Tuesday, May 31, 2011

Menyelam Kedua Kali Di Menjangan Kecil

Selesai makan siang dan berleyeh-leyeh di Cemara Kecil, akhirnya matahari semakin condong dan waktu sudah sore. Usai makan siang, kami segera kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan menuju Pulau Menjangan Kecil, spot penyelaman berikutnya yang ditentukan. Jarak perjalanan dari Cemara Kecil menuju Menjangan Kecil sekitar setengah jam. Badan saya sudah terasa segar dan tidak terlalu mual, mungkin karena sudah makan kali yach? Yang jelas, sesampainya di Menjangan Kecil, perahu yang kami tumpangi tidak merapat ke pantai, namun berhenti sekitar beberapa puluh meter dari garis pantai. Di bawah kami, air laut berwarna biru tua, tanda laut dalam, namun jernih dan menampilkan aneka ikan bercorak loreng hitam putih berenang dengan lincahnya. Pak Hakim segera mengambil nasi dan membagikannya kepada kami. Ia meminta kami untuk menebarkan nasi-nasi tersebut. Segera, ikan tersebut berebutan dengan brutal dan semakin banyak. Hihihi. Lucu.
Tanpa membuang waktu, kami segera mengenakan pakaian selam kami. Sebelum menyelam, kami diberi susu kental manis yang kata Pak Hakim akan melonggarkan jalannya tenggorokan sehingga mempermudah pernafasan. Kata Pak Hakim, kami harus segera bergegas karena waktu semakin sore. Saat waktu penyelaman dimulai, sudah menunjukkan pukul 14.30. Kata beliau, tidak baik menyelam pada sore hari karena arus lautnya akan membesar di tempat tersebut. Berhubung kami penyelam amatir dan pemula sekali, yah, nurut saja deh. Hehehe.
Segera, kami melakukan berenang ringan di sekitar kapal untuk membiasakan diri. Memang sich, setelah percobaan pertama tadi, percobaan kedua ini bisa dibilang cukup sukses. Saya sudah menemukan teknik equalising yang manjur yakni dengan menelan ludah. Sebelum equalising, kepala saya terasa sangat sakit pada kedalaman 5 meter dan tidak bisa lebih dalam lagi. Setelah berhasil equalising, proses turun ke kedalaman lebih mudah. Nah, pada kedalaman 5 meteran itu kami belum melihat ada apapun yang menarik untuk disimak. Oleh karena itu, Pak Hakim membawa kami ke wilayah yang lebih dalam lagi. Pengukur kedalaman menunjukkan angka 7 hingga 9 dan 10 meter. Disini, akhirnya kami melihat apa yang disebut dengan taman bawah laut. Tidak banyak ikan terlihat disini, namun terumbu karang masih cukup banyak dan beraneka ragam bentuknya. Ragam hias dan warnanya sih nggak sama dengan apa yang pernah saya lihat di internet atau televisi. Mungkin karena Karimunjawa tidak masuk dalam wilayah segitiga karang dunia kali yach?
Bagaimanapun, apa yang lihat tetap saja menawan saya. Saya melihat aneka terumbu karang dengan bentuk menakjubkan dan berwarna-warni. Saking warna-warninya, saya sampai takut kalau saya secara tidak sengaja menyentuh mereka atau sebaliknya. Saya takut kalau kulit mereka mengandung racun atau apapun itu. Hihihi. Sebaliknya, saya juga takut merusak mereka karena dari yang pernah saya baca, terumbu karang rentan rusak karena ulah manusia dan untuk regenerasi, mereka butuh waktu panjang untuk menumbuhkan diri. Nah, diantara terumbu karang tersebut, barulah saya melihat sejumlah ikan-ikan kecil berenang berseliweran. Pak Hakim bahkan menujukkan anemon yang tumbuh di ujung karang, habitat clown fish atau yang biasa kita kenal sebagai Nemo. Lucu sekali! Ternyata, Anemon memang habitatnya Nemo karena ikan berwarna putih dengan corak oranye tersebut lincah bermain di dalam anemon tersebut.
Pak Hakim menunjukkan lagi kepada kami, sejumlah Lili Laut, Bintang Laut dengan bentuk yang luwes, mentimun laut atau teripang, hingga ikan yang menyerupai Ikan Bawal yang biasa kita lihat di meja makan namun dengan ukuran sebesar meja. Ikan tersebut jinak namun ketika didekati, mereka bergerak perlahan menjauh. Untuk beberapa terumbu karang pun Pak Hakim memperbolehkan kami untuk menginjaknya, terutama untuk yang bentuknya seperti lempengan dan datar seperti meja. Beliau membuat gerakan oke yang artinya aman untuk diinjak. Mungkin terumbu karangnya cukup kuat kali yach? Sementara itu, apabila beliau tidak memberi informasi apapun, saya lebih suka menganggapnya sebagai “tidak” sehingga tidak nekad untuk menyentuh apapun yang ada di sekitar kami. Anehnya, air laut di sekeliling kami tidak benar-benar bersih. Semakin ke dalam ketika cahaya matahari semakin hilang, saya bisa melihat bahwa air laut di sekeliling kami penuh dengan benda semacam lendir melayang berbentuk panjang. Lendir itu ada di sekeliling kami. Apakah itu sekresi makhluk laut? Saya nggak mau tau deh mendingan. Hihihihi.
Memang, waktu penyelaman selama 1 jam mungkin dirasa kurang untuk beberapa orang. Namun, saya sudah merasa cukup dengan waktu penyelaman tersebut. Tambahan lagi, kami tidak bisa mempergunakan 1 jam oksigen di tabung sepenuhnya, pasti harus ada yang disisakan untuk berenang kembali naik ke permukaan. Untuk naik ke permukaan pun tidak bisa sekaligus, namun dianjurkan perlahan-lahan agar terhindar dari penyakit dekompresi. Dalam kurun waktu demikian saja, tubuh saya sudah kedinginan. Hampir satu jam saya menyelam dan menyaksikan kecantikan alam bawah laut dan meteran saya sudah menunjukkan angka 15 meter tanpa terasa. Saya cukup kaget juga pada saat melihat meter yang tertera. Padahal, sebagai pemula, Pak Hakim mengatakan hanya akan membawa kami ke kedalaman 10 meter saja. Bablas kali yach saking penasarannya sama bentuk-bentuk unik dan ajaib di laut?
Pak Hakim segera meminta kami untuk kembali ke atas dengan perlahan-lahan ketika sisa oksigen kami tinggal 30% saja. Ketika naik, memang tidak membutuhkan equalising saat turun. Sambil mendaki naik, kami melakukannya perlahan-lahan dan kembali mengamati sekeliling kami.
Saat tiba di daratan, saya segera membuka masker dan alat pernafasan saya. Saya segera mengeluarkan sesuatu yang saya kira ingus di dalam hidung saya yang ternyata adalah darah. Pak Hakim menjadi panik lantaran saya belepotan darah dan beliau segera bertanya apakah kondisi saya baik-baik saja. Saya tersenyum dan tertawa bahwa saya baik-baik saja. Mungkin darah tersebut saya dapatkan ketika di kedalaman 5 meter saat saya sukar melakukan equalising sebelumnya. Pak Hakim dengan lega langsung bercerita bahwa kejadian serupa pernah terjadi namun lebih dasyat karena si penyelam sampai muntah darah. Untung saja, saya tidak kenapa-napa. Saya bersyukur masih bisa kembali ke daratan dan bernafas lega oksigen bumi yang lezat tanpa bantuan alat bantu apapun. Jujur saja, seeksotis apapun pemandangan yang saya saksikan tadi, tampaknya menyelam bukan olahraga favorit saya. Mungkin saya tidak akan mau mencoba menyelam lagi. Alasannya, selain olahraga ini menurut saya beresiko tinggi, saya tidak menemukan kenikmatan di dalamnya (serius, udara bumi jauuuuuuh lebih enak daripada udara tabung), adalah sewa peralatannya yang mahal dan tidak sesuai dengan semangat backpacker. Hehehehe.
Pak Hakim meminta kami bergegas menuju kapal karena arus laut sudah sampai tempat kami. Iya, kami bisa merasakan pergerakan kami semakin sulit. Ditambah dengan tubuh kami yang sudah letih berenang di dalam laut, kami semakin membutuhkan usaha keras untuk mencapai kapal. Saat muncul di permukaan, kami sampai di pantai berterumbu karang namun sudah agak dangkal. Berhubung kapal masih jauh dan kami sudah agak kepayahan, akhirnya Pak Hakim berteriak dan memanggil kapal agar kembali dan menjemput kami di tengah laut. Sekianlah pengalaman menyelam saya.
NB : Maaf, saya nggak punya kamera bawah air jadi ngga ada foto penyelaman bawah laut saya. hihihi

