Ada dua buah gereja besar yang terdapat di sekitar pusat Kota Malang. Keduanya sering salah disebut sebagai Gereja Katedral Malang. Maklum, keduanya memang berukuran besar dan bergaya Neo-Gotik Belanda dan dibangun pada masa kolonialisme Belanda dahulu. Nggak heran, kedua gereja ini mendapat predikat Katedral. Untuk jelasnya, gereja yang terletak dekat dengan alun-alun Kota Malang wilayah Kayutangan adalah Gereja Hatikudus Yesus. Walaupun unik, besar dan indah, gereja ini bukanlah katedral. Gereja Katedral Malang ialah gereja yang terletak di Jalan Ijen, dekat dengan Museum Brawijaya. Gereja yang bernama Gereja Santa Maria Bunda Karmel ini dikenal dengan nama Gereja Ijen. Omong-omong soal Jalan Ijen, jalan ini adalah salah satu jalan terindah dan terapih yang ada di Kota Malang. Kanan dan kiri jalan ini dipenuhi oleh rumah-rumah yang rapih dan terawat bergaya kolonial serta berhalaman luas. Penghijauan juga sangat terasa di Jalan Ijen ini.
Gereja Ijen ini bangunannya agak lebih sederhana dibanding Gereja Hatikudus Yesus yang detail bangunannya rumit. Walau demikian, kedua jenis bangunan ini serupa dan cukup identik sehingga kerap disebut sebagai Katedral. Jadwal misa di kedua gereja ini sama, pukul 6 dan 8 pada pagi hari lalu 16.30 dan 18.30 pada sore hari. Perbedaan yang mencolok antara kedua gereja ialah lokasi. Jalan Ijen tergolong jalan yang sepi dari keramaian saat malam tiba. Walaupun kendaraan masih berseliweran tiada henti di depan gereja, namun tingkat lalu lalang manusia di tempat ini sangat jarang. Tempat ini termasuk dalam kategori sepi pada malam hari. Keadaan berbeda bisa anda dapatkan di Gereja Hatikudus Yesus. Gereja yang terletak dekat alun-alun ini ramai. Sangat ramai, malah. Hingga malam pun, kita bisa melihat berbagai keramaian, mulai dari lalu lalang manusia hingga kendaraan. Mungkin hal ini disebabkan oleh lokasinya yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan Sarinah, Gramedia, Alun-Alun dan Restoran Oen.
Dalam perjalanan menuju ke Terminal Landungsari, apabila anda menaiki angkot ADL atau AL, maka anda akan melewati Jalan Ijen ini. Jangan lupa untuk memperhatikan jalan dan melihat ada Gereja Ijen di sebelah kanan jalan. Saat malam hari tiba, gereja ini cantik sekali untuk difoto. Ketiadaan lampu yang cukup terang di sekitar gereja bisa membuat foto yang akan jepret akan tampak cantik dan alami. Gereja ini dibangun pada tahun 1936 oleh arsitek Belanda dan hingga kini masih dipertahankan dan terawat baik sebagai Gereja Katolik. Kalau anda kebetulan menyambangi gereja ini di hari sabtu atau minggu, cobain dech rasakan sensasi mengikuti misa di gereja ini.
Friday, April 30, 2010
Thursday, April 29, 2010
Bakso Kota Cak Man di Kota Asalnya, Malang!
Kayaknya sich makanan ini nggak perlu dibahas lagi yach. Habis, ketenarannya sudah melampaui kota-kota lain selain Malang sich yach. Di Jakarta saja, outletnya tersebar di berbagai tempat hingga puluhan jumlahnya. DI Malang sendiri, outletnya saja malah tidak terlalu banyak seperti di Jakarta. Saya sendiri juga malah nggak pernah nyoba bakso kota yang ada di Jakarta. Walau demikian, kota asal Bakso Kota Cak Man memang berada di Malang. Inilah kesempatan saya mencoba Bakso Kota Cak Man di kota asalnya! Wajar donk kalau kita perlu mencicipi makanan original dari suatu kota? Berhubung lokasi aslinya di Malang, maka cabang Bakso Kota Cak Man ini ada dimana-mana. Salah satunya adalah cabang di Jalan WR. Supratman. Saya mencicipi Bakso Kota ini di cabang ini. Dari arah Arjosari, motor saya putarbalikkan di bundaran besar WR Supratman.
Hal paling pertama yang saya ingat dan kagum adalah harganya. Sebagian besar produk makanan dihargai Rp. 1.000 per buah. Mulai dari bakso kasar, bakso halus, otak-otak, paru, tahu, dedaunan seperti sawi semuanya dihargai Rp. 1.000. Menyenangkan! Harga berbeda hanya untuk beberapa produk saja namun tidak terlalu signifikan. Bandingkan dengan harga satu persatu item yang ada di Jakarta, dimana harganya bervariasi mulai dari 2.000 hingga Rp. 3.800. Berbeda hingga 3.8x nya! Maka, untuk harga Rp. 15.000 sudah termasuk minuman, saya sudah mendapatkan seporsi bakso yang mengenyangkan dan puas! Ruang makannya sendiri agak terbuka dan tidak diberi AC. Bangku-bangku plastik warna-warni dengan dominansi warna hijau memenuhi ruangan ini. Pengunjung datang silih berganti membuat tempat ini jauh dari sepi. Mbak-mbaknya juga ramah dan bisa menjelaskan isi dari setiap item yang saya pesan. Boleh banget nich cobain makan Bakso Kota Cak Man di kota aslinya, Malang dan rasakan (harga murahnya)! Artikel ini bukan promosi tapi buat para petualang yang nyampe Malang dan mau makan dengan harga murah, silahkan coba bakso ini.
Wednesday, April 28, 2010
Alternatif Seru : Sewa Motor Di Malang - Batu
Dulu, waktu saya ke Malang, saya berputar-putar kota dengan menaiki angkot. Maklum, jalur angkot di Malang tergolong mudah dan menyenangkan untuk dijelajahi. Buat saya, Malang adalah salah satu kota di Indonesia dengan rute angkot yang mudah untuk dimengerti. Antar satu tempat dengan tempat lainnya mudah dicapai dengan angkot yang banyak bertebaran. Nah, kali ini saya ingin mencoba alternatif baru yang seru. Berhubung beberapa lokasi yang ingin saya capai tampaknya agak sukar dicapai dengan angkot lantaran ketidaktahuan persis akan lokasinya, maka persewaan motor menjadi pilihan kali ini. Dengan harga sewa Rp. 75.000/24 jam dan bisa disewa via hotel tempat anda menginap, boleh banget tuh motor menjadi pilihan kalau anda sendirian atau berdua dalam perjalanan ini.
Bensin disediakan satu kali dalam pengisian pertama. Setelah itu, kalau bensin habis, anda harus mengisi sendiri. Waktu yang disediakan selama 24 jam benar-benar murni 24 jam karena anda akan mengembalikan motor tersebut keesokan harinya pada jam yang sama. Secara prinsip, anda bisa saja membawa motor tersebut ke Surabaya, misalnya walaupun itu tak mungkin karena perjalanan tersebut sangat jauh. Oleh karena itu, gunakanlah motor ini untuk berkelana ke tempat-tempat wisata yang agak sulit terjangkau dan jaringan angkotnya terbatas. Dalam hal ini, saya sangat menyarankan anda mengunjungi Batu karena angkot di Batu lebih terbatas dibanding Malang. Di Malang, angkot tersedia hampir 24 jam dan mudah ditemukan dimana saja untuk rute-rute tertentu. Namun di Batu, angkot akan mulai susut selepas pukul 6 dan akan berhenti total pada pukul 9 malam. Saya melihat terminal yang kosong melompong pada pukul 9 malam di Terminal Batu. Tempat-tempat tujuan wisata di Batu yang agak sukar dicapai misalnya Jatim Park, Batu Night Spectacular, Cangar dan Kusuma Agrowisata Perkebunan Apel. Untuk menuju ke tempat-tempat ini, anda butuh kendaraan pribadi karena angkot hampir tidak melewati daerah ini. Sisanya, untuk objek-objek lainnya seperti Selekta, Coban Rondo, dan Songgoriti, usahakan untuk pulang sebelum matahari terbenam lantaran keterbatasan angkot. Nggak masalah sich kalau anda tinggal di hotel dekat lokasi wisata. Bagaimana jadinya kalau hotel anda berada di Malang, atau bahkan Surabaya? Antisipasilah hal ini dengan pulang sebelum sore. Nah, berkat adanya motor yang bisa dipakai 24 jam, anda nggak perlu kuatir lagi akan terjaminnya kepulangan anda ke hotel. anda bisa pulang bahkan di tengah malam sekalipun. Hanya satu syaratnya, anda harus menjaga motor tersebut dengan baik dan dikembalikan pada kondisi yang baik juga. KTP anda umumnya akan menjadi jaminan di hotel tempat anda meminjam. Mudah-mudahan informasi ini bisa membantu.
Bensin disediakan satu kali dalam pengisian pertama. Setelah itu, kalau bensin habis, anda harus mengisi sendiri. Waktu yang disediakan selama 24 jam benar-benar murni 24 jam karena anda akan mengembalikan motor tersebut keesokan harinya pada jam yang sama. Secara prinsip, anda bisa saja membawa motor tersebut ke Surabaya, misalnya walaupun itu tak mungkin karena perjalanan tersebut sangat jauh. Oleh karena itu, gunakanlah motor ini untuk berkelana ke tempat-tempat wisata yang agak sulit terjangkau dan jaringan angkotnya terbatas. Dalam hal ini, saya sangat menyarankan anda mengunjungi Batu karena angkot di Batu lebih terbatas dibanding Malang. Di Malang, angkot tersedia hampir 24 jam dan mudah ditemukan dimana saja untuk rute-rute tertentu. Namun di Batu, angkot akan mulai susut selepas pukul 6 dan akan berhenti total pada pukul 9 malam. Saya melihat terminal yang kosong melompong pada pukul 9 malam di Terminal Batu. Tempat-tempat tujuan wisata di Batu yang agak sukar dicapai misalnya Jatim Park, Batu Night Spectacular, Cangar dan Kusuma Agrowisata Perkebunan Apel. Untuk menuju ke tempat-tempat ini, anda butuh kendaraan pribadi karena angkot hampir tidak melewati daerah ini. Sisanya, untuk objek-objek lainnya seperti Selekta, Coban Rondo, dan Songgoriti, usahakan untuk pulang sebelum matahari terbenam lantaran keterbatasan angkot. Nggak masalah sich kalau anda tinggal di hotel dekat lokasi wisata. Bagaimana jadinya kalau hotel anda berada di Malang, atau bahkan Surabaya? Antisipasilah hal ini dengan pulang sebelum sore. Nah, berkat adanya motor yang bisa dipakai 24 jam, anda nggak perlu kuatir lagi akan terjaminnya kepulangan anda ke hotel. anda bisa pulang bahkan di tengah malam sekalipun. Hanya satu syaratnya, anda harus menjaga motor tersebut dengan baik dan dikembalikan pada kondisi yang baik juga. KTP anda umumnya akan menjadi jaminan di hotel tempat anda meminjam. Mudah-mudahan informasi ini bisa membantu.
Tuesday, April 27, 2010
Daftar Lengkap Trayek Angkot Kota Malang
Begitu anda sampai di Terminal Anjosari, coba dech turun ke terminal keberangkatan. Sebelum keluar dan tiba di deretan angkot, ada sebuah papan informasi semua rute angkot di Kota Malang dan sekitarnya. Buat yang nggak sempet melihat, nich daftar lengkapnya.
Monday, April 26, 2010
Dari Probolinggo Menuju Malang
Probolinggo memang kota yang panas. Perjalanan menuju Bromo yang dingin tadi bagaikan mimpi. Tadi pagi, saya masih melihat kabut tebal berarak di antara pepohonan dan gunung. Sekarang, saya sudah berpanas-panas ria di dalam wagon di Probolinggo. Tujuan saya berikutnya ialah Malang. Oleh karena itu, saya meminta kepada bapak supir yang mengendarai untuk mengantarkan saya ke terminal, tempat saya menumpang bus jurusan Malang.
