Wednesday, June 30, 2010

Pemandian Air Alami Muncul

Pemandian Muncul terletak di Dusun Muncul, Desa Rawa Boni, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Yang unik dari Pemandian Muncul ini adalah sumber mata airnya. Air pengisi kolam-kolam di Pemandian Muncul berasal dari mata air alami yang berada di dasar kolam. Inilah mengapa nama tempat ini Muncul, karena sumber airnya muncul secara alami dari dasar kolam. Oleh karena terletak di lereng Gunung Gajah Mingkur, air pengisi kolam ini luar biasa dingin menyegarkan. Terletak 9 KM dari Kota Salatiga dan 25 KM dari Kota Ungaran, Pemandian Alami Muncul ini tergolong mudah dicapai dengan angkutan umum. Namun, sebaiknya hindari waktu sore menjelang malam hari lantaran jalur perlintasan Muncul ini adalah jalur alternatif dari Ambarawa menuju Yogyakarta. Tau artinya donk? Jalur ini akan sepi dan angkutan akan sukar ditemui selepas sore menjelang. Jangan sampai anda kehabisan angkutan dan nggak bisa pulang ke kota asal anda. Hehehe...
Dengan tiket Rp. 3.500 untuk hari biasa dan Rp. 5.000 untuk hari libur, saya masuk ke dalam pemandian ini. Harganya yang luar biasa murah menjadikan tempat ini ramai dikunjungi pengunjung pada sore itu. Pria, wanita, tua, muda ramai bergerombol bermain di tepi dan tengah kolam. Ketika masuk, lokasi kamar ganti pria dan wanita sudah dipisah. Kamar ganti pria berada di sebelah kanan dan wanita di sebelah kiri. Pemandian Alami Muncul ini cukup tertata dengan baik lantaran hampir setiap bagiannya sudah dikeramik. Dasar kolam tempat kita akan berpijak pun juga sudah dikeramik dengan baik. Kolam di pemandian ini berjumlah dua buah. Kolam yang ujung lebih dangkal dibanding kolam utama. Kolam utama sendiri memiliki kedalaman hingga 3 meter. Airnya yang luar biasa dingin menyegarkan dan menggetarkan seluruh syaraf saya. Seluruh syaraf saya langsung terbangun dan saya berenang bolak balik beberapa kali agar dinginnya air kolam tidak terlalu terasa.
Pemandian ini memiliki loker yang dapat dipinjam untuk menyimpan barang-barang bawaan kita. Yang menyenangkan, peminjaman loker tersedia secara gratis! Yang perlu kita lakukan hanyalah meminta ijin kepada para life guard yang menjaga loker-loker tersebut. Lokernya sendiri berukuran cukup besar dan mujat dijejali berbagai macam barang. Kuncinya bisa kita bawa berenang. Kekurangan hanya terletak pada kamar mandinya. Walaupun memiliki pancuran bilas, namun kita pastinya tetap butuh kamar mandi untuk mengganti pakaian basah dengan yang kering donk? Entah bagaimana, kamar mandi pemandian ini terletak lebih rendah daripada kolam-kolam pemandian. Akibatnya, luberan air kolam selalu mengalir dan membanjiri kamar mandi yang ada. Walaupun air yang membanjiri kamar mandinya bening dan jernih serta tidak menimbulkan kesan jorok, namun agak repot juga kalau kita perlu mengganti baju di lantai yang basah karena aliran air tersebut. Kamar mandinya juga tidak dilengkapi dengan lampu atau cahaya. Harus agak sedikit membuka pintu kalau mau berganti baju nich. Hihihi.
Walaupun tidak dilengkapi dengan seluncuran ataupun permainan air seperti layaknya waterpark yang dibangun akhir-akhir ini, Pemandian Alami Muncul tetap memikat lantaran kualitas air pegunungan yang mengisi kolam-kolamnya. Dinginnya air kolam tersebut menimbulkan sensasi menyenangkan untuk saya yang tinggal di kota. Kolam ini layak banget dijadikan tempat berolahraga sekaligus berkumpul bersama teman-teman. Kalau sudah selesai berenang dan lapar, silahkan makan di rumah makan yang berada di sekitar pemandian alami ini. Cicipi dech ikan air tawar khas Rawa Pening yang disajikan di rumah makan di sekitar pemandian ini.

Tuesday, June 29, 2010

Rawa Pening Ke Muncul

Usai main-main di Rawa Pening dan Bukit Cinta, waktu ternyata masih belum terlalu sore. Masih ada cukup waktu sebelum saya kembali ke Kota Semarang. Dari Desa Kebon Dowo, tempat Bukit Cinta berada, saya akan bergerak menuju Desa Rowo Boni, masih di Kecamatan Banyubiru. Pertimbangan saya menuju ke tempat ini adalah karena adanya satu objek wisata yang masih terletak dalam satu ruas jalan dan masih dekat untuk dicapai. Saya mempertimbangkan untuk menuju Pemandian Alam Muncul yang terletak hanya sekitar 5 kilometer saja dari Bukit Cinta. Cukup dekat yach jaraknya?
Persoalannya, mencari angkot di tempat ini sudah cukup sulit. Walaupun belum terlalu sore (sekitar pukul setengah 3 sore), namun kendaraan yang akan menuju Salatiga sudah agak terbatas. Oh yah, Jalur yang saya lewati ini adalah jalur alternatif penghubung Ambarawa dan Salatiga. Angkot satu-satunya hanya melayani rute tersebut saja. Menurut bapak supir angkot yang sebelumnya mengantarkan saya dari Ambarawa ke Bukit Cinta, angkutan jalur ini akan cukup terbatas terlebih menjelang sore hari. Angkutan dari Ambarawa ke selatan akan jauh lebih sukar ditemukan dibanding jalur balik dari Banyubiru ke Ambarawa. Apabila tidak berhasil menemukan satu angkutan pun, saya disarankan untuk berangkat menuju Salatiga yang hanya berjarak 9 KM dari Muncul, Desa Rowo Boni. Dari Salatiga, akan tersedia cukup banyak angkutan yang bisa membawa saya kembali ke Semarang Kota, walau sudah malam sekalipun.
Untuk jarak yang cukup dekat tersebut, ternyata saya kesulitan mencari angkutan yang bisa membawa saya ke Muncul! Cukup lama saya menunggu di tepi jalan yang sepi, ruas Ambarawa – Salatiga namun lama tak membuahkan hasil. Kendaraan yang banyak lewat di tempat ini justru kendaraan pribadi. Untungnya, saya nggak seputus ada itu sampai harus menumpang kendaraan yang melintas. Hehehe...Lama penantian akhirnya membuahkan hasil juga. Sesosok angkutan umum yang setengah kosong melintas dan membawa saya ke Muncul. Ibu-ibu di dalam angkot tersenyum dan menyapa saya. Ia bertanya, apakah saya fotografer atau sebangsanya dan kemudian menyarankan saya untuk berkunjung kembali ke Rawa Pening saat pagi atau senja hari untuk pemandangan terbaik. Rupanya ibu itu sering mengamati banyak fotografer yang berkunjung ke Rawa Pening. Jarak Bukit Cinta – Muncul sudah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 5 KM saja. Sepanjang perjalanan, saya masih bisa menyaksikan Danau Rawa Pening membiru di kejauhan. Danau Rawa Pening ternyata cukup luas juga yach. Akhirnya, tak lama, Pemandian Muncul pun tiba. Uang Rp. 3.000 harus berpindah tangan juga.

