Wednesday, March 31, 2010

Kisah Menempuh Perjalanan Ke Bandara Hasanuddin

Akhirnya! Saat pulang pun tiba. Bodohnya saya, tidak memperhitungkan waktu perjalanan pulang dari pusat kota hingga ke Bandara Hasanuddin, di perbatasan kota. Awalnya, saya pikir lokasi bandara bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Namun, melihat pete-pete yang ngetem dan tidak maju-maju, saya baru menyadari, saya salah menghitung waktu. Yang bikin kesel, ngetemnya pete-pete ini nggak cuma sekali tapi berkali-kali. Kadang-kadang, ngetemnya ini benar-benar berhenti sama sekali demi memenuhi kendaraan yang, sebenarnya, sudah hampir penuh juga. Aneh dan menyebalkan.
Saya baru menyelesaikan makan malam saya pada pukul 6 lewat. Andry yang baik hati mengantarkan saya hingga ke terminal MTC. Dari terminal, saya naik pete-pete arah Daya. Mulailah perjalanan panjang (dan mengesalkan) menuju Bandara Hasanuddin. Seperti yang tadi sudah saya bilang, pete-pete melakukan ngetem berkali-kali. Jarak normal saja, dari pusat kota menuju Bandara bisa mencapai satu jam perjalanan. Saya baru tiba di MTC jam setengah tujuh. Entah apakah saya bisa mencapai bandara pada pukul sebelum delapan, sebelum pesawat saya berangkat. bodohnya, saya masih memberikan pete-pete kesempatan. Selain karena kebetulan uang saya habis, tampaknya dalam keadaan tersebut, cara ini adalah cara yang paling terpikir oleh saya yang panik kala itu. Dalam perjalanan, pete-pete berhenti cukup lama (hampir setengah jam!) di sekitar flyover. Rasanya saya ingin mencekik leher supir yang dengan santainya merokok tersebut. Saya masih menunggu dengan geram dan tidak sabar sampai kemudian supir tersebut berjalan dengan santai lagi. Koq nggak sampai-sampai yach? Dari wilayah kota yang terang sampai daerah pinggir yang mulai agak gelap sudah saya lalui, kenapa bandara nggak sampai-sampai juga? Rasa-rasanya, jalan ini panjang sekali. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam lewat. Mau nangis rasanya!
Akhirnya, di wilayah sekitar Panaikang, saya nekad turun. Saya bayar pete-pete Rp. 3.000 dan langsung menghampiri beberapa tukang ojek yang sedang santai mangkal di tempat tersebut. Buru-buru dan penuh nafsu, saya mendekati bapak-bapak tersebut dan menyebutkan “Bandara”. Bapak tersebut menyebutkan harga “Rp. 30.000” dengan santai. Dengan sigap, saya mengiyakan dan berkata pada bapak tersebut untuk ngebut. Bapak ojek tersebut langsung kayak kebakaran jenggot. Bangun, mengambil helm dan menyerahkan helmnya ke saya dan kemudian ngebut sengebut-ngebutnya. Busyet, sudah naik motor dan ngebut saja, perjalanan masih panjang ternyata.Benar-benar jauh jaraknya bandara di Makassar dari pusat kota. Untungnya, saya tiba di bandara pada pukul 19.28, setengah jam sebelum keberangkatan. Harusnya, pada situasi normal, saya sudah tidak diijinkan check in karena batas akhir biasanya 45 menit sebelum take off. Saya buru-buru membayar (untungnya, di dompet saya masih ada uang Rp. 30.000 dan lebih Rp. 50.000 untuk pajak bandara dan ongkos pulang) dan lari masuk ke bandara. Sampai di dalam pelataran check in, saya sudah kayak orang gila lari-lari nggak jelas mencari counter check in pesawat saya. Untungnya, Tuhan masih mendengar doa saya. Seperti biasa, counter check in terlambat ditutup lantaran masih melayani banyak orang yang check in. Fiuhhhhh....Eh iya, jangan lupa membayar pajak bandara sebesar Rp. 30.000 yach ketika check in.
Setelah berhasil melakukan check in, waktu yang saya miliki hanya setengah jam untuk bisa menikmati keindahan arsitektur Bandara Hasanuddin yang baru. Bangunan yang mengadopsi bentuk Kapal Phinisi tersebut bagian dalamnya bercorak mozaik hitam dan putih. Anehnya, tulisan dan banner Selamat Datang di Sulawesi Selatan justru baru saya temukan di tempat ini. Pada saat kedatangan, saya tidak menemukan tulisan tersebut. Salah desain tampaknya...haha...sebuah miniatur kapal Phinisi tampak di tengah ruangan besar ini namun saya tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan foto-foto karena waktu yang sangat terbatas. Menariknya, bandara ini cukup modern dengan memiliki sejumlah ruang tunggu penumpang dan eskalator horisontal yang mampu membuat saya bergerak lebih cepat dari satu ruang tunggu ke ruang tunggu lain. Sayang, karena waktu terbatas, saya tidak menikmati foto-foto terakhir saya di bandara ini. Yuk, mari kita masuk ruang tunggu dan membiarkan derasnya laju adrenalin saya mereda. Sampai Jumpa Sulawesi Selatan, jumpa kali lain!

Belanja Oleh-Oleh Sulawesi Selatan Di Makassar

Sebenarnya, ada banyak tempat untuk belanja oleh-oleh di Makassar. Sebagai Ibukota Sulawesi Selatan, Makassar punya banyak pilihan bagi anda untuk belanja oleh-oleh loch. Nggak hanya itu saja, pilihan oleh-olehnya pun beragam, nggak hanya berasal dari Makassar saja, namun juga dari banyak daerah lain di Sulawesi Selatan. Anda bisa menemukan berbagai macam produk makanan, pakaian, hingga aneka kerajinan tangan di Makassar. Anda bisa menemukan produk oleh-oleh dari Makassar, Tana Toraja, Bantimurung, maupun Bone dan Luwu. Lengkap dech pokoknya.
Nah, salah satu tempat yang paling oke untuk belanja oleh-oleh di Makassar adalah di Somba Opu. Jalan yang terletak di pusat kota ini memang didekasikan untuk para turis dan wisatawan yang hobi belanja. Aneka jenis oleh-oleh seperti yang tadi saya sebutkan, bisa ditemukan disini. Misalnya saja, di bagian depan Jalan ini terdapat sebuah toko souvenir yang menjual aneka souvenir Sulawesi Selatan yang bisa anda bayangkan : Kaos Berlogo Toraja, Kupu-Kupu Bantimurung, Baju Perang Toraja, Kain Tenun Sengkang, Badik Sulawesi, Kopi Kalosi, Sirup Markisa, Baju Adat Kurung, hingga Miniatur Tongkonan dan Kapal Phinisi ada disini. Melangkah masuk ke dalam jalan ini, anda akan bertemu dengan banyak sekali toko makanan ringan yang banyak menjual oleh-oleh khas Makassar : otak-otak, sirup markisa dalam botol dalam berbagai kualitas, kopi Kalosi yang dikemas cantik dalam berbagai kotak ukiran Toraja, kacang disko aneka merek Ayam Jago dan seperti biasa, aneka keripik. Jalan lain yang juga banyak menjual aneka jenis oleh-oleh adalah Jalan Sulawesi dan Jalan Ronggeng. Sebenarnya banyak sich lokasi yang menjual oleh-oleh di Makassar. Coba dech tanya-tanya orang saja, kalau mau borong oleh-oleh tuh dimana. Semua lokasi pusat oleh-oleh yang saya sebutkan ini berada di wilayah pusat kota, kecamatan Ujung Pandang. Oya, kebanyakan toko ini sudah menyediakan mesin EDC untuk debit BCA, visa maupun master. Aman dech buat yang nggak bawa uang tunai. Hehe...