Seperti biasa, ada biaya masuk peron sebesar Rp. 200 yang harus kita bayarkan apabila ingin memasuki terminal. Dari sini, anda bisa menuju banyak kota di Jawa Timur walau umumnya hanya kota-kota di wilayah selatan dan timur saja sich. Dari Probolinggo, anda bisa menuju Bondowoso, Surabaya, Banyuwangi, Jember, dan Malang. Kalau ingin naik yang AC, perhatikan lajur tempat bus tersebut berhenti. Lajur 1,2 dan 6 biasanya untuk bus ber AC. Keuntungan naik bus AC adalah bus ini biasanya cepat dan tidak berhenti-berhenti. Sayang, tidak ada rute langsung dari Probolinggo menuju Malang. Semua bus dari Probolinggo harus memutar melewati Pasuruan baru kembali turun ke Malang. Alasannya cukup jelas yach. Sebab di tengah-tengah jalur antara Probolinggo dan Malang terdapat Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Cukup jelas mengapa tidak ada jalur langsung yang menghubungkan kedua kota ini.
Asalkan anda sudah tahu bus mana yang akan anda naiki, langsung naiki tanpa bertanya-tanya pada banyak orang lagi. Maaf saja, anda harus ekstra berhati-hati disini mengingat reputasi terminal ini. Saya sendiri langsung naik bus dengan melihat tulisan “Malang” yang tampak pada bagian depan bus. Bus ini sendiri berasal dari Jember dan biaya yang harus dibayarkan adalah Rp. 23.000/orang. Harga ini lebih mahal dibanding tiket Surabaya – Probolinggo yang sebesar Rp. 20.000. hmm...mungkin karena lebih jauh kali yach? Perjalanan bus ini akan melewati Probolinggo – Pasuruan sama seperti waktu kedatangan anda dari Surabaya tadi. Namun, bus ini tidak melewati Bangil namun masuk ke dalam Pasuruan dan keluar di Prigen, dekat Taman Safari. Rute ini akan melewati deretan sawah-sawah yang hijau namun terletak di dataran rendah yang masih terasa panas. Selepas Prigen, barulah bus akan memasuki daerah pegunungan di Lawang dan Wonosari. Sebelum Lawang, ada Kebun Raya Purwodadi yang terletak di pinggir jalan raya. Kalau tertarik, anda bisa mencoba turun di tempat ini. Anda juga bisa mencoba berhenti di Lawang untuk menikmati dinginnya udara disini atau mampir ke Wonosari untuk melihat perkebunan teh. Kalau nggak tertarik, lanjutkan saja perjalanan anda sampai di Malang. Bus ini berhenti di Terminal Arjosari Malang. Untuk ke pusat kota, anda harus berganti angkot kecil dengan jurusan AT, ADL, AL, ABG, atau AG. Hampir semua angkot ini melewati pusat kota Malang.
Seperti biasa, ada biaya masuk peron sebesar Rp. 200 yang harus kita bayarkan apabila ingin memasuki terminal. Dari sini, anda bisa menuju banyak kota di Jawa Timur walau umumnya hanya kota-kota di wilayah selatan dan timur saja sich. Dari Probolinggo, anda bisa menuju Bondowoso, Surabaya, Banyuwangi, Jember, dan Malang. Kalau ingin naik yang AC, perhatikan lajur tempat bus tersebut berhenti. Lajur 1,2 dan 6 biasanya untuk bus ber AC. Keuntungan naik bus AC adalah bus ini biasanya cepat dan tidak berhenti-berhenti. Sayang, tidak ada rute langsung dari Probolinggo menuju Malang. Semua bus dari Probolinggo harus memutar melewati Pasuruan baru kembali turun ke Malang. Alasannya cukup jelas yach. Sebab di tengah-tengah jalur antara Probolinggo dan Malang terdapat Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Cukup jelas mengapa tidak ada jalur langsung yang menghubungkan kedua kota ini.
Asalkan anda sudah tahu bus mana yang akan anda naiki, langsung naiki tanpa bertanya-tanya pada banyak orang lagi. Maaf saja, anda harus ekstra berhati-hati disini mengingat reputasi terminal ini. Saya sendiri langsung naik bus dengan melihat tulisan “Malang” yang tampak pada bagian depan bus. Bus ini sendiri berasal dari Jember dan biaya yang harus dibayarkan adalah Rp. 23.000/orang. Harga ini lebih mahal dibanding tiket Surabaya – Probolinggo yang sebesar Rp. 20.000. hmm...mungkin karena lebih jauh kali yach? Perjalanan bus ini akan melewati Probolinggo – Pasuruan sama seperti waktu kedatangan anda dari Surabaya tadi. Namun, bus ini tidak melewati Bangil namun masuk ke dalam Pasuruan dan keluar di Prigen, dekat Taman Safari. Rute ini akan melewati deretan sawah-sawah yang hijau namun terletak di dataran rendah yang masih terasa panas. Selepas Prigen, barulah bus akan memasuki daerah pegunungan di Lawang dan Wonosari. Sebelum Lawang, ada Kebun Raya Purwodadi yang terletak di pinggir jalan raya. Kalau tertarik, anda bisa mencoba turun di tempat ini. Anda juga bisa mencoba berhenti di Lawang untuk menikmati dinginnya udara disini atau mampir ke Wonosari untuk melihat perkebunan teh. Kalau nggak tertarik, lanjutkan saja perjalanan anda sampai di Malang. Bus ini berhenti di Terminal Arjosari Malang. Untuk ke pusat kota, anda harus berganti angkot kecil dengan jurusan AT, ADL, AL, ABG, atau AG. Hampir semua angkot ini melewati pusat kota Malang.
Saturday, April 24, 2010
Nggak Usah Kuatir Menuju Cemoro Lawang, Ada Wagon!
Tujuan utama seorang turis atau backpacker melihat Bromo adalah untuk menyaksikan matahari terbit. Biasanya, selepas itu, mereka menyudahi kunjungan mereka di Bromo dan bergegas melanjutkan perjalanan ke kota lain. Walaupun ada sebagian kecil yang tetap tinggal dan beristirahat dalam arti sesungguhnya di Bromo (umumnya adalah wisatawan asing yang sudah agak berumur), namun pada umumnya orang akan menyudahi kunjungan begitu matahari terbit sudah disaksikan. Apabila anda termasuk dalam golongan mayoritas ini dan anda seorang backpacker, anda perlu banget memperhatikan informasi ini.
Rute Cemoro Lawang – Probolinggo dilayani oleh beberapa tipe kendaraan. Aneka macam mulai dari ojek, kijang, wagon, hingga bison melayani rute ini. Kali ini, saya membahas Wagon karena angkutan ini cukup praktis dibanding bison dan lebih terjadwal dibanding kijang carteran. Wagon sendiri adalah mobil minibus dengan bentuk agak mirip carry yang melayani rute Cemoro Lawang – Ngadisari – Sukapura – Probolinggo dan umumnya hanya melayani turis saja. Bison sendiri adalah mobil yang sangat besar dengan jumlah muatan yang banyak dan bisa diletakkan di atap kendaraan. Buat yang pernah menjelajah Pulau Timor, harusnya anda sudah mempunyai bayangan akan bentuk bison seperti apa. Nah, wagon ini memiliki interval tertentu dalam perjalanannya. Yang paling umum adalah interval 2 jam sehingga wagon yang berangkat pukul 10 pagi akan ditemui lagi pada pukul 12 siang. Jarak Cemoro Lawang – Probolinggo dapat ditempuh dalam 1 jam sehingga tidak setiap jam wagon bisa diandalkan. Untuk info terkini, anda sebaiknya bertanya pada hotel anda agar lebih akurat.
Yang menyenangkan, wagon ternyata melayani rute Probolinggo – Cemoro Lawang. Berhubung titik akhir dan awal wagon yang memang berada di Cemoro Lawang, maka dapat dipastikan akan selalu ada angkutan paling malam dari Probolinggo menuju Cemoro Lawang pada sore hari, baik ada atau tidak ada penumpang sama sekali. Info yang saya dapat, waktu tersore bagi keberangkatan wagon adalah pukul 5 sore dan akan tiba di Cemoro Lawang pada pukul 6. Setelah itu, wagon akan beristirahata di Cemoro Lawang. Keesokan paginya, Wagon akan mulai beroperasi pagi hari sekitar pukul 6, 8 dan seterusnya. Demikian juga dengan Probolinggo, ada keberangkatan wagon pada pukul 7, 9 dan seterusnya. Buat yang ketinggalan, nggak usah khawatir. Menunggu di travel agent tidak seberapa buruk toh? Harga tiket per orang dibanderol Rp. 35.000, jauh lebih murah dari semua angkutan omong kosong yang ditawarkan ke saya pada saat keberangkatan. Wagon ini tidak didapatkan di terminal. Anda harus sedikit berjalan kaki keluar dari terminal (Dengarkan saya, jangan pernah mencari angkutan Bromo di dalam terminal! Jangan pernah! Atau anda akan menyesal!) ke arah pintu gerbang kota dan bertemu dengan jejeran travel yang menyewakan kendaraan maupun memiliki jadwal wagon terorganisir.
Wagon sendiri akan berangkat begitu waktu sudah menunjukkan jam keberangkatan. Wagon tidak menunggu penuh namun mereka cukup aktif menjemput tamu-tamu yang menginap di hotel-hotel di Cemoro Lawang, Ngadisari dan Sukapura untuk turun menuju Probolinggo. Saya sendiri berhenti cukup lama di Ngadisari, Hotel Sion untuk menunggu semua penumpang jasa wagon keluar dan naik wagon. Perjalanan pulang yang saya lalui, sangat saya syukuri. Langit tidak hujan walaupun tidak bisa disebut cerah, juga. Awan tebal mendung jelas menggelayut rendah di sini gunung berbarengan dengan kabut yang hampir menutupi seluruh pandangan saya ke arah pegunungan. Selepas semua tamu dijemput, mulailah wagon bermanuver meliuk-liuk di jalanan turun menuju Probolinggo. Pemandangan yang tersaji cukup menarik seperti para petani memanen tanaman mereka, truk mengangkut sayur dan hasil bumi, tepi hutan dan kebun serta rumah-rumah penduduk. Walau demikian, pemandangan tersebut cukup bisa bikin saya ketiduran mengantuk juga. Akhirnya, saya tertidur cukup lama di jalur Ngadisari - Sukapura dan baru terbangun ketika sudah sampai Kota Probolinggo. Hubungi nomor telepon wagon Sinar Jaya di (0335) 430751 dan (0335) 7684114 atau di 081336811199. Pastikan, anda mendapat kepastian tempat untuk naik dan turun Bromo.
Yang menyenangkan, wagon ternyata melayani rute Probolinggo – Cemoro Lawang. Berhubung titik akhir dan awal wagon yang memang berada di Cemoro Lawang, maka dapat dipastikan akan selalu ada angkutan paling malam dari Probolinggo menuju Cemoro Lawang pada sore hari, baik ada atau tidak ada penumpang sama sekali. Info yang saya dapat, waktu tersore bagi keberangkatan wagon adalah pukul 5 sore dan akan tiba di Cemoro Lawang pada pukul 6. Setelah itu, wagon akan beristirahata di Cemoro Lawang. Keesokan paginya, Wagon akan mulai beroperasi pagi hari sekitar pukul 6, 8 dan seterusnya. Demikian juga dengan Probolinggo, ada keberangkatan wagon pada pukul 7, 9 dan seterusnya. Buat yang ketinggalan, nggak usah khawatir. Menunggu di travel agent tidak seberapa buruk toh? Harga tiket per orang dibanderol Rp. 35.000, jauh lebih murah dari semua angkutan omong kosong yang ditawarkan ke saya pada saat keberangkatan. Wagon ini tidak didapatkan di terminal. Anda harus sedikit berjalan kaki keluar dari terminal (Dengarkan saya, jangan pernah mencari angkutan Bromo di dalam terminal! Jangan pernah! Atau anda akan menyesal!) ke arah pintu gerbang kota dan bertemu dengan jejeran travel yang menyewakan kendaraan maupun memiliki jadwal wagon terorganisir.
