Saturday, October 31, 2009

Katedral Paroki Hati Kudus Yesus di Malang

Gak jauh dari bundaran Malang, tiba-tiba saja bangunan tinggi ini mencuat, menyolok, menjulang dan menohok langit yang biru bersih. Bangunan ini memang terlihat berbeda dari lingkungan sekelilingnya. Bangunan tinggi berwarna krem ini memang berbeda dengan ruko-ruko di sekelilingnya. Gereja kuno peninggalan Belanda ini telah lama juga menjadi ikon Kota Malang, bersanding dengan Tugu Malang dan Toko Oen. Gereja kuno ini adalah Gereja Katedral Kota Malang. Gereja Katolik ini memiliki nama Gereja Paroki Hati Kudus Yesus.Apa sih yang menarik dari gereja ini? Dilihat sekilas dari arsitekturnya saja, pertanyaan tersebut sudah terjawab. Berhubung gereja ini dibangun pada masa kolonialisme Belanda pada jaman dahulu, gak heran, bentuk bangunannya sangat mengingatkan kita akan bangunan-bangunan di Amsterdam. Halah. Kayak pernah kesana aja. Hehehe…Saya ke gereja ini agak siang pada hari minggu ini. Alhasil, sayang sekali saya nggak bisa ikut misa kudus ekaristi yang berlangsung pagi dan sore hari. Jadi, saya hanya bisa berfoto-foto di depan gereja yang sudah tutup ini. Gerbang utama gereja ini sudah tutup sehingga saya hanya bisa masuk lewat pintu samping yang dijaga satpam. Saya minta ijin untuk berfoto-foto kepada bapak satpam. Mungkin karena potongan saya turis sehingga bapak tersebut mengiyakan saya kali yach, apalagi saya bawa kamera di tangan. Hehehe…
Sayang, tutupnya gereja tersebut juga berarti tutupnya pintu besarnya. Jadi, saya nggak bisa melihat ke dalam gereja ini. Selain bangunan gereja utama, gereja ini juga memiliki bangunan kecil di sebelahnya yang juga berarsitektur Belanda. Mungkin bangunan ini sejenis kapel atau kantor gereja kali yach. Gereja ini terletak di selatan bundaran besar Kota Malang. Dari bundaran besar tersebut, dengan berjalan kaki 5 menit saja anda sudah bisa mencapai gereja ini. Gereja ini berhadapan dengan Pusat Informasi Turis Kota Malang, Toko Oen dan sebuah patung yang tepat berada di tengah-tengah persimpangan (saya kebetulan nggak terlalu mengamati siapa patung yang ada di tengah persimpangan tersebut). Kesulitan saya hanya satu disini. Agak susah menyebrang ke gereja tersebut karena arus lalu lintas yang cukup ramai dan hampir tiada berhentinya di persimpangan ini. Hati-hati sajalah ketika menyebrang.

Friday, October 30, 2009

Informasi Lengkap di Malang Tourist Information Center

Salah satu dari sedikitnya kota yang memiliki pusat informasi turis. Untuk itu, saya harus banyak berterima kasih kepada Kota Malang. Saya bahkan harus berterima kasih lebih banyak lagi karena pusat informasi turisnya buka! Bukan sekedar sebuah gedung simbolik yang tidak terurus dan tutup. Alih-alih gedung, wujud pusat informasi turis ini hanya berupa sebuah bangunan sederhana seperti kios namun sekali lagi, tempat ini buka! *yippppiieee*
Malang tampaknya sangat sadar akan posisi mereka yang sangat strategis sebagai tempat wisata dan juga sebagai salah satu titik awal kunjungan turis yang akan ke Bromo. Pusat informasi turisnya saja tercatat ada dua buah di tempat yang tidak terlalu berjauhan. Dua-duanya buka dan informatif! Ya, ada dua pusat informasi turis yang berada di pusat kota. Satu kios berada di dekat Katedral Malang dan satunya lagi berada di Alun-Alun Malang, pusat kegiatan warga kota ini. Seperti umumnya pusat informasi turis, tempat ini dibekali dengan buku tamu, brosur-brosur, peta dan informasi yang bisa membantu anda mencapai Bromo. Ya, Malang sangat Bromo oriented. Tampaknya memang segala macam arus kunjungan turis akan sedapat mungkin dialihkan ke Bromo sebagai titik puncak kunjungan wisatawan selama di Malang atau Jawa Timur. Mereka menyediakan segala macam informasi yang berkaitan dengan hotel, persewaan mobil, tur yang bisa diatur dan jasa pemandu. Selain Bromo, tentu ada brosur yang berkaitan dengan Kota Malang sendiri, Batu dan Surabaya. Saya bahkan diberikan brosur fotokopi peta Kota Malang dan objek wisata yang ada di dalamnya. Hampir semuanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Mbakyu yang berjaga di dalamnya ada dua orang dan mereka berdua berbahasa Malang dengan sangat kental. Pengetahuan mereka akan produk-produk wisata yang ada di pusat informasi ini mencapai 90%. Mereka tahu sebagian besar lokasi, paket tour, rute, kendaraan hingga tempat-tempat yang tidak ada di peta (saya menanyakan sejumlah tempat tujuan yang tidak ada di peta dan mereka bisa menjawabnya!). Saya sangat senang bisa datang ke pusat informasi turis ini. Kalau misalnya anda butuh bantuan tentang perjalanan wisata anda, silahkan datang ke Pusat Informasi Turis Kota Malang. Dijamin, servisnya akan membuat anda sangat terbantu. Kunjungi Malang Tourist Information Center (MTIC) di Jalan Jend. Basuki Rahmad 06 Malang 65119, telepon (0341)323966

Thursday, October 29, 2009

Bakmi Bromo Pojok Malang yang Super Enak!

