Sejatinya, ini adalah bus Semarang – Purwokerto via Magelang. Saya menunggu cukup lama di tepi jalan di Salaman, Magelang untuk mendapatkan bus ini. Bus ini adalah bus dengan jarak tempuh lama, sekitar 6-7 jam untuk total perjalanan. Dari Semarang ke Magelang, waktu yang dibutuhkan sekitar 3-4 jam. Dari Magelang menuju Purwokerto, waktu yang dibutuhkan sekitar 3-4 jam. Rute perjalanan bus ini adalah Semarang – Bawen – Pringsurat – Magelang – Mungkid – Salaman – Purworejo – Kebumen – Gombong – Banyumas - Sokaraja – Purwokerto.
Biaya perjalanan dari Salaman, Magelang hingga tiba di Purwokerto sebesar Rp. 20.000 untuk perjalanan selama 3 jam. Perjalanan ini sebenarnya cukup menawan, terutama ketika cahaya matahari masih tersisa di kawasan Purworejo. Saya melewati lembah di tengah-tengah gunung. Jalanan mengular dan tampaknya memang tepat berada di tengah-tengah gunung dengan dinding pepohonan dan tebing di kanan dan kiri. Suhu udara turun dengan drastis walaupun bus ini adalah bus non AC. Kabupaten Purworejo adalah wilayah pegunungan, namun tidak demikian dengan Kota Purworejo. Bus yang berhenti cukup lama di Terminal Purworejo sedikit bisa memberikan gambaran akan wajah kota ini. Kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pensiunan ini adalah wilayah yang jauh dari hiruk pikuk kota walaupun berstatus kota. Tampilan umum kota ini adalah muram. Entah yach, koq saya melihat kota ini tidak terang? Memang sich, saat itu sudah malam tapi secara keseluruhan, saya melihat lampu-lampu yang dinyalakan di kota ini redup semuanya. Suram suasananya. Sebagian besar wilayah kota malah tidak disinari cahaya dan sebagian besar lainnya merupakan sawah. Kota Purworejo terletak di dataran rendah dan suasananya benar-benar kota yang sunyi.
Sekitar setengah jam menunggu di Terminal Purworejo, bus bergerak lagi dengan membawa sedikit tambahan orang. Berikutnya, saya menempuh perjalanan panjang, datar dan gelap serta berhujan, dari Purworejo hingga Sokaraja. Sama seperti Purworejo, jalur sepanjang kurang lebih 100 KM ini gelap dan tampak redup. Kutowinangun, Kebumen, Kutoarjo semuanya bernuansa gelap dan suram. Di ruas Gombong, saya bahkan tidak melihat ada satupun titik cahaya sama sekali. Jalan panjang tersebut gelap sama sekali, tanpa ada cahaya satupun walaupun samar-samar saya melihat ada sebentuk satu atau dua rumah di ruas ini. Apakah memang lampunya dimatikan? Atau memang ada pemadaman bergilir? Atau daerah ini belum teraliri listrik?
Selepas Gombong, sisa perjalanan dilalui dalam gelap dan hujan deras berangin. Hujan, hujan benar-benar deras mengguyur kawasan ini, hingga wilayah bergunung-gunung di kaki Gunung Slamet, Sokaraja, dan bahkan Purwokerto. Sang supir bus sempat menggoda saya untuk turun di Terminal Purwokerto guna bertukar bus yang menuju Wonosobo via Banjarnegara. Waktu itu sudah pukul 9 malam dan saya tertawa terbahak karenanya. Supir bus mengatakan, di Purwokerto, sampai malam sekalipun akan tersedia bus malam yang bisa membawa saya ke Purbalingga atau Wonosobo. Tapi tidak, sudah cukup petualangan saya sampai disini. Ditambah dengan hujan yang masih mengguyur deras, saya memilih untuk diam di bus sampai akhir perjalanan saya.
Saya diturunkan di Kota Purwokerto saat hujan masih mengguyur. Bus ternyata tidak mencapai Stasiun Purwokerto. Saya diturunkan di salah satu pangkalan ojek di tepi jalan yang cukup dekat dengan stasiun. Walau dekat, masih ada jarak sekitar 5 KM lagi sebelum saya mencapai stasiun. Dalam keadaan menggigil kedinginan, sedikit basah, dan letih, saya menawar ojek untuk mengantarkan saya ke stasiun. Untuk jarak yang cukup dekat, ia meminta Rp. 15.000 dan tidak bisa ditawar lagi. Apalah daya saya? Hehehe. Saya sudah letih, lelah dan ingin segera mencapai stasiun untuk makan malam (perut saya belum terisi apapun selepas nasi rames pagi tadi di Tirtonadi Solo), beli tiket dan pulang. Jujur saja, insiden di Magelang membuat saya jiper dan membuat saya menginginkan pulang, lebih dari apapun juga. Alhasil, waktu lebih satu hari yang masih tersisa dan tiket pesawat Semarang – Jakarta, tidak saya minati lagi. Sungguh mengherankan, sedikit peristiwa tidak enak bisa berdampak cukup besar bagi semangat saya dalam melakukan jalan-jalan. Disinilah saya, di Purwokerto, mencari jalan untuk pulang.
Saturday, July 31, 2010
Friday, July 30, 2010
Yang Tidak Menyenangkan Selama Perjalanan
Selama berpetualang, saya tidak selalu mendapatkan hal-hal yang indah dan menakjubkan untuk diceritakan saja. Ada beberapa hal yang kurang baik juga, mengesalkan, menjengkelkan, hingga yah...menakutkan. Untuk yang terakhir ini, saya baru mengalaminya baru-baru ini. Kisahnya sendiri terjadi di perbatasan Magelang-Purworejo-Wonosobo, Jawa Tengah. Saya berharap, kisah ini bisa menjadi ‘rem’ bagi siapapun yang gemar melakukan petualangan. Menjadi seorang petualang itu bukan berarti harus berani dalam menghadapi setiap tantangan, namun harus pintar menjaga diri dan menjauhi hal-hal yang berbahaya. Tidak ada gunanya sama sekali menantang bahaya.
Saat itu waktu sudah sore hari saat saya baru saja keluar dari candi Borobudur. Niat saya sejak awal, saya akan bermalam di Wonosobo agar esok paginya bisa berkunjung ke Dieng. Salahnya saya, waktu pada sore itu sudah menunjukkan pukul 5 saat saya sudah mencapai terminal Borobudur. Saya tahu, saya harus kembali ke Magelang untuk mencapai Wonosobo. Maklum, pikiran yang selalu saya tanamkan dalam diri saya adalah hanya ibukota kabupaten yang memiliki terminal cukup bagus dan memiliki jaringan transportasi yang variatif (dalam arti, banyak pilihan transport). Menjelang keluar dari candi, iseng-iseng saya bertanya kepada salah seorang bapak penjaga kantor penitipan barang. Beliau menyarankan agar saya tidak kembali ke Magelang karena artinya saya harus memutar. Memang, di peta terlihat Magelang justru menjauhi Wonosobo dari arah Borobudur, tempat saya berdiri. Beliau menyarankan agar saya naik angkot satu kali menuju Salaman. Dari Salaman, saya bisa naik angkot menuju Wonosobo. Sayangnya, bapak tersebut tidak bisa memastikan apakah angkot masih ada pada waktu sesore itu. Sudah cukup kita ketahui bersama, angkot di daerah umumnya akan menurun frekuensinya menjelang sore dan hilang begitu malam menjelang. Pilihan lebih aman memang jatuh kepada Magelang dengan asumsi kota besar yang memiliki banyak pilihan bus umum. Namun, menuju Magelang pun butuh usaha tersendiri. Bisa-bisa, saya sampai di Magelang pada saat malam hari. Singkat kata, saya memilih bus menuju Salaman.
Dalam perjalanan menuju Salaman, saya bertanya kepada supir dan kondektur tentang bus menuju Wonosobo. Pertama, mereka merasa aneh karena saya akan berangkat ke Wonosobo sesore itu. Mereka tidak yakin masih ada angkot lagi pada waktu sesore itu yang akan membawa saya ke Wonosobo. Duh, saya sudah mulai jiper sebenarnya. Mereka menyarankan agar saya ke Maron, terminal di perbatasan Purworejo-Wonosobo. Kata mereka, masih ada bus yang akan membawa saya dari Maron menuju Wonosobo. Paling malam, bus akan berangkat pukul 7 malam. Ya sudah, saya percaya saja dan mau mengikuti saran mereka. Kemudian, sang supir berkata lagi, saya sebaiknya hati-hati dalam perjalanan dari Maron ke Wonosobo. Hati-hati dengan barang berharga, kalau perlu diumpetin sekalian. Dalam perjalanan, kata sang supir, saya akan melewati dua wilayah kecamatan S****** dan K*****. Saya sangat diminta untuk berhati-hati melewati dua wilayah tersebut. Ia hanya menyebutkan tentang hal-hal kurang baik namun tidak merinci lebih detail tentang apa yang dimaksud. Beliau kembali bertanya, “mengapa saya baru berjalan sesore itu?”. Ia akhirnya mengatakan bahwa, di wilayah perbatasan ini, dua wilayah tersebut sudah terkenal akan orang-orangnya yang ‘kurang baik’. Ia bahkan menyebut istilah p******* untuk orang-orang di wilayah tersebut. Ia hanya takut saya akan ‘dikerjai’ kalau melewati tempat tersebut selepas gelap.
Kenek bus tersebut juga mengatakan hal serupa tentang kedua wilayah tersebut. Bahkan, beberapa ibu-ibu mulai memberikan pendapatnya mereka masing-masing akan akses jalan menuju Wonosobo dan kondisi dua tempat yang disebut tadi. Saran amannya memang sebaiknya saya mencarter mobil. Namun ini bukan solusi karena harga sewanya tentu mahal. Pertimbangan lain adalah ojek namun tetap tidak disarankan karena waktu tempuh dengan ojek akan mengakibatkan saya terjebak malam di tengah jalan. Bukan hal yang baik juga. Pak supir tersebut mengatakan agar saya tidak percaya orang sama sekali ketika sampai di tempat tersebut, nah loh! Beliau juga mengatakan kalau sampai saya diturunkan di tengah jalan dengan alasan bus tidak sampai Wonosobo, mintalah agar saya ikut terus sampai ujung dimana bus tersebut akan berhenti, jangan mau diturunkan di tengah jalan. Kalau misalnya bus tersebut hanya sampai S******, ikutlah terus sampai kesana. Jangan mau diturunkan di tengah jalan! Sampai ada seorang bapak-bapak yang katanya mengaku asli Purworejo dan berniat membantu saya mencarikan angkutan. Saya akhirnya, atas saran dari pak supir, turun bersama dengan bapak tersebut di pertigaan Salaman untuk menunggu bus arah Maron. Ia tidak menyarankan saya menaiki bus 3/4 karena dapat dipastikan saya akan diturunkan di tengah jalan dan tidak akan mencapai terminal. Ia mengatakan bahwa ia seorang petualang juga dan tidak berniat pulang ke rumah karena ada masalah di rumahnya. Dari penampilannya, ia hanya mengenakan kaus biasa, celana pendek dan satu buah kantong plastik besar yang katanya adalah perlengkapan petualangannya dia. Saya masih tidak berpikiran yang tidak-tidak sampai kemudian ia bertanya-tanya detail tentang rencana perjalanan saya, titik terakhir saya menginap, rute yang saya lalui, teman yang mengetahui keberadaan saya, hingga apakah saya bisa berolahraga beladiri atau tidak. Waduh, pertanyaan terakhir itu sudah merupakan tanda ketidak beresan tampaknya. Untuk apa ia bertanya hal-hal semacam itu? Terpaksalah saya mengarang-ngarang cerita bahwa saya memiliki saudara di beberapa tempat di wilayah tersebut yang baru saja saya kunjungi. Oh ya, saya juga berbohong bahwa saya bisa melakukan beladiri. Tahu nggak, pikiran saya langsung tertuju ke Human Trafficking. Bisa jadi, ia ingin agar tidak ada yang mengetahui jejak terakhir lokasi saya karena ia memang berniat jelek. Cukup lama saya menunggu bus bersama dia dan tidak menemukan alasan untuk berpaling darinya. Ia bahkan mengatakan bahwa tukang ojek, yang menghampiri saya untuk menawarkan ojek, masuk dalam kategori berbahaya. Pertama, memang ia bertanya, apakah saya terburu-buru atau tidak. Saya jawab tidak karena saya memang santai saja. Namun, kelamaan menunggu bersama dengan bapak ini membuat saya jadi takut sendiri dan pikiran-pikiran aneh berkecamuk. Akhirnya, sekitar pukul setengah enam sore (daritadi, memang jarang sekali bus besar yang melewati tempat ini, hanya bus kecil 3/4 non AC arah Purworejo yang sedari tadi melintas, itu pun agak jarang) saya memutuskan untuk kembali ke Magelang saja. Daripada terjebak bersama dengan orang yang tidak jelas di tempat yang tidak jelas pula, lebih baik kemalaman di kota besar, begitu pikir saya. Setidaknya saya harus melakukan aksi dan tidak menunggu sampai malam di tempat ini. Ternyata, maksud bapak itu cukup jelas. Ia meminta uang yang konon katanya untuk membantu ia melanjutkan aksi pengembaraannya. Ia meminta dengan baik-baik dan apabila saya tidak keberatan. Memang, akhirnya saya memberikan uang sebesar Rp. 20.000 kepadanya dengan dasar asumsi bahwa ia tidak meminta yang jauh lebih buruk daripada itu. Ya sudah, mungkin uang sebesar itu bisa berguna baik di bapak tersebut. Seandainya ia memang berniat buruk, saya hanya akan menganggap bahwa uang itu sebagai hal untuk membuang sial saja. Tak lama, bus besar jurusan Semarang-Purwokerto via Magelang melewati pertigaan tersebut. Kata sang kenek, bus ini melewati Purworejo. Saya segera naik dan merasa aneh karena bapak tersebut tidak ikut naik bersama dengan saya. Padahal, katanya ia mau pulang ke Purworejo kan? Ia malah mengatakan bahwa ia akan naik bus yang lain saja. Dasar aneh. Ya sudah, saya tidak mau ambil pusing dan tidak mau mengambil resiko juga. Sebaiknya saya melakukan semuanya sendiri daripada percaya dengan orang yang tidak jelas seperti itu.