Wagon sendiri akan berangkat begitu waktu sudah menunjukkan jam keberangkatan. Wagon tidak menunggu penuh namun mereka cukup aktif menjemput tamu-tamu yang menginap di hotel-hotel di Cemoro Lawang, Ngadisari dan Sukapura untuk turun menuju Probolinggo. Saya sendiri berhenti cukup lama di Ngadisari, Hotel Sion untuk menunggu semua penumpang jasa wagon keluar dan naik wagon. Perjalanan pulang yang saya lalui, sangat saya syukuri. Langit tidak hujan walaupun tidak bisa disebut cerah, juga. Awan tebal mendung jelas menggelayut rendah di sini gunung berbarengan dengan kabut yang hampir menutupi seluruh pandangan saya ke arah pegunungan. Selepas semua tamu dijemput, mulailah wagon bermanuver meliuk-liuk di jalanan turun menuju Probolinggo. Pemandangan yang tersaji cukup menarik seperti para petani memanen tanaman mereka, truk mengangkut sayur dan hasil bumi, tepi hutan dan kebun serta rumah-rumah penduduk. Walau demikian, pemandangan tersebut cukup bisa bikin saya ketiduran mengantuk juga. Akhirnya, saya tertidur cukup lama di jalur Ngadisari - Sukapura dan baru terbangun ketika sudah sampai Kota Probolinggo. Hubungi nomor telepon wagon Sinar Jaya di (0335) 430751 dan (0335) 7684114 atau di 081336811199. Pastikan, anda mendapat kepastian tempat untuk naik dan turun Bromo.
Friday, April 23, 2010
Sarapan Mewah Café Lava Hostel
Satu kejutan manis menunggu anda di Cafe Lava Hostel. Sekembalinya anda dari tur Bromo, pasti donk perut anda sudah berkeroncongan minta diisi? Nah, sarapan pagi memang baru disajikan selepas anda pulang dari tur. Begitu kembali ke hostel, langsung saja menuju ruang makan, nggak usah ke kamar dulu. Sarapan di Cafe Lava Hostel menyenangkan loch. Sarapannya lengkap dan porsinya banyak. Sebut saja nasi goreng dengan sayur-sayuran, dilengkapi abon, telur (bisa minta diceplok, dadar atau rebus), dan sebuah kerupuk. Minumannya kopi atau teh dan buah-buahannya lengkap banget : 3 potong semangka, 3 potong nanas (beuhhh...nanasnya manis banget!) dan pisang. Sepanjang perjalanan, baru kali ini makan makanan yang bener. Hehehe...Pokoknya, rugi besar kalau anda melewatkan sarapan pagi yang komplit dan lengkap ini. Saya sendiri bawa satu bungkus susu biar sarapan ini menjadi 4 sehat 5 sempurna. Anda wajib banget coba!
Thursday, April 22, 2010
Turun, Kembali Ke Cemoro Lawang
Setelah puas menyaksikan kawah Bromo (dibilang puas sich nggak juga :p) , maka selesailah paket wisata perjalanan anda. Biasanya, saat itu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Hardtop harus kembali ke hotel sekitar setengah 9 atau pukul 9. Jadi, ini adalah saatnya anda turun dari Kawah Bromo dan kembali ke parkiran! Nah, jalur untuk turun ternyata lebih mudah dibanding jalur naik. Memang sich, secara umum, kontur jalanan menurun juga lebih mudah ditempuh dibanding tanjakan. Namun, di balik itu semua, jalur naik ternyata ‘berbeda’ dengan jalur turun. Jalur naik terasa lebih jauh dan agak memutar dibanding jalur turun. Saya nggak melihat adanya jalur turun pas waktu kedatangan. Pada saat waktu kedatangan, secara tidak langsung saya diarahkan oleh para pengendara kuda tersebut untuk melalui jalur naik. Koq begitu yach? Pengecualian kalau anda sudah pernah ke Bromo sebelumnya dan tahu jalan pintas menuju puncak, silahkan digunakan saja. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan jalur naik digunakan untuk turun atau sebaliknya. Saya menjumpai beberapa turis yang naik di jalur turun dan turun di jalur naik. Suka-suka yang punya kaki dech. Hehehe...
Jalur turun terasa lebih singkat dan lebih landai dibanding jalur kedatangan. Jalur ini tepat berada di belakang pura. Pada waktu kedatangan tadi, saya nggak sempat memutari kompleks pura sehingga tidak tahu akan jalur ini. Jalur ini berada lebih dekat dengan Gunung Batok dan tersedia semacam areal parkir kuda yang ditandai dengan patok-patok kayu yang berjajar di sepanjang lautan pasir. Hati-hati menuruni jalur turun ini, arealnya didominasi oleh pasir dan masih basah bekas hujan sehingga licin. saya saja sampai tergelincir beberapa kali. untung, saya nggak sampai terbalik atau terjungkal. Dijamin, malunya lebih gede daripada sakitnya.
Di jalur turun ini, terdapat sejumlah pengendara kuda juga untuk anda gunakan kalau anda malas berjalan kaki. Perbedaan harga yang signifikan bisa ditemui disini. Apabila harga sewa kuda pada jalur pendakian berkisar Rp. 25.000 – Rp. 50.000, maka di jalur turun, bahkan saya menemui kuda yang bisa disewa dengan harga Rp. 10.000 saja. Pasti, jalur ini lebih mudah dan lebih dekat sehingga para penunggang mau menyewakan kudanya dengan harga cukup murah. Jalur ini juga lebih sepi dari keramaian wisatawan. Percaya dech, mau jungkir balik atau guling-guling disini, silahkan saja, tidak ada yang melihat koq. Dari pura, lokasi parkiran hardtop sudah cukup dekat dan bisa terlihat dengan mudah. Begitu anggota lengkap, hardtop segera kembali ke penginapan, mengantarkan anda semua menyelesaikan tur.
Jalur turun terasa lebih singkat dan lebih landai dibanding jalur kedatangan. Jalur ini tepat berada di belakang pura. Pada waktu kedatangan tadi, saya nggak sempat memutari kompleks pura sehingga tidak tahu akan jalur ini. Jalur ini berada lebih dekat dengan Gunung Batok dan tersedia semacam areal parkir kuda yang ditandai dengan patok-patok kayu yang berjajar di sepanjang lautan pasir. Hati-hati menuruni jalur turun ini, arealnya didominasi oleh pasir dan masih basah bekas hujan sehingga licin. saya saja sampai tergelincir beberapa kali. untung, saya nggak sampai terbalik atau terjungkal. Dijamin, malunya lebih gede daripada sakitnya.
Di jalur turun ini, terdapat sejumlah pengendara kuda juga untuk anda gunakan kalau anda malas berjalan kaki. Perbedaan harga yang signifikan bisa ditemui disini. Apabila harga sewa kuda pada jalur pendakian berkisar Rp. 25.000 – Rp. 50.000, maka di jalur turun, bahkan saya menemui kuda yang bisa disewa dengan harga Rp. 10.000 saja. Pasti, jalur ini lebih mudah dan lebih dekat sehingga para penunggang mau menyewakan kudanya dengan harga cukup murah. Jalur ini juga lebih sepi dari keramaian wisatawan. Percaya dech, mau jungkir balik atau guling-guling disini, silahkan saja, tidak ada yang melihat koq. Dari pura, lokasi parkiran hardtop sudah cukup dekat dan bisa terlihat dengan mudah. Begitu anggota lengkap, hardtop segera kembali ke penginapan, mengantarkan anda semua menyelesaikan tur.
Wednesday, April 21, 2010
Cantiknya Bibir Kawah Bromo
Di dasar tangga tersebut, saya memandang puncak Gunung Bromo yang mengepulkan asap bergulung-gulung dan tebal berwarna kelabu. Saya telah sampai di kaki Gunung Bromo. Hanya dipisahkan oleh ratusan anak tangga, saya sudah sampai di bibir kawah Gunung Bromo. Perjalanan menaiki anak tangga ternyata sebuah perjuangan keras. Bukan soal usia bukan soal kekuatan kaki tapi soal tipisnya udara. Walaupun udaranya segar, tapi Bromo adalah sebuah gunung. Udara di tempat ini cukup tipis. Aktifitas yang lumayan memicu adrenalin –salah satunya mendaki tangga- cukup membuat saya ngos-ngosan dan beristirahat satu kali di tengah perlintasan. Banyak wisatawan yang tertatih-tatih menaiki anak tangga, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dan kaum senior. Walau demikian, ada juga yang tetap semangat dan lancar mendaki ratusan anak tangga tersebut. Ketahanan tubuh dan tipisnya udara berpengaruh berbeda-beda pada setiap orang ternyata.
Hampir sama seperti yang cerita yang beredar di banyak tempat tentang tangga. Jumlah tangga di tempat ini konon katanya berubah-rubah kalau dihitung. Wah, ya sudahlah, daripada menghitung dan tidak mendapatkan angka yang sama, sebaiknya saya menikmati perjalanan pendakian ini saja daripada menghitung dan mengkalkulasikan jumlah anak tangga. Bisa jadi, saking kecapean dan nggak konsen lagi, maka jumlah anak tangga akan berubah. hehehe...Pemandangan dalam upaya pendakian ternyata spektakuler. Saya melihat lautan pasir dan padang savana di sekeliling Gunung Bromo, kompleks pura dan gunung-gunung yang mengelilingi lautan pasir ini. Saat itu pukul 8 pagi dan cuaca sudah cukup panas. Matahari bersinar cerah menerpa kulit setiap wisatawan. Saya beristirahat satu kali di tengah-tengah jalur tangga (kebetulan ada sedikit ceruk di tengah-tengah sehingga saya bisa berhenti tanpa menggangu orang lain di jalur tersebut). Saya menyempatkan berfoto di titik ini.
Perjalanan sisanya saya tempuh dengan cepat karena sudah tak sabar ingin melihat kawah Bromo. Sesampai di puncak, saya semakin ngos-ngosan (bersama dengan sejumlah orang yang ngos-ngosan juga). Wilayah puncak bibir kawah Bromo ternyata tidak terlalu luas. Kawah Bromo dibatasi dengan pagar. Langit sekitar puncak Bromo berwarna kelabu pekat, asap yang keluar dari dalam perut gunung ini bergulung hebat tak henti ke udara. Untung saja asap terbang menjauh dari gerombolan wisatawan. Angin yang berhembus lumayan menjauhkan asap sehingga wisatawan masih aman berkeliling di wilayah bibir kawah. Tapi waspada, asap yang berwarna putih keabu-abuan tersebut bisa dengan mudah berubah arah tergantung arah angin berhembus. Kalau yang terjadi adalah sebaliknya, sebaiknya anda tidak nekad menaiki puncak bibir kawah Bromo. Dari jarak yang cukup jauh saja, asap tersebut sangat berbau belerang. Entah bagaimana kalau sampai berhembus ke arah wisatawan, pasti nggak karu-karuan jadinya. Pada bagian dasar kawah, Bromo termasuk salah satu gunung berapi unik yang hampir tidak memiliki timbunan material yang cukup terlihat jelas di dasar kawah. Contoh lain adalah Gunung Tangkuban Perahu, kawah gunung ini memiliki tumpukan material berbentuk cair di dasar kawahnya. Gunung Bromo tidak memiliki tumpukan material sama sekali, hanya kepulan asap tanpa henti saja yang mengepul terus dari lubang di dasar kawah. Agak mengerikan sebenarnya.