Di dekat Hotel Helios, tepatnya di Jalan Pattimura 53, ada sebuah rumah makan yang ramai senantiasa. Buka dari pagi sekitar jam 9 hingga malam menjelang pukul 10. Istimewanya, selalu ramai. Sudah pasti donk, lidah tidak bisa berbohong soal rasa. Selera manusia akan makanan mungkin berbeda-beda. Namun pendapat mengenai enak atau tidaknya suatu makanan tampaknya adalah suatu hal yang paten. Mie Bromo Pojok yang terlketak di Jalan Pattimura 53 ini adalah salah satunya. Rasa enaknya terbukti nyata dengan ramainya pengunjung rumah makan ini. Saya sampai rela makan dua kali disini :)
Apa sich istimewanya makanan di tempat ini? Yuk mari, kita makan siang bersama. Menu utama yang ditawarkan di tempat ini adalah bakmi. Bakmi disajikan dengan pangsit goreng dan daun selasa segar. Tidak hanya itu, di atas bakmi tersebut ditambahkan topping sesuai dengan selera pembeli. Menurut saya, topping inilah yang membuat mie ini begitu spesial. Saya sendiri mencoba Mie Sosis Keju. Paduan yang unik antara kuliner timur (bakmi) dengan kuliner barat (sosis dan keju). Hasilnya adalah rasa yang enak sekali. Ya, enak sekali. Pilihan menu lainnya adalah bakso, pangsit, siomay, ayam jamur, mie jawa dan aneka macam bubur. Buat anda yang kurang eksperimental, ada juga mie ayam biasa. Nggak usah takut dengan menu-menu yang unik tersebut.
Selain bakmi, yang unik dan terkenal dari tempat ini adalah es campurnya. Dijamin, pertama anda melihat menu, yang terlihat pertama kali adalah es campurnya yang memang memiliki penampilan unik. Bentuknya yang ajaib dibarengi dengan warnanya yang mencolok membuat anda penasaran akan rasanya. Jadi, segala macam isi seperti cincau, agar, ditimbun dengan es serut hingga berbentuk gunung es. Gunung es ini kemudian disiram dengan topping sirup tertentu sesuai dengan pesanan pembeli. Belum cukup lagi, siraman sirup tersebut disiram lagi dengan bola-bola permen warna-warni. Produk ini lebih mengingatkan saya akan mainan anak-anak dibanding pencuci mulut.Soal rasa, memang es campur ini bukan favorit saya. Saya memesan Es campur durian dengan harapan saya bisa merasakan durian yang sesungguhnya. Sayang beribu sayang, durian yang digunakan sebagai sirup pelapis hanyalah durian sirup. Rasa manis yang saya rasakan sangat artifisial. Tambahan lagi, sirup durian tersebut berdaya lengket sangat kuat. Saya yakin, sirup ini mampu mengelem gigi anda erat-erat hingga butuh tenaga ekstra untuk melepaskannya. Saya sendiri tidak begitu suak dengan jenis makanan yang terlalu manis seperti ini. Maka, ini mungkin bukan favorit saya. Terlepas dari sirup topping yang super manis dan super lengket tersebut, saya sendiri malah menyukai bahan-bahan inti dari es campur ini. Rasanya pas dan tidak berlebihan. Segar dan manisnya pas. Kalau tidak ada sirup pelapis di atasnya, es campur ini sempurna untuk saya. Sayang, padahal tujuan dari sirup pelapis ini adalah untuk tampilan es yang lebih unik dan atraktif. Tapi buat saya, atraktifnya ini tidak dibarengi dengan fungsinya. Maklum, namanya juga Es Campur Artistik. Seni tidak selalu bisa dimakan khan? Hehehe…
Untuk harga, bolehlah diadu. Rumah makan ini jauh dari kata mahal. Rata-rata bakminya dibanderol mulai dari Rp. 8.000 hingga belasan ribu rupiah. Untuk es campurnya, hanya Rp. 10.000 saja. Es campurnya bahkan menurut saya bisa dikonsumsi dua hingga tiga orang. Terlalu banyak kalau untuk dikonsumsi satu orang saja. Saya sangat merekomendasikan anda yang berkunjung ke Malang untuk makan di rumah makan Bromo Pojok ini. Namun soal pencuci mulutnya, saya tidak terlalu menyarankan anda mencobanya kecuali penasaran atau bolehlah minta agar tidak diguyur sirup.
Bakmi Bromo Pojok ini memiliki sejumlah cabang selain di Jalan Pattimura 53 ini. Satu cabang berada di Jalan S.Parman wilayah Glintung, satu lagi berada di Kota Singosari, cukup jauh di luar Kota Malang. Dari Hotel Helios, depot mie ini bisa dicapai dengan mudah dengan berjalan kaki. Nomor Telepon Depot Mie Bromo Pojok di Glintung Jalan S.Parman di 0341(9208080).

Wednesday, October 28, 2009

Selamat Datang di Kota Malang

Malang adalah salah satu kota besar yang ada di Jawa Timur. Sejak jaman kolonialisme dulu, Malang sudah sangat terkenal sebagai kota peristirahatan para njonja dan meneer pada jaman itu. Hal ini berkaitan dengan suhu kota ini yang bersahabat. Bahkan, tanpa AC pun anda tidak akan merasa terganggu sama sekali apabila tinggal di kota ini. Di pagi hari, cuacanya cukup sejuk. Di siang hari, suhu rata-ratanya tidak terlalu berbeda dengan kota-kota pada umumnya hanya saja hawanya lebih segar. Dan malam hari, saya menggigil padahal sudah mengenakan selembar selimut!
Bukti warisan kolonialisme pada jaman dahulu tercermin dari bangunan-bangunan yang banyak menghiasi sudut kota ini. Yang paling jelas tentu bangunan-bangunan di sepanjang bundaran utama kota yang sangat kental nuansa kolonialismenya. Sebut saja, Balai Kota Malang, Katedral Malang, GPIB Malang, Kantor Pos dan Toko Oen. Semua bangunan tersebut masih dalam bentuk aslinya. Serasa berwisata ke 100 tahun yang lalu yach?
Tidak hanya bangunan, kuliner pun sedikit banyak mendapat pengaruh sangat besar dari pendudukan kolonialisme pada masa itu. Kalau di Surabaya terkenal akan Kupang Lontong, Rujak Cingur dan Sotonya, maka Malang lebih terkenal akan produk-produk yang agak ke-Belanda-an. Misalnya, Brood dan Es Krim yang melegenda dari Toko Oen. Brood itu roti dalam Bahasa Belanda. Roti dan produk variasinya seperti taart, cake, aneka roti dan macam-macam jenis es krim begitu terkenal dari Malang sehingga sangat wajib hukumnya untuk mencoba menu ini dari kota ini. Menu lain yang terkenal adalah Cwie Mie Malang. Berbeda dengan roti yang banyak mendapat pengaruh Belanda, Cwie Mie tentu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Chinese. Maklum, Selain Belanda, Pedagang Chinese pada jaman dahulu banyak berkarya di kota ini. Cwie Mie sendiri memiliki banyak varian merek di kota ini. Cie Mie sendiri adalah mie pangsit biasa dengan bumbu utama saus tomat yang banyak plus bahan-bahan pelengkap lain seperti gorengan pangsit, otak-otak dan lainnya.
