Tuesday, August 31, 2010

Dari Mamasa Ke Tana Toraja Via Bus Discho Indah

Salah satu rute angkutan yang agak unik dan tidak populer adalah Mamasa – Tana Toraja. Biasanya, orang hanya berkunjung ke Mamasa atau Tana Toraja saja dari Makassar. Sebaliknya, dari Mamasa atau Tana Toraja, turis biasanya langsung kembali ke Makassar. Jalur Mamasa - Toraja biasanya digunakan turis yang punya waktu cukup panjang. Sebenarnya ada sich jalur langsung Mamasa – Toraja via Ponding dan Bittuang yang menembus gunung. Sayangnya, rute ini masih berupa jalanan rusak, tidak bisa dilalui oleh kendaraan umum, maksimal ojek saja di beberapa ruas. Beberapa ruas lainnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Perjalanan ini memakan waktu 2-3 hari. Hingga kini, belum ada rencana pembuatan jalan langsung dari Mamasa ke Toraja karena medan pegunungan Quarles yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung pastinya cukup menyulitkan.
Apabila anda akan menuju Tana Toraja pada keesokan harinya dengan bus terpagi (Ingat, di Mamasa tidak ada angkutan malam hari. Kemanapun itu!), anda harus memesan tiket terlebih dahulu pada malam sebelumnya. Sebenarnya, tiket menjadi sesuatu yang tidak terlalu mutlak diperlukan di Mamasa ini. Kenapa? Apabila cukup bus sepi, anda bisa saja membeli tiket keesokan paginya dan langsung berangkat, tepat sebelum bus beranjak! Masalahnya, tidak selalu dengan cara ini, anda mendapat kepastian tempat duduk atau diangkut. Misalnya, kalau tiba-tiba saja bus penuh lantaran ada rombongan orang datang mendadak atau ada suatu hal yang mengakibatnya tiket habis. Daripada nggak yakin, sebaiknya belilah tiket pada malam hari sebelum atau beberapa hari sebelum agar anda mendapat kepastian angkutan.
Beberapa agen bus berada di seputaran kota dan mudah dicapai dengan berjalan kaki. Contohnya Bus Discho Indah yang berada di bagian belakang pasar, dekat jalan lintas Mamasa - Polewali. Bus Discho Indah ini melayani rute Mamasa - Toraja, satu-satunya di Sulawesi loch. Bus ini berangkat pada pagi hari pukul 7 dan akan tiba di Toraja sekitar pukul 7 malam. Cukup panjang dan lama yah? Bus ini berangkat setiap hari dan memiliki sekitar 2-3 perhentian (makan siang di sekitar perbatasan Mamasa Polewali, makan sore, dan istirahat tambahan atau belanja oleh-oleh yang biasanya terjadi di Desa Mampu, Anggeraja, Enrekang). Discho Indah memiliki dua buah bus, satu berada di Mamasa, satu lagi di Toraja. Perjalanan antar dua kota tersebut membutuhkan waktu sekitar 10-12 jam lamanya. Sesampainya bus tersebut tiba di kota tujuan, bus tersebut akan menginap dan baru akan bersiap pergi pada keesokan harinya. Pool bus ini di Tana Toraja berada di Belakang Pasar Rantepao. Jumlah bus yang sangat sedikit, berbeda jauh dari jumlah bus Makassar – Toraja oleh banyak perusahaan otobus menunjukkan sedikitnya turis atau penduduk yang melalui jalur tidak populer ini.
Harga tiket menuju Toraja dan sebaliknya adalah Rp. 100.000 untuk bus non AC. Ketiadaan AC di bus ini tidak terlalu bermasalah lantaran Mamasa dan Toraja adalah wilayah pegunungan yang berhawa dingin. Anda hanya cukup kipas-kipas kepanasan di Polewali dan Pinrang. Agen tiket Bus Discho Indah ini tutup pada pukul 8 malam dan buka cukup pagi yakni pukul 6. Bus ini akan melalui rute Mamasa – Polewali – Pinrang – Enrekang – Toraja, tidak melalui Pare-Pare, tidak melalui Sidenreng Rappang. Angkutan Discho Indah ini hanya satu-satunya yang melayani rute Mamasa – Toraja dan kebalikannya. Angkutan ini hanya ada pada pukul 7 pagi, selambat-lambatnya pukul setengah delapan. Untuk anda yang tidak bisa berangkat pada waktu sepagi itu, masih ada pilihan lain untuk menuju Tana Toraja atau Makassar koq, yakni dengan kijang yang banyak berada di pertigaan Pasar Mamasa. Kekurangannya, kijang hanya sampai Polewali saja. Untuk anda yang mau melanjutkan ke Tana Toraja, anda harus berganti kendaraan dari Polewali menuju Pinrang kemudian lanjut ke Pare-Pare atau Rappang. Dari Rappang atau Pare-Pare, anda bisa memilih banyak angkutan yang menuju Tana Toraja. Mudah, bukan?

Mie Titi Makassar Dan Jus Tamarilla Di Mamasa

Urusan makan malam di Kota Mamasa ternyata tidak terlalu sulit. Sedikit berbeda dengan makan siang di Lembah Mamasa, ternyata mudah loch mencari rumah makan di Kota Mamasa. Ada beberapa rumah makan yang buka hingga cukup malam dan menyajikan Chinese Food, makanan khas Sulawesi dan khas Jawa namun sayangnya, tiada makanan khas Mamasa. Dari sekian banyak pilihan, saya memilih Rumah Makan Trie Jaya yang terletak sederet dengan Matana Lodge, di sebelah selatan Lapangan Kota Mamasa. Saya memilih rumah makan ini karena tampilan fisiknya yang paling meyakinkan diantara rumah makan lainnya. Hehehe. Sampai di dalam, saya dihadapkan pada deretan menu yang unik-unik dan ajaib. Anda pernah nggak denger Sunu, Katambak, dan Cepa? Akhirnya, saya memutuskan untuk bertanya satu-satu kepada mbak yang bertugas disana, menu apakah tersebut. Untung, rumah makan tersebut tidak terlalu ramai sehingga saya bisa bertanya sepuas hati. Beberapa menu yang ada terdiri atas Chinese food dan sisanya makanan Makassar. Akhirnya, saya mencoba Mie Titi, mie yang digoreng kering dengan siraman kuah kental yang menyelimuti mienya. Melihat modelnya, saya teringat akan Ifumie yang terkenal di Binjai. Perbedaannya, Mie Titi ini berasal dari Makassar dan menggunakan mie yang berukuran agak kecil. Mie Titi ini disajikan bersama dengan jeruk nipis yang akan membuat keseluruhan cita rasanya menjadi agak masam. Apabila anda tidak begitu suka asam, sebaiknya hanya menggunakan sedikit perasan jeruk atau tidak sama sekali. Cukup aneh apabila gurih dan asin dicampur dengan asam dari jeruk nipis. Mie Titi ini sangat saya rekomendasikan namun ya itu, jangan pakai jeruk nipis kecuali anda mencintai makanan yang agak masam. Untuk pelengkap makan malam, saya memesan Jus Tamarilla atau yang lebih dikenal sebagai jus Terung Belanda yang juga terkenal di Mamasa. Makanan di tempat ini nggak terlalu mahal, berkisar sekitar Rp. 7.000 – Rp. 18.000 dan untuk aneka jus dihargai sekitar Rp. 5.000.

