah makanan ringan sejenis Bugis, terbuat dari tepung beras ketan dan berisi gula merah atau gula pasir dan ditabur dengan parutan kelapa. Temannya, Lamang Tapai mungkin bisa diibaratkan sejenis Tape Uli. Lamang yang terbuat dari ketan dimakan bersama dengan Tapai yang kita kenal sebagai Uli hitam. Doyan Tape Uli donk? Kalau Bika Simaryana, mirip dengan Surabi Bandung. Bedanya, Bika ini hanya ada di Bukittinggi saja. Gulai Pakis mungkin bisa dicoba di saat makan siang. Gulai ini memanfaatkan pucuk-pucuk daun pakis yang masih muda. Empuk rasanya. Sekali lagi, hanya ada di Bukittinggi saja. Kalau penasaran yah silahkan dicoba. Untuk oleh-oleh, Kalau anda melewati jalan akses Bukittinggi arah Padang Panjang, tepatnya di Jalan Kapas Panji, berhentilah di salah satu deretan toko penjual Karipiak Sanjai (Sanjai artinya Singkong) dalam berbagai varian rasa dan bentuk. Disini, anda bebas memanjakan mata melihat berbagai bentuk macam keripik dan penganan kecil dari Bukittinggi dan daerah sekitarnya. Mau beli karipiak hingga gelamai, semua ada disini.Julukan Kota Wisata juga ternyata melekat kuat pada kota dengan kontur naik turun sepanjang wajah kota. Tercatat, ada beberapa objek wisata yang dapat dinikmati selama anda berada di dalam kota ini saja. Sebut saja, Jam Gadang, Benteng Fort De Kock, Kebun Binatang Kinantan, Ngarai Sianouk, Lubang Jepang dan Pasar Wisata. Jumlah hotel di tempat ini tidak terhitung lagi. Mulai dari hotel bintang berbintang, hingga hotel melati dan hotel tanpa status pun banyak sekali di kota ini. Pemandangan kota ini luar biasa indah, apalagi kalau anda menaiki Jembatan Limpapeh dan menikmati kota dari ketinggian. Ada 3 gunung yang langsung menyambut anda sebagai pemanis wujud kota ini, Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago dimana ketiganya pada umumnya selalu tertutup awan dan kabut pada puncaknya. Gunung yang memiliki ketinggian hampir 3000 meteran ini berwarna biru tua. Rancak Bana! Pemandangan gunung yang agak berbeda dari yang biasa kita lihat di Jawa.
Kalau memang ternyata memiliki waktu agak berlebih, boleh dech mencoba jalan-jalan hingga malam dan menginap di kota ini. Kehidupan malam di kota ini juga gak kalah menarik dibanding siangnya. Jam Gadang dan warna kota yang berkelap-kelip dengan cahaya lampu bisa jadi pengalaman unik kan?
Beberapa hotel yang mungkin bisa anda pertimbangkan kalau anda ternyata jadi menginap di Bukittinggi :
• Hotel Orchid, Jalan Teuku Umar 11. Tel (0752) 32634
o Rp. 100.000 (2 orang) kamar mandi dalam, air dingin, sarapan pagi
o Rp. 150.000 (2 orang) kamar mandi dalam, air panas, sarapan pagi, televisi
• Hotel Kartini, Jalan Teuku Umar 6. Tel (0752) 22885
o Rp. 150.000 (2 orang) kamar mandi dalam, air panas, sarapan pagi, televisi
• Hotel Gallery, Jalan Agus Salim 25. Tel (0752) 23515
o Rp. 150.000 (2 orang) kamar mandi dalam, air dingin, sarapan pagi, televisi
• Hotel Asia, Jalan Kesehatan 38. Tel (0752) 625277
o Rp. 100.000 (2 orang) kamar mandi luar, air panas, sarapan pagi, televisi
• Hotel Parai Bukittinggi, Jalan Raya Bukittinggi KM 7. Tel (0752) 628808 / 22444
o Rp. 314.600 (2 orang) standard bintang 3
• Villa 97, Jalan Batang Masang 97. Tel (0752) 22076
o Rp. 190.000 (2 orang) kamar mandi dalam, air panas, sarapan pagi, televisi
• Hotel Singgalang, Jalan Achmad Yani 130. Tel (0752) 628709
o Rp. 120.000 (2 orang) kamar mandi dalam, air panas, sarapan pagi, televisi
o Rp. 150.000 (3 orang) kamar mandi dalam, air panas, sarapan pagi, televisi
o Amenities seperti handuk dan sabun tersedia
Mungkin anda bertanya-tanya, kenapa kebanyakan dari hotel ini menawarkan fasilitas air panas? Di pagi hari nanti, anda akan menyadarinya mengapa setiap hotel memasukkan fitur air panas ke dalam paket kamarnya. Kalau anda memang tidak butuh, yah, bagus sekali.
Selalu tanyakan fitur deposit di tempat ini. Berhubung mereka hotel wisata dan mindsetnya seperti itu, tak jarang mereka selalu mensyaratkan deposit kalau misalnya anda mau melakukan reservasi. Pada beberapa hotel, free-deposit diberlakukan untuk tamu yang tiba di hotel sebelum pukul 2 siang. Tentu, ini bentuk antisipasi dari mereka agar tidak mencadangkan kamar kosong yang tidak akan terjual. Mungkin mereka selalu ramai dan memiliki okupansi tinggi, berhubung Bukittinggi adalah daerah wisata. Tidak lucu kalau reservasi anda dibatalkan karena turis yang menginap sangat banyak di kota ini (terlebih pada akhir minggu). Bisa-bisa ngamuklah si Uda dan Uni kalau anda nekad membatalkan reservasi pada akhir minggu. Hehe...