Friday, June 25, 2010

Legenda Terjadinya Rawa Pening

Baru Klinting adalah seorang anak sakti yang hidup di sekitar Ambarawa. Karena kesaktiannya, ia dikutuk oleh seorang penyihir jahat. Kutukan yang ia derita membuatnya memiliki luka dan borok yang tak pernah sembuh-sembuh di sekujur tubuhnya. Luka yang berbau amis tersebut segera basah dan mengeluarkan bau anyir lagi begitu akan mengering. Akibat lukanya, ia dikucilkan oleh masyarakat sekitar.
Seperti layaknya bocah, Baru Klinting juga gemar bermain. Ketika sedang berjalan-jalan, ia bertemu dengan segerombolan anak-anak yang sedang bermain. Ketika ia menawarkan diri untuk ikut permainan, anak-anak tersebut tidak mengijinkannya lantaran baunya yang luar biasa amis. Tak hanya itu, anak-anak tersebut mengata-ngatai dan menyumpahinya. Baru Klinting sangat sedih dan pergi menjauh dari anak-anak tersebut. Dalam perjalanannya, Baru Klinting merasa lapar. Ia bermaksud meminta makanan kepada salah seorang penduduk desa. Satu persatu rumah penduduk desa yang makmur tersebut ia ketuknya, namun tiada hasil. Bukan makanan yang ia dapatkan melainkan sumpah serapah dan pengusiran. Semua rumah penduduk tersebut tidak ada yang memberinya makanan.
Dalam keadaan lapar dan letih, akhirnya sampailah ia ke rumah Nyai. Nyai adalah seorang yang baik hati dan tidak sombong. Ia iba dengan keadaan Baru Klinting yang lapar dan penuh luka tersebut. Baru Klinting pun diberi makan oleh Nyai. Seusai makan, Baru Klinting merasa sangat berterima kasih kepada Nyai. Akhir kata, ia berpamitan kepada Nyai. Namun sebelum berpamitan, ia berpesan kepada Nyai bahwa jika mendengar bunyi kentungan, harus segera naik ke atas perahu atau lesung. Nyai mengiyakan pesan tersebut dan Baru Klinting pun pergi meninggalkan rumah Nyai.
Dalam perjalanannya lagi, Baru Klinting kembali bertemu anak-anak yang sedang bermain. Kembali, Baru Klinting ingin ikut serta dalam permainan. Namun, kembali pula, Baru Klinting ditolak dan diusir. Tidak hanya itu, sumpah serapah, hinaan, makian, dan ejekan serta caci maki tak lepas dari mulut anak-anak tersebut. Anak-anak tersebut merasa jijik akan tubuh Baru Klinting yang kotor, penuh luka basah dan berbau amis tersebut. Kali ini, Baru Klinting sangat marah. Tidak, dia murka. Dalam kemurkaannya, ia menancapkan sebatang lidi ke tanah dengan kekuatannya. Ia bersumpah, bahwa tiada seorang pun yang akan sanggup mencabut batang lidi tersebut selain dirinya. Penasaran akan perkataannya tersebut, anak-anak pun berlomba-lomba mencabut lidi tersebut. Satu persatu anak-anak tersebut mencoba namun tiada seorang pun yang berhasil mencabut lidi tersebut. Ketika anak-anak tersebut menyerah, giliran orang dewasa yang mencoba. Banyak orang dewasa yang bertubuh besar dan kuat mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, tetap lidi tersebut bergeming. Lidi tersebut tidak bisa dicabut sama sekali.
Dalam keputusasannya, orang-orang tersebut menantang Baru Klinting untuk mencabut lidi tersebut. Seperti mematahkan sebatang lidi, Baru Klinting dapat dengan mudah mencabut lidi tersebut. Namun, dari bekas lubang tancapan lidi tersebut, keluarlah air yang pertama-tama kecil namun lama kelamaan menjadi besar dan deras. Penduduk pun panik dan berlarian menyelamatkan diri. Kentungan pun dibunyikan sebagai tanda datangnya bahaya. Nyai yang saat itu sedang menumbuk padi di atas lesung mendengar bunyi kentungan. Nyai pun segera naik ke atas lesung. Air bah tersebut segera merendam Desa Rawa Pening dan penduduknya yang sombong. Tiada yang selamat selain Nyai dari desa tersebut. Nyai yang selamat meneruskan kisah Baru Klinting kepada kenalan dan sanak saudaranya agar mereka tetap menghormati Baru Klinting sebagai penjaga Rawa Pening. Baru Klinting pun segera berubah menjadi ular dan hidup di dasar Danau Rawa Pening untuk menjaga kawasan tersebut. Inilah legenda terbentuknya Rawa Pening yang telah diceritakan turun temurun dan menjadi legenda di wilayah Semarang. Legenda ini diyakini benar adanya terutama karena sejumlah nelayan yang mencari ikan dan pemanen eceng gondok pernah melihat sebentuk hewan berwarna kuning dengan panjang sekitar 50 meter berenang di danau ini. Apakah hewan tersebut benar ada? Apaah itu benar-benar penjelmaan dari Baru Klinting? Ataukah itu hanya fatamorgana dan sugesti saja? Biarkanlah legenda tetap menjadi legenda yang hidup di kawasan Semarang ini.