Kalau soal buah, tentu kita akan berbicara soal apel. Memang, walaupun daerah penghasil apel yang sebenarnya adalah Kota Batu (barat laut Malang) namun nama yang tersohor hingga saat ini adalah Apel Malang. Hal ini lumrah mengingat Kota Batu dahulunya masih masuk dalam Kabupaten Malang. Apel Malang terkenal akan warnanya yang hijau, agak masam dan berukuran sedang. Apel Malang sangat terkenal di kalangan pembuat kue karena konon apel inilah yang terbaik untuk digunakan sebagai bahan baku apple pie. Di Kota Batu dan Malang inilah industri pengolahan produk pangan dari apel sangat pesat berkembang. Sebut saja keripik apel, jus apel dan macam-macam turunan produknya menjadi trade mark kota ini. Oleh-oleh yang paling lazim dan harus dibawa ketika anda berkunjung ke Kota Malang adalah apel. Titik.
Walaupun matahari bersinar dengan terik, namun berjalan siang hari sekalipun di kota ini cukup menyenangkan. Teriknya matahari berimbang dengan segarnya udara kota ini. Karena pusat kotanya tidak terlalu lebar, area sekeliling bisa ditempuh dengan berjalan kaki mulai dari Lapangan Brawijaya, Gereja Katedral, Alun-Alun Kota, hingga Tugu Malang dan Stasiun Malang. Buat anda yang nggak biasa berjalan kaki, ada banyak sekali angkutan kota yang melewati daerah-daerah tersebut. Mayoritas angkutan Malang melewati daerah pusat kota ini. Nah buat anda yang males berganti-ganti angkot dan males menghapal rute, ada baiknya anda naik becak. Hitung-hitung bagi-bagi rejeki sama bapak penarik becak yang mengais rejeki disini. Yang menyenangkan dari becak di Malang adalah keramahan dan di sisi yang berlawanan adalah kecuekannya. Maksudnya apa? Ketika saya berjalan kaki melewati mereka, mereka tersenyum dan menyapa saya (maklum, potongan turis sich…hihihi…). Kecuekan mereka menyenangkan ketika mereka tidak memaksa-maksa saya untuk menaiki becak mereka. Terkadang, saya memang lebih suka berjalan kaki dibanding naik kendaraan agar saya bisa mengamati suatu objek lebih lama. Nah, para bapak ini tidak menganggu saya karena mereka tidak memaksa saya untuk menaiki becak mereka. Walaupun naik becak murah (Rp.3.000 – 5.000 untuk putar-putar pusat kota) namun naik becak atau berjalan kaki tentu adalah pilihan tersendiri bagi penikmat kota ini. Saya suka bapak-bapak becak yang ramah dan informatif ini.
Objek wisata yang bisa dilihat di kota ini beragam. Sebagian besar memang berupa bangunan karena lokasi wisata alam terletak agak jauh ke luar kota. Yang wajib kunjung disini adalah Tugu Malang, Pasar Besar Kota Malang, Museum Bentoel, Katedral Malang, Toko Oen, Hotel Tugu, Stasiun Malang, Museum Brawijaya, Pasar Burung, Taman Budaya Malang, Perpustakaan Umum Kota Malang, dan Candi Badut yang agak jauh berada di daerah Tidar. Kecuali Candi Badut, hampir semuanya berada di pusat kota. Kalau anda punya waktu sangat luang dan kaki yang kuat, semuanya ini bisa dikunjungi hanya dengan berjalan kaki saja.
Kota ini bisa dicapai dari Surabaya selama 2 jam perjalanan darat menggunakan bus dari Terminal Purabaya (Bungurasih) atau dengan kereta Panataran dari Stasiun Kota (Semut) atau Gubeng, Surabaya. Kalau anda tidak berasal dari Surabaya, mungkin anda bisa mengambil pilihan lain berupa jalur udara. Malang dapat dicapai dengan pesawat udara. Bandara Abdurachman Saleh menjadi pintu gerbang kota ini dari udara. Malang bisa dapat dengan mudah dicapai juga dari kota-kota tetangganya seperti Blitar, Kediri, Batu, Jombang, Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo dan Lumajang. Kota-kota ini mempunyai angkot atau bus yang sampai ke Malang. Selain Batu, semua kota tersebut mempunyai akses jalan kereta api dari/ke Malang baik langsung atau melalui kota lain terlebih dahulu.
Jangan bayangkan Malang sebagai kota kecil tanpa kehidupan malam yang memadai untuk anda para insomnia. Malang memiliki kehidupan malamnya sendiri. Denyut kehidupan Malang tetap terjaga bahkan selepas tengah malam walau dengan ritme yang menurun. Anda bisa melihat masih banyak kendaraan berseliweran hingga malam hari dan menjelang pagi di kota ini. Anak muda di kota ini banyak yang menghabiskan waktunya untuk bercengkrama di kedai kopi yang banyak menjamur di kota ini, sebut saja Und Corner, Toko Oen dan Java Dancer. Malang juga punya mall loch, yakni Olympic Garden yang terletak agak barat dari pusat kota. Beberapa factory outlet, warung kopi pinggiran dan tempat billyar juga meramaikan kehidupan malam kota ini. Jadi, anda harusnya nggak perlu kuatir harus tidur cepat lantaran tidak ada atraksi apapun selepas malam menjelang. Mau yang mahal di kedai kopi hotel hingga kedai kopi pinggir jalan yang menjual wedang jahe, semua ada di Malang. Jangan lupa cicipi roti bakar ditambah kopi susu untuk menghangatkan malam anda yang dingin. Satu hal lagi yang membuat Malang sangat berkesan untuk saya adalah soal keamanannya. Saya berjalan malam hari di kota ini dan merasa sangat aman. Penduduk kota ini ramah dan baik. Saya tidak takut berjalan malam sekalipun. Hotel-hotel murah meriah di kota ini pun telah mengenal para turis backpacker yang menginginkan tempat tidur murah namun cukup bersih. Alhasil, pilihan hotel backpacker di Malang cukup banyak.
Kunjungan ke Malang adalah sesuatu yang membuat rindu. Saya senang bisa berkunjung ke kota ini. Saya rindu akan iklimnya yang sejuk dan di malam hari bisa membuat saya menggigil kedinginan. Selain itu, yang membuat rindu lainnya adalah kue-kue kecilnya yang enak dan murah dari Und Corner. Walau enak, saya nggak bisa lama-lama juga tinggal disini. Bisa-bisa saya gendut karena setiap hari memakan kue-kue kecil berkeju yang enak dan murah itu. Hehehe…

