Turun Lembah Mamasa

Saya bangun sepagi mungkin dan melewatkan sarapan di Matana Lodge. Maklum, saya harus mencapai agen bus pada pukul setengah 7 pagi sementara sarapan belum siap sebelum pukul 7. Hiks! Rugi sarapan satu kali dech di Matana Lodge. Padahal panada home made-nya enak banget loch. Daripada terlambat lebih baik saya menunggu dan membeli makanan yang ada di sekitar agen bus saja dech. Pagi itu, Mamasa bagaikan alam mimpi. Suhu dingin, kabut yang masih menyelimuti lembah di sekitar kota, sinar matahari yang menembus kabut tampak lembut sungguh indah. Saya berjalan pagi hari melewati deretan supir kijang yang menawarkan jasa Polewali atau Makassar. Saya menolak tawaran mereka lantaran saya sudah memiliki tiket bus Discho Indah. Sebenarnya, supir bus yang mengantarkan saya dari Polewali ke Mamasa sudah berjanji akan membawa saya kembali ke Polewali, bahkan ia mengatakan ia bisa diajak kompromi untuk mengantarkan saya ke Toraja. Hah? Yakin, Pak? Sayangnya, sesampainya di terminal kijang, saya tidak melihat beliau. Akan tetapi, saya malah bersyukur, sebab saya sudah membeli tiket bus Discho Indah.
Sesampainya di agen bus, seperti yang sudah saya duga, pool masih kosong. Dari kapasitas bus yang bisa terisi sekitar 30 orang, hanya terisi sekitar 5 orang saja. Beberapa orang lainnya tampak tidak terlalu tertarik untuk membeli tiket. Mereka hanya menunggu sampai bus benar-benar berangkat. namun, ternyata saya kepagian menunggu bus. Huh! Rugi dech ninggalin panada-nya. Hahaha. Sebelum bus berangkat, saya menyempatkan diri untuk membeli beberapa potong kue sebagai sarapan dan pengganjal perut di pagi hari. Suasana pagi hari di Pasar Mamasa ternyata sudah cukup hidup dan menyenangkan. Penjual ayam, ikan, sayur-mayur menggeliat pada pagi itu. Pasar Mamasa sangat menarik untuk dijelajahi pada pagi hari seperti itu. Namun sayang, saya tidak bisa menikmatinya terlalu lama lantaran bus sudah mau berangkat. Bus memang sempat berangkat pada pukul 7 tanpa mengangkut satu penumpang pun. Kata sang supir, ia akan menjemput sejumlah penumpang terlebih dahulu. Hmmm...enak yach pakai dijemput-jemput segala. Hahaha. Akhirnya, bus berangkat pada pukul setengah 8 dengan hanya terisi sekitar 10 orang saja. Bus tersebut terasa sangat lega, saya mendapatkan dua tempat duduk untuk saya sendiri. Hohoho.

Sepanjang perjalanan, saya melihat Mamasa yang cantik dan masih asri. Pemandangan lembah, hutan, gereja, rumah adat, tanaman-tanaman berukuran besar dan unik mendominasi kanan dan kiri jalan. Walau jalan rusak dan rusak parah masih mendominasi, pemandangan indah tersebut masih menawan. Mulai dari Mamasa, Balla, Tandukkalua, Sumarorong, Messawa, pemandangan yang tersaji cukup sama. Sungai Mamasa mengalir melewati daerah-daerah ini, sejalan dengan jalur yang kami lalui. Maklum saja, Mamasa adalah wilayah pegunungan. Ketinggian permukaannya rata-rata beberapa ratus meter hingga seribuan di atas permukaan laut. Ini sebabnya Mamasa selalu dingin dan sejuk serta banyak ditemukan pohon kakao di tempat ini. Sebenarnya, ada satu objek wisata menarik yang berada di tengah-tengah rute ini. Tepatnya di wilayah Sumarorong, ada Pemandian Alam Air Terjun Liawan. Saya melihat papan informasi wisatanya terpampang jelas di tepi jalan dengan jarak hanya 2 KM saja. Pengen banget sich saya turun dan mengunjungi air terjun ini. Tapi, sepulangnya nanti dari air terjun, saya lanjut ke Toraja-nya naik apa donk? Tambahan lagi, Tana Toraja masih sangat jauh letaknya dari Sumarorong. Batal dech main-main ke air terjunnya. Bus yang tadinya kosong, tiba-tiba mulai terisi satu persatu hingga penuh sesak di Tandukkalua dan Sumarorong. Saya yang tadinya mengokupansi dua tempat duduk harus rela memangku tas saya yang berat karena bus menjadi sangat penuh. Ternyata, kosong di awal perjalanan tidak merisaukan perusahaan sebab akan ada banyak penumpang naik di tengah perjalanan. Buat anda yang mudah mabuk darat, sebaiknya meminum antimo setengah jam sebelum perjalanan agar anda bisa tertidur nyenyak sepanjang perjalanan. Maklum, seperti kisah perjalanan pergi, rute Mamasa – Polewali adalah rute yang berkelok-kelok parah, kondisi jalanan bopeng-bopeng dan parahnya, rawan longsor. Saya sempat bertemu satu buah tanah longsor yang menutupi jalan utama yang kami lalui di wilayah Messawa. Untung, longsoran tersebut telah dibereskan oleh mesin backhoe yang ada di sebelah longsoran tersebut. Kami bisa melanjutkan perjalanan dech, bersama dengan antrian kendaraan lainnya.

0 komentar:

Post a Comment