Di puncak, pemandangan spektakuler lebih terasa. Beberapa turis bule yang agak-agak ekstrim memanjat hingga ke area yang saya nggak yakin bisa melakukannya. Satu orang turis Perancis bahkan nekad memanjat pagar pembatas yang memisahkan bibir kawah dengan kawah. Entah apa jadinya kalau ia tergelincir, saya tidak mau membayangkannya. Mungkin turis tersebut mencari objek foto yang agak-agak unik kali yach? Pagar pembatas bibir kawah pun memiliki celah yang ukurannya cukup lebar untuk dimasuki anak-anak. Sebaiknya anda berhati-hati kalau membawa anak-anak. Saya sendiri tidak memutari area pandang bibir kawah sampai ke ujung karena khawatir akan hembusan angin yang bisa saja merubah arah kepulan asap. Saya hanya bermain dan berfoto-foto di sekitar bibir kawah yang paling dekat dengan anak tangga saja.
Haus? Nggak usah khawatir, ada sejumlah ibu atau bapak yang berjualan minuman atau makanan ringan di atas puncak Bromo. Dengan alas seadanya dan baju tebal plus sarung, mereka memeluk tubuhnya menahan hawa dingin demi berjualan minuman dan makan ringan tersebut. Di atas puncak juga ada oleh-oleh yang bisa anda bawa pulang. Bukan syal atau kaos bromo loch. Nggak ada kios sama sekali di atas sini. Oleh-oleh satu-satunya hanyalah bunga edelweiss yang dikeringkan dan diberi warna mencolok. Oleh-oleh ini ada di Puncak Penanjakan tadi. Kalau tadi anda lupa beli atau baru menyadari ingin membelinya, bisa banget nich beli di puncak Bromo ini.
Berhubung sudah siang, puncak Bromo sama sekali nggak dingin. Beberapa orang yang mengenakan pakaian tebal umumnya sudah berada di puncak semenjak pagi hari. Kalau anda ikut paket, umumnya anda akan tiba di puncak sekitar pukul 7-8 pagi. Sudah tidak terlalu dingin di puncak sini. Anda hanya perlu mengeluarkan usaha lebih saat menaiki anak tangga. Tidak ada angkutan yang dapat diandalkan, termasuk kuda yang dapat membawa anda ke puncak bibir kawah. Anda harus menggunakan kaki anda saja. Bawalah minuman dan mendakilah dengan perlahan untuk menghemat tenaga. Hal sama juga perlu anda terapkan pada saat pulang. Tangga yang tadinya begitu menantang untuk ditaklukan, menjadi begitu curam saat dituruni. Berhati-hatilah melangkahi ratusan anak tangga tersebut hingga ke lereng Bromo. Terlebih, bagian lintasan tengah tangga merupakan bentuk luncuran yang landai, entah digunakan untuk apa. Saya sich nggak melihat adanya motor atau sepeda ada di atas puncak kawah. Tidak perlu berlama-lama juga berada di puncak kawah. Satu jam sudah lebih dari cukup. Jangan sampai anda keracunan hawa belerang yang kuat menguar dari dasar kawah.
Hampir sama seperti yang cerita yang beredar di banyak tempat tentang tangga. Jumlah tangga di tempat ini konon katanya berubah-rubah kalau dihitung. Wah, ya sudahlah, daripada menghitung dan tidak mendapatkan angka yang sama, sebaiknya saya menikmati perjalanan pendakian ini saja daripada menghitung dan mengkalkulasikan jumlah anak tangga. Bisa jadi, saking kecapean dan nggak konsen lagi, maka jumlah anak tangga akan berubah. hehehe...Pemandangan dalam upaya pendakian ternyata spektakuler. Saya melihat lautan pasir dan padang savana di sekeliling Gunung Bromo, kompleks pura dan gunung-gunung yang mengelilingi lautan pasir ini. Saat itu pukul 8 pagi dan cuaca sudah cukup panas. Matahari bersinar cerah menerpa kulit setiap wisatawan. Saya beristirahat satu kali di tengah-tengah jalur tangga (kebetulan ada sedikit ceruk di tengah-tengah sehingga saya bisa berhenti tanpa menggangu orang lain di jalur tersebut). Saya menyempatkan berfoto di titik ini.
Perjalanan sisanya saya tempuh dengan cepat karena sudah tak sabar ingin melihat kawah Bromo. Sesampai di puncak, saya semakin ngos-ngosan (bersama dengan sejumlah orang yang ngos-ngosan juga). Wilayah puncak bibir kawah Bromo ternyata tidak terlalu luas. Kawah Bromo dibatasi dengan pagar. Langit sekitar puncak Bromo berwarna kelabu pekat, asap yang keluar dari dalam perut gunung ini bergulung hebat tak henti ke udara. Untung saja asap terbang menjauh dari gerombolan wisatawan. Angin yang berhembus lumayan menjauhkan asap sehingga wisatawan masih aman berkeliling di wilayah bibir kawah. Tapi waspada, asap yang berwarna putih keabu-abuan tersebut bisa dengan mudah berubah arah tergantung arah angin berhembus. Kalau yang terjadi adalah sebaliknya, sebaiknya anda tidak nekad menaiki puncak bibir kawah Bromo. Dari jarak yang cukup jauh saja, asap tersebut sangat berbau belerang. Entah bagaimana kalau sampai berhembus ke arah wisatawan, pasti nggak karu-karuan jadinya. Pada bagian dasar kawah, Bromo termasuk salah satu gunung berapi unik yang hampir tidak memiliki timbunan material yang cukup terlihat jelas di dasar kawah. Contoh lain adalah Gunung Tangkuban Perahu, kawah gunung ini memiliki tumpukan material berbentuk cair di dasar kawahnya. Gunung Bromo tidak memiliki tumpukan material sama sekali, hanya kepulan asap tanpa henti saja yang mengepul terus dari lubang di dasar kawah. Agak mengerikan sebenarnya.
Di puncak, pemandangan spektakuler lebih terasa. Beberapa turis bule yang agak-agak ekstrim memanjat hingga ke area yang saya nggak yakin bisa melakukannya. Satu orang turis Perancis bahkan nekad memanjat pagar pembatas yang memisahkan bibir kawah dengan kawah. Entah apa jadinya kalau ia tergelincir, saya tidak mau membayangkannya. Mungkin turis tersebut mencari objek foto yang agak-agak unik kali yach? Pagar pembatas bibir kawah pun memiliki celah yang ukurannya cukup lebar untuk dimasuki anak-anak. Sebaiknya anda berhati-hati kalau membawa anak-anak. Saya sendiri tidak memutari area pandang bibir kawah sampai ke ujung karena khawatir akan hembusan angin yang bisa saja merubah arah kepulan asap. Saya hanya bermain dan berfoto-foto di sekitar bibir kawah yang paling dekat dengan anak tangga saja.
Berhubung sudah siang, puncak Bromo sama sekali nggak dingin. Beberapa orang yang mengenakan pakaian tebal umumnya sudah berada di puncak semenjak pagi hari. Kalau anda ikut paket, umumnya anda akan tiba di puncak sekitar pukul 7-8 pagi. Sudah tidak terlalu dingin di puncak sini. Anda hanya perlu mengeluarkan usaha lebih saat menaiki anak tangga. Tidak ada angkutan yang dapat diandalkan, termasuk kuda yang dapat membawa anda ke puncak bibir kawah. Anda harus menggunakan kaki anda saja. Bawalah minuman dan mendakilah dengan perlahan untuk menghemat tenaga. Hal sama juga perlu anda terapkan pada saat pulang. Tangga yang tadinya begitu menantang untuk ditaklukan, menjadi begitu curam saat dituruni. Berhati-hatilah melangkahi ratusan anak tangga tersebut hingga ke lereng Bromo. Terlebih, bagian lintasan tengah tangga merupakan bentuk luncuran yang landai, entah digunakan untuk apa. Saya sich nggak melihat adanya motor atau sepeda ada di atas puncak kawah. Tidak perlu berlama-lama juga berada di puncak kawah. Satu jam sudah lebih dari cukup. Jangan sampai anda keracunan hawa belerang yang kuat menguar dari dasar kawah.
Tuesday, April 20, 2010
Naik Kuda Ke Puncak Bromo
Entah bisa disebut menyebalkan atau ngga, tapi yang jelas begitu anda turun di batas antara hardtop dan pejalan kaki, anda harus siap-siap digempur oleh penawaran tak terbendung. Ditawarin apa sich?
Jarak sekitar 1 kilometer antara pintu masuk dengan Gunung Bromo tersebut memang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk saya, jarak segitu nggak terlalu jauh. Menyenangkan, malahan, untuk dijelajahi. Terlebih, saya bisa foto foto dengan bebas sepanjang perjalanan. Maklum, sepanjang perjalan tuh banyak sekali objek menarik yang bisa dijelajahi mulai dari Pura, Gunung Batok dan Gunung Bromo. Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi dan matahari sudah lumayan terasa panas menyengat di lautan pasir ini. Saya nggak bisa santai-santai juga jadinya.
Buat yang malas jalan, banyak sekali penyewaan kuda berjejer di seluruh area lautan pasir ini. Harganya bervariasi sekitar Rp. 75.000 (lokal) – Rp. 150.000 (asing) kalau dibeli di stand resmi. Harga tersebut bisa dinego kalau ditransaksikan agak jauh dari stand resmi dan langsung ke penunggangnya. Masalahnya, saya nggak niat naik kuda. Saya lebih suka jalan kaki. Kenyataannya, penunggang kuda tersebut terus saja memepet saya dan terus menerus menawarkan kudanya. Walaupun sudah saya tolak berkali-kali, mereka terus saja nempel kayak perangko. Kemudian saya tolak mereka dalam bahasa Jawa (entah bener entah nggak) dan mereka masih tetap saja menempel. Ya sudah, selanjutnya saya cuekin saja dech. Saya asyik foto-foto sambil terus berjalan. Tidak terasa, sampai juga saya di Pura. Sampai di Pura pun saya tetap dikuntit dan mereka tak henti-hentinya menawar. Entah karena bukan musim kunjungan wisatawan atau apa yach sehingga jumlah wisatawan berkurang. Tapi jujur, saya nggak suka ditempeli terus begini. Ya, saya sich ngerti ini mata pencaharian mereka satu-satunya dan inilah harapan penghidupan mereka. Tapi, saya sudah bilang cukup jelas bahwa saya ingin berjalan kaki saja alih-alih naik kuda. Nanti kalau saya ingin naik kuda, saya juga bisa manggil koq, Pak.
Usai berfoto di depan pura (sayang, puranya ditutup), saya melanjutkan perjalanan. Matahari semakin meninggi dan suhu semakin meningkat. Dari lautan pasir, saya mulai masuk ke area batu-batu. Saya kaget, ternyata saya baru mencapai setengah perjalanan. Tangga menuju puncak Bromo tampak di ujung sana dalam ukuran kecil. Medan yang harus saya tempuh adalah berbatu-batu dan tanjakan terus. Waduh, saya jadi goyah karenanya. Saya berpikir dengan cepat dan akhirnya berunding dengan rekan saya. Hasilnya, akhirnya kami berdua naik kuda! *akhirnya!* hahaha...kuda-kuda tersebut ditawar seharga Rp. 25.000/kuda/sekali jalan dengan alasan kami sudah setengah perjalanan. Setelah sedikit berdebat alot, akhirnya bapak penunggang tersebut setuju. Mereka bahkan menawarakan diri untuk memfoto saya ketika ada di atas kuda. Wah, terima kasih yach Pak. Hihihi...
Ternyata, medan yang saya tempuh memang sulit. Beberapa orang yang juga teguh seperti kami akhirnya menyerah juga dan harus menaiki kuda di batu-batu tanjakan lereng Bromo ini. Bapak penunggang tersebut yang asli Orang Tengger menawarkan saya untuk difoto beberapa kali dengan latar Gunung Batok, Gunung Bromo dan sedang naik kuda. Wah, bapaknya canggih, tau aja spot-spot menarik untuk difoto. Hohoho...