Tuesday, October 27, 2009

Mau Tidur Di Malang, Pilih Hotel Helios atau Jona's Homestay?

Saya memiliki dua rekomendasi untuk menginap di hotel backpacker ini. Kedua hotel ini terkenal dengan kemurahan hati pemilik serta karyawannya, harga yang bersahabat untuk para backpacker serta fasilitas yang membuat para backpacker akan merasa sangat dihargai. Kedua hotel tersebut adalah Hotel Helios dan Jona’s Homestay. Untuk harga, keduanya tidak terpaut jauh. Untuk lokasi, keduanya juga tidak terpaut terlalu jauh, masih berada di sekitar bundaran utama Kota Malang ditambah dengan sedikit berjalan kaki saja. Kedua hotel ini bahkan direkomendasikan dalam Lonely Planet Indonesia. Dalam spanduk yang dipajang, bahkan Hotel Helios menuliskan dengan jelas bahwa mereka direkomendasikan oleh Lonely Planet. Tampaknya rekomendasi oleh Lonely Planet sudah setara dengan medali emas disini. Jelas saja, orang-orang di seluruh dunia membeli buku tersebut dan apabila mereka datang ke Malang akan memilih hotel yang sudah direkomendasikan tersebut.
Saya tiba di Kota Malang dengan kepercayaan diri yang tinggi. Walaupun saya datang pada musim liburan, saya yakin akan mendapatkan tempat karena beberapa hari sebelumnya, ketersediaan kamar selalu tinggi. Jadi, saya merasa tidak wajib untuk booking kamar. Apalagi, sampai ketika saya tiba di Malang, saya masih bingung sebaiknya dimanakah saya menginap, Jona’s atau Helios. Bingung memilih sampai tidak jadi booking.Saya kena batunya. Siang itu, di Arjosari, saya baru menelepon kedua hotel tersebut. Hotel pertama yang saya telepon adalah Jona’s. Dengan sangat menyesal, pengangkat telepon yang ramah tersebut mengatakan bahwa tidak ada kamar pada siang itu. Yang tersisa hanya kamar berukuran besar yang harganya cukup mahal. Tidak masuk budget saya. Padahal, Jona’s Homestay ini memiliki rate :Rp. 60.000 (satu orang, televisi, air panas, kipas angin dan kamar mandi luar)
Rp. 75.000 (dua orang, televisi, air panas, kipas angin dan kamar mandi luar)
Rp. 100.000 (bisa untuk 3 orang dengan fasilitas yang sama)
Jumlah kamar di Jona’s memang terbatas, hanya dua untuk setiap jenisnya. Mungkin ini yang menyebabkan kamar-kamar tersebut selalu terisi penuh. Dalam Lonely Planet, Jona’s Homestay ini dikatakan berarsitektur kolonialisme sehingga saya pikir pasti menarik untuk ditempati dan dijadikan objek berfoto. Sayangnya, saya tidak memperoleh satu kamar pun di Jona’s. Bagi anda yang penasaran, bisa hubungi Ibu Anna yang ramah, Jona’s Homestay, Jalan Sutomo 4, (0341)324678.
Akhirnya, saya menghubungi alternatif pilihan kedua saya. Saya memilih Hotel helios karena hotel ini adalah salah satu hotel yang mendapat rekomendasi cukup tinggi dari Lonely Planet. Hotel Helios ini bahkan memiliki situs sendiri dan dari foto-fotonya, saya bisa mengatakan bahwa saya menyukai hotel ini. Keberuntungan tampaknya tidak menyertai saya. Lagi-lagi tidak ada kamar untuk saya di Helios. Langsunglah kaki saya terasa lemas. Kemana lagi saya harus menjatuhkan pilihan kalau dua hotel ini sudah penuh? Pilihan hotel lainnya terletak cukup jauh dari pusat kota ataupun kalau dekat, harganya tidak masuk dalam anggaran. Untung saja, sang pengangkat telepon, Pak Franky mengatakan bahwa pada siang itu ketersediaan kamar adalah kosong. Namun, selepas pukul 1 siang, mungkin ada kamar kosong di harga Rp. 95.000. “Saya ambil Pak!”, demikian saya katakan tanpa berpikir panjang lagi. Lokasinya yang strategis dekat dengan pusat kota dan foto-foto hotel yang terlihat nyaman dan aman, membuat saya tertarik sekali dengan hotel ini. Hotel Helios memiliki rate :
Rp. 55.000 (kamar mandi luar, dua orang)
Rp. 95.000 (kamar mandi dalam, shower air panas, sarapan pagi nasi goreng untuk dua orang)
Rp. 115.000 (kipas angin, kamar mandi dalam, shower air panas, sarapan, dua orang)
Rp. 125.000 (AC, kamar mandi dalam, shower air panas, sarapan, dua orang)
Rp. 150.000 (AC, televisi, kamar mandi dalam, shower air panas, sarapan, dua orang)
Satu hal yang bisa saya simpulkan seketika saya tiba di Arjosari, kedua hotel ini (dan hotel-hotel lain yang saya telepon) memiliki staff dengan sifat yang ramah. Mereka dengan senang hati membagi informasi berupa harga kamar bahkan hingga angkot yang dapat membawa saya menuju hotel mereka. Mereka dengan senang hati menjelaskan bahwa saya harus naik AT (Arjosari Tidar) untuk sampai pusat kota walaupun saya belum tentu menginap di hotel mereka. Saya senang dengan keramahan ini.
Akhirnya, saya naik angkot AT (Arjosari Tidar) dari terminal Arjosari menuju pusat kota Malang. Memang, setelah melewati berbagai ruas jalan, berlama-lama di terminal (nggak apa-apa dech, kan kamarnya baru tersedia selepas pukul 1 siang) akhirnya saya sampai juga di Hotel Helios. Hotel ini terletak di dekat belokan jalan yang agak teduh dan tidak terlalu ramai. Di depan hotel tersebut ada serombongan orang yang baru saja tampaknya melakukan check out. Artinya kamar saya sudah siap donk? Hehehe…
Begitu saya masuk, saya disambut oleh seorang bapak berkumis tebal yang berkesan galak. Tapi, begitu melihat saya, mata itu langsung tersenyum ramah dan dengan sopan beliau menunjukkan kamar seharga Rp. 95.000 yang akan saya tempati. Berhubung para tamu baru saja check out, maka kamar tersebut perlu sedikit dibersihkan. Tidak apa-apa, saya menunggu di café kecil di bagian bawah hotel sambil menonton televisi. Memang, bangunan Hotel Helios tampaknya adalah sebuah rumah yang disulap menjadi hotel dengan banyak kamar. Bangunannya sendiri tidak tampak terlalu tua atau berkesan kolonialis, namun jelas terlihat bahwa bangunan ini mewakili arsitektur jaman yang telah lewat.
Menariknya, kamarnya ternyata bersih dan rapih. Bahkan, saya tidak menemukan adanya tanda pelapukan apalagi jamur di dinding. Kamarnya benar-benar bersih dan nyaman. Segera saya katakan setuju dan saya melakukan proses pembayaran terlebih dahulu. KTP saya disimpan di front office untuk proses registrasi (jangan lupa ambil KTP anda selepas check out yach). Kamar yang saya terima adalah kamar dengan twin bed. Kamar itu memiliki kamar mandi dalam(lengkap dengan shower air panas), toilet, wastafel dan cermin, meja rias, lemari kecil, exhaust fan, dan lampu tidur. Untuk kamar seharga Rp. 95.000, ini adalah penawaran yang sangat baik. Apalagi, besok ada jatah sarapan pagi berupa nasi goreng pula. Murah dan hemat. Di sisi tempat tidur saya ada sejenis bantalan yang tampaknya berguna untuk mencegah kaki atau bagian saya menendang dinding yang putih. Jadi, mencegah saya mengotori dinding, saya kalau tidur pasti menendang bagian bantalan tersebut.
Saya sempat beberapa kali melihat kamar Rp. 55.000 yang memiliki kamar mandi luar. Ternyata, fasilitas yang didapat cukup jauh berbeda dengan kaamr Rp. 95.000. Kamar yang lebih murah seakan-akan berasal dari jaman yang berbeda dengan kamar yang saya tempati. Ranjangnya sendiri terbuat dari besi sehingga memperkuat kesan penjara dan hotel jaman dahulu. Sementara itu, tempat tidur saya sudah bisa dikatakan spring bed nyaman dan empuk. Dinding kamar yang lebih murah pun tidak putih seperti kamar yang saya tempati, lebih merupakan susunan tegel. Di sisi depan kamar saya, ada sebuah bangunan yang sedang sibuk dikerjakan oleh para buruh. Bangunan tersebut rencananya akan dibuat untuk kamar-kamar tambahan di hotel ini. Aktifitas mereka tidak menganggu kegiatan tidur saya sama sekali. Mereka tidak terlalu berisik dalam bertukang.
Beberapa kali saya menjumpai tamu lain di hotel ini yang ternyata kebanyakan adalah tamu warga negara asing. Tampaknya, efek Lonely Planet merekomendasikan hotel ini sungguh sangat kuat. Mayoritas pengunjung hotel ini tampak dengan jelas adalah warga negara asing. Bagian tengah hotel berupa taman dengan banyak ditempatkan sangkar-sangkar burung yang bisa bicara seperti beo misalnya. Kalau anda ngga ada kerjaan, muter atau foto-foto di taman seru juga walaupun saya sangsi karena banyak sekali kegiatan yang bisa dilakukan di Malang. Di café kecil di tempat saya menunggu di bawah tadi, ada daftar harga menu makanan yang dijual di Hotel Helios. Makanannya tidak terlalu mahal walaupun saya belum mencoba sama sekali untuk makan di hotel ini. Bubur, nasi goreng, mie goreong hanya seharga Rp. 7.000 saja. Untuk nasi ayam bumbu rujak, nasi kare kampoeng, nasi rawon hanya Rp. 10.500 saja sementara nasi krengsengan Hawai dan nasi campur goyang lidah berada di harga Rp. 12.500. murah banget yah?
Front Office Hotel Helios berfungsi juga sebagai pusat penerangan Kota Malang dan tour keliling Jawa Timur. Mereka menyediakan paket-paket tour untuk keliling Jawa Timur (terutama Bromo) dan Kota Malang khusunya. Saya sering kali merepotkan bapak-bapak yang ada disini dengan kerap bertanya jam buka, jam tutup atau akses jalan menuju suatu tempat baik dengan berjalan kaki atau naik becak dan angkot. Informasi yang diberikan cukup baik. Mereka mengetahui seluk beluk Kota Malang dengan baik dan bisa menjelaskan kembali kepasa kami dengan mudah. Hotel Helios ini memang terletak di dekat Monumen Tugu Kota Malang sehingga akses ke dan menuju hotel ini sangat mudah. Saya banyak menghabiskan waktu dengan berjalan kaki selama berada di hotel ini. Dari Monumen Tugu, hotel bahkan bisa ditempuh dalam 10 menit berjalan kaki (atau 5 menit berjalan cepat). Hotel Helios adalah hotel yang sangat saya rekomendasikan untuk anda kalau kebetulan anda berkunjung ke Malang. Tidak usah pilih kamar ber AC buat anda penggila AC karena pada dini hari, saya menggigil di tempat tidur padahal saya sudah berselimut! Dinginnya Malang di pagi hari adalah sesuatu yang saya akan selalu rindukan. AC atau kipas angin menjadi tidak terlalu berguna disini. Buat anda yang kebetulan lupa membawa amenities peralatan mandi, hotel ini menyediakan handuk dan sabun. Harga Rp. 95.000 tersebut benar-benar berdaya guna dengan baik sekali. Untuk anda yang butuh informasi lebih lanjut, hubungi Hotel Helios Malang, Jalan Pattimura 37, (0341)362741. atau kunjungi website mereka di www.hotelhelios-malang.com. Hotel Helios dengan tagline The Lovely Hotel Atmosphere Backpackers Home, siap menyambut anda.