Monday, August 30, 2010

Kota Mamasa - Kole, Malam Hari, Dengan Berjalan Kaki

Saya menghabiskan sore itu dengan berkeliling Kota Mamasa untuk menemukan foto-foto kota yang menarik. Saya mendaki bukit kecil di tepi kota untuk memfoto gereja tua, pergi ke tengah jembatan baru berbentuk busur, kegiatan pemuda yang sedang bermain bola sore hari di lapangan kota, bebungaan yang tumbuh di sekitar Mamasa, dan sekelompok anak pramuka yang sedang latihan menari dengan kostum adat Mamasa. Ketika sore hari telah tiba (sekitar pukul setengah 6), saya mulai berjalan kaki menuju Kole. Untung masih ada sinar matahari yang mulai terbenam sehingga saya masih ditemani oleh cahaya, yang berguna untuk menghindarkan kaki dari benaman lumpur jalanan. Pemandangan sore hari sesaat setelah matahari terbenam di Mamasa ternyata indah. Semburat warna jingga dan lembayung memenuhi langit dengan latar perbukitan dan sungai. Saya terus berjalan hingga kurang lebih 1 jam lamanya. Sebaiknya sich, usahakan untuk tidak terlalu sore juga berjalan menuju Kole agar anda tidak terperangkap malam di tengah perjalanan. Jam 5 atau maksimal setengah 6 sudah lebih dari cukup untuk memulai perjalanan. Perjalanan bisa saja akan lebih mengesalkan saat Mamasa sering dilanda hujan. Jalanan yang anda lalui akan berubah menjadi kubangan. Sepanjang perjalanan, anda akan bertemu dengan beberapa penduduk yang rumahnya berada di jalur Mamasa – Kole. Saya tiba di Kole saat sudah cukup gelap dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7. Kole sudah cukup ramai dikunjungi pengunjung. Saya mulai saja kegiatan berendam saya di salah satu kolam. Sebenarnya, menyenangkan kalau ada partner yang bisa diajak berendam sambil mengobrol. Namun, ada anjuran bahwa tidak boleh berlama-lama berendam di Kole karena alasan kadar belerang. Waktu satu jam sudah lebih dari cukup untuk menikmati rendaman air panas di Kole. Seandainya lebih dari satu jam, dikhawatirkan anda bisa keracunan belerang karena memang, terkadang hawa belerang yang menguar cukup tajam.
Nah, seusai berendam dari Kole, anda harus membasuh tubuh anda lantaran kolam digunakan oleh banyak orang. Tentu, untuk menghindari gatal-gatal, sebaiknya anda membasuh tubuh anda dan menggosok dengan sabun. Jangan kuatir, tersedia air untuk bilas koq disini. Yang disayangkan dari Kole adalah minimnya lampu penerangan, toilet yang terletak di bagian belakang kolam (menghadap Sungai Mamasa), dan tidak memiliki cahaya penerang sama sekali. Kalau nggak kebelet-kebelet amat, saya sarankan anda cari toilet lain saja dech. Jangan lupa bayar biaya Rp. 5.000 sebagai retribusi di pintu keluar. Walaupun di pengumuman yang ditempel di dinding mengisyaratkan bahwa tiket masuk deasa Rp. 6.000 dan anak-anak Rp. 5.000, namun kenyataannya penjaga pintu menerima begitu saja Rp. 5.000 yang anda berikan tanpa bertanya-tanya lebih lanjut
Ternyata, saya salah besar dengan nekad berjalan kaki menembus malam dari Kole hingga di Mamasa Kota. Saya pikir, jarak sejauh 3 KM akan dapat ditempuh dengan mudah dengan berjalan kaki. Ternyata, saya harus melalui 3 KM jalanan tanpa penerangan sama sekali, hanya sesekali melintasi rumah yang bercahaya remang-remang dengan hutan dan perbukitan di sisi selatan. Parahnya, saya nggak bisa melihat jalan sama sekali lantaran benar-benar gelap total. Saya nggak bisa membedakan mana kubangan, mana jalan mulus walaupun saya sudah mencoba menghafalnya tadi pada saat keberangkatan. Parahnya lagi, anjing-anjing yang ada di hampir setiap rumah tampaknya terangsang oleh kehadiran saya. Mereka semua menyalak, menggonggong, dan bahkan beberapa diantaranya ada yang mendekat, mengejar dan menggeram. Wuih, nggak menyenangkan dech. Kaki saya penuh lumpur, saya nggak bisa membedakan mana jalanan, mana jurang tebing, mana hutan, lalu dikejar anjing pula! Yang menyenangkan hanya satu, saking gelapnya sekeliling, saya menengadahkan pandangan saya ke atas langit dan mendapatkan taburan bintang cantik memenuhi langit di atas sana. Cantik sekali. Pemandangan seperti ini nggak akan bisa dinikmati seandainya lampu-lampu desa bercahaya terlalu terang. Untungnya, saya masih diberkati. Ada sebuah ojek yang baru saja mengantarkan seorang ibu pulang dari Mamasa ke rumahnya di dekat Buntu Buda. Beliau melihat saya berjalan sendirian dan bertanya apakah saya ingin naik ojek atau tidak. Tanpa pikir panjang lagi, saya iyakan saja tawarannya tersebut. Harga Rp. 5.000 tidak ada artinya dibanding saya tiba di Mamasa dalam kondisi kotor berlumpur, baju terkoyak digigit anjing, dan terperosok di antara bebatuan tebing. Hahaha. Lebay. Kalau lain kali anda kebetulan berkunjung ke Kole malam hari, sebaiknya pastikan anda memiliki kendaraan untuk kembali, entah sewa motor atau menghubungi salah satu ojek yang banyak terdapat di Kota Mamasa. Jangan nekad.

