Saturday, February 27, 2010

Kambira Tempat Bayi Dikubur Dalam Pohon Taraa'

Belum terlalu jauh dari arah Sangalla, masih dalam perjalanan menuju Makula, saya menemukan objek wisata ini. Objek wisata ini terletak di jalanan yang tidak terlalu lebar dan untungnya, sebuah plang berukuran sedang dan hampir karatan di seluruh bagiannya masih tegak berdiri memberitahukan posisi objek wisata ini. Tulisan Kambira, Kuburan Bayi Pada Pohon, Baby Grave In Tree, 0.4 KM terpampang di percabangan jalan setapak. Untung plang tersebut berukir ala Toraja. Kalau tidak, mungkin saya tidak ngeh disini terdapat objek wisata. Hampir saja saya melaju lurus sehingga saya harus memutar balik untuk melihat plang tersebut. Mari, kita masuk ke dalam Kambira.
Plang tersebut benar adanya. 0,4 KM yang tertulis memang mudah dicapai walau sempet agak nggak yakin juga karena harus melewati rerimbunan pepohonan terlebih dahulu. Saya punya perasaan masuk ke dalam hutan. Berita buruknya, jalanan yang saya lalui super jelek. Terdiri atas bebatuan yang hancur dan aspal yang terkelupas. Motor yang saya bawa terpontang-panting di jalanan itu. Untung, jaraknya hanya 400 meter saja. Ini adalah salah satu alasan mengapa saya mensyaratkan kepada anda untuk menyewa motor baru saja. Tolak apabila anda diberi motor lama.
Tak lama, setelah melewati rerimbunan yang saya kira hutan belantara, akhirnya sebuah Tongkonan menyapa saya. Ada sebuah loket tiket dan sebuah toko souvenir kecil disitu. Tampak beberapa wisatawan asing sedang berkerumun di depan toko souvenir khas Toraja tersebut. Mau borong kali yach? Hehe..Saya memarkir motor saya di dekat tulisan Objek Wisata Kambira. Saya agak bingung disini karena loket tiket kosong sama sekali. Kepada siapa saya harus membayar? Saya menunggu agak lama hingga tidak ada seorang pun yang menyapa saya. Ya sudah, saya bergegas mengikuti rombongan turis yang berjalan menuruni anak tangga, menuju rerimbunan pohon yang besar dan tinggi. Disinilah saya berjumpa dengan pemandangan aneh dan agak menakutkan kalau saya bilang. Ada sebuah pohon besar di tengah-tengah area yang dipagari tersebut. Pohon tersebut berlubang-lubang namun lubangnya ditutup dengan papan-papan kayu dan ijuk sehingga seperti pohon rusak yang ditambal. Pohon tersebut berukuran besar sendiri dibanding pohon-pohon lainnya. Sekeliling wilayah ini tertutup oleh hutan bambu. Inilah, kuburan bayi Kambira. Bagi anak-anak dan bayi yang belum tumbuh gigi dan meninggal, jasad mereka akan dimasukkan ke dalam pohon ini dalam posisi meringkuk seperti di dalam janin. Pohon besar ini adalah Pohon Taraa'. Konon, menurut aturan, arah lubang dalam pohon ini harus berlawanan dengan arah perkampungan. Uniknya, tidak ada bau busuk yang tercium dama sekali di Kambira ini walaupun lubang-lubang tersebut berisi mayat.
Di dekat pangkal pohon, seorang pemandu wisata sedang menjelaskan sesuatu kepada serombongan turis asing. Saya tidak mendengar apapun karena saya berada di luar jarak jangkauan pendengaran. Saya tidak begitu suka berada di dekat makam ini. Rerimbunan pohon bambu yang rapat sedikit banyak menimbulkan perasaan tidak enak bagi saya. Seusai mengambil beberapa foto, saya segera keluar dari makam ini. Keluar, menuju tempat terang dan terbuka.
Kios souvenir yang ramai segera menyambut saya. Walaupun hanya satu buah, namun kios ini cukup ramai dipadati wisatawan. Kebanyakan, mereka melihat-lihat dan memborong aneka kerajinan tangan serta ukira-ukiran. Saya sendiri cukup tertarik untuk membeli beberapa buah Tau-Tau, topeng unik dan ukir-ukiran Tongkonan maupun Erong. Barang yang disajikan cukup komplet dan beragam. Sayangnya, harganya buat saya agak mahal untuk kantung backpacker. Misalnya saja, topeng dihargai Rp. 75.000 dan ukir-ukiran Rp. 30.000. saya memang kurang tahu standard harga oleh-oleh di Tana Toraja karena baru inilah toko souvenir pertama yang saya kunjungi. Walau demikian, saya menilai harga yang ditawarkan agak tinggi. Saya sudah mencoba menawar pun tidak membuahkan hasil. Sang ibu mengatakan bahwa harganya sudah cukup murah. Wah, tapi maaf Bu, harga segitu masih cukup mahal untuk saya seorang backpacker yang mencari harga murah meriah. Sayang sekali saya nggak belanja padahal disini pun ada kain-kainan (harga Rp. 150.000) halus Toraja.
Menjelang kepulangan saya, barulah ada seorang nenek yang berjaga di dalam loket tiket Kambira. Nenek tersebut mengatakan saya harus membeli tiket terlebih dahulu seharga Rp. 5.000. Tiket masuk untuk wisatawan asing dan lokal memang dibedakan. Rp. 5.000 untuk lokal dan Rp. 10.000 untuk wisatawan asing walau menurut saya, kedua harga tersebut tidak berdaya saing karena tidak dapat menghasilkan apapun yang mampu memutar perekonomian dan mendukung perawatan Kambira. Terlalu murah sebenarnya.

Nggak Semua Tongkonan Adalah Objek Wisata

Aneka Tongkonan yang akan anda temui dan nikmati dengan mata anda sepanjang perjalanan membuat saya tidak berhenti-berhentinya mengambil foto disana sini. Rasanya, saya seperti berada di sebuah objek wisata yang sangat besar dan memang benar, saya berada di Tana Toraja, tanah budaya yang unik khas Sulawesi Selatan. Nggak heran kemanapun anda pergi, anda akan bertemu dengan Tongkonan unik baik rumah tinggal maupun lumbung beras. Dalam ruas Sangalla, saya menjumpai banyak sekali Tongkonan tepat di tepi jalan. Tentu, kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk berhenti, berfoto dan berpose.
Untuk sekedar anda tahu, Tongkonan adalah tipe bangunan yang masih digunakan oleh masyarakat Toraja pada umumnya baik untuk rumah tinggal maupun lumbung beras. Oleh karena itu, selain Tongkonan yang didirikan di objek wisata pada umumnya, anda akan menjumpai macam ragam aneka Tongkonan yang merupakan milik pribadi dan perseorangan seperti yang banyak saya abadikan di sepanjang ruas Sangalla. Untuk meyakinkan diri apakah Tongkonan yang anda lewati atau kunjungi boleh difoto atau tidak (selain Tongkonan tempat wisata), usahakan untuk bertanya terlebih dahulu kepada penjaga atau kalau mungkin sang penghuni rumah. Seperti halnya deretan Tongkonan lumbung padi yang terdapat di sekitar Sangalla. Saya sempat masuk ke dalam lokasi yang tampaknya sekilas seperti objek wisata ini. Pada waktu saya memarkir motor saya, seorang pemuda yang berjaga di depan salah satu Tongkonan sampai memandang heran kepada saya. Untungnya saya segera menghampirinya dan bertanya, “apakah deretan Tongkonan yang ada disini merupakan objek wisata yang boleh difoto-foto?”. Dengan sigap pemuda tersebut menjawab “oo...ini milik pribadi”. Oh, saya sudah melampaui batas tampaknya. Saya segera meminta maaf dan mohon diri dari tempat tersebut. Mudah-mudahan kejadian ini berguna agar anda selalu ingat bahwa tidak semua Tongkonan adalah tempat wisata seperti yang saya lakukan. Ijin memang diperlukan agar anda (dan saya) tidak melampaui ranah pribadi milik seseorang.