Segarnya Es Pallubutung

Banyak nama makanan enak di Makassar menggunakan kata “Pallu” di awalannya. Contohnya saja Pallubasa dan Pallumara yang terkenal itu. Keduanya masuk dalam kategori makanan berat dengan rasa yang gurih. Nah, Pallubutung sedikit berbeda dengan kedua ‘saudara’nya yang menggunakan kata ‘Pallu’. Pallubutung tidak berasa gurih sama sekali, malah manis. Pallubutung adalah es khas Makassar. Kayak apa sich isinya? Yuk, kita sambangi satu warung tenda di dekat Metro Tanjung Bunga yang menjual Es Pallubutung ini. Warung ini dikenalkan oleh Andry, teman saya yang berada di Makassar. Terima kasih ya Ndry :)
Waktu kami masuk, ternyata menu ini secara kebetulan dan beruntung sekali hanya tersisa tinggal dua porsi saja. Begitu selesai, ibu yang menjual akan beres-beres dan pulang. Hampir saja! Warung ini selain menjual Pallubutung juga menjual jenis kudapan lain khas Makassar yang sama-sama terkenalnya juga. Siapa sich yang belum pernah dengan pisang epe? Pisang epe adalah pisang masak yang dibungkus dengan tepung beras ketan berwarna hijau dan dimakan bersama dengan sirup dan butir-butiran sagu kental. Rasanya manis dan menyegarkan. Untuk membuat pisang epe dan pallubutung, bahan yang digunakan hampir relatif sama, yakni pisang kepok yang telah masak dan dilumuri tepung ketan hijau dan butiran sagu kental. Saya memesan Es Pallubutung saja kali ini.
Dalam mangkuk yang disajikan, saya melihat apungan es serut di atas kuah berwarma merah dan beberapa pisang yang mengapung. Isinya yang utama ya jelas itu saja, pisang kepok yang dilumur tepun ketan berwarna hijau. Kuahnya terdiri atas sagu, santan dan tepung beras. Warna merah berasal dari sirop cocopandan. Kudapan ini terkenal se-Sulawesi Selatan, bahkan hingga se-Indonesia loch. Sayang, saya nggak tahu harganya karena dibayarin sama Andry...hihihi...makasih ya, Ndry. Keasikan mengobrol di tempat ini jadi bikin saya nggak sadar, waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat. Nah loch! Pesawat saya berangkat pukul 8 malam. Saatnya ngebut

Tuesday, March 30, 2010

Museum Balla Lompoa Yang Terabaikan

Mumpung masih tiba sekitar jam 3 sore di Makassar, akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi objek wisata yang paling dekat yang bisa dicapai dari Terminal Mellengkeri. Sayang banget donk, mumpung hari terakhir, dan waktu yang tersedia juga lumayan banyak, kenapa nggak dimaksimalkan? Akhirnya, sesuai dengan janji saya pada diri sendiri ketika akan berangkat menuju Bira, saya akan mengunjungi Museum Balla Lompoa yang terletak di perbatasan Kota Makassar dengan Kabupaten Gowa ini. Saya menyebut Balla Lompoa pada supir kijang yang mengantar saya dan untungnya ia mengerti dimana harus menurunkan saya. Untungnya, Museum Balla Lompoa memang dilewati oleh kendaraan yang berasal dari Gowa yang menuju Mellengkeri, Saya akhirnya turun di Museum Balla Lompoa setelah membayar sebesar Rp. 35.000.
Persoalan pertama yang muncul adalah, dimana pintu masuknya? Saya tampaknya turun di bagian belakang museum dimana yang saya hadapi adalah tampak belakang bangunan museum, pagar, dan sejumlah kios penjualan makanan yang tutup. Akhirnya, saya memutari hampir setengah bagian keliling halaman museum, dan ketika sampai di jalan raya yang agak ramai, terdapatlah pintu masuk museum yang terbuka dan tidak terjaga. Padahal, di dalam museum tampak ada beberapa orang sedang melihat-lihat, entah dalam porsi sebagai turis atau apa. Museum ini pertama-tama memberikan kesan yang teramat kuat kepada saya bahwa, seperti layaknya museum-museum lain di Indonesia, ia kurang terawat. Walaupun tampak sebuah pelataran di halaman museum yang dipadati kursi-kursi plastik entah bekas sebuah perhelatan acara atau apa namun keseluruhan bangunan memberikan kesan kurang terawat.
Balla Lompoa yang dalam bahasa Makassar berarti rumah besar adalah peninggalan Raja Gowa ke 15, Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Rumah dengan desain arsitektur tradisional Makassar ini berbentuk panggung. Rumah ini baru dibangun bersamaan dengan dinobatkannya I Mangngi Manggi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo menjadi Raja Gowa ke 15 atau sekitar tahun 1936. Walaupun lokasinya berdekatan dengan Mellengkeri, namun rumah ini berdiri di atas wilayah Sungguminasa, Gowa. Semenjak dibangun, rumah ini dijadikan istana dan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa serta tempat tinggal Raja dan keluarga. Berkat pembangunan istana ini pula, Gowa ditetapkan sebagai ibukota kerajaan Gowa yang terakhir. Semua informasi ini bisa anda temukan dwibahasa, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris di sebuah papan dekat pintu masuk museum. Sayangnya, papan tersebut sudah termakan cuaca. Walaupun masih tergolong baru dibandingkan usia rumah, lapuknya cat papan informasi tersebut membuat kesulitan siapapun yang ingin membaca sejarah Balla Lompoa.
Siang itu, tampaknya saya hanya satu-satunya pengunjung di sore itu. Wajar juga mengingat jam buka museum yang umumnya paling siang hanya sampai jam 1 saja. Ada dua bangunan utama di areal museum tersebut. Satu bangunan yang lebih kecil tampaknya merupakan bangunan utama museum yang menyimpan koleksi benda-benda bersejarah, tutup pada saat kunjungan dan satu bangunan lagi (masing-masing bermodel panggung) berukuran jauh lebih besar. Bangunan yang jauh lebih besar ini pada siang itu dikunjungi oleh beberapa orang yang tampaknya sedang survey. Belakangan, setelah saya mengorek sedikit informasi, saya mendapatkan info bahwa rumah yang lebih besar kerap digunakan sebagai aula atau ruang pertemuan. Beberapa orang yang survey di tempat ini bermaksud mengadakan pesta pernikahan di museum ini. Unik juga yah pesta pernikahannya di aula museum? Walaupun terdapat sejumlah barang koleksi di aula tersebut, namun sebagian besar barang koleksi berada di Museum Balla Lompoa yang sesungguhnya, yakni rumah yang lebih kecil. Sayang, karena sudah tutup saya hanya berkesempatan melihat bangunan ini dari luar dan melihat satu buah sado yang diparkir di bagian bawah panggung museum. Bisa jadi, sado ini adalah barang pameran juga namun tidak dimasukkan ke dalam museum karena terlalu besar. Sayangnya, nggak ada keterangan tambahan tentang sado ini.
Sisa waktu saya gunakan untuk berkeliling museum dari luarnya saja. Beberapa hal yang menarik ialah bahwa ukuran panggung dari rumah ini sangat tinggi. Jadi, kalau kita tinggal di rumahnya, kita akan hidup di ketinggian, mungkin lantai 3 kali yach? Tiang-tiang penyangga rumah ini sangat tinggi pokoknya. Berjalan di bagian bawah aulanya saja memberikan kesan saya berada di jembatan atau gedung parkir. Bagian bawah rumah panggung tersebut kemungkinan digunakan sebagai lokasi parkir bagi kendaraan-kendaraan yang datang. Di sudut sisi bawah panggung, terdapat sebuah toilet yang tidak terawat, gelap namun ada airnya. Untungnya, siang itu, bagian bawah panggung sepi jadinya saya buka saja pintunya agar ada cahaya masuk. Kalau gelap-gelapan kan ngga enak juga toh? Hihi...kemudian di pinggir taman terdapat sebuah musholla yang masih difungsikan sebagai tempat menunaikan sholat bagi para pelancong, namun sayang, kondisinya juga agak kurang terawat. Di pinggir-pinggir dekat pintu masuk museum, terdapat sejumlah kios dagangan makanan. Ibu-ibu yang menjaga kios makanan tersebut tampak santai saja melihat turis. Mungkin saya bukan turis potensial yang menghabiskan uang kali yach? Hihihi...akhirnya, saya sudahi kunjungan singkat saya di Museum Balla Lompoa karena harus kembali ke pusat kota. Uniknya lagi, saat saya keluar pun tidak ada satu orang pun yang tampak menjaga tempat ini, setidaknya pegawai keamanan lah. Benar-benar terkesan terabaikan begitu saja.