Di bus besar tersebut, saya bertanya kepada sang kenek, tentang tujuan Wonosobo. Jawaban serupa saya dapatkan, ia menyarankan saya agar saya turun di Maron dengan asumsi masih ada bus terakhir yang akan membawa saya ke Wonosobo. Namun kemudian, ia pun bertanya hal yang semakin membuat saya jiper, “Ngapain kamu malam-malam begini ke Wonosobo?”
Jalanan yang saya lalui naik turun berkelok-kelok melewati desa dan pegunungan. Di luar sana, matahari sudah terbenam namun langit masih menampakkan sedikit cahaya. Saya benar-benar melihat desa-desa yang terletak diantara pegunungan. Sangat desa. Tak lama, setengah jam kemudian sekitar pukul enam sore kurang, di saat langit sudah berwarna lembayung. Sang kenek mengatakan “Maron” yang artinya saya harus turun. Saya melihat terminalnya, Terminal Maron ada di sebelah kanan jalan. Saya kembali bertanya lagi agar saya tidak salah langkah. Saya ingin memastikan bahwa bus Wonosobo masih ada dan saya tidak ditinggal sendiri di tengah-tengah gunung seperti ini. Sang supir memeriksa lewat kaca dan mengatakan, terminal sudah kosong. Duh...semakin lemas rasanya dengkul ini. Sang kenek kembali bertanya , “ngapain kamu ke Wonosobo malam-malam begini? Sudah lah, lebih baik kamu ke Purwokerto saja”. Saya nggak berpikir lama, langsung saya mengiyakan pertanyaan tersebut. Purwokerto harusnya merupakan kota besar dengan akses jaringan transportasi yang sangat baik donk? Lebih baik saya kemalaman di Purwokerto daripada menunggu bus tidak jelas di Terminal Maron. Menunggu yang belum tentu ada. Selepas saya mengiyakan pertanyaan sang kenek, bus pun melaju lagi dan dia langsung memberi saran bahwa tidak baik kalau mau ke Wonosobo malam-malam begini. Ia pun menyebutkan dua nama tempat yang serupa dengan yang disebut tadi. Ia berkata, apapun bisa terjadi di tengah-tengah jalanan saat malam-malam begini. Lebih baik saya mencari aman saja. Yah, saya akhirnya kembali ke tempat duduk saya dan sedikit banyak merasa lega walaupun masih merasa semua kejadian ini penuh dengan misteri.
Ternyata, di depan saya, ada seorang ibu yang daritadi mengetahui kejadian yang saya alami. Ia sudah berada di bus yang membawa kami semua dari Borobudur ke Salaman. Tadi ia ingin memberikan saran namun berhubung sudah banyak yang memberikan saran, ia urung memberikan sarannya. Ia bahkan bertanya-tanya tentang bapak-bapak tadi yang katanya, sangat dicurigai olehnya. Ia bahkan sudah mengendus ketidak beresan dengan bapak tersebut dan meminta saya bercerita detail untuk menguatkan pendapatnya tersebut. Di ujung cerita saya, ia akhirnya mengatakan bahwa orang seperti bapak tersebut yang perlu saya waspadai. Karena saya kebingungan arah, makanya saya jadi sasaran empuk bapak tersebut. Kemudian, ia bercerita tentang jalanan super berkelok yang akan saya tempuh kalau saya nekad menuju Wonosobo. Jalanan yang akan saya lalui bertepi jurang di kanan dan kiri jalan. “Apapun bisa terjadi di tengah jalan”, begitu katanya. Ia pun bercerita tentang sejumlah kasus kriminal yang terjadi di tempat itu. Ia mengatakan bahwa saya bijaksana tidak melanjutkan perjalanan kesana pada malam seperti ini. Ibu itu akhirnya bercerita bahwa dia orang Kebumen dan setiap hari dia bolak-balik Borobudur-Kebumen untuk berdagang. Sehingga, sedikit banyak ia cukup tahu berita-berita, info apapun di tempat itu, termasuk salah satunya dua tempat yang berbahaya tersebut. Ia bahkan bercerita tentang perampokan ganas yang pernah terjadi di tempat tersebut. Sang korban digorok lehernya hingga nyaris putus. Gimana saya nggak mau jiper dengan semua berita ini?
Yang jelas, peristiwa ini sedikit banyak memberi pelajaran bagi saya :
1. Selalu rencanakan perjalanan dengan matang dan disiplin waktu. Saya tidak memiliki informasi apapun tentang Magelang karena tidak berpikir akan terjebak malam di sana. Kenyataannya, saya sangat dekat akan hal tersebut!
2. Jangan mudah percaya orang lain. Sang ibu malah menyarankan, kalau bingung, tanya polisi, jangan tanya sembarang orang. Percayalah dengan orang yang layak dipercayai.
3. Jangan pernah terjebak malam di wilayah non-kota, kecuali memang tempat tersebut adalah lokasi wisata.
4. Buku-buku wisata sama sekali tidak memberikan informasi mengenai hal ini. Berita seperti ini justru banyak didapat dari warga lokal.
5. Jauhi bahaya. Menjadi petualang bukan soal berani menantang maut dan kuat namun lebih kepada cerdas dalam memecahkan masalah dan menjauhi marabahaya.
Tidak terbayang sama sekali apabila saya nekad berkunjung ke Wonosobo pada malam-malam seperti itu...hiii....
Mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada pihak yang tersinggung akan tulisan ini. Saya juga tidak bermaksud memberikan stigma buruk kepada Maron, Purworejo, Borobudur, maupun Wonosobo dan Magelang. Kejahatan bisa terjadi dimana saja dan kebetulan, saya mengalaminya di tempat ini lantaran saya tidak berhati-hati. Tempat tersebut harusnya cukup aman pada saat siang hari. Tulisan ini hanya bermaksud untuk memberikan gambaran akan wilayah tersebut dan membantu para petualang lainnya guna menghindari bahaya yang mungkin akan terjadi.
Saat itu waktu sudah sore hari saat saya baru saja keluar dari candi Borobudur. Niat saya sejak awal, saya akan bermalam di Wonosobo agar esok paginya bisa berkunjung ke Dieng. Salahnya saya, waktu pada sore itu sudah menunjukkan pukul 5 saat saya sudah mencapai terminal Borobudur. Saya tahu, saya harus kembali ke Magelang untuk mencapai Wonosobo. Maklum, pikiran yang selalu saya tanamkan dalam diri saya adalah hanya ibukota kabupaten yang memiliki terminal cukup bagus dan memiliki jaringan transportasi yang variatif (dalam arti, banyak pilihan transport). Menjelang keluar dari candi, iseng-iseng saya bertanya kepada salah seorang bapak penjaga kantor penitipan barang. Beliau menyarankan agar saya tidak kembali ke Magelang karena artinya saya harus memutar. Memang, di peta terlihat Magelang justru menjauhi Wonosobo dari arah Borobudur, tempat saya berdiri. Beliau menyarankan agar saya naik angkot satu kali menuju Salaman. Dari Salaman, saya bisa naik angkot menuju Wonosobo. Sayangnya, bapak tersebut tidak bisa memastikan apakah angkot masih ada pada waktu sesore itu. Sudah cukup kita ketahui bersama, angkot di daerah umumnya akan menurun frekuensinya menjelang sore dan hilang begitu malam menjelang. Pilihan lebih aman memang jatuh kepada Magelang dengan asumsi kota besar yang memiliki banyak pilihan bus umum. Namun, menuju Magelang pun butuh usaha tersendiri. Bisa-bisa, saya sampai di Magelang pada saat malam hari. Singkat kata, saya memilih bus menuju Salaman.
Dalam perjalanan menuju Salaman, saya bertanya kepada supir dan kondektur tentang bus menuju Wonosobo. Pertama, mereka merasa aneh karena saya akan berangkat ke Wonosobo sesore itu. Mereka tidak yakin masih ada angkot lagi pada waktu sesore itu yang akan membawa saya ke Wonosobo. Duh, saya sudah mulai jiper sebenarnya. Mereka menyarankan agar saya ke Maron, terminal di perbatasan Purworejo-Wonosobo. Kata mereka, masih ada bus yang akan membawa saya dari Maron menuju Wonosobo. Paling malam, bus akan berangkat pukul 7 malam. Ya sudah, saya percaya saja dan mau mengikuti saran mereka. Kemudian, sang supir berkata lagi, saya sebaiknya hati-hati dalam perjalanan dari Maron ke Wonosobo. Hati-hati dengan barang berharga, kalau perlu diumpetin sekalian. Dalam perjalanan, kata sang supir, saya akan melewati dua wilayah kecamatan S****** dan K*****. Saya sangat diminta untuk berhati-hati melewati dua wilayah tersebut. Ia hanya menyebutkan tentang hal-hal kurang baik namun tidak merinci lebih detail tentang apa yang dimaksud. Beliau kembali bertanya, “mengapa saya baru berjalan sesore itu?”. Ia akhirnya mengatakan bahwa, di wilayah perbatasan ini, dua wilayah tersebut sudah terkenal akan orang-orangnya yang ‘kurang baik’. Ia bahkan menyebut istilah p******* untuk orang-orang di wilayah tersebut. Ia hanya takut saya akan ‘dikerjai’ kalau melewati tempat tersebut selepas gelap.
Kenek bus tersebut juga mengatakan hal serupa tentang kedua wilayah tersebut. Bahkan, beberapa ibu-ibu mulai memberikan pendapatnya mereka masing-masing akan akses jalan menuju Wonosobo dan kondisi dua tempat yang disebut tadi. Saran amannya memang sebaiknya saya mencarter mobil. Namun ini bukan solusi karena harga sewanya tentu mahal. Pertimbangan lain adalah ojek namun tetap tidak disarankan karena waktu tempuh dengan ojek akan mengakibatkan saya terjebak malam di tengah jalan. Bukan hal yang baik juga. Pak supir tersebut mengatakan agar saya tidak percaya orang sama sekali ketika sampai di tempat tersebut, nah loh! Beliau juga mengatakan kalau sampai saya diturunkan di tengah jalan dengan alasan bus tidak sampai Wonosobo, mintalah agar saya ikut terus sampai ujung dimana bus tersebut akan berhenti, jangan mau diturunkan di tengah jalan. Kalau misalnya bus tersebut hanya sampai S******, ikutlah terus sampai kesana. Jangan mau diturunkan di tengah jalan! Sampai ada seorang bapak-bapak yang katanya mengaku asli Purworejo dan berniat membantu saya mencarikan angkutan. Saya akhirnya, atas saran dari pak supir, turun bersama dengan bapak tersebut di pertigaan Salaman untuk menunggu bus arah Maron. Ia tidak menyarankan saya menaiki bus 3/4 karena dapat dipastikan saya akan diturunkan di tengah jalan dan tidak akan mencapai terminal. Ia mengatakan bahwa ia seorang petualang juga dan tidak berniat pulang ke rumah karena ada masalah di rumahnya. Dari penampilannya, ia hanya mengenakan kaus biasa, celana pendek dan satu buah kantong plastik besar yang katanya adalah perlengkapan petualangannya dia. Saya masih tidak berpikiran yang tidak-tidak sampai kemudian ia bertanya-tanya detail tentang rencana perjalanan saya, titik terakhir saya menginap, rute yang saya lalui, teman yang mengetahui keberadaan saya, hingga apakah saya bisa berolahraga beladiri atau tidak. Waduh, pertanyaan terakhir itu sudah merupakan tanda ketidak beresan tampaknya. Untuk apa ia bertanya hal-hal semacam itu? Terpaksalah saya mengarang-ngarang cerita bahwa saya memiliki saudara di beberapa tempat di wilayah tersebut yang baru saja saya kunjungi. Oh ya, saya juga berbohong bahwa saya bisa melakukan beladiri. Tahu nggak, pikiran saya langsung tertuju ke Human Trafficking. Bisa jadi, ia ingin agar tidak ada yang mengetahui jejak terakhir lokasi saya karena ia memang berniat jelek. Cukup lama saya menunggu bus bersama dia dan tidak menemukan alasan untuk berpaling darinya. Ia bahkan mengatakan bahwa tukang ojek, yang menghampiri saya untuk menawarkan ojek, masuk dalam kategori berbahaya. Pertama, memang ia bertanya, apakah saya terburu-buru atau tidak. Saya jawab tidak karena saya memang santai saja. Namun, kelamaan menunggu bersama dengan bapak ini membuat saya jadi takut sendiri dan pikiran-pikiran aneh berkecamuk. Akhirnya, sekitar pukul setengah enam sore (daritadi, memang jarang sekali bus besar yang melewati tempat ini, hanya bus kecil 3/4 non AC arah Purworejo yang sedari tadi melintas, itu pun agak jarang) saya memutuskan untuk kembali ke Magelang saja. Daripada terjebak bersama dengan orang yang tidak jelas di tempat yang tidak jelas pula, lebih baik kemalaman di kota besar, begitu pikir saya. Setidaknya saya harus melakukan aksi dan tidak menunggu sampai malam di tempat ini. Ternyata, maksud bapak itu cukup jelas. Ia meminta uang yang konon katanya untuk membantu ia melanjutkan aksi pengembaraannya. Ia meminta dengan baik-baik dan apabila saya tidak keberatan. Memang, akhirnya saya memberikan uang sebesar Rp. 20.000 kepadanya dengan dasar asumsi bahwa ia tidak meminta yang jauh lebih buruk daripada itu. Ya sudah, mungkin uang sebesar itu bisa berguna baik di bapak tersebut. Seandainya ia memang berniat buruk, saya hanya akan menganggap bahwa uang itu sebagai hal untuk membuang sial saja. Tak lama, bus besar jurusan Semarang-Purwokerto via Magelang melewati pertigaan tersebut. Kata sang kenek, bus ini melewati Purworejo. Saya segera naik dan merasa aneh karena bapak tersebut tidak ikut naik bersama dengan saya. Padahal, katanya ia mau pulang ke Purworejo kan? Ia malah mengatakan bahwa ia akan naik bus yang lain saja. Dasar aneh. Ya sudah, saya tidak mau ambil pusing dan tidak mau mengambil resiko juga. Sebaiknya saya melakukan semuanya sendiri daripada percaya dengan orang yang tidak jelas seperti itu.
