Apabila anda akan menuju Tana Toraja pada keesokan harinya dengan bus terpagi (Ingat, di Mamasa tidak ada angkutan malam hari. Kemanapun itu!), anda harus memesan tiket terlebih dahulu pada malam sebelumnya. Sebenarnya, tiket menjadi sesuatu yang tidak terlalu mutlak diperlukan di Mamasa ini. Kenapa? Apabila cukup bus sepi, anda bisa saja membeli tiket keesokan paginya dan langsung berangkat, tepat sebelum bus beranjak! Masalahnya, tidak selalu dengan cara ini, anda mendapat kepastian tempat duduk atau diangkut. Misalnya, kalau tiba-tiba saja bus penuh lantaran ada rombongan orang datang mendadak atau ada suatu hal yang mengakibatnya tiket habis. Daripada nggak yakin, sebaiknya belilah tiket pada malam hari sebelum atau beberapa hari sebelum agar anda mendapat kepastian angkutan.
Tuesday, August 31, 2010
Dari Mamasa Ke Tana Toraja Via Bus Discho Indah
Salah satu rute angkutan yang agak unik dan tidak populer adalah Mamasa – Tana Toraja. Biasanya, orang hanya berkunjung ke Mamasa atau Tana Toraja saja dari Makassar. Sebaliknya, dari Mamasa atau Tana Toraja, turis biasanya langsung kembali ke Makassar. Jalur Mamasa - Toraja biasanya digunakan turis yang punya waktu cukup panjang. Sebenarnya ada sich jalur langsung Mamasa – Toraja via Ponding dan Bittuang yang menembus gunung. Sayangnya, rute ini masih berupa jalanan rusak, tidak bisa dilalui oleh kendaraan umum, maksimal ojek saja di beberapa ruas. Beberapa ruas lainnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Perjalanan ini memakan waktu 2-3 hari. Hingga kini, belum ada rencana pembuatan jalan langsung dari Mamasa ke Toraja karena medan pegunungan Quarles yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung pastinya cukup menyulitkan.
Apabila anda akan menuju Tana Toraja pada keesokan harinya dengan bus terpagi (Ingat, di Mamasa tidak ada angkutan malam hari. Kemanapun itu!), anda harus memesan tiket terlebih dahulu pada malam sebelumnya. Sebenarnya, tiket menjadi sesuatu yang tidak terlalu mutlak diperlukan di Mamasa ini. Kenapa? Apabila cukup bus sepi, anda bisa saja membeli tiket keesokan paginya dan langsung berangkat, tepat sebelum bus beranjak! Masalahnya, tidak selalu dengan cara ini, anda mendapat kepastian tempat duduk atau diangkut. Misalnya, kalau tiba-tiba saja bus penuh lantaran ada rombongan orang datang mendadak atau ada suatu hal yang mengakibatnya tiket habis. Daripada nggak yakin, sebaiknya belilah tiket pada malam hari sebelum atau beberapa hari sebelum agar anda mendapat kepastian angkutan.
Beberapa agen bus berada di seputaran kota dan mudah dicapai dengan berjalan kaki. Contohnya Bus Discho Indah yang berada di bagian belakang pasar, dekat jalan lintas Mamasa - Polewali. Bus Discho Indah ini melayani rute Mamasa - Toraja, satu-satunya di Sulawesi loch. Bus ini berangkat pada pagi hari pukul 7 dan akan tiba di Toraja sekitar pukul 7 malam. Cukup panjang dan lama yah? Bus ini berangkat setiap hari dan memiliki sekitar 2-3 perhentian (makan siang di sekitar perbatasan Mamasa Polewali, makan sore, dan istirahat tambahan atau belanja oleh-oleh yang biasanya terjadi di Desa Mampu, Anggeraja, Enrekang). Discho Indah memiliki dua buah bus, satu berada di Mamasa, satu lagi di Toraja. Perjalanan antar dua kota tersebut membutuhkan waktu sekitar 10-12 jam lamanya. Sesampainya bus tersebut tiba di kota tujuan, bus tersebut akan menginap dan baru akan bersiap pergi pada keesokan harinya. Pool bus ini di Tana Toraja berada di Belakang Pasar Rantepao. Jumlah bus yang sangat sedikit, berbeda jauh dari jumlah bus Makassar – Toraja oleh banyak perusahaan otobus menunjukkan sedikitnya turis atau penduduk yang melalui jalur tidak populer ini.