Akhirnya, setelah melewati deretan batu-batu besar dan tajam, sampai juga saya di dekat tangga Bromo. Bapak tersebut menuntun kudanya sambil berjalan kaki di depan saya. Mungkin sudah biasa bolak balik kali yach? Bagian tangga ini dipenuhi oleh banyak sekali wisatawan dan para penjual makanan dan minuman ringan.Saya turun dari kuda di tempat ini. Ternyata, pengalaman naik kuda ternyata suatu hal yang sulit kalau tidak biasa. Kebalikannya, turun dari kudapun memerlukan teknik tertentu agar kita tidak terbalik atau terjatuh. Bapak penunggang tersebut membantu saya untuk naik dan turun dari kuda. Di bagian puncak ini, banyak sekali kuda-kuda dijejerkan. Kuda-kuda tersebut beraneka warna, putih, abu-abu dan hitam. Kuda-kuda ini menunggu di puncak untuk angkutan turun para wisatawan yang sudah selesai. Mereka umumnya tidak akan menghiraukan wisatawan yang baru saja tiba. Hehehe...
Jarak sekitar 1 kilometer antara pintu masuk dengan Gunung Bromo tersebut memang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk saya, jarak segitu nggak terlalu jauh. Menyenangkan, malahan, untuk dijelajahi. Terlebih, saya bisa foto foto dengan bebas sepanjang perjalanan. Maklum, sepanjang perjalan tuh banyak sekali objek menarik yang bisa dijelajahi mulai dari Pura, Gunung Batok dan Gunung Bromo. Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi dan matahari sudah lumayan terasa panas menyengat di lautan pasir ini. Saya nggak bisa santai-santai juga jadinya.
Buat yang malas jalan, banyak sekali penyewaan kuda berjejer di seluruh area lautan pasir ini. Harganya bervariasi sekitar Rp. 75.000 (lokal) – Rp. 150.000 (asing) kalau dibeli di stand resmi. Harga tersebut bisa dinego kalau ditransaksikan agak jauh dari stand resmi dan langsung ke penunggangnya. Masalahnya, saya nggak niat naik kuda. Saya lebih suka jalan kaki. Kenyataannya, penunggang kuda tersebut terus saja memepet saya dan terus menerus menawarkan kudanya. Walaupun sudah saya tolak berkali-kali, mereka terus saja nempel kayak perangko. Kemudian saya tolak mereka dalam bahasa Jawa (entah bener entah nggak) dan mereka masih tetap saja menempel. Ya sudah, selanjutnya saya cuekin saja dech. Saya asyik foto-foto sambil terus berjalan. Tidak terasa, sampai juga saya di Pura. Sampai di Pura pun saya tetap dikuntit dan mereka tak henti-hentinya menawar. Entah karena bukan musim kunjungan wisatawan atau apa yach sehingga jumlah wisatawan berkurang. Tapi jujur, saya nggak suka ditempeli terus begini. Ya, saya sich ngerti ini mata pencaharian mereka satu-satunya dan inilah harapan penghidupan mereka. Tapi, saya sudah bilang cukup jelas bahwa saya ingin berjalan kaki saja alih-alih naik kuda. Nanti kalau saya ingin naik kuda, saya juga bisa manggil koq, Pak.
Ternyata, medan yang saya tempuh memang sulit. Beberapa orang yang juga teguh seperti kami akhirnya menyerah juga dan harus menaiki kuda di batu-batu tanjakan lereng Bromo ini. Bapak penunggang tersebut yang asli Orang Tengger menawarkan saya untuk difoto beberapa kali dengan latar Gunung Batok, Gunung Bromo dan sedang naik kuda. Wah, bapaknya canggih, tau aja spot-spot menarik untuk difoto. Hohoho...
Akhirnya, setelah melewati deretan batu-batu besar dan tajam, sampai juga saya di dekat tangga Bromo. Bapak tersebut menuntun kudanya sambil berjalan kaki di depan saya. Mungkin sudah biasa bolak balik kali yach? Bagian tangga ini dipenuhi oleh banyak sekali wisatawan dan para penjual makanan dan minuman ringan.Saya turun dari kuda di tempat ini. Ternyata, pengalaman naik kuda ternyata suatu hal yang sulit kalau tidak biasa. Kebalikannya, turun dari kudapun memerlukan teknik tertentu agar kita tidak terbalik atau terjatuh. Bapak penunggang tersebut membantu saya untuk naik dan turun dari kuda. Di bagian puncak ini, banyak sekali kuda-kuda dijejerkan. Kuda-kuda tersebut beraneka warna, putih, abu-abu dan hitam. Kuda-kuda ini menunggu di puncak untuk angkutan turun para wisatawan yang sudah selesai. Mereka umumnya tidak akan menghiraukan wisatawan yang baru saja tiba. Hehehe...
Monday, April 19, 2010
Menuju Kaldera Lautan Pasir Bromo
Setelah puas menikmati matahari terbit (sampai mataharinya meninggi dan menjadi teranglah seluruh menara pandang), akhirnya perlahan-lahan keramaian pun berkurang dan rombongan turis mulai kembali ke parkiran. Kalau orang-orang dalam group hardtop anda asyik-asyik semua, bisa tuh diajak kompromi mau turun kapan dan mau berapa lama di menara pandang. Ada sejumlah rombongan-rombongan ibu-ibu yang sudah dipanggil dengan megafon ketika matahari sudah terbit sepenuhnya. Kasihan juga, sudah bersusah payah mencapai menara pandang namun harus diburu-buru demi mengejar waktu untuk turun ke Bromo. Padahal, selain menyaksikan pemandangan Bromo-Tengger-Semeru di kala matahari sudah mulai meninggi, ada beberapa kegiatan seperti berbelanja tanaman hias atau oleh-oleh khas Bromo yang masih bisa dilakukan di atas sini loch.
Akhirnya, setelah puas banget (rombongan kami adalah yang terakhir meninggalkan menara pandang!) kami kembali ke parkiran. Bapak supir hardtop kami dengan setia menunggu kami. Setelah kami semua memasuki hardtop, hardtop pun turun gunung. Semua jalanan yang tadi pagi tidak terlihat pun kini terlihat jelas. Ternyata, lautan pasir Bromo dan empat gunung utama itu terlihat jelas dari ketinggian ini. Bisa jadi, pijaran lava yang kami lihat pagi-pagi itu berasal dari kawah Bromo yang masih aktif mengeluarkan asap. Jalanan yang kami lalui memang berbatu-batu dan tidak terlalu bagus serta curam. Motor sich sebenarnya bisa melalui jalan ini asalkan bannya cukup bagus. Walaupun masih di atas gunung, suhu sudah mulai meningkat. Jaket terluar saya sudah saya lepaskan. Syal pun saya mulai lepaskan karena mulai terasa lengket di kulit.
Setelah jalan menurun telah habis. Hardtop pun segera memasuki lautan pasir. Rerumputan cukup tinggi terlihat menggerombol di beberapa titik lautan pasir ini. Cukup aneh memang, di tanah yang seperti ini rumput bisa tumbuh sampai setinggi itu. Mungkin karena ini tanah vulkanis jadinya subur kali yach? Efek dari hujan masih menimbulkan bentuk rute nggak karu-karuan di lautan pasir tersebut. Bentuk pasir yang terlindas cukup dalam dan kering menimbulkan ceruk yang cukup dalam berbentuk ban. Hujan memang masih turun cukup sering di wilayah ini.
Lautan pasir ini adalah hasil buangan dari Gunung Bromo yang batuk sepanjang tahun dan Gunung Semeru yang masih aktif beberapa kali dalam satu tahun. Area muntahan lava dan pasir serta debunya mencapai 120 kilometer persegi (panjang sekitar 12 KM dan lebar sekitar 10 KM). Terkadang, abu vulkanik hasil muntahan Semeru bahkan bisa menghujani kota-kota di sekelilingnya seperti Malang dan Lumajang. Hujan debu dan abu tersebut bisa menempuk hingga belasan centimeter. Nggak heran, banyak pohon besar yang berbatang keras tidak memiliki daun di dekat Cemoro Lawang ini. Mungkin proses adaptasi terhadap hasil buangan debu kali yach?
Setelah sekitar setengah jam di dalam hardtop, akhirnya kendaraan berhenti di areal parkir. Memang, tadi banyak kami lihat hardtop yang berhenti bukan di dekat pura namun masih setengah jalan. Kalau rombongan anda menginginkan, hardtop tersebut bisa diminta untuk berhenti di titik-titik tertentu untuk berfoto. Hanya saja, perlu diperhatikan durasi tour yang hanya mencapai pukul 9 pagi saja. Areal pura yang menjadi titik awal perjalanan menuju Gunung Bromo pun ditutup untuk kendaraan. Pagar permanen dibuat mengelilingi areal tengah ini agar kendaraan tidak dapat masuk. Hanya orang dan kuda saja yang bisa masuk menuju pura dan Gunung Bromo. Persiapkan diri anda untuk menempuh jarak sekitar 1 kilometer! Bromo, saya datang!
Akhirnya, setelah puas banget (rombongan kami adalah yang terakhir meninggalkan menara pandang!) kami kembali ke parkiran. Bapak supir hardtop kami dengan setia menunggu kami. Setelah kami semua memasuki hardtop, hardtop pun turun gunung. Semua jalanan yang tadi pagi tidak terlihat pun kini terlihat jelas. Ternyata, lautan pasir Bromo dan empat gunung utama itu terlihat jelas dari ketinggian ini. Bisa jadi, pijaran lava yang kami lihat pagi-pagi itu berasal dari kawah Bromo yang masih aktif mengeluarkan asap. Jalanan yang kami lalui memang berbatu-batu dan tidak terlalu bagus serta curam. Motor sich sebenarnya bisa melalui jalan ini asalkan bannya cukup bagus. Walaupun masih di atas gunung, suhu sudah mulai meningkat. Jaket terluar saya sudah saya lepaskan. Syal pun saya mulai lepaskan karena mulai terasa lengket di kulit.
Setelah jalan menurun telah habis. Hardtop pun segera memasuki lautan pasir. Rerumputan cukup tinggi terlihat menggerombol di beberapa titik lautan pasir ini. Cukup aneh memang, di tanah yang seperti ini rumput bisa tumbuh sampai setinggi itu. Mungkin karena ini tanah vulkanis jadinya subur kali yach? Efek dari hujan masih menimbulkan bentuk rute nggak karu-karuan di lautan pasir tersebut. Bentuk pasir yang terlindas cukup dalam dan kering menimbulkan ceruk yang cukup dalam berbentuk ban. Hujan memang masih turun cukup sering di wilayah ini.
Lautan pasir ini adalah hasil buangan dari Gunung Bromo yang batuk sepanjang tahun dan Gunung Semeru yang masih aktif beberapa kali dalam satu tahun. Area muntahan lava dan pasir serta debunya mencapai 120 kilometer persegi (panjang sekitar 12 KM dan lebar sekitar 10 KM). Terkadang, abu vulkanik hasil muntahan Semeru bahkan bisa menghujani kota-kota di sekelilingnya seperti Malang dan Lumajang. Hujan debu dan abu tersebut bisa menempuk hingga belasan centimeter. Nggak heran, banyak pohon besar yang berbatang keras tidak memiliki daun di dekat Cemoro Lawang ini. Mungkin proses adaptasi terhadap hasil buangan debu kali yach?
Setelah sekitar setengah jam di dalam hardtop, akhirnya kendaraan berhenti di areal parkir. Memang, tadi banyak kami lihat hardtop yang berhenti bukan di dekat pura namun masih setengah jalan. Kalau rombongan anda menginginkan, hardtop tersebut bisa diminta untuk berhenti di titik-titik tertentu untuk berfoto. Hanya saja, perlu diperhatikan durasi tour yang hanya mencapai pukul 9 pagi saja. Areal pura yang menjadi titik awal perjalanan menuju Gunung Bromo pun ditutup untuk kendaraan. Pagar permanen dibuat mengelilingi areal tengah ini agar kendaraan tidak dapat masuk. Hanya orang dan kuda saja yang bisa masuk menuju pura dan Gunung Bromo. Persiapkan diri anda untuk menempuh jarak sekitar 1 kilometer! Bromo, saya datang!