Monday, March 29, 2010

(Lagi-Lagi) Makan Sop Konro Sapi di Bontosunggu, Jeneponto

Saya sudah pernah bilang belum, kalau kijang dari Makassar menuju Bulukumba atau sebaliknya akan berhenti satu kali di tengah rute? Jarak 5 jam perjalanan memang lumayan panjang kalau dimaratonkan tanpa istirahat sehingga perhentian sekali perlu banget biar para penumpang bisa istirahat dan meregangkan tubuh. Apalagi, jam keberangkatan kijang yang umumnya pagi akan bertemu tengah hari tepat di tengah-tengah rute. Makan siang menjadi agenda utama perhentian kijang. Kalau pada saat keberangkatan, kijang yang saya tumpangi berhenti di Bantaeng, kali ini pada saat pulang, kijang berhenti di Bontosunggu, Jeneponto. Sayangnya, kijang berhenti di depan Warung Pangkajene dan Coto Makassar, bukan Coto Kuda yang membuat saya penasaran.
Segera, semua penumpang turun dan masuk ke warung tersebut untuk memesan makanan. Maklum, waktu itu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sudah saatnya mengisi perut. Sebelum masuk, saya sempat-sempatnya berkeliling di sekitar warung, mencari kemungkinan adanya penjual Coto Kuda di sekitar. Sayangnya, dalam jarak pandang saya, tidak ada warung Coto Kuda yang terlihat. Saya mencoba untuk bertanya kepada warga sekitar dan hasilnya negatif, tidak ada warung Coto Kuda dalam radius dekat. Ya sudah, saya tidak mau mengambil resiko, lebih baik saya makan di warung yang ditunjuk agar tidak ditinggal pergi saat jam makan siang selesai. Ribet juga kalau sampai ditinggal disini. Pasti, saya harus bersusah payah mencari kijang yang kosong atau alternatif terburuk, naik pete-pete sambung menyambung dari satu kota ke kota lain. *TIDAKKKKKKK!!!!*
Yah...seperti yang sudah saya duga dan prediksi, saya akhirnya memesan Konro Sapi. Sayang sekali tidak ada menu kuda disini padahal saya sudah penasaran banget. Ini membuktikan, walaupun di Jeneponto, Coto Sapi pun sesuatu yang lumrah ditemui disini, tidak mesti kuda melulu. Rumah makan tersebut sama seperti yang umum ditemui, terdiri atas sejumlah meja dan kursi sederhana, di sekitarnya para pelayan berseliweran menyajikan menu. Siang itu, rumah makan tersebut ramai. Kebanyakan pelanggannya adalah warga lokal walaupun terdapat pula satu gerombolan turis asing yang berasal dari Tanjung Bira, makan disini. Saya bahkan bertemu dengan tetangga saya di Nini’s Guest House, makan di tempat ini. Apakah sebegitu terbatasnya tempat makan atau memang rumah makan ini adalah satu yang terbaik? Untuk soal rasa, saya sich ngerasa konronya enak tapi ya itu, hanya enak saja. Tidak ada sesuatu yang benar-benar nendang yang membuat saya teringat-ingat dan ingin kembali untuk mengulanginya lagi. Bisa jadi juga mungkin karena saya sudah bosan dengan coto atau konro kali yah? Hihi...untuk satu porsi konro dengan nasi, saya dikenakan harga Rp. 20.000 saja, tidak berbeda jauh dengan konro di Bantaeng, Rp. 25.000. yang menarik terjadi di tempat ini yaitu beberapa orang bapak-bapak (mungkin pegawai pemda Jeneponto –terlihat dari seragamnya-) bertanya tentang apa yang saya lakukan di Jeneponto. Setelah saya menjawab bahwa saya adalah seorang penulis, kemudian mereka bercerita tentang kabupaten ini. Walaupun menurut saya Jeneponto itu panas dan kering, namun menurut mereka situasi ini biasa saja. Mereka berkata iklimnya Jeneponto memang seperti ini. Mereka bahkan mewajibkan saya melihat Jeneponto di kala sedang banyak hujan, Jeneponto akan menjadi indah, begitu promosi bapak-bapak tersebut. Iya dech pak, doakan saya ada rejeki dan waktu lagi untuk bisa main-main dan mungkin, menjelajahi Jeneponto lebih detail yach Pak.

Biru, Hijau, dan Lamanya Pelabuhan Bira

Kebahagiaan saya yang membuncah saat pete-pete meninggalkan Tanjung Bira tak lama lenyap sudah. Pete-pete yang hanya mengangkut saya seorang itu berhenti cukup lama di Pelabuhan Bira, tempat bersandarnya kapal-kapal dari Kabaena, Sulawesi Tenggara. Padahal, kalau tiba di Makassar tepat waktu, saya masih ingin berkunjung ke Malino loch. Hihihi...Entah hitungannya bisa pas atau tidak namun dengan berhentinya pete-pete cukup lama di pelabuhan ini membuat rencana saya kandas. Walaupun bapak tersebut berkata hanya menunggu sebentar, namun ia mematikan mesin dan pergi merokok di dekat dermaga sana. Tanda pete-pete ini tidak akan berhenti sebentar, tapi lama. Daripada bosan dan kesal sendiri, mendingan saya ikut turun dari pete-pete dan melihat keadaan sekeliling.
Ternyata, saya berada masih tidak terlalu jauh dari Tanjung Bira yang saya tadi tinggalkan. Berbeda dengan pantai dan laut di Tanjung Bira, pantai dan laut di Pelabuhan Bira berangin keras dan berombak besar. Pantainya dibeton oleh dermaga sehingga ngga ada sama sekali orang yang nekad untuk berenang di pantai ini. Cukup berbahaya pastinya. Situasi di pelabuhan ini juga sepi, menurut saya. Banyak sekali kapal-kapal besar hingga kapal kecil dan perahu motor ditambatkan di sisi dermaga. Bahkan ada satu kapal yang sebagian deknya sudah terendam air laut. Entah mau dibuang atau apa saya nggak tahu. Aktifitas yang tampak di pelabuhan ini hanyalah sejumlah supir pete-pete yang pergi menunggu di bangunan ujung dermaga. Jelas sudah, mereka akan menunggu kapal dari Kabaena yang mengangkut banyak penumpang. Siapa tahu satu atau beberapa dari penumpang tersebut bisa naik pete-pete mereka, begitu kira-kira. Seorang pria turis asing yang agak gemuk tampak baru saja meninggalkan wilayah pelabuhan ini. Tampaknya ia baru saja pergi memancing dengan menyewa kapal di pelabuhan ini. Ooo...jadi wilayah sekitar pelabuhan ini cukup oke juga untuk memancing ikan yach? Memang sich, lautan yang berombak keras tersebut airnya bersih sekali. Sayang, kumpulan sampah tampak menumpuk di salah satu sisi dermaga. Terbawa angin dan air tampaknya sehingga sedikit banyak menimbulkan pemandangan nggak sedap. Tampaknya itu saja kegiatan yang tampak jelas di mata saya di siang itu. Jelas, bukan pelabuhan yang ramai dan banyak orang hilir mudik. Kesibukan baru kentara ketika ada kapal merapat. Kalau begitu, mari kita berfoto-foto sekeliling saja. Untungnya, pemandangan di sekitar pelabuhan lumayan. Birunya laut dikelilingi oleh perbukitan kecil yang hijau dan deretan rumah penduduk. Ditambah dengan formasi awan, pemandangannya oke buat saya.
Untungnya, penantian tersebut akhirnya berakhir juga. KM Belida, kapal yang berasal dari Kabaena, Sulawesi Tenggara merapat dan menurunkan banyak penumpang di terminal ini. Banyak penumpang yang memiliki tujuan akhir Tanjung Bira dan sisanya Tanaberru atau Bulukumba segera menaiki pete-pete yang tersedia. Inilah ujung dari penantian cukup lama (hampir satu jam rasanya) di Pelabuhan Bira. Saya dibawa ke Tanaberru untuk kemudian berganti dengan kijang yang akan membawa saya ke Makassar.