Saturday, May 28, 2011

Ikan Bakar Nikmat Di Cemara Kecil

Entah karena saya lapar, entah memang enak sekali, entah Tuhan yang maha tahu, yang jelas, makan siang di tengah Pulau Cemara Kecil terasa luar biasa nikmat. Padahal, lauknya adalah ikan yang baru saja ditangkap dan dibakar begitu saja dengan kayu-kayu seadanya. Bumbunya pun hanya sambal botol cocolan saja. Ikan tersebut dibakar begitu saja, dibolak balik hingga matang.
Untuk nasi, kami memang telah mempersiapkan diri sedari pagi dengan membeli di warung yang buka. Jangan berharap ada toko yang menjual sambal botolan di Cemara Kecil. Sambal botolan tersebut kami beli di Karimunjawa. Intinya, semuanya telah dipersiapkan dengan sangat baik sehingga kami bisa menikmati makan siang ikan bakar di Cemara Kecil pada siang hari terik tersebut. Saya tidak mengetahui nama ikan yang saya makan dan bentuknya pun agak ajaib. Bapak penyelam tersebut menyebutkan namanya, namun saya tidak mengingatnya karena namanya unik, bukan seperti ikan yang sehari-hari kita kenal. Ikan yang dibakar tersebut mengeluarkan sejenis lemak (mungkin lemak tubuhnya kali yaaa) sehingga ikan bakar tersebut tidak kering, namun justru berminyak (padahal kami tidak menggunakan minyak sama sekali loh). Rasanya luar biasa, anda tidak perlu bertanya. Sayangnya, saking semangatnya, bapak penyelam itu mengambil sekitar 6 ekor ikan, padahal kami hanya berlima di kapal tersebut. Adapun, ikan-ikan tersebut berukuran luar biasa besar. Tidak akan sanggup menghabiskan seekor ikan seorang diri. Oh ya, kami sebelumnya sempat membawa telur dadar goreng dari Karimunjawa (sayangnya, telurnya sudah benyek karena dibawa sedari pagi). Alhasil, banyak dari ikan tersebut (dan telur) bersisa sehingga tidak dikonsumsi. Sayang sekali. Oh ya lagi, untuk mengharpun ikan-ikan laut tersebut, nggak gratis loch. Teman-teman akan dibebankan biaya Rp. 50.000 yang akan discharge total ke biaya kamar, kapal dan sewa alat menyelam dari Wisma Wisata. Namun, mereka sudah menginformasikan di awal bahwa harpoon ikan akan dikenakan biaya. Kalau teman-teman keberatan, beli ikan goreng saja di daratan. Hihihihi….

Friday, May 27, 2011

Pulau Cemara Kecil

Satu frase sangat tepat mewakili pulau ini : makan siang! Hore! Ya, setelah berhasil mendapatkan beberapa ekor ikan di Cemara Besar, kemudian kami bertolak menuju Cemara Kecil untuk makan siang. Makan siangnya eksotis loh, yakni ikan yang telah ditangkap dengan harpun manual para bapak-bapak awak kapal yang kami naiki. Ikan-ikan tersebut pun bukan ikan yang biasa kita lihat loch di pasar atau di meja makan. Ikan-ikan tersebut tampak agak nggak biasa. Bapak-bapak tersebut menyebutkan namanya tapi saya nggak terlalu inget namanya saking eksotisnya. Hihihi. Tapi yakinlah, bapak-bapak ini kan juga berprofesi sebagai nelayan, harusnya mereka cukup tahu mana ikan yang bisa dimakan dan mana yang tidak.
Segera, mereka mengumpulkan kayu bakar, membuat tungku sederhana dari bebatuan dan mulai membersihkan ikan tersebut. Tugas kami hanyalah melihat saja. Hehehe. Senangnya! Selain melihat, saya mencoba untuk mengelilingi Pulau Cemara Kecil yang ternyata memang kecil. Pulau tersebut habis dikitari dalam waktu tidak sampai 10 menit dengan berjalan kaki (bahkan sudah termasuk berfoto-foto loch). Pulau tersebut, seperti layaknya pulau-pulau yang masih eksotis, berpasir putih, memiliki air yang jernih dan pantai tidak dalam yang ditandai dengan warna hijau turquoise dan biru benhur. Cantik. Saat itu tengah hari bolong, panas sich, namun perasaan ingin menjelajah pulau tersebut lebih besar daripada sengatan matahari di kulit (Persiapkan sun block sebelum mencapai tempat ini). Vegetasi utama di pulau ini hanyalah cemara laut dan semak-semak. Adapun pohon-pohon yang tumbuh tidak terlalu tinggi. Alhasil, sengatan matahari cukup terasa juga di kulit. Pulau Cemara Kecil ini tidak berpenghuni. Namun, ada seorang bapak yang tampaknya tinggal di salah satu rumah bedeng kecil di tengah pulau yang berfungsi sebagai toilet. Hmmm....
Siang itu, ternyata bukan hanya kami saja yang merapat di pulau ini. Beberapa kapal lain yang mengangkut sejumlah wisatawan tampak merapat dan memulai kegiatan istirahat serta makan siang mereka di tempat ini. Tampaknya, pulau ini secara tidak resmi telah dinobatkan sebagai pulau istirahat dan pulau makan siang. Beberapa wisatawan berleha-leha di pulau ini dengan tidur di bawah sejumlah kerumunan pohon cemara yang rapat, bermain air, bermain perahu-perahuan, bola dan banyak lagi. Pulau yang kecil itu tampak ramai karena didarati oleh sejumlah kapal. Memang, ada sejumlah bagian pulau yang agak sukar dilointasi lantaran pasirnya sedikit, pohonnya banyak dan langsung berhadapan dengan laut. Usahakan menggunakan sandal saat melintasi rerumputan di pulau ini lantaran kita tidak tahu apa yang ada di bawah rerumputan sana. Bisa saja hewan-hewan, sisa-sisa pohon yang keras, bebatuan, hingga sampah buangan manusia mulai dari plastik hingga beling (Ya, di pulau ini telah ditemukan sampah produksi manusia). Sayang sekali...
Untuk anda yang menunggu makan siang, silahkan berjalan-jalan mengelilingi pulau. Walaupun tidak terlalu panoramik, namun beberapa tempat di sudut pulau ini cukup oke untuk dijadikan latar belakang foto. Sisanya hanyalah pemandangan laut lepas ke berbagai arah dengan bentuk awan yang menakjubkan atau pulau di kejauhan. Di salah satu sisi, kita bahkan bisa melihat Pulau Karimunjawa yang besar lengkap dengan gunungnya. Untuk fauna, kalau teman-teman jeli, teman-teman bisa menemukan sejumlah binatang unik yang, sayangnya, sudah mati. Pada saat kunjungan saya menemukan sisa bulu babi, sejenis hewan spons, dan sisa-sisa kulit kerang yang cukup besar. Walaupun sudah terjamah manusia, tampaknya lingkungan alam di Pulau Cemara Kecil ini masih cukup baik. Selamat menikmati Pulau Cemara Kecil!