Sepinya Kole, Mamasa Pada Siang Hari

Usai menikmati makan siang, saya diantar oleh pak supir ojek ke tempat terakhir dalam daftar kunjungan hari itu, Kole. Dari Osango, kami beranjak kembali ke timur laut untuk menuju Kole dengan melewati Kota Mamasa. Jalan menuju Kota Mamasa kembali membaik dan beraspal mulus selepas kantor bupati dan mulai rusak lagi selepas Buntu Buda. Jalanan yang bagus di Mamasa bisa dihitung dengan jari dech. Jalanan menuju Kole becek di beberapa bagian dan merupakan hancuran jalan tanah liat. Untungnya, setelah menempuh jalanan Balla Peu dan Osango yang masuk kategori ‘luar biasa’, jalanan Kole dan Buntu Buda termasuk cukup baik di kelasnya. Untungnya pula, motor tidak begitu sukar melewatinya karena medannya datar. Hanya saja, perlu kemahiran pengendara agar tidak tergelincir di jalanan yang becek.
Tak lama, kami sampai di Kole. Ternyata, Kole sepi pada saat siang hari. Benarlah apa yang dikatakan oleh beberapa warga, bahwa Kole baru ramai pada saat hari gelap atau justru di pagi hari. Pada sore hari itu, sekitar pukul 3, Kole justru sepi. Tidak ada keramaian warga yang menikmati kolam air panas tersebut. Di siang hari, saya justru bisa melihat dengan jelas bahwa kolam gratis yang berada di depan kolam berbayar, ternyata berwarna keruh dan cenderung kotor. Air di kolam berbayar ternyata bening dan terawat. Sehubungan dengan sepinya Kole pada waktu itu, akhirnya saya memutuskan untuk pulang dan menyudahi tur saya dengan bapak ojek ini. Nggak asyik juga yah masak berendam siang-siang sendirian gitu. Lebih asyik kan kalau ada teman yach? Saya akan kembali ke Kole pada malam nanti. Harusnya jarak 3 kilometer bisa ditempuh dengan mudah dengan berjalan kaki. Maklum, tidak ada angkot yang bisa mengantarkan saya ke Kole selain ojek. Pilihan jalan kaki juga cukup menarik untuk dijabani mengingat sore hari di Mamasa pastinya menawarkan pemandangan yang indah.

Akhirnya, Makan Siang Juga Di Lembah Mamasa

Oke, akhirnya kami kembali ke jalur Rante Soppang-Kota Mamasa. Tenang, walaupun dengan segudang nama yang saya sebutkan sebelumnya, rute Mamasa tergolong mudah. Hanya ada satu jalan raya besar yang menghubungkan Polewali dengan Mamasa. Hampir semua desa atau objek wisata terletak di jalan raya utama, atau percabangannya saja. Setelah puas berbelanja (sebenarnya, hanya membeli satu buah sambu saja sich..hihi...lebih banyak ngobrolnya!), akhirnya kami beranjak. Untungnya, urusan mengisi perut tak lupa dijabani. Setelah menahan lapar lantaran bertemu ibu pembuat Sambu dan penjual souvenir, akhirnya kami mengisi perut juga di salah satu rumah makan di dekat Mesa Kada. Mesa Kada sendiri adalah lokasi pemandian air panas namun pamornya sudah kalah dibandingkan Kole. Walaupun dibuka untuk umum, namun kata pak supir ojek yang saya tumpangi, Mesa Kada agak kurang terawat dibandingkan dengan Kole. Tentu, ini berkaitan dengan tidak dipungutnya retribusi pengunjung pada saat memasuki Mesa Kada alias gratis! Saya penasaran tapi waktu terbatas, gimana donk? Jadinya nggak jadi melihat Mesa Kada ini dech. Di dekat Mesa Kada sendiri terdapat sebuah bukit yang bernama Buntu Kasisi. Di Buntu Kasisi ini, pengunjung dapat menyaksikan sejumlah penenun Sambu bekerja dalam tim. Sayang, saya nggak menyambangi kedua tempat ini lantaran hari sudah cukup sore.
Target lokasi terakhir untuk hari ini adalah Kole. Namun sebelum itu, kami perlu mengisi energi dulu donk untuk melanjutkan perjalanan hari ini. Ya, urusan mengisi perut memang merupakan tantangan tersendiri di Mamasa ini. Berhubung wisatawan tidak terlalu banyak dan rumah tangga biasa memproduksi sendiri makanan hariannya, maka rumah makan umum memang sukar sekali ditemui di desa-desa di sekeliling Mamasa, bahkan di tempat wisatanya sekalipun! Susah bener dech! Rumah makan paling mudah ditemui di Kota Mamasa. Rumah makan yang saya datangi tersebut juga sepi, tidak banyak pengunjung mendatanginya. Rumah makan atau warung makan ini bernama Warung Makan Satu Tujuh, terletak di Rante-Rante, Desa Osango. Hmm....Rante ini mungkin sejenis nama tempat barangkali yach? Soalnya saya jadi inget nama-nama Rantepao, Bulu Rante Kombola, Marante, dan sebagainya.
Jangan heran, nggak ada menu makanan Mamasa di tempat ini. menu yang dijual di warung makan ini adalah menu yang biasa kita kenal seperti nasi goreng, mi goreng, nasi campur, ayam goreng, ikan goreng dan sejenisnya. Hahaha. Sayang sekali yach? Ya, daripada nggak makan, akhirnya nasi campur menarik juga untuk dicoba sich. Bolehlah dicoba, bagaimana sich rasanya nasi campur ala Mamasa itu. Dalam sepiring nasi campur, ada satu tangkup nasi, tempe oseng-oseng masak kecap, potongan wortel dan buncis, sepotong ayam goreng dan sebutir telur rebus utuh. Kelihatannya sich sedikit, tapi pas dimakan, wow...nggak habis-habis rasanya. Hehehe. Untuk sepiring nasi campur Mamasa yang cukup enak tersebut, saya hanya perlu membayar Rp. 15.000 saja. Ditambah dengan jus wortel asli plus susu kental manis seharga Rp. 5.000, puas deh acara mengisi perut pada siang itu. Karena memang nggak terbiasa menerima pengunjung, mereka memang butuh waktu untuk mempersiapkan makanan tersebut. Tapi jangan kuatir, semua bahan yang dipergunakan benar-benar segar dan baru dipotong/digoreng begitu anda memesan. Nggak ada bahan makanan jadi yang digunakan untuk nasi campur ini. Yum! Harga menu-menu makanan lainnya juga murah koq, wajar lah. Hehehe. Selepas sepiring nasi campur meluncur lepas menuju lambung kami, segeralah kami beranjak menuju Kole, pemandian air panas yang terletak di timur laut Kota Mamasa.