Saturday, March 27, 2010

Aktifitas Pagi Hari di Bira : Cari Pete-Pete

Bukannya asyik menikmati aroma pagi yang mengundang, saya malah sibuk mencari angkutan yang akan membawa saya kembali ke Makassar pada pagi hari itu. Penyebabnya jelas, hari yang cerah ini adalah hari terakhir liburan saya di Sulawesi Selatan. Saya harus kembali ke Makassar sore ini, bagaimanapun caranya! Biar nggak ketinggalan kendaraan, sepagi mungkin saya sudah mencari informasi akan keberangkatan angkutan menuju Makassar dari Bira. Walaupun menurut informasi yang beredar, kijang akan banyak ditemui pukul 9 pagi, saya nggak mau ambil resiko ketinggalan atau terlewat angkutan. Cukup sudah liburan 6 hari di Sulawesi Selatan (5 hari 5 malam tepatnya).
Pagi itu, sinar matahari menerobos lembut Nini’s Guest House. Suara ombak berdebur pelan dipadu dengan suara burung berkicau. Ah, siapa yang ingin beranjak dari tempat tidur saat begini? Angin pagi yang segar menerpa wajah saya ketika saya keluar dari penginapan. Keuntungan dan kelebihan dari posisi Nini’s Guest House adalah pemandangan ke segala arah yang hampir tidak terhalang serta angin yang berhembus terus. Pua Janggo terlihat cantik kehijauan dengan sinar matahari pagi yang lembut. Beberapa ekor kambing terlihat berjemur di tepi jalan. Saya malah sibuk mencari angkot atau apapun yang bisa membawa saya kembali ke Makassar. Pagi itu ternyata saya tidak menemukan adanya kijang satu pun, padahal pagi itu waktu sudah menunjukkan pukul 7. Tidak mau kecolongan, saya segera memburu satu pete-pete yang beristirahat di tepi pantai. Bapak tersebut berkata ia hanya melayani rute Tanaberru-Bira saja, nanti pada pukul 9 pagi. Beliau menambahkan, sukar mencari kijang dari Bira, lebih mudah dari Tanaberru. Terlepas dari ia berkata jujur atau tidak, ia menawarkan jasa temannya yang memiliki kijang untuk mengangkut saya dari Tanaberru ke Makassar. Ya sudahlah, saya nggak mau ambil pusing, saya iyakan saja untuk naik pete-petenya pada jam 9 nanti. Habis, pagi itu saya nggak melihat adanya kijang satu pun seperti yang dikatakan orang-orang. Entah kepagian atau apa, namun saya merasa lebih aman jika sudah memiliki pegangan.
Setelah memiliki pegangan, saya main-main sebentar donk di pantai. Rugi bener kalau langsung bersiap-siap untuk pulang. Kemarin kan saya hanya menghabiskan waktu sedikit sekali di pantai. Jadi pagi itu saya sedikit menghabiskan waktu di pantai dengan bermain air. Walaupun bukan hari libur, sudah banyak wisatawan lokal yang pagi itu sudah bermain air di pantai. Mungkin mereka datang dengan minibus yang dicarter, pikir saya. Beberapa turis asing bahkan sudah bersiap untuk berjemur di tepi pantai, lengkap dengan tikar tidur atau kursi pantai. Nggak hanya turis, geliat para pencari uang di Tanjung Bira pun sudah terasa pagi itu. Pedagang kerang dan aksesoris hingga pedagang makanan ringan sudah membuka lapak mereka pagi itu. Beberapa perahu tampak baru kembali dari melaut atau mengantarkan penumpang dari Pulau Lihukan dan Pulau Betang. Inilah suasana pagi Tanjung Bira. Seandainya saya tidak ingat pulang, pasti saya masih bermain-main di pantai. Pantai ini memiliki bagian yang terhalang bebatuan karang sehingga sinar matahari tidak langsung membakar kulit, saya bisa berteduh di bawahnya.
Kembali ke Nini’s Guest House, saya segera makan pagi, mandi dan melakukan packing guna kembali ke Makassar. Seusai packing, saya segera menemui Nini untuk membayar sewa kamar saya. Nini sempat bertanya kepada saya, "kamu ingin pulang dengan cara apa?". Saya menjawab, sudah tersedia pete-pete yang akan membawa saya ke Tanaberru, baru saya berganti kijang. Nini pun sedikit mengerutkan kening dan berkata bahwa Nini punya kijang juga loch untuk mengantarkan turis kembali ke Makassar. Loch? Saya nggak tahu sama sekali. Tahu begitu tadi pagi saya nggak usah heboh-heboh mencari angkutan di pagi hari, saat saya masih bisa bersantai atau bermain di pasir. Ya salah saya juga yang mungkin tidak bertanya kepada Nini atau bapak penjaga Guest House tersebut. Namun, karena sudah berjanji kepada supir pete-pete, saya merasa nggak enak hati dan tetap akan naik pete-pete saja. Dari sinilah saya lalu menduga, bisnis kijang berdiri sendiri terlepas dari akomodasi pariwisata yang ada di Bira. Nini atau supir pete-pete tersebut bekerja sama dengan para pemilik kendaraan kijang guna membantu para tamu kembali ke Makassar. Asyik juga punya kijang disini. Laku terus dan nggak habis-habis dipakai kayaknya. Saya terus memikirkan ini sembari kijang yang saya tumpangi terus bergerak ke arah barat, kembali ke Bulukumba.

Dan Malam Pun Merambati Tanjung Bira

Pastinya, turis asing terutama bapak maupun ibu yang sudah agak berumur akan menyukai ini. Situasi malam hari di Tanjung Bira benar-benar sunyi. Hanya deburan ombak di pantai dan kelap kelip kapal nelayan yang berlabuh menjadi daya tarik di kala malam. Beberapa bungalow memang menyediakan live music, namun tidak tercipta suasana hingar bingar disini. Kebanyakan, musik yang diputar hanya menggunakan gitar akustik dan lagu-lagu yang dinyanyikan pop dan ballad saja. Beberapa bungalow di tepi pantai malah hanya menyediakan kursi dan meja untuk duduk-duduk santai bagi para wisatawan asing yang ingin menikmati malam. Sudah, hiburan malamnya hanya itu saja. Tidak ada kegiatan malam seperti klub malam, klub dansa ataupun cafe yang hingar bingar. Jalan-jalan berkeliling pun tidak mungkin karena Kota terdekat, Bulukumba berjarak 40 kilometer jauhnya dan dibatasi oleh hutan bakau sejauh beberapa kilometer. Begitu keluar dari Tanjung Bira, hutan bakau dan Pua Janggo yang gelap segera menyambut kita. Nggak mungkin jalan-jalan juga donk untuk menikmati kota dalam suasana malam? Jelas, ini bukan Legian, Kuta, apalagi Bali Kedua. Ini Tanjung Bira dimana metabolisme alam akan melambat begitu malam tiba. Para wisatawan yang datang murni hanya bermalam untuk total beristirahat saja.

Walaupun menyenangkan, ternyata urusan makan menjadi soal juga loch disini. Saya nggak ketemu rumah makan yang oke untuk mengisi perut malam hari. Satu-satunya rekomendasi kalau hotel/penginapan anda tidak menyediakan makan malam adalah Warung Cici (0413.2589086) yang diberitahu oleh bapak penjaga Nini’s Guest House. Warung Cici ini terletak agak masuk ke dalam areal deretan warung makanan ringan. Saya nggak menemukan ada menu yang menarik untuk saya coba selain mie instan rebus dengan telur. Memang sich, ada beberapa menu lain yang sudah jadi tapi koq kayaknya nggak seger dan sudah diolah dari pagi yah? Mie rebus kayaknya jadi pilihan paling bijak dech malam itu. Harga mie-nya pun standard di tempat wisata, Rp. 8.000 untuk satu porsi plus telur dan sosis. Seusai makan, saya akhirnya berjalan-jalan saja di sekitar pantai menikmati debur ombak. Beberapa warga lokal tampak asik duduk menikmati desir ombak di bangkut-bangku yang ada di tepi pantai. Para wisatawan asing duduk berkumpul di balkon bungalow penginapan mereka sambil minum, menikmati alunan lagu lembut dan mengobrol. Denyut kehidupan di tempat ini terasa sangat lambat sekali. Lampu dan listrik seadanya membuat suasana sekitar remang-remang dan redup. Banyak penginapan yang hanya memiliki penerangan seadanya, terlebih penginapan yang berjarak cukup jauh dari pantai. Walau berdenyut lambat, warung-warung penjual makanan ringan di tempat ini buka hingga 24 jam loch. Hampir tengah malam ketika saya mencari sebotol air mineral dan ternyata ada. Satu hal yang nggak mungkin saya lupakan disini adalah langitnya yang bersih. Entah karena penerangan di tempat ini nggak terlalu terang, bintang-bintang terlihat sangat banyak dan bersinar cerah di tempat ini. Suatu pemandangan yang indah yang belum pernah saya saksikan sebelumnya dimanapun. Unik. Bisa jadi juga, daerah ini tidak berpolutan sehingga pandangan ke langit masih jelas terang yah. Saya sendiri akhirnya menghabiskan malam itu dengan duduk di kursi tepi pantai, mengamati air pasang yang mulai naik memenuhi pantai, memandangi bintang, mendengar alunan musik dari band akustik, dan online di handphone (mengejutkan, sinyal handphone di tempat ini ternyata penuh dan lancar –sesuatu yang tidak saya prediksi sebelumnya-).