Monday, October 26, 2009

Tiba-Tiba Sampai Di Terminal Arjosari

Sehabis Singosari, harusnya Blimbing lalu barulah Kota Malang. Ini menjadi pegangan saya selama saya naik bus dari Surabaya – Malang. Namun, ketika sudah melewati Kota Singosari dan saya terus mengamati jalan mencari nama “Blimbing” tiba-tiba saya dikejutkan oleh teriakan kenek bus yang berkata “Malang..Malang…”. Tiba-tiba saja, flyover besar sudah terbentang di depan bus namun bus tidak mengikuti flyover tersebut. Bus berbelok arah ke kiri dan tak lama kemudian berbelok ke kanan, masuk ke terminal. “Hah…? Sudah Malang? Blimbingnya mana?”
Belakangan, saya baru tahu bahwa ternyata Blimbing adalah bagian dari wilayah Kota Malang itu sendiri yang terletak di sebelah utara. Harusnya, tempat dimana saya diturunkan ini (Terminal Arjosari) masuk ke dalam wilayah Blimbing. Masih ada jarak yang cukup lumayan untuk mencapai Kota Malang itu sendiri dari Blimbing.
Terminal Arjosari sendiri adalah terminal besar Kota Malang yang menghubungkan Malang dengan banyak kota di Jawa Timur, mulai dari Surabaya, Jember, Probolinggo, Mojokerto, hingga Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta dan Denpasar. Terminal ini adalah terminal besar di kota ini. Nggak heran makanya hampir semua jurusan ke kota-kota besar lainnya bisa ditemukan disini. Terminal Arjosari sendiri tampak bersih, teratur dan saya merasa aman di dalamnya. Jauh dari kesan terminal yang menyeramkan. Uniknya pula, di Arjosari ini saya tidak dikerumuni oleh segerombolan calo kendaraan yang menawarkan saya untuk menggunakan jasa kendaraan mereka. Menyenangkan. Saya bisa menepi dan mulai melakukan reservasi ke beberapa hotel yang jadi pilihan saya(saya menelepon sendiri loch. Jangan kira ada stand-stand hotel di tepi terminal). Saya bisa menelepon hotel-hotel tersebut tanpa merasa terganggu oleh tawaran-tawaran yang memusingkan tersebut.
Serupa dengan terminal-terminal besar, di terminal ini ada juga tempat makan loch. Soto dan bakso menjadi makanan utama yang bisa anda temukan disini. Namun, saya nggak berniat makan. Kan tadi baru aja makan nasi soto di Purabaya toh? Masak mau makan lagi baru selang dua jam saja? Satu hal yang membuat saya teringat akan terminal ini begitu turun dari bus adalah keberadaan kios-kios kecil di jalan keluar terminal yang menjual berbagai keripik buah khas Malang yang utamanya adalah apel. Saya sudah resmi tiba di Malang kalau begini ceritanya. Hehehe…Tentu, saya nggak kalap berbelanja keripik donk. Saya masih memiliki banyak sekali tujuan dan nggak mau direpotkan dengan menenteng oleh-oleh yang merepotkan di jinjingan saya. Makasih.Oh yach, Terminal Arjosari ini dikenal dengan inisial A. Artinya, untuk setiap angkot yang melintasi Kota Malang, A menunjukkan Arjosari. Hal ini terjadi karena angkot di Kota Malang tidak menggunakan angka atau kode tertentu. Mereka menggunakan inisial terminal atau nama daerah. A menunjukkan Arjosari, L menunjukkan Landungsari, G menunjukkan Gadang, M menunjukkan Mergosono, D menunjukkan Dinoyo, T menunjukkan Tidar, B menunjukkan Borobudur dan banyak lainnya. Nah, huruf-huruf tersebut disatukan sehingga menjadi AT = Arjosari – Tidar. AG = Arjosari – Gadang. ABG = Arjosari – Borobudur – Gadang. Seperti itu. Tapi untuk amannya, coba dech tanya kepada pak supirnya. Mereka tampaknya sudah terbiasa dengan turis jadi tidak sungkan memberikan jawaban kalau ditanya. Satu hal, kalau anda buru-buru, sebaiknya anda mencari angkot atau bus di luar terminal saja. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, terminal di Indonesia adalah lokasi ngetem bus dan angkot. Dijamin, anda akan terjebak cukup lama sebelum kendaraan tersebut memulai perjalanannya. Kalau anda tidak didera jadwal yang ketat, anda bisa saja santai sambil meikmati kondisi sekeliling. Namun, kalau anda terdesak oleh jadwal ketat, sebaiknya anda mencari angkot yang sudah keluar terminal, atau lebih bijak lagi, gunakan ojek atau taksi. Jangan buang kesabaran dan tenaga anda disini.