Harga tiket menuju Toraja dan sebaliknya adalah Rp. 100.000 untuk bus non AC. Ketiadaan AC di bus ini tidak terlalu bermasalah lantaran Mamasa dan Toraja adalah wilayah pegunungan yang berhawa dingin. Anda hanya cukup kipas-kipas kepanasan di Polewali dan Pinrang. Agen tiket Bus Discho Indah ini tutup pada pukul 8 malam dan buka cukup pagi yakni pukul 6. Bus ini akan melalui rute Mamasa – Polewali – Pinrang – Enrekang – Toraja, tidak melalui Pare-Pare, tidak melalui Sidenreng Rappang. Angkutan Discho Indah ini hanya satu-satunya yang melayani rute Mamasa – Toraja dan kebalikannya. Angkutan ini hanya ada pada pukul 7 pagi, selambat-lambatnya pukul setengah delapan. Untuk anda yang tidak bisa berangkat pada waktu sepagi itu, masih ada pilihan lain untuk menuju Tana Toraja atau Makassar koq, yakni dengan kijang yang banyak berada di pertigaan Pasar Mamasa. Kekurangannya, kijang hanya sampai Polewali saja. Untuk anda yang mau melanjutkan ke Tana Toraja, anda harus berganti kendaraan dari Polewali menuju Pinrang kemudian lanjut ke Pare-Pare atau Rappang. Dari Rappang atau Pare-Pare, anda bisa memilih banyak angkutan yang menuju Tana Toraja. Mudah, bukan?
Apabila anda akan menuju Tana Toraja pada keesokan harinya dengan bus terpagi (Ingat, di Mamasa tidak ada angkutan malam hari. Kemanapun itu!), anda harus memesan tiket terlebih dahulu pada malam sebelumnya. Sebenarnya, tiket menjadi sesuatu yang tidak terlalu mutlak diperlukan di Mamasa ini. Kenapa? Apabila cukup bus sepi, anda bisa saja membeli tiket keesokan paginya dan langsung berangkat, tepat sebelum bus beranjak! Masalahnya, tidak selalu dengan cara ini, anda mendapat kepastian tempat duduk atau diangkut. Misalnya, kalau tiba-tiba saja bus penuh lantaran ada rombongan orang datang mendadak atau ada suatu hal yang mengakibatnya tiket habis. Daripada nggak yakin, sebaiknya belilah tiket pada malam hari sebelum atau beberapa hari sebelum agar anda mendapat kepastian angkutan.
Mie Titi Makassar Dan Jus Tamarilla Di Mamasa
Monday, August 30, 2010
Kota Mamasa - Kole, Malam Hari, Dengan Berjalan Kaki
Nah, seusai berendam dari Kole, anda harus membasuh tubuh anda lantaran kolam digunakan oleh banyak orang. Tentu, untuk menghindari gatal-gatal, sebaiknya anda membasuh tubuh anda dan menggosok dengan sabun. Jangan kuatir, tersedia air untuk bilas koq disini. Yang disayangkan dari Kole adalah minimnya lampu penerangan, toilet yang terletak di bagian belakang kolam (menghadap Sungai Mamasa), dan tidak memiliki cahaya penerang sama sekali. Kalau nggak kebelet-kebelet amat, saya sarankan anda cari toilet lain saja dech. Jangan lupa bayar biaya Rp. 5.000 sebagai retribusi di pintu keluar. Walaupun di pengumuman yang ditempel di dinding mengisyaratkan bahwa tiket masuk deasa Rp. 6.000 dan anak-anak Rp. 5.000, namun kenyataannya penjaga pintu menerima begitu saja Rp. 5.000 yang anda berikan tanpa bertanya-tanya lebih lanjut
Sepinya Kole, Mamasa Pada Siang Hari
Tak lama, kami sampai di Kole. Ternyata, Kole sepi pada saat siang hari. Benarlah apa yang dikatakan oleh beberapa warga, bahwa Kole baru ramai pada saat hari gelap atau justru di pagi hari. Pada sore hari itu, sekitar pukul 3, Kole justru sepi. Tidak ada keramaian warga yang menikmati kolam air panas tersebut. Di siang hari, saya justru bisa melihat dengan jelas bahwa kolam gratis yang berada di depan kolam berbayar, ternyata berwarna keruh dan cenderung kotor. Air di kolam berbayar ternyata bening dan terawat. Sehubungan dengan sepinya Kole pada waktu itu, akhirnya saya memutuskan untuk pulang dan menyudahi tur saya dengan bapak ojek ini. Nggak asyik juga yah masak berendam siang-siang sendirian gitu. Lebih asyik kan kalau ada teman yach? Saya akan kembali ke Kole pada malam nanti. Harusnya jarak 3 kilometer bisa ditempuh dengan mudah dengan berjalan kaki. Maklum, tidak ada angkot yang bisa mengantarkan saya ke Kole selain ojek. Pilihan jalan kaki juga cukup menarik untuk dijabani mengingat sore hari di Mamasa pastinya menawarkan pemandangan yang indah.