Saturday, August 28, 2010

Souvenir Mamasa Yang Kaya Warna Di Rante Sepang

Seusai melihat proses pembuatan Sambu, saya segera berterima kasih kepada sang ibu dan memohon diri. Di luar kios sang ibu penenun, ramai berkumpul warga yang ingin melihat saya sedang meliput proses pembuatan Sambu alih-alih melihat sang ibu membuat Sambu. Wow! Udah serasa artis dech. Proses pembuatan Sambu tampaknya sudah menjadi hal biasa untuk mereka. Mungkin melihat orang meliput jauh lebih menarik daripada melihat pembuatan Sambu kali yach? Hehehe...
Sambil kembali berjalan menuju Kota Mamasa, dan dalam pencarian rumah makan, kami berhenti lagi di sebuah desa yang khusus menjual souvenir khas Mamasa. Di tempat ini ada sejumlah toko penjual souvenir khas Mamasa mulai dari Sambu, kalung, cincin, gelang, ikat kepala, miniatur Banua Sura, baju pengantin, dan gantungan kunci. Nama tempat ini adalah Rante Sepang. Uniknya dan nggak seperti lokasi wisata di tempat lain, anda nggak akan bisa menemukan aneka kerajinan tangan khas Mamasa selain berada di Rante Sepang ini. Hanya di Rante Sepang lah anda baru bisa membeli souvenir khas Mamasa, berhubung objek-objek wisata lainnya di Mamasa belum terlalu siap dalam urusan souvenir.
Mulailah menjelajah salah satu toko karena umumnya tiap toko memiliki rentang harga yang sama dan berasal dari paguyuban penenun maupun pengrajin yang sama. Toko souvenir mudah dikenali dari penampilan toko yang unik dan bermodel Banua serta berukir khas Mamasa. Toko biasanya memajang sebuah etalase penuh berisikan Sambu. Rak-rak lain dipadati oleh aneka macam pernak pernik mulai dari gelang hingga gantungan kunci, kalung kuku babi hingga pakaian pesta.
Seorang ibu yang baik hati dan ramah menyambut kami. Situasi tokonya walaupun rapih tampak agak berdebu dan sedikit bersarang laba-laba. Hmm..jelas, kunjungan turis bukanlah sesuatu yang sering terjadi disini. Walaupun agak berdebu, tapi saya menyukai barang-barang yang dipajang disini. Sedikit menyerupai produk Tana Toraja, namun produk Mamasa memiliki ciri unik tersendiri. Beberapa sumber bahkan mengatakan beberapa Sambu Mamasa dibawa ke Toraja. Entah benar atau tidak, namanya juga ‘katanya’. Hehehe. Saya menyukai produk jas dengan corak Sambu, aneka jenis Sambu, hiasan gantung yang biasa digunakan pada saat pernikahan dan aneka macam aksesori pakaian. Memang, ada rupa ada harga. Harga produk-produk ini tidak semuanya ramah bagi kantong backpacker. Hal ini sangat wajar mengingat proses pembuatannya yang sangat sulit dan memakan waktu sehingga harga beberapa produk ini cukup tinggi, hingga ratusan ribu. Untuk yang mencari kualitas, wajib banget membeli souvenir-souvenir ini. Semua souvenir ini buatan tangan dan dikerjakan dengan tulus, terutama Sambu-nya. Namun, bagi yang koceknya terbatas, ada beberapa pilihan souvenir yang cukup murah seperti gelang, gantungan kunci dan beberapa buah Sambu kecil yang bisa digunakan menjadi syal atau taplak. Ibu ini mengklaim bahwa harga yang ia tawarkan sudah cukup murah karena langsung dari pengrajinnya sendiri. Ibu ini sendiri yang mengelola beberapa pengrajin di beberapa tempat di Mamasa. Ibu ini juga sudah sering dan rajin melakukan pameran di berbagai tempat demi mempromosikan kerajinan tangan baik tenun maupun ukiran Mamasa. Bravo, ibu! Teruskan terus perjuanganmu mengangkat nama Mamasa! Kami salut!
Nggak hanya itu loch, ibu yang selalu tersenyum gembira ini mengajak saya ke ruangan belakang untuk memperlihatkan sejumlah barang yang tidak dijual namun merupakan koleksi sang ibu. Satu benda yang paling membuat saya tertarik ialah miniatur Banua Sura yang dibuat dengan sangat manis, rapih dan unik. Miniatur Banua Sura ini sudah sering sekali diikut sertakan dalam pameran-pameran kerajinan tangan dan seni Mamasa. Sayang, pada pameran terakhir, Banua Sura yang dirawat dengan hati-hati tersebut patah pada tiang utamanya. Alhasil, bagian depan Banua Sura tidak bisa berdiri tegak. Ditambah lagi dengan debu tebal yang menyelimuti, semakin sirnalah keindahan miniatur Banua Sura tersebut. Sangat disayangkan, mengingat bahwa pembuat miniatur tersebut tidak terlalu banyak di Mamasa ini. Oleh karena merupakan barang koleksi, maka barang-barang di bagian gudang belakang ini pun tidak dijual walau dalam kondisi berdebu tebal atau rusak sekalipun.