Monday, May 16, 2011

Main-Main Ke Tanah Gocap Dan Tanah Cepek

Tahu istilah Gocap dan Cepek gak? Well, buat teman-teman yang tinggal di belahan lain nusantara, mungkin nggak terlalu akrab sama istilah ini. Namun, bagi teman-teman yang tinggal di daerah sedimentasi Ciliwung dan Cisadane (baca : Tangerang, Bogor, Bekasi, Jakarta, Depok dan sekitarnya) harusnya cukup akrab dengan istilah ini. Istilah ini mengacu pada bahasa Cina peranakan (dimana salah satunya adalah lebih akrab dikenal sebagai Cina Benteng) yang tinggal di sekitar daerah tersebut. Gocap, artinya lima puluh dan Cepek, artinya seratus.
Nah, di Tangerang, tepatnya di Karawaci (Tolong, jangan membayangkan Lippo Karawaci, Benton Junction dan sekitarnya yaaa...hehehe), ada tempat yang namanya Tanah Gocap dan Tanah Cepek (Saya sudah cek, nggak ada Tanah Jigo, Tanah Captun, Tanah Pego, atau Tanah Nopek, dst...hihihi). Nggak usah buka buku peta besar Megapolitan anda, dijamin, tempat tersebut nggak akan ada. Kedua tempat ini masuk dalam Kelurahan Karawaci, Kota Tangerang dengan kode pos 15115. Jadi, inilah Karawaci yang sebenarnya, bukan Lippo Karawaci dengan mall dan hypermartnya di seberang jalan tol sana. Akses menuju tempat ini bisa dicapai melalui banyak cara, bisa lewat Daan Mogot atau tol dengan exit di BSD City ambil Tangerang Kota, atau Karawaci ambil Tangerang Kota. Hmm...jadi, ada apa di Tanah Gocap dan Tanah Cepek ini?
Sudah lama sebenernya saya mendengar akan nama tempat ini, namun baru kemarin (15/5/11) saya pertama kali mengunjunginya. Wilayah ini adalah wilayah pecinan, komunitas orang-orang Tionghoa yang sudah ada semenjak jaman penjajahan dahulu, datang dari Cina daratan sana, mendarat Teluk Naga dan menyebar di aliran sedimentasi Sungai Cisadane, kemudian kawin mawin dengan penduduk pribumi di tempat ini. Teman-teman bisa melihat ciri tempat ini dengan banyaknya Vihara dan Kelenteng yang berdiri di seputaran tempat ini. Walaupun mereka masih melanjutkan generasi leluhur dengan bersembahyang dan memiliki nama Mandarin, tidak sedikit dari mereka yang sudah menjadi mualaf dan berbahasa Betawi jauh lebih lancar dibanding bahasa leluhur mereka. Yah, saya sich nggak bermaksud menuliskan kisah Cina Benteng di blog ini, namun lebih kepada Tanah Gocap dan Tanah Cepek yang saya kunjungi. Bahkan, saya belum menjawab, ada apa sich di Tanah Gocap dan Tanah Cepek ini. Hihihi.
Saya berkunjung ke Tanah Gocap dengan tujuan mengunjungi salah seorang sahabat saya yang sedang berduka karena Papa-nya meninggal. Beliau disemayamkan di Boen Tek Bio, Rumah Duka Tanah Gocap yang berdiri tepat di pinggir aliran Sungai Cisadane. Yang menarik adalah adanya kompleks pekuburan Cina yang berdiri di samping Rumah Duka Boen Tek Bio ini. Tepat di sebelah barat rumah duka, adalah Tanah Gocap. Kemudian, tepat di sisi barat Jalan Imam Bonjol, memisahkan Tanah Gocap adalah Tanah Cepek. Kedua tempat ini memang merupakan pekuburan Cina dengan banyaknya nisan yang tersebar, bahkan hingga ke tepian jalan. Berhubung penerangan jalan tidak terlalu banyak, maka jangan kaget kalau sedang melintas tiba-tiba muncul satu, dua atau lebih nisan di pinggir jalan. Nisan yang digunakan pun unik, dengan ciri khas pekuburan Cina dan sejumlah tulisan mandarin memenuhi batu nisan tersebut. Kebetulan, saya berkunjung pada malam hari dan saya bersyukur sekali bahwa saya datang beramai-ramai dan tidak sendirian. Hihihi.
Oh yah, Orang tua saya ternyata mengetahui sejarah Tanah Gocap dan Tanah Cepek. Mengapa kedua tempat tersebut diberi nama demikian? Menurut mereka, konon, pada jaman dahulu kala, ketika wilayah ini belum menjadi kota seperti sekarang, masih berupa hutan, harga tanah di tempat ini sebesar Rp. 50 atau gocap. Sementara di sisi seberang Jalan Imam Bonjol seharga Rp. 100 alias cepek. Wah, saya sudah bersiap-siap mengeluarkan recehan untuk memborong semua tanah di tempat ini kalau harganya masih segitu. Maklum, bisnis pemakaman lumayan juga. Hihihi.
PS: Saya nggak nekad mencoba mengambil gambar di tempat ini lantaran hari sudah larut malam. Maaf untuk postingan ini tidak menyertakan gambar kunjungan. Hihihi.

Saturday, May 14, 2011

Laut Dangkal Pulau Cemara Besar

Entah mengapa pulau ini disebut Cemara Besar. Padahal, jelas-jelas hampir semua pulau yang berada di kepulauan Karimunjawa, komposisi vegetasi utamanya adalah Cemara Laut. Pulaunya memang cukup besar, namun kami tidak bertandang ke pulau tersebut. Pulau Cemara Besar asyik untuk diselami lautnya. Keunikan dari Pulau Cemara Besar adalah pantai berpasirnya cukup jauh melebar dari pulau tersebut. Hingga beberapa ratus meter pun, airnya masih terlihat dangkal, berpasir putih dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Enak buat main air sich tepatnya.
Perjalanan dari Tanjung Gelam ke Cemara Besar hanya membutuhkan waktu beberapa belas menit saja. Lokasi keduanya cukup dekat. Mengingat pantai Cemara Besar yang lebar dan dangkal, sebenarnya cukup asyik untuk snorkeling dan diving disini. Namun, saya masih mabuk laut dari latihan diving sebelumnya plus kena hembusan angin laut. Akhirnya, Pak Hakim memutuskan agar saya beristirahat dulu saja, tidak usah melakukan aktifitas ‘melaut’ terlebih dahulu. Kenyataannya, duduk di kapal beristirahat ternyata membuat pusing. Kapal kecil tersebut terombang ambing dihempaskan ombak kesana kemari. Walaupun berair dangkal (airnya hanya sepinggang dan dasarnya pasir putih!), namun ombaknya lumayan. Diterpa kesana kemari membuat saya pusing juga. Nggak bisa beristirahat di kapal dengan kondisi seperti itu, saya memutuskan untuk menceburkan diri ke laut saja. Hey, ternyata saya merasa lebih nyaman dengan main air di laut. Ombaknya tidak begitu terasa pada saat saya berada di pantai. Airnya luas biasa jernih. Dasar laut yang berpasir terlihat bersih dan cemerlang. Pulau Cemara Besar memiliki dua bagian pulau sebenarnya. Bagian utama adalah pulau yang benar-benar ditumbuhi oleh sekumpulan cemara laut. Pulau ini memiliki perpanjangan pasir pantai yang cukup jelas terlihat apabila laut surut (istilahnya, gosong kali yach?). Apabila laut pasang, maka gosong tersebut hanya terlihat sebagai gundukan pasir saja tempat wisatawan biasanya mengumpulkan kulit kerang. Nah, di luar areal pulau dan pantai berpasir tersebut, Pulau Cemara Besar dipenuhi oleh karang-karang dan laut dalam. Agak menakutkan sih. Namun, selepas pasir dangkal tersebut, langsung dasar laut berubah menjadi laut dalam berwarna biru tua dengan karang model jarum berwarna merah dan biru. Ikan-ikan warna-warni berenang berseliweran di bagian ini. Mungkin ini termasuk lokasi penyelaman yang disarankan yach? Namun, karena saya masih menderita sindrom mabok laut, akhirnya saya hanya bermain-main air saja di wilayah sekitar gosong yang dangkal. Melihat laut yang dalam, berair biru tua dan penuh dengan karang tajam membuat nyali saya ciut. Yah, saya penasaran dengan snorkeling sich. Akhirnya, saya nekad mencoba walaupun masih agak-agak mabok. Entah salah teknik atau gimana, yang jelas saya berkali-kali meminum air laut. Segera, saya hentikan kegiatan snorkeling saya dan melanjutkan main airnya. Hihihihi. Disini, salah satu kru anak buah kapal yang kami tumpangi memperlihatkan kebolehannya menyelam. Ia menyelam dengan peralatan tradisional dan membawa harpun manual untuk berburu ikan. Cukup lama ia pergi sampai kemudian kembali dan membawa 5 ekor ikan hasil tangkapan yang rencananya akan dibakar untuk makan siang. Tiba-tiba saya jadi lapar!