Thursday, June 24, 2010

Beningnya Rawa Pening

Tanpa ada tanda-tanda apapun, angkot yang saya tumpangi menepi. “Bukit Cinta, dek”, begitu kata sang supir angkot. Saya segera menebar pandangan ke sekeliling dan menemukan sebuah gapura bertuliskan “Objek Wisata Bukit Cinta” di sebelah kiri jalanan. Tampak di kejauhan, air berwarna kebiruan memanggil-manggil saya untuk datang mendekat mengunjungi Bukit Cinta ini. Rerimbunan eceng gondok di tepi Rawa Pening melambai-lambai menggoda saya di kejauhan. Dua sosok Dwarapala mengawal gerbang masuk objek wisata ini. Inilah Bukit Cinta, salah satu titik pengamatan Danau Rawa Pening yang cukup terkenal.
Bukit Cinta atau Rawa Pening secara umum terketak di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Hmmm...jadi teringat judul sebuah film yach? Secara geografis, Rawa Pening ini terletak di empat kecamatan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Keempat kecamatan tersebut adalah Ambarawa, Bawen, Banyubiru, dan Tuntang. Dari semuanya, titik masuk pengamatan sekaligus sebagai pintu gerbang utama Rawa Pening berada di Banyubiru, Desa Bukit Cinta. Oh ya, jangan mengaitkan Pening dengan pusing yach. Sama sekali tidak ada hubungannya. Pening disini justru bermaksa bening, sebening air rawa ini. Rawa Pening ini sendiri adalah sebuah danau yang terletak di cekungan terendah lereng tiga gunung yakni Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, dan Gunung Merbabu. Rawa ini terletak padaketinggian 461 meter dari atas permukaan laut. Ini menjelaskan mengapa suhu udara di sekitar rawa tidak terlalu sejuk. Danau yang tidak terlalu dalam ini menyandang status rawa lantaran tingkat sedimentasinya yang sangat tinggi dan cepat. Tumbuhan eceng gondok hampir menutupi seluruh areal permukaan danau ini.
Tiket masuknya ekonomis dan murah. Dengan harga Rp. 3.000 untuk hari biasa dan Rp. 3.500 untuk hari libur, saya sudah bisa menikmati objek wisata ini. Sebelum masuk menuju tepi danau, kita akan disuguhkan oleh deretan warung penjual makanan (biasanya sich nasi goreng dan mie instan) di sebelah kiri. Yang menyenangkan, para ibu-ibu tersebut santai dan tidak memaksa dalam berjualan. Sambil berjalan, saya hanya tersenyum manis saja kepada wajah-wajah yang saya sapa tersebut. Di sebelah kanan, saya melihat ratusan (mungkin ribuan) eceng gondok yang telah dipotong dan dikeringkan serta dijemur untuk keperluan bahan baku industri kerajinan furnitur. Ya, Eceng gondok telah dikenal memiliki kualitas yang baik sebagai bahan baku furnitur. Walau keberadaannya cukup menganggu (terlebih dalam jumlah besar), ternyata tumbuhan ini memiliki nilai ekonomis yang lumayan.
Di pintu masuk menuju tepi danau, ada sebuah patung naga besar beserta badan dan ekor yang melingkar. Mulut sang naga terbuka lebar dan memperlihatkan sebuah ruang yang terletak di dalamnya. Naga ini adalah perlambang dari Baru Klinting, legenda yang berada di Danau Rawa Pening ini. Cerita mengenai legenda Baru Klinting dan asal usul Danau Rawa Pening akan dibahas di postingan berbeda. Di dalam mulut naga yang menganga tersebut, terdapat sebuah ruang pamer ikan dan media informasi Rawa Pening, Kabupaten Semarang. Di dalam ruangan berpintu kaca tersebut terdapat sejumlah akuarium yang berisi ikan-ikan. Saya nggak masuk ke dalam ruangan tersebut lantaran ruangan tersebut kala itu tampak penuh oleh sejumlah bapak-bapak. Selepas dari mulut naga, saya segera bveranjak menuju bagian atas taman. Seusai menaiki beberapa anak tangga, saya berjumpa dengan sebuah taman. Dan disanalah, terpisah dengan taman, Rawa Pening berada.
Seperti yang saya utarakan sebelumnya, Rawa Pening tertutup eceng gondok secara masif. Untungnya, luas tutupan eceng gondok tidak mencapai 100% karena di bagian tengah, saya masih melihat wilayah air yang belum tertutup oleh tanaman tersebut. Tutupan eceng gondok yang cukup lebar dan luas berada di tepian Danau Rawa Pening. Danau ini, entah kenapa, memberikan kesan tenang dan lambat. Saya jadi ingin bersantai dan bermalas-malasan di tempat ini. Aktifitas manusia yang paling banyak di tempat ini adalah yang berhubungan dengan iklan, misalnya memancing dengan joran sederhana hingga membuat keramba di tengah-tengah danau. Sejumlah anak kecil bermain-main di dekat ayahnya yang sedang serius memancing. Saya mencoba berjalan beberapa meter mengelilingi danau dan menemukan sejumlah perahu yang sangat sederhana hingga beratap tertambat di pinggir danau dan tidak digunakan. Beberapa orang pria tampak sibuk mengeluarkan air yang memasuki perahu mereka di tepi danau. Perahu-perahu tersebut adalah perahu kayu biasa tanpa mesin. Untuk keperluan mereka sendiri, biasanya mereka mendayung perahu sendiri untuk bepergian ke tengah danau atau sudut lain danau. Untuk keperluan wisatawan, mereka menyediakan perahu motor yang bisa dilepas pasang. Papan tarif tersedia, tertempel di dermaga yang menjorok ke tengah danau. Untuk sewa perahu sekitar 30 menit perjalanan tur danau, biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 30.000/perahu dengan maksimal 8 orang dalam satu perahu. Selain tur danau, pengunjung juga bisa melakukan labur bunga atau larungan yang masing-masing dihargai Rp. 30.000 dan Rp. 50.000. Kalau nggak berminat melakukan tur danau, anda juga bisa sekedar santai-santai saja di tepian danau. Nggak ada yang akan memaksa anda untuk sewa perahu koq. Pemandangan Rawa Pening dari pinggir cukup cantik. Cantiknya justru disebabkan oleh hijaunya tanaman eceng gondok yang menutupi sebagian besar areal danau. Di kejauhan, gunung dan pegunungan memberikan siluet berwarna kelabu mengelilingi danau ini.
Banyak orang bilang, saat terbaik untuk berkunjung ke Rawa Pening adalah pagi hari atau sore hari, saat matahari masih di timur atau sudah hampir terbenam. Mengapa? Rawa Pening menjadi habitat banyak jenis burung air, ternyata. Pada pagi maupun sore hari, sejumlah fotografer maupun pengamat burung nampak sibuk di tepi danau, mengamati aneka burung yang berterbangan di penjuru danau. Pada siang hari, keberadaan burung-burung tersebut menurun. Itu sebabnya juga tidak banyak para pengamat burung maupun fotografer yang berkeliaran di tempat ini. Pada siang menjelang sore, pengunjung terbanyak Rawa Pening justru sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran. Mereka datang berdua dengan sepeda motor dan duduk berdua-dua di bangku-bangku taman yang banyak tersebar. Untungnya, taman tersebut dirimbunkan oleh pohon pinus dan cemara. Alhasil, taman Bukit Cinta cukup rindang dan nyaman walaupun siang hari sekalipun. Entah ada kaitannya tidak antara Bukit Cinta dengan kegiatan para muda-mudi tersebut yang sedang memadu cinta. Saya tidak tahu. Hehehe…
Sebuah makam tanpa identitas berada di tepian taman Bukit Cinta. Makam tersebut terlihat cukup purba karena nisannya berbentuk lingga, khas candi-candi yang ada di Tanah Jawa. Kalau anda mencari objek foto yang menarik, datanglah ke tepian danau dekat tempat persewaan perahu. Jujur, menurut saya keindahan Danau Rawa Pening ini terletak pada rimbunnya eceng gondok yang menutupi areal danau ini. Warna hijaunya kontras sekali dengan birunya langit. Dipadu dengan beberapa perahu kayu sederhana, Rawa Pening adalah tempat yang sangat pas untuk mengambil foto. Di sudut ini pun banyak masyarakat lokal memancing dengan santai. Rawa Pening sangat pas sekali untuk bersantai dan leyeh-leyeh. Untung cuaca siang itu adem, tidak terik. Sambil bersantai di tepian danau dan melihat serombongan turis asing menyewa perahu, saya makan bakpau coklat yang dijajakan oleh seorang bapak. Ahh…nikmatnya dunia.

Wednesday, June 23, 2010

Dari Ambarawa Sampai Bukit Cinta

Kini saatnya melihat danau yang paling terkenal di Jawa Tengah, Rawa Pening! Berhubung Rawa Pening berukuran lumayan lebar, maka titik pengamatannya pun cukup banyak. Nah, Bukit Cinta adalah salah satu titik pengamatan danau ini yang cukup lazim dikunjungi wisatawan. Bukit Cinta terletak kurang lebih 10 KM jauhnya dari Kota Ambarawa ke arah Muncul. Bukit Cinta ini terletak di perlintasan Ambarawa – Muncul.
Dari Kota Ambarawa, tunggu angkot di depan Lapangan Besar Panglima Jenderal Sudirman. Lapangan ini tidak terletak terlalu jauh dari Palagan Ambarawa. Lapangan ini bisa dicapai dengan berjalan kaki saja. Dari Museum Kereta Api, lapangan ini lebih dekat lagi! Bisa dicapai dengan ngesit saja! Hehehe. Lagi-lagi, berhubung angkot yang dicari tidak memiliki tanda jurusan tertentu, anda harus mengucapkan kata kuncinya yakni “Bukit Cinta” kepada sang supir. Untungnya, bus kecil yang melewati rute ini tidak terlalu banyak macamnya. Saya mendapatkan satu ketika menunggu di depan lapangan. Memang sich, bus tersebut sedang ngetem mengumpulkan penumpang. Ya sudah lah yah, gak papa dech ngetem daripada ketinggalan.
Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar setengah jam untuk jarak 10 KM. Penyebabnya apalagi kalau bukan angkot yang ngetem. Walaupun angkot tersebut sudah hampir penuh, tapi sang supir terus saja melakukan gerakan aksi ngetemnya. Hal ini diperparah bahwa jalur yang saya lewati ini bukan jalur utama antar kota. Jalur ini merupakan jalur alternatif yang memiliki lebar ruas jalan kecil. Mayoritas penumpang angkot pada siang itu adalah anak sekolahan dan ibu-ibu. Mayoritas pemandangan jalan yang saya lalui adalah rumah penduduk, kebun, dan barak! Ya, sejumlah barak militer tampak saya lalui dalam perjalanan dari Ambarawa menuju Bukit Cinta. Tau donk, kalau ada barak biasanya ada apa? Yap, kalau ada barak, biasanya ada plang bertuliskan agar kendaraan berjalan pelan-pelan selama di pemukiman militer. Ini yang membuat saya ngeh dengan keberadaan barak yang jumlahnya sangat signifikan ini. sebaiknya, anda tetap berkomunikasi dengan supir angkot yang membawa anda. Bukit Cinta ini tidak terlalu jelas terlihat dan tidak ada pertanda bahwa anda telah mendekati lokasi wisata selain gapura yang tepat berada di depan lokasi. Dari Ambarawa menuju Bukit Cinta, tarif yang dibutuhkan adalah Rp. 3.000 saja.