Friday, March 26, 2010

Tidur Hemat Di Bira Bersama Nini's Guest House

Sebenarnya, saya tadinya masih ragu, mau menginap di Tanjung Bira atau tidak. Pada awalnya, saya malah berniat sesampainya di Tanjung Bira, saya bermain sebentar kemudian langsung pulang. Sayangnya, niat saya nggak berjalan mulus. Saya tiba di Tanjung Bira pada pukul 5 sore. Jelas, nggak mungkin lagi ada kendaraan yang akan mengangkut saya kembali ke Bulukumba sesore itu. Masak iya saya nekad balik lagi ke kota setelah semua perjuangan yang saya alami untuk mencapai Bira? Akhirnya, saya memutuskan untuk menginap saja di Tanjung Bira. Pertimbangan lain mengapa saya tidak memutuskan untuk menginap di Bira adalah tidak adanya refrensi akomodasi sama sekali. Ada sejumlah penginapan yang direferensikan berikut nomor teleponnya, tapi anehnya semuanya tidak dapat dihubungi sama sekali. Bahkan ada satu nomor yang saya hubungi malah diangkat oleh seseorang di Bulukumba. Entah, mungkin sambungan telepon tidak sampai di tempat ini kali yach? Walau demikian, penginapan di Tanjung Bira berserakan sepanjang pantai. Menurut info yang saya dapat, tidak susah mencari penginapan di tempat ini. Ya sudah, saya coba nekad saja dech mencari penginapan.
Pencarian saya mulai dari penginapan yang paling gampang, posisinya paling dekat pantai. Sayangnya, bungalow yang berada di tepi pantai harganya tidak masuk dengan anggaran saya, Rp. 300.000 satu malam! Hahaha...saya nyari yang harganya bersahabat untuk satu orang, yang penting bisa tidur dech. Pencarian saya menuai hasil ketika bertanya dimana lokasi penginapan yang murah berada. Kata seorang mbak di sebuah warung, ada penginapan murah yang terletak agak masuk sebuah gang. Nggak terlalu jauh dari sisi pantai (sekitar 200 meteran dech), saya menemukan Nini’s Guest House, penginapan dengan arsitektur panggung dan terletak di atas bukit. Bangunan bercat kuning ini bahkan satu-satunya penginapan yang terletak di atas bukit di Tanjung Bira. Ngga ada lagi penginapan yang lebih tinggi daripada Nini’s Guest House. Sayangnya, perjalanan menuju atas juga nggak mudah. Lumayan juga kalau bolak balik terus-terusan, bikin ngos-ngosan. Parahnya kalau malam hari, jalanan masuk menuju Guest House sama sekali nggak ada penerangan, gelap. Nekad aja jalan cepet-cepet kalau mau ke depan, tanpa melihat kanan kiri. Gelap banget soalnya. Haha...Sore itu, saya disambut oleh seorang pelayan rumah tangga, seorang bapak yang sedang merawat bebungaan di halaman Nini’s Guest House. Bapak tersebut segera memanggilkan pemilik penginapan yang, terkejutnya saya, seorang perempuan, muda dan bergaya modern lengkap dengan kaus you-can-see dan hot pants. Wow. Perempuan muda ini tampaknya sedang online di notebooknya, membuka facebook dan mendengarkan ipod. Keren juga pemilik penginapannya. Hehe..Dialah Nini, pemilik penginapan ini. Nini menawarkan sebuah kamar seharga Rp. 85.000 yang segera saya terima dengan fasilitas tempat tidur twin, kamar mandi luar, kipas angin, dan sarapan pagi. Kamarnya sendiri adalah kamar yang total terbuat dari kayu, bukan sekedar parquette saja loch. Mungkin karena wilayah pantai yang berpasir kali yach? Biar gampang ngebersihinnya, pakai kayu saja gitu kali yach? Kamarnya sendiri cukup nyaman. Walaupun ngga ada AC tapi saya masih bisa tidur dengan nyenyak di kamar itu.
Nini’s Guest House hanya berisi sekitar 6 kamar saja kalau saya nggak salah hitung yach. Kamarnya itu terletak di bagian atas panggung rumah di atas bukit tersebut. Untuk menuju kamar, kita harus naik tangga satu tingkat. Ada tiga buah kamar di kiri dan 3 buah kamar di deret kanan. Di ujung lorong, ada dua buah kamar mandi. Penghuni kamar-kamar tersebut kebanyakan adalah turis asing, saya berpapasan dengan mereka beberapa kali saat keluar/masuk kamar. Rasanya, hanya saya saja tamu lokal yang ada di penginapan ini. Di depan lorong, ada dua buah bangku bale-bale yang bisa digunakan untuk bersantai. Bangku bale-bale ini diberi banyak sekali bantal-bantal berimpel. Pemandangan Pua Janggo dan Pantai Tanjung Bira terlihat cukup jelas dari kursi bale-bale tempat duduk ini. Bagian bawah kamar berupa ruang makan dan kantor resepsionis yang juga merupakan tempat tinggal Nini. Sarapan pagi dilakukan di tempat ini dengan menu cukup komplit menurut saya, dua buah roti panggang, satu telur mata sapi, semangka besar dan pilihan kopi atau teh. Penawaran yang menyenangkan untuk harga Rp. 85.000.
Sayangnya, saya baru mengetahui belakangan bahwa Nini bisa membantu saya mencarikan kijang yang akan membawa saya kembali ke Makassar. Saya bisa digabungkan dengan rombongan turis lain yang akan pulang ke Makassar pagi itu, sekitar pukul 9 pagi. Sayangnya, saya keburu heboh duluan dengan mencari angkot yang akan membawa saya ke Tanaberru pagi-pagi sekali. Akhirnya, saya harus naik angkot ke Tanaberru dan baru berganti kijang disana. Memang, banyak pete-pete menunggu penumpang di Bira pagi-pagi sekali, anda bisa memilih mereka kalau anda tidak terburu-buru dalam perjalanan.
Oh yah, untuk anda yang beberapa tahun lalu pernah berkunjung ke Tanjung Bira, pasti mengingat tempat ini dengan nama Riswan Guest House. Kini, Riswan Guest House sudah berpindah sekitar seratus meter menjauhi arah pantai dari Nini’s Guest House. Penginapan ini sudah berpindah tangan dari Riswan ke Nini beberapa tahun lalu. Banyak hal menyenangkan terjadi di Nini’s Guest House, sebenarnya. Harga murah, sarapan pagi dan keramahan staffnya menjadi salah satu yang membuat saya terkenang. Selain itu, ada bagian dinding dari lorong kamar yang dicat dengan warna-warni dan bercorak festival Afrika atau Brazil. Unik. Bagi anda yang berkunjung ke Tanjung Bira dan berminat untuk menginap, boleh banget mencoba Nini’s Guest House. Untuk memastikan agar anda mendapatkan kamar di musim kunjungan, coba dech telepon dahulu Nini di 081355415379 atau ninibone@hotmail.com.

Selamat Datang Di Tanjung Bira

Dijamin, anda pasti nggak akan pernah mendengar nama Pantai Paloppalakaya. Nama ini memang sama sekali nggak populer di kalangan turis. Jangankan tahu, begitu mendengar namanya, pasti orang akan meminta untuk menyebutkannya sekali lagi tanpa keseleo lidah. Kebalikannya, kalau nama Paloppalakaya diganti dengan Tanjung Bira, beberapa orang disini pasti pernah mendengarnya. Maklum, nggak semuanya orang tahu pantai ini karena ketenarannya masih kalah dibanding objek-objek wisata lain yang telah terlanjur mendunia. Nama Tanjung Bira mencuat dalam beberapa tahun terakhir ini lantaran digembar-gemborkan sebagai “Bali Kedua” atau sejenisnya. Padahal, tidak usah mengusung sebutan seperti itupun, pantai ini tetap memiliki nilai jual loch. Mari, kita sibak keindahannya!
Terletak di tenggara Bulukumba sejauh 40 kilometer jauhnya, Tanjung Bira hanya bisa dicapai dengan kijang dari Makassar yang melintasi Bulukumba atau dengan pete-pete yang melayani rute Bulukumba – Tanjung Bira. Kalau dari Watampone, anda bisa naik bus umum yang melewati Sinjai, menuju Bulukumba. Alternatif lain, anda bisa menggunakan ferry dari Kabaena, Sulawesi Tenggara menuju Tanjung Bira lewat wilayah perairan Teluk Bone. Apa sich yang sangat istimewa dari Tanjung Bira sampai saya rela berlama-lama di jalan berjam-jam lamanya, terdampar dan ngangkot dan nyambung berkali-kali? Kalau nggak ada yang sangat-sangat spesial, harusnya nggak segitunya banget sampai dikejar donk?