Thursday, May 12, 2011

Menyelam Pertama Kali Di Tanjung Gelam

Tanjung Gelam (terkadang disebut Ujung Gelam) adalah sebuah bagian dari Pulau Karimunjawa. Tanjung Gelam berada di sebelah barat pulau ini. Disinilah saya akan melakukan percobaan penyelaman untuk pertama kalinya. Jarak tempuh dari dermaga ke Tanjung Gelam memakan waktu sekitar 30 menit. Ini adalah jarak tempuh via laut. Kalau melalui jalur darat, walaupun masih terletak dalam satu pulau, kurang lebih memakan waktu sekitar 30 menit atau bahkan lebih. Alasannya cukup jelas, kontur naik turun jalanan karimunjawa dan tidak terlalu rapihnya kondisi aspal membuat perjalanan sedikit molor. Ditambah lagi dengan akses darat menuju ke Tanjung Gelam yang agak susah, semakin molorlah total waktu tempuh via darat. Anda harus memarkir motor anda cukup jauh dari pantai Tanjung Gelam yang dibatasi dengan hutan pohon berdahan gabus. Satu-satunya jalan masuk menuju Tanjung Gelam via darat hanyalah jalan setapak yang tidak sering dilalui dan tidak bisa dilintasi sepeda motor.
Dari kejauhan, tampak segerombolan wisatawan telah asik bermain air di wilayah perairan Tanjung Gelam. Beberapa tenda didirikan di tepi pantai. Mungkin mereka bermalam di Tanjung Gelam kali yach? Aktifitas mereka pagi itu adalah snorkeling. Baru kami yang pagi itu telah mencapai Tanjung Gelam untuk memulai penyelaman. Perahu pun tidak berhenti di dekat pantai, namun sekitar 20 meteran dari tepi pasir pantai. Disinilah Pak Hakim, pemandu kami mengajarkan teori tentang penyelaman, cara menggunakan peralatan selam, kode di bawah laut, serta equalizing. Hal-hal seperti inilah yang saya belum pernah tahu sebelumnya. Segera, setelah teori singkat, kami segera melepas pakaian kami dan kemudian berganti dengan pakaian renang. Peralatan selam segera dipakaikan kepada kami. Berat, jujur saja. Hahahaha. Beliau segera mengajarkan untuk memulai penyelaman dengan cara masuk air seperti orang berjalan kaki dan mulai latihan nafas melalui mulut. Untuk awal-awal, kami belum diberikan tabung udara. Kami dianjurkan menggunakan alat snorkel terlebih dahulu agar terbiasa bernafas melalui mulut.
Segera, setelah terbiasa, akhirnya kami dibawa masuk ke dalam laut. Karena Tanjung Gelam merupakan pantai dangkal, sekitar 20 meter dari garis pantai pun dasarnya masih berupa pasir. Hanya sedikit terumbu karang dan ikan yang tidak terlalu warna-warni yang mengisi beberapa tidik di dasar pasir tersebut. Pengalaman pertama memang yang tersulit. Saya harus mengkoordinasikan gerakan berenang saya, pernafasan saya, memperhatikan alat pengukur kedalaman dan tabung oksigen, serta equalizing. Sukar sekali apabila dilakukan sekaligus semuanya. Hehehehe. Untunglah, lama kelamaan jadi terbiasa juga walaupun masih belum terlalu mahir. Yang tersulit tentu saja equalizing. Saya tidak menemukan cara yang nyaman untuk equalizing dengan gerakan membuang ingus. Untung saja, saya pernah mendengar dari pemandu lain, cara yang bisa dilakukan adalah menelan ludah. Fiuh, ini pentingnya ngobrol! Untung saya pernah mendengar informasi berbeda dari pemandu lain. Alhasil, saya bisa melanjutkan penyelaman tanpa terganggu kuping yang sakit.
Ketika menyelam pertama kali, saya masih sering bolak balik ke atas permukaan karena merasa aneh ketika berada di bawah laut terlalu lama. Tambahan lagi, google yang saya kenakan pasti berkabut setelah sekian lama. Cukup mengganggu. Namun, lama kelamaan, tampaknya kita harus membiasakan diri di bawah sana agar bisa dibawa ke tempat yang lebih dalam lagi. Saya harus membiasakan diri dengan pengapung, pelepas udara dari pelampung, melihat meteran kedalaman, dan banyak lagi. Gerakan berenang pun harus disesuaikan agar tidak menabrak-nabrak karang yang masih hidup. Rumit.
Akhirnya, waktu hampir 1 jam pun berakhir. Rasanya, waktu di dalam laut berbeda dengan di daratan. Rasanya saya sudah lama sekali berada di bawah laut sana untuk menyelaman namun di atas baru saja terlewatkan selama 30 menit saja. Aneh. Setelah sisa tabung oksigen mencapai sekian belas persen, kami segera diajak ke atas oleh Pak Hakim dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke spot penyelaman yang lebih dalam. Saya agak mabuk setelah bergulat di dalam laut tadi. Hahaha. Sensasi yang dihasilkan sungguh aneh.