Akhirnya, Makan Siang Juga Di Lembah Mamasa
Oke, akhirnya kami kembali ke jalur Rante Soppang-Kota Mamasa. Tenang, walaupun dengan segudang nama yang saya sebutkan sebelumnya, rute Mamasa tergolong mudah. Hanya ada satu jalan raya besar yang menghubungkan Polewali dengan Mamasa. Hampir semua desa atau objek wisata terletak di jalan raya utama, atau percabangannya saja. Setelah puas berbelanja (sebenarnya, hanya membeli satu buah sambu saja sich..hihi...lebih banyak ngobrolnya!), akhirnya kami beranjak. Untungnya, urusan mengisi perut tak lupa dijabani. Setelah menahan lapar lantaran bertemu ibu pembuat Sambu dan penjual souvenir, akhirnya kami mengisi perut juga di salah satu rumah makan di dekat Mesa Kada. Mesa Kada sendiri adalah lokasi pemandian air panas namun pamornya sudah kalah dibandingkan Kole. Walaupun dibuka untuk umum, namun kata pak supir ojek yang saya tumpangi, Mesa Kada agak kurang terawat dibandingkan dengan Kole. Tentu, ini berkaitan dengan tidak dipungutnya retribusi pengunjung pada saat memasuki Mesa Kada alias gratis! Saya penasaran tapi waktu terbatas, gimana donk? Jadinya nggak jadi melihat Mesa Kada ini dech. Di dekat Mesa Kada sendiri terdapat sebuah bukit yang bernama Buntu Kasisi. Di Buntu Kasisi ini, pengunjung dapat menyaksikan sejumlah penenun Sambu bekerja dalam tim. Sayang, saya nggak menyambangi kedua tempat ini lantaran hari sudah cukup sore.
Target lokasi terakhir untuk hari ini adalah Kole. Namun sebelum itu, kami perlu mengisi energi dulu donk untuk melanjutkan perjalanan hari ini. Ya, urusan mengisi perut memang merupakan tantangan tersendiri di Mamasa ini. Berhubung wisatawan tidak terlalu banyak dan rumah tangga biasa memproduksi sendiri makanan hariannya, maka rumah makan umum memang sukar sekali ditemui di desa-desa di sekeliling Mamasa, bahkan di tempat wisatanya sekalipun! Susah bener dech! Rumah makan paling mudah ditemui di Kota Mamasa. Rumah makan yang saya datangi tersebut juga sepi, tidak banyak pengunjung mendatanginya. Rumah makan atau warung makan ini bernama Warung Makan Satu Tujuh, terletak di Rante-Rante, Desa Osango. Hmm....Rante ini mungkin sejenis nama tempat barangkali yach? Soalnya saya jadi inget nama-nama Rantepao, Bulu Rante Kombola, Marante, dan sebagainya.
Jangan heran, nggak ada menu makanan Mamasa di tempat ini. menu yang dijual di warung makan ini adalah menu yang biasa kita kenal seperti nasi goreng, mi goreng, nasi campur, ayam goreng, ikan goreng dan sejenisnya. Hahaha. Sayang sekali yach? Ya, daripada nggak makan, akhirnya nasi campur menarik juga untuk dicoba sich. Bolehlah dicoba, bagaimana sich rasanya nasi campur ala Mamasa itu. Dalam sepiring nasi campur, ada satu tangkup nasi, tempe oseng-oseng masak kecap, potongan wortel dan buncis, sepotong ayam goreng dan sebutir telur rebus utuh. Kelihatannya sich sedikit, tapi pas dimakan, wow...nggak habis-habis rasanya. Hehehe. Untuk sepiring nasi campur Mamasa yang cukup enak tersebut, saya hanya perlu membayar Rp. 15.000 saja. Ditambah dengan jus wortel asli plus susu kental manis seharga Rp. 5.000, puas deh acara mengisi perut pada siang itu. Karena memang nggak terbiasa menerima pengunjung, mereka memang butuh waktu untuk mempersiapkan makanan tersebut. Tapi jangan kuatir, semua bahan yang dipergunakan benar-benar segar dan baru dipotong/digoreng begitu anda memesan. Nggak ada bahan makanan jadi yang digunakan untuk nasi campur ini. Yum! Harga menu-menu makanan lainnya juga murah koq, wajar lah. Hehehe. Selepas sepiring nasi campur meluncur lepas menuju lambung kami, segeralah kami beranjak menuju Kole, pemandian air panas yang terletak di timur laut Kota Mamasa.