Tanjung Bira yang kadang sering disebut “Bali Kedua” atau “Balinya Sulawesi” ini memang memiliki keistimewaan dari pasir putih yang dimilikinya dan jenis pasirnya. Jelas, daya tarik utama pantai ini adalah pasir putihnya yang tersohor hingga kemana-mana. Pasir putihnya menjadikan saya tertarik untuk mengejar pantai ini. Ditambah dengan jenis pasirnya yang unik, mirip seperti tepung membuat kunjungan ke pantai ini sesuatu yang nampaknya wajib dilakukan sesampainya anda di Sulawesi Selatan. Saya belum pernah melihat pasir sejenis ini di tempat lain. Soal pasir putih, pasir yang dimiliki pantai ini memang berwarna putih agak krem sedikit. Untuk kategori ini, pasir ini sudah sangat layak dimasukkan dalam kategori Pasir Putih. Entah yach nama Bali Kedua tersebut cocok atau tidak, namun saya belum pernah melihat pasir seperti ini di Pulau Bali. Pasir di Tanjung Bira putih dan unik, malah mungkin tiada duanya. Pada bulan-bulan tertentu, anda bisa melihat pasir ini melimpah ruah di pantai. Tapi pada bulan-bulan lainnya, secara unik anda tidak akan bertemu pasir ini. Pantainya seakan kosong tanpa pasir! Unik yach? Masih sehubungan dengan putih, pantai ini masih belum (terlalu) tercemar. Seperti biasa, kunjungan wisatawan sedikit banyak turut mengundang pemasukan sampah bagi wilayah ini. Memang, saya masih melihat sejumlah sampah bertebaran di pantai, sisa dari wisatawan yang berkunjung. Namun, sampah yang sedikit tersebut tidak terlalu menganggu keindahan total pantai ini. Secara keseluruhan, pantai ini bisa dikatakan bersih. 9,5 dari 10 layak diberikan untuk soal kebersihan. Saking bersihnya, saya sampai menjumpai aneka hewan aneh-aneh dan ajaib di seputaran pantai. Entah hewan apa yang menghasilkan ini namun saya banyak sekali menjumpai bentuk-bentuk seperti (maaf) tahi yang terbuat dari pasir, berbentuk gundukan kecil dan menyebar di seluruh areal pantai. Begitu bentuk tersebut dihancurkan, tidak ada isi apapun di dalam benda tersebut, hanya pasir saja. Selain bentuk (maaf) tahi tersebut, saya pun menjumpai benda-benda bulat sejenis lendir (yang saya yakin bukan ubur-ubur), bulu babi dan bintang laut berukuran yang cukup besar. Ajaib! Bahkan, saking ajaibnya saya sampai takut sendiri melihat hewan-hewan ajaib yang terseret ombak laut hingga ke pantai ini. Terlalu eksotis sampai saya nggak yakin, amankah habitat mereka bersentuhan dengan manusia? Bulu babi sich jelas, durinya mengandung racun, namun bagaimana dengan hewan lendir dan hewan eksotis lainnya? Sebaiknya saya berhati-hati melangkah disini.
Sore itu, Pantai Tanjung Bira dipenuhi oleh banyak sekali perahu yang ditambatkan bukan di atas pasir namun jauh di lereng pasir antara pinggir pantai dengan wilayah transisi sebelum karang. Mungkin agak aneh kalau dibayangkan yah, pantai tempat wisatawan bermain-main bercampur dengan kapal yang saya duga sich bukan kapal wisata namun kapal niaga. Namun inilah kenyataannya, kapal-kapal tersebut ditambatkan dengan jangkar dan berserakan di antara pasir dan air laut. Mungkin pemiliknya sudah selesai menggunakan atau justru malah baru akan menggunakannya nanti malam. Beberapa perahu memang baru tampak merapat di tepi pantai. Perahu motor tersebut berasal dari Pulau Lihukan atau Pulau Betang. Pulau Betang yang berada persis di seberang Tanjung Bira lebih dikenal dengan nama Pulau Kambing. Pulau Kambing juga menjadi tujuan wisata di Semenanjung Bira ini karena pasirnya putih dan pantai yang bagus. Namun bagi saya, Tanjung Bira sudah cukup bagus karena itu saya tidak berminat melanjutkan penyebrangan ke Pulau Lihukan atau Pulau Betang. Penyebrangan ke kedua pulau ini juga tidak setiap saat tersedia. Kerasnya ombak Laut Flores pada musim tertentu terkadang membahayakan pelayaran. Selain itu, tidak ada penyebrangan lagi selepas matahari terbenam. Apabila anda berombongan, maka menyewa satu perahu mungkin tidak terlalu menjadi masalah karena bisa urunan biaya. Namun apabila anda sendiri atau bersedikit, saran saya adalah mengikuti jadwal penyebrangan kelompok turis lain yang sama-sama berjumlah sedikit agar total biaya bisa menjadi murah. Apabila bersedikit, tarif penyebrangan bisa menjadi lebih mahal. Sayang jadinya.
Banyak tempat di sisi Tanjung Bira yang dipergunakan warga sekitar untuk berjualan kerang, menyewakan ban, menyewakan perahu, dan berjualan aksesoris dan makanan. Sore itu, yang masih cukup banyak berdiam di pantai ialah penjual kerang aneka rupa dengan fisik utuh alami maupun campuran yang sudah dimodifikasi dan sudah melalui proses kreatifitas. Beberapa kerang ukuran kecil yang dibentuk menjadi semacam boneka pastinya sudah cukup sering anda lihat. Oleh-oleh macam ini menjadi biasa saja. Namun pernahkah anda melihat Triton, Kima, Kerang Mutiara berukuran besar? Aneka kerang dengan bentuk eksotis (beberapa bahkan ada yang mirip dengan daun telinga manusia) dipajang di tempat ini dengan mempertahankan bentuk asal. Harganya sudah barang tentu mahal sebab kerang besar jenis ini agak susah untuk ditemukan bebas. Deretan pantai yang agak jauh menawarkan peminjaman baju renang, kacamata dan ban renang untuk digunakan di pantai baik renang atau snorkeling. Beberapa spot di tempat ini juga populer sebagai tempat menyelam loch. Sayang, entah karena kurang ramai atau sudah terlalu sore, tempat-tempat ini sudah tutup, hanya penjual kerang dan makanan ringan yang masih buka di tempat ini.
Objek wisata yang disajikan bukan hanya bentang pantai saja. Tepat sebelum Tanjung Bira, anda akan melihat sebuah bukit hijau dan rimbun penuh dengan pepohonan di sisi kanan jalan, Itulah Pua Janggo, bukit kecil yang bisa dikunjungi masyarakat kalau ingin berekreasi. Tersedia jalanan hiking bagi yang berminat menjelajahi Pua Janggo ini. Goa Monyet menjadi salah satu objek wisata yang terkenal di tempat ini. Walaupun bukit, jangan berharap kedua tempat ini dingin yah. Bukit yang tidak terlalu tinggi ini juga memiliki iklim cuaca yang sama dengan Tanjung Bira. Sama-sama iklim pantai. Papan penanda objek wisata ini cukup jelas di ruas Bulukumba – Tajung Bira. Anda cukup mengamati di sebelah kanan jalan, disitu ada tulisan objek wisata yang disajikan kalau anda memasuki daerah hiking tersebut. Sayang, karena sudah terlampau sore dan besok waktu saya terbatas, saya tidak sampai melakukan penjelajahan Pua Janggo dan objek-objek wisata di dalamnya. Terlebih saya sendirian pula. Sebaiknya sich tetap menggandeng teman untuk berpetualang, hiking mendaki Pua Janggo.
Inilah Tanjung Bira yang terletak di semenanjung paling Tenggara di Sulawesi Selatan. Kecantikan alamnya boleh banget anda sambangi. Bisa jadi, ini salah satu pantai terindah (dan terbersih) yang akan pernah anda lihat. Sayangnya, Tanjung Bira terlalu jauh dari kota (walaupun sedikit banyak, saya harus bersyukur juga karenanya). Jauhnya Tanjung Bira membuat akses menjadi sedemikian sulit dan lama. Sementara itu, jauhnya Tanjung Bira berimbas pada masih terjaga asrinya alam di sekitar. Mungkin-mungkin saja untuk pulang-pergi satu hari menyambangi Tanjung Bira dan kembali ke Makassar di sore hari. Anda harus pergi pagi-pagi sekali dan pulang paling lambat pukul 3, setelah semua kijang tidak beroperasi. Tentu, aturan ini tidak berlaku kalau anda membawa kendaraan sendiri. Julukan Bali Kedua tentu saja saya rasakan tidak tepat diberikan untuk Tanjung Bira. Selain memiliki keunikan tersendiri, Tanjung Bira tidak menawarkan hiburan malam hari. Hanya senyap dan gelap yang ada di Tanjung Bira. Anda salah besar kalau mendambakan kehidupan Legian atau Kuta pada malam hari di Tanjung Bira. Inilah sebabnya, banyak wisatawan yang hanya mengunjungi pantai ini dalam satu hari perjalanan saja, tanpa menginap. Saya sendiri melihat, kebanyakan wisatawan yang menginap justru adalah turis asing, baik berombongan kecil maupun besar. Jarang turis lokal yang menginap. Jadi, Harap dipastikan Tanjung Bira dimasukkan dalam daftar rute anda di Sulawesi Selatan. Menginap atau tidak, silahkan dipikirkan bagaimana baiknya. Yang jelas, matahari, pasir dan air menunggu anda.