Thursday, February 25, 2010

Dari Rantepao Beranjak Menuju Sangalla

Ini adalah rute pertama yang saya tempuh di pagi hari yang masih cukup dingin tersebut. Karena dingin, akhirnya saya memilih rute Rantepao-Sangalla dengan tujuan akhir Makula yang kata bapak di Wisma Maria, memiliki sumber mata air panas. Tampaknya mandi air panas di pagi hari yang dingin lumayan menyenangkan. Walau demikian, saya tidak dapat mengukur seberapa jauh jarak perjalanan. Oleh karena itu, saya baru berangkat pukul setengah sembilan pagi setelah saya selesai sarapan dan mandi pagi. Mudah-mudahan masih sampai di Makula saat hari masih dingin sehingga air panasnya tidak tersia-siakan. Pemandian air panas...saya datang!
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, ruas ini adalah ruas utama dari Makale ke Rantepao. Oleh karena itu tidak heran, ruas jalan ini cukup ramai, cukup lebar, dan banyak dilintasi kendaraan (walaupun angkot melintas dalam jumlah yang sedikit). Di kanan dan kiri ruas jalan ini terkadang terdapat satu atau dua buah bus rute jauh (Rantepao – Makassar) yang diparkir dan sedang dicuci oleh para awak bus tersebut. Sungai Sa’dan mengalir melalui rute ini. Sepanjang perjalanan, mata anda akan terhibur oleh perbukitan di kejauhan, bukit-bukit yang dekat dan hamparan sawah yang menguning. Perhatikan dengan jelas di setiap sudut jalan ini! Ada sejumlah papan petunjuk yang mengarahkan anda ke tempat-tempat wisata populer seperti Ke’te Ke’su, Londa dan Lemo. Kalau penasaran silahkan berbelok menuju objek wisata tersebut. Jalanan yang harus anda tempuh memang cukup panjang. Jangan sampai anda bosan lalu berbalik arah di ruas ini yach. Dalam perjalanan ini, harusnya anda hanya akan menemukan dua percabangan jalan yang ukurannya cukup besar. Dari arah Rantepao, anda akan bertemu percabangan ruas Ke’su di area Karassik. Arah kanan menuju Makale dan Makula, sementara arah kiri menuju Buntu Pune dan Ke’te Ke’su. Percabangan terakhir tidak terlalu jauh dari Kota Makale. Pada percabangan ini, arah kanan menuju Makale dan arah kiri menuju Sangalla dan Makula. Saya mengambil yang arah kiri karena tertarik dengan iklan Makula yang menawarkan air panas. Sekali lagi, jangan bosan-bosannya berkendara selama di Toraja. Ruas jalan yang panjang, kosong, sepi dan hampir serupa, sedikit banyak bisa menimbulkan perasaan tidak yakin akan ruas yang ditempuh. Terlebih ruas Sangalla yang ukurannya lebih kecil dari ruas utama dan lebih sepi. Mencapai Makula butuh waktu dan kesabaran. Saran saya, nikmatilah perjalanan indah sepanjang perjalanan dan berjalanlah terus!

Berkeliling Tana Toraja Dengan Sepeda Motor

Satu lagi kejutan datang dari Wisma Maria. Sebelumnya, saya tidak terlalu memikirkan hal ini. Saya menganggap kelilingan di Tana Toraja bisa mengandalkan angkot semata saja. Terbukti, ruas Makale – Rantepao terlayani oleh angkot yang beberapa kali saya lihat namun memang tidak terlalu sering frekuensinya. Untungnya, si bapak menawarkan jasa peminjaman motor dengan harga Rp. 60.000 saja termasuk bensin. Saya langsung berpikir, idenya boleh juga. Saya bisa menghemat waktu dan berhenti sesuka hati di perjalanan tanpa harus memusingkan naik apa lagi untuk menuju tempat berikutnya. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, dalam perjalanan dari Makale ke Rantepao, saya sudah melihat sejumlah objek wisata terkenal yang ditulis di dalam plang di tepi jalan. Artinya, mencapai objek tersebut harusnya cukup mudah. Karena saya berpikir mencari objek-objek tersebut cukup mudah, akhirnya saya memberanikan diri untuk menyewa motor. Lumayan, bisa hemat banyak waktu dan tenaga.
Sepeda motor yang dipinjamkan tergolong baru. Anda pun mendapatkan pinjaman helm disini. Usahakan, jangan mau kalau sampai diberi sepeda motor tua. Saya sendiri memang langsung mendapat sepeda motor baru. Untuk harga Rp. 60.000, pemakaian selama 24 jam atau sampai saya check out (pukul 8 pagi hingga 8 pagi lagi)adalah sesuatu yang murah. Oh yah, selalu patuhi rambu dan aturan. Walau ruas jalan Toraja agak sepi, namun bukan berarti kita boleh berlaku seenaknya di jalanan. Penggunaan helm tetap merupakan sesuatu yang wajib. Di sisi lain, saking sepinya jalanan terkadang membuat beberapa kendaraan memacu lajunya lebih cepat, mulai dari mobil biasa, kijang, hingga truk dan bis sekalipun. Saya mengalaminya sendiri ketika berada di ruas Sangalla – Makula. Jalanan di tempat ini cukup lebar, sepi namun berkelok kelok dan kerapkali ujung belokannya tidak terlihat. Saya tidak mampu mengerem mendadak ketika tiba-tiba di depan saya muncul truk dengan kecepatan yang lumayan. Sudah bisa diduga, ruas jalan yang sepi membuat hasrat mengebut muncul. Truk tersebut pun mengerem mendadak dengan sekuat tenaga. Sama seperti truk, saya yang kaget pun tidak mampu menahan laju sepeda motor. Walaupun direm, motor terus melaju. Akhirnya, senjata terakhir saya gunakan. Saya gunakan kaki untuk membantu mengerem sepeda motor. Untungnya, saya bisa berhenti tepat di depan truk yang sama-sama berhenti tersebut. Saya dan pengemudi truk tersebut sama-sama kaget dan tidak ada yang menderita luka serius. Walau demikian, kuku kaki saya berdarah karena secara mendadak, kaki dipergunakan untuk mengerem di jalanan aspal. Pengalaman yang menakutkan dan menegangkan namun di sisi lain membuat saya terjaga 100% dan waspada serta bertindak lebih hati-hati lagi di jalanan sunyi.

Wednesday, February 24, 2010

Wisma Maria I, Pilihan Saya Di Rantepao

Pertama-tama, sebelum sampai di Tana Toraja, saya membayangkan Toraja adalah sebuah desa yang terletak di ketinggian bukit. Kendaraan, sepi berlalu lalang. Pelintas pun hanya sesekali melewati tempat ini. Sempat jiper juga saya memikirkan harus bermalam di Toraja. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan usut punya usut, saya menemukan beberapa hotel mewah bahkan berbintang-bintang terdapat di Toraja. Desa seperti apakah yang memiliki hotel berbintang bahkan hingga lima? Foto-foto sepi dan agak berhutan yang mewakili Toraja cukup menipu bayang pikiran saya. Seperti apakah Toraja itu?
Walaupun memang tersedia hotel mewah berbintang lima, namun karena terbatasi oleh budget, maka saya mencari tempat yang lebih ekonomis dimana saya bisa melewatkan malam dengan nyaman. Beberapa tempat menjadi rekomendasi, termasuk salah satunya adalah Wisma Maria I yang ternyata terletak hanya sepelemparan batu dari pusat kota alias Pasar Rantepao. Dalam mencari tempat menginap, saya memang selalu lebih menyukai lokasi yang cenderung ramai dibanding sepi. Mungkin berbeda dengan wisatawan asing yang menyukai kesunyian karena mereka pada dasarnya memang berlibur untuk mengasingkan diri. Untuk saya, saya lebih menyukai keramaian. Saya malah tidak bisa tidur kalau terlalu sepi. Rasa takut malah menghampiri saya. Untungnya pula, Wisma Maria yang terletak tidak terlalu jauh dari pasar, memiliki suasana yang cukup, tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi.
Wisma ini cukup mudah dicapai. Dari Pasar Rantepao yang ada Monumen Pongtikunya, berjalanlah lurus ke arah selatan, tempat kedatangan anda bermula. Pada belokan pertama, ambilah arah kanan. Anda seharusnya melewati lapangan bola yang cukup besar dimana terdapat beberapa buah bus diparkir disana. Setelah mentok, berbeloklah lagi ke kanan, ke jalan yang terdapat sebuah Gereja Toraja, huruf A besar berada di depan gedung gereja tersebut. Anda seharusnya melihatnya, Wisma Maria I berada di sisi kanan anda tak jauh dari gereja tersebut. Yang mengejutkan, di depan wisma ini terdapat minimarket, warnet dan restoran. Di sisi belakang terdapat sebuah salon. Tidak ada alasan lagi untuk membenarkan pandangan saya. Buyar sudah pikiran saya akan Toraja yang sepi. Toraja ternyata cukup ramai dan berkembang.
Sebersit keraguan sempat hinggap di dalam pikiran saya. Umumnya, hotel selalu memulai waktu check in selepas pukul 12 siang. Namun, saya tiba di Rantepao pada pukul 6 pagi. Saya yakin, nggak ada bus yang sampai di Toraja pada tengah hari bolong kalau anda berangkat dari Makassar. Jadi bagaimana sistem pembayarannya nanti? Masuk ke hotel, (saya sebelumnya memang telah menelepon melakukan reservasi) saya disambut dengan cukup baik, menurut saya. Bapak yang berjaga (sayang, saya nggak tanya namanya), walaupun agak lugas dan tanpa basa-basi (dan sedikit senyum), meminta saya agar segera meletakkan barang-barang di kamar dan bersiap menuju meja makan. Saya pasti lapar, begitu kata beliau. Wow, saya sudah terkesan dari kilas pertama. Walau tanpa basa-basi, bapak ini cukup baik dengan membiarkan saya check in terlebih dahulu dan mempersiapkan makan pagi saya. Saya langsung menyukai Wisma Maria! (saya tidak menemukan adanya Wisma Maria II di sekitar sini....hmmm...aneh...).
Walaupun tidak terlalu luas, Wisma Maria adalah tempat yang hangat terutama kehangatan para staffnya. Tanpa mandi, saya langsung berganti pakaian dan menuju meja makan (Airnya dingin sehingga saya memilih tidak mandi). Ruang makan terletak di bagian tengah areal hotel, berdempetan dengan lobby dan meja resepsionis. Jangan bayangkan Wisma Maria adalah hotel yang besar yach. Wisma ini tak ubahnya sebuah rumah yang dikonversi menjadi sebuah hotel. Jadi, yang disebut dengan meja resepsionis adalah ruang tamu rumah tersebut. Kamar-kamar hotel terletak di bagian belakang ruang makan. Bentuknya agak memanjang dan beberapa ada yang hingga berlantai dua. Kamar saya adalah kamar single seharga Rp. 50.000 semalam (tepatnya jam 6 pagi hingga jam 8 keesokan harinya) yang terletak di bagian pojok taman. Kalau dua orang, harga kamar berubah menjadi Rp. 80.000. Masih murah meriah dan menyenangkan menurut saya. Oh yah, saat melakukan check in, seperti biasa anda akan dimintai KTP dan menulis data diri.
Kamar saya sendiri terdiri atas sebuah tempat tidur single, lengkap dengan washtafel, cermin, handuk dan sabun, kamar mandi dalam, beranda dan dua buah kursi serta sarapan pagi. Pada kasus saya, berhubung saya tiba pagi hari dan baru berangkat keesokan paginya lagi pukul 8, saya mendapat dua kali sarapan di hari yang berbeda. Sungguh, ini adalah penawaran terbaik yang pernah saya alami sepanjang perjalanan saya selama ini. Mana ada hotel yang menerapkan aturan seperti ini? Saya kagum lagi-lagi.
Mayoritas penghuni hotel ini adalah wisatawan asing. Mungkin karena waktu kunjungan saya bertepatan dengan bulan Agustus, bulan dimana kunjungan wisatawan sedang tinggi-tingginya. Untuk foto pertama, anda bisa mencoba berfoto dengan Tongkonan yang terletak di tengah-tengah taman di dalam hotel ini. Tongkonan yang ada di halaman ini adalah representasi lumbung padi, lengkap dengan aneka macam ukiran dan tengkorak kepala hewan (saya nggak yakin itu kepala kerbau karena ukurannya agak kecil). Untuk mulai bertualang, mintalah peta jelajah Tana Toraja kepada resepsionis, dijamin mereka akan dengan senang hati membagikan informasi yang kita butuhkan. Saya yakin, kalau suatu saat saya kembali ke Toraja, saya akan menginap kembali di Wisma Maria I ini. Kehangatan dan cocoknya dengan kondisi dompet saya membuat pilihan saya tak bisa dielakkan lagi. Selamat Datang Di Wisma Maria! Selamat Datang Di Rantepao! Selamat Datang Di Tana Toraja!