Jangan heran, nggak ada menu makanan Mamasa di tempat ini. menu yang dijual di warung makan ini adalah menu yang biasa kita kenal seperti nasi goreng, mi goreng, nasi campur, ayam goreng, ikan goreng dan sejenisnya. Hahaha. Sayang sekali yach? Ya, daripada nggak makan, akhirnya nasi campur menarik juga untuk dicoba sich. Bolehlah dicoba, bagaimana sich rasanya nasi campur ala Mamasa itu. Dalam sepiring nasi campur, ada satu tangkup nasi, tempe oseng-oseng masak kecap, potongan wortel dan buncis, sepotong ayam goreng dan sebutir telur rebus utuh. Kelihatannya sich sedikit, tapi pas dimakan, wow...nggak habis-habis rasanya. Hehehe. Untuk sepiring nasi campur Mamasa yang cukup enak tersebut, saya hanya perlu membayar Rp. 15.000 saja. Ditambah dengan jus wortel asli plus susu kental manis seharga Rp. 5.000, puas deh acara mengisi perut pada siang itu. Karena memang nggak terbiasa menerima pengunjung, mereka memang butuh waktu untuk mempersiapkan makanan tersebut. Tapi jangan kuatir, semua bahan yang dipergunakan benar-benar segar dan baru dipotong/digoreng begitu anda memesan. Nggak ada bahan makanan jadi yang digunakan untuk nasi campur ini. Yum! Harga menu-menu makanan lainnya juga murah koq, wajar lah. Hehehe. Selepas sepiring nasi campur meluncur lepas menuju lambung kami, segeralah kami beranjak menuju Kole, pemandian air panas yang terletak di timur laut Kota Mamasa.
Saturday, August 28, 2010
Souvenir Mamasa Yang Kaya Warna Di Rante Sepang
Seusai melihat proses pembuatan Sambu, saya segera berterima kasih kepada sang ibu dan memohon diri. Di luar kios sang ibu penenun, ramai berkumpul warga yang ingin melihat saya sedang meliput proses pembuatan Sambu alih-alih melihat sang ibu membuat Sambu. Wow! Udah serasa artis dech. Proses pembuatan Sambu tampaknya sudah menjadi hal biasa untuk mereka. Mungkin melihat orang meliput jauh lebih menarik daripada melihat pembuatan Sambu kali yach? Hehehe...
Sambil kembali berjalan menuju Kota Mamasa, dan dalam pencarian rumah makan, kami berhenti lagi di sebuah desa yang khusus menjual souvenir khas Mamasa. Di tempat ini ada sejumlah toko penjual souvenir khas Mamasa mulai dari Sambu, kalung, cincin, gelang, ikat kepala, miniatur Banua Sura, baju pengantin, dan gantungan kunci. Nama tempat ini adalah Rante Sepang. Uniknya dan nggak seperti lokasi wisata di tempat lain, anda nggak akan bisa menemukan aneka kerajinan tangan khas Mamasa selain berada di Rante Sepang ini. Hanya di Rante Sepang lah anda baru bisa membeli souvenir khas Mamasa, berhubung objek-objek wisata lainnya di Mamasa belum terlalu siap dalam urusan souvenir.
Mulailah menjelajah salah satu toko karena umumnya tiap toko memiliki rentang harga yang sama dan berasal dari paguyuban penenun maupun pengrajin yang sama. Toko souvenir mudah dikenali dari penampilan toko yang unik dan bermodel Banua serta berukir khas Mamasa. Toko biasanya memajang sebuah etalase penuh berisikan Sambu. Rak-rak lain dipadati oleh aneka macam pernak pernik mulai dari gelang hingga gantungan kunci, kalung kuku babi hingga pakaian pesta.
Seorang ibu yang baik hati dan ramah menyambut kami. Situasi tokonya walaupun rapih tampak agak berdebu dan sedikit bersarang laba-laba. Hmm..jelas, kunjungan turis bukanlah sesuatu yang sering terjadi disini. Walaupun agak berdebu, tapi saya menyukai barang-barang yang dipajang disini. Sedikit menyerupai produk Tana Toraja, namun produk Mamasa memiliki ciri unik tersendiri. Beberapa sumber bahkan mengatakan beberapa Sambu Mamasa dibawa ke Toraja. Entah benar atau tidak, namanya juga ‘katanya’. Hehehe. Saya menyukai produk jas dengan corak Sambu, aneka jenis Sambu, hiasan gantung yang biasa digunakan pada saat pernikahan dan aneka macam aksesori pakaian. Memang, ada rupa ada harga. Harga produk-produk ini tidak semuanya ramah bagi kantong backpacker. Hal ini sangat wajar mengingat proses pembuatannya yang sangat sulit dan memakan waktu sehingga harga beberapa produk ini cukup tinggi, hingga ratusan ribu. Untuk yang mencari kualitas, wajib banget membeli souvenir-souvenir ini. Semua souvenir ini buatan tangan dan dikerjakan dengan tulus, terutama Sambu-nya. Namun, bagi yang koceknya terbatas, ada beberapa pilihan souvenir yang cukup murah seperti gelang, gantungan kunci dan beberapa buah Sambu kecil yang bisa digunakan menjadi syal atau taplak. Ibu ini mengklaim bahwa harga yang ia tawarkan sudah cukup murah karena langsung dari pengrajinnya sendiri. Ibu ini sendiri yang mengelola beberapa pengrajin di beberapa tempat di Mamasa. Ibu ini juga sudah sering dan rajin melakukan pameran di berbagai tempat demi mempromosikan kerajinan tangan baik tenun maupun ukiran Mamasa. Bravo, ibu! Teruskan terus perjuanganmu mengangkat nama Mamasa! Kami salut!
Nggak hanya itu loch, ibu yang selalu tersenyum gembira ini mengajak saya ke ruangan belakang untuk memperlihatkan sejumlah barang yang tidak dijual namun merupakan koleksi sang ibu. Satu benda yang paling membuat saya tertarik ialah miniatur Banua Sura yang dibuat dengan sangat manis, rapih dan unik. Miniatur Banua Sura ini sudah sering sekali diikut sertakan dalam pameran-pameran kerajinan tangan dan seni Mamasa. Sayang, pada pameran terakhir, Banua Sura yang dirawat dengan hati-hati tersebut patah pada tiang utamanya. Alhasil, bagian depan Banua Sura tidak bisa berdiri tegak. Ditambah lagi dengan debu tebal yang menyelimuti, semakin sirnalah keindahan miniatur Banua Sura tersebut. Sangat disayangkan, mengingat bahwa pembuat miniatur tersebut tidak terlalu banyak di Mamasa ini. Oleh karena merupakan barang koleksi, maka barang-barang di bagian gudang belakang ini pun tidak dijual walau dalam kondisi berdebu tebal atau rusak sekalipun.
Sambil kembali berjalan menuju Kota Mamasa, dan dalam pencarian rumah makan, kami berhenti lagi di sebuah desa yang khusus menjual souvenir khas Mamasa. Di tempat ini ada sejumlah toko penjual souvenir khas Mamasa mulai dari Sambu, kalung, cincin, gelang, ikat kepala, miniatur Banua Sura, baju pengantin, dan gantungan kunci. Nama tempat ini adalah Rante Sepang. Uniknya dan nggak seperti lokasi wisata di tempat lain, anda nggak akan bisa menemukan aneka kerajinan tangan khas Mamasa selain berada di Rante Sepang ini. Hanya di Rante Sepang lah anda baru bisa membeli souvenir khas Mamasa, berhubung objek-objek wisata lainnya di Mamasa belum terlalu siap dalam urusan souvenir.
Mulailah menjelajah salah satu toko karena umumnya tiap toko memiliki rentang harga yang sama dan berasal dari paguyuban penenun maupun pengrajin yang sama. Toko souvenir mudah dikenali dari penampilan toko yang unik dan bermodel Banua serta berukir khas Mamasa. Toko biasanya memajang sebuah etalase penuh berisikan Sambu. Rak-rak lain dipadati oleh aneka macam pernak pernik mulai dari gelang hingga gantungan kunci, kalung kuku babi hingga pakaian pesta.
Friday, August 27, 2010
Melihat Dari Dekat Proses Pembuatan Sambu Di Balla Timur, Mamasa
Akhirnya, saya kembali ke jalan negara dan kembali ke ruas Balla - Mamasa. Sebenarnya, ini waktunya saya dan pak supir ojek mencari makan. Tapi apa daya, menemukan rumah makan di poros jalan ini sangat susah. Motor kami hampir tidak berhenti sama sekali di ruas ini lantaran tidak menemukan sama sekali rumah makan yang buka dan menjual makanan. Di satu sisi, wilayah sekitar yang merupakan hutan dan pegunungan memang tidak memungkinkan untuk berdirinya rumah makan berdiri di sana-sini. Terlebih, dengan jarangnya turis yang berkunjung dan rata-rata rumah tangga memproduksi makanan sendiri, maka rumah makan umum memang sesuatu yang agak janggal ditemukan. Dalam pencarian rumah makan, motor bapak supir ojek berhenti di sekitar Desa Balla Timur. Ternyata, ia menangkap satu sosok ibu sedang membuat Sambu, sarung khas Mamasa yang ditenun secara manual. Ia mengajak saya untuk masuk ke dalam toko dan meminta ijin sang ibu untuk melihat proses pembuatan Sambu.

Di sebuah warung yang berjualan sabun, sampo dan keperluan sehari-hari di Desa Balla Timur, saya bertemu ibu ini. Ibu ini sedang asyik menenun Sambu, sarung khas Mamasa dengan cara tradisional. Peralatannya pun cukup sederhana dan tidak menggunakan mesin, hanya sejumlah kayu dan bambu saja. Sebenarnya, bayangan saya akan tenunan Sambu tidak seperti ini. Saya membayangkan Sambu ditenun beramai-ramai dengan mesin yang besar. Ternyata, Sambu umumnya ditenun dengan peralatan sederhana seperti ini dan bisa dilakukan seorang diri. Yang membuat saya agak terkejut, benang untuk Sambu bukanlah benang tradisional hasil produksi sendiri namun justru benang pabrikan yang sudah tersedia di dalam kotak-kotak. Kata sang ibu, sudah hampir tidak ada lagi penenun Sambu yang menggunakan benang asli alam. Kebanyakan, benang tenunan untuk Sambu menggunakan benang pabrik yang mudah didapat dan ternyata cukup murah harganya. Ia menambahkan, benang alami buatan sendiri membutuhkan waktu lebih lama dan harga yang lebih mahal. Ia tidak akan mampu menjual Sambu yang terlalu mahal lantaran bahan bakunya sudah mahal.
Hasil tenunan Sambu sang ibu ternyata sudah cukup panjang dan diikatkan ke langit-langit rumah. Ibu menenun Sambu dalam rentang pendek, selebar bambu dan kayu yang digunakan -kira-kira serentangan lengan ke lengan-. Hasil tenunan Sambu yang sangat panjang tersebut nantinya akan dipotong-potong dan kemudian dijahit hingga membentuk sarung yang panjang. Nah, saya penasaran nich disini. Saya bertanya kepada ibu penenun tersebut, mengapa tidak menenun Sambu yang lebar saja alih-alih panjang, jadi hasil tenunan tidak perlu disambung lagi. Pertanyaan saya disambut oleh derai tawa masyarakat lokal yang menonton saya, alih-alih menyaksikan sang ibu menenun. Sang ibu pun menjawab sambil tertawa tersipu-sipu. Ia menjawab, “tidak mungkin membuat Sambu yang lebar karena alat yang tersedia tidak panjang”. Selain itu, ia juga akan kerepotan kalau alatnya panjang. Alat yang berukuran pendek memudahkan ia menenun Sambu secara cepat. Hehehe.

Sambu dipercaya bisa mengusir hawa dingin pegunungan di Mamasa dan banyak digunakan dalam acara adat di Mamasa. Sambu, sebagai kain adat memiliki ketentuannya sendiri, misalnya putih yang disebut Sambu Bembe adalah jenis Sambu tertinggi dalam kasta Orang Mamasa. Warna lainnya banyak dipakai dalam masyarakat pada umumnya. Pada jaman dahulu, warna putih umum digunakan pada kalangan bangsawan saja. Namun, pada masa kini pembauran warna sudah terjadi. Warna putih maupun warna lainnya banyak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat di Mamasa. Hasil tenunan Sambu umumnya bermotif sama, dengan warna dominan berada di pinggir dan corak berada di tengah. Misalnya pada saat saya mengunjungi sang ibu penenun, ia menenun Sambu warna merah yang umum ditemukan dan dipakai di Mamasa. Ia juga menunjukkan salah satu Sambu lainnya yang sudah berhasil diselesaikan. Sambu itu berwarna ungu.Proses penenunan Sambu bisa berlangsung selama satu bulan apabila dikerjakan dengan santai dan di kala senggang. Namun, apabila dikebut dan tidak menjalankan tugas lain, satu sarung Sambu bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu saja. Untuk satu buah sarung Sambu utuh, harga jualnya berkisar antara Rp. 150.000 hingga Rp. 400.000. Postur tubuh si ibu pun harus benar-benar terjaga dalam posisi huruf L dengan kaki menekan sebuah balok penahan Sambu. Cukup meletihkan melihat sang ibu membuat sebuah Sambu. Sayang, saya nggak mencoba untuk membuatnya karena sang ibu juga sedang sibuk tak bisa saya ganggu. Kalau ada waktu panjang, kayaknya seru juga yach belajar membuat Sambu. Bagi yang mau liat proses pembuatan Sambu beramai-ramai, anda bisa mencarinya di Buntu Kasisi, dekat dengan perbatasan Mamasa Kota. Di tempat ini katanya ada sejumlah ibu-ibu yang menenun secara tradisional. Sayang, saya nggak mencapai tempat ini lantaran keterbatasan waktu.
Di sebuah warung yang berjualan sabun, sampo dan keperluan sehari-hari di Desa Balla Timur, saya bertemu ibu ini. Ibu ini sedang asyik menenun Sambu, sarung khas Mamasa dengan cara tradisional. Peralatannya pun cukup sederhana dan tidak menggunakan mesin, hanya sejumlah kayu dan bambu saja. Sebenarnya, bayangan saya akan tenunan Sambu tidak seperti ini. Saya membayangkan Sambu ditenun beramai-ramai dengan mesin yang besar. Ternyata, Sambu umumnya ditenun dengan peralatan sederhana seperti ini dan bisa dilakukan seorang diri. Yang membuat saya agak terkejut, benang untuk Sambu bukanlah benang tradisional hasil produksi sendiri namun justru benang pabrikan yang sudah tersedia di dalam kotak-kotak. Kata sang ibu, sudah hampir tidak ada lagi penenun Sambu yang menggunakan benang asli alam. Kebanyakan, benang tenunan untuk Sambu menggunakan benang pabrik yang mudah didapat dan ternyata cukup murah harganya. Ia menambahkan, benang alami buatan sendiri membutuhkan waktu lebih lama dan harga yang lebih mahal. Ia tidak akan mampu menjual Sambu yang terlalu mahal lantaran bahan bakunya sudah mahal.
Hasil tenunan Sambu sang ibu ternyata sudah cukup panjang dan diikatkan ke langit-langit rumah. Ibu menenun Sambu dalam rentang pendek, selebar bambu dan kayu yang digunakan -kira-kira serentangan lengan ke lengan-. Hasil tenunan Sambu yang sangat panjang tersebut nantinya akan dipotong-potong dan kemudian dijahit hingga membentuk sarung yang panjang. Nah, saya penasaran nich disini. Saya bertanya kepada ibu penenun tersebut, mengapa tidak menenun Sambu yang lebar saja alih-alih panjang, jadi hasil tenunan tidak perlu disambung lagi. Pertanyaan saya disambut oleh derai tawa masyarakat lokal yang menonton saya, alih-alih menyaksikan sang ibu menenun. Sang ibu pun menjawab sambil tertawa tersipu-sipu. Ia menjawab, “tidak mungkin membuat Sambu yang lebar karena alat yang tersedia tidak panjang”. Selain itu, ia juga akan kerepotan kalau alatnya panjang. Alat yang berukuran pendek memudahkan ia menenun Sambu secara cepat. Hehehe.
Thursday, August 26, 2010
Goa Maria Balla Mamasa Yang Belum Rampung
Ada satu buah objek wisata tambahan yang terletak dekat dengan Desa Balla Peu. Wilayah ini masih berada di Kecamatan Balla. Saya mengunjungi desa ini sekeluarnya saya dari Tedong-Tedong menuju jalan negara yang masih terletak di Kecamatan Balla. Nama tempat ini adalah Katolik. Saya nggak tahu dech nama resminya Katolik atau bukan, namun supir ojek dan penduduk setempat menamakan tempat ini Katolik. Nama ini mungkin menjadi khas lantaran penduduk Mamasa secara garis besar menganut agama Kristen Protestan. Kekhasan tempat ini adalah adanya tempat ziarah umat Katolik berupa Gua Maria. Lokasinya tidak terlalu jauh dari jalan negara, cukup mudah untuk dicapai.