Saturday, April 17, 2010
Inilah Puncak Gunung Penanjakan
Hal pertama yang akan terjadi ketika anda turun dari jeep adalah anda akan diserbu! Diserbu oleh segerombolan warga lokal yang menawarkan jas hujan dan ponco yang tebal dan berat (dan bau juga kayaknya...haha). mereka mengatakan bahwa di atas sana akan lebih dingin. Wih, baju saya ini saja sudah bikin susah bergerak pak! Masak masih mau ditambahkan ponco lagi? Yang bener saja! Jujur, saya sich nggak tertarik dengan ponco tersebut karena merasa pakaian yang saya kenakan sudah cukup mumpuni untuk melawan dingin. Dingin di tempat parkir jeep ini pun masih tergolong biasa untuk saya. Entah pakaian saya yang terlalu tebal atau memang udaranya tidak dingin kali yach? Namun, sejumlah bapak dan ibu tampaknya menyewa ponco tersebut untuk menghalau dingin. Untuk yang pakaiannya kurang hangat, boleh banget menyewa ponco-ponco tersebut. Saya sich nggak yakin dengan pengguna sebelumnya yang menyewa ponco tersebut. Apakah ponco tersebut dicuci dahulu? Saya rasa ngga. Hahaha...
Jalan naik menuju menara pandang mudah dicapai. Kalau anda nggak yakin, ikut saja segerombolan orang yang menuju ke atas. Kanan dan kiri jalan menuju ke atas cukup terang benderang karena dipenuhi oleh aneka toko souvenir dan pakaian hangat. Walaupun belum memulai kunjungan di menara pandang untuk melihat sunrise, toko-toko ini cukup laris diserbu pembeli. Mungkin beli pakaian hangat kali yach? Jalan naiknya itu mendaki terus dan sekitar 500 meter jauhnya. Saya melihat ada sejumlah sepeda motor besar dan bebek di tempat ini. Hmm...ternyata bisa yach menaiki puncak ini dengan motor? Bisa jadi alternatif nich kapan-kapan!
Akhirnya, tibalah juga di Puncak Penanjakan. Bangunan dengan bentuk joglo berdiri megah di tengah pelataran dengan balkon yang menghadap ke arah Gunung Batok-Bromo-Kursi-Semeru. Secercah sinar sudah muncul di ufuk timur, membuat rona warna jingga di awan-awan yang biru pekat. Empat gunung tersebut sudah cukup terlihat walaupun anda harus memicingkan mata untuk melihatnya. Gunakan kamera anda pada shutter yang panjang untuk menangkap pemandangan ini. Sebelumnya, anda harus berjibaku dulu menembus lautan manusia demi mendapat titik pandang yang menarik. Kalau beruntung, anda bisa mendapatkan tempat di tengah balkon. Kalau agak beruntung, anda masih bisa mendapat tempat di depan balkon walaupun di pinggir kanan atau kiri (awas, pagar pembatas di balkon kiri agak terlepas, waspadai langkah anda). Kalau nggak beruntung, anda harus berada di belakang punggung-punggung orang dan berharap orang-orang di depan balkon tersebut ada yang mundur sehingga anda bisa nyempil. Beberapa orang yang tidak mendapat posisi bagus nekad turun ke lapangan di sebelah balkon kanan tempat menara-menara BTS didirikan. Titik menara pandang ini adalah titik dimana foto-foto Bromo yang sangat terkenal tersebut diambil.
Berdoalah agar pemandangan yang akan anda dapat bagus. Biasanya, hampir tidak ada masalah kalau anda datang pada musim kemarau. Pada musim inilah umumnya fotografer banyak mendapatkan foto-foto Bromo terbaik, terutama dengan lautan awan di kaki gunungnya. Namun, tidak ada salahnya juga mengeksplorasi keindahan Bromo pada musim penghujan. Anda akan mendapatkan nuansa berbeda dari Bromo. Hanya, kekhawatiran yang terjadi pada musim penghujan hanyalah awan dan kabut yang umumnya datang lebih cepat sehingga menutupi pandangan keseluruhan ke Bromo. Hal ini sempat terjadi beberapa kali pada kunjungan saya dan cukup efektif membubarkan kerumunan massa, ternyata! Yang perlu anda lakukan adalah menunggu (kalau anda tidak diburu-buru oleh rombongan anda) dan biarkan angin menyapu bersih kabut dan awan tersebut. Matahari mungkin saja masih belum terlalu tinggi atau sudah terlampau tinggi namun percayalah, kreatifitas anda bukan ditentukan oleh cuaca yang sempurna namun intuisi anda dalam membidik gambar. Nikmatilah detik-detik sunrise di Bromo dalam hidup anda. Jangan terlalu menghitungnya.
Setelah kerumunan massa berhasil secara efektif dibubarkan oleh matahari yang terlanjur meninggi atau kabut yang terlalu cepat datang (lebih efektif dari gas air mata ataupun water canon loch...hihihi...), inilah saatnya pedagang Edelweiss dan bebungaan gunung melakukan penjualan. Mereka datang menyebar dan di tangannya, anda bisa melihat sejumput rumput atau bebungaan gunung dalam warga polos atau yang telah diwarnai. Ukuran bebungaan tersebut sekitar bola voli kecil dan dibanderol dalam harga sekitar Rp. 30.000an. banyakjuga pembeli bebungaan tersebut untuk oleh-oleh. Namun, saya sich nggak berniat membelinya karena pasti akan merepotkan dalam urusan membawanya. Daripada repot,mendingan nggak usah dech kecuali anda akan langsung pulang ke kota asal dalam mobil carteran yang nyaman.

Kalau anda masih betah berlama-lama di balkon ini (termasuk teman-teman anda juga yach) coba dech amati papan informasi pemandangan Gunung Bromo yang ada di tengah depan pendopo persis. Di papan marmer tersebut, lukisan Gunung Bromo dan gunung-gunung lainnya digrafir di atas marmer. Ada informasi penting disini. Gunung yang ada dalam pemandangan tersebut bukan hanya 4 gunung seperti yang kita ketahui saja. Total ada 11 buah gunung dan 2 buah segara yang tampak dari balkon menara pandang ini. Gunung yang lain jarang diungkap/disebut lantaran mungkin terlalu banyak kalau disebutkan semuanya yach. Selain itu, puncak gunung-gunung yang lain memang tidak runcing atau cukup jelas berbentuk gunung sehingga sering diabaikan. Gunung-gunung tersebut mulai dari kanan adalah Gunung Jembangan, Ayek-Ayek, Widodaren, Kepolo, Watangan, Semeru, Batok, Ider-Ider, Bromo, Kursi, dan Jantur. Sementara dua buah segara yakni Segara Wedi Lor terletak diantara Gunung Bromo dan Gunung Kursi lalu Segara Wedi Wetan terletak di agak samping-belakang Gunung Widodaren dan di depan Gunung Ider-Ider.
Inilah Puncak Penanjakan dengan ketinggian 2770 meter di atas permukaan laut. Dengan tinggi seperti ini, wajar banget rasanya pakaian hangat diperlukan walau setelah matahari terbit, rasa dingin tersebut hilang. Sekaranglah saatnya anda turun, kembali ke jeep hardtop untuk turun gunung. Sembari turun, anda akan melihat keramaian di jalur naik tadi. aneka macam toko souvenir dan toko pakaian dingin diseru wisatawan yang umumnya lokal. Oleh-oleh yang paling banyak terlihat dipajang ialah kaos dengan gambar Bromo serta syal dengan tulisan Bromo. Kalau anda berniat belanja segeralah belanja, jangan sampai teman perjalanan anda menunggu dibuatnya. Lagipula, anda masih harus ke pendakian Gunung Bromo (kecuali kalau anda nggak ambil paket ini dan memilih pulang). Sediakan waktu cukup banyak untuk trekking lautan pasir menuju Gunung Bromo.
Jalan naik menuju menara pandang mudah dicapai. Kalau anda nggak yakin, ikut saja segerombolan orang yang menuju ke atas. Kanan dan kiri jalan menuju ke atas cukup terang benderang karena dipenuhi oleh aneka toko souvenir dan pakaian hangat. Walaupun belum memulai kunjungan di menara pandang untuk melihat sunrise, toko-toko ini cukup laris diserbu pembeli. Mungkin beli pakaian hangat kali yach? Jalan naiknya itu mendaki terus dan sekitar 500 meter jauhnya. Saya melihat ada sejumlah sepeda motor besar dan bebek di tempat ini. Hmm...ternyata bisa yach menaiki puncak ini dengan motor? Bisa jadi alternatif nich kapan-kapan!
Akhirnya, tibalah juga di Puncak Penanjakan. Bangunan dengan bentuk joglo berdiri megah di tengah pelataran dengan balkon yang menghadap ke arah Gunung Batok-Bromo-Kursi-Semeru. Secercah sinar sudah muncul di ufuk timur, membuat rona warna jingga di awan-awan yang biru pekat. Empat gunung tersebut sudah cukup terlihat walaupun anda harus memicingkan mata untuk melihatnya. Gunakan kamera anda pada shutter yang panjang untuk menangkap pemandangan ini. Sebelumnya, anda harus berjibaku dulu menembus lautan manusia demi mendapat titik pandang yang menarik. Kalau beruntung, anda bisa mendapatkan tempat di tengah balkon. Kalau agak beruntung, anda masih bisa mendapat tempat di depan balkon walaupun di pinggir kanan atau kiri (awas, pagar pembatas di balkon kiri agak terlepas, waspadai langkah anda). Kalau nggak beruntung, anda harus berada di belakang punggung-punggung orang dan berharap orang-orang di depan balkon tersebut ada yang mundur sehingga anda bisa nyempil. Beberapa orang yang tidak mendapat posisi bagus nekad turun ke lapangan di sebelah balkon kanan tempat menara-menara BTS didirikan. Titik menara pandang ini adalah titik dimana foto-foto Bromo yang sangat terkenal tersebut diambil.
Berdoalah agar pemandangan yang akan anda dapat bagus. Biasanya, hampir tidak ada masalah kalau anda datang pada musim kemarau. Pada musim inilah umumnya fotografer banyak mendapatkan foto-foto Bromo terbaik, terutama dengan lautan awan di kaki gunungnya. Namun, tidak ada salahnya juga mengeksplorasi keindahan Bromo pada musim penghujan. Anda akan mendapatkan nuansa berbeda dari Bromo. Hanya, kekhawatiran yang terjadi pada musim penghujan hanyalah awan dan kabut yang umumnya datang lebih cepat sehingga menutupi pandangan keseluruhan ke Bromo. Hal ini sempat terjadi beberapa kali pada kunjungan saya dan cukup efektif membubarkan kerumunan massa, ternyata! Yang perlu anda lakukan adalah menunggu (kalau anda tidak diburu-buru oleh rombongan anda) dan biarkan angin menyapu bersih kabut dan awan tersebut. Matahari mungkin saja masih belum terlalu tinggi atau sudah terlampau tinggi namun percayalah, kreatifitas anda bukan ditentukan oleh cuaca yang sempurna namun intuisi anda dalam membidik gambar. Nikmatilah detik-detik sunrise di Bromo dalam hidup anda. Jangan terlalu menghitungnya.
Setelah kerumunan massa berhasil secara efektif dibubarkan oleh matahari yang terlanjur meninggi atau kabut yang terlalu cepat datang (lebih efektif dari gas air mata ataupun water canon loch...hihihi...), inilah saatnya pedagang Edelweiss dan bebungaan gunung melakukan penjualan. Mereka datang menyebar dan di tangannya, anda bisa melihat sejumput rumput atau bebungaan gunung dalam warga polos atau yang telah diwarnai. Ukuran bebungaan tersebut sekitar bola voli kecil dan dibanderol dalam harga sekitar Rp. 30.000an. banyakjuga pembeli bebungaan tersebut untuk oleh-oleh. Namun, saya sich nggak berniat membelinya karena pasti akan merepotkan dalam urusan membawanya. Daripada repot,mendingan nggak usah dech kecuali anda akan langsung pulang ke kota asal dalam mobil carteran yang nyaman.