Thursday, March 25, 2010

Menembus 18 KM Tanaberru Ke Tanjung Bira

Akhirnya! Pawai gerak jalan dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia pun selesai di Tanaberru. Yippie! Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore! Saya menunggu di tempat ini sudah satu jam lamanya. Sayang, saya nggak bisa melintas ke arah perahu-perahu yang ditambatkan karena bisa dipastikan saya akan menganggu para peserta pawai kalau sampai nekad melakukan itu. Jadi, ya sebaiknya saya menunggu sambil berfoto-foto saja.
Bapak yang tadi menawarkan jasa angkutan ke saya segera memanggil saya. Beberapa orang lain lagi segera berebut naik angkutan-angkutan yang segera berjalan begitu pawai selesai. Tampak jelas sekali, saya hanya satu-satunya wisatawan dalam angkutan tersebut. Semua penumpang lain yang saya amati adalah penduduk lokal Tanaberru atau Tanjung Bira. Mereka semua mengamati saya dengan seksama dengan pandangan yang entah aneh entah takjub. Haha...serasa jadi artis sesaat di Tanaberru. Oh yah, jangan bayangkan angkutan yang membawa saya adalah pete-pete yang biasa kita lihat yach. Walaupun tampak sejumlah pete-pete dengan bentuk standard di Tanaberru, namun yang mengangkut saya (dan sejumlah orang lainnya) adalah mobil kijang lama yang sudah dimodifikasi namun alih-alih berkesan baru, saya malah menangkap kesan bobrok. Cat-cat mobil yang sudah mengelupas, pintu masuk di bagian belakang, interior yang gelap semakin menambah kuat kesan jaman dahulu.
Mobil pun berjalan perlahan menembus sisa 18 KM dari Tanaberru ke Tanjung Bira. Mulai dari deretan rumah-rumah arsitektur Bugis hingga hutan bakau terpanjang dan terlama yang pernah saya lalui menjadi bagian perjalanan saya menuju Tanjung Bira. Aneh rasanya berjalan menembus hutan bakau yang lebat selama kurang lebih sekian kilometer. Situasi jalanan aspal yang mulus di tengah hutan bakau ini menimbulkan kesan perjalanan tanpa ujung. Konon, kata banyak supir yang melintas, daerah ini cukup rawan. Bukan dalam arti kejahatan atau kriminal namun wilayah hutan bakau rawa yang saya lewati ini memang hampir tidak berpenghuni. Saya tidak melihat adanya tiang listrik atau adanya instalasi listrik yang melintasi daerah ini. Pasti akan gelap sekali di areal ini pada malam hari, terlebih angkutan Tanaberru – Tanjung Bira akan berhenti total selepas matahari terbenam. Dengan kata lain, semua wisatawan akan terjebak di Tanjung Bira selepas malam keuali mereka memiliki kendaraan sendiri. Rawannya wilayah ini tampak dari beberapa kecelakaan misterius yang pernah terjadi tempat ini. Pada siang hari, sejumlah motor atau mobil diparkir di sisi jalan di wilayah ini, baik pasangan muda mudi atau keluarga berekreasi di areal lapang diantara pepohonan bakau tersebut. Namun pada malam hari, jangan harap anda bisa menemukan ada orang di tempat ini. Nah, pengemudi na'as tersebut menjumpai seseorang yang melintas malam-malam di hutan bakau ini. Karena kemunculannya yang mendadak, nggak heran pengemudi pun menjadi kehilangan kontrol dan menabrak. Masih agak mistis yach daerah ini...
Perjalanan panjang dan seakan tanpa ujung tersebut akhirnya berakhir ketika saya menjumpai sebuah pelabuhan besar di sebelah kiri jalan. Pelabuhan Bira. Sejumlah rumah-rumah banyak berdiri di jalanan di sekitar pelabuhan tersebut. Tepat di sisi kanan pelabuhan, adalah Pua Janggo, satu-satunya bukit yang ada di Tanjung Bira. Berhubung sudah sore, tidak banyak aktifitas berarti terjadi di pelabuhan ini. Saya hanya menjumpai sejumlah ibu-ibu yang menumpang angkutan sambil mengantarkan anak-anak mereka dalam busana pawai pakaian daerah di sekolah masing-masing. Berhubung angkutan yang tersedia sedikit, mereka pun rela berjejal-jejal di dalam angkutan tersebut. Untungnya, ini tidak berlangsung lama. Tak lama mereka pun turun dan tak lama kemudian, angkutan tiba di deretan bungalow-bungalow dengan pemandangan pantai yang cantik. Tanjung Bira, saya sampai!

Selamat Datang Di Tanaberru



Tanaberru berlokasi di tenggara Bulukumba, sekitar 25 kilometer jauhnya. Tempat ini sangat terkenal hingga ke mancanegara sebagai tempat pembuatan Kapal Phinisi, kapal khas Orang Bugis. Kalau anda tiba di tempat ini, anda bisa melihat aneka perahu yang sedang dibuat, baik kecil besar maupun dalam ukuran yang mahabesar. Perahu-perahu tersebut ditambatkan di pinggir pantai (secara kebetulan, Tanaberru juga berada persis di pinggir pantai, menghadap Laut Flores) baik yang setengah jadi maupun sudah dapat digunakan. Para pengrajin kapal di tempat ini sangat terkenal dalam kepiawaiannya membuat kapal tanpa cetak biru sama sekali. Artinya, perahu yang dibuat disini tanpa desain yang digambar di atas kertas. Semua desain sudah masuk ke dalam kepala mereka. Langsung bikin aja dech pokoknya. Hebat yach? Nggak hanya memenuhi kebutuhan lokal Bulukumba dan sekitarnya saja, kapal yang dibuat di Tanaberru sudah menjelajah nusantara bahkan dunia, memenuhi pesanan hingga melakukan ekspedisi jelajah samudera-samudera di dunia. Buat anda yang tertarik dengan objek kapal, inilah tempat yang boleh banget menghabiskan baterai dan memori kamera anda. Jarak 25 kilometer dari Bulukumba harus ditempuh dengan pete-pete selama kurang lebih setengah jam (satu jam apabila jalanannya terhalang sesuatu). Kalau beruntung, anda bisa bertemu kijang yang berasal dari Makassar dan bersedia mengangkut anda ke Tanaberru dari Bulukumba. Jalanan di Tanaberru berukuran sempit, hanya bisa dimuati dua lajur kendaraan saja. Walaupun tampilannya cukup desa, wilayah Bontobahari (begitulah terkadang nama baru Tanaberru disebut) memiliki jalan aspal yang cukup mulus. Hanya saja, berhubung lokasinya di pinggir pantai, nggak heran banyak pasir putih memenuhi bagian kiri dan kanan aspal jalan. Anda masih bisa menemukan banyak sekali rumah-rumah berarsitektur Bugis di sepanjang jalan, lengkap dengan bubungan rumahnya dan panggung. Kehidupan masyarakatnya (terutama yang berada di pinggir pantai) lebih bersahaja dan mempertahankan rumah dengan arsitektur Bugis dibanding yang berada di pedalaman. Banyak rumah yang tidak berdekatan dengan pantai sudah menerapkan arsitektur modern. Inilah Tanaberru, tanahnya tangan-tangan terampil pembuat Kapal Phinisi yang mengarungi Nusantara.
Saya tiba di Tanaberru pada pukul setengah 4 sore. Saya diturunkan oleh supir pete-pete yang mengantarkan saya. Beliau bilang, tidak ada angkutan lagi yang akan mengantarkan saya ke Tanaberru. Harus menunggu pawai gerak jalan ini berakhir. Ya, saya memang melihat gerak jalan yang terdiri atas barisan siswa-siswa SMP dan SMA berjalan dari arah Bulukumba berbelok ke perempatan besar di tengah-tengah Tanaberru. Di perempatan ini, banyak warga menyaksikan acara gerak jalan tersebut. Sebuah miniatur Kapal Phinisi berdiri di tengah-tengah perempatan tersebut. Ada tulisan Menuju Pantai Pasir Putih Bira 18 KM di perempatan tersebut. Hmmm...masih jauh juga ternyata.
Sedikit banyak, kehadiran saya cukup mencolok diantara warga sekitar. Mereka pun bertanya kemana arah tujuan saya. Saya katakan, saya akan berkunjung ke Tanjung Bira. Mereka mengatakan, tidak ada angkutan lagi yang menuju ke Tanjung Bira selama pawai masih berlangsung. Jadi, saya diminta bersabar dan menyaksikan pawai gerak jalan dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia saja. Sambil menyaksikan, nggak lupa donk saya berfoto-foto wilayah sekeliling. Sambil berfoto, saya ditanya oleh seorang bapak (si bapak nyentrik bener, rambut gondrong, pakai kacamata hitam, bikin saya takut duluan...hihihi...)apakah saya ingin ke Tanjung Bira. Saya katakan ya dan beliau menawarkan jasa angkutan dari Tanaberru menuju Tanjung Bira. Tapi sekali lagi, seperti yang sudah saya dengar daritadi, bapak berpotongan nyentrik dengan kacamata hitam tersebut mengatakan saya harus bersabar, menunggu pawai gerak jalan tersebut selesai. Haha...mari kita menunggu, lagi.