Friday, August 27, 2010

Melihat Dari Dekat Proses Pembuatan Sambu Di Balla Timur, Mamasa

Akhirnya, saya kembali ke jalan negara dan kembali ke ruas Balla - Mamasa. Sebenarnya, ini waktunya saya dan pak supir ojek mencari makan. Tapi apa daya, menemukan rumah makan di poros jalan ini sangat susah. Motor kami hampir tidak berhenti sama sekali di ruas ini lantaran tidak menemukan sama sekali rumah makan yang buka dan menjual makanan. Di satu sisi, wilayah sekitar yang merupakan hutan dan pegunungan memang tidak memungkinkan untuk berdirinya rumah makan berdiri di sana-sini. Terlebih, dengan jarangnya turis yang berkunjung dan rata-rata rumah tangga memproduksi makanan sendiri, maka rumah makan umum memang sesuatu yang agak janggal ditemukan. Dalam pencarian rumah makan, motor bapak supir ojek berhenti di sekitar Desa Balla Timur. Ternyata, ia menangkap satu sosok ibu sedang membuat Sambu, sarung khas Mamasa yang ditenun secara manual. Ia mengajak saya untuk masuk ke dalam toko dan meminta ijin sang ibu untuk melihat proses pembuatan Sambu.

Di sebuah warung yang berjualan sabun, sampo dan keperluan sehari-hari di Desa Balla Timur, saya bertemu ibu ini. Ibu ini sedang asyik menenun Sambu, sarung khas Mamasa dengan cara tradisional. Peralatannya pun cukup sederhana dan tidak menggunakan mesin, hanya sejumlah kayu dan bambu saja. Sebenarnya, bayangan saya akan tenunan Sambu tidak seperti ini. Saya membayangkan Sambu ditenun beramai-ramai dengan mesin yang besar. Ternyata, Sambu umumnya ditenun dengan peralatan sederhana seperti ini dan bisa dilakukan seorang diri. Yang membuat saya agak terkejut, benang untuk Sambu bukanlah benang tradisional hasil produksi sendiri namun justru benang pabrikan yang sudah tersedia di dalam kotak-kotak. Kata sang ibu, sudah hampir tidak ada lagi penenun Sambu yang menggunakan benang asli alam. Kebanyakan, benang tenunan untuk Sambu menggunakan benang pabrik yang mudah didapat dan ternyata cukup murah harganya. Ia menambahkan, benang alami buatan sendiri membutuhkan waktu lebih lama dan harga yang lebih mahal. Ia tidak akan mampu menjual Sambu yang terlalu mahal lantaran bahan bakunya sudah mahal.
Hasil tenunan Sambu sang ibu ternyata sudah cukup panjang dan diikatkan ke langit-langit rumah. Ibu menenun Sambu dalam rentang pendek, selebar bambu dan kayu yang digunakan -kira-kira serentangan lengan ke lengan-. Hasil tenunan Sambu yang sangat panjang tersebut nantinya akan dipotong-potong dan kemudian dijahit hingga membentuk sarung yang panjang. Nah, saya penasaran nich disini. Saya bertanya kepada ibu penenun tersebut, mengapa tidak menenun Sambu yang lebar saja alih-alih panjang, jadi hasil tenunan tidak perlu disambung lagi. Pertanyaan saya disambut oleh derai tawa masyarakat lokal yang menonton saya, alih-alih menyaksikan sang ibu menenun. Sang ibu pun menjawab sambil tertawa tersipu-sipu. Ia menjawab, “tidak mungkin membuat Sambu yang lebar karena alat yang tersedia tidak panjang”. Selain itu, ia juga akan kerepotan kalau alatnya panjang. Alat yang berukuran pendek memudahkan ia menenun Sambu secara cepat. Hehehe.
Sambu dipercaya bisa mengusir hawa dingin pegunungan di Mamasa dan banyak digunakan dalam acara adat di Mamasa. Sambu, sebagai kain adat memiliki ketentuannya sendiri, misalnya putih yang disebut Sambu Bembe adalah jenis Sambu tertinggi dalam kasta Orang Mamasa. Warna lainnya banyak dipakai dalam masyarakat pada umumnya. Pada jaman dahulu, warna putih umum digunakan pada kalangan bangsawan saja. Namun, pada masa kini pembauran warna sudah terjadi. Warna putih maupun warna lainnya banyak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat di Mamasa. Hasil tenunan Sambu umumnya bermotif sama, dengan warna dominan berada di pinggir dan corak berada di tengah. Misalnya pada saat saya mengunjungi sang ibu penenun, ia menenun Sambu warna merah yang umum ditemukan dan dipakai di Mamasa. Ia juga menunjukkan salah satu Sambu lainnya yang sudah berhasil diselesaikan. Sambu itu berwarna ungu.Proses penenunan Sambu bisa berlangsung selama satu bulan apabila dikerjakan dengan santai dan di kala senggang. Namun, apabila dikebut dan tidak menjalankan tugas lain, satu sarung Sambu bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu saja. Untuk satu buah sarung Sambu utuh, harga jualnya berkisar antara Rp. 150.000 hingga Rp. 400.000. Postur tubuh si ibu pun harus benar-benar terjaga dalam posisi huruf L dengan kaki menekan sebuah balok penahan Sambu. Cukup meletihkan melihat sang ibu membuat sebuah Sambu. Sayang, saya nggak mencoba untuk membuatnya karena sang ibu juga sedang sibuk tak bisa saya ganggu. Kalau ada waktu panjang, kayaknya seru juga yach belajar membuat Sambu. Bagi yang mau liat proses pembuatan Sambu beramai-ramai, anda bisa mencarinya di Buntu Kasisi, dekat dengan perbatasan Mamasa Kota. Di tempat ini katanya ada sejumlah ibu-ibu yang menenun secara tradisional. Sayang, saya nggak mencapai tempat ini lantaran keterbatasan waktu.

Thursday, August 26, 2010

Goa Maria Balla Mamasa Yang Belum Rampung

Ada satu buah objek wisata tambahan yang terletak dekat dengan Desa Balla Peu. Wilayah ini masih berada di Kecamatan Balla. Saya mengunjungi desa ini sekeluarnya saya dari Tedong-Tedong menuju jalan negara yang masih terletak di Kecamatan Balla. Nama tempat ini adalah Katolik. Saya nggak tahu dech nama resminya Katolik atau bukan, namun supir ojek dan penduduk setempat menamakan tempat ini Katolik. Nama ini mungkin menjadi khas lantaran penduduk Mamasa secara garis besar menganut agama Kristen Protestan. Kekhasan tempat ini adalah adanya tempat ziarah umat Katolik berupa Gua Maria. Lokasinya tidak terlalu jauh dari jalan negara, cukup mudah untuk dicapai.
Gua Maria umumnya adalah bangunan gua dengan Patung Bunda Maria di dalamnya. Umumnya, Umat Katolik berziarah ke gua ini untuk memanjatkan doa dan melakukan jalan salib. Gua Maria ada banyak sekali di dunia ini. Yang terkenal salah satunya di Lourdes, Perancis. Untuk skala lokal, ada Gua Maria Sendang Sono di Magelang dan Gua Maria Puh Sarang di Kediri. Gua Maria di Balla ini tampak baru saja dibangun dan belum terlalu siap dalam hal prasarana akses jalan. Di bagian paling bawah Katolik ini terdapat sejumlah asrama yang katanya digunakan oleh para biarawan dan biarawati. Nah, lokasi Gua Maria dan jalan salibnya berada di atas asrama-asrama tersebut. Sayang, akses jalan menuju Gua Maria Balla luar biasa parah. Apabila sebelumnya saya mengatakan akses jalan menuju Desa Balla Peu sudah sangat buruk, maka jalanan menuju Gua Maria Balla lebih buruk lagi. Kalau jalanan menuju Desa Balla Peu adalah tanah liat berbatu-batu, maka jalan akses menuju Gua Maria Balla adalah tanah liat berpasir yang amblas di beberapa bagian. Jelas, motor pun tidak bisa melewati area ini sama sekali. Saya saja kesulitan untuk melaluinya walau dengan berjalan kaki sekalipun. Kombinasi pasir dan tanah liat yang becek benar-benar menyusahkan. Saya kerap tergelincir dan kaki terbenam saat melintasi jalan ini. Sebenarnya saya tidak terlalu yakin untuk mendaki jalan menuju Gua Maria ini, tetapi saya mencoba. Sesampainya di objek pertama, Gua Keluarga Kudus, saya menyerah. Selepas gua pertama yang masih terletak di lereng, ada lubang besar yang tidak mungkin dilalui sama sekali. Saya menyerah. Saya tidak mau melanjutkan perjalanan menuju Gua Maria Balla yang sesungguhnya dan rute jalan salib yang ada di atas tebing. Hujan deras semalam telah banyak membuat kondisi jalan berubah. Akhirnya saya hanya melihat Gua Keluarga Kudus yang berada di bagian bawah saja. Gua ini terdiri atas patung Joseph, Maria dan Yesus kanak-kanak dalam satu buah gua. Tidak ada feature lain sama sekali.
Setelah berfoto-foto, saya menyudahi kunjungan saya di tempat ini. Kekurangan Gua Maria Balla adalah tidak adanya petunjuk jalan sama sekali atau keterangan yang menunjukkan adanya tempat ini. Kami harus bertanya beberapa kali kepada warga setempat dimana persisnya Gua Maria Balla ini. Untungnya, beberapa penduduk di Desa Balla Barat mengetahui lokasi pastinya Gua Maria ini. Walaupun belum selesai dibangun, mudah-mudahan beberapa bulan lagi atau pada saat anda mengunjunginya, Gua Maria Balla ini sudah selesai dirapihkan dan menjadi objek wisata yang sudah memadai fasilitasnya bagi para wisatawan.

Tedong-Tedong Sariayo Yang Berusia Ratusan Tahun

Ya, kembali saya melalui rute yang membuat alas duduk saya menjadi mati rasa. Tapi entah kenapa, selalu, perjalanan pulang terasa lebih singkat dibanding perjalanan pergi. Mungkin karena kita sudah bisa memprediksi waktu tempuh dan jarak sehingga perjalanan terasa lebih singkat kali yach? Beda dengan saat kedatangan ketika saya nggak bisa memprediksi jarak tempuh dan dimana persisnya lokasi desa ini berada. Pada saat pulang, saya sudah bisa memprediksi kurang lebihnya jarak perjalanan saya. Ya, saya kembali menempuh jalur Desa Balla Peu – Kecamatan Balla Barat yang kondisi jalannya hancur-hancuran. Saya kembali terpontang-panting dan terombang-ambing dalam kondisi jalan yang sedemikian. Tak lama, jalanan menurun menukik tajam dan sampailah saya di PLTMH Sariayo, lokasi pekuburan Tedong-Tedong yang mencuat di atas tebing diantara sawah-sawah. Setting pekuburan ini jelas dramatis. Terletak di tengah-tengah hutan, diantara sawah-sawah, dilatari pegunungan, dan sebuah rumah berbentuk Banua bertengger di atas sebuah bukit. Bapak penjaga kompleks Tedong-Tedong ini tidak berada di tempat namun ada di rumah di dekat kompleks ini. Bapak ojek yang saya sewa sampai harus mendatangi rumahnya untuk meminta beliau membukakan kunci.
Kurangnya kunjungan turis menjadikan bapak ini sering kembali ke rumahnya untuk beristirahat. Agak berbeda dengan objek wisata lain di Mamasa, Tedong-Tedong ini sudah cukup umum dijadikan tempat wisata (walau dengan papan petunjuk informasi seadanya dan kondisi jalan yang cukup buruk, sebenarnya). Tedong-Tedong ini memiliki pintu pagar yang dikunci, bapak penjaga, dan buku tamu. Sudah pantaslah Tedong-Tedong ini disebut sebagai objek wisata. Dalam buku tamu tersebut, saya melihat, terkadang terdapat sejumlah kunjungan wisatawan (didominasi oleh wisatawan asing dan anak sekolah) yang berkunjung ke tempat ini. Beberapa nama pejabat daerah (misalnya : Bapak Obed Nego) juga sempat mengunjungi tempat ini. Semua terlihat di buku tamu yang disediakan.
Bangunan rumah Tedong-Tedong ini mengadopsi bentuk Banua Longkarrin, bentuk Banua yang bagian dasarnya berupa alas bambu yang langsung menyentuh tanah. Hanya saja, bagian tengah kompleks Tedong-Tedong ini tidak tertutup dinding. Isi dalamnya bisa terlihat jelas. Dari gapura masuk Tedong-Tedong ini, rangkaian peti mati berbentuk tedong (kerbau) tampak jelas terlihat dijejerkan di dalam kolong Banua. Beberapa tedong berukuran sangat besar dan beberapa lainnya berukuran standard. Beberapa peti mati lainnya tidak berbentuk tedong namun gilig saja, tanpa kepala. Sekujur bagian Tedong-Tedong ini diukir dengan ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dinding Banua, hanya tidak diwarnai.

Usia Tedong-Tedong ini dipastikan sudah ratusan tahun namun tidak ada yang bisa memastikan persis usianya. Sang kakek penjaga berkata bahwa Kakek buyut sang kakek penjaga pernah mengatakan bahwa Tedong-Tedong ini sudah ada ketika kakek buyutnya masih muda. Artinya, Tedong-Tedong ini sudah ada semenjak ratusan tahun lalu. Kalau dipikir secara logis, wajar saja Tedong-Tedong ini berasal dari ratusan tahun lampau. Bahan baku pembuatan satu buah Tedong-Tedong adalah satu buah Pohon Uru yang berukuran besar (Diameter beberapa meter). Pohon Uru tersebut dibolongi dengan teknologi pada masa itu dan diisi dengan mayat-mayat manusia. Pohon ini biasanya didapatkan jauh di tengah hutan. Wajar jika ukurannya sangat besar. Masa kini, sangat sukar ditemukan Pohon Uru yang sebesar ini. Satu Tedong-Tedong sendiri biasanya diisi oleh beberapa mayat yang masih satu keluarga. Jadi, wajar sekali apabila saat kita membuka tutup Tedong-Tedong, ratusan tengkorak dan tulang belulang akan bergelimpangan di dalamnya. Saat ini, hampir tidak ada lagi masyarakat yang menguburkan mayat keluarganya dengan cara ini. Oleh karena itu, tidak tercium bau busuk atau amis di lokasi Tedong-Tedong ini lantaran tidak ada mayat baru dalam waktu dekat. Bagian atas tutup Tedong-Tedong pun sudah hancur beberapa bagiannya. Tampak sejumlah tengkorak mengintip dengan tatapan kosong dari dalam lubang yang menganga tersebut. Supir ojek yang membawa saya bahkan nekad membuka tutup Tedong-Tedong dan mengeluarkan salah satu tengkorak untuk diperlihatkan kepada saya. Entah diperbolehkan atau tidak tapi bahkan bapak penjaga mempersilahkan hal itu. Jujur saja, saya sich nggak berani sampai melakukan itu. Takut kualat! Hehehe...



Saya bahkan melihat sejumlah rokok dan daun sirih diletakkan di bagian belakang Tedong-Tedong tersebut. Hmm...kalau Tedong-Tedong ini sudah berusia ratusan tahun, mengapa masih memberikan sesajian untuk para mayat ini? Artinya, Tedong-Tedong ini masih bertuah donk? Waduh, saya nggak sempat menanyakan hal itu karena teringat akan supir ojek yang membuka-buka tutup Tedong-Tedong tersebut. Seram! Terletak di ketinggian, kompleks Tedong-Tedong ini sangat terbuka dari angin dan berbagai serangga liar. Saya banyak menemukan laba-laba unik, serangga ranting dan kaki seribu ukuran ekstra besar di tempat ini. Beberapa Tedong-Tedong juga tampak ditumbuhi jamur pada bagian pangkalnya. Jelas, secara keseluruhan, kompleks ini tidak begitu terawat. Sayang sekali. Hiasan kepala Tedong pada bagian belakang dan depan Banua tampak dililit oleh jaring laba-laba yang cukup tebal. Tidak ada objek lain yang bisa dinikmati selain deretan Tedong-Tedong dan cerita di bapak penjaga itu. Seandainya semuanya diasjikan dalam satu papan informasi yang ditempatkan di sekeliling situs, haruslah lebih menarik lagi yach? Saya segera menyudahi kunjungan di Tedong-Tedong ini lantaran sudah cukup siang. Walaupun tidak ada loket tiket, saya membayar a la kadarnya untuk bapak penjaga Tedong-Tedong, sesuai dengan amanat bapak supir ojek. Syukur saya berharap, ini bisa memotivasi bapak penjaga ini untuk menjaga, merawat, dan melakukan yang terbaik bagi Tedong-Tedong, peninggalan kebudayaan Mamasa yang masih bertahan ini. Saya banyak berterima kasih kepada bapak ini karena beliau banyak memberikan informasi dan bisa menjawab ketika ditanya. Tak lupa, saya menyematkan nama saya di buku tamu sebagai tanda saya pernah berkunjung ke tempat ini. kalau anda berkunjung ke Tedong-Tedong Sariayo ini, siapa tahu anda bertemu dengan tandatangan saya disitu. Telah bersertifikasi Indahnesia. Hahahaha. Segera, saya menuruni tangga Tedong-Tedong dan menuju ke motor. Saya berjumpa dengan segerombolan warga lokal yang mengamati saya dengan ajaib. Lagi-lagi, tampaknya kehadiran turis adalah sesuatu yang tidak lazim terjadi di tempat ini. Tidak mau berpusing dengan hal tersebut, saya berpamitan kepada sang bapak penjaga dan melaju kembali ke jalan raya.

Wednesday, August 25, 2010

100 Banua Di Balla Peu, Mamasa

Akhirnya, kurang lebih satu jam dari Osango, kami tiba di Balla Peu. Jalanan yang semula cukup lebar tiba-tiba menyusut dan putus sama sekali, hanya menyisakan jalan kecil untuk orang atau motor melintas. Ada dua buah mobil yang diparkir di pinggir jalan menuju gerbang masuk desa. Gerbang masuk ini tidak bisa dilalui dengan kendaraan roda empat. Wisatawan jugakah mereka? Saya mulai berjalan masuk ke dalam areal desa. Saya disambut oleh beberapa orang penduduk desa yang berada di depan gerbang. Walaupun tampaknya mereka masih cukup asing dalam menerima kunjungan wisatawan, namun mereka bisa menyambut saya dengan baik dan mempersilahkan saya melihat-lihat. Walaupun Balla Peu dinobatkan sebagai salah satu desa wisata paling rapih di seantero Mamasa, namun tempat ini masih berputar layaknya suatu kehidupan desa pada umumnya. Tidak ada loket tiket masuk tempat wisata ataupun kios souvenir yang menjual pernak-pernik. Desa ini benar-benar hidup karena memang masih ditinggali oleh warganya dalam semua rentang usia. Kemanapun saya pergi, saya menjumpai senyum mempersilahkan. Kebanyakan, warga senior yang sudah berumur hanya tinggal di balkon rumah-rumah mereka sambil mengobrol dengan sesamanya. Warga yang masih muda berkumpul di halaman salah satu rumah yang cukup besar dan mengadakan pertemuan disana. Entah, mungkin rumah tersebut adalah balai desa -tampaknya seperti itu-. Walaupun dengan bahasa Indonesia pas-pasan, mereka menyambut saya dengan tulus. Untung saja saya mengajak bapak ojek karena ia cukup mahir menjelaskan segala sesuatunya dalam bahasa Mamasa. Hampir tidak ada aktifitas berarti yang mereka lakukan disana selain berkumpul dan bercengkrama. Suatu kehidupan yang bersahaja! Anak-anak Balla Peu bahkan berkumpul mengelilingi saya dan mengamati, seakan-akan saya ini objek yang sangat menarik.
Desa Balla Peu sendiri merupakan jejeran rumah-rumah khas Mamasa mulai dari Banua Bolong (rumah dokter atau pahlawan masyarakat yang berwarna hitam dan tidak diukir), Banua Longkarrin (rumah rakyat biasa yang tidak berdiri di atas panggung), Banua Rapa (rumah adat dengan strata paling rendah) dan Banua Sura (rumah adat berukir dengan strata yang cukup tinggi, di bawah Banua Layuk, tempat tinggal kepala desa atau ketua adat). Jejeran Banua (Banua dalam bahasa Mamasa adalah rumah) di tempat ini bisa mencapai 100 buah, memanjang dari satu sudut ke sudut lainnya. Dalam satu Desa Balla Peu, ada sejumlah dusun di dalamnya. Hampir setiap rumah memiliki lumbung padi dalam bentuk yang tidak selalu mirip. Bisa saja lumbung padi mereka menyerupai desain Banua sendiri, namun bisa juga lumbung tersebut hanya berupa kotak besar di depan rumah. Unik sekali dech. Ada pusat keramaian di ujung desa sebelah utara. Masyarakat sedang berkumpul merayakan syukuran atas Paska yang baru saja terjadi. Maklum, saat itu, baru beberapa hari selepas Paska. Saya tidak mengikuti kegiatan tersebut, saya memilih mengobrol santai saja bersama bapak-bapak di balai desa. Saya masih bisa merasakan pandangan melekat orang-orang yang menatap saya. Haduh, serasa artis dech. Hahahaha.

Beberapa ornamen unik yang menghiasi sebuah rumah bisa berupa papan nama pendahulu yang telah meninggal, hiasan kepala kerbau (untuk Banua yang stratanya lebih tinggi daripada Banua yang lain), gendang untuk tari-tarian, bambu untuk tari Bulu Londong, tali jerami untuk mengikat kaki kerbau yang akan disembelih dalam upacara adat, ornamen ular di salah satu lumbung, hingga lambang bintang di dalam lingkaran yang sebelumnya tak pernah saya lihat di seantero Mamasa ini. Saya mendapat kesempatan berbicara banyak dengan bapak kepala adat (Ma’parenge atau Madika) yang rumahnya sedang dalam tahap renovasi. Walaupun dalam tahap renovasi, namun hiasan ukiran Mamasa sudah sangat cantik memenuhi sekujur Banua Sura-nya beliau. Ukiran di Banua Sura Ma’parenge sayangnya belum selesai karena belum diwarnai merah, hitam dan putih. Hiasan tersebut masih berwarna kuning. Saya, pak ojek dan Ma’parenge mengobrol di depan lumbung padi miliknya. Ia menjelaskan banyak hal tentang kebudayaan Mamasa, terutama seputaran ornamen unik di sebuah Banua Sura, tari-tarian dan Banua Layuk yang berada di wilayah Mamasa lainnya. Satu hal yang saya baru tahu, tidak semua orang dapat membuat ukir-ukiran pada sebuah Banua. Bahkan Sang Ma’parenge sekalipun tidak dapat membuatnya. Ukiran ini hanya bisa dipesan secara khusus kepada orang yang sudah ahli dan turun temurun menguasai keahlian ini. Orang yang sudah ahli ini umumnya mengetahui urut-urutan ukiran dan maknanya sehingga ia tidak sembarangan mengukir sebuah rumah. Sebuah rumah yang baik harus memiliki filosofi ukiran yang baik sehingga keluarga yang tinggal di dalamnya akan terhindar dari marabahaya dan didatangkan rejeki berlimpah. Walaupun demikian, lanjut Ma’parenge, banyak juga pada saat ini, pengukir yang tidak memiliki keahlian yang memadai namun sudah berani mengukir sebuah rumah. Karena ia tidak begitu tahu akan makna ukir-ukiran tersebut (umumnya diukir dari bawah ke atas), maka akan sangat bahaya kalau sampai bentuk ukiran tersebut terbalik atau salah penempatan. Keluarga yang tinggal di dalamnya bisa terkena tulah atau rejekinya kandas. Seperti itu. Sayang, pada saat kunjungan, rumah Ma’parenge sedang dalam tahap penyelesaian. Seandainya saya datang satu bulan ke depan, maka bisa dipastikan rumah tersebut sudah selesai dan bisa dinikmati kecantikan warnanya. Proses pengerjaan ukiran tersebut bisa berlangsung berbulan-bulan lamanya. Saya banyak mendapat informasi berguna tentang adat Mamasa dari Ma’parenge Desa Balla Peu ini. Saat berniat menyudahi kunjungan dan obrolan yang cukup panjang tersebut, tak lupa, saya menyempatkan diri untuk berfoto bareng dengan Ma’parenge di depan Banua Sura-nya.
Saya melanjutkan perjalanan saya hingga ke ujung deretan Banua di Balla Peu ini. Hasilnya, hampir semua rumah tersusun atas tipe dan model serupa. Masih banyak Banua yang memajang tanduk tedong berjejer di tiang depan rumahnya. Beberapa kali, anjing-anjing menggonggongi saya lantaran area halaman Banua yang saya lewati tampak seperti area privat. Jumlah anjing lumayan banyak di tempat ini. Tak terasa, hari sudah menjelang siang dan perut saya sudah berbunyi. Sudah saatnya saya mengakhiri kunjungan di Balla Peu. Sudah cukuplah saya menikmati keindahan arsitektur Mamasa dalam deretan rumah-rumah adat ini. Saya memohon diri untuk kemudian bergegas menuju motor pak ojek yang akan membawa saya kembali. Hmm...kembali, saya harus menjalani rute yang melelahkan itu tadi? Tapi kalau nggak lewat jalur itu, pulangnya lewat mana donk?