Tuesday, February 23, 2010

Pongtiku, Pahlawan Rakyat Toraja

Ini adalah benda besar pertama yang saya lihat begitu turun dari bus Litha jurusan Rantepao selain Tongkonan tentunya! Benda ini terletak dekat sekali dengan Pasar Rantepao, hanya berjalan beberapa langkah saja. Di pagi yang dingin dan berkabut itu, saya mendekati monumen itu sebelum mencari hotel tempat saya menginap. Tanah masih basah entah bekas embun atau apa. Saya masih keleyengan bekas muntah di bus tadi dalam perjalanan.
Pongtiku (atau sering dipanggil Ne Baso) adalah tokoh asal Pangala, Tana Toraja yang turut mengusir penjajah Belanda dari Bumi Sulawesi Selatan terutama wilayah Tana Toraja. Perjuangan beliau bermula pada tahun 1906, tahun masuknya Belanda ke Tana Toraja hingga tahun 1907. Beliau merasa terusik dengan kehadiran Belanda yang bermaksud untuk memonopoli perdagangan kopi Toraja milik keluarga Pongtiku. Saat itu, perdagangan kopi menjadi primadona dimana Datu Luwu (di utara) dan para Bangsawan Sidenreng (di selatan) berjuang untuk mendapatkan kopi Toraja. Heroiknya perjuangan Pongtiku dan rekan-rekan berhasil dipatahkan berkat tipu muslihat Belanda. Akhirnya, Pongtiku dieksekusi di tepi Sungai Singki, Rantepao pada tahun 1907. Berkat perjuangan beliau mengusir penjajah Belanda dari Tana Toraja, kini beliau bergelar pahlawan nasional. Kegiatan beliau mengusir penjajah dapat disaksikan pada bagian pedestal patung yang berbentuk prisma ini. Di setiap sisi pedestal, terdapat relief timbul kegiatan perjuangan rakyat Sulawesi Selatan mengusir penjajah Belanda di Bumi Toraja. Pongtikulah pemimpin pergerakan tersebut. Kini, namanya diabadikan menjadi nama bandara Toraja di Rantetayo. Nama bandara tersebut adalah Pongtiku. Bandara ‘kecil’ ini hanya melayani rute Toraja – Makassar seminggu dua kali yakni selasa dan jumat. Patung Pongtiku lainnya pun dapat ditemukan di tepi kolam buatan di tengah Kota Makale.
Patung Pongtiku pada monumen ini digambarkan sedang menunggang kuda. Dua kaki depan kuda yang tidak menapak tanah menggambarkan bahwa Pongtiku tewas dalam peperangan. Tidak ada informasi apapun di sekitar monumen yang dapat membantu menjelaskan tujuan monumen itu atau siapa Pongtiku itu. Daerah sekeliling monumen memang terletak di dekat pasar dan berada dalam kondisi berantakan –entah memang biasanya berantakan atau sedang dalam renovasi-. Sayang sekali, harusnya informasi yang diberikan lebih banyak agar pelintas –bisa jadi, wisatawan asing- bisa melihat dan mengetahui sejarah tentang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Tana Toraja, Pongtiku.

Selamat Datang Di Rantepao, Jantungnya Tana Toraja

Selamat datang di Rantepao! Kotanya para turis dan wisatawan di Tana Toraja. Umumnya, anda yang datang dari Makassar dan Pare-Pare akan tiba di Pasar Rantepao yang sekaligus juga sebagai tempat perhentian akhir bagi bus-bus lintas kota yang melayani rute Makassar – Toraja. Pasar Rantepao terletak tepat di tengah kota, jadi anda tidak perlu bersusah payah lagi untuk naik angkot kecil yang akan membawa anda ke pusat kota, seperti layaknya kota-kota besar lainnya.
Kedatangan anda pertama kali akan disambut oleh sebuah Tongkonan yang terletak di tengah jalan. Tongkonan yang berdiri di atas fondasi bulat ini menandakan anda sudah resmi sampai di Tana Toraja. Jalan utama kota ini memang jalan yang anda lalui ini. Jalan percabangan lain tidak selebar jalan ruas utama ini. Jalan utama ini menghubungkan Enrekang dengan Palopo. Pagi ini, Rantepao masih berkabut. Cuaca lebih dari sekedar sejuk. Saya menggigil kedinginan di pagi hari yang berkabut ini. Saya senang!
Sebagai turis, anda pasti akan betah dan kerasan di tempat ini. Hampir semua fasilitas wisata yang anda butuhkan tersedia disini. Jangan bayangkan Rantepao tuch sangat desa seperti yang saya bayangkan sebelum melihat Tana Toraja dengan mata kepala saya sendiri yach. Saya membayangkan Rantepao layaknya desa dimana lalu lalang kendaraan sangat jarang dan adat masyarakatnya masih sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari. Saya salah dengan sempurna. Rantepao sudah masuk kategori kota ternyata. Memang, Rantepao bukan kota besar yang memiliki gedung-gedung pencakar langit. Tapi disini letak kearifannya, Rantepao bergerak dalam ritme yang menyenangkan, cocok sekali untuk anda yang liburan, termasuk saya. Rantepao memiliki sejumlah perusahaan otobus, bank, atm, warnet, hotel mulai kelas backpacker hingga bintang lima, gereja, toko souvenir, rumah makan dan travel agent yang menjual tiket dan menyewakan jasa pemandu wisata. Lengkap toh? Anda nggak perlu repot-repot mengatur rencana perjalanan anda dari jauh. Semua tersedia disini.
Rantepao sendiri buat saya hampir terasa sebagai kampung bule. Banyak sekali warga asing yang bertebaran di sekitar jalan, hingga ke pelosok jalan menuju hotel dan homestay. Rasa seperti ini baru pernah saya dapatkan di Legian Kuta Bali. Aneka bule, baik kawula muda sendiri, berpasangan, bergerombol, hingga sepasang kakek dan nenek yang romantis, bisa ditemui di penjuru objek-objek wisata di Tana Toraja. Warga Rantepao sendiri berperawakan dan berlogat unik. Unik sekali berada disini.
Namun jangan bayangkan Rantepao sama seperti Bali yang hidup 24 jam dari pagi ketemu pagi lagi. Menjelang malam, walaupun kemeriahan tetap mudah didapatkan di pasar, namun kemeriahan tersebut hanya terletak pada rumah makan, pasar dan pasar souvenir saja. Kalau Kuta memiliki club, Rantepao tidak demikian. Disini, menghabiskan malam hari sebaiknya dilakukan dengan bersantai di hotel, ngobrol atau berjalan-jalan ke pasar melihat barang dagangan.
Oh yah, karena objek wisata sekeliling Tana Toraja tidak memiliki lampu cahaya penerangan dan akan tutup selewat pukul 6 malam atau pada saat gelap menjelang, maka sebaiknya anda pulang ke Rantepao pada saat malam hari. Tidak baik mengujungi kuburan pada saat malam hari. Untuk berkeliling area Rantepao, anda bisa naik pete-pete, bus kecil, atau menyewa kendaraan mulai dari mobil hingga sepeda motor yang umum disediakan pihak hotel. Asyik juga loch kelilingan Tana Toraja naik sepeda motor kalau anda berjumlah sedikit (1-2 orang).