Gua Maria umumnya adalah bangunan gua dengan Patung Bunda Maria di dalamnya. Umumnya, Umat Katolik berziarah ke gua ini untuk memanjatkan doa dan melakukan jalan salib. Gua Maria ada banyak sekali di dunia ini. Yang terkenal salah satunya di Lourdes, Perancis. Untuk skala lokal, ada Gua Maria Sendang Sono di Magelang dan Gua Maria Puh Sarang di Kediri. Gua Maria di Balla ini tampak baru saja dibangun dan belum terlalu siap dalam hal prasarana akses jalan. Di bagian paling bawah Katolik ini terdapat sejumlah asrama yang katanya digunakan oleh para biarawan dan biarawati. Nah, lokasi Gua Maria dan jalan salibnya berada di atas asrama-asrama tersebut. Sayang, akses jalan menuju Gua Maria Balla luar biasa parah. Apabila sebelumnya saya mengatakan akses jalan menuju Desa Balla Peu sudah sangat buruk, maka jalanan menuju Gua Maria Balla lebih buruk lagi. Kalau jalanan menuju Desa Balla Peu adalah tanah liat berbatu-batu, maka jalan akses menuju Gua Maria Balla adalah tanah liat berpasir yang amblas di beberapa bagian. Jelas, motor pun tidak bisa melewati area ini sama sekali. Saya saja kesulitan untuk melaluinya walau dengan berjalan kaki sekalipun. Kombinasi pasir dan tanah liat yang becek benar-benar menyusahkan. Saya kerap tergelincir dan kaki terbenam saat melintasi jalan ini. Sebenarnya saya tidak terlalu yakin untuk mendaki jalan menuju Gua Maria ini, tetapi saya mencoba. Sesampainya di objek pertama, Gua Keluarga Kudus, saya menyerah. Selepas gua pertama yang masih terletak di lereng, ada lubang besar yang tidak mungkin dilalui sama sekali. Saya menyerah. Saya tidak mau melanjutkan perjalanan menuju Gua Maria Balla yang sesungguhnya dan rute jalan salib yang ada di atas tebing. Hujan deras semalam telah banyak membuat kondisi jalan berubah. Akhirnya saya hanya melihat Gua Keluarga Kudus yang berada di bagian bawah saja. Gua ini terdiri atas patung Joseph, Maria dan Yesus kanak-kanak dalam satu buah gua. Tidak ada feature lain sama sekali.
Setelah berfoto-foto, saya menyudahi kunjungan saya di tempat ini. Kekurangan Gua Maria Balla adalah tidak adanya petunjuk jalan sama sekali atau keterangan yang menunjukkan adanya tempat ini. Kami harus bertanya beberapa kali kepada warga setempat dimana persisnya Gua Maria Balla ini. Untungnya, beberapa penduduk di Desa Balla Barat mengetahui lokasi pastinya Gua Maria ini. Walaupun belum selesai dibangun, mudah-mudahan beberapa bulan lagi atau pada saat anda mengunjunginya, Gua Maria Balla ini sudah selesai dirapihkan dan menjadi objek wisata yang sudah memadai fasilitasnya bagi para wisatawan.
Setelah berfoto-foto, saya menyudahi kunjungan saya di tempat ini. Kekurangan Gua Maria Balla adalah tidak adanya petunjuk jalan sama sekali atau keterangan yang menunjukkan adanya tempat ini. Kami harus bertanya beberapa kali kepada warga setempat dimana persisnya Gua Maria Balla ini. Untungnya, beberapa penduduk di Desa Balla Barat mengetahui lokasi pastinya Gua Maria ini. Walaupun belum selesai dibangun, mudah-mudahan beberapa bulan lagi atau pada saat anda mengunjunginya, Gua Maria Balla ini sudah selesai dirapihkan dan menjadi objek wisata yang sudah memadai fasilitasnya bagi para wisatawan.
Tedong-Tedong Sariayo Yang Berusia Ratusan Tahun
Kurangnya kunjungan turis menjadikan bapak ini sering kembali ke rumahnya untuk beristirahat. Agak berbeda dengan objek wisata lain di Mamasa, Tedong-Tedong ini sudah cukup umum dijadikan tempat wisata (walau dengan papan petunjuk informasi seadanya dan kondisi jalan yang cukup buruk, sebenarnya). Tedong-Tedong ini memiliki pintu pagar yang dikunci, bapak penjaga, dan buku tamu. Sudah pantaslah Tedong-Tedong ini disebut sebagai objek wisata. Dalam buku tamu tersebut, saya melihat, terkadang terdapat sejumlah kunjungan wisatawan (didominasi oleh wisatawan asing dan anak sekolah) yang berkunjung ke tempat ini. Beberapa nama pejabat daerah (misalnya : Bapak Obed Nego) juga sempat mengunjungi tempat ini. Semua terlihat di buku tamu yang disediakan.
Bangunan rumah Tedong-Tedong ini mengadopsi bentuk Banua Longkarrin, bentuk Banua yang bagian dasarnya berupa alas bambu yang langsung menyentuh tanah. Hanya saja, bagian tengah kompleks Tedong-Tedong ini tidak tertutup dinding. Isi dalamnya bisa terlihat jelas. Dari gapura masuk Tedong-Tedong ini, rangkaian peti mati berbentuk tedong (kerbau) tampak jelas terlihat dijejerkan di dalam kolong Banua. Beberapa tedong berukuran sangat besar dan beberapa lainnya berukuran standard. Beberapa peti mati lainnya tidak berbentuk tedong namun gilig saja, tanpa kepala. Sekujur bagian Tedong-Tedong ini diukir dengan ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dinding Banua, hanya tidak diwarnai.