Monday, June 21, 2010

Satu-Satunya Museum Kereta Api Kuno Di Indonesia

Ini dia, ikon Kota Ambarawa yang paling terkenal. Walaupun tidak sepopuler Yogyakarta, Borobudur, atau Prambanan, namun Museum Kereta Api ini unik, menarik dan satu-satunya di Indonesia. Hal yang menjadikan museum ini unik lantaran teknologinya. Teknologi yang diusung oleh Museum kereta Api ini bukanlah teknologi terkini, melainkan teknologi kuno peninggalan penjajah Belanda pada waktu itu. Terletak di pusat kota Ambarawa, museum ini bisa dicapai dengan mudah baik dengan angkot maupun berjalan kaki. Dari depan Pasar Projo persis, carilah angkot yang berwarna kuning (upsss...seluruh angkot di Ambarawa berwarna kuning!) dan memiliki warna coklat di bagian bawahnya (nah, ini pembedanya). Kalau nggak yakin, sebut “museum” ketika menaiki angkot tersebut. Angkot tersebut akan memasuki Jalan Brigjen Sudiarto yang merupakan percabangan dari Jalan Jenderal Sudirman. Angkot yang anda naiki tidak akan melaju terus ke selatan menuju Yogyakarta. Nah, seharusnya anda akan diturunkan di Lapangan Pangsar Jenderal Sudirman. Dari lapangan ini, petunjuk mengenai kereta sudah terlihat cukup jelas. Anda cukup berjalan kurang lebih 100 meter untuk mencapai museum.
Jangan kuatir dan jangan kaget, Museum Kereta Api memang terletak di jalan yang tidak terlalu besar. Teruskanlah perjalanan anda melewati Jalan Pemuda. Di percabangan jalan, amati satu buah lokomotif besar yang terletak di tepi jalan. Itulah Jalan Stasiun. Lengkap dengan petunjuk arah untuk masuk ke museum, seharusnya anda tidak salah melangkah. Di sekitar pintu masuk Jalan Stasiun terdapat sejumlah delman dan pengendaranya yang beristirahat. Delman ini adalah delman wisata yang bisa mengantarkan wisatawan ke tempat-tempat menarik di seputaran Ambarawa sambil menyelami atmosfer tempo dulu. Walau tidak terlalu jauh jaraknya, boleh banget kalau anda mau mencoba naik delman untuk masuk ke dalam museum. Hitung-hitung membantu masyarakat sekitar. Hehehe. Masuklah terus ke jalanan kompleks yang asri dan tidak ramai ini sampai anda menemukan rel dan bangunan hanggar kereta. Selamat Datang di Museum Kereta Api Ambarawa!
Kesan pertama yang saya dapatkan ialah : museum ini tidak terawat. Kesan pertama terkadang menyesatkan. Walaupun gerbang utamanya tidak dijaga, rerumputan liar tumbuh di beberapa sudut jalanan aspal yang gompal terkena air hujan, sejumlah bahan material tertumpuk di sisi areal dan sejumlah gudang bekas yang tampak lusuh hadir di pandangan, secara mengejutkan, lokomotif-lokomotif tua yang dipamerkan dalam kondisi baik dan terawat. Memang, jalanan masuk menuju Museum Kereta Api ini sama sekali tidak mencerminkan kesan baik. Untuk turis yang tidak berkeyakinan kuat, pasti akan berbalik arah dan mengambil langkah seribu dech. Hehehe. Untungnya, saya datang pada siang hari dan keramaian masih tampak. Sejumlah anak-anak tampak bermain sepeda di halaman museum. Sejumlah anak-anak lainnya tampak duduk-duduk di sisi bangunan museum. Pada siang itu, tampak beberapa rombongan turis asing dengan diantar pemandu memasuki museum tersebut. “Lumayan”, pikir saya. Setidaknya, bersihnya ruangan dalam museum sudah cukup memberikan impresi yang baik kepada para tamu tersebut. Tepuk tangan untuk bapak-bapak pengelola museum ini!
Museum Kereta Api tidak menggunakan bangunan tertutup. Tampaknya, bangunan museum ini menggunakan stasiun lama yang dibangun pada tahun 1873. Bentuk hanggar mendominasi gedung museum ini. Kini, stasiun yang berdiri pada ketinggian 474,40 meter di atas permukaan laut ini sudah tidak beroperasi lagi. Satu-satunya kegiatan operasional yang masih dipertahankan adalah lori kereta wisata ke Rawa Pening dan Tuntang, serta tur kereta ke Bedono. Sayang, aktifitas ini hanya berlangsung pada saat akhir minggu saja, dimana jumlah pengunjung cukup banyak. Untuk jumlah pengunjung sedikit di hari biasa, mereka mengandalkan sistem carter. Tarifnya 2 juta rupiah untuk sekali jalan, namun mampu mengangkut puluhan orang. Kalau anda backpacker sendirian, sebaiknya melupakan ide ini atau lebih baik lagi, menunggu akhir pekan saja! Tiket masuk museum ini seharga Rp. 3.000, terlalu murah untuk perawatan sebuah bangunan Museum Kereta Api yang penuh dengan sejarah. Anak-anak hanya bayar Rp. 2.000 saja. Di halaman museum, sebelum kita masuk, terdapat sebuah lokomotif tua yang sudah dicat ulang sehingga berkesan rapih (namun tetap bernuansa jaman dahulu) dan menarik. Lokomotif tua ini berfungsi sebagai ikon Museum Kereta Api.
Nah, bangunan utama untuk memamerkan benda-benda perkeretaapian terketak di dalam hanggar tersebut. Bangunan ini bernama Willem I, mungkin ada hubungannya dengan Willem II yang berupa benteng yach? Menariknya, bangunannya tetap dipertahankan seperti dahulu walaupun perawatan tetap dilakukan seperti membersihkan noda dan mengecat ulang warna-warna yang telah pudar. Bangunan ini dibangun pada tahun 1873 (ada tulisan Anno 1873) sehingga usianya sudah satu abad lebih. Secara mengagumkan saya bisa berkata, bangunan ini masih berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik. Ruang pameran terbagi menjadi dua, bagian dalam gedung dan bagian halaman. Bagian dalam gedung Willem I berisi peralatan yang digunakan pada waktu beroperasinya stasiun pada tahun 1873 lalu. Pada bagian halaman, anda dapat melihat aneka jenis lokomotif tua yang dijejerkan di tanah lapang. Di sisi yang berseberangan dengan deretan lokomotif tua, terdapat dua jalur rel yang masih difungsikan untuk kegiatan pariwisata pada saat akhir pekan.
Gedung Willem I adalah bangunan yang bertugas merawat dan menyimpan aneka peralatan perkeretaapian pada jaman dahulu. Aneka onderdil kereta, telepon, mesin ketik, mesin pencetak tiket, potongan rel, hingga furnitur-furnitur yang digunakan pada jaman dahulu terpampang dan terpajang dengan rapih di dalam Gedung Willem I. Banyak sekali benda yang bisa kita lihat dan amati di tempat ini. bangunan ini bahkan memiliki satu ruang simulasi untuk lokomotif dan panel pengendali. Sayang, tamu nggak bisa masuk sembarangan ke ruang tersebut. Mungkin peralatannya cukup rapuh untuk disentuh atau digerakkan pengunjung, oleh sebab itu, peralatan ini semuanya terkunci. Nggak hanya itu saja, bagian-bagian dalam gedung ini terbagi-bagi menjadi ruang masinis, ruang staff, hingga ruang tunggu para tamu VIP dan tamu biasa serta toilet. Toiletnya sendiri masih menggunakan bahasa Belanda, misalnya Dames untuk wanita dan Heren untuk pria. Loket penjualan tiket pada jaman dahulu pun masih dibiarkan utuh seperti jaman dahulu. Loket terletak di setiap ujung Gedung Willem I ini.
Total lokomotif tua yang dipajang di seluruh penjuru halaman museum sebanyak 21 buah. Lokomotif-lokomotif ini rata-rata dibuat pada akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20.Karena merupakan lokomotif berteknologi kuno, maka rata-rata, lokomotif-lokomotif tersebut berbahan bakar kayu atau residu. Karena berteknologi kuno juga, kecepatan maksimal kereta ini sekitar 50 KM/jam hingga 90 KM/jam. Para lokomotif tua ini jelas sudah hanya menjadi benda pajangan saja, tanpa pernah dipergunakan lagi. Fisik dari lokomotif tua ini rata-rata masih bagus dan terawat walau beberapa bagiannya tampak jelas sangat termakan usia. Untunglah, pengecatan ulang tubuh lokomotif tua ini mampu membawa nuansa segar dan ketertarikan pengunjung museum. Jangan lupa menyemprotkan cairan anti serangga ke tubuh anda sebelum anda menjelajahi 21 lokomotif, terutama yang berada paling belakang, lokomotif 21, yang terletak cukup jauh dari gedung museum.
Sayang, sekali lagi sayang saya tidak berkunjung ke museum ini pada akhir pekan. Sayang, saya tidak bisa mencicipi rasa menaiki kereta ini menuju Rawa Pening, Tuntang atau Bedono. Buat anda yang berencana mengunjungi museum ini, coba selipkan jadwal kunjungan anda di akhir pekan. Walaupun mungkin akan ramai, setidaknya anda bisa mencoba menaiki kereta tua dengan kecepatan rendah dan romantisme jaman dahulu. Mau mencoba yang nggak ramai? Carter kereta bisa menjadi pilihan yang oke kalau anda berdana lebih. Yaaa...hitung-hitung membantu kelangsungan dana operasional museum juga kali yach? Hehehe.