Wednesday, March 24, 2010

Bulukumba Ke Tanjung Bira Yang Panjang Dan Melelahkan

Saya terduduk di depan sebuah warung di Jalan Raya Bulukumba – Tanjung Bira. Warung yang modern dan tampaknya pembangunan di Bulukumba cukup berjalan baik, pikir saya. Seberapa jauh lagi sih untuk menuju Tanjung Bira? Bapak yang menjaga warung tersebut berkata “Tanjung Bira masih jauh, dek!”. Ah si Bapak, bikin optimisme saya berkurang aja nich... Sang supir kijang alias Pak Bella menurunkan saya di depan warung tersebut karena pete-pete menuju Tanjung Bira akan mengangkut saya di jalur ini. “Banyak”, begitu katanya ketika saya bertanya tentang jumlah pete-pete yang akan membawa saya ke Tanjung Bira. Ya sudah, saya mulai melakukan penantian pete-pete ini di tempat ini.
Pertama-tama, sekali dua kali saya menjumpai pete-pete yang melintas. Ada yang mau menarik penumpang dan ada pula yang tidak. Beberapa yang menarik penumpang, begitu melihat saya sedang menunggu, mereka langsung memberhentikan kendaraan mereka. Segera saja saya bertanya “Bira?” lalu mereka menggeleng dan langsung bergegas. Bukan hanya sekali, kira-kira beberapa pete-pete yang saya tanyakan memberi jawaban yang sama. Hah? Jadi tidak ada pete-pete yang mau membawa saya ke Tanjung Bira? Bagaimana ini? Kejadian ini berlangsung beberapa kali sampai salah seorang supir yang saya tanya tersebut berkata “tidak ada yang sampai Bira, hanya ke Tanaberru saja”. Wah, saya jadi bingung. Apa iya tidak ada pete-pete yang akan membawa saya ke Tanjung Bira? Apakah ini permanen atau bagaimana? Apa mungkin saya sudah terlalu siang sehingga pete-pete menuju Tanjung Bira sudah tidak ada lagi?
Mungkin bapak tersebut melihat saya dan merasa iba. Anak pemilik toko yang saya tanyai tentang rute Tanjung Bira dan melihat saya menunggu cukup lama (hampir satu jam!) memanggil ayahnya. Bapak tersebut menanyakan tujuan yang ingin saya tempuh. Beliau memang mengatakan bahwa seharusnya ada pete-pete dari Bulukumba (disebut “Kumba” oleh para kenek dan supir pete-pete) menuju Tanjung Bira walaupun waktu masih menunjukkan pukul 3 sore. Lama menunggu bersama bapak tersebut (dan mengobrol) tidak membuat saya mendapatkan angkutan juga. Beberapa supir bahkan ditanyai langsung oleh bapak tersebut dan mereka berbicara dalam dialek Bulukumba. Bapak tersebut menjelaskan tampaknya memang tidak ada pete-pete pada siang itu yang akan membawa saya ke Tanjung Bira. Gimana donk? Pak Bella saja bahkan sudah sempat beristirahat, memutar dan siap berangkat kembali ke Makassar. Ia kembali bertanya kepada saya apakah saya ingin ikut ke Makassar atau tinggal di Bulukumba saja? Jujur, saya jadi ragu. Waktu saya tinggal sehari lagi di Sulawesi. Mungkin nggak yah perjalanan ini berakhir di Bulukumba dan esok kembali ke Makassar tanpa menyentuh Bira lantaran keterbatasan waktu?
Namun bapak penjaga warung tersebut membesarkan hati saya. Ia menelepon rekannya di Tanjung Bira yang katanya memiliki penginapan. Temannya di telepon bahkan mengatakan seharusnya angkutan masih tersedia pada jam-jam tersebut. Bapak tersebut bahkan sampai merasa kasihan kepada saya dan berniat mengantarkan saya dengan motornya. Wow! “Kasihan kamu, jauh-jauh datang, sampai sini tapi nggak sampai Pasir Putih. Kalau memang nggak ada angkutan lagi, biar saya saja yang mengantarkan kamu!”, begitu kata bapak tersebut. Waduh, saya sampai terharu mendengarnya. Baik banget sich si bapak. Kemudian si bapak tersebut meminta kunci dan STNK kepada anak perempuannya. Waduh, serius nich Pak?
Tak lama, datanglah sebuah pete-pete lagi. Saya kembali bertanya “Bira?” dan sang supir menggeleng dan menjawab, “hanya sampai Tanaberru saja”. Bapak tersebut bertanya kepada sang supir dan akhirnya bapak tersebut bilang agar saya sebaiknya naik sampai Tanaberru saja. Tampaknya memang tidak ada angkutan menuju Bira. Nanti dari Tanaberru, saya bisa melanjutkan dengan angkutan ke Tanjung Bira. “Sudah cukup dekat dari Tanaberru untuk mencapai Bira”, begitu katanya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan saya belum bergerak dari Bulukumba. Untuk mengejar waktu dan masih bisa bermain di pasir pantai di Tanjung Bira, sebaiknya saya bergerak sekarang. Nggak mau donk sampai di pantai hanya melihat matahari terbenam dan bintang bertaburan di langit? Ya sudah, saya iyakan tawaran tersebut dan naik pete-pete menuju Tanaberru, bersama dengan segerombolan ibu dan bapak yang tampaknya baru saja belanja di pasar. Di tengah jalan, saya sempat kaget melihat petunjuk jalan yang bertuliskan “Tanjung Bira 40 KM”. Wow...masih jauh sekali yach ternyata. Sampai di Bulukumba tidak serta merta menjadikan Tanjung Bira mudah dicapai. Masih cukup jauh ternyata.
Perjalanan ini melewati wilayah kota, desa, sawah, bahkan hingga kebun dan ladang. Sesekali pete-pete yang saya naiki berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Memang, jarak yang saya tempuh cukup jauh. Saya bahkan sudah cukup terbiasa dengan pemandangan yang berseliweran di sekitar. Tidak lama kemudian, pete-pete berhenti cukup lama. Terjebak di tengah jalan bersama dengan deretan kendaraan-kendaraan lain. Pete-pete yang saya naiki tampak berjuang untuk melepaskan diri dari kemacetan ini dengan melalui jalan tikus gang penduduk yang melintasi kebun dan hutan. Ya ampun, jalanannya kecil dan hanya muat satu kendaraan saja. Pete-pete yang saya naiki bahkan ikut tersendat dan macet di dalam gang sempit tersebut. Ya ampun, ada apa sich di Tanaberru?
Jawabannya keluar beberapa waktu kemudian. Saat itu adalah 17 Agustus 2009. Saat itu, sedang diadakan acara gerak jalan sekolah-sekolah yang ada di sekitar Bontobahari. Gerak jalan tersebut menutup jalan utama yang menghubungkan Bulukumba – Tanjung Bira. Hebat! Pete-pete yang saya naiki berjuang keluar masuk gang-gang sempit untuk menghindari gerak jalan tersebut. Hingga pada suatu ketika, pete-pete tiba di sebelah pantai yang penuh dengan deretan-deretan perahu yang sudah jadi atau sedang dibuat. Saya diturunkan disini karena kata pak supir, tidak ada lagi angkutan yang bisa membawa saya ke Tanjung Bira. Semuanya harus menunggu gerak jalan tersebut selesai. Ternyata ini toh penyebab banyak pete-pete tidak mau (dan tidak bisa) mengantarkan penumpang ke Tanjung Bira. “Silahkan tunggu saja sekitar setengah jam lagi”, begitu katanya. Ya, disinilah saya, terjebak di Tanaberru, sekitar pukul setengah 4 sore tanpa kepastian adanya pengangkutan dari Tanaberru menuju destinasi, Tanjung Bira. Benar, ini perjalanan yang panjang dan tak pasti.