Di bus besar tersebut, saya bertanya kepada sang kenek, tentang tujuan Wonosobo. Jawaban serupa saya dapatkan, ia menyarankan saya agar saya turun di Maron dengan asumsi masih ada bus terakhir yang akan membawa saya ke Wonosobo. Namun kemudian, ia pun bertanya hal yang semakin membuat saya jiper, “Ngapain kamu malam-malam begini ke Wonosobo?”
Jalanan yang saya lalui naik turun berkelok-kelok melewati desa dan pegunungan. Di luar sana, matahari sudah terbenam namun langit masih menampakkan sedikit cahaya. Saya benar-benar melihat desa-desa yang terletak diantara pegunungan. Sangat desa. Tak lama, setengah jam kemudian sekitar pukul enam sore kurang, di saat langit sudah berwarna lembayung. Sang kenek mengatakan “Maron” yang artinya saya harus turun. Saya melihat terminalnya, Terminal Maron ada di sebelah kanan jalan. Saya kembali bertanya lagi agar saya tidak salah langkah. Saya ingin memastikan bahwa bus Wonosobo masih ada dan saya tidak ditinggal sendiri di tengah-tengah gunung seperti ini. Sang supir memeriksa lewat kaca dan mengatakan, terminal sudah kosong. Duh...semakin lemas rasanya dengkul ini. Sang kenek kembali bertanya , “ngapain kamu ke Wonosobo malam-malam begini? Sudah lah, lebih baik kamu ke Purwokerto saja”. Saya nggak berpikir lama, langsung saya mengiyakan pertanyaan tersebut. Purwokerto harusnya merupakan kota besar dengan akses jaringan transportasi yang sangat baik donk? Lebih baik saya kemalaman di Purwokerto daripada menunggu bus tidak jelas di Terminal Maron. Menunggu yang belum tentu ada. Selepas saya mengiyakan pertanyaan sang kenek, bus pun melaju lagi dan dia langsung memberi saran bahwa tidak baik kalau mau ke Wonosobo malam-malam begini. Ia pun menyebutkan dua nama tempat yang serupa dengan yang disebut tadi. Ia berkata, apapun bisa terjadi di tengah-tengah jalanan saat malam-malam begini. Lebih baik saya mencari aman saja. Yah, saya akhirnya kembali ke tempat duduk saya dan sedikit banyak merasa lega walaupun masih merasa semua kejadian ini penuh dengan misteri.
Ternyata, di depan saya, ada seorang ibu yang daritadi mengetahui kejadian yang saya alami. Ia sudah berada di bus yang membawa kami semua dari Borobudur ke Salaman. Tadi ia ingin memberikan saran namun berhubung sudah banyak yang memberikan saran, ia urung memberikan sarannya. Ia bahkan bertanya-tanya tentang bapak-bapak tadi yang katanya, sangat dicurigai olehnya. Ia bahkan sudah mengendus ketidak beresan dengan bapak tersebut dan meminta saya bercerita detail untuk menguatkan pendapatnya tersebut. Di ujung cerita saya, ia akhirnya mengatakan bahwa orang seperti bapak tersebut yang perlu saya waspadai. Karena saya kebingungan arah, makanya saya jadi sasaran empuk bapak tersebut. Kemudian, ia bercerita tentang jalanan super berkelok yang akan saya tempuh kalau saya nekad menuju Wonosobo. Jalanan yang akan saya lalui bertepi jurang di kanan dan kiri jalan. “Apapun bisa terjadi di tengah jalan”, begitu katanya. Ia pun bercerita tentang sejumlah kasus kriminal yang terjadi di tempat itu. Ia mengatakan bahwa saya bijaksana tidak melanjutkan perjalanan kesana pada malam seperti ini. Ibu itu akhirnya bercerita bahwa dia orang Kebumen dan setiap hari dia bolak-balik Borobudur-Kebumen untuk berdagang. Sehingga, sedikit banyak ia cukup tahu berita-berita, info apapun di tempat itu, termasuk salah satunya dua tempat yang berbahaya tersebut. Ia bahkan bercerita tentang perampokan ganas yang pernah terjadi di tempat tersebut. Sang korban digorok lehernya hingga nyaris putus. Gimana saya nggak mau jiper dengan semua berita ini?
Yang jelas, peristiwa ini sedikit banyak memberi pelajaran bagi saya :
1. Selalu rencanakan perjalanan dengan matang dan disiplin waktu. Saya tidak memiliki informasi apapun tentang Magelang karena tidak berpikir akan terjebak malam di sana. Kenyataannya, saya sangat dekat akan hal tersebut!
2. Jangan mudah percaya orang lain. Sang ibu malah menyarankan, kalau bingung, tanya polisi, jangan tanya sembarang orang. Percayalah dengan orang yang layak dipercayai.
3. Jangan pernah terjebak malam di wilayah non-kota, kecuali memang tempat tersebut adalah lokasi wisata.
4. Buku-buku wisata sama sekali tidak memberikan informasi mengenai hal ini. Berita seperti ini justru banyak didapat dari warga lokal.
5. Jauhi bahaya. Menjadi petualang bukan soal berani menantang maut dan kuat namun lebih kepada cerdas dalam memecahkan masalah dan menjauhi marabahaya.
Tidak terbayang sama sekali apabila saya nekad berkunjung ke Wonosobo pada malam-malam seperti itu...hiii....
Mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada pihak yang tersinggung akan tulisan ini. Saya juga tidak bermaksud memberikan stigma buruk kepada Maron, Purworejo, Borobudur, maupun Wonosobo dan Magelang. Kejahatan bisa terjadi dimana saja dan kebetulan, saya mengalaminya di tempat ini lantaran saya tidak berhati-hati. Tempat tersebut harusnya cukup aman pada saat siang hari. Tulisan ini hanya bermaksud untuk memberikan gambaran akan wilayah tersebut dan membantu para petualang lainnya guna menghindari bahaya yang mungkin akan terjadi.
Wednesday, July 28, 2010
Seni Topeng Ireng A La Magelang
Kesenian Topeng Ireng (Ireng dalam bahasa Jawa adalah hitam) ini berasal dari Magelang. Anak-anak tersebut menari dengan diiringi oleh tabuhan gamelan sederhana. Ada seorang MC yang memandu jalannya acara. Saya memang tidak menemukan adanya gerak tari kompleks yang ruwet, saya justru menemukan bahwa tarian ini sangat sederhana, dengan gerak utama di bagian kaki. Nah, demi meramaikan suasana, sang MC menawarkan kepada banyak pengunjung yang menyaksikan, untuk turut serta naik ke panggung dan ikut menari bersama 10 anak tersebut. Banyak penonton, yang terutama anak muda, ikut maju ke atas panggung dan menari beramai-ramai dengan anak-anak ini. seperti yang sudah saya bilang dan akan saya bilang sekali lagi, gerak tari ini mudah diikuti, anak-anak muda tersebut saja mudah mengikuti tanpa canggung. Seru, ramai, dan heboh. Lokasi kesenian ini berada di pertengahan antara pintu gerbang loket dengan Candi Borobudur, di sebelah kanan. Walaupun agak modern, namun kalau anda ingin merasakan seni Magelang, buat saya ini sudah mencukupi. Seru loch bisa jejingkrakan bareng anak-anak ini di tengah bunyi kerincingan bel dan gamelan.
Pinjam Payung Di Borobudur
Lagi seru-serunya bertandang ke Candi Borobudur, tiba-tiba langit mulai menangis. Alam menampakkan keperkasaannya. Hujan pun dicurahkan dengan sangat lebat dari langit. Memang sich, dari awal kedatangan saya ke Muntilan pun, langit sudah tampak mendung, padahal siangnya di Prambanan cerah benderang dan panas menyengat loch. Ketika sampai di Borobudur, saya lebih was-was lagi, lantaran awan mendung semakin banyak dan suhu turun dengan drastis. Ketika saya memanjat sampai puncak tertinggi Borobudur, saya memang harus waspada lantaran awan mendungnya menyelimuti seluruh bagian langit yang bisa saya lihat. Pegunungan yang terdapat di sekitar Borobudur tampak digelayuti awan mendung gelap dan tebal. Benar saja, lagi seru-serunya, wisatawan berpose dan berfoto, hujan pun turun. Kaburlah semua pengunjung.
Saya termasuk yang kabur tersebut. Maklum, Borobudur tidak memiliki penaung hujan ataupun panas kecuali beberapa gapura antar tingkatan yang memiliki kanopi kecil di atapnya. Banyak turis yang bernaung di bawahnya. Namun, karena kanopi tersebut berukuran kecil, banyak pula yang tetap terkena hempasan air hujan, mereka pun memilih kabur ke tingkat di bawahnya atau kembali sama sekali ke pintu masuk. Tepat satu jam saya berada di Borobudur, saat itu jam 4 sore. Borobudur tutup jam 5 dan saya masih belum puas menikmati keindahan Candi Buddhis terbesar di dunia ini. Saya yakin, sejumlah turis pun demikian, banyak yang masih memilih berteduh di gapura antar tingkatan ketimbang pulang. Beberapa turis malah cukup nekad hujan-hujanan, padahal hujannya lebat dan lama. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti sama sekali. Huaaaa...gimana ini? Kapan lagi bisa ke Borobudur?
Solusi muncul dari sejumlah petugas lapangan Borobudur. Mereka membawa payung warna-warni. Satu petugas bisa membawa hingga puluhan payung. Mereka menyewakan payung tersebut dengan harga Rp. 5.000 untuk dipakai sepuasnya di Borobudur. Jadilah saya meminjam payung tersebut dan kembali berkelana, menyusuri lorong-lorong dan mengamati relief Borobudur, di tengah hujan deras! Banyak juga turis yang melakukan hal serupa walau lebih banyak yang memilih pulang. Buat saya, ini satu keuntungan, Borobudur menjadi tidak terlalu ramai dan saya bisa mengamati detial candi ini dengan lebih leluasa, termasuk berfoto dengan leluasa tanpa terganggu ribuan turis yang lalu lalang. Walau hujan, ngeksis tetep dech, saya perlu berfoto di setiap ada kesempatan. Hehehe.
Hujan ternyata turun degan lebat dan cukup lama, untung sekali saya tidak pulang dan memilih untuk tinggal lantaran banyak sekali yang bisa saya nikmati di kala hujan deras berpetir di Borobudur. Area pelataran Borobudur di banyak tempat memang banjir dan digenangi air sehingga cukup licin, walau demikian, struktur keseluruhan Borobudur terbuat dari batu yang cukup aman untuk dipijak. Batu-batu ini tidak menjadi licin lantaran hujan. Saya memang agak kesulitan untuk berfoto lantaran harus memegang payung dan menjaga jarak aman kamera dengan air hujan. Tapi secara keseluruhan, menikmati hujan di Borobudur adalah sesuatu yang berbeda. Nah, urusan pengembalian payung bukan hal yang sulit. Saya kurang tahu, apakah mereka sudah ada pada saat menyengat atau mereka baru menyebar kala hujan melanda, saya tidak terlalu memperhatikannya. Anda tidak perlu repot-repot mencari bapak yang menyewakan anda payung, anda cukup meletakkannya di pintu gerbang keluar, tempat turis lain meletakkan payung tersebut. Payung-payung tersebut mempunyai nama dan semacam label organisasi. Mereka tampaknya adalah paguyuban pengelola jasa payung di Borobudur. Urusan pinjam meminjam payung sudah menjadi hal biasa untuk mereka. Pokoknya, jangan sampai anda bawa pulang dech payungnya, bisa-bisa anda dikeroyok. Hahaha.
Saya termasuk yang kabur tersebut. Maklum, Borobudur tidak memiliki penaung hujan ataupun panas kecuali beberapa gapura antar tingkatan yang memiliki kanopi kecil di atapnya. Banyak turis yang bernaung di bawahnya. Namun, karena kanopi tersebut berukuran kecil, banyak pula yang tetap terkena hempasan air hujan, mereka pun memilih kabur ke tingkat di bawahnya atau kembali sama sekali ke pintu masuk. Tepat satu jam saya berada di Borobudur, saat itu jam 4 sore. Borobudur tutup jam 5 dan saya masih belum puas menikmati keindahan Candi Buddhis terbesar di dunia ini. Saya yakin, sejumlah turis pun demikian, banyak yang masih memilih berteduh di gapura antar tingkatan ketimbang pulang. Beberapa turis malah cukup nekad hujan-hujanan, padahal hujannya lebat dan lama. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti sama sekali. Huaaaa...gimana ini? Kapan lagi bisa ke Borobudur?
Solusi muncul dari sejumlah petugas lapangan Borobudur. Mereka membawa payung warna-warni. Satu petugas bisa membawa hingga puluhan payung. Mereka menyewakan payung tersebut dengan harga Rp. 5.000 untuk dipakai sepuasnya di Borobudur. Jadilah saya meminjam payung tersebut dan kembali berkelana, menyusuri lorong-lorong dan mengamati relief Borobudur, di tengah hujan deras! Banyak juga turis yang melakukan hal serupa walau lebih banyak yang memilih pulang. Buat saya, ini satu keuntungan, Borobudur menjadi tidak terlalu ramai dan saya bisa mengamati detial candi ini dengan lebih leluasa, termasuk berfoto dengan leluasa tanpa terganggu ribuan turis yang lalu lalang. Walau hujan, ngeksis tetep dech, saya perlu berfoto di setiap ada kesempatan. Hehehe.