Wednesday, May 11, 2011

Pentingnya Equalizing

Ngomong-ngomong soal Equalizing, Equalizing ini ternyata merupakan salah satu yang terpenting dalam melakukan penyelaman. Apa pasal? Masak sich mengeluarkan gelembung dari telinga saja menjadi suatu hal yang penting? Eh, jangan salah. Ada sebab praktis dan sebab medisnya mengapa kita perlu ber-Equalizing-ria loch. Sebab, seperti yang sudah saya coba, tanpa melakukan Equalizing, kita akan mentok di kedalaman 2-3 meter saja. Kepala rasanya penuh gas dan tidak bisa tenggelam. Susah sekali untuk turun. Apabila kita memaksakan untuk turun, maka dijamin kepala akan berdenyut sakit dan terasa pusing. Efek terburuk, gendang telinga kita bisa pecah dan yang paling parah tentu saja kematian karena kerusakan organ-organ dalam. Equalizing ini adalah proses penyeimbangan tekanan di sekitar laut tempat kita berada dengan tekanan di tubuh kita. Teman-teman masih ingat kan, setiap tambah kedalaman 10 meter, tekanan di dalam laut akan bertambah 1 atm. Jadi, teman-teman bisa bayangkan betapa besarnya tekanan di dasar laut. Tekanan tersebut cukup untuk menghancurkan tubuh kita jadi serpihan. Oleh karena itu, kita perlu belajar teknik equalizing yang benar dan harus benar-benar bisa melakukannya sebelum melakukan penyelaman ke tempat yang cukup dalam. Kalau sampai nggak bisa equalizing, yah, artinya anda harus cukup puas dengan bermain di kedalaman 2-3 meter saja dimana umumnya tidak terdapat apapun. Apa bedanya dengan snorkeling donk yach? Hehehe. Terlebih lagi, proses equalizing ini harus dilakukan berkali-kali selang kedalaman tertentu, misalnya 3 meter turun ke 5 meter, 5 meter turun ke 7 meter, 7 meter ke 10 meter, dan seterusnya. Intinya, tidak ada patokan yang pas untuk melakukan equalizing. Ketika sudah mulai merasa agak susah untuk turun dan kepala mulai sakit, segeralah melakukan equalizing.
Prinsip dasar equalizing ini sih sebenarnya mudah saja. Intinya, adalah kegiatan membuang ingus dengan tangan menutup hidung (tepatnya, memencet hidung). Biasanya, saat melakukan ini, nanti gelembung udara keluar dari telinga. Saat inilah equalizing kita berhasil dan secara otomatis tubuh kita akan jatuh ke tingkatan laut yang lebih dalam. Namun ada kalanya, cara ini tidak begitu berhasil dilakukan oleh sejumlah orang. Saya sendiri memilih untuk mengadopsi cara “menelan ludah”. Tampaknya, gerakan bertekanan yang terjadi di seputaran hidung, mulut dan tenggorokan serta kerongkongan kita sudah bisa memicu yang namanya equalizing itu. Saya yang tidak sukses melakukan gerakan buang ingus ternyata sukses melakukan gerakan menelan. Buat saya, ini jauh lebih mudah karena cukup dengan menelan, gelembung-gelembung udara keluar dari telinga saya. Menyenangkan.
Saat kebalikannya, saat kita akan naik ke permukaan laut (biasanya sih saat oksigen di dalam tabung tinggal sekian belas persen), sebaiknya kita melakukan naik secara bertahap agar tubuh kita juga menyesuaikan tekanan besar di bawah laut dengan tekanan normal di permukaan laut. Ini untuk menjaga agar tubuh kita terbiasa dan tidak berpotensi merusak organ dalam kita yang disebabkan oleh perbedaan tekanan tadi. Cukup jelas rasanya mengapa equalizing perlu dan wajib untuk diketahui dan dilakukan. Memang sih, kode-kode penyelaman dan teori penggunaan alat-alat penyelaman juga patut dikuasai. Namun, sebaiknya anda jangan mencoba nekad untuk terus memaksakan diri menyelam ketika equalizing tidak berhasil dilakukan. Para guide anda akan dengan sabar menunggu dan membimbing anda hingga berhasil melakukan equalizing. Taruhannya cukup besar soalnya, yakni nyawa anda. Anda masih ingin kan kembali ke darat dengan tubuh utuh tanpa luka? Jawabnya cukup jelas : anda harus menguasai equalizing terlebih dahulu. Jangan panik, rileks saja.

Percobaan Menyelam Untuk Pertama Kalinya

Baju renang sudah dipakai (eh, sah-sah aja loh kalau mau berbikini ria dari pantai), kamera sudah dipersiapkan, diving equipment sudah dimasukkan, jadi, apalagi yang kita tunggu? Mari kita mulai menyelam! Perjalanan penyelaman pertama saya ini menggunakan kapal kayu tepat pada pukul 8 pagi. Bersama dengan kami, ada sejumlah wisatawan yang turut menaiki kapal mereka masing-masing guna memulai kegiatan menyelam mereka. Seperti apa rasanya yach? Hhmm...saya sich nggak mau memikirkan, yang penting dicoba saja dulu!
Jadi, untuk paket penyelaman pemula di Karimunjawa, mereka sudah memiliki lokasi-lokasi mana saja yang akan dijadikan spot-spot wisata dan penyelaman. Untuk penyelam pemula dan pertama kali, pasti akan dibawa ke Tanjung Gelam (Ujung Gelam), Pulau Cemara Besar, Pulau Cemara Kecil (makan siang), Pulau Menjangan Kecil, dan Pulau Menjangan Besar (penangkaran hiu). Untuk penyelam berpengalaman, mereka biasanya akan menempuh jarak yang lebih jauh lagi ke arah barat atau timur, dimana arus laut biasanya lebih kuat karena pulau-pulau semakin kecil dan jarang di tempat tersebut. Nah, untuk yang baru pertama kali menyelam, memang disarankan untuk mengambil dua tabung oksigen dengan perhitungan 1 tabung untuk 1 jam percobaan menyelam dan 1 tabung berikutnya untuk menyelam yang sesungguhnya selama 1 jam juga. Yah...sah-sah aja sih kalau cuma niat ambil 1 jam tabung saja dengan asumsi 1 jam cukup untuk melakukan penyelaman. Namun, pertimbangannya adalah sewa alat penyelaman yang mahal itu masih tidak sebanding dengan harga satu buah tabung (Rp. 75.000). Sayang sekali kalau sudah menyewa peralatan yang mahal namun tidak puas memakainya. Dua jam cukup lah untuk pemula.
Percobaan penyelaman yang pertama berlangsung di Tanjung Gelam / Ujung Gelam. Tanjung Gelam ini merupakan bagian yang masih berada di Pulau Karimunjawa namun aksesnya jauh lebih mudah via laut daripada darat. Sekedar info saja, untuk menuju Tanjung Gelam via darat, anda harus berjalan kaki cukup jauh menembus hutan dan ada kemungkinan tersesat lantaran baru ada jalan setapak yang dibuat manusia dan belum ada papan petunjuk jalan. Anda harus benar-benar mengandalkan informasi dari penduduk setempat Tanjung Gelam.
Perairan Tanjung Gelam tidak terlalu dalam. Maksimal sekitar 2-4 meter saja. Alas bawah lokasi penyelaman masih berupa pasir. Oleh sebab itulah alasan lokasi ini dipilih untuk latihan menyelam. Terumbu karang, walau tidak terlalu banyak, tapi sudah cukup terlihat di tempat ini (jujur saja, warnanya tidak terlalu menarik sih, kalah jauh dibandingkan dengan yang terlihat di televisi). Latihan penyelaman pertama kali dimulai dari teori, pengenalan alat, kode-kode yang digunakan (maklum, di bawah air kan ngga bisa ngomong. Hahaha), hingga aqualizing yakni tehnik turun ke kedalaman tertentu dengan mengeluarkan gelembung air dari dalam telinga kita. Guide akan ikut turun dan memandu kita untuk melakukan gerakan yang benar di bawah laut sehingga tidak membahayakan diri kita maupun orang lain. Walaupun kita kira 1 jam itu cukup lama dan cukup terbuang percuma, namun kenyataannya, waktu 1 jam terpakai cukup banyak untuk membiasakan diri kita sebelum terjun ke laut bebas yang berarus dan dasarnya tidak terlihat. Hiiiii. Perjalanan dari dermaga wisata Karimunjawa menuju Tanjung Gelam membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Cukup menyenangkan menikmati udara pagi di atas kapal walau saya akui, lama kelamaan, hembusan dan terpaan angin membuat saya sedikit mabuk laut. Untuk saja saya tidak sampai muntah dibuatnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk makan pagi sebelum mulai menyelam dan mempersiapkan kondisi badan yang benar-benar fit.

Friday, May 06, 2011

(Akhirnya,) Mari Menyelam!