Kalau anda masih betah berlama-lama di balkon ini (termasuk teman-teman anda juga yach) coba dech amati papan informasi pemandangan Gunung Bromo yang ada di tengah depan pendopo persis. Di papan marmer tersebut, lukisan Gunung Bromo dan gunung-gunung lainnya digrafir di atas marmer. Ada informasi penting disini. Gunung yang ada dalam pemandangan tersebut bukan hanya 4 gunung seperti yang kita ketahui saja. Total ada 11 buah gunung dan 2 buah segara yang tampak dari balkon menara pandang ini. Gunung yang lain jarang diungkap/disebut lantaran mungkin terlalu banyak kalau disebutkan semuanya yach. Selain itu, puncak gunung-gunung yang lain memang tidak runcing atau cukup jelas berbentuk gunung sehingga sering diabaikan. Gunung-gunung tersebut mulai dari kanan adalah Gunung Jembangan, Ayek-Ayek, Widodaren, Kepolo, Watangan, Semeru, Batok, Ider-Ider, Bromo, Kursi, dan Jantur. Sementara dua buah segara yakni Segara Wedi Lor terletak diantara Gunung Bromo dan Gunung Kursi lalu Segara Wedi Wetan terletak di agak samping-belakang Gunung Widodaren dan di depan Gunung Ider-Ider.
Inilah Puncak Penanjakan dengan ketinggian 2770 meter di atas permukaan laut. Dengan tinggi seperti ini, wajar banget rasanya pakaian hangat diperlukan walau setelah matahari terbit, rasa dingin tersebut hilang. Sekaranglah saatnya anda turun, kembali ke jeep hardtop untuk turun gunung. Sembari turun, anda akan melihat keramaian di jalur naik tadi. aneka macam toko souvenir dan toko pakaian dingin diseru wisatawan yang umumnya lokal. Oleh-oleh yang paling banyak terlihat dipajang ialah kaos dengan gambar Bromo serta syal dengan tulisan Bromo. Kalau anda berniat belanja segeralah belanja, jangan sampai teman perjalanan anda menunggu dibuatnya. Lagipula, anda masih harus ke pendakian Gunung Bromo (kecuali kalau anda nggak ambil paket ini dan memilih pulang). Sediakan waktu cukup banyak untuk trekking lautan pasir menuju Gunung Bromo.
Friday, April 16, 2010
Dari Cemoro Lawang Naik Hardtop Ke Penanjakan
Saya anggap anda sudah melakukan booking pada sore hari sebelumnya. Booking ini menjadi penting dilakukan untuk memastikan ketersediaan hardtop yang akan membawa anda ke Puncak Penanjakan dan Gunung Bromo. Anda harus membayar biaya sunrise tour ini di awal, nggak boleh nyicil. Hahaha... Setelah anda menyelesaikan proses booking, anda akan diberi tahu detail perjalanan esok pagi. Pakaian hangat ialah sangat wajib. Saya nggak bisa memprediksi dinginnya di Puncak Penanjakan karena malam hari di musim penghujan di Cemoro Lawang saja sudah membuat saya menggigil kedinginan dan berminat untuk masuk kasur lebih dalam lagi. Atas dasar ini, saya mengenakan baju tiga lapis, celana dua lapis, tutup kepala yang sekaligus menutupi telinga, kaus kaki, dan sarung tangan serta syal untuk leher. Kalau kostum ini dikenakan di Jakarta siang hari bolong, pastinya orang-orang akan melirik dengan tajam kemudian terdengar kasak kusuk suara gunjingan. Hahaha...Namun ini di Bromo, kostum ini sangat terlihat wajar dikenakan. Untuk anda yang punya obsesi memiliki atau mengenakan pakaian musim dingin yang ekstrim (kulit minsk, yak, karibou) tapi nggak sempat ke belahan bumi sub-tropis, mungkin Bromo bisa jadi alternatif pertama.
Anda harus dibangunkan (lebih tepatnya bangun sendiri) pada pukul 4 pagi dari Cemoro Lawang. Nggak usah mandi karena tidak ada yang nekad mandi pada dini hari subuh seperti ini. Saran saya, daripada mengandalkan morning call, sebaiknya anda tetap bersiaga dengan alarm anda sendiri. Saya sendiri masuk dalam rombongan hardtop yang agak-agak terakhir. Entah saya terlambat atau bagaimana, namun saya telah mendengar suara kasak kusuk berisik dan suara orang bersiap-siap akan berangkat sebelum kamar saya diketuk. Lah, koq mereka dibangunkan lebih dulu sich? Bersiaga lebih awal tentu lebih baik daripada anda lupa dibangunkan dan hari sudah menjelang siang. Anda belum tentu digabung dengan peserta dari hotel yang sama. Bisa jadi, anda digabung dengan peserta dari hotel berbeda, dari Ngadisari atau Sukapura, atau bisa juga dari Malang atau Surabaya. Mereka menuju Cemoro Lawang tidak dengan menggunakan hardtop namun dengan bus atau wagon. Sesampainya di Cemoro Lawang, barulah mereka berganti angkutan hardtop. Siapkan juga uang retribusi masuk Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru sebesar Rp. 6.000/orang yang akan ditagih di pintu masuk. Saya pikir, biaya retribusi ini termasuk dengan sewa hardtop namun ternyata tidak.
Mulailah perjalanan selama kurang lebih setengah jam lebih menuruni Cemoro Lawang menuju lautan pasir. Iring-iringan hardtop berjalan menembus kegelapan dini hari. Yang jelas, saya tidak bisa melihat apapun kecuali benda tersebut disinari oleh cahaya lampu jeep. Hampir tidak ada cahaya sama sekali namun saya melihat patok-patok putih petunjuk jalan yang bisa digunakan apabila anda ingin berjalan kaki menuju Penanjakan. Saya hampir pusing karena hanya terombang-ambing dalam kegelapan pekat dini hari tanpa bisa melihat apapun di luar sana. Baju hangat yang saya kenakan terasa panas walaupun di luar, jendela jeep berembun tanda dingin. Empat orang turis asing yang berada di kendaraan bersama saya tampak masih menikmati tidur mereka. Uniknya, pakaian yang mereka kenakan tidak masuk kategori berlebihan, malah justru santai. Ada satu orang pria asal Perancis yang mengenakan celana pendek dan kaos biasa. Hm...mungkin udara dingin seperti ini tidak ada apa-apanya untuk dia kali yach?
Tak lama, setelah menempuh lautan pasir, mulailah jeep memasuki jalur pendakian. Jalanannya sebagian cukup bagus namun lebih banyak yang hancur berlubang-lubang dan berbatu. Jelas, tidak nyaman naik jeep dalam kegelapan dan terguncang-guncang seperti itu. Semakin naik, saya semakin bisa melihat kelap kelip cahaya desa di bawah sana, pijar nyala lava di dalam kawah gunung yang berwarna oranye kekuningan, kilat bersahutan dan berpijar, dan secercah sinar terang di ufuk timur yang masih samar-samar. Secercah sinar terang tersebut pastilah matahari pagi yang akan menjadi tujuan wisata kali ini. Sampai tempat ini, patok-patok jalan masih terlihat cukup jelas. Tampaknya, berjalan kaki masih mungkin dilakukan dengan mudah selama ada senter. Jeep masih berjalan beriringan menembus kegelapan malam hingga kemudian melambat dan bertemu dengan deretan jeep yang diparkir. Inilah Puncak Penanjakan. Silahkan turun dan berjalan kaki menuju menara pandang.
Anda harus dibangunkan (lebih tepatnya bangun sendiri) pada pukul 4 pagi dari Cemoro Lawang. Nggak usah mandi karena tidak ada yang nekad mandi pada dini hari subuh seperti ini. Saran saya, daripada mengandalkan morning call, sebaiknya anda tetap bersiaga dengan alarm anda sendiri. Saya sendiri masuk dalam rombongan hardtop yang agak-agak terakhir. Entah saya terlambat atau bagaimana, namun saya telah mendengar suara kasak kusuk berisik dan suara orang bersiap-siap akan berangkat sebelum kamar saya diketuk. Lah, koq mereka dibangunkan lebih dulu sich? Bersiaga lebih awal tentu lebih baik daripada anda lupa dibangunkan dan hari sudah menjelang siang. Anda belum tentu digabung dengan peserta dari hotel yang sama. Bisa jadi, anda digabung dengan peserta dari hotel berbeda, dari Ngadisari atau Sukapura, atau bisa juga dari Malang atau Surabaya. Mereka menuju Cemoro Lawang tidak dengan menggunakan hardtop namun dengan bus atau wagon. Sesampainya di Cemoro Lawang, barulah mereka berganti angkutan hardtop. Siapkan juga uang retribusi masuk Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru sebesar Rp. 6.000/orang yang akan ditagih di pintu masuk. Saya pikir, biaya retribusi ini termasuk dengan sewa hardtop namun ternyata tidak.
Mulailah perjalanan selama kurang lebih setengah jam lebih menuruni Cemoro Lawang menuju lautan pasir. Iring-iringan hardtop berjalan menembus kegelapan dini hari. Yang jelas, saya tidak bisa melihat apapun kecuali benda tersebut disinari oleh cahaya lampu jeep. Hampir tidak ada cahaya sama sekali namun saya melihat patok-patok putih petunjuk jalan yang bisa digunakan apabila anda ingin berjalan kaki menuju Penanjakan. Saya hampir pusing karena hanya terombang-ambing dalam kegelapan pekat dini hari tanpa bisa melihat apapun di luar sana. Baju hangat yang saya kenakan terasa panas walaupun di luar, jendela jeep berembun tanda dingin. Empat orang turis asing yang berada di kendaraan bersama saya tampak masih menikmati tidur mereka. Uniknya, pakaian yang mereka kenakan tidak masuk kategori berlebihan, malah justru santai. Ada satu orang pria asal Perancis yang mengenakan celana pendek dan kaos biasa. Hm...mungkin udara dingin seperti ini tidak ada apa-apanya untuk dia kali yach?
Tak lama, setelah menempuh lautan pasir, mulailah jeep memasuki jalur pendakian. Jalanannya sebagian cukup bagus namun lebih banyak yang hancur berlubang-lubang dan berbatu. Jelas, tidak nyaman naik jeep dalam kegelapan dan terguncang-guncang seperti itu. Semakin naik, saya semakin bisa melihat kelap kelip cahaya desa di bawah sana, pijar nyala lava di dalam kawah gunung yang berwarna oranye kekuningan, kilat bersahutan dan berpijar, dan secercah sinar terang di ufuk timur yang masih samar-samar. Secercah sinar terang tersebut pastilah matahari pagi yang akan menjadi tujuan wisata kali ini. Sampai tempat ini, patok-patok jalan masih terlihat cukup jelas. Tampaknya, berjalan kaki masih mungkin dilakukan dengan mudah selama ada senter. Jeep masih berjalan beriringan menembus kegelapan malam hingga kemudian melambat dan bertemu dengan deretan jeep yang diparkir. Inilah Puncak Penanjakan. Silahkan turun dan berjalan kaki menuju menara pandang.
Thursday, April 15, 2010
Paket Tour Sunrise Di Penanjakan, Bromo
Sudah nggak terhitung berapa banyak orang yang menceritakan kepada saya bahwa saya harus menyaksikan matahari terbit di Bromo. Alasannya mereka, peristiwa ini sangat bagus sekali. Dulu, saya belum bisa memahami sepenuhnya lantaran saya belum pernah ke Bromo. Namun, belakangan saya tahu, paket wisata sunrise adalah paket wisata yang paling umum dijual ke wisatawan, baik lokal maupun asing. Saya pernah mendengar tentang paket wisata sunset namun tidak mendapat informasi yang cukup jelas disini (walaupun saya melihat banyak hardtop berseliweran di kala petang hari di lautan pasir). Mungkin lain kali saya harus mencoba sunset kalau masih memiliki waktu panjang di Bromo yach. Oleh karena itu, tampaknya cukup jelas hubungan antara Gunung Bromo dan matahari terbit. Pokoknya, kalau ke Bromo, harus menyaksikan matahari terbit. Titik.