Saturday, October 24, 2009

Naik Bus Dari Surabaya Ke Malang

Rute ini adalah salah satu rute paling menarik yang saya alami dengan perjalanan bus. Surabaya – Malang dapat ditempuh selama kurang lebih 2 jam dengan menggunakan kereta atau bus. Wilayah di sepanjang perjalanan ini adalah wilayah kota dan daerah pinggir kota yang bisa dibilang cukup maju. Jadi, udah ngga ada dech cerita tentang melintasi hutan di rute ini. Sepanjang perjalanan, mata kita dimanjakan dengan pemandangan kota, daerah pinggir kota, bangunan-bangunan dan pabrik serta pasar. Ada sangat banyak objek wisata yang bisa dilihat sepanjang perjalanan ini. Sayang, karena tujuan saya adalah Malang, maka saya tidak bisa berhenti di sembarang tempat. Padahal, objek-objek tersebut kebanyakan cukup menarik untuk disambangi. Sayang beribu sayang, saya harus tetap di bus kalau nggak mau kesulitan mencari bus berikutnya yang akan membawa saya ke Malang. Terlebih lagi, bisa-bisa jadwal yang sudah disusun bisa berantakan karena mampir sana sini dulu. Hehehe…
Sepanjang perjalanan, saya menemukan banyak sekali objek. Diantaranya yang masih cukup jelas terpetakan adalah :
Gunung Penanggungan. Gunung ini sudah terlihat cukup jelas mulai dari Jalan Raya Porong. Di saat saya melihat tanggul-tanggul lumpur di sepanjang Porong, gunung ini sudah terlihat jelas, lengkap dengan desa-desa yang menyemut di lerengnya. Cantik sekali. Gunung yang nggak terlalu tinggi ini (1653 mdpl) merupakan gunung yang sakral untuk umat Hindu-Buddha pada jaman kerajaan dulu. Hal ini terbukti dengan banyak sekali candi-candi yang dibangun dengan posisi menyebar mengelilingi lereng gunung ini. Tercatat, ada sejumlah candi yang mengelilingi gunung ini yakni Candi Jago dan Candi Jolotundo. Dari tempat saya berdiri di Porong, ademnya hawa pegunungan tidak terlalu terasa. Gunung ini terlihat jelas bahkan hingga Pandaan, Pasuruan. Disinilah baru hawa pegunungan mulai terasa walau tidak terlalu adem.
Masjid Muhammad Cheng Ho. Lokasi masjid ini ada di Kota Pandaan, sebelah kanan jalan raya Surabaya – Malang. Jauh dari kesan masjid, warna-warni masjid ini sekilas mengingatkan akan kelenteng. Dominasi warna merah dan bentuk fisiknya yang mirip kuil memang akan membuat orang salah mengira. Namun, di depan bangunan tersebut tertulis dengan jelas identitas masjid tersebut. Ini suatu bentuk keakraban umat beragama di Indonesia. Manis sekali. Biarpun namanya Masjid Muhammad Cheng Ho (Zheng Hee), bukan berarti masjid ini didirikan oleh Cheng Ho sendiri loch. Masjid ini adalah bukti keeksikan masyarakat muslim tionghoa yang berada di sekitar Pandaan. Untuk menghormati Laksamana Cheng Ho yang turut menyebarkan ajaran Islam pada masa itu, maka didirikanlah masjid ini pada tahun 2002, jadi masih tergolong baru yach.
Taman Safari II di Prigen, Pasuruan. Setelah sekian lama mendengar ada Taman Safari lain selain Cisarua, akhirnya saya berkesempatan ‘melintasi’ Taman Safari ini. Lokasinya ada di sebelah kanan jalan ruas Surabaya – Malang. Taman Safari ini ada di kaki Gunung Arjuno.
Kebun Raya Purwodadi. Kebun raya ini terletak sangat jelas di pinggir jalan raya Surabaya – Malang. Kebun raya ini ukurannya sangat besar dan luas. Terletak di Purwodadi, suhu udara di tempat ini tidak terlalu dingin. Melihat kebun rayanya, kita bisa tahu bahwa kebun raya tersebut pun tidak memberikan kesejukan selain keteduhan. Memang, kebun raya ini khusus diperuntukkan untuk penelitian iklim kering pada tumbuhan tropis, jadi wajar kalau suasana yang terbangun memang nggak terlalu sejuk.
Kota Lawang. Ini titik tertinggi dari jalur Surabaya – Malang. Gunung Arjuno terlihat dengan jelas di kota ini. Penanda utama anda telah tiba di kota ini adalah adanya sebuah flyover (rasanya sih hanya satu-satunya flyover setelah anda keluar dari Gempol yach) yang membelah kota ke arah barat daya. Menurut saya, hawa kota ini adalah yang tersejuk bahkan dibanding Malang dalam rute saya kali ini. Walau demikian, nama Lawang memang kalah terkenal dibanding Malang sebagai kota resort. Satu hal yang menarik disini adalah Hotel Niagara yang bisa anda jumpai di sisi kanan jalan begitu anda turun dari flyover. Bangunan paling tinggi sendiri di kota Lawang ini selain memiliki arsitektur yang agak berbeda karena sudah agak berumur, juga mewarisi cerita-cerita miring tentang keberadaan penghuni dunia lain. Ya, Hotel Niagara terkenal karena cerita-cerita hantunya walau hingga kini, cerita hantu tersebut tidak terbukti benar.
Kebun Teh Wonosari. Lokasinya beberapa kilometer selepas Kota Lawang. Kebun teh ini berada di lereng Gunung Arjuno, memanjakan para pengunjungnya dengan hamparan teh. Bisa untuk tea-walk nich. Sayangnya, rute Surabaya – Malang tidak melewati kebun teh ini. Kebun teh ini terletak di luar jalur utama. Anda harus menggunakan kendaraan berbeda atau angkot untuk mencapai kebun teh ini.
Candi Singosari. Buat yang ingat cerita sejarah, Singosari dahulunya adalah sebuah kerajaan besar yang terletak di Jawa Timur. Nah, di kota Singosari inilah diperkirakan pusat kerajaan Singosari itu berada. Sayangnya lagi, rute Surabaya – Malang tidak melewati Candi Singosari, hanya melewati Kota Singosari dan Pasar Singosarinya saja. Dari pengamatan sekilas, perikehidupan Kota Singosari tidak jauh berbeda dengan kota-kota lainnya di Jawa Timur.
Kalau anda punya waktu banyak dan lebihan atau nggak mau diburu-buru, cobain dech satu-satu tempat wisata ini. kalau sudah, jangan lupa share cerita anda disini yach :D

Friday, October 23, 2009

Lumpur Porong Sidoarjo, Lumpur Paling Terkenal se-Indonesia

Akhirnya, saya melihat juga lumpur yang sangat terkenal se-Indonesia ini. Semburan lumpur yang meluap dari perut bumi hasil pengeboran Lapindo Brantas dari tahun 2006 hingga kini tidak pernah berhenti. Entah sudah berapa banyak desa, kampung, sawah, toko yang ditenggelamkan oleh lumpur yang tidak pernah berhenti meluap walau sedetikpun. Hingga saat ini pun, proses pembayaran ganti ruginya masih tersendat, menyisakan kepedihan mendalam bagi warga Porong yang harta bendanya ditenggelamkan lumpur.
Terlepas dari itu semua, saya memang agak terkejut melihat lokasi lumpur Lapindo ini. Begitu keluar dari jalan tol yang menghubungkan Surabaya dengan Gempol, bus yang saya tumpangi langsung masuk ke jalan utama yang menghubungkan Sidoarjo dengan Malang. Disinilah pengalaman saya bermula.
Lokasi lumpur tersebut persis berada di sisi sebelah kiri jalan yang saya lalui. Suasana panas menyengat sangat terasa di tempat ini(banyak yang bilang, suasananya mirip sekali dengan film-film cowboy di padang pasir di Amerika sana). Memang, saat itu banyak kendaraan sedang tertumpuk macet di tempat ini. Selain kemacetan, ada yang bilang juga suhu panas yang dirasakan berasal dari lumpur yang terus menerus meluap. Buat anda yang nggak bisa membayangkan seperti apa bentuk lokasinya, saya coba jabarkan disini. Jadi, kalau anda naik kendaraan apapun, anda nggak akan bisa melihat luapan lumpurnya sama sekali. Yang akan anda lihat hanyalah tanggul-tanggul tinggi yang dibuat berundak-undak dengan lintasan kendaraan di bagian undakan tanggul tersebut (biasanya untuk perlintasan motor). Di balik tanggul-tanggul tersebutlah terdapat kolam lumpur yang berisi desa, rumah, sawah dan apapun yang ada di bawahnya. Kalau anda pernah mengunjungi kawah gunung berapi, anda pasti akan mencium bau belerang disana. Memang, bau-bauan di sekitar Porong sangatlah tajam dan mirip sekali dengan belerang. Namun, saya tidak bisa memastikan itu bau belerang atau bukan karena tidak terlalu mirip dengan apa yang saya cium di kawah. Dari kejauhan, tampak asap mengepul dari arah tanggul-tanggul tersebut. Mungkin dari sanalah bau-bauan tersebut berasal.
Yang tampak di sekeliling saya, sungguh merupakan sebuah ironi. Di salah satu sisi, ada sebuah spanduk besar bertuliskan “Wisata Lumpur Lapindo”. Tampak banyak gerombolan orang yang menaiki tangga dan berada di puncak tanggul untuk melihat Lumpur Lapindo yang terkenal itu. Sementara itu, di sisi lain, ada banyak plang-plang kayu yang dicat seadanya dan saya yakin ditulis dengan penuh kemarahan : “Tanah milik warga, selesaikan dulu pembayaran” dan kata-kata lainnya dengan nada sejenis. Terasa ironis sekali lumpur tersebut dijadikan objek wisata walau di sisi lain, ini adalah daya positif mengubah bencana menjadi berkah. Setiap orang yang datang dipungut retribusi masuk sebesar Rp. 10.000. Pengunjung wisata lumpur ini cukup banyak juga ternyata. Ada puluhan orang bergerombol di satu bagian tanggul dan banyak lainnya di bagian tanggul lainnya. Berhubung ukuran tanggulnya memang besar, maka titik pengamatan lumpur pun bisa dilakukan di banyak tempat. Banyak sekali rumah maupun bangunan yang berdempetan dengan sisi tanggul sudah tidak dihuni dan tampak terbengkalai. Ada sebuah rumah yang sudah terbengkalai dengan papan kayu bertengger di atapnya bertuliskan “Rumah Ini Tidak Dijual”. Deretan ruko dan los kosong tanpa adanya pintu berderet terbengkalai di sisi tanggul. Suasananya betul-betul seperti kota mati yang ditinggalkan penduduknya karena suatu hal. Namun, ini nyata terjadi di depan saya. Rumah maupun bangunan yang ditinggalkan tersebut disebabkan karena tanahnya sebagian besar amblas. Jadi, tidak dapat dihuni lagi. Di beberapa titik bahkan saya melihat sebuah bangunan terbengkalai yang atapnya cukup rendah, hampir mendekati tanah. Menakutkan.
Kebalikannya, pada beberapa sudut yang agak berjauhan dengan tanggul, rutinitas kehidupan masyarakat Porong masih berjalan seperti biasa walaupun saya yakin, hidup mereka juga berada dalam kekuatiran. Saya menemukan dealer motor, bank, sekolah, pasar dan rumah-rumah di sepanjang Jalan Raya Jenggol yang saya lalui. Di sisi seberang jalan, bahkan di seberang tanggul, rutinitas jalan juga masih berjalan seperti biasa. Bakso Porong dan Soto Porong tampanya menjadi makanan yang terkenal disini. Sayang, saya nggak sempet nyoba dan juga ga minat untuk turun dan mendaki tanggul demi melihat lumpur. Alasannya hanya satu : panasnya terlalu menyengat! Huhhh…bener-bener nggak enak rasanya. Padahal, di sisi seberang tanggul, saya melihat pemandangan indah Gunung Penanggungan dengan banyak desa yang berada di lerengnya. Terlalu kontras untuk disajikan dalam satu frame. Sekali lagi, panas dan macet jadinya saya males ngapa-ngapain. Hehehe…