Sebenarnya, saya tidak memikirkan faktor menyelam ketika berkunjung ke Karimunjawa. Teman saya memang berniat untuk menyelam ketika memutuskan untuk pergi ke Karimunjawa. Namun saya? Mungkin karena saya bukan orang ‘laut’, rasa ingin menyelam itu tidak terlalu tinggi. Yang kedua, sesampainya di Karimunjawa pun saya sudah tidak memikirkan kemungkinan menyelam. Mungkin nanti saya bermain-main di perahu saja, dan membiarkan teman saya menyelam, begitu pikir saya. Alasan utama saya tidak tertarik untuk menyelam bukan karena faktor ketakutan atau hal-hal sejenisnya. Maklum, hal yang pertama kali dicoba justru menantang untuk dilakukan. Saya tidak memiliki pengetahuan akan olahraga yang satu ini. Saya mungkin tertarik untuk mencobanya, namun di sisi lain juga tidak terlalu tertarik untuk mencoba. Alasan saya yang paling utama adalah soal anggaran. Hihihi. Silahkan cerca saya, namun saya berpendapat, menyelam berlawanan dengan semangat backpacker. Anggaran yang harusnya bisa ditekan seminimal mungkin harus menggelembung dan pecah seperti bisul lantaran tambahan aktifitas yang satu ini. Kalau menyelam adalah olahraga murah, mungkin pertimbangan saya tidak terlalu banyak. Namun, menyelam ternyata merupakan olahraga mahal. Kegiatan satu ini membengkakkan biaya perjalanan saya hingga dua kali lipat! Hal yang tidak saya sangka-sangka. Lonjakan total anggaran berasal dari kegiatan menyelam ini saja. Tentu, saya harus berpikir ulang matang-matang, haruskah saya mengambil kegiatan ini? Namun, Karimunjawa = menyelam. Koq sudah jauh-jauh sampai Karimunjawa tidak menyelam? Sayang banget. Karimunjawa kan identik dengan kegiatan menyelamnya. Pantai perawan nan berpasir putih hanya menjadi gimmick semata saja. Namun, denyut kehidupan 27 pulau ini berasal dari penyelaman. Yah, saya berpikir positif saja bahwa kegiatan ini bisa menjadi warna baru di blog saya tercinta ini. Hihihi. Siapa tahu, ternyata saya malah menggemari kegiatan yang satu ini. Siapa tahu, saya malah kesengsem berat sama kegiatan yang satu ini. Dan segala macam siapa tahu lainnya, maka akhirnya saya memutuskan untuk menyelam, jauh ke dalam lautan biru.
Sejatinya, saya nggak punya gambaran sama sekali akan kegiatan menyelam. Baik dari segi teknik, hingga anggaran yang dibutuhkan. Saya cuma tahu ada orang menggunakan tabung oksigen, membawa kamera dan berenang kesana kemari di dalam laut dan menyaksikan aneka anemon laut berwarna-warni. Hihihi. Jadi, pada saat saya mengetahui anggaran yang saya butuhkan, jujur, saya agak kaget. Sebenarnya, biaya bisa ditekan apabila teman-teman pergi menyelam beramai-ramai. Sayangnya, saya hanya berdua saja dalam tim ini (bersama dengan seorang instruktur menjadi bertiga). Biaya yang seharusnya bisa dibagi-bagi banyak orang hanya dibagi berdua saja. Sekedar gambaran, biaya yang saya butuhkan adalah :
1. Kapal kayu (bisa diisi hingga 5-6 orang peserta penyelam) Rp. 300.000
2. Satu set peralatan penyelaman (termasuk satu tabung oksigen) Rp. 250.000
3. Guide penyelam untuk satu hari Rp. 150.000
4. Ekstra tabung oksigen (satu tabung untuk satu jam) Rp. 75.000
5. Jasa mengharpun ikan di laut lepas dan memasak (dapat sekitar 5 ekor besar) Rp. 50.000
Teman-teman bisa lihat, biaya yang cukup berat bebannya adalah satu set alat penyelaman termasuk dengan tabung gas-nya. Biaya ini ditanggung oleh masing-masing penyelam. Berbeda dengan perahu kayu dan guide, biaya ini bisa ditanggung beramai-ramai. Namun perlu teman-teman ingat juga, set penyelaman untuk guide dan ekstra tabung oksigen juga merupakan tanggungan peserta. Untuk tim saya yang berjumlah dua orang, kami harus menanggung set peralatan penyelam untuk 3 orang. Seandainya jumlah anggota penyelaman lebih banyak, harusnya biaya ini bisa menjadi lebih murah.
Selain persiapan peralatan yang tepat untuk menyelam, teman-teman perlu juga mempersiapkan segala sesuatunya selama berada di lautan. Maklum, kapal akan berlabuh pukul 8 pagi, melakukan test penyelaman di tempat dangkal, melakukan penyelaman sungguhan di laut lepas, dan baru akan kembali menjelang sore hari (sekitar pukul 5 sore) saat arus laut mulai kencang. Tidak ada alasan untuk berbalik. Maka dari itu, usahakan untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, seperti :
1. Pakaian renang yang tepat (ternyata, ngga perlu pakaian selam yang menutupi sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, cukup celana renang saja)
2. Kesiapan mental dan kesehatan yang baik
3. Sudah harus bisa berenang (ini penting! bayangkan kalau teman-teman nggak bisa berenang namun mau menyelam!)
4. Kamera bawah air (baik kamera air, menggunakan aquapac ataupun camera housing waterproof)
5. Obat anti mabuk dan obat masuk angin (percayalah, anda akan butuh ini)
6. Susu kental manis (dipercaya bisa melebarkan jalur pernafasan kita via mulut), dan saus sambal (untuk dicocol saat makan siang ikan bakar di pulau nanti, hihihihi).
Sayang beribu sayang, saya melupakan salah satu dari perlengkapan yang saya sebutkan tersebut. Saya tidak mempersiapkan kamera bawah air karena terlalu sibuk dengan teori-teori yang diberikan oleh pemandu selama menyelam. Saya terlalu sibuk memperhatikan meteran kedalaman, pengukur tekanan, dan kembali mengingatkan diri saya untuk bernafas lewat mulut, bukan hidung. Ini menarik dan sekaligus rumit karena semua hal tersebut harus dilakukan bersamaan. Hihihi. Yah, pelan-pelan juga akan terbiasa sich. Ini gunanya tabung pertama yang akan dipakai untuk latihan menyelam di tempat dangkal.

Bersandar Di Dermaga Perintis Karimunjawa

Ceritanya, saya masih melanjutkan perjalanan pagi saya dalam mengelilingi Kota Karimunjawa. Perjalanan lebih lanjut menuju timur mencabangkan saya pada sejumlah pilihan. Kompleks perkemahan Legon Lele, Kapuran, dan Dermaga Perintis (dermaga yang digunakan sebagai berlabuhnya KM Muria dan KM Kartini). Saya pilih Dermaga Perintis karena pada pukul 8 saya harus bersiap untuk pengalaman menyelam pertama saya. Saya memilih dermaga karena jaraknya dekat dan memutar. Saya bisa dengan mudahnya untuk segera kembali ke penginapan apabila waktu sudah hampir pukul 8 pagi.
Dermaga Perintis Karimunjawa, lucunya, walaupun bernama perintis adalah dermaga utama bagi KM Muria dan KM Kartini yang berlayar dari Jepara dan Semarang, mengantarkan penduduk, turis dan logistik ke pulau ini. Begitu anda menjejakkan kaki di Karimunjawa, dermaga inilah yang anda injak pertama kali! Keramaian turis tidak tampak nyata di dermaga ini. Maklum, saat itu masih pagi dan KM Kartini maupun KM Muria belum ada yang akan segera berlabuh atau merapat. Keramaian justru didominasi oleh kapal-kapal nelayan aneka ukuran yang sedang mengeluarkan muatannya. Tampak sejumlah nelayan tradisional dan kuli pikul hilir mudik beraktifitas di tepi dermaga. Mereka asyik saja beraktifitas tidak memperdulikan saya yang sedang berkeliling dan berfoto di tepi dermaga.
Banyak hal-hal menarik yang bisa dieksplorasi selama kunjungan di Karimunjawa. Kenapa harus memaksakan diri tidur lebih lama lagi di tempat tidur apabila anda sedang berlibur? Segera angkat badan anda dan bawa kamera anda. Anda bisa menemukan banyak hal menarik di Karimunjawa di luar hal penyelaman. Sayang, saya tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Pukul 8 sudah menanti saya untuk memulai kegiatan penyelaman saya. Saya sudah tak sabar ingin mencobanya.

Hanung Bramantyo Ber-Tanda Tanya

Walaupun sudah agak basi, karena saya baru saja menyaksikan film ini beberapa minggu setelah peluncuran perdananya, namun saya tetap bersemangat untuk mengulas film ini. Saya kebetulan menyaksikan film ini di minggu-minggu terakhir peredarannya, jadi saya punya kesempatan tidak terlalu banyak untuk menganjurkan teman-teman guna menyaksikan film ini (Teman-teman di luar jabodetabek tampaknya memiliki waktu lebih panjang untuk menyaksikan film ini).
Akhirnya, setelah menjadwalkan waktu yang pas, saya bisa dan berkesempatan menyaksikan film '?' besutan Hanung Bramantyo. Film yang sedang jadi buah bibir dan menuai banyak pro dan kontra ini memang sensasional. Tema yang diangkat yakni mengenai pluralisme atau kemajemukan dalam kehidupan beragama, sesuatu yang cukup sensitif namun faktanya terjadi di akar rumput di dalam masyarakat Indonesia. Saya tidak akan mencoba mengulas jalur cerita film ini karena blog lain sudah cukup banyak yang mengulasnya. Saya akan mencoba untuk mengulasnya dari sisi pandangan saya sendiri dan mengapa film ini wajib tonton.
Hanung menggigit. Ia menggigit karena berani melawan arus perfilman Indonesia yang masih dibanjiri dengan film-film hantu konyol dan calon-calon artis lebay yang bermimpi untuk menjadi seorang superstar dengan baju minim dan jejeritan disana sini. Tidak sekedar melawan arus, Hanung bahkan membuat sensasi. Ia menggebrak perfilman Indonesia dengan menyajikan sesuatu yang sangat sensitif dan bahkan cenderung tabu untuk dibicarakan di masyarakat kita. Ia mengangkat permasalahan pluralisme. Ia mengangkat betapa gesekan antar umat beragama telah menjadi menu makanan kita sehari-hari. Hanung tahu, ia akan menuai kecaman setelah film ini disaksikan oleh banyak orang. Di luar dari ucapan kontra yang mengatakan bahwa sebaiknya film ini diberedel, atau ucapan pro yang menyatakan bahwa ini film yang bagus karena berani bersuara, kita harus berjumpa dengan realitas bahwa kita hidup di dalamnya.
Di luar dari ketidaklogisan yang terjadi di dalam film ini (beberapa bahkan mengatakan bahwa Hanung terlalu memaksakan logikanya pada film ini), saya justru berpendapat bahwa Hanung patut mendapatkan semua jempol saya ketika dia mencoba menyajikan jalan cerita seperti ini. Hampir semua kejadian yang ada di dalam film ini memang realitanya terjadi di dalam keseharian kita. Tidak perlu munafik dengan terus menerus mengatakan bahwa "perbedaan agama dan keyakinan dijunjung tinggi di Indonesia". Kenyataannya, agama selalu memicu konflik horisontal bukan hanya di Indonesia, namun dimanapun itu. Polanya selalu sama, mayoritas melawan minoritas. Gesekan-gesekan antar umat beragama memang cukup lumrah terjadi dan tugas masing-masing setiap individu-lah untuk bertepa selira dan memahami pemeluk agama lain dengan lebih baik. Walaupun saya tidak menyukai beberapa adegan (saya nggak suka ketika Soleh (Reza Rahadian) memeluk bom dan melakukan penyelamatan namun mengorbankan dirinya. Seharusnya ada cara lebih baik bagi ia untuk bisa menyelamatkan gereja dari ledakan bom tanpa harus memakan korban yakni nyawanya sendiri), namun ending film ini sangat baik untuk ditampilkan. Saya suka ending yang bahagia, ending yang berkisah tentang kemajemukan yang terjadi justru menjadi pengikat yang kuat di antara masing-masing individu tersebut. Hal-hal yang terjadi pada setiap peran individu dalam film ini hendaknya tidaklah dijadikan stigma akan "pakaian agama" yang dikenakannya sepanjang film. Keputusan-keputusan yang diambil setiap individu tidak difaktorkan agama saja, namun pasti ada faktor lain yang kuat dan mempengaruhi.
Film ini memang bukan film agama. Ia tidak menampilkan suatu agama tertentu. Ia bercerita kepada para penontonnya akan kemajemukkan, dan gesekan yang terjadi di dalamnya. Penafsiran adalah hal yang lumrah bagi setiap penonton. Yang salah adalah ketika penafsiran mulai bersifat subjektif dan muncul kekhawatiran akan film ini. Hey, ini hanya sekedar film. Film yang baik justru harus membuat para penontonnya berpikir dan terbuka jalan pikirannya. Ini film baik yang menurut saya semakin mengajarkan kita untuk menghargai perbedaaan beragama. Kebebasan beragama hanyalah menjadi milik masing-masing individu. Apapun pilihannya, hak seseorang untuk beragama dan beriman tidak boleh dipolitisi atau dibatasi sekat-sekat tertentu. Itu sudah merupakan hubungan personal antara Tuhan dan umatNya. Saya rasa tidak ada orang yang berpindah agama segampang itu, apalagi setelah sekedar menonton film ini saja. "Ikuti Hatimu", kata David Chalik yang menjadi ustadz dalam film ini.

Hal lain yang menarik untuk saya angkat adalah setting film ini. Tentu, bukan tanpa alasan posting film ini bisa masuk ke dalam indahnesia.co.cc. Film ini bersetting di Semarang Utara, kawasan kota lama yang berpadu dengan kawasan pecinan. Sambil menonton, mata anda akan dimanjakan dengan arsitektur bangunan tua khas Semarang Kota Lama. Bisa menjadi ide yang baik untuk berjalan-jalan ke Semarang dan menikmati sudut kota yang satu ini. Bahkan, pada salah satu adegan, lokasi pengambilan gambar dilakukan di tempat yang cukup terkenal, yakni taman di sebelah Gereja Blendug, Semarang. Saya kembali bernostalgia ketika menyaksikan film ini.
Kembali lagi, sebelum film ini habis tayang di bioskop, teman-teman wajib menonton film ini. Saya merasakan sensasi kesegaran setelah sudah cukup lama tidak menyaksikan film Indonesia yang berkualitas. hal yang teman-teman perlu ingat, ini bukan film agama. Jadikanlah film ini untuk membuka pikiran kita, bahwa kita perlu semakin mempererat persaudaraan kita dengan teman yang berbeda ras dan agama, suku dan aliran. Kejadian buruk akibat gesekan antar umat beragama dalam film tersebut sungguh tidak mengenakkan hasilnya. Tidak perlu sama sekali hal tersebut sampai terjadi di dunia nyata. Pesan yang ditampilkan cukup jelas. Kebenaran hanya milik Tuhan semata. Tidak perlu-lah kita menghakimi sesama kita. Kembali lagi, kebenaran hanya milik Tuhan semata. Semua orang sudah letih dengan gesekan-gesekan tersebut. Mengapa tidak mengembangkan senyum dan memeluk saudara-saudara kita?

Monday, May 02, 2011

Dewadaru, Pohon Dewa Karimunjawa

Sudah tahu kan kalau listrik di Karimunjawa terbatas? Listrik yang melayani pulau-pulau utama di Karimunjawa hanya tersedia mulai pukul 6 sore hingga 6 pagi saja. Selepas itu, ucapkan selamat tinggal pada listrik. Hihihi. Makanya, kalau mau nge-charge baterai blackberry, baterai kamera, baterai laptop, dan peralatan listrik lainnya, lakukan dengan bijak. Tiada listrik sama sekali untuk 12 jam selama matahari bersinar. Pembangkit Listrik yang mereka miliki terletak di jalan raya sepanjang 22 KM yang membentang dari Kota Karimunjawa hingga Kampung Bugis dan Dermaga Legonbajak di Pulau Kemujan. Lokasinya berada di antara Ujung Gelam dan Kota Karimunjawa. Eh, rasanya kita nggak butuh listrik dech di siang hari. Ngapain banget coba siang-siang ngendon di dalam penginapan? Mendingan keluar dan menikmati pulau ini. Iya tidak?
Oleh karena itu, listrik, AC dan semua peralatan listrik yang mengkonsumsi listrik pada malam hari, akan mati pada pukul 6. Kalau begitu, saatnya kita bangun dan menikmati Karimunjawa di pagi hari, sebelum siangnya kita menyelam! Nah, Kota Karimunjawa sendiri, seperti yang pernah saya katakan, adalah kota yang berukuran kecil. Pusat kotanya bisa habis dikelilingi dengan berjalan kaki selama 1 jam. Itu pun sudah termasuk melihat-lihat objek-objek menarik yang ada di seputaran kota. Hmm...memangnya ada objek menarik apa saja sich di seputaran kota?
Kota yang bentuknya tidak terlalu rumit ini mudah sekali untuk dikelilingi. Penduduk lokal memang tidak terlalu banyak pada pagi hari seperti ini. Mereka rata-rata masih berada di rumah masing-masing untuk melakukan pekerjaan rumah. Namun, pada pagi hari, kalau beruntung kita bisa menjumpai satu, dua atau bahkan segerombolan turis (sangat terlihat dari pakaiannya) jogging pagi-pagi di seputaran kota. Jangan bayangkan ini adalah kota metropolitan yah. Pusat kota Karimunjawa hanya terkonsentrasi di alun-alun saja. Areal yang mengelilingi alun-alun sebagian besar didominasi oleh rumah penduduk dan wajah hutan. Udaranya cukup bersih walaupun tidak terlalu dingin. Jogging pagi-pagi sangat layak dilakukan menurut saya.
Nah, pada pagi hari saya mencoba berjalan kaki ke arah dermaga utama Karimunjawa. Salah satu yang cukup menarik perhatian saya adalah Kantor Departemen Kehutanan Taman Nasional Karimunjawa. Walaupun kantor tersebut belum dihuni sepagi itu, namun halaman kantor ini cukup menarik untuk disambangi. Apa pasal? Di halaman kantor, terdapat sejumlah tanaman endemik Karimunjawa yang dikembangbiakkan. Sebut saja Mahoni, Nyamplung, dan Dewadaru. Kedua jenis pohon pertama mungkin tidak terlalu menarik perhatian. Namun, Dewadaru? Jujur, saya baru pertama kali mendengar nama pohon ini di Karimunjawa. Setelah sedikit penelitian (biasa, dibantu oleh eyang Google), ternyata Karimunjawa adalah salah satu tempat di Asia Tenggara yang cukup banyak ditumbuhi tanaman ini. Dewadaru aslinya berasal dari dataran tinggi Himalaya di India dan Nepal. Sri lanka bahkan menjadikan tanaman ini sebagai tanaman nasionalnya. Namun kenyataannya, tanaman ini bisa tumbuh pada daerah tropis berpantai seperti Karimunjawa. Tanaman ini memiliki julukan kayu besi sehingga kerap digunakan sebagai bahan baku fondasi bangunan atau bantalan rel kereta. Beberapa literatur bahkan menyebutkan bahwa Dewadaru bersifat magis, dikeramatkan, dan lebih ekstrim lagi tidak bisa dibawa keluar dari Karimunjawa. Hihihi...sayangnya saya nggak sebegitu nekadnya mencoba mengeluarkan tanaman ini dari Karimunjawa. Sekedar informasi, bandar udara di Pulau Kemujan, Karimunjawa bernama Bandara Dewadaru. Ini menunjukkan, pohon Dewadaru ini memang memiliki keterikatan kuat dengan Karimunjawa. Pohon ini adalah identitas Karimunjawa. Eit, jauhkan tangan anda dari tanaman Dewadaru tersebut. Saya yakin anda nggak mau dapat masalah gara-gara mematahkan dahan pohon itu. Mendingan kita lanjut jalan-jalan pagi dan menikmati udara segar disini.

(Susahnya) Pilah Pilih Makanan Di Karimunjawa

Wisata kuliner memang bukan menjadi prioritas saya. Buat saya, yang terpenting adalah mendapat asupan energi selama perjalanan agar badan tidak jatuh lemas lantaran tidak diasup apapun. Selama perjalanan saya mengelilingi berbagai belahan nusantara, saya tidak terlalu memaksakan diri untuk mencari makanan khas. Prinsip saya, selama bisa mendapatkan bentang alam yang saya incar, makan mie instan rebus, atau sepotong roti, atau secuplik pisang goreng pun sudah memadai buat saya. Makanan tidak pernah menjadi persoalan untuk saya. Apabila secara kebetulan saya menjumpai makanan khas tradisional suatu daerah, tentunya saya tidak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipi dan sekaligus membuat reviewnya. Makanan adalah proses wisata dan kebudayaan juga! Namun demikian, saya tidak pernah berkeras kepada diri saya sendiri untuk selalu menyambangi makanan-makanan khas suatu daerah. Apalagi kalau cara mendapatkannya susah, wuaah, lupakan sajalah!

Nah, Karimunjawa terkenal dengan wisata bahari-nya. Daerah ini memiliki identitas budaya tersendiri yang agak membedakannya dengan Jawa daratan. Berhubung identitas budaya-nya tidak terlalu kentara, maka untuk urusan makanan pun, Karimunjawa agak sedikit ’kurang’. Sebut saja Garangasem Kudus, Timlo Solo, Mendoan Purwokerto, dan Swikee Purwodadi, Karimunjawa tidak memiliki makanan khas. Rata-rata, makanan yang bisa kita jumpai setiap harinya adalah makanan yang umum ditemui dimana saja. Makanan tersebut bukan makanan asli, melainkan makanan yang dibawa oleh pendatang, ataupun makanan lokal yang sudah cukup merakyat dimana-mana. Alhasil, bakso, gorengan, ikan goreng, tempe, tahu, dan telur goreng menjadi menu yang sehari-hari ditemui. Nasi goreng ada saat sesekali. Inilah sejumlah menu yang saya temui selama berada 4 hari di Karimunjawa.
Hal ini tidak pernah saya duga sebelumnya. Saya pikir saya tidak akan mengalami masalah dengan soal makanan ini. Saya salah. Saya sampai pada titik bosan pada hari kedua saya berada di tempat ini. Rasanya, makanan yang setiap hari saya makan adalah menu makanan yang sama. Walaupun saya mengusahakan variasi makanan setiap hari, entah mengapa saya merasa rasa yang tercecap adalah sama. Untuk anda yang menginginkan sedikit variasi, jangan lupa untuk membawa beberapa bahan makanan yang sekiranya dapat diolah di Karimunjawa. Untuk yang ngga mau repot, ya nikmati sajalah menu-menu khas Karimunjawa selama berada di kepulauan ini. Saya percaya, ikan segar yang ditangkap dan dibakar memang menyenangkan dan seru. Sangat lezat. Namun, menu ikan untuk 4 hari ke depan? Pikir lagi.