Oleh karena itu, buat yang baru pertama kali ke Bromo, wajib banget deh kayaknya menyaksikan matahari terbitnya. Walaupun karena hal ini, anda harus rela bangun dini hari di pagi-pagi buta dan mengorbankan jam tidur ideal anda. Nah, anda tidak menyaksikan matahari terbit dari Gunung Bromo namun Gunung Batok-Bromo-Kursi-Semeru lah yang menjadi kanvas bagi matahari terbit tersebut. Anda akan menyaksikan proses terbitnya matahari ini dari Gunung Penanjakan (2770 meter). Disini, ada sebuah balkon menara pandang yang cukup lebar sehingga memungkinkan anda mencari tempat terbaik untuk melihat matahari terbit. Sayangnya, pada musim non-kunjungan wisata saja, wisatawan lokal maupun asing tumpah ruah di tempat ini. Maaf saja, buat yang terlambat, silahkan lihat punggung orang lain yach! Hmm...saya nggak kebayang bagaimana kondisinya pas lagi musim kunjungan wisata yach?
Nah, empat gunung yang menjadi kanvasnya itu berada di tengah-tengah jarak pandang anda. Matahari akan terbit di sebelah kiri (timur) anda. Anda akan menyaksikan matahari terbit ini hingga pukul 6 pagi (biasanya, begitu matahari sudah terbit sempurna sich, wisatawan langsung banyak yang bubar kembali ke areal parkir-dan saat itu baru pukul 5 pagi!-). Selepas pukul setengah enam, biasanya matahari juga telah naik terlalu tinggi sehingga ‘keindahannya’ sudah berkurang drastis dibanding saat-saat awal terbit tadi. Paket tour ini tidak selesai begitu saja karena jeep akan membawa anda ke lautan pasir untuk mencapai Gunung Bromo. Anda bisa mencapai Gunung Bromo dengan berjalan kaki atau naik kuda. Jeep hanya sampai di luar batas areal parkir saja. Di Gunung Bromo, wisatawan bisa mendaki ratusan anak tangga untuk mencapai bibir kawah Gunung Bromo yang tiada henti menyemburkan asap. Wisatawan akan dikembalikan pada pukul 8an dan akan tiba di hotel sekitar pukul 9.
Untuk menikmati ini semua, jelas anda perlu menyewa jeep hardtop. Mengapa sich perlu jeep hardtop? Alasannya, medan lautan pasir dan jalan mendaki Gunung Penanjakan yang tidak mulus menjadikan keberadaan hardtop diperlukan. Paket hardtop ini umumnya tidak termasuk dalam harga kamar hotel yang anda sewa. Coba dech tanya ke pegawai hotel barangkali dari hotel bisa menyediakan atau syukur-syukur informasi yang diberikan cukup jelas adanya. Nah, biaya menyewa hardtop ini berkisar Rp. 350.000/hardtop dengan kapasitas maksimal 7 orang berikut supir. Apabila anda punya rombongan berjumlah 6 orang, pas banget tuh menyewa satu hardtop. Jadi nggak pusing. Nah, bagaimana kalau anda bersedikit, katakanlah berdua? Umumnya, banyak hardtop yang menerapkan sistem gabungan seperti ini. Harga paket gabungan adalah Rp. 85.000/orang dengan minimal 2 orang. Anda akan dipasang-pasangkan dengan pasangan lain sehingga hardtop tersebut penuh. Para supir hardtop ini akan membangunkan anda pada pukul 4 pagi (Dari Cemoro Lawang) atau lebih pagi lagi (apabila starting point anda dari kota lain). Dengan harga segini, anda akan diantarkan ke Gunung Penanjakan, Gunung Bromo dan kembali lagi ke penginapan pada pukul 9an.
Alternatif yang paling umum ialah memang menggunakan hardtop yang disewa. Namun, untuk anda yang mendambakan sesuatu yang agak berbeda, jalan kaki bisa menjadi pilihan yang seru. Dari Cemoro Lawang menuju puncak Penanjakan, waktu yang dibutuhkan sekitar 2 jam lamanya. Berhubung rute yang dilalui akan gelap tanpa adanya cahaya, maka anda wajib membawa senter untuk menerangi patok-patok jalanan. Patok-patok ini menjadi bantuan bagi anda yang tertarik untuk melakukan trekking dari Cemoro Lawang ke Bromo. Jangan lupa membawa sapu tangan atau penutup mulut karena debu yang dihasilkan oleh para hardtop tersebut cukup tebal. Kalau anda tidak tertarik naik ke puncak Penanjakan, anda bisa langsung berjalan kaki ke arah Gunung Bromo dan akan memakan waktu selama kurang lebih 1 jam.
Nah, empat gunung yang menjadi kanvasnya itu berada di tengah-tengah jarak pandang anda. Matahari akan terbit di sebelah kiri (timur) anda. Anda akan menyaksikan matahari terbit ini hingga pukul 6 pagi (biasanya, begitu matahari sudah terbit sempurna sich, wisatawan langsung banyak yang bubar kembali ke areal parkir-dan saat itu baru pukul 5 pagi!-). Selepas pukul setengah enam, biasanya matahari juga telah naik terlalu tinggi sehingga ‘keindahannya’ sudah berkurang drastis dibanding saat-saat awal terbit tadi. Paket tour ini tidak selesai begitu saja karena jeep akan membawa anda ke lautan pasir untuk mencapai Gunung Bromo. Anda bisa mencapai Gunung Bromo dengan berjalan kaki atau naik kuda. Jeep hanya sampai di luar batas areal parkir saja. Di Gunung Bromo, wisatawan bisa mendaki ratusan anak tangga untuk mencapai bibir kawah Gunung Bromo yang tiada henti menyemburkan asap. Wisatawan akan dikembalikan pada pukul 8an dan akan tiba di hotel sekitar pukul 9.
Untuk menikmati ini semua, jelas anda perlu menyewa jeep hardtop. Mengapa sich perlu jeep hardtop? Alasannya, medan lautan pasir dan jalan mendaki Gunung Penanjakan yang tidak mulus menjadikan keberadaan hardtop diperlukan. Paket hardtop ini umumnya tidak termasuk dalam harga kamar hotel yang anda sewa. Coba dech tanya ke pegawai hotel barangkali dari hotel bisa menyediakan atau syukur-syukur informasi yang diberikan cukup jelas adanya. Nah, biaya menyewa hardtop ini berkisar Rp. 350.000/hardtop dengan kapasitas maksimal 7 orang berikut supir. Apabila anda punya rombongan berjumlah 6 orang, pas banget tuh menyewa satu hardtop. Jadi nggak pusing. Nah, bagaimana kalau anda bersedikit, katakanlah berdua? Umumnya, banyak hardtop yang menerapkan sistem gabungan seperti ini. Harga paket gabungan adalah Rp. 85.000/orang dengan minimal 2 orang. Anda akan dipasang-pasangkan dengan pasangan lain sehingga hardtop tersebut penuh. Para supir hardtop ini akan membangunkan anda pada pukul 4 pagi (Dari Cemoro Lawang) atau lebih pagi lagi (apabila starting point anda dari kota lain). Dengan harga segini, anda akan diantarkan ke Gunung Penanjakan, Gunung Bromo dan kembali lagi ke penginapan pada pukul 9an.
Alternatif yang paling umum ialah memang menggunakan hardtop yang disewa. Namun, untuk anda yang mendambakan sesuatu yang agak berbeda, jalan kaki bisa menjadi pilihan yang seru. Dari Cemoro Lawang menuju puncak Penanjakan, waktu yang dibutuhkan sekitar 2 jam lamanya. Berhubung rute yang dilalui akan gelap tanpa adanya cahaya, maka anda wajib membawa senter untuk menerangi patok-patok jalanan. Patok-patok ini menjadi bantuan bagi anda yang tertarik untuk melakukan trekking dari Cemoro Lawang ke Bromo. Jangan lupa membawa sapu tangan atau penutup mulut karena debu yang dihasilkan oleh para hardtop tersebut cukup tebal. Kalau anda tidak tertarik naik ke puncak Penanjakan, anda bisa langsung berjalan kaki ke arah Gunung Bromo dan akan memakan waktu selama kurang lebih 1 jam.
Dingin-Dingin Di Cemoro Lawang Enaknya Makan Indomie Rebus
Cafe Lava Hostel sebenarnya memiliki restoran yang bisa diandalkan untuk makan malam. Namun, menu makan malam di hostel ini cenderung bercitarasa internasional seperti salad dan pasta. Wah, saya mau cari yang khas Bromo donk! Hm...apa yach? Iseng-iseng saya berkelilinglah mencari rumah makan di seputaran Cemoro Lawang. Sebenarnya, rumah makan sich berjejer yach dari pintu masuk taman nasional hingga menjauh ke arah pintu masuk desa. Aneka makanan pun disajikan mulai dari nasi goreng, mie goreng, ayam goreng, sate...hmm....itu kan makanan yang bisa sehari-hari didapatkan? Kalau mau makan sesuatu yang agak berbau Bromo, dimana yach?
Cari punya cari, ternyata tidak semua rumah makan yang memajang plang nama dan daftar menu buka. Mungkin juga sich mereka buka yach tapi koq dari depan tidak tampak buka yach? Malahan, kesan yang tampak dari depan adalah rumah makan tersebut tutup dan tidak berpenghuni. Nah loch! Malam pun semakin larut dan kami tidak memiliki banyak pilihan lagi. Suatu ketika, ketika melewati Warung Tante Tolly, tiba-tiba saja saya terpikir “Indomie rebus hangat pakai telur kayaknya enak banget nich”. Sudah, tidak pakai pikir-pikir lagi, segera saja saya memasuki warung tersebut yang sebenarnya juga menjual aneka masakan seperti nasi gulai, nasi rames, nasi campur, aneka sate, dan lalapan. Aneh, setampah besar pisang goreng dan tahu goreng tampak berserakan di salah satu meja, dialasi tampah, di bagian depan warung. Tampak jelas sekali pisang dan tahu goreng tersebut sudah cukup lama digoreng dan sekarang sudah membatu kedinginan (gorengnya pagi kali yach?). Buset, saya sampai nggak pengen makan pisang goreng gara-gara ngelihat itu. Padahal, pisang goreng sama kopi di malam yang dingin begini kayaknya enak banget yach Hihi.... Belum lagi ketika saya melihat minyak bekas menggoreng yang sudah memucat berwarna keputihan dan membeku di atas wajan. Hm....sedingin itukah suhu sore ini sampai bisa membekukan minyak goreng?
Sesuai dengan keinginan awal, saya tetap memesan indomie rebus hangat dengan telur di atasnya. Saya nggak kepikiran untuk mencoba menu lain karena tampaknya warung Tante Tolly ini tidak siap menyajikan makanan lain di kala musim non-kunjungan wisata. Tidak ada makanan yang dipajang (atau apakah semua makanan dimasak segar?). Beberapa menu yang saya tanya juga tidak tersedia di tempat ini. Bisa jadi, ini berkaitan dengan musim non-kunjungan wisata. Malam itu, hanya saya dan teman saya yang makan di tempat itu. Sepi. Saya nggak bisa membayangkan bagaimana ramainya tempat ini di kala musim liburan. Sebab, pada musim non-kunjungan wisata seperti ini, deretan botol-botol minuman tersebut agak berselimutkan debu. Terlihat menyedihkan yach? Sebenarnya, walaupun bukan musim kunjungan, setiap harinya hampir dipastikan akan selalu ada wisatawan asing atau lokal yang datang berkunjung di Bromo. Apakah mereka makan di warung atau memesan menu di hotel, itu persoalan lain.
Untunglah, indomie rebus memang teman yang baik di kala dingin. Semangkuk indomie hangat dipadu dengan telur ceplok rebus di Warung Tante Tolly pas banget pada malam ini. Semangkuk indomie ini dihargai Rp. 8.000 saja. Untuk pelengkap, pesanlah teh manis hangat yang makin membuat tubuh anda hangat. Saya makan dengan cepat agar bisa segera kembali ke hostel dan tidur. Demi esok pagi yang dinanti. Sunrise!