Thursday, October 22, 2009

Jangan Terkecoh, Nama Terminal ini adalah Purabaya atau Bungurasih

Kalau anda dari Bandara Juanda dan naik Damri untuk mencapai pusat kota, Terminal Purabaya (atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Bungurasih) ini adalah titik perhentian pertama. Bus Damri akan masuk terminal jadi anda nggak usah takut sama sekali akan ditinggal pergi atau terlewat. Patokan terminal Purabaya ini sendiri cukup jelas, setelah melewati City Of Tomorrow (CITO), nggak lama kemudian bus akan masuk ke sebuah terminal. Inilah Bungurasih atau Purabaya, terminal bus terbesar di Kota Surabaya (atau Sidoarjo). Terminal bus ini melayani berbagai rute ke berbagai kota di Jawa Timur bahkan hingga seantero Jawa seperti Solo, Yogya hingga Jakarta. Kalau mau bepergian ke berbagai kota di Jawa, anda bisa menuju terminal ini (dari Surabaya). Sayangnya, lokasinya memang sudah agak pinggir. Cukup jauh dari pusat kota. Lokasinya bahkan menurut saya sudah berada di Sidoarjo. Butuh sedikit effort memang untuk bisa mencapai terminal ini.
Sehabis turun, seperti layaknya terminal-terminal lain di Indonesia, anda akan diserbu oleh segerombolan calo angkutan yang saking semangatnya kadang-kadang bahkan sampai membantu anda membawakan barang bawaan anda. Maaf ya Pak, saya sudah punya tujuan sendiri. Tolong tas saya jangan ditarik-tarik begitu. Kebiasaan mereka ini adalah menempatkan anda di bus yang sama sekali kosong dan tidak jelas juntrungannya kapan akan berangkat. Alhasil, kalau anda ngejar waktu, anda akan keki sendiri. Tujuan mereka sih sebenernya cuma untuk memenuhi kuota penumpang angkot/bus mereka. Tapi, caranya salah dan maksa kalau menurut saya. Selain itu, mungkin jumlah angkutan yang berlebih dibanding dengan jumlah penumpang menjadi penyebab semua ini.
Anyway, setelah berhasil melepaskan diri dari serbuan para calo bus, mari kita mengisi perut terlebih dahulu sebelum bergerak lebih lanjut. Maklum, sampai di Sidoarjo, biasanya waktu sudah hampir siang. Kalau anda lanjut dengan naik bus berjam-jam lagi, mungkin anda sudah tidak mempunyai waktu untuk makan siang lagi. Kalau anda masih punya waktu untuk makan siang, coba dech makan di Nasi Soto yang banyak tersebar di Terminal Purabaya ini. Harganya gak terlalu mahal, seporsi hanya Rp. 5.000 saja. Isinya, nasi di mangkok yang disiram dengan kuah soto dan ditaburi dengan potongan-potongan daging dan sebuah telur yang dibelah-belah (bisa request koq kalau mau telur utuh). Warungnya cukup bersih dan gak hectic. Bisa makan disini sambil beristirahat sejenak. Selain itu, coba dech makan soto sambil ditemani oleh kerupuk beras atau semangginya. Harganya murah. Satu kerupuk hanya Rp. 500 saja. Mungkin gara-gara itu saya jadi kalap dan menghabiskan hingga 4 kerupuk. Hehehe…
Yang bikin agak mengganggu ialah kelakuan para sopir taksi di terminal ini. Sambil makan, mereka tak henti-hentinya menawarkan jasa taksi mereka ke saya. Mereka terus merepet saya sambil tak henti-hentinya menyebut jurusan yang bisa mereka tempuh. Memang sich, tujuan saya berikutnya adalah Malang, tapi masak iya ke sana naik taksi? Bisa gempor donk dompetnya. Kalau ingin iseng sich saya akan menyebut “Bandung” atau “Jakarta” biar dia sadar kalau dikerjain, tapi saya nggak tega. Alhasil, saya tersenyum dengan manis dan bilang terima kasih saja ke supir tersebut sambil mata saya berbicara “saya nggak butuh taksi, tolong pergi sana”.
Nggak usah repot-repot mencari rumah makan di terminal ini, sebab hampir semua rumah makannya menyajikan menu yang hampir sama persis : nasi soto. Seusai makan, saya segera bergegas menuju peron. Oh yah, di bagian depan terminal ini ada dua buah plang besar yang sangat saya ingat. Plang pertama : adalah plang yang bertuliskan (saya lupa persisnya) namun intinya Hati-hati terhadap barang bawaan anda karena banyak copet. Dan plang kedua adalah objek-objek wisata di seputaran Kota Surabaya. Saya ingin sekali berfoto ria dengan plang yang kedua. Namun, karena membaca plang yang pertama, keinginan tersebut saya kubur pelan-pelan. Mungkin kerawanan di setiap terminal yang ada di Indonesia adalah kurang lebih sama. Namun, karena ada tulisan besar itu, mau nggak mau saya sudah jiper duluan. Berjalanlah saya ke peron untuk menuju ke terminal pemberangkatan. Setelah membayar Rp. 200 per orang, saya masuk ke terminal. Kondisinya sama persis seperti terminal kedatangan sebelumnya. Calo berhamburan di sana-sini. Sebaiknya, sebelum sampai terminal pemberangkatan, anda mengecek atau mengetahui terlebih dahulu, di peron berapakah kota tujuan yang ingin anda capai. Daftarnya ada terpampang cukup besar di terminal atau di atas setiap peron. Kalau kurang jelas, silahkan bertanya kepada bapak-bapak yang tersebar di peron.
Yang jelas, begitu mencapai peron, saya langsung dikerubungi oleh segerombolan calo bus (lagi). Namun kali ini saya sudah cukup sigap dengan menyebutkan “Malang” dan begitu diantar (dengan sedikit dikawal –takut kabur kali yah-) menuju bus, saya langsung naik dengan memastikan bahwa bus ini tidak ber AC. Untungnya, bus sudah penuh dan siap untuk berjalan, tinggal menunggu satu dua orang penumpang lagi saja. Harga tiket dari Purabaya (Surabaya) menuju Arjosari (Malang) adalah Rp. 15.000.