Saturday, June 19, 2010

Selamat Datang Di Kota Ambarawa!

Selamat datang di Ambarawa! Kota Ambarawa adalah ibukota dari Kabupaten Semarang. Beberapa referensi yang saya temukan menyebutkan, ibukota Kabupaten Semarang adalah Ungaran. Saya nggak tahu juga mana yang bener. Hehehe. Ada apa sich di Kota Ambarawa ini? Yuk, ikut saya.
Ambarawa adalah kota yang terletak di dasar lereng gunung, mirip dengan sebuah cekungan. Ambarawa dikelilingi oleh pegunungan. Pemandangan yang bisa anda lihat di segala arah adalah gunung dan gunung saja. Di utara, ada Gunung Ungaran. Di selatan, ada Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sayang, walaupun bergunung-gunung, namun Ambarawa berupa dataran. Saya tidak merasa hawa dingin di tempat ini. Ambarawa sendiri merupakan kota perlintasan. Jalur utama Semarang – Magelang - Yogyakarta akan melalui tempat ini. Pusat keramaian kota ini berpusat di Pasar Projo yang terletak di jalan utama kota, Jalan Jenderal Sudirman. Sepanjang jalan, anda akan menjumpai banyak sekali toko-toko yang menjual berbagai jenis perlengkapan rumah tangga, sayur mayur, makanan dan banyak hal.
Hal yang paling dikenal dari Ambarawa adalah statusnya. Ambarawa terkenal sebagai Kota Pahlawan, hampir serupa dengan Surabaya. Banyak peninggalan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang masih terawat dan menjadi ikon dari kota ini. Sebut saja Monumen Palagan Ambarawa, Museum Kereta Api, dan Benteng Williem II. Semua peninggalan sejarah tersebut dalam kondisi terawat dan menjadi lambang dari Kota Ambarawa ini. Masih di Ambarawa, ada Gua Maria Kerep yang menjadi tempat ziarah umat Katolik yang cukup terkenal. Tidak jauh dari Ambarawa, di Kecamatan Banyu Biru (10 KM dari Ambarawa) di Kabupaten Semarang, ada Danau Rawa Pening yang sangat terkenal. Walau terletak di Kabupaten Semarang, namun Danau Rawa Pening sangat identik dengan Ambarawa. Ambarawa menjadi titik asal para pelancong yang akan berkunjung ke Danau Rawa Pening ini. Walau bukan kota resort yang terletak di pegunungan, namun dengan berjalan tidak terlalu jauh, anda akan bertemu banyak tempat yang menawarkan tempat wisata pegunungan, misalnya di utara ada Bandungan, di barat ada Pringsurat, di timur ada Tuntang, dan di selatan ada Kopeng.
Satu hal lagi yang menjadi ciri khas Ambarawa adalah kulinernya. Walau tidak sepopuler Serabi Notosuman di Solo, namun Ambarawa memiliki Serabi khasnya sendiri. Masih di perpanjangan Jalan Jenderal Sudirman, rute Semarang menuju Yogyakarta sebelum mencapai Bedono, masih di pinggir Ambarawa, ada deretan panjang penjual serabi yang berjejer di pinggir jalan. Uniknya, kios-kios tersebut berukuran tidak terlalu besar, maksimal sekitar 2x2 meter saja. Deretan kios-kios tersebut memanjang hampir sekitar 1 kilometer jauhnya. Penjual serabi tersebut memasak dengan cara tradisional, lengkap dengan tungku kecil-kecil di depan kios mereka. Walaupun berdempet-dempetan, jualan mereka serupa : serabi. Walaupun umumnya dibawa pulang, anda bisa mencoba menikmati serabi di beberapa kios yang memilikio bale-bale. Kehidupan dan denyut Ambarawa umumnya melambat selepas terbenamnya matahari. Sekitar pukul 8 malam, toko-toko di sepanjang deretan Pasar Projo mulai menutup usahanya. Namun tidak demikian dengan kios-kios serabi yang masih setia menunggu pembeli. Hingga malam, walaupun kondisi di kanan dan kiri jalan cukup sepi, namun pembeli masih berdatangan satu dua orang. Keramaian yang ada di ruas ini hanyalah dari bus-bus malam Semarang – Yogyakarta yang melintas plus kendaraan-kendaraan lain. Kalau mampir dan melintasi penjual serabi Ambarawa ini, cobalah untuk menepikan mobil dan merasakan citarasa Ambarawa yach.

Friday, June 18, 2010

Dari Bandungan Menuju Ambarawa

Dari Bandungan, Ambarawa sebenarnya sudah berjarak cukup dekat. Kalau anda berasal dari Bawen, anda pasti akan melihat plang arah di dalam Bandungan yang menunjukkan arah kanan adalah Sumowono dan arah kiri adalah Ambarawa. Dari Bandungan, anda masih punya pilihan, mau ke arah barat laut, Sumowono, atau Ambarawa yang berada di selatan. Di Sumowono, ada air terjun yang menarik dan belum terlalu terekspos. Di Ambarawa, ada Museum Kereta Api dan tidak jauh dari sana, ada Rawa Pening yang terkenal itu. Saya memilih ke selatan. Dari pintu masuk Candi Gedong Songo saya harus naik ojek dengan jarak sekitar 3 KM untuk mencapai gerbang masuk yang berada di ruas Bawen – Sumowono. Kalau tadi pada saat masuk saya mendapatkan harga Rp. 10.000, maka pada saat pulang saya justru mendapatkan harga Rp. 5.000. Entah karena jalanannya menurun atau memang mas-mas ojek yang ini bukan berprofesi sebagai ojek beneran yach? Orangnya cuek dan nggak terlalu memperhatikan berapa tawaran saya. Saya bilang Rp. 5.000, dia oke-oke aja. Pada awalnya, dia pun nggak buka harga. Aneh. Hahaha.
Di tepi ruas Bawen – Sumowono, saya menunggu angkot yang akan membawa saya ke Ambarawa. Kata bapak-bapak di Gedong Songo, angkutan menuju Ambarawa akan melewati jalur ini. Hanya saja, jumlahnya sedikit, kalah banyak dibanding angkutan hijau yang bisa membawa saya kembali ke Semarang. Saya menunggu cukup lama di tepi jalan. Untung, ada warung dan ada bangku di tepi jalan. Sambil minum susu, bersama dengan beberapa anak sekolah, saya menunggu angkutan tersebut. Rasanya, untuk 10 angkutan hijau Bawen – Sumowono, saya hanya bertemu satu angkutan Sumowono – Ambarawa. Ya, setelah sekian lama menunggu dan bertanya kepada setiap angkutan yang melintas (berulangkali pula supir angkutan tersebut menggeleng saat saya menanyakan “Ambarawa”) akhirnya sebuah mobil model wagon yang sudah agak rongsok melayani rute Ambarawa. Tidak ada tulisan “Ambarawa” di kendaraan ini. Anda harus rajin-rajin bertanya kepada setiap supir angkutan yang melintas.
Kendaraan tersebut ternyata penuh. Saya dipaksa masuk ke dalam kendaraan yang sudah penuh tersebut. Untungnya, masih muat. Selain penuh oleh mbak-mbak, para pelajar juga lumayan memenuhi angkutan tersebut. Ambarawa berjarak tidak terlalu jauh dari Bandungan, sekitar 10 kilometer saja kurang lebih jauhnya. Namun, perubahan ketinggian tempat dari dataran tinggi ke rendah membuat suhu meningkat. Panas matahari lumayan terasa panas, apalagi di dalam angkot yang penuh. Alhasil, saya ketiduran di beberapa titik lantaran kantuk yang sudah tidak tertahankan. Hahaha. Bangun-bangun, saya sudah tiba di Ambarawa yang ternyata panas. Upsss...waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang ternyata. Pantes panas! Saya diturunkan di Jalan Jenderal Sudirman, jalanan utama terbesar di Kota Ambarawa. Uang Rp. 5.000 pun berpindah tangan.