Hujan ternyata turun degan lebat dan cukup lama, untung sekali saya tidak pulang dan memilih untuk tinggal lantaran banyak sekali yang bisa saya nikmati di kala hujan deras berpetir di Borobudur. Area pelataran Borobudur di banyak tempat memang banjir dan digenangi air sehingga cukup licin, walau demikian, struktur keseluruhan Borobudur terbuat dari batu yang cukup aman untuk dipijak. Batu-batu ini tidak menjadi licin lantaran hujan. Saya memang agak kesulitan untuk berfoto lantaran harus memegang payung dan menjaga jarak aman kamera dengan air hujan. Tapi secara keseluruhan, menikmati hujan di Borobudur adalah sesuatu yang berbeda. Nah, urusan pengembalian payung bukan hal yang sulit. Saya kurang tahu, apakah mereka sudah ada pada saat menyengat atau mereka baru menyebar kala hujan melanda, saya tidak terlalu memperhatikannya. Anda tidak perlu repot-repot mencari bapak yang menyewakan anda payung, anda cukup meletakkannya di pintu gerbang keluar, tempat turis lain meletakkan payung tersebut. Payung-payung tersebut mempunyai nama dan semacam label organisasi. Mereka tampaknya adalah paguyuban pengelola jasa payung di Borobudur. Urusan pinjam meminjam payung sudah menjadi hal biasa untuk mereka. Pokoknya, jangan sampai anda bawa pulang dech payungnya, bisa-bisa anda dikeroyok. Hahaha.
Tuesday, July 27, 2010
Ini Candi Borobudur, Candi Terbesar Di Seluruh Dunia
Kalau Prambanan adalah kompleks Candi Hindu terbesar se-dunia, maka Borobudur adalah Candi Buddha terbesar se-dunia. Pesaing utamanya mungkin hanyalah Angkor Wat di Siem Reap, Kamboja. Candi Borobudur terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Desa ini begitu hidup lantaran ada Candi Borobudur di dalamnya. Mulai dari pagi hingga sore, baik musim wisata ataupun tidak, bus-bus umum, bus wisata, mobil ataupun motor selalu memadati tempat ini. Dengan jarak 10 KM dari Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, akses menuju ke tempat ini sangat mudah dan terbuka lebar. Inilah Candi Borobudur, candi yang kerap masuk dalam daftar 7 keajaiban dunia kuno.
Walaupun satu pengelolaan dengan Prambanan (dan Ratu Boko), sama-sama di bawah www.borobudurpark.co.id, saya agak heran ketika Borobudur tidak menerapkan smart card sebagai tiket masuknya. Borobudur masih menerapkan tiket kertas sobekan sebagai tanda masuk taman ini. Asyiknya, anda nggak perlu repot-repot menyimpan bekas potongan tiket sebagai tanda keluar dari taman. Nah, selain Candi Borobudur, taman ini berisi Museum Karmawibhangga, Museum Kapal Samudraraksa, Taman Lumbini dan Resort Princess Manohara. Kalau anda punya waktu seharian, wajib sekali nich berkunjung ke museum-museum selain ke candi. Sayang, saya tiba di taman ini saat sudah terlampau sore. Candilah tujuan utama saya kali ini. Jalan masuk menuju candi mudah ditelusuri. Tanda-tanda jalan masuk menuju candi tersebar dimana-mana. Apalagi Borobudur tergolong candi yang selalu ramai dikunjungi setiap saat. Tinggal ikut rombongan orang lain saja. Gampang!
Penataan jalan masuk Candi Borobudur menyerupai Candi Prambanan. Jalan masuk panjang dengan pepohonan di kanan kiri dan taman bunga di tengah-tengah menjadi ciri khas kedua taman ini. Aneka papan informasi, himbauan dan larangan tersebar di penjuru taman. Karena merupakan situs bersejarah, maka Candi Borobudur masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO nomor 592 (lebih awal daripada Prambanan yang 642). Oleh karena merupakan warisan dunia, Borobudur dilindungi dalam bahaya perang. Oleh karena itu, beberapa larangan dibuat agar candi tetap lestari. Anda bisa menemukan beberapa larangan yang umum seperti dilarang membawa senjata tajam, peledak, tongkat, membuang sampah, mencorat-coret, memindahkan susunan batu hingga yang agak unik seperti dilarang memanjat stupa dan candi dan dilarang melukis Candi Borobudur tanpa ijin. Tentu saja, larangan dilarang merokok juga berlaku di tempat ini. Saya melihat beberapa turis, bahkan turis asing, ditegur lantaran ketahuan merokok oleh penjaga taman. Bagus pak! Teruskan perjuanganmu!
Pertama kali saya melihat Borobudur dan saya langsung terkesima saking takjubnya. Candi ini sangat besar! Maha besar! Menakjubkan melihat karya kebesaran masa lampau yang bisa menghasilkan candi seperti ini. Badan saya sampai bergetar karenanya. Entah apakah anda merasakan hal yang sama atau tidak, namun Candi Borobudur benar-benar luar biasa untuk saya. Luar biasa besar dan luar biasa indah. Relief Karmawibhangga atau perjalanan hidup manusia dalam menjalani roda kehidupan yang tiada berakhir memenuhi sekujur kaki Candi Borobudur. Candi Borobudur ini terletak di atas sebuah dataran besar yang luas. Hampir tidak ada pepohonan atau pohon besar yang menaungi candi ini di kala panas maupun hujan. Pepohonan terletak di luar area dataran besar ini. Bapak-bapak petugas berjaga-jaga di pintu masuk sebelah timur candi, memegang megafon sambil terus menerus meneriakkan seruan kepada para turis yang nakal (biasanya sich nekad memanjat candi buat bikin foto yang eksis).

Kalau anda masih ingat sejarah, Candi Borobudur adalah Candi Buddha yang dibangun oleh Raja Samaratungga. Candi yang dibangun pada abad ke 8 ini adalah peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Kalau anda ingat postingan sebelumnya, disana diceritakan bahwa Dinasti yang pertama berjaya adalah Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Dinasti Sanjaya Berjaya pada masa sesudahnya. Borobudur adalah pencapaian besar Dinasti Syailendra pada masa itu sebelum era Dinasti Sanjaya. Bentuk Candi ini dilihat dari atas adalah mandala. Candi Borobudur terdiri atas 3 tingkat, Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu yang paling atas. Kamadhatu adalah representasi kehidupan yang masih terbelenggu oleh hawa nafsu. Kamadhatu ini berada di bagian paling bawah candi dan merupakan susunan batu-batu penyusun fondasi candi. Rupadhatu berada di bagian tengah, bagian ini adalah representasi kehidupan manusia yang sudah terbebas dari hawa nafsu namun masih terikat oleh bentuk atau rupa. Sementara itu, Arupadhatu yang berada di paling atas adalah tingkatan kehidupan tertinggi dimana manusia sudah bisa membebaskan diri dari hawa nafsu dan tak terikat bentuk-bentuk lagi. Terdiri atas 8 tingkat dengan ketinggian menjulang sekitar 150 meter, Kamadhatu adalah fondasi Borobudur. 5 tingkat di atas Kamadhatu adalah Rupadhatu. Formasi di Rupadhatu berbentuk persegi dengan dinding di tepinya dimana ukiran relief memenuhi sisi dinding. 3 tingkat sisanya adalah Arupadhatu, pencapaian tertinggi dalam hidup manusia yang telah membebaskan diri dari keterikatan pada bentuk dan hawa nafsu. Pada bagian ini, alih-alih dinding, adanya justru stupa. Stupa adalah kuil agama Buddha dengan bentuk seperti bel dan banyak ditemukan di candi-candi dengan aliran agama Buddha, misalnya Candi Sewu. Formasi di Arupadhatu tidak lagi persegi melainkan lingkaran. Kalau anda amati, 16 buah stupa di tingkatan tertinggi agak berbeda dengan 24 dan 32 stupa di bawahnya. Ada artinyakah? Di tengah-tengah formasi Mandala tersebut, ada sebuah stupa inti yang berukuran besar (dan sebuah penangkal petir).

Untuk memahami keindahan Borobudur, sebenarnya ada cara yang dianjurkan, yakni pradaksina. Dalam kepercayaan agama Buddha, Pradaksina adalah mengelilingi bangunan searah jarum jam sambil memanjatkan paritta (doa-doa suci agama Buddha) sebanyak 3x. Nah, untuk anda para turis, anda bisa saja naik dari gerbang timur, lalu mulai memutari candi searah jarum jam. Ketika satu putaran telah habis dan anda kembali lagi ke pintu timur, naiklah satu tingkat dan lakukan putaran yang sama sehingga relief candi selalu berada di sebelah kanan anda. Ini adalah cara yang paling disarankan untuk mengapresiasi keindahan Candi Borobudur. Putaran 3x bisa dilakukan untuk setiap level candi. Pradaksina ini rutin dilakukan pada saat Hari Raya Trisuci Waisak.
Banyak mitos serta kepercayaan yang terdapat di Candi Borobudur ini. Salah satunya yang paling populer adalah memegang arca Dhyani Buddha yang berada di dalam stupa. Banyak orang percaya, apabila kita sanggup menyentuh arca yang terdapat di dalam stupa sambil memohon keinginan (dengan menyelipkan tangan kita masuk ke dalam lubang-lubang stupa), maka keinginan tersebut akan terkabul. Sayangnya, ini tidak terbukti benar dan satu yang pasti, perilaku ini justru berpotensi merusak stupa, arca atau candi.
Entah anda percaya atau tidak, candi yang dibangun pada abad ke 8 ini sempat ditelantarkan pada abad ke 11. Candi ini pertama kali ditemukan kembali pada abad ke 19 oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam kondisi mengenaskan. Tertutup timbunan bebatuan dan tanaman semak belukar adalah kondisi Borobudur pada saat ditemukan. Pemerintah Hindia Belanda yang kala itu mengeksplorasi Pulau Jawa memang mendapatkan laporan ada gundukan batu besar di wilayah Kedu, dekat Magelang. Pemerintah Hindia Belanda pun menginstruksikan untuk membongkar batu-batuan tersebut dan ternyata ada candi tertimbun di bawah bebatuan tersebut. Saat ditemukan, candi dalam kondisi mengenaskan, rusak parah, berantakan, banyak batu-batu penyusunnya hilang dan terlepas. Penimbunan candi lumrah dilakukan pada masa itu untuk menghindari perusakan oleh kerajaan lain yang tidak sealiran. Namun faktanya, dari telaah sejarah dan prasasti yang ditemukan, penyebab terkuburnya Borobudur adalah letusan dashyat Gunung Merapi pada masa itu dan tumbuh suburnya hutan Jawa, bukan sengaja ditimbun. Walau demikian, ada beberapa teori yang menyebutkan terbengkalainya Borobudur disebabkan oleh pindahnya pusat Kerajaan Medang ke Jawa Timur dan Kerajaan Islam yang mulai tumbuh berkembang di Tanah Jawa Pada abad ke 15. Mana yang benar-benar tepat, belum diketahui hingga kini. Setelah ditemukan, restorasi pun mulai dilakukan, bertahap mulai dari Pemerintah Hindia Belanda, hingga Pemerintah Republik Indonesia. Kini, Borobudur yang sudah berdiri tegak ini memang sudah indah walaupun jauh dari sempurna. Restorasi sebagian besar telah mengembalikan bentuk candi ini ke asalnya. Namun, banyak sekali komponen bebatuan hingga kepada Dhyani Buddha yang hilang dan tidak ditemukan. Nggak usah heran, anda akan menemukan banyak sekali arca Dhyani Buddha dalam posisi bersemedi namun tidak memiliki kepala.
Borobudur memang diharapkan bisa terus berdiri hingga 1000 tahun lagi lamanya. Namun, berdiri di dataran terbuka dan dikunjungi oleh ribuan orang setiap harinya membuat Candi Borobudur sangat rentan. Tadi saya sudah sempat menyinggung soal anak-anak muda yang ingin membuat foto yang ‘eksis’ dan untuk itu mereka nekad memanjat dinding stupa. Kalau nggak dipegang atau disentuh mungkin belum puas kali yach? Sampah pun terlihat memenuhi beberapa sudut candi ini. Kotor. Oleh karena tersiram hujan dan sengatan matahari setiap harinya, fisik candi memang berubah. Lumut, tanah tampak tumbuh dan memenuhi sudut atau sela-sela bebatuan di candi. Menyedihkan.
Sebagai generasi penerus yang bisa menikmati keindahan Borobudur, hendaknya kita lebih arif menyikapi dan memperlakukan candi ini. Nggak usah pegang-pegang! Foto dengan latar belakang Borobudur pun sudah cukup menunjukkan dimana anda berada koq. Anda nggak mau kan, kalau suatu saat nanti Borobudur sudah tidak bisa dimasuki lantaran rapuh dan rawan? Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk tetap melindungi dan tidak semena-mena terhadap candi ini. Dengan hanya membayar Rp. 17.500, anda sangat tidak berhak berbuat semena-mena, iseng, vandalisme, apalagi merusak candi ini.
Dalam peningkatan apresiasi terhadap candi ini, per tahun 2010 ini Pemerintah Daerah mulai menerapkan aturan baru (walaupun tidak sepenuhnya terlaksana). Untuk mensejajarkan posisi Borobudur sebagai tempat-tempat suci di Indonesia, terutama Bali, bagi pengunjung yang berpakaian kurang layak akan dilarang untuk memasuki kompleks candi. Nah, wisatawan yang berpakaian kurang layak ini tidak semata-mata dilarang begitu saja. Pemda dan pengelola akan menyediakan kain sarung batik dan ikat pinggang dari kain untuk menutupi area paha hingga ke betis guna memasuki kompleks candi ini. Ini tentu bertujuan untuk peningkatan apresiasi terhadap keagungan candi ini. Oh, fasilitas ini gratis dan anda harus mengembalikan kain batik tersebut di pintu keluar, bukan untuk dibawa pulang. Sayangnya, entah pengawasannya lemah atau bagaimana, saya tidak ditawarkan kain batik ini walaupun saya mengenakan celana ¾. Apa celana ini tidak masuk Kriteria yach? Oleh karena ukuran dan bentuknya, banyak orang-orang di seluruh dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat wajib kunjung setidaknya sekali seumur hidup, sebelum meninggal. Jadi, sudahkah anda mengunjungi Borobudur, Candi Buddha terbesar di dunia yang menjadi kebanggan Indonesia ini?
Walaupun satu pengelolaan dengan Prambanan (dan Ratu Boko), sama-sama di bawah www.borobudurpark.co.id, saya agak heran ketika Borobudur tidak menerapkan smart card sebagai tiket masuknya. Borobudur masih menerapkan tiket kertas sobekan sebagai tanda masuk taman ini. Asyiknya, anda nggak perlu repot-repot menyimpan bekas potongan tiket sebagai tanda keluar dari taman. Nah, selain Candi Borobudur, taman ini berisi Museum Karmawibhangga, Museum Kapal Samudraraksa, Taman Lumbini dan Resort Princess Manohara. Kalau anda punya waktu seharian, wajib sekali nich berkunjung ke museum-museum selain ke candi. Sayang, saya tiba di taman ini saat sudah terlampau sore. Candilah tujuan utama saya kali ini. Jalan masuk menuju candi mudah ditelusuri. Tanda-tanda jalan masuk menuju candi tersebar dimana-mana. Apalagi Borobudur tergolong candi yang selalu ramai dikunjungi setiap saat. Tinggal ikut rombongan orang lain saja. Gampang!
Penataan jalan masuk Candi Borobudur menyerupai Candi Prambanan. Jalan masuk panjang dengan pepohonan di kanan kiri dan taman bunga di tengah-tengah menjadi ciri khas kedua taman ini. Aneka papan informasi, himbauan dan larangan tersebar di penjuru taman. Karena merupakan situs bersejarah, maka Candi Borobudur masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO nomor 592 (lebih awal daripada Prambanan yang 642). Oleh karena merupakan warisan dunia, Borobudur dilindungi dalam bahaya perang. Oleh karena itu, beberapa larangan dibuat agar candi tetap lestari. Anda bisa menemukan beberapa larangan yang umum seperti dilarang membawa senjata tajam, peledak, tongkat, membuang sampah, mencorat-coret, memindahkan susunan batu hingga yang agak unik seperti dilarang memanjat stupa dan candi dan dilarang melukis Candi Borobudur tanpa ijin. Tentu saja, larangan dilarang merokok juga berlaku di tempat ini. Saya melihat beberapa turis, bahkan turis asing, ditegur lantaran ketahuan merokok oleh penjaga taman. Bagus pak! Teruskan perjuanganmu!
Pertama kali saya melihat Borobudur dan saya langsung terkesima saking takjubnya. Candi ini sangat besar! Maha besar! Menakjubkan melihat karya kebesaran masa lampau yang bisa menghasilkan candi seperti ini. Badan saya sampai bergetar karenanya. Entah apakah anda merasakan hal yang sama atau tidak, namun Candi Borobudur benar-benar luar biasa untuk saya. Luar biasa besar dan luar biasa indah. Relief Karmawibhangga atau perjalanan hidup manusia dalam menjalani roda kehidupan yang tiada berakhir memenuhi sekujur kaki Candi Borobudur. Candi Borobudur ini terletak di atas sebuah dataran besar yang luas. Hampir tidak ada pepohonan atau pohon besar yang menaungi candi ini di kala panas maupun hujan. Pepohonan terletak di luar area dataran besar ini. Bapak-bapak petugas berjaga-jaga di pintu masuk sebelah timur candi, memegang megafon sambil terus menerus meneriakkan seruan kepada para turis yang nakal (biasanya sich nekad memanjat candi buat bikin foto yang eksis).
Untuk memahami keindahan Borobudur, sebenarnya ada cara yang dianjurkan, yakni pradaksina. Dalam kepercayaan agama Buddha, Pradaksina adalah mengelilingi bangunan searah jarum jam sambil memanjatkan paritta (doa-doa suci agama Buddha) sebanyak 3x. Nah, untuk anda para turis, anda bisa saja naik dari gerbang timur, lalu mulai memutari candi searah jarum jam. Ketika satu putaran telah habis dan anda kembali lagi ke pintu timur, naiklah satu tingkat dan lakukan putaran yang sama sehingga relief candi selalu berada di sebelah kanan anda. Ini adalah cara yang paling disarankan untuk mengapresiasi keindahan Candi Borobudur. Putaran 3x bisa dilakukan untuk setiap level candi. Pradaksina ini rutin dilakukan pada saat Hari Raya Trisuci Waisak.
Banyak mitos serta kepercayaan yang terdapat di Candi Borobudur ini. Salah satunya yang paling populer adalah memegang arca Dhyani Buddha yang berada di dalam stupa. Banyak orang percaya, apabila kita sanggup menyentuh arca yang terdapat di dalam stupa sambil memohon keinginan (dengan menyelipkan tangan kita masuk ke dalam lubang-lubang stupa), maka keinginan tersebut akan terkabul. Sayangnya, ini tidak terbukti benar dan satu yang pasti, perilaku ini justru berpotensi merusak stupa, arca atau candi.
Borobudur memang diharapkan bisa terus berdiri hingga 1000 tahun lagi lamanya. Namun, berdiri di dataran terbuka dan dikunjungi oleh ribuan orang setiap harinya membuat Candi Borobudur sangat rentan. Tadi saya sudah sempat menyinggung soal anak-anak muda yang ingin membuat foto yang ‘eksis’ dan untuk itu mereka nekad memanjat dinding stupa. Kalau nggak dipegang atau disentuh mungkin belum puas kali yach? Sampah pun terlihat memenuhi beberapa sudut candi ini. Kotor. Oleh karena tersiram hujan dan sengatan matahari setiap harinya, fisik candi memang berubah. Lumut, tanah tampak tumbuh dan memenuhi sudut atau sela-sela bebatuan di candi. Menyedihkan.
Sebagai generasi penerus yang bisa menikmati keindahan Borobudur, hendaknya kita lebih arif menyikapi dan memperlakukan candi ini. Nggak usah pegang-pegang! Foto dengan latar belakang Borobudur pun sudah cukup menunjukkan dimana anda berada koq. Anda nggak mau kan, kalau suatu saat nanti Borobudur sudah tidak bisa dimasuki lantaran rapuh dan rawan? Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk tetap melindungi dan tidak semena-mena terhadap candi ini. Dengan hanya membayar Rp. 17.500, anda sangat tidak berhak berbuat semena-mena, iseng, vandalisme, apalagi merusak candi ini.
Dalam peningkatan apresiasi terhadap candi ini, per tahun 2010 ini Pemerintah Daerah mulai menerapkan aturan baru (walaupun tidak sepenuhnya terlaksana). Untuk mensejajarkan posisi Borobudur sebagai tempat-tempat suci di Indonesia, terutama Bali, bagi pengunjung yang berpakaian kurang layak akan dilarang untuk memasuki kompleks candi. Nah, wisatawan yang berpakaian kurang layak ini tidak semata-mata dilarang begitu saja. Pemda dan pengelola akan menyediakan kain sarung batik dan ikat pinggang dari kain untuk menutupi area paha hingga ke betis guna memasuki kompleks candi ini. Ini tentu bertujuan untuk peningkatan apresiasi terhadap keagungan candi ini. Oh, fasilitas ini gratis dan anda harus mengembalikan kain batik tersebut di pintu keluar, bukan untuk dibawa pulang. Sayangnya, entah pengawasannya lemah atau bagaimana, saya tidak ditawarkan kain batik ini walaupun saya mengenakan celana ¾. Apa celana ini tidak masuk Kriteria yach? Oleh karena ukuran dan bentuknya, banyak orang-orang di seluruh dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat wajib kunjung setidaknya sekali seumur hidup, sebelum meninggal. Jadi, sudahkah anda mengunjungi Borobudur, Candi Buddha terbesar di dunia yang menjadi kebanggan Indonesia ini?
Monday, July 26, 2010
Nggak Usah Naik Becak Dari Terminal Ke Candi Borobudur
Sebelum baca postingan ini, camkan pesan saya baik-baik! Kalau anda tipe turis kere yang menghemat segala sesuatunya demi bisa berwisata dengan biaya murah, sebaiknya tolak tawaran ini. TOLAK! Berjalan kaki saja dari Terminal Borobudur hingga pintu masuk candi. Cuma sekitar 500 meteran saja koq! Gak jauh, sehat, dan sehat bagi kantong anda pastinya. Akhirnya, saya tiba di Terminal Borobudur tepat jam 3. Isi bus hanya tinggal segelintir saja. Sembari bus menepi ke peron kedatangan, sejumlah bapak tukang becak berlari-lari mengejar bus yang saya tumpangi. Tampang mereka terlihat histeris, panic dan bergairah. Waduh, ada apa gerangan yach? Saya jadi was-was. Hahaha.
Begitu bus menepi, serombongan bapak-bapak tersebut langsung memenuhi pintu keluar bus, mereka menawarkan satu hal yang sama : Jasa becak dari Terminal Borobudur ke Candi Borobudur. Waaa…saya langsung jadi pusing. Haha. Saya sebetulnya mengatakan tidak untuk mereka, saya lebih memilih jalan kaki saja, tapi mereka memaksa dan memaksa, mengatakan bahwa jaraknya jauh hingga mengiba-iba. Saya tetap bersikukuh dan beberapa diantara mereka mundur namun tetap ada satu orang yang memepet saya untuk menggunakan jasanya. Dia tetap bersikeras bahwa jaraknya jauh dan usaha becak ini untuk membantu-bantu keluarga beliau. Saya sudah bilang kalau saya turis backpacker yang kere, namun mereka tidak mau mengerti. Saya melihat baju yang dikenakan bapak becak tersebut sich memang sudah compang-camping. Saya berpikir sejenak dan bertanya “berapa?”. Beliau mengatakan “RP. 20.000”. Seperti yang sudah diprediksi, terjadilah sedikit perang harga dan akhirnya disepakati harga “Rp. 10.000” untuk mengantarkan saya sampai ke pintu masuk Candi Borobudur.
Mulailah perjalanan saya menaiki becak menembus Pasar Borobudur. Berhubung sudah sore, cuacanya memang enak sekali untuk berjalan-jalan, apalagi naik becak dan terkena semilir angin sore. Saya melewati deretan kios-kios oleh-oleh dan pasar di Borobudur, mulai dari yang menjual elektronik hingga pakaian dan souvenir. Sambil mengantarkan saya, bapak supir mengajak saya mengobrol dan ia menawarkan saya untuk menginap di Borobudur. Yah, maklum, hari itu memang sudah cukup sore sich. Jadi, ia berpikir mungkin saya akan melewatkan malam di kompleks candi ini. Saya sich mengatakan bahwa saya akan melanjutkan perjalanan saya ke Wonosobo sehingga tidak menginap di Borobudur. Namun iseng-iseng saya bertanya harga satu malam kamar di Borobudur kepada bapak tersebut. Bapak tersebut menjawab untuk satu kamar yang benar-benar standard, harganya sekitar Rp. 75.000 (sarapan, kamar mandi dalam). Saya nggak tahu dech itu harga sudah di ‘mark-up’ atau merupakan harga nett dari hotel tersebut. Sayang, saya juga nggak bertanya nama hotelnya dan dia nggak menyebutkannya. Nggak lama, yach sekitar 500meteran dech saya sampai di pintu masuk Candi Borobudur yang ternyata deket banget! Weew…untuk jarak segini harganya Rp. 10.000? Hahaha. Nggak papa dech, hitung-hitung membantu perekonomian si bapak. Tapi buat anda yang bener-bener berhemat, sebaiknya sich abaikan tawaran ini dan bersikap sedikit kejamlah kepada para bapak supir becak ini. Lewatkan tawaran mereka dan jalanlah terus ke arah pasar.
Di ujung perjalanan, setelah saya membayar biaya becak, bapak tersebut menawarkan untuk mengantarkan saya kembali ke depan terminal begitu saya sudah selesai. Ia menanyakan jam kepulangan saya. Hmm…saya tidak bisa menjawab karena tidak tahu mau berapa lama di Borobudur. Namun ia memaksa, “satu jam yach?” begitu katanya. Wah, saya sich nggak mau ngerjain orang, saya bilang aja “nggak tahu, pak”. Namun dia mengatakan bahwa ia akan menunggu saya keluar. Dia mengatakan bahwa akan menunggu di pintu keluar. Wah saya bilang lagi “Nggak usah pak, jangan ditungguin!”. Beliau berkeras lagi, “Nggak papa, saya tunggu, kesihan adek, jauh jalan ke depan”. Yeee…dalam hati saya mikir, justru sebenarnya saya pengen jalan kaki. “Ya terserah bapak, tapi nanti kalau ada yang mau pakai bapak, layani saja, saya nggak usah ditungguin” dan saya pun meninggalkan bapak itu masuk ke dalam kompleks Candi Borobudur.
Begitu bus menepi, serombongan bapak-bapak tersebut langsung memenuhi pintu keluar bus, mereka menawarkan satu hal yang sama : Jasa becak dari Terminal Borobudur ke Candi Borobudur. Waaa…saya langsung jadi pusing. Haha. Saya sebetulnya mengatakan tidak untuk mereka, saya lebih memilih jalan kaki saja, tapi mereka memaksa dan memaksa, mengatakan bahwa jaraknya jauh hingga mengiba-iba. Saya tetap bersikukuh dan beberapa diantara mereka mundur namun tetap ada satu orang yang memepet saya untuk menggunakan jasanya. Dia tetap bersikeras bahwa jaraknya jauh dan usaha becak ini untuk membantu-bantu keluarga beliau. Saya sudah bilang kalau saya turis backpacker yang kere, namun mereka tidak mau mengerti. Saya melihat baju yang dikenakan bapak becak tersebut sich memang sudah compang-camping. Saya berpikir sejenak dan bertanya “berapa?”. Beliau mengatakan “RP. 20.000”. Seperti yang sudah diprediksi, terjadilah sedikit perang harga dan akhirnya disepakati harga “Rp. 10.000” untuk mengantarkan saya sampai ke pintu masuk Candi Borobudur.