Wednesday, October 21, 2009

Bandara Juanda Sidoarjo-Surabaya Gerbang di Timur

Nggak banyak yang bisa saya ceritakan tentang Bandara Juanda. Begitu mendarat di Juanda, saya tidak merasakan sesuatu yang spesial seperti halnya ketika saya mendarat di kota-kota lain di Indonesia. Bandaranya sendiri memang diklaim megah dan modern. Banyak yang bilang, Juanda bahkan lebih bagus daripada Soekarno-Hatta. Namun, deretan bentuk rumah-rumah Joglo yang sudah tersamar dengan bangunan modern tidak membuat saya tergugah atau ada perasaan spesial bahwa saya telah tiba di Surabaya. Dari waktu mendarat, pemandangan yang saya lihat memang hanya mampu membuat saya berkata dalam hati “Oh, ini Surabaya”. Tulisan “Bandara Juanda” yang harusnya ada di puncak gedung utama pun tidak tampak ada sama sekali di bandara ini. Dikaitkan dengan bentuk bandaranya yang cenderung modern daripada menampilkan corak khas Jawa Timur, saya semakin merasa biasa saja terhadap bandara ini.
Memang, dari segi ukuran, Bandara Juanda cukup lebar. Dari titik kedatangan penumpang, saya dan penumpang-penumpang lainnya dijemput dengan shuttle bus untuk mencapai terminal kedatangan penumpang. Jaraknya lumayan kalau misalnya anda nekad untuk berjalan kaki di sisi bandara. Yang jelas, kegiatan tersebut ditabukan oleh para petugas bandara. Anda mungkin akan kena sanksi kalau nekad melakukannya. So, saran saya, sabar sajalah, tunggu shuttle busnya datang.
Masuk terminal kedatangan, saya tetap merasa ‘tidak ada yang spesial’ karena memang bandara ini tidak seperti bandara lain di Indonesia. Pengalaman saya yang sudah-sudah, setiap bandara berusaha menampilkan ciri khas kedaerahannya dengan menampilkan nama bandara besar-besar. Sebenarnya, yang paling penting buat saya adalah tulisan “Selamat datang di Kalimantan Selatan” atau “Selamat datang di Sumatera Barat” atau “Selamat datang di bandara El Tari Kupang” dan seterusnya. Namun, saya tidak menjumpai satu tulisan pun yang bernada seperti itu di Juanda. Bukan saya kurang memperhatikan, tapi tulisan tersebut benar-benar saya cari dan saya tidak menemukannya sama sekali. Tidak jadi dech, berfoto dengan tulisan Juanda di bandara ini.
Bandaranya memang besar. Ruang kedatangannya sangat megah dan besar. Bahkan ada tangga yang menuju lantai atas yang saya tidak tahu dipergunakan untuk apa. Ban berjalan tempat bagasi berdatangan saja ada beberapa buah. Pilar-pilar besar di bagian atas berhiaskan ukir-ukiran entah mungkin khas Jawa Timur? Dengan warna dominasi kuning dan emas, hiasan tersebut memenuhi pilar bagian atas. Di plafon, terdapat sejumlah plafon berukir hias serupa dengan pilar yang kemudian digantungi ornamen berwarna kuning keemasan. Ornamen-ornamen tersebut rasanya pernah saya lihat di rumah gaya Keraton atau Joglo. Sudah. Selesai. Stand-stand yang biasanya kaya akan brosur ataupun promosi pariwisata pun tidak saya temukan sama sekali. Nihil. Tangan saya kosong, hampa saat keluar dari terminal kedatangan. Sayang sekali, kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemda Jawa Timur dan pemkot Surabaya dan Sidoarjo untuk mempromosikan wilayah mereka. Apakah anggapan orang datang ke Jawa Timur hanya untuk berbisnis masih berlaku? Kalau begitu sayang sekali, banyak wisatawan potensial tidak terjaring disini lantaran kurangnya akses informasi yang didapat begitu mendarat di bandara.
Keluar dari Bandara Juanda tidak terlalu sulit. Walaupun jaraknya cukup jauh dari pusat kota (sekitar 20 KM) namun bandara ini terhubung dengan berbagai macam moda angkutan walau yang paling bisa diandalkan adalah taksi. Untuk keluar dari bandara, saya menggunakan Bus Damri seharga Rp. 15.000 per orang (tiket bisa dibeli di depan terminal kedatangan) untuk mencapai terminal Bungurasih (Purabaya) dan pusat Kota Surabaya. Seperti umumnya bandara-bandara di Indonesia, calo mobil sewaan sudah siap memangsa anda begitu anda keluar dari bandara. Apabila anda sudah tahu yang harus dilakukan, cukup tolak mereka dengan tegas saja.
Terletak di Sidoarjo, perjalanan dari bandara ke Terminal Bungurasih yang berada di pinggiran Surabaya membutuhkan sedikit waktu. Setidaknya setengah jam dibutuhkan untuk mencapai terminal dari bandara. Tambahan setengah jam lagi untuk mencapai pusat kota. Ada kejadian agak nyentrik dan membuat urat saya sedikit tertarik saat naik Damri di Surabaya. Ada seorang mbak-mbak dengan tampang nyinyir meletakkan tasnya di kursi kosong di sampingnya. Saat itu, Damri sudah penuh, maka saya malas berurusan dengan orang macam begitu dan meletakkan tas saya di depan dan duduk di pinggiran tiang rak tas. Sebelumnya, saya sudah sempat bertanya kepada si mbak tersebut, “Kosong mbak?” dengan senyum dan keramahan. Jawabannya datar dan bikin males, “ada orangnya” sambil menunjuk kursi kosong yang diisi tas tersebut. Ya sudah, saya juga gak masalah. Ke terminal bungurasih sich setengah jam juga cukup. Ga duduk juga gak masalah. Namun, ketika saya duduk di depan dan mulai pemeriksaan karcis, saya diminta oleh bapak kenek untuk duduk di tempat yang kosong. Dengan santai saya menjawab “sudah penuh pak, saya nggak papa koq disini”. Sang bapak kayaknya nggak puas dan menunjuk kursi di sebelah mbak tersebut, “tuh kosong, disana saja” katanya dengan ramah. Dengan santai saya menjawab “Kata si mbak, ada orangnya, Pak” balas saya dengan ramah tapi tidak melupakan intonasi tegas dalam suara saya. Bapak tersebut langsung menghampiri si mbak dan meminta mbak tersebut untuk memangku tas tangannya dan mempersilahkan saya duduk di tempat tersebut. Entah apa yang dikedumelkan mbak tersebut, namun tampaknya dia sangat tidak senang diperlakukan demikian. Saya akhirnya duduk di sebelah mbak tersebut dengan waspada. Kondisi saat itu adalah bus sudah berjalan, jadi, siapa yang sebenernya ditunggu oleh mbak tersebut? Mengerikan. Oh yah, akhirnya mbak tersebut turun untuk berganti bus sekitar setengah perjalanan sebelum mencapai Bungurasih. Saya sama sekali tidak melihat bahwa ada seseorang untuk duduk di tempat yang tadi dijaganya, Sekali lagi, mengerikan.