Thursday, June 17, 2010

Mie Instan Gedong Songo Yang Menghangatkan Jiwa

Perjalanan menuruni lembah barat kemudian menaiki lagi lembah timur jelas lumayan menguras tenaga dan memakan waktu. Walaupun hawanya dingin dan langit mendung, namun perut saya sudah berkerucuk bersuara minta jatah. “Lapar!”, begitu jeritnya. Berhubung hari itu adalah hari Jumat, maka tidak banyak tempat makanan yang bisa dijadikan pilihan. Ada sich sejumlah rumah makan yang menawarkan makanan khas pegunungan “sate kelinci” yang tampaknya menarik untuk dicoba. Sayang, entah saya kepagian (waktu sudah menunjukkan jam 11 siang!) atau memang rumah makan tersebut nggak buka yach? Alhasil, saya hanya menemukan sejumlah rumah makan..errr...tepatnya sich tenda makan (karena tersusun atas terpal) yang buka dan menyajikan mie instan, nasi atau mie goreng, serta bakso. Tidak ada menu khas yang benar-benar bisa membangkitkan selera saya di tengah sejuknya udara pegunungan.
Tapi, di kala sedang melewati warung mis instan di dekat Candi II, tiba-tiba muka saya tersapu oleh uap mie instan yang sedang direbus. Tiba-tiba saja perut saya meronta, melakukan pemberontakan. Saya pun tidak tahan dan masuk ke dalam warung makan tersebut, Hihihi. Seorang ibu yang sedang mengawasi anaknya bermain menjaga warung tersebut. Saya memesan mie instan rebus dengan telur. Tebak berapa harganya? Rp. 3.500! Mata saya melotot dan langsung berbinar-binar. Gedong Songo sangat jauh dari kesan komersil. Masih ada makanan murah meriah, padahal di tempat wisata loch. Sambil menunggu mie tersebut masak, saya mengamati bahwa si ibu juga menjual aneka makanan ringan seperti biskuit dan kacang. Berhubung harga makanannya cukup murah, saya nggak enak hati donk. Maka, saya memborong kacang, biskuit dan minuman ringan di warung tersebut. Harganya luar biasa murah dan wajar. Untuk minuman isotonik bervitamin saja dihargai Rp. 4.500. Kacang-kacangan dan biskuit berkisar dari Rp. 3.000 hingga Rp. 4.000. Gimana nggak mau berguling-guling bahagia nich? Ibu tersebut sungguh bersahaja. Makanannya murah dan tempatnya oke, ada tikarnya segala.Hmm..semoga laris terus dan semakin banyak tamunya yach bu. Hohoho...
Akhirnya, 10 menit yang terasa panjang pun terlewati. Ibu tersebut agak lama dalam membuat mie instan pesananan saya. Namun, saya mengamati, ternyata di atas mie instan tersebut ditaburi potongan cabai rawit potong yang semakin menambah kaya cita rasa mie rebus ini. Enakkkk!!!! Kayaknya pegunungan dan mis rebus instan memang tidak dapat dipisahkan yach. Enaki banget rasanya makan yang hangat-hangat begitu di suhu dingin (kebetulan hujan sudah turun di wilayah tersebut).

Wednesday, June 16, 2010

Candi VI Gedong Songo Yang Misterius

Walaupun hanya ada 5 kompleks candi di dalam Gedong Songo, namun kenyataannya, jumlah kompleks candi di Gedong Songo ada 6 buah! Koq bisa? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, Songo dalam bahasa Jawa artinya sembilan sementara Gedong artinya bangunan. Pada penginventarisasian awal abad 8, jumlah kompleks candi diketahui ada 9 buah, ini alasan mengapa nama Gedong Songo diberikan. Nah, waktu berlalu dan penginventarisasian dilakukan lagi pada abad ke 19. Adalah Sir Thomas Stamford Raffles yang melakukan penginventarisasian tersebut. Ia hanya menemukan 7 kompleks bangunan saja. Ia bahkan sempat memberikan julukan Gedong Pitoe untuk kompleks candi di Bandungan ini (Pitu atau Pitoe artinya 7 dalam bahasa Jawa). Banyak asumsi diberikan mengenai jumlah candi yang tidak seragam ini. Apakah waktu 11 abad (1 millenium dan 1 abad) mampu untuk meruntuhkan candi-candi, ataukah memang ini semua buah dari penginventarisasian yang buruk kala itu? Pada abad 20 awal, penginventarisasian dilakukan dan hanya didapat 5 buah bangunan saja. Kembali terjadi pertanyaan, apakah 2 candi lain runtuh dalam waktu 1 abad saja? Banyak jawaban yang bisa memenuhi pertanyaan ini. Namun, dari semua teori, tampaknya teori runtuhnya 4 candi lain adalah yang terkuat. 4 candi lainnya tergerus jaman.
Walau secara resmi jumlah kompleks candi di Gedong Songo ada 5 buah (secara eksplisit ditandai dengan papan plang nama), namun ada sebuah candi lagi yang berada di belakang Candi IV. Candi kecil ini tidak ditandai dengan papan plang nama apapun, tapi posisinya cukup jauh berada di belakang Candi IV. Beberapa referensi yang saya temukan, candi ini merupakan bagian dari kompleks Candi IV. Namun, posisinya yang terlewat jauh membuat saya berpikir, apa iya, candi ini bagian dari Candi IV? Bukannya justru ini candi pendamping dari kompleks candi yang lebih besar? Walau demikian, tidak ada bukti yang menguatkan hipotesa saya. Tidak ada reruntuhan candi berukuran besar di sekitar Candi VI yang tidak resmi ini. Reruntuhan di sekitar candi berukuran kecil, mirip dengan ukuran candi yang masih berdiri.
Setting Candi VI sendiri agak terasing, mentok di lembah barat bagian utara. Di belakang candi, deretan pohon cemara rimbun dan lebat. Tepat di sisi kanan candi, asap belerang yang mengepul membuncah ke udara. Ya, Candi VI ini terletak hampir di bagian atas posisi asap belerang yang mengepul di dasar lembah. Sambil berwisata ke Candi VI, kita bisa melihat asap belerang tadi mengepul ke udara. Sesekali, aroma belerang cukup kuat tercium di udara. Tenang, anda jauh dari sumber panas ataupun bahaya belerang ini. Candi ini tidak tampak sama sekali seperti candi utama. Dengan dua undakan puncak, ia tidak tampak seperti Candi I yang jauh lebih besar. Candi ini lebih mirip candi pendamping. Ketidakmegahan candi ini pun tampak dari reliefnya yang bisa dikatakan hampir tidak ada. Candi ini hampir polos, tanpa relief. Beberapa relief yang masih ada masih bisa ditemui di sudut-sudut sisi candi seperti menara, tangga dan kusen pintu masuk. Beberapa bentuk orang yang masih bisa ditemui adalah bentuk pengawal seperti Nandikala dan Mahaswara. Sayang, relief tersebut pun sudah tidak utuh lagi. Setelah mengalami proses restorasi bangunan, betu penyusun candi sudah tidak lengkap lagi. Namun, karena bagian atas candi masih tergolong lengkap, maka dicarilah batu yang ada untuk memenuhi kekurangan. Alhasil, bagian muka dan kaki relief Nandikala atau Mahaswara ada yang tergantikan dengan bebatuan polos saja. Beberapa batuan yang digunakan pun belum tentu berjenis sama. Ada bebatuan yang jenisnya agak berbeda, terlihat jelas dari guratan dan warna batu penyusun. Agak janggal jadinya. Seperti layaknya candi-candi sebelumnya, arca di dalam candi pun sudah tidak ada lagi. Kosong. Bagian dalam candi hanya menampilkan pedestal fondasi yang biasanya ditempati oleh arca.
Sudah. Itu saja fitur yang dimiliki oleh Candi VI ini. Reruntuhan beberapa candi lainnya yang tampak berukuran sama kecilnya tidak bisa memberikan banyak informasi lagi. Sudah saatnya kembali kalau begitu, menempuh perjalanan panjang kembali ke pintu gerbang.

Tuesday, June 15, 2010

Candi V Gedong Songo Yang Paling Ujung

Inilah candi terujung dan tertinggi yang ada di seluruh Kompleks Gedong Songo. Ketinggian candi ini mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan Candi III dan Candi IV, namun posisinya yang berada di lembah barat yang agak menjorok agak ke selatan membuat candi ini memiliki setting tempat yang luar biasa, sekaligus terjauh. Dari Candi IV, telusurilah jalanan yang berlawanan arah dengan Candi IV. Setelah melewati lapangan, anda akan bertemu dengan jalan setapak yang mulai menanjak namun tertata rapih dengan undakan. Selepas undakan tangga, anda akan melihat Candi V di depan mata anda.
Dari semua candi, Candi III lah yang memegang rekor sebagai kompleks candi yang masih cukup komplet berdiri. Candi V hanya tersisa atas satu setengah bangunan yakni satu candi utama dan satu buah bangunan yang terletak di sampingnya yang sudah agak hancur, mungkin candi pendamping kali yach? Candi V ini memiliki 4 undakan puncak candi sehingga sama dengan Candi IV dan Candi III. Candi V, walaupun merupakan candi yang paling ujung (dan mungkin juga paling tinggi), ternyata sudah tidak terlalu lengkap. Beberapa bagian puncak candi terlihat hilang dan hancur. Akibat terkena petirkah? Candi V ini serupa dengan Candi IV yang tidak memiliki penangkal petir. Bedanya, Candi IV dikelilingi oleh hutan cemara sementara Candi V terletak di sebuah petak tanah kosong dan posisinya agak terbuka, tidak terlalu dirimbuni pepohonan. Oleh sebab inikah Candi V ini hancur? Arca-arca yang seharusnya ada di relief atau menjaga pintu masuk candi pun kosong. Hanya tampak sebuah kotak kosong masing-masing di kanan dan kiri pintu masuk candi. Tanda kurang terawatnya candi ini begitu kentara disini.
Bisa jadi, akses jalan yang cukup sulit membuat orang enggan ke tempat ini. Saya mendaki lembah barat dari arah Candi III. Dari Candi III, Candi V ini terletak sangat jauh dan terletak di pojok lembah. Walau demikian, saya sempat melihat ada sebuah jalan setapak yang menurun, entah menuju kemana. Saya tidak berniat untuk mencobanya lantaran jalan tersebut sepi. Walau demikian, saya memiliki asumsi bahwa jalan tersebut normalnya digunakan untuk kembali ke pintu masuk awal Gedong Songo. Bisa saja, tanpa mendaki jalur Candi I ke Candi II, kita bisa berbelok arah untuk langsung sampai Candi V. Ini hanya prediksi saya saja loch, maklum, khan saya nggak cobain. Hehehe. Walaupun berada cukup jauh dan sepi, kenyataannya, tempat ini menjadi lokasi favorit pacaran. Sesampainya saya di tempat ini saya menjumpai sepasang remaja sedang memadu kasih di tempat ini. Setelah agak lama saya beraktifitas di tempat tersebut (berfoto dan asyik sendiri), barulah mereka pergi menyendiri ke tempat yang lebih sepi lagi. Apakah saya mengganggu mereka? Saya tidak tahu. Yang jelas, setelah pasangan tersebut pergi (tampaknya mereka berada di balik semak-semak yang menuju jalan menurun yang tadi saya singgung), tampak sepasang remaja lagi yang baru mencapai kompleks Candi V, tampak ingin mencari lokasi pacaran yang pas. Sayang, karena ada saya, mereka urung untuk memadu kasih di tempat ini. Mereka pun muter-muter dan mencari lokasi lain yang lebih pas.
Dari semua lokasi kompleks candi, saya mendapati kesan kuat bahwa Candi V ini adalah candi yang paling terlantar. Pertama, jumlah serangga di tempat ini bukan main! Aneka nyamuk dan berbagai serangga beterbangan di tempat ini. Cukup mengganggu kalau anda nggak menggunakan lotion anti serangga. Usahakan anda mengenakan lotion tersebut sebelum mencapai tempat ini yach. Kedua, saya menjumpai lapangan rumput berbunga kuning berukuran besar dalam jumlah banyak di sekitaran kompleks Candi V ini. Bebungaan ini tidak saya jumpai dalam jumlah besar di candi-candi lainnya. Hanya di kompleks Candi V sajalah bebungaan ini banyak dan tumbuh subur. Anda bisa saja bermain-main di bebungaan tersebut namun harap ingat akan serangga yang cukup banyak memenuhi tempat ini. Walau sudah mengoleskan lotion anti serangga, banyaknya serangga membuat saya tidak berlama-lama di Candi V ini. Akhirnya, saya bergegas kembali menuju peradaban sekaligus menghindari serbuan nyamuk-nyamuk nakal dan ganas itu.

Friday, June 11, 2010

Di Belantara Candi IV Gedong Songo

Selain perjalanan dari Candi I ke Candi II, perjalanan dari Candi III ke Candi IV adalah yang paling berat. Alasannya, dari lembah sisi timur (Candi III), kita harus menuruni lembah untuk kemudian naik lagi ke lembah barat (terdapat Candi IV dan Candi V). Perjalanan ini lumayan liar. Mengapa? Dari lembah timur sich nggak kenapa-napa. Permasalahan baru muncul ktika saya mau mendaki lembah barat. Dimana jalannya? Saya sampai muter-muter berkeliling mencari jalan naik menuju lembah barat. Ada satu jalan kecil sich di balik kolam air panas Gedong Songo. Tapi masak itu jalannya? Jalannya kecil, nggak sebanding sama jalanan dari lembah timur yang tertata rapih dan terawat, bahkan ada tamannya segala. Ujung jalan itu tidak terlihat. Seram. Daripada nyasar di Gunung Ungaran, mendingan saya nanya saja dech yach. Kan ada tuh pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Haha!
Menurut bapak-bapak penampung air belerang tersebut, jalan tersebut adalah jalan menuju lembah sebelah barat. Oooo…Jalanannya, seperti yang sudah saya bilang, kecil, tidak sebanding dan cenderung rimbun oleh pepohonan. Waduh. Ya sudah, saya tetep nekad saja dech. Untung, berbarengan dengan saya, ada sepasang muda-mudi yang hendak mendaki jalur tersebut. “Setidaknya ada temen dech”, begitu pikir saya. Kalau nggak ada temen, saya pasti masih mikir-mikir lagi.
Mulailah perjalanan saya mendaki lembah sebelah barat. Untuk anda yang sudah mencapai tempat ini, saya sangat menyarankan anda untuk membawa semprotan atau lotion anti nyamuk. Cukup banyak serangga di tempat ini karena tanamannya lebih rimbun (dan lebih liar). Perjalanan mendaki juga cukup panjang, cukup memakan waktu. Untungnya, udaranya segar (walau awan mendung dari selatan sudah berarak ke Gedong Songo…KYAAAA!) dan pemandangannya indah. Setelah melewat rerimbunan pohon, kerapatan tanaman mulai agak berkurang. Jalanan terbagi menjadi dua, ke kanan dan ke kiri. Jalur kiri menuju Candi V Gedong Songo sementara jalur kanan menuju Candi IV Gedong Songo. Berhubung urutan candi masih diperhatikan, mari, kita berjalanan ke arah kanan saja yuk. Biar ketemu Candi IV terlebih dahulu.
Candi IV Gedong Songo terletak di hamparan lapangan yang cukup luas. Pepohonan sudah tidak begitu mendominasi, namun memagari sisi belakang candi saja yang langsung berbatasan dengan hutan. Pagar alami berupa tanaman yang dipotong pendek mengelilingi kompleks Candi IV ini. Kalau saya bilang, Candi IV ini adalah kompleks candi terluas diantara kompleks-kompleks lainnya. Hal ini terbukti dengan jumlah runtuhannya yang paling banyak dibanding kompleks lainnya. Walaupun Candi III tetap memegang rekor sebagai kompleks dengan candi terbangun yang banyak tersisa, namun jumlah runtuhan di Candi IV adalah yang paling banyak. Memang, candi yang masih utuh berdiri hanya satu buah saja. Namun, runtuhan yang masih menyisakan alas candi (bukan runtuhan total, tapi menyisakan fondasi alas candi) cukup banyak di tempat ini. Di beberapa runtuhan, bentuk tangga dan alas masih terlihat cukup jelas dibanding candi-candi lainnya. Jumlah kelompok runtuhannya sendiri melebihi sepuluh buah. Candi IV ini jelas tidak mengikuti kaidah penomoran candi dimana semakin tinggi angkanya, undakannya semakin tinggi. Jumlah undakan menara di Candi IV ini sebanyak 4 buah, sama seperti Candi III. Apakah karena mereka berdiri pada ketinggian yang sama, makanya jumlah undakannya serupa? Sejumlah arca penjaga seperti Nandikala dan Mahaswara tidak ditemukan di pintu masuk candi. Keanehan lainnya, Candi IV ini tidak dilengkapi dengan jarum penangkal petir. Memang sich, Candi IV ini berbatasan langsung dengan hutan cemara di sebelah utara. Pohon-pohon cemara tersebut jelas tinggi dan rindang dan banyak. Apakah mereka berasumsi bahwa petir akan menyambar pepohonan cemara tersebut alih-alih candi?
Di bagian belakang Candi IV, ada sebuah rumah semi permanen yang dibangun satu kompleks dengan Candi IV. Seorang pemuda tampak tinggal di rumah tersebut dan turut membersihkan lingkungan candi dari segala kotoran. Pada saat kunjungan saya, pemuda tersebut sedang menyapu daun-dedaunan dan beberapa sampah dengan sapu lidi. Ia tidak terlihat terlalu terganggu dengan aktifitas kenarsisan saya yang berfoto-foto di Candi IV ini. Ia terus saja menyelesaikan pekerjaannya. Tampaknya hujan baru turun semalam di lingkungan sekitar candi, jalanan menjadi agak sedikit becek dan licin. Saya sampai sedikit tergelincir beberapa kali di kompleks candi IV ini. Berhati-hatilah menapak, jangan sampai terjatuh yach.

Thursday, June 10, 2010

Air Hangat Berkhasiat Belerang Dari Kawah Candradimuko

Selamat datang! Selamat datang! Mari, mari, mari datang dan nikmatilah khasiat dan manfaat yang bisa saya berikan! Saya bisa menyembuhkan gatal di kulit anda, jerawat di wajah anda, rematik tubuh anda secara perlahan-lahan, mengurangi rasa pegal, mengurangi stress, dan melancarkan peredaran darah! Perkenalkan, saya adalah Kolam Renang Air Panas Candi Gedong Songo. Selamat menikmati khasiat saya! Hohohoho....
Walaupun nggak ada jingle sejenis yang berkumandang di belantara Gedong Songo, namun informasi akan manfaat dan khasiat air panas kolam renang Gedong Songo terpampang jelas di salah satu ruas jalan yang bercabang, memisahkan Candi III dan Kolam Air Panas Kawah Candradimuko. Dari pertanda jalan tersebut, anda masih harus menempuh perjalanan kurang lebih sekitar 500 meteran lagi, menurun. Sebelum sampai pada kolam air panas ini, anda akan bertemu areal taman yang lumayan sich menurut saya. Ada sejumlah gazebo yang rapih walau tamannya nggak rindang. Boleh banget nich bawa bekal terus makan ramai-ramai di tempat ini. pasti seru banget. Berhubung terletak hampir di dasar lembah, pemandangan yang bisa dilihat dari taman ini hanyalah pemandangan kolam renang dan orang-orang yang sedang berenang. Hehehe...Di sebelah selatan, pemandangan gunung tidak terlihat begitu jelas lantaran tertutup oleh lembah.
Nah, pintu masuk kolam terletak persis di dasar lembah. Dengan hanhya membayar Rp. 3.000/orang, anda sudah bisa menikmati berenang dan berendam di air hangat, berkhasiat belerang dari Kawah Candradimuko. Dimanakah Kawah Candradimuko itu? Saya kurang tahu, tapi pastinya berada di dekat-dekat sini, kalau nggak, darimana asal air hangat dan semburan asap tersebut berasal? Kolam renang air hangat ini secara mengejutkan, bersih. Dilengkapi dengan beberapa buah pancuran dan kamar mandi untuk bilas serta kamar ganti, fasilitas yang dimilikinya cukup komplit. Kolam renang tersebut beratapkan langit terbuka. Jadi, sambil berendam dan berenang, kita bisa melihat puncak lembah (sekaligus kita ditonton oleh para pengunjung gedong Songo yang berada di taman di atas kolam. Hihihi...). Asyik banget nich kayaknya kalau di saat pagi-pagi yang dingin, bisa berendam disini. Enaknya sich kalau pada saat kita berendam, suasana sekitar sepi, tidak terlalu banyak orang. Pada pagi itu (dan juga menjelang siang) hampir tidak ada seorang pun yang berendam disana, kecuali satu orang saja. Memang, pengunjung Gedong Songo pagi itu memang tidak terlalu banyak, maklum, hari biasa sich. Saya sendiri, dengan barang bawaan yang segitu banyaknya karena belum check in hotel, memutuskan untuk tidak mencicipi kolam ini. Sayang sekali. Habis, saya bingung, mau diletakkan dimana barang-barang ini saat saya sedang berendam. Padahal, saya ngefans sekali dengan air. Sudah pengen nyebur aja pas waktu melihat kolam air hangat yang bersih itu. Sayang, saya bingung mengenai barang-barang saya yang lumayan banyak. Terlebih, di saat itu, loket penjualan tiket tidak diisi satu orang pun. Saya tidak bisa bertanya kepada siapapun mengenai kolam ini. Tidak jauh dari kolam, ada seorang ibu-ibu agak berumur yang menjual minuman ringan. Saat saya mau bertanya kepadanya, saya dijawab dengan bahasa Jawa yang masih kental. Tidak bisakah ia berbahasa Indonesia? Tampaknya tidak. Walaupun saya bertanya dalam bahasa Indonesia, namun ia tampak kurang menguasai bahasa Indonesia. Wow.
Tidak jauh dari kolam, ada di dasar lembah yang paling dalam, terdapat sebuah semburan gas yang tampaknya panas. Suaranya mengerikan, berhembus kencang dan cepat. Saat saya bertanya, apakah gas tersebut panas kepada sejumlah bapak-bapak yang ada disana, beliau menjawab, “silahkan saja mencoba memegangnya” dengan tatapan tidak serius. Ow. Saya langsung tahu, semburan tersebut panas dan mampu membakar tubuh dalam hitungan detik. Dari jarak cukup jauh saja (ketika saya mendekat), suhu panas sudah mulai terasa di sekitar semburan gas tersebut. Semburan asap ini akan menjadi kepulan asap begitu sudah bercampur dengan udara dingin di ketinggian. Ini sebabnya mengapa ditemukan banyak asap keluar dari dasar lembah ini. Uniknya, walaupun semburan gas tersebut tampak berbahaya, namun sejumlah bapak-bapak mengerubungi titik di dekat semburan panas tersebut. Sedang apakah mereka? Mereka datang sambil membawa jeriken-jeriken berukuran besar sebanyak dua buah per orang dan sebuah pikulan. Mereka mengambil air yang banyak terdapat di sekitar semburan gas tersebut. Untuk apakah air tersebut?
Air yang dilintasi oleh semburan gas tersebut terasa hangat dan panas. Air tersebut mengandung belerang dari kawah. Pertama, saya berpikir bahwa bapak-bapak ini menjual air berkhasiat belerang. Ternyata, saya salah. Mereka mengambil air dalam jeriken besar untuk disirankan ke tanaman cabai mereka. Mereka berkata, cabai yang disiram air belerang ini akan tumbuh lebih subur dan lebat. Wow. Dari manakah mereka mendapat pengetahuan semacam itu? Tidak tanggung-tanggung, sekali jalan, bapak-bapak tersebut mendapatkan dua jeriken besar. Dan bapak-bapak tersebut biasanya bolak-balik berjalan dari semburan gas ke kebun mereka. Air yang berkhasiat ini, ditampung dalam pipa-pipa untuk kemudian dialirkan ke jerigen-jerigen mereka. Tampak di kejauhan, semburan gas telah membinakan seluruh kehidupan yang berada di dekatnya, termasuk bebatuan! Tampak di sekitar semburan gas, pohon-pohon berwarna kelabu dan mati tinggal tersisa ranting. Bebatuan yang berada di sekitar semburan gas pun berwarna kelabu. Ya wes pak, saya nggak mau menganggu bapak-bapak yang sedang bekerja ini. Mari, kita lanjutkan perjalanan kita ke lembah sebelah barat.