Monday, February 22, 2010

Becaknya Rantepao


Ada yang menarik pagi itu di kala saya baru saja menjejakkan kaki di Rantepao, ibukota Toraja Utara. Beberapa penarik becak dan ojek mengerumuni para penumpang yang baru saja turun dari bus dimana salah satu diantaranya ialah saya. Seperti biasa, mereka menawarkan jasa mereka untuk mengantarkan penumpang ke pelosok Rantepao. Saya menolak tawaran mereka dengan senyum karena saya tahu lokasi yang saya tuju, Wisma Maria II dekat dengan kantor perwakilan Litha di Rantepao. Mereka terus meneruskan penawaran mereka bahkan ketika saya mulai beranjak. Padahal saya sudah bilang lokasi yang saya tuju dekat loch. Dan di kala itulah, saya melihat becak yang mereka gunakan untuk menarik penumpang. Di pagi yang masih berkabut itu, di kala banyak anak-anak sekolah berjalan menuju sekolahnya, puluhan (bisa jadi ratusan kali yach?) becak berseliweran lalu lalang dan sebagian lainnya mangkal di tepi jalan.
Becaknya unik menurut saya. Kalau di Makassar, becak berukuran kecil, berbeda dengan di Jawa yang agak lebar. Kalau di Toraja, becak tetap berukuran kecil namun modifikasi bentuk terjadi pada bagian atapnya. Bagian atap becak di Toraja memanjang ke belakang hingga membentuk kanopi pada bagian atas pengayuh becak. Becaknya sendiri tetap berukuran kecil, hanya muat untuk satu orang saja rata-rata (dua orang bisa sich kalau nggak gendut-gendut amat). Kanan dan kiri tempat duduk becak diberi semacam sekat dari mika (mungkin biar ga kecipratan air hujan kali yach?). Dan pengayuhnya, atau mungkin lebih tepat disebut pengendara kali yach, menggunakan motor alih-alih kayuhan sepeda. Jadi, modifikasi becak di Toraja adalah sepeda motor yang pada bagian depannya diberi tambahan kursi penumpang dan memiliki kanopi yang memanjang ke belakang. Agak mirip dengan Medan dengan becak motornya. Hanya saja, becak motor di Medan berada di samping pengendara. Becak di Toraja, penumpang berada di depan. Mereka tidak perlu repot-repot mengayuh becak lagi, terlebih kalau penumpangnya berukuran besar. Hehe...

Saturday, February 20, 2010

Dari Makale Menuju Rantepao

Herannya, di ruas terakhir sebelum mencapai Rantepao, masih saja saya mabuk darat. Menyebalkan! Padahal, jarak Makale – Rantepao kurang lebih sekitar setengah jam perjalanan saja. Memang sich, jalur yang saya lewati berkelok-kelok naik turun, tidak ramah terhadap perut saya yang sensitif. Tapi tadi di Makale sudah berhenti loch rasa mualnya. Heran dech. Keasyikan ingin menikmati pemandangan indah malah rusak gara-gara dorongan ingin muntah tersebut muncul berkali-kali.
Ngomong-ngomong, ruas jalan antara Makale dan Rantepao ini adalah ruas yang paling terkenal di Tana Toraja. Sebabnya jelas, banyak sekali objek wisata terkenal yang berada di tempat ini. Bahkan, mungkin anda yang belum pernah ke Tana Toraja pun kemungkinan pernah mendengar namanya atau melihat fotonya terpampang di majalah atau kartu pos. Objek wisata yang sangat umum ada di tempat ini antara lain (dari selatan) Lemo, Ti’ilanga, Londa, dan Ke’te' Kesu'. Lemo adalah kompleks pekuburan di dinding batu cadas. Ti’ilanga adalah kolam air dingin yang dihuni Masapi. Londa adalah kompleks kuburan gantung dengan Erong yang tengkorak bertebaran. Sementara itu Ke’te' Kesu' adalah kompleks desa wisata yang paling lengkap dan biasanya foto deretan Tongkonan paling terkenal diambil dari Desa Ke’te' Kesu' ini.
Kalau anda tidak punya waktu banyak untuk mengunjungi Toraja, empat tempat ini biasanya sudah cukup untuk mewakili Tana Toraja yang akan anda kenang. Petunjuk untuk mencapai empat lokasi wisata ini cukup jelas terpampang di pinggir jalan. Berhubung jalan yang akan anda lalui hanya berupa satu jalan besar dengan sedikit percabangan, rasanya tidak susah untuk menemukan tempat-tempat wisata ini. Pengecualian untuk Ke’te' Kesu' yang lokasinya agak keluar dari ruas Makale – Rantepao. Menjelang Rantepao, anda harus berbelok ke kanan, mengambil arah ke Kesu'. Disanalah anda akan bertemu dengan petunjuk arah menuju Ke’te' Kesu'. Pagi hari di tempat ini, kabut masih banyak terlihat. Begitu agak siang, anda bisa menikmati pemandangan indah yang menyelimuti tempat ini, mulai dari sawah, aneka Tongkonan hingga Sungai Sa’dan yang mengalir bersisian dengan ruas jalan yang kita lewati.
Dari Makale, ambil ruas jalan yang paling besar di sebelah kanan kolam. Satu-satunya jalan besar ini adalah jalan yang menuju Rantepao. Anda akan bertemu dengan beberapa toko bangunan di kanan dan kiri anda. Kalau nggak yakin, silahkan tanya penduduk sekitar. Mereka akan senang hati menjawab koq.

Kota Makale

Kalau anda naik bus dari Pare-Pare atau Makassar, maka kota pertama yang akan anda temui adalah Kota Makale, ibukota Tana Toraja. Kota ini kurang lebih satu jam perjalanan jauhnya dari pintu gerbang Tana Toraja. Setelah melewati daerah pinggiran Toraja yang masih asri, berkabut tebal dan bergunung-gunung, dingin, anda akan berjumpa dengan Kota Makale.
Saya tiba di kota ini pada pagi hari, sekitar jam setengah enam pagi. Geliat aktifitas belum terlalu banyak. Masih banyak warga yang keluar dengan berselimutkan sarung Toraja yang konon katanya baik untuk menahan dingin. Bus yang saya kunjungi berhenti di salah satu kantor perwakilan bus. Sejumlah penumpang turun, termasuk Daniel yang berada di sebelah saya. Ia mengucapkan salam sampai bertemu lagi. Ya, mudah-mudahan kita bertemu lagi, Daniel! Saya melihat sejumlah muatan bus mencakup kantung beras beberapa bal diturunkan dari bus ke aspal. Mungkin ada yang mau berjualan di tempat ini, pikir saya. Situasi pagi di Makale tidak terlalu menggeliat. Entah saya berada di bagian kota yang sepi atau apa. Namun bagian kota yang ini adalah bagian kota yang bersih dan teratur. Terdapat sebuah halaman luas dengan dua Tongkonan berada di halaman tersebut. Kabut sudah tidak terlalu banyak menyelimuti kawasan ini. Kemudian, tak lama bus berjalan. Kota Makale adalah kota yang tidak terlalu besar. Kota ini hanya ditandai oleh sebuah danau besar buatan dimana di atasnya ada sebuah patung. Di sebelah kolam tersebut ada sebuah gereja dan bangunan yang entah, mungkin difungsikan sebagai balai kota tampaknya. Tak lama, bus pun bergerak kembali ke arah utara, memasuki kembali wilayah sub-urban yang asri dan berkabut. Itu sekilas pandangan saya pagi hari di Makale. Menurut banyak info perjalanan, Makale memang kurang akomodatif terhadap turis dibandingkan Rantepao. Di Makale, agak susah mencari akomodasi dan kebutuhan turis. Berbeda dengan Rantepao, hotel bertebaran dimana-mana. Rumah makan mudah dicari. Apa benar demikian? Mari kita lihat saja nanti.