Mulailah perjalanan saya menaiki becak menembus Pasar Borobudur. Berhubung sudah sore, cuacanya memang enak sekali untuk berjalan-jalan, apalagi naik becak dan terkena semilir angin sore. Saya melewati deretan kios-kios oleh-oleh dan pasar di Borobudur, mulai dari yang menjual elektronik hingga pakaian dan souvenir. Sambil mengantarkan saya, bapak supir mengajak saya mengobrol dan ia menawarkan saya untuk menginap di Borobudur. Yah, maklum, hari itu memang sudah cukup sore sich. Jadi, ia berpikir mungkin saya akan melewatkan malam di kompleks candi ini. Saya sich mengatakan bahwa saya akan melanjutkan perjalanan saya ke Wonosobo sehingga tidak menginap di Borobudur. Namun iseng-iseng saya bertanya harga satu malam kamar di Borobudur kepada bapak tersebut. Bapak tersebut menjawab untuk satu kamar yang benar-benar standard, harganya sekitar Rp. 75.000 (sarapan, kamar mandi dalam). Saya nggak tahu dech itu harga sudah di ‘mark-up’ atau merupakan harga nett dari hotel tersebut. Sayang, saya juga nggak bertanya nama hotelnya dan dia nggak menyebutkannya. Nggak lama, yach sekitar 500meteran dech saya sampai di pintu masuk Candi Borobudur yang ternyata deket banget! Weew…untuk jarak segini harganya Rp. 10.000? Hahaha. Nggak papa dech, hitung-hitung membantu perekonomian si bapak. Tapi buat anda yang bener-bener berhemat, sebaiknya sich abaikan tawaran ini dan bersikap sedikit kejamlah kepada para bapak supir becak ini. Lewatkan tawaran mereka dan jalanlah terus ke arah pasar.
Di ujung perjalanan, setelah saya membayar biaya becak, bapak tersebut menawarkan untuk mengantarkan saya kembali ke depan terminal begitu saya sudah selesai. Ia menanyakan jam kepulangan saya. Hmm…saya tidak bisa menjawab karena tidak tahu mau berapa lama di Borobudur. Namun ia memaksa, “satu jam yach?” begitu katanya. Wah, saya sich nggak mau ngerjain orang, saya bilang aja “nggak tahu, pak”. Namun dia mengatakan bahwa ia akan menunggu saya keluar. Dia mengatakan bahwa akan menunggu di pintu keluar. Wah saya bilang lagi “Nggak usah pak, jangan ditungguin!”. Beliau berkeras lagi, “Nggak papa, saya tunggu, kesihan adek, jauh jalan ke depan”. Yeee…dalam hati saya mikir, justru sebenarnya saya pengen jalan kaki. “Ya terserah bapak, tapi nanti kalau ada yang mau pakai bapak, layani saja, saya nggak usah ditungguin” dan saya pun meninggalkan bapak itu masuk ke dalam kompleks Candi Borobudur.
Saturday, July 24, 2010
Dari Jombor, Sleman, Muntilan, Mungkid, dan Akhirnya Borobudur
Para penumpang bus ini dapat dipastikan bukan turis. Hanya sayalah satu-satunya turis di dalam bus ini. Penumpang lainnya tampaknya adalah warga lokal, mungkin Yogyakarta, Magelang, Muntilan, atau Borobudur, sesuai jalur bus ini. Oops, saya salah, Dari Muntilan, bus tidak akan berlanjut ke Magelang. Itu berada di jalur yang berbeda. Dari Muntilan, bus akan berlanjut ke Mungkid dan masuk ke Borobudur. Bus Magelang adalah bus yang berbeda dengan bus Borobudur. Bus bergerak pelan melalui Kabupaten Sleman, kabupaten terakhir sebelum saya keluar dari wilayah Yogyakarta. Di ujung perbatasan, ada gapura besar yang bagus namun sayangnya, saya tidak mungkin berhenti untuk berfoto. Selain susah mencari bus di tengah jalan, Borobudur menunggu saya. Untungnya, selama perjalanan, bus tidak pernah penuh. saya menjajah dua kursi di bagian paling depan untuk tas dan saya sendiri. Sambil menikmati pemandangan, saya berfoto-foto pastinya.
Walaupun sempat mengantuk juga lantaran perjalanan yang lambat, namun setengah jam kemudian, bus memasuki Kota Muntilan. Kota Muntilan hampir mirip seperti kota-kota di Jawa Tengah pada umumnya. Kemiripan Muntilan lebih terasa lagi dengan Secang atau Magelang. Selain bangunan-bangunan tua, sentra penjualan Wajik Week tampak dimana-mana. Jalanan yang sepi dan tidak terlalu lebar, dipenuhi oleh toko-toko aneka rupa mulai dari bengkel, toko aksesoris, toko makanan hingga elektronik menjadi ciri khas Muntilan. Tidak ada suatu hal yang benar-benar menjadi ciri khas akan kota ini, kecuali Wajik Week-nya itu yach. Hmm...tapi Wajik Week juga ada koq di Secang dan di Magelang. Hehehe.
Terminal Jombor Yogyakarta, Tempat Saya Bertolak Ke Borobudur
Karena tujuan saya adalah Borobudur, Magelang, maka saya akhirnya berhenti di terminal ujung Trans Yogya rute 2B. Trans Yogya, dari ramai, padat, ramai, lengang, hingga ramai kembali membuat saya berkesempatan mendapatkan tempat duduk. Lumayan, saya jadi bisa tidur sejenak (Entah kenapa, pas menyentuh kursi empuk Trans Yogya, saya langsung terlena dan terlelap..haha). Bus pun perlahan memasuki Terminal Jombor, terminal di ujung barat laut Kota Yogyakarta. Semua penumpang pun turun.
Terminal Jombor ini sebenernya tempat perhentian maupun keberangkatan bus-bus yang ke arah utara dari Yogyakarta, misalnya Semarang dan Magelang. Selain bus, Jombor penuh oleh jasa travel minibus. Sepanjang penglihatan saya dari ujung ke ujung, kalau nggak diisi oleh warung makan, los-los di Terminal Jombor diisi oleh jasa travel. Nah, saya sudah agak jiper tuh. Bisa nggak yah menempuh perjalanan dalam satu hari dari Solo – Prambanan – Yogyakarta – Borobudur – Wonosobo. Banyak informasi yang saya terima mengatakan bahwa bus-bus di jalur ini akan ‘mengering’ ketika senja mulai beranjak. Males khan? Mungkin sich rute saya hari ini bisa diselesaikan dengan sempurna, kalau saya nggak berlama-lama di Prambanan atau saya datang agak pagian, atau lainnya lagi, carter mobil aja. Hehehe. Bener sich, walaupun masih ada satu dua, namun bus sudah terlihat tidak terlalu banyak memadati terminal ini. Siang itu, hanya satu bus yang saya lihat sedang menunggu penumpang untuk naik di Terminal Jombor. Satu-satunya bus dengan tulisan ‘Borobudur’ di bagian depan bus. Ya, sebaiknya anda bergerak cepat lantaran layanan bus akan hilang pada pukul 5. Jalur ini, walaupun memiliki Borobudur, adalah jalur sepi. Sebaiknya anda tidak berada di jalanan selepas gelap turun.
Sebelumnya, saya mengisi perut dulu dech. Rasanya sudah berabad-abad semenjak nasi rames dan bakpia yang saya makan tadi mengisi lambung saya. Saya lapar! Namun sayang, Terminal Jombor nggak memiliki banyak pilihan makanan menarik yang bisa dicoba. Jujur, saya nggak terlalu tertarik dengan Gudeg karena rasanya yang terlalu manis untuk saya. Makanan Padang? Aduh, nggak dech. Yogyakarta koq makannya makanan Padang. Hehehe. Akhirnya, daripada saya lemes di jalanan, saya pilih mie ayam Jombor saja. Ini bukan rumah makan loch, tapi gerobak keliling. Yang jual mie ayam ini adalah mbak-mbak yang manis. Hehehe. Saya akhirnya nanya-nanya ke dia akan rencana perjalanan saya. Memang, iklan makanan terbaik adalah aromanya. Saya tertarik makan mie ayam karena aromanya berhembus ke saya. Hehehe.
Menurut si mbak, bus dan kesibukan Terminal Jombor akan berhenti selepas pukul 5 sore. Untuk bus borobudur, sekitar jam 3 saja sudah agak susah ditemukan walaupun frekuensi keberangkatannya hampir setengah jam sekali. Mbak tersebut mengatakan santai saja, sebab bus akan mudah dipanggil kalau sudah ingin berangkat, maklum, busnya akan melewati tempat mie ayam ini. Jadi, yah disinilah saya makan mie ayam dengan santai menunggu bus Borobudur berangkat. Oh ya, harga mie ayamnya Rp. 5.000.
Terminal Jombor ini sebenernya tempat perhentian maupun keberangkatan bus-bus yang ke arah utara dari Yogyakarta, misalnya Semarang dan Magelang. Selain bus, Jombor penuh oleh jasa travel minibus. Sepanjang penglihatan saya dari ujung ke ujung, kalau nggak diisi oleh warung makan, los-los di Terminal Jombor diisi oleh jasa travel. Nah, saya sudah agak jiper tuh. Bisa nggak yah menempuh perjalanan dalam satu hari dari Solo – Prambanan – Yogyakarta – Borobudur – Wonosobo. Banyak informasi yang saya terima mengatakan bahwa bus-bus di jalur ini akan ‘mengering’ ketika senja mulai beranjak. Males khan? Mungkin sich rute saya hari ini bisa diselesaikan dengan sempurna, kalau saya nggak berlama-lama di Prambanan atau saya datang agak pagian, atau lainnya lagi, carter mobil aja. Hehehe. Bener sich, walaupun masih ada satu dua, namun bus sudah terlihat tidak terlalu banyak memadati terminal ini. Siang itu, hanya satu bus yang saya lihat sedang menunggu penumpang untuk naik di Terminal Jombor. Satu-satunya bus dengan tulisan ‘Borobudur’ di bagian depan bus. Ya, sebaiknya anda bergerak cepat lantaran layanan bus akan hilang pada pukul 5. Jalur ini, walaupun memiliki Borobudur, adalah jalur sepi. Sebaiknya anda tidak berada di jalanan selepas gelap turun.
Sebelumnya, saya mengisi perut dulu dech. Rasanya sudah berabad-abad semenjak nasi rames dan bakpia yang saya makan tadi mengisi lambung saya. Saya lapar! Namun sayang, Terminal Jombor nggak memiliki banyak pilihan makanan menarik yang bisa dicoba. Jujur, saya nggak terlalu tertarik dengan Gudeg karena rasanya yang terlalu manis untuk saya. Makanan Padang? Aduh, nggak dech. Yogyakarta koq makannya makanan Padang. Hehehe. Akhirnya, daripada saya lemes di jalanan, saya pilih mie ayam Jombor saja. Ini bukan rumah makan loch, tapi gerobak keliling. Yang jual mie ayam ini adalah mbak-mbak yang manis. Hehehe. Saya akhirnya nanya-nanya ke dia akan rencana perjalanan saya. Memang, iklan makanan terbaik adalah aromanya. Saya tertarik makan mie ayam karena aromanya berhembus ke saya. Hehehe.
Menurut si mbak, bus dan kesibukan Terminal Jombor akan berhenti selepas pukul 5 sore. Untuk bus borobudur, sekitar jam 3 saja sudah agak susah ditemukan walaupun frekuensi keberangkatannya hampir setengah jam sekali. Mbak tersebut mengatakan santai saja, sebab bus akan mudah dipanggil kalau sudah ingin berangkat, maklum, busnya akan melewati tempat mie ayam ini. Jadi, yah disinilah saya makan mie ayam dengan santai menunggu bus Borobudur berangkat. Oh ya, harga mie ayamnya Rp. 5.000.
Friday, July 23, 2010
Trans Yogya Yang Sangat Membantu
Salah satu yang membuat saya penasaran sekali akan Yogyakarta selepas tahun 2008 adalah Trans Yogya. Kali pertama saya ke Yogyakarta pada 2007, Trans Yogya ini belum ada. Kalau saya nggak salah ingat, sekitar 2008, Trans Yogya ini baru diresmikan. Trans Yogya adalah sarana angkutan massal berbasiskan bus dengan trayek yang sudah ditentukan dan pemberhentiannya tidak bisa dilakukan di sembarang tempat, harus di halte yang telah ditentukan. Demikian pula ketika kita ingin menaiki Trans Yogya ini, harus pada tempat yang telah disediakan. Rapih dan teratur yach jadinya. Nah, Yogyakarta bukanlah kota yang pertama kali menerapkan sistem sejenis Trans Yogya di Indonesia. Jakarta adalah kota pertama yang menerapkan sistem ini. Dalam perkembangannya, beberapa kota di Indonesia seperti Semarang dan Pekanbaru juga turut menerapkan sistem ini. Sistem ini secara generik dikenal dengan nama Bus Way. Pembangunan Bus Way itu sendiri juga melihat karakteristik dari setiap kota tersebut. Sistem Bus Way suatu kota belum tentu cocok diterapkan untuk kota yang lain. Untuk Yogyakarta, saya bisa mengatakan Trans Yogya, berhasil.
Ada sejumlah perbedaan signifikan antara Trans Yogya dan Trans Jakarta yang sangat saya rasakan. Perbedaan pertama tentunya dari bus yang digunakan. Jalanan di Yogyakarta kebanyakan tidak terlalu lebar. Alhasil, penggunaan bus harus seefisien mungkin memakan badan jalan. Maka dari itu, dipilihnya bus berukuran sedang sebagai Bus Way-nya Yogyakarta. Halte yang tersedia pun sederhana dan jauh dari kesan rumit. Jalur antrian masuk untuk setiap halte tidak terlalu panjang. Tidak ada jalur bertingkat dan berputar-putar dari jembatan penyebrangan ke halte. Dari trotoar, hanya muncul tangga untuk masuk ke dalam halte. Sesederhana itu saja. Mungkin juga ini disebabkan oleh penduduk Yogyakarta yang tidak terlalu banyak sehingga kerumunan di dalam halte hampir tidak pernah ada. Hal unik lain yang juga sangat saya perhatikan adalah adanya pramuniaga wanita maupun laki-laki yang mengikuti setiap bus yang berkeliling. Alih-alih suara elektronik dan papan LED yang menjelaskan posisi pemberhentian halte setiap bus, pramuniaga yang berpakaian batik ini selalu menyuarakan halte yang dikunjungi dan jalur perpindahan bus. Buat saya, ini jauh lebih manusiawi dibanding Trans-Jakarta yang terkadang membuat bingung. Di Yogyakarta, para pramuniaganya tersebut mampu menjelaskan dengan detail dan tetap ramah, akan Kota Yogyakarta, jalur yang akan ditempuh oleh Trans Yogya, titik-titik transfer, hingga cara menuju ke objek wisata di seputaran Yogyakarta. Salut besar untuk mereka. Satu lagi, walaupun dengan segala perbedaan yang ada, namun bus yang digunakan tetap ber AC dan nyaman. Saya sampai ketiduran sesekali. Untuk harga Rp. 3.000 sepuasnya, layanan ini luar biasa!
Sejauh ini, trayek Trans Yogya ada 6 buah. Trayek 1A dan 1B yang berasal dari Terminal Prambanan, 2A dan 2B yang berasal dari Terminal Jombor, dan trayek 3A dan 3B yang berasal dari Terminal Giwangan. Untuk 6 rute saja, Trans Yogya telah berhasil menjangkau hampir semua kawasan yang umum dikunjungi turis maupun mahasiswa. Rute-rute standard pariwisata di Yogyakarta seperti Malioboro, Jalan Solo, Keraton Yogyakarta, Puri Pakualaman, hingga Terminal Condong Catur, Terminal Umbulharjo, Terminal Giwangan, Terminal Jombor, Terminal Terban, dan Terminal Prambanan sudah terliput semuanya. Saya mengalami betapa menyenangkannya menaiki Trans Yogya ini. Mbak maupun Mas Pramuniaga yang mendampingi setiap bus penuh semangat dan sangat informatif serta mau membantu. Ketika saya bertanya akan Terminal Umbulharjo, alih-alih menjawab, si mbak malah bertanya tujuan perjalanan saya. Ketika saya mengatakan Borobudur, ia tidak menyarankan saya untuk turun di Umbulharjo. Ia malah menyarankan saya untuk turun di Novotel Yogyakarta dan berganti bus yang akan membawa saya ke Terminal Jombor. Dari Jombor, memang sudah tidak ada lagi Trans Yogya yang akan menuju Magelang. Namun, dari Jombor tersedia bus yang akan berangkat menuju Magelang, Mungkid, Muntilan, dan Borobudur. Sekilas, kalau anda melihat rute perjalanan Trans Yogya ini memang agak sedikit muter-muter. Untuk anda yang terburu-buru memang sebaiknya menyewa taksi saja yang banyak ditemukan di jalanan Yogyakarta. Trans Yogya tidak cocok untuk turis yang terburu-buru, misalnya ke Bandara untuk pulang ke kota asal. Trans Yogya sangat cocok untuk turis yang ingin berkeliling Yogyakarta dengan murah dan santai tanpa berburu-buru. Sebagai gambaran, untuk jarak 17 KM dari Prambanan sampai Novotel Yogyakarta, waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 40 menit. Artinya, kecepatan rata-rata Trans Yogya di jalan yang cukup lurus dan tiada hambatan berkisar 25 KM/jam. Tentu, ini dibarengi pula dengan berhentinya Trans Yogya di sejumlah halte, baik berhenti biasa ataupun menaikkan dan menurunkan penumpang. Jadi, Selamat Datang Di Yogyakarta!
Ada sejumlah perbedaan signifikan antara Trans Yogya dan Trans Jakarta yang sangat saya rasakan. Perbedaan pertama tentunya dari bus yang digunakan. Jalanan di Yogyakarta kebanyakan tidak terlalu lebar. Alhasil, penggunaan bus harus seefisien mungkin memakan badan jalan. Maka dari itu, dipilihnya bus berukuran sedang sebagai Bus Way-nya Yogyakarta. Halte yang tersedia pun sederhana dan jauh dari kesan rumit. Jalur antrian masuk untuk setiap halte tidak terlalu panjang. Tidak ada jalur bertingkat dan berputar-putar dari jembatan penyebrangan ke halte. Dari trotoar, hanya muncul tangga untuk masuk ke dalam halte. Sesederhana itu saja. Mungkin juga ini disebabkan oleh penduduk Yogyakarta yang tidak terlalu banyak sehingga kerumunan di dalam halte hampir tidak pernah ada. Hal unik lain yang juga sangat saya perhatikan adalah adanya pramuniaga wanita maupun laki-laki yang mengikuti setiap bus yang berkeliling. Alih-alih suara elektronik dan papan LED yang menjelaskan posisi pemberhentian halte setiap bus, pramuniaga yang berpakaian batik ini selalu menyuarakan halte yang dikunjungi dan jalur perpindahan bus. Buat saya, ini jauh lebih manusiawi dibanding Trans-Jakarta yang terkadang membuat bingung. Di Yogyakarta, para pramuniaganya tersebut mampu menjelaskan dengan detail dan tetap ramah, akan Kota Yogyakarta, jalur yang akan ditempuh oleh Trans Yogya, titik-titik transfer, hingga cara menuju ke objek wisata di seputaran Yogyakarta. Salut besar untuk mereka. Satu lagi, walaupun dengan segala perbedaan yang ada, namun bus yang digunakan tetap ber AC dan nyaman. Saya sampai ketiduran sesekali. Untuk harga Rp. 3.000 sepuasnya, layanan ini luar biasa!
Sejauh ini, trayek Trans Yogya ada 6 buah. Trayek 1A dan 1B yang berasal dari Terminal Prambanan, 2A dan 2B yang berasal dari Terminal Jombor, dan trayek 3A dan 3B yang berasal dari Terminal Giwangan. Untuk 6 rute saja, Trans Yogya telah berhasil menjangkau hampir semua kawasan yang umum dikunjungi turis maupun mahasiswa. Rute-rute standard pariwisata di Yogyakarta seperti Malioboro, Jalan Solo, Keraton Yogyakarta, Puri Pakualaman, hingga Terminal Condong Catur, Terminal Umbulharjo, Terminal Giwangan, Terminal Jombor, Terminal Terban, dan Terminal Prambanan sudah terliput semuanya. Saya mengalami betapa menyenangkannya menaiki Trans Yogya ini. Mbak maupun Mas Pramuniaga yang mendampingi setiap bus penuh semangat dan sangat informatif serta mau membantu. Ketika saya bertanya akan Terminal Umbulharjo, alih-alih menjawab, si mbak malah bertanya tujuan perjalanan saya. Ketika saya mengatakan Borobudur, ia tidak menyarankan saya untuk turun di Umbulharjo. Ia malah menyarankan saya untuk turun di Novotel Yogyakarta dan berganti bus yang akan membawa saya ke Terminal Jombor. Dari Jombor, memang sudah tidak ada lagi Trans Yogya yang akan menuju Magelang. Namun, dari Jombor tersedia bus yang akan berangkat menuju Magelang, Mungkid, Muntilan, dan Borobudur. Sekilas, kalau anda melihat rute perjalanan Trans Yogya ini memang agak sedikit muter-muter. Untuk anda yang terburu-buru memang sebaiknya menyewa taksi saja yang banyak ditemukan di jalanan Yogyakarta. Trans Yogya tidak cocok untuk turis yang terburu-buru, misalnya ke Bandara untuk pulang ke kota asal. Trans Yogya sangat cocok untuk turis yang ingin berkeliling Yogyakarta dengan murah dan santai tanpa berburu-buru. Sebagai gambaran, untuk jarak 17 KM dari Prambanan sampai Novotel Yogyakarta, waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 40 menit. Artinya, kecepatan rata-rata Trans Yogya di jalan yang cukup lurus dan tiada hambatan berkisar 25 KM/jam. Tentu, ini dibarengi pula dengan berhentinya Trans Yogya di sejumlah halte, baik berhenti biasa ataupun menaikkan dan menurunkan penumpang. Jadi, Selamat Datang Di Yogyakarta!
Souvenir Khas Pasar Prambanan (Dan Yogyakarta)
Nah, seperti yang tadi sudah saya bilang saat kunjungan kedatangan anda di Kompleks Prambanan, Anda jangan masuk lorong pasar tempat souvenir berada. Lewatkan saja pasar tersebut dan langsung masuk candi saja. Pasalnya, anda nanti akan keluar dan dengan sangat terpaksa dialihkan ke dalam lorong pasar ini juga. Ya, pintu keluar kompleks Candi Prambanan langsung terhubung dengan jalanan menuju pasar oleh-oleh ini. Tidak ada jalan keluar lain. Jadi, anda harus melihat-lihat donk?Ya wes, ora opo-opo toh ya. Cuci mata, kalau perlu, tumbas oleh-oleh. Hehehe...
Pasar oleh-oleh Prambanan adalah sebuah lorong yang cukup panjang dengan penutup terpal warna warni namun didominasi biru dan oranye. Alih-alih Pasar oleh-oleh Prambanan, pasar ini lebih tepat disebut sebagai miniatur pasar oleh-oleh Yogyakarta. Kenapa? Yach, soalnya barang-barangnya nggak jauh beda dengan apa yang ditawarkan di seputaran Yogyakarta sich. Nich, sebut saja tas-tas anyaman, kalung, gelang etnik anyaman, kerajinan batok kelapa, cobek, miniatur sepeda onthel, Kapal Phinisi *loch?!*, kain batik, miniatur mobil tua dan Harley Davidson, kaus siap pakai, Loro Blonyo sepasang, dan seperangkat poci teh. Oleh-oleh yang cukup ‘Prambanan’ adalah miniatur Candi Prambanan, kaus dengan tulisan ‘Prambanan’ dan miniatur kepala Buddha Gautama, Arca Dhyani Buddha, Arca Ganesha dan sejenisnya. Saya bahkan menemukan miniatur Candi Borobudur dan aneka gelang dengan tulisan ‘Borobudur’ disini. Tampaknya, produsen oleh-oleh untuk wilayah Prambanan, Yogyakarta, dan Borobudur adalah produsen yang sama. Hehehe.
Jangan harap bisa mencari produk segar seperti sayur dan buah disini. Ini bukan pasar basah. Kalau mau mencari sayuran, anda bisa berjalan kaki ke Pasar Kalasan yang tidak jauh dari Candi Prambanan. Satu-satunya bebungaan yang ada disini adalah bebungaan plastik hasil karya para pengrajin yang dipajang di depan lapak-lapak oleh-oleh ini. Situasi saat itu cukup ramai. Maklum, hari minggu sich. Hampir semua lapak dipadati oleh banyak sekali turis yang kebanyakan turis lokal. Mereka menawar dan memilih-milih barang dagangan yang dianggap menarik. Walau demikian, saya tidak luput dari ajakan para pedagang tersebut untuk mampir dan membeli barang dagangannya. Jujur, saya sich tertarik dengan benda-benda ini. Saya tertarik sekali dengan arca, Kepala Buddha Gautama, miniatur Prambanan, miniatur Borobudur dan seperangkat poci tembikar untuk minum teh. Namun, saya nggak nekad sampai bertanya soal harganya, soalnya saya memang nggak niat membeli. Perjalanan saya masih panjang. Saya malah takut, barang-barang ini malah membebani perjalanan saya. Kalau anda menggunakan kendaraan carteran, anda nggak punya alasan untuk tidak membeli oleh-oleh ini. Belilah dan bantu para pedagang oleh-oleh di Prambanan, Yogyakarta dan Borobudur.
Pasar oleh-oleh Prambanan adalah sebuah lorong yang cukup panjang dengan penutup terpal warna warni namun didominasi biru dan oranye. Alih-alih Pasar oleh-oleh Prambanan, pasar ini lebih tepat disebut sebagai miniatur pasar oleh-oleh Yogyakarta. Kenapa? Yach, soalnya barang-barangnya nggak jauh beda dengan apa yang ditawarkan di seputaran Yogyakarta sich. Nich, sebut saja tas-tas anyaman, kalung, gelang etnik anyaman, kerajinan batok kelapa, cobek, miniatur sepeda onthel, Kapal Phinisi *loch?!*, kain batik, miniatur mobil tua dan Harley Davidson, kaus siap pakai, Loro Blonyo sepasang, dan seperangkat poci teh. Oleh-oleh yang cukup ‘Prambanan’ adalah miniatur Candi Prambanan, kaus dengan tulisan ‘Prambanan’ dan miniatur kepala Buddha Gautama, Arca Dhyani Buddha, Arca Ganesha dan sejenisnya. Saya bahkan menemukan miniatur Candi Borobudur dan aneka gelang dengan tulisan ‘Borobudur’ disini. Tampaknya, produsen oleh-oleh untuk wilayah Prambanan, Yogyakarta, dan Borobudur adalah produsen yang sama. Hehehe.
Jangan harap bisa mencari produk segar seperti sayur dan buah disini. Ini bukan pasar basah. Kalau mau mencari sayuran, anda bisa berjalan kaki ke Pasar Kalasan yang tidak jauh dari Candi Prambanan. Satu-satunya bebungaan yang ada disini adalah bebungaan plastik hasil karya para pengrajin yang dipajang di depan lapak-lapak oleh-oleh ini. Situasi saat itu cukup ramai. Maklum, hari minggu sich. Hampir semua lapak dipadati oleh banyak sekali turis yang kebanyakan turis lokal. Mereka menawar dan memilih-milih barang dagangan yang dianggap menarik. Walau demikian, saya tidak luput dari ajakan para pedagang tersebut untuk mampir dan membeli barang dagangannya. Jujur, saya sich tertarik dengan benda-benda ini. Saya tertarik sekali dengan arca, Kepala Buddha Gautama, miniatur Prambanan, miniatur Borobudur dan seperangkat poci tembikar untuk minum teh. Namun, saya nggak nekad sampai bertanya soal harganya, soalnya saya memang nggak niat membeli. Perjalanan saya masih panjang. Saya malah takut, barang-barang ini malah membebani perjalanan saya. Kalau anda menggunakan kendaraan carteran, anda nggak punya alasan untuk tidak membeli oleh-oleh ini. Belilah dan bantu para pedagang oleh-oleh di Prambanan, Yogyakarta dan Borobudur.
Ramayana Dan Jathilan Prambanan
Nggak hanya wisata sejarah saja loch yang tersaji di Kompleks Prambanan ini. Hiburan yang sarat makna kebudayaan pun hadir di tempat ini. Yang paling terkenal tentu saja Sendratari Ramayana Prambanan. Sayang, nggak ada informasi jelas berkaitan dengan sendratari ini, papan informasi hanya mencantumkan nomor telepon saja yang bisa dihubungi (0274-496408). Kalau anda menghubungi agen perjalanan di kota anda atau di seputaran Yogyakarta, biasanya sich mereka bisa mengorganisir sendratari ini. Pada papan iklan berukuran besar yang tersaji di pintu masuk Prambanan, salah satu adegan sendratari dilakukan pada malam hari, dengan latar malam berbulan purnama dan Candi Prambanan yang diterangi lampu sorot dari arah bawah. Indah
Kalau waktu anda nggak banyak, Kompleks Prambanan merupakan wadah bagi banyak komunitas lokal untuk mengembangkan karya seni tari mereka. Salah satunya adalah kesenian Jathilan (nama lain : Kuda Lumping, Kuda Kepang/Jaran Kepang atau Jaran Door). Sayang, saya hanya melihat secuplik adegan saja dari beberapa pemainnya sebelum acara ini selesai. Kesenian ini menampilkan adegan kuda lumping, lengkap dengan pawang yang membawa cambuk dan diiringi oleh alunan gamelan utuh. Usai pertunjukkan, mayoritas dari pemain yang kebanyakan laki-laki tersebut tampak bersiap-siap berdandan (polesan bedak yang sangat putih untuk muka dan garis alis yang ditarik tegas oleh eyeliner) mungkin untuk pertunjukkan berikutnya kali yach? Sayang, saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu. Borobudur menunggu saya. Kalau anda ada banyak waktu lebihan, mungkin bisa menyimak sejumlah kesenian yang banyak dihelat di beberapa tempat di sudut Prambanan ini.
Kalau waktu anda nggak banyak, Kompleks Prambanan merupakan wadah bagi banyak komunitas lokal untuk mengembangkan karya seni tari mereka. Salah satunya adalah kesenian Jathilan (nama lain : Kuda Lumping, Kuda Kepang/Jaran Kepang atau Jaran Door). Sayang, saya hanya melihat secuplik adegan saja dari beberapa pemainnya sebelum acara ini selesai. Kesenian ini menampilkan adegan kuda lumping, lengkap dengan pawang yang membawa cambuk dan diiringi oleh alunan gamelan utuh. Usai pertunjukkan, mayoritas dari pemain yang kebanyakan laki-laki tersebut tampak bersiap-siap berdandan (polesan bedak yang sangat putih untuk muka dan garis alis yang ditarik tegas oleh eyeliner) mungkin untuk pertunjukkan berikutnya kali yach? Sayang, saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu. Borobudur menunggu saya. Kalau anda ada banyak waktu lebihan, mungkin bisa menyimak sejumlah kesenian yang banyak dihelat di beberapa tempat di sudut Prambanan ini.
Wednesday, July 21, 2010
Tidak Sampai 999 Candi Di Candi Sewu
Inilah candi terujung dalam Kompleks Prambanan. Candi Sewu namanya. Untuk mencapai candi ini, anda bisa berjalan kaki sejauh 1 kilometer ke arah utara menempuh jalan yang tertata baik. Kalau anda nggak mau jalan kaki, ada koq paket kereta wisata yang mengantarkan turis bolak balik dari Prambanan ke Sewu. Turis akan didrop di Candi Sewu dan kereta akan menunggu dalam durasi kurang dari 5 menit. Bagi turis yang tidak mau ditinggal, bisa kembali menaiki kereta yang sama. Kereta akan kembali cukup sering dalam kurun waktu satu jam, sepanjang hari. Pintu masuk candi ini berada di sebelah timur. Jadi, kalau anda mencapai pintu yang dikunci di sebelah selatan candi, anda harus muter dikit yach. Bersama dengan Candi Prambanan, Candi Sewu di kompleks Candi Prambanan adalah candi yang terinformasi dengan baik, baik nilai sejarah, legenda, maupun inventaris candi, arca dan reliefnya. Informasi akan Candi Sewu bisa anda baca di papan yang tersebar di sisi kompleks candi.
Candi Sewu adalah candi Buddha, sama seperti Candi Bubrah dan Candi Lumbung. Pada beberapa referensi, Candi Sewu dipercaya sebagai sinkretisme (perpaduan harmonis) antara Agama Buddha dan Agama Hindu. Sebagai candi Buddha, Candi Sewu berumur lebih tua dibanding Candi Prambanan yang notabene Candi Hindu. Adalah Dinasti Syailendra yang pertama menguasai Kerajaan Mataram Kuno yang membangun Candi Sewu ini. Candi ini bertanggal 792 masehi atau akhir abad ke 8. Seperti yang kita ketahui, Dinasti Syailendra yang beragama Buddha akhirnya dikalahkan oleh Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu. Candi Prambanan adalah candi yang bertanggal abad 9 masehi. Candi ini dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Raja ketiga Mataram Kuno. Candi ini rencananya akan dijadikan istana kerajaan pada waktu itu. Sayang, Sang Raja meninggal sebelum pembangunan candi ini selesai. Sang Raja tidak dapat menikmati istana barunya.
Sewu dalam bahasa Jawa artinya seribu. Walau disebut Candi Sewu, jumlah candi di tempat ini tidak mencapai 1000 buah. Total candi hanya 249 buah saja. Candi Sewu terdiri atas 1 buah candi utama yang berukuran besar, 4 pasang Candi Apit, dan 240 buah Candi Perwara. Empat pasang Dwarapala tampak di tiap sisi pintu masuk halaman kedua candi ini. Sebagai candi Buddha, ciri khas yang paling menonjol adalah adanya bangunan stupa di atas atap candi ini. Bangunan utama candi memang memiliki 9 buah stupa di atapnya dengan satu buah stupa berukuran besar. Ciri khas Candi Buddha yang juga menonjol dari Candi Sewu adalah adanya sejumlah arca Dhyani Buddha di penjuru candi. Buat saya, Candi ini adalah miniatur dari Candi Borobudur, terutama dengan bentuk stupa yang berukuran besar di atas atap candi utama. Candi Sewu dinobatkan sebagai Candi Buddha terbesar setelah Candi Borobudur. Seperti Prambanan juga, Candi Sewu ini masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO nomor 642.
Berkaitan dengan Cerita Rara Jonggrang yang menjadi batu karena dikutuk oleh Bandung Bondowoso, Candi Sewu dipercaya sebagai 999 candi yang tidak lengkap tersebut. Pertanyaan memang muncul karena jumlah candi di tempat ini tidak mencapai 1000 buah walaupun namanya Candi Sewu. Kondisi candi pada saat kunjungan saya memang cukup berantakan. Candi Sewu sedang direnovasi. Candi utama tidak dapat dimasuki lantaran kerusakan cukup berat menimpanya. Di sekeliling bangunan candi terdapat banyak sekali scaffolding yang berfungsi sebagai penahan konstruksi selama renovasi. Selain Dwarapala, Candi Apit dan Candi Utama, kondisi Candi Perwara sebagian besar memang sudah berupa susunan batu di atas tanah saja. Hampir semua arca Dhyani Buddha yang saya lihat pun sudah tidak memiliki kepala lagi. Komoditas berhargakah? Atau jangan-jangan konstruksi struktur kepala Dhyani Buddha memang tidak kuat sehingga mudah sekali terlepas dari tubuh utamanya? Kalau diperhatikan lebih seksama, kondisi Candi Apit pun tidak jauh beda dengan Candi Perwara yang hancur berantakan. Candi Apit tampaknya merupakan hasil pugaran namun tidak dilakukan secara sempurna. Di Candi Apit, anda bisa melihat susunan batu yang tidak rata, berjarak, disubtitusi dengan batu lain yang tidak berelief, hingga berlumut dan tumbuh tanaman paku.
Sayang, candi yang sedemikian indah apabila utuh ini harus tampil dalam kondisi demikian. Situasi ini memaksa sejumlah pengunjung untuk tidak berlama-lama di tempat ini. Begitu mereka turun dari kereta, mereka hanya melihat-lihat sebentar dan kemudian naik kereta kembali. Candi Sewu tampak tidak menarik untuk dikunjungi lama-lama. Di sisi lain, sepinya candi ini membuat tempat ini sangat ideal untuk sepasang kekasih memadu kasih. Ketika saya masuk kompleks Candi Sewu, sepasang kekasih yang sedang mojok di beberapa sudut candi (beberapa bahkan ada yang menduduki atau memanjat bagian candi) terlihat sedikit terganggu dan bergegas pergi dari tempat tersebut. Ya maaf saja yach, candi buat saya adalah tempat yang sakral. Apa kalian nggak takut kualat kalau pacaran di tempat ini? Apalagi kondisi sekitar yang sepi dan bangunan utama candi yang sedang direnovasi sedikit banyak membuat suasana mencekam tumbuh di sekitar kompleks, walau siang hari sekalipun!
Sebagai candi tua, candi ini juga sudah sangat sering direnovasi dan dipugar berkali-kali. Dari jaman pemerintahan Hindia Belanda hingga kini, renovasi terus dilakukan. Gempa bumi besar abad ke 16 dan 27 Mei 2006 sudah tentu banyak merusak struktur bangunan candi ini. Deretan candi Perwara yang rusak parah mungkin sukar untuk dikembalikan seperti semula, namun para arkeolog, geolog dan berbagai ahli dari disiplin ilmu berjuang untuk mengembalikan bentuk fisik candi ini ke status mula. 13 abad memang waktu yang sangat panjang. Wajar sich kalau candi ini sudah tidak utuh lantaran terkena cuaca, bencana alam, tanaman dan tanah, hingga tangan-tangan manusia. Yah...saya sich berharap nantinya reruntuhan bebatuan yang terpuruk teronggok begitu saja di dasar lantai, suatu saat akan dapat berdiri tegak dan memancarkan kecantikan sempurna dari Candi Sewu yang sebenarnya. Saya yakin, anda juga berharap akan hal yang sama.
Candi Sewu adalah candi Buddha, sama seperti Candi Bubrah dan Candi Lumbung. Pada beberapa referensi, Candi Sewu dipercaya sebagai sinkretisme (perpaduan harmonis) antara Agama Buddha dan Agama Hindu. Sebagai candi Buddha, Candi Sewu berumur lebih tua dibanding Candi Prambanan yang notabene Candi Hindu. Adalah Dinasti Syailendra yang pertama menguasai Kerajaan Mataram Kuno yang membangun Candi Sewu ini. Candi ini bertanggal 792 masehi atau akhir abad ke 8. Seperti yang kita ketahui, Dinasti Syailendra yang beragama Buddha akhirnya dikalahkan oleh Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu. Candi Prambanan adalah candi yang bertanggal abad 9 masehi. Candi ini dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Raja ketiga Mataram Kuno. Candi ini rencananya akan dijadikan istana kerajaan pada waktu itu. Sayang, Sang Raja meninggal sebelum pembangunan candi ini selesai. Sang Raja tidak dapat menikmati istana barunya.
Sewu dalam bahasa Jawa artinya seribu. Walau disebut Candi Sewu, jumlah candi di tempat ini tidak mencapai 1000 buah. Total candi hanya 249 buah saja. Candi Sewu terdiri atas 1 buah candi utama yang berukuran besar, 4 pasang Candi Apit, dan 240 buah Candi Perwara. Empat pasang Dwarapala tampak di tiap sisi pintu masuk halaman kedua candi ini. Sebagai candi Buddha, ciri khas yang paling menonjol adalah adanya bangunan stupa di atas atap candi ini. Bangunan utama candi memang memiliki 9 buah stupa di atapnya dengan satu buah stupa berukuran besar. Ciri khas Candi Buddha yang juga menonjol dari Candi Sewu adalah adanya sejumlah arca Dhyani Buddha di penjuru candi. Buat saya, Candi ini adalah miniatur dari Candi Borobudur, terutama dengan bentuk stupa yang berukuran besar di atas atap candi utama. Candi Sewu dinobatkan sebagai Candi Buddha terbesar setelah Candi Borobudur. Seperti Prambanan juga, Candi Sewu ini masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO nomor 642.
Berkaitan dengan Cerita Rara Jonggrang yang menjadi batu karena dikutuk oleh Bandung Bondowoso, Candi Sewu dipercaya sebagai 999 candi yang tidak lengkap tersebut. Pertanyaan memang muncul karena jumlah candi di tempat ini tidak mencapai 1000 buah walaupun namanya Candi Sewu. Kondisi candi pada saat kunjungan saya memang cukup berantakan. Candi Sewu sedang direnovasi. Candi utama tidak dapat dimasuki lantaran kerusakan cukup berat menimpanya. Di sekeliling bangunan candi terdapat banyak sekali scaffolding yang berfungsi sebagai penahan konstruksi selama renovasi. Selain Dwarapala, Candi Apit dan Candi Utama, kondisi Candi Perwara sebagian besar memang sudah berupa susunan batu di atas tanah saja. Hampir semua arca Dhyani Buddha yang saya lihat pun sudah tidak memiliki kepala lagi. Komoditas berhargakah? Atau jangan-jangan konstruksi struktur kepala Dhyani Buddha memang tidak kuat sehingga mudah sekali terlepas dari tubuh utamanya? Kalau diperhatikan lebih seksama, kondisi Candi Apit pun tidak jauh beda dengan Candi Perwara yang hancur berantakan. Candi Apit tampaknya merupakan hasil pugaran namun tidak dilakukan secara sempurna. Di Candi Apit, anda bisa melihat susunan batu yang tidak rata, berjarak, disubtitusi dengan batu lain yang tidak berelief, hingga berlumut dan tumbuh tanaman paku.
Sebagai candi tua, candi ini juga sudah sangat sering direnovasi dan dipugar berkali-kali. Dari jaman pemerintahan Hindia Belanda hingga kini, renovasi terus dilakukan. Gempa bumi besar abad ke 16 dan 27 Mei 2006 sudah tentu banyak merusak struktur bangunan candi ini. Deretan candi Perwara yang rusak parah mungkin sukar untuk dikembalikan seperti semula, namun para arkeolog, geolog dan berbagai ahli dari disiplin ilmu berjuang untuk mengembalikan bentuk fisik candi ini ke status mula. 13 abad memang waktu yang sangat panjang. Wajar sich kalau candi ini sudah tidak utuh lantaran terkena cuaca, bencana alam, tanaman dan tanah, hingga tangan-tangan manusia. Yah...saya sich berharap nantinya reruntuhan bebatuan yang terpuruk teronggok begitu saja di dasar lantai, suatu saat akan dapat berdiri tegak dan memancarkan kecantikan sempurna dari Candi Sewu yang sebenarnya. Saya yakin, anda juga berharap akan hal yang sama.