Saturday, August 27, 2011
(Kembali Ke) Sumatera Utara
Friday, August 26, 2011
Sorabi Hijau Asli Rengasdengklok!
Salah satu penganan khas Rengasdengklok yang nggak boleh terlupa saat berkunjung ke kota bersejarah ini adalah sorabi. Bukan sorabi biasa loch, serabi ini warnanya hijau. Mungkin kalau anda jarang bertandang ke Karawang, kita akan jarang mendengar kesohoran sorabi ini. Namun, area yang berbatasan dengan Karawang seperti Bekasi, Subang dan Purwakarta cukup mengenal sorabi hijau milik M. Kasim. Sorabi ini tidak memiliki cabang, hanya ada satu-satunya di Rengasdengklok, bahkan di Karawang, Jawa Barat, Indonesia, atau bahkan seluruh dunia. Hahaha. Lebay.Sehubungan dengan lokasinya yang dekat kuburan, sorabi ini bahkan bergelar "Sorabi Kuntilanak" hahaha.
Sorabi ini tersedia dalam dua rasa : original rasa gula jawa dan rasa durian. Hmmm...kabar baik untuk penggemar durian nich. Rasa sorabinya sich sama aja, yang membedakan hanyalah saus bumbunya saja. Terus terang, rasa durian memang lebih enak karena lebih terasa bumbunya. Namun, buat yang nggak menggemari buah yang satu ini, rasa original pun menarik untuk dicoba. Untuk sorabi original, harga jualnya Rp. 15.000 untuk 10 butir sorabi. Untuk sorabi durian, harganya Rp. 20.000, lebih mahal Rp. 5.000 untuk jumlah sorabi yang sama. Kalau ke Rengasdengklok, jangan lupakan sorabi ini. Telepon (0267) 480776. Bapak M. Kasim menerima pesanan juga loch.
Sorabi ini tersedia dalam dua rasa : original rasa gula jawa dan rasa durian. Hmmm...kabar baik untuk penggemar durian nich. Rasa sorabinya sich sama aja, yang membedakan hanyalah saus bumbunya saja. Terus terang, rasa durian memang lebih enak karena lebih terasa bumbunya. Namun, buat yang nggak menggemari buah yang satu ini, rasa original pun menarik untuk dicoba. Untuk sorabi original, harga jualnya Rp. 15.000 untuk 10 butir sorabi. Untuk sorabi durian, harganya Rp. 20.000, lebih mahal Rp. 5.000 untuk jumlah sorabi yang sama. Kalau ke Rengasdengklok, jangan lupakan sorabi ini. Telepon (0267) 480776. Bapak M. Kasim menerima pesanan juga loch.
Thursday, August 25, 2011
Matahari Terbenam Dan Jalanan Rusak Rengasdengklok
Malam belum benar-benar turun di Pantai Tanjung Pakis, namun kami sudah harus segera pulang berhubung jalanan yang minim penerangan akan terbentang di hadapan kami. Agak ngeri juga kan kalau pulang di jalanan areal tambak dengan penerangan seadanya? Jadi, sebelum matahari benar-benar terbenam, setidaknya kami sudah keluar dari area Tanjung Pakis. Sambil menyusuri jalan yang luar biasa gelap, kami menyaksikan salah satu matahari terbenam paling indah yang pernah saya saksikan selama hidup saya. Areal tambak dan ladang yang hampir tidak memiliki tutupan rumah, hanya pepohonan dan rumput saja, membuat wilayah Pakis Jaya sangat cocok untuk dijadikan tempat melihat matahari terbenam loch. Walaupun pantai sudah tidak terlihat lagi, namun matahari terbenam di horison masih dapat kita saksikan disini. Akhirnya, saya dan rombongan sepakat untuk berhenti sebentar dan menikmati cantiknya matahari terbenam di Pakis Jaya, Karawang.