Friday, February 19, 2010

Selamat Datang Di Tana Toraja

Tana Toraja (kerap kali disebut sebagai Tanah Toraja) adalah satu wilayah di utara Sulawesi Selatan (sebenarnya, wilayah ini sudah terkategorikan tengahnya Pulau Sulawesi). Di pulau Sulawesi, Tana Toraja ini menempati wilayah di sekitar pangkal kaki pulau. Tana Toraja ini menjadi begitu unik karena merupakan satu-satunya tempat di Indonesia (atau bahkan dunia) yang memiliki kebudayaan seperti ini. Tana Toraja dengan warganya yang disebut Orang Toraja memiliki adat istiadat unik berupa penguburan mayat yang tidak ditanam ke tanah namun diletakkan di dalam kubur batu di dalam batu cadas serta dirayakan dengan meriah.
Tana Toraja sendiri adalah sebidang wilayah di hampir pangkal kaki Sulawesi yang dikelilingi oleh gunung dan perbukitan. Ketinggian wilayahnya berkisarantara 1.500 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut. Sehubungan dengan kontur dan wilayahnya yang dipagari secara alami, akses menuju tempat ini cukup sulit. Akses reguler menuju tempat ini yang umum adalah dengan bus antar kota yang berangkat dari Makassar, Pare-Pare, atau Palopo. Kebalikan dari kontur alam yang bergunung dan berbukit, Tana Toraja memiliki semua hal yang diperlukan untuk membuat pertanian yang baik. Udara yang sejuk dan ketersediaan air menjadikan produksi tanaman pangan berlimpah ruah disini, termasuk padi dan aneka macam palawija. Hasil unggulan dari Tana Toraja adalah Kopi dan Marqisa. Kopi dan marqisa Toraja terkenal bahkan hingga ke mancanegara loch. Bisa jadi, salah satu kopi yang anda minum di gerai kopi lokal maupun internasional di mall-mall adalah Kopi Toraja yang terkenal ini.
Selain hasil bumi, Tana Toraja justru terkenal akan adat istiadatnya yang melambungkan namanya. Hasil bumi merupakan produk ikutan karena pariwisata di tempat ini telah terdongkrak lebih dulu. Orang Toraja memiliki kebiasaan unik sehubungan dengan pesta kematian maupun pesta syukuran. Pada saat-saat seperti ini, perayaan haruslah dilakukan dengan besar-besaran termasuk diantaranya menyembelih beberapa ekor sapi/kerbau. Pariwisata telah menjadi magnet utama di Toraja. Walau sempat mengalami saat-saat pasang surut, terutama saat terkena ekses peledakan bom di Bali, pariwisata Toraja kembali bergeliat membenahi dan terus mempromosikan kekayaan adatnya di mata dunia. Terdapat dua pesta yang umum diadakan oleh masyarakat Toraja yakni Rambu Tuka (syukuran atau pernikahan) dan Rambu Colo (pesta kematian). Kebiasaan Orang Toraja adalah untuk menyelenggarakan segala sesuatunya dengan meriah dan besar. Oleh karena itu, tidak heran, pesta kematian baru digelar satu, dua tahun atau lebih lama lagi, tergantung pada kesiapan dana si empunya pesta. Selain adat pestanya, Toraja juga terkenal akan rumah adatnya yang unik berbentuk perahu bernama Tongkonan dan kuburan dinding batu yang dipenuhi dengan patung tiruan sang manusia yang meninggal sewaktu mereka masih hidup. Patung yang bernama Tau-Tau tersebut dibuat dari kayu pohon nangka dan didirikan di atas tebing cadas dan menghadap ke arah desa konon katanya untuk melindungi anak cucu dan keturunan mereka. Tau-Tau ini ada yang bersifat surealis dengan bentuk balok kayu bertangan dan berkaki serta bagian mukanya dicat plus posisi tangan yang tertekuk lurus ke depan. Tau-Tau juga ada yang sangat nyata, berukuran besar sebesar manusia itu sendiri, dibuat persis mengikuti lekuk tubuh hingga gurat wajah orang yang meninggal. Pakaian orang yang meninggal pun tak lupa dipakaikan serta ke Tau-Tau ini, bahkan hingga ke aksesorinya mulai dari topi hingga emas berlian.
Dahulu, wilayah Tana Toraja ini secara ekslusif tertutupi perbukitan dan pegunungan alami yang ada di sekitarnya. Hingga kini pun, kalau anda berasal dari Enrekang, anda harus memasuki gerbang batu besar dimana di atasnya terdapat Tongkonan sebagai tanda anda memasuki pintu gerbang wilayah Toraja. Dari Toraja ke Palopo pun, bentang alam alami menutupi dan sekaligus menjaga kawasan ini. Jalan berkelok-kelok melewati tebing menghiasi ruas Rantepao – Palopo. Berita tanah longsor menjadi hal yang umum di ruas ini. Kini, seiring dengan maraknya otonomi daerah, Toraja pun tidak mau ketinggalan. Kabupaten Tana Toraja yang dahulu hanya satu, mekar menjadi dua : Toraja dan Toraja Utara. Masing-masing kabupaten beribukotakan Makale dan Rantepao. Rantepao, pusat kota turis di Toraja akhirnya menjelma menjadi ibukota Toraja Utara setelah mekar dari Toraja di selatan sana. Objek wisata yang umum dikunjungi di Tana Toraja bukanlah kedua kota ini. Kedua kota ini hanyalah pusat titik awal para turis berada. Sejumlah objek wisata yang didominasi desa wisata, kuburan gantung, kuburan dinding batu cadas, kuburan pohon, sarkofagus yang bernama Erong, hingga air terjun, kolam dan mata air panas berada tersebar di penjuru wilayah ini. Objek wisata di seputar Tana Toraja (istilah ini umum untuk memanggil kedua wilayah Toraja) sangat banyak dari yang sangat terkenal hingga cukup kecil dan baru dikembangkan. Aksesnya pun bervariasi, ada yang di tepi jalan besar, agak masuk ke dalam, harus melalui jalan rusak, hingga yang hanya bisa diakses dengan jalan kaki saja. Rasanya, seminggu di tempat ini pun tidak akan puas melihat keseluruhan objek wisatanya. Belum lagi, kesempatan untuk melihat hari pasaran dan upacara adat yang sangat unik. Rasanya, waktu terasa cepat berjalan di Tana Toraja.
Bagi anda yang akan berkunjung ke Tana Toraja, harap perhatikan bahwa iklim di Tana Toraja cenderung dingin. Pakaian hangat dan syal adalah wajib kalau anda berkunjung ke tempat ini. Jangan heran kalau anda melihat kabut tebal yang menutupi pandangan anda, terutama ketika anda berada di wilayah pinggiran Toraja yang lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada siang hari, anda tidak membutuhkan pakaian hangat karena udaranya cukup bersahabat, standard tropis lah. Untuk anda yang Muslim, harap memahami bahwa Toraja adalah wilayah Nasrani. Walaupun Orang Toraja masih menganut kepercayaan lokal Aluk Tulodo dengan Puang Matua sebagai TuhanNya, namun Nasrani adalah agama yang mendominasi kawasan ini. Nah, untuk anda yang Muslim, sebaiknya waspada akan menu makanan di tempat ini karena Orang Toraja mengkonsumsi babi (anda bisa melihat deretan babi dengan beraneka ragam ukuran besarnya berjejer di pada hari pasaran di Toraja). Kalau mau cari aman, carilah makanan Pangkajene yang banyak berdiri di tempat ini (bahkan di penjuru Sulawesi Selatan) misalnya sop konro, cotto, sop saudara dan ayam goreng. Kalau nggak yakin, sebaiknya selalu bertanya sebelum anda mengkonsumsi segala sesuatunya.
Nah, dengan ini, tampaknya anda sudah siap untuk masuk ke Tana Toraja. Anda akan bertemu dengan keramahan Toraja begitu anda menjejak wilayah ini. Kembangkanlah senyum dan bertanya agar tidak tersesat, siap-siap meleleh akan keramahan Tana Toraja.

Pemandangan Spektakuler Menyambut Saya Pagi Hari Di Toraja

Saya terbangun lagi kali ini setelah sekian jam tertidur di ruas Bamba Puang – Toraja. Tentu saja, alasan utamanya karena perut saya yang kembali bergejolak, walaupun tidak ada isinya lagi, duh! Namun, kali ini, bukan kegelapan pekat yang menyambut saya. Pemandangan spektakuler yang sangat menakjubkan menyambut saya. Seandainya saya tidak fokus pada urusan perut yang bergejolak, pasti saya sangat menikmati pemandangan indah ini. Setelah sempat melihat jam walau dengan susah payah, saya berhasil mengetahui saat itu pukul 5 pagi. Kondisi alam sekeliling belum terang sepenuhnya namun saya sudah bisa melihat kabut tebal –ya, super tebal yang pernah saya lihat dalam hidup saya- yang menutupi wilayah sekitar bus (bahkan, menurut saya, kabut tersebut menempel erat di dinding kaca sisi luar bus!). saya segera menempelkan tangan saya di kaca bus yang memang lebar. Saya segera menyukai sensasi rasa dingin yang merambat dari kaca jendela ke telapak tangan saya! Bayangkan, padahal saat itu tubuh saya menggigil kedinginan karena AC bus! Saya heran sekaligus takjub bagaimana supir bus sangat menguasai jalan dengan berbelok ke kanan, ke kiri, naik, turun dengan lihai padahal di luar sana semuanya kabut! Saya juga tidak merasa kecepatan bus diturunkan agar bisa berkompromi dengan kabut. Kecepatan bus sama seperti ketika di ruas lurus di sekitar Pangkajene. Saya sangat menikmati pemandangan indah ini. Sekilas, saya langsung jatuh cinta dengan Tana Toraja! Padahal saya baru saja tidak terlalu jauh memasuki gerbang masuk Kabupaten Tana Toraja!
Bus kembali meliuk-liuk bergerak naik turun ke kiri dan kanan membawa seluruh penumpang. Kebanyakan penumpang pastinya masih tertidur. Cuma saya tampaknya yang masih fokus dengan pemandangan luar biasa di luar sana. Teman sebangku saya malah masih asik melanjutkan tidurnya. Mungkin Daniel sudah terbiasa dengan semua ini kali yach? Maklum, dia orang Makale. Samar-samar, bus menderu perlahan dan melewati sebentuk bayangan. Tiba-tiba ranting-ranting pohon kering menyeruak dekat sekali dengan kaca jendela. Terbayang kan betapa tebalnya kabut di luar karena benda apapun baru terlihat dengan cukup jelas ketika sudah menyentuh kaca jendela. Tak lama, saya kembali menyaksikan sebentuk benda tinggi tampak muncul perlahan di sisi jendela. Benda tersebut berbentuk segilima dengan menara dan salib di puncaknya. Ow, saya melihat gereja yang dibangun di atas bukit kecil di tepi jalan. Nuansa kegembiraan langsung menjuluri sekujur tubuh saya. Kemudian, sesaat tak lama, suatu benda berbentuk panjang dan tinggi menimbulkan bayangan gelap pada kabut. Tiba-tiba, muncullah atap Tongkonan menyeruak diantara kabut. Saya baru yakin seyakin-yakinnya saya sudah tiba di Toraja ketika melihat Tongkonan itu. Yay! Saya sudah tiba!
Walaupun harus berjuang dengan perut yang bergejolak (jalan lingkar luar Makale dan Rantepao memang sama parahnya dengan jalan propinsi yang melewati Enrekang. Semua jalan ini meliuk-liuk naik turun kiri dan kanan), namun saya sudah tidak berminat tidur lagi. Saya lebih senang menikmati pemandangan indah yang muncul di balik kaca jendela. Setiap kali ada bayangan gelap bersiap muncul, saya segera menebak sebentuk apakah itu. Memang, tak lama kemudian, kabut pun mulai pudar perlahan-lahan. Situasi yang dipenuhi kabut tersebut berangsur-angsur menjadi jelas. Mulailah tampak sawah-sawah Toraja, bukit-bukit kecil di sekitar Toraja, hingga rumah-rumah adat mereka dan rumah biasa kemudian sejumlah warga yang berselimut Sarung Toraja keluar untuk memulai ritual pagi mereka. Walaupun tampak tipis, namun mereka tampaknya cukup nyaman beraktifitas dengan sarung toraja tersebut. Bisa jadi, sarung tersebut memang ampuh menahan dingin. Saya jadi ingin punya satu di dalam sini. Menutupi tubuh saya yang kedinginan karena AC bus.

Thursday, February 18, 2010

Oleh-Oleh Di Pagi Buta Di Taman Nasional Bamba Puang

Nggak langsung tiba di Toraja, saya masih harus terbangun sekali lagi karena bus berhenti sekali lagi. Di tengah dinginnya malam dan AC yang menusuk, saya menggeliat terbangun di tengah kegelapan pekat. Satu-satunya cahaya yang ada hanyalah bangunan rumah khas Sulawesi Selatan yang agak ramai dan diterangi lampu ala kadarnya.
Pada postingan sebelumnya, saya telah menjelaskan bahwa saya menjumpai satu, dua dan beberapa kios makanan ringan dan oleh-oleh yang masih diterangi cahaya lampu berwarna putih namun tidak tampak ditunggui. Nah, kali ini, saya berhenti di salah satunya. Berhubung masih pukul 3 pagi, saya tidak tahu dimana saya berada. Keadaan sekeliling gelap sekali. Kebanyakan, penumpang turun untuk melihat-lihat oleh-oleh, berbelanja sedikit dan yang terpenting, urusan kamar mandi hehehe....dingin banget sich! Jaket sedang yang saya kenakan belum mampu mengusir hawa dingin pegunungan pada dini hari. Dinginnya mantap! Usut punya usut, walaupun tidak terlihat apapun, saya sedang berada di Kabupaten Enrekang, masih dalam wilayah Taman Nasional Bamba Puang dengan Gunung Nona atau Buntu Kabbobong sebagai daya tarik utamanya. Walau tidak terlihat, namun saya yakin, kios ini membelakangi pemandangan Buntu Kabbobong. Tebakan saya cukup beralasan, bagian belakang kios terbuka lebar seakan-akan ingin memberikan para tamunya pemandangan ke arah gunung. Berhubung Buntu Kabbobong masih di dalam wilayah taman nasional, maka tidak tampak adanya cahaya sama sekali yang juga mengartikan hampir tidak ada aktifitas manusia sama sekali di gunung tersebut. Hanya gelap saja. Saya harus sudah cukup puas karenanya. Padahal sebelumnya saya berharap masih tersisa sedikit pemandangan cantik dari pendar terang cahaya bulan.
Kios ini menjual aneka macam snack dan minuman yang umum ditemui. Bagi penggila rokok, kios ini pun menyediakan rokok bagi yang tidak bisa merokok sepanjang perjalanan. Maklum, bus ber AC sih. Mau diganyang orang sebus kalau nekad merokok? Hehehe...selain minuman dan snack ringan yang umum ditemui, saya menjumpai banyak sekali oleh-oleh khas Enrekang dan Toraja dijual disini. Mayoritas sich aneka macam snack Enrekang yang kering-kering (melihatnya saja sudah bikin tenggorokan saya kering minta diisi air) seperti telur gabus manis, aneka kacang-kacangan ting ting dalam olahan yang unik, kemudian ada buah seperti salak dan ada pula sejenis wajit yang dibungkus daun bacang. Buat anda penyuka kepraktisan, sejumlah bungkusan merah telah digantung di atas sejumlah tiang titian dan siap untuk dijual sebagai oleh-oleh. Isinya tampaknya buah-buahan ataupun aneka snack yang kering tersebut. Saya sendiri nggak terlalu tertarik untuk membelinya karena mood makan saya udah hilang sama sekali bersamaan dengan perut saya yang bergejolak hebat. Saya hanya membeli sebungkus minuman tolak angin agar perut saya kembali hangat dan tidak mual. Istirahat sejenak ini ditutup sekitar 30 menit kemudian. Setelah anda tertidur dengan lelap kali ini, Toraja siap menyambut anda.

Dari Pare-Pare Menuju Enrekang

Inilah jalur yang disebut ‘winding road’ oleh Lonely Planet. Yang terjadi akhirnya harus terjadi, saya muntah tak henti-henti setelah saya terbangun dari tidur saya di Enrekang (menyebalkan!). Sebenarnya, malam itu saya berniat tidur di jalan untuk menghindari mabuk darat. Toh, situasi saat itu sudah malam sehingga tidak akan bisa melihat apa-apa juga. Saya sukses tidur di jalur Pangkajene – Pare-Pare karena jalannya lurus dan mulus. Setelah bus mengisi bensin di Pare-Pare, saya sukses tertidur kembali namun tak lama terbangun karena bus mulai berdisco dengan cantiknya di kegelapan malam di perbukitan wilayah Enrekang. Saya terbangun sambil merasakan dorongan kuat di perut saya. Ohh...no! walaupun pemandangan di luar gelap sama sekali, namun sedikit banyak saya bisa melihat deretan pepohonan gelap yang bercahaya kala disorot oleh lampu bus. Beberapa kali diantaranya, saya melihat bus lain atau mobil membunyikan klakson kala berpapasan dengan bus yang saya naiki. Walaupun gelap dan jalanannya sempit tapi para pengemudi tampaknya sangat mahir dalam membawa kendaraan di wilayah ini. Mereka meliukkan bus seperti sedang bermain saja. Detik pertama ia berbelok ke kiri kemudian sesaat meliuk ke kanan dan kemudian banting setir ke kiri untuk kemudian ke kanan lagi. Gimana nggak mau muntah kalau kayak gini? Di luar sana, tidak tampak adanya satu rumah pun. Sesekali hanya dijumpai sebuah pondok kecil yang tampaknya dihuni oleh warga desa ataupun sekedar dijadikan kios. Pondok-pondok tersebut tidak nampak berpenghuni dan bercahaya lampu. Walau demikian, saya kerap berjumpa dengan beberapa buah kios pernjualan makanan dan oleh-oleh yang terang disinari cahaya lampu, masih buka, namun tiada yang menjaga. Heran juga saya melihatnya. Yang mau beli di kios tersebut pastinya bukan orang normal kecuali bus-bus yang melintas berhenti dan menurunkan penumpangnya disana. Habis, kios tersebut terletak sendiri di tengah-tengah gunung. Siapa yang nggak heran melihat keberadaannya? Bisa jadi, penjualnya pun tidur dan baru bangun begitu ada pembeli yang memanggil.
Di kejauhan, cahaya lampu tidak tampak sama sekali. Pohon-pohon besar seakan-akan membentuk kanopi sehingga saya merasakan bahwa bus memasuki hutan lebat. Cahaya bulan sabit yang sedari tadi menerangi sepintas saja pun tidak tampak lagi. Sekilas, saya melihat kabut melayang menjauh begitu tersinari oleh cahaya lampu. Bayangan rerimbunan pohon terlihat agak menyeramkan begitu tersinari oleh cahaya seadanya dari lampu sorot bus.
Akhirnya, setelah meminum tolak angin, mengoleskan minyak kayu putih, tidak dapat tidur karena pusing dan kedinginan beku (bodohnya, saya tidak memakai pakaian yang lebih tebal atau membawa selimut) dan menahan-nahan dorongan tersebut, saya sukses (maaf) muntah, beberapa kali dengan hebatnya. Perut saya sampai sakit karena setelah semua isinya keluar, saya masih terus merasakan dorongan muntah tersebut. Benar-benar sensasi yang tidak menyenangkan. Rasa ingin tidur tergantikan dengan pusing akibat jalan yang meliuk-liuk. Saya hampir tidak dapat tidur apalagi tubuh ini tidak terlalu lelah (mungkin masih semangat karena ingin ke Toraja). Untungnya, entah karena perut sudah kosong atau apa, saya sempat terlelap sebentar dan melupakan soal mual ini. Dan kemudian, bus berhenti di salah satu kios oleh-oleh di Taman Nasional Bamba Puang.
Berhubung Toraja adalah daerah yang dikelilingi pegunungan dan bukit, maka wajar jalan masuknya harus melalui jalur berliku-liku seperti ini. Agak menyakitkan untuk ‘penggemar’ muntah seperti saya (ironis, penggemar mabuk darat dan sekaligus penggila perjalanan) walau di sisi lain keuntungan bagi penumpang biasa yang kebal dari mual karena bisa melihat pemandangan menakjubkan. Buat yang berdana lebih, naik pesawat terbang kecil bisa menjadi pilihan karena pemandangannya lebih dramatis ketika akan memasuki wilayah Rantetayo. Kalau anda penggemar mabuk udara juga? Wah, sudahlah, nyerah saja, saya tidak memiliki opsi apapun lagi. Hehehe..

Wednesday, February 17, 2010

Dini Hari Di Pare-Pare

Harusnya, ini hanya perasaan saya saja. Namun, pagi-pagi buta sampai di Pare-Pare (pukul 2 pagi), saya dalam keadaan menggigil. Mana baju yang saya pakai tipis. Dan ya itu, saya menggigil.
Pare-Pare adalah kota yang terletak di tepi pantai. Kalau dilihat dari atas, wajah kota ini mirip dengan Makassar. Oleh karena itu, Pare-Pare sering dijuluki versi kecil dari Makassar atau Makassar dalam versi yang lebih hijau. Hampir mirip dengan Makassar juga, Pare-Pare banyak memiliki pulau kecil yang asyik untuk dijadikan sarana wisata pantai atau penyelaman. Dibanding Makassar, laut di Pare-Pare jelas lebih bersih. Biasanya, Pare-Pare kerap dijadikan kota transit saja, jarang sebagai kota tujuan utama. Untuk tujuan Rantepao, Pare-Pare menjadi kota transit dari Makassar. Untuk tujuan Pinrang dan Polewali, Pare-Pare juga menjadi kota transit dari Makassar. Walau demikian, kota terbesar kedua di Sulawesi Selatan ini juga memiliki sejumlah objek wisata yang patut anda perhitungkan seperti misalnya Monumen Rakyat Pejuang dan Museum La Bangenge serta Pemandian Pemuda. Wisata pantai dan pulau-pulau lepas pantainya menarik juga sebagai sarana berlibur akhir pekan anda.
Bicara Pare-Pare, pasti urusannya tidak jauh-jauh dari Pelni dan ferry. Pare-Pare memang dikenal sebagai pelabuhan utama untuk ferry-ferry yang berangkat dan menuju ke kota-kota di Kalimantan Timur. Sebut saja, Samarinda, Balikpapan, Nunukan, dan Tarakan. Selain melayani rute Kalimantan Timur, ferry dari Pare-Pare berlayar hingga ke Toli-Toli, Surabaya dan Kupang. Keliling Kota Pare-Pare juga cukup menarik untuk dilakukan karena kotanya cukup rapih.
Sekarang saya baru ngeh dan sadar, apa yang membuat saya menggigil kedinginan padahal Pare-Pare harusnya panas (biarpun panas, kalau malam harusnya kotanya dingin kali yach?). AC bus yang saya tumpangi terlalu keras menyala. Dingin. Saya sampai menghembuskan nafas saya yang menjadi embun pada kaca jendela. Kalau anda dalam perjalanan melewati malam dari Makassar ke kota-kota di utara, melewati Pare-Pare, usahakan membawa baju hangat, selimut dan kalau perlu guling dan bantal. Ini bukan candaan. Saya melihat banyak penumpang yang melakukan itu agar mereka mendapat tidur berkualitas selama 8 jam atau lebih di dalam bus (yang super dingin!). Bus yang saya tumpangi berhenti di pare-Pare untuk mengisi bensin. Selepas mengisi bensin, bus segera berjalan kembali menembus kegelapan malam dan bersiap melewati jalan meliuk-liuk.

Gelapnya Ruas Maros - Pare-Pare

Nggak banyak yang bisa saya ceritakan dari ruas ini. Berhubung saya pergi pada Agustus 2009, maka ruas ini sedang mengalami perbaikan jalan. Sepanjang perjalanan, saya menemui banyak sekali kendaraan berat yang bertugas memperbaiki jalan diparkir di tepi jalan plus diterangi lampu terang benderang.Pastinya, perbaikan jalan ini demi menyambut musim mudik yang segera tiba, sebelum dan sesudah Lebaran.
Berhubung sudah malam, saya hampir tidak bisa melihat apapun yang ada di luar sana. Apalagi, saat itu bulan hanya tampak sebagai bulan sabit saja. Cahaya redup menerangi perbukitan karst di luar sana. Sesekali, saya melihat rumah khas Makassar dan Bugis dalam cahaya temaram di tepi jalan, berganti dengan pepohonan lebat yang terkadang terlihat menyeramkan karena hanya berupa rerimbunan gelap plus cahaya seadanya saja. Ruas jalan yang saya lalui ini hampir lurus dan jarang berbelok-belok. Untuk anda yang mabuk, manfaatkanlah ruas jalan ini untuk tidur (lumayan dapat 4 jam perjalanan untuk tidur) karena selepas dari Pare-Pare, anda akan sukar tidur karena jalannya mulai meliuk-liuk. Wajah kota masih terlihat jelas saat melewati Maros-Pangkajene-Barru. Namun, ketika memasuki wilayah Rappang, hampir semua ruas jalan yang saya lalui tampak seperti jalan yang baru dibuka dengan perbukitan di sebelah kanan dan (walaupun saya nggak bisa lihat) pantai di sebelah kiri. Umumnya, Bus Toraja tidak akan berhenti lagi selama di ruas ini, tidak, tidak sampai kita tiba di Pare-Pare.

Tuesday, February 16, 2010

Icip-Icip Roti Maros

Saat naik bus malam Litha dari Makassar menuju Tana Toraja, saya mendapati kejutan berupa kuliner unik dari daerah Maros. Sekitar setengah jam berjalan dari Makassar, bus menepikan kendaraannya di tepi jalan dan diam. Beberapa penumpang terlihat kasak-kusuk dan segera mengeluarkan dompet dan bergegas turun. Tidak ada yang memberitahu saya sama sekali dengan apa yang akan terjadi. Tampaknya orang-orang ini sudah terbiasa dan cukup tahu apa yang akan terjadi. Daniel dari Makale yang duduk di sebelah kiri saya mengatakan “Roti Maros”. Apakah itu?
Dia pun turun dan tak lama kemudian, datang kembali dan membawa bungkusan kotak diselimuti plastik warna putih. Dia membuka kotak tersebut dan menunjukkan kepada saya, apa yang disebut dengan Roti Maros itu. Ternyata, Roti Maros adalah roti kecil-kecil dengan variasi berbagai macam bahan isian. Hmm...saya jamin pikiran anda pasti langsung melayang ke Roti Unyil dari Bogor. Namun, Daniel berkata, roti ini sudah terkena pengaruh modernisasi yakni rotinya langsung dibuat dalam ukuran kecil-kecil dan digulung sehingga isiannya berada di dalam. Dahulu, roti ini justru dibuat besar, kemudian dipotong-potong menjadi kotak-kotak yang cukup untuk sekali hap atau 2-3 kali gigitan. Isian Roti Maros yang saya makan adalah selai strawberry dan nanas. Soal rasa, rasanya tidak jauh berbeda dengan roti unyil yang pernah saya makan. Keistimewaan roti ini terletak pada ukurannya yang kecil sehingga menjadikan roti ini unik. Soal harga, satu kotak roti ini luar biasa murah. Untuk sekotak harga Rp. 20.000, roti ini memenuhi cukup banyak isi dari kotak roti pada umumnya. Pas banget untuk dibeli sebagai bekal perjalanan atau oleh-oleh.
Para penjual Roti Maros ini mendirikan tenda-tenda berjualan di sepanjang jalan ruas Maros-Pangkajene. Banyak sekali penjual roti ini, anda cukup memilih salah satunya saja kalau bus anda berhenti di toko Roti Maros ini. Kalau anda naik mobil, lebih mudah lagi. Silahkan ikuti ruas Maros – Pangkajene dan berhenti di kedai-kedai ini. Saya sendiri nggak tahu apakah roti ini dijual pada siang hari karena waktu itu saya berkunjung pada malam hari.

Monday, February 15, 2010

Lintas Daratan Sulawesi Selatan Menuju Tana Toraja

Inilah satu-satunya sarana angkutan yang paling dikenal baik untuk bisa mencapai Toraja. Sebagai satu daerah tujuan wisata yang sudah sangat terkenal, akses menuju Toraja sangat mudah walaupun harus menempuh perjalanan panjang selama 8 jam. Terlebih, orang Toraja sudah berada di perantauan dimana-mana, semakin mudahlah akses menuju Toraja dari berbagai kota. Rekan perjalanan di sebelah saya bukanlah turis namun orang Toraja yang sedang kembali ke kampung halamannya.
Dari Makassar menuju Rantepao, jarak sekitar 300 kilometeran itu harus ditempuh dalam 8 jam perjalanan darat. Walaupun ada pilihan penerbangan dengan pesawat kecil sekitar 45 menit dari Hasanuddin menuju Pongtiku, namun sebaiknya opsi ini kita anulir karena jadwal hanya tersedia pada selasa dan jumat saja dengan kepastian yang diragukan. Sementara itu, bus berangkat setiap hari. Jadi, kalau ada pilihan yang mudah mengapa harus menyusahkan diri? Kesulitannya hanyalah terletak pada jarak tempuh yang cukup lama. Untungnya, wilayah lintasannya berpemandangan indah.
Dari Makassar menuju Rantepao, ibukota Toraja Utara, umumnya bus akan berhenti sebanyak dua kali dengan tempat perhentian yang tidak selalu sama, suka-suka sang supir. Walau demikian, umumnya perhentian berlangsung di sekitar Pare-Pare dan Taman Nasional Bamba Puang walau tidak ada titik yang pasti digunakan sebagai perhentian. Gunanya bus berhenti adalah untuk meregangkan tubuh penumpangnya dan mengembalikan bentuk (maaf) pantat yang sudah tepos karena duduk kelamaan di dalam bus. Oleh karena itu, bus menuju Toraja bervariasi dari segi harga dan fasilitas. Selain bus ekonomi yang biasa, ada bus VIP yang ber AC, sandaran tempat duduk bisa diatur, dan memiliki sandaran kaki. Mantap bukan? Harga tiket bus berkisar antara Rp. 60.000 untuk ekonomi hingga Rp. 80.000 untuk yang VIP. Jangan kuatir, bus ini banyak dilirik turis, bahkan turis mancanegara sekalipun untuk mencapai Rantepao. Tidak ada alasan sama sekali untuk tidak menggunakan bus yang nyaman ini guna mencapai Tana Toraja. Memang sich, ada opsi persewaan mobil. Dengan harga kumulatif yang hampir sama, tingkat kenyamanan yang dimiliki mobil (umumnya kijang atau panther) berbeda dengan bus. Umumnya, bus VIP berukuran lebar dan memiliki area yang lega untuk tempat duduk. Beberapa penumpang bahkan membawa bantal dan selimut sendiri untuk kenyamanan selama di dalam bus. Hal ini yang mungkin tidak bisa anda dapatkan kalau naik mobil dari Makassar menuju Rantepao. Dari segi ukuran saja sudah terlihat mobil tidak bisa menyamai bus walau sebaliknya, bus kalah dalam segi fleksibilitas waktu daripada mobil.
Memang banyak juga orang yang menyewa mobil dari Makassar menuju Rantepao. Pada malam hari sekalipun, bus yang saya tumpangi kerapkali bertemu dengan kendaraan arah balik dari Toraja ke bawah. Untuk anda yang berniat turun di banyak titik dan mengatur waktu perjalanan sendiri, bus tentunya bukan solusi yang pas. Sewalah mobil. Sementara itu, bus umumnya hanya memiliki 2 macam waktu keberangkatan, pagi dan malam hari. Pagi hari, bus berangkat sekitar pukul 7-9 pagi sementara itu, pada malam hari, bus berangkat mulai pukul 8-10 malam. Pilih yang pagi atau malam? Kembali pada kebutuhan anda. Kalau pergi malam hari, anda akan tiba di Rantepao pada esok paginya (jangan lupa, nikmati kabut yang mengelilingi lembah dan bukit di sekitar Toraja). Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Selain bisa tidur di perjalanan, anda bisa menghemat biaya hotel untuk satu malam. Ini yang saya lakukan ketika saya mau menghemat biaya penginapan untuk satu malam. Hehehe...kekurangannya, anda akan melewatkan banyak pemandangan bagus dan menarik sepanjang ruas Makassar – Toraja. Kalau mengambil malam hari, usahakanlah mengambil kelas VIP dengan pertimbangan kursinya cukup nyaman untuk dijadikan tempat tidur. Sebaliknya, pada siang hari, anda akan mendapat bonus aneka macam pemandangan cantik yang memanjakan mata anda selama perjalanan, mulai dari Bukit Karst di Maros-Pangkajene, pulau-pulau kecil di sepanjang pantai di Barru, sawah di Rappang dan Maroangin, Taman Nasional Bamba Puang dan Gunung Buntu Kabbobong di Enrekang serta perbukitan dan kuburan yang mungkin terlewat ketika di dalam wilayah Toraja. Bus akan berhenti sebanyak dua kali untuk membeli oleh-oleh dan makan siang bersama (di luar biaya tiket bus). Walaupun tidak mensyaratkan bus yang nyaman untuk ditiduri, tapi sebaiknya anda mengambil bus ber AC karena selama perjalanan 8 jam, anda akan terpanggang oleh matahari yang menurut saya sich cukup menyengat. Gunakan bus non AC kalau bener-bener kepepet sekali. Saya sendiri kapok naik bus non AC karena kanan, kiri, depan, belakang, sekeliling saya ngebul tak henti-henti sepanjang perjalanan dan tidak memiliki kesadaran sama sekali untuk berhenti walaupun saya sudah menutup hampir seluruh muka saya dengan jaket untuk mengusir bau-bauan busuk dan beracun tersebut.
Oh yah, jangan lupa, untuk anda yang mabuk darat, sebaiknya persiapkan obat antimo dan membawa minyak kayu putih serta kantung plastik kalau-kalau anda ingin mabuk darat. Jalur Enrekang-Toraja terkenal akan tikungan dashyatnya yang bisa bikin perut mual dan bergejolak 15 menit awal. Bersyukurlah anda yang nggak bermasalah dengan mabuk darat, anda mendapat bonus pemandangan indah pegunungan (kalau perginya siang hari). Untuk yang mabuk, pilihannya tinggal bersiap-siap mabuk atau tidur sepanjang perjalanan, yang mana sayang menurut saya. Beberapa nomor bus yang bisa dihubungi untuk mengantarkan anda dari Makassar menuju Toraja adalah : Litha, Bintang Prima, Batutumonga, Pelangi.