Kami tidak lama menyaksikan matahari terbenam tersebut. Proses terbenamnya matahari ternyata tergolong cepat apabila kita menunggunya. Tidak sampai beberapa menit, kami bisa melihat matahari yang semakin condong hingga perlahan-lahan menghilang. Seiring dengan gelap yang semakin turun di sekeliling kami, kami segera bergegas agar setidaknya sudah mencapai Jalan Raya Rengasdengklok sebelum kegelapan total melanda. Nah, setelah tadi kami menyaksikan salah satu matahari terbenam yang terindah dalam hidup saya, sekarang saya mengalami jalan paling panjang yang pernah saya lalui. Walaupun jaraknya tidak terlalu panjang, kami membutuhkan hampir satu setengah jam dari Pakis Jaya hingga Rengasdengklok. Saya bahkan sempat tertidur, terbangun, mengobrol, dan tertidur, kemudian terbangun lagi! Namun kami belum tiba di Rengasdengklok. Mengagumkan! Jalanan yang tidak terlalu bagus membuat kami berjalan dengan perlahan. Lampu-lampu jalanan terbatas dan hampir tidak ada yang bisa dilihat sepanjang perjalanan lantaran sudah terlalu gelap, sungai di satu sisi dan rumah-rumah di sisi lain. Sayang sekali. Seandainya, aksesnya bisa lebih dibuat baik, harusnya kunjungan ke wilayah ini akan mengalir lebih deras lagi.
PS: Fotonya langsung jadi di kamera saya loch, nggak pakai proses edit-editan.
PS: Fotonya langsung jadi di kamera saya loch, nggak pakai proses edit-editan.
Tuesday, August 23, 2011
Pantai Tanjung Pakis Jauuuuuuuuh Sekali
Tujuan akhir kami dalam menjelajahi Karawang adalah pantai! Saya sich nggak terlalu yakin ada pantai di tempat ini. Namun, Karawang berbatasan dengan pantai utara bukan? Harusnya ada pantai donk yach? Dengan asumsi analogi tersebut kami berangkat menuju utara. Kenyataannya, memang ada plang jalan bertuliskan “Pantai Tanjung Pakis” di jalan yang kami lalui. Hore! Nggak sia-sia deh membawa celana renang dan baju pantai. Hihihi. Walaupun terletak di Laut Jawa, dekat dengan Jakarta, saya masih berharap-harap cemas aja nich mudah-mudahan airnya cukup bersih untuk dicelupi.
Ternyata, pantai yang akan kami tuju itu jauuuuuh. Ada beberapa pantai kecil yang terletak di percabangan jalan sich, namun tujuan utama kami adalah Pantai Tanjung Pakis yang terletak di Kecamatan Pakisjaya, terletak di bagian Karawang yang paling utara dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Semenjak keluar dari kompleks Situs Batujaya, masih sekitar satu jam lagi yang dibutuhkan untuk mencapai tepi pantai. Padahal, dari Batujaya, pantai sudah tidak terlalu jauh. Yang menjadi masalah adalah satu-satunya jalan yang tersedia yang menghubungkan Rengasdengklok dan Pakisjaya bukan merupakan jalan yang baik. Pada beberapa bagian, jalan ini berdempetan dengan tambak-tambak sehingga banjiran air tambak sering menggenangi jalan yang kami lalui. Menariknya, jalan-jalan ini sudah tidak menyerupai jalan aspal atau beton lagi. Kami seperti sedang melakukan off-road di atas medan berpasir lembek namun pemandangannya pedesaan, lengkap dengan tambak dan pepohonan. Ini alasannya mengapa kami berjalan dengan sangat lambat untuk mencapai bibir pantai di utara Karawang.
Di tengah-tengah perjalanan kami melintasi jalanan berpasir becek tersebut, ada sebuah loket tiket sederhana dari kayu yang disusun seadanya. Ini adalah loket tempat pembayaran tiket dengan harga RP. 5.000/orang dan tanpa bukti tiket. Jadi, Pantai Tanjung Pakis ini dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Saya melihat sejumlah motor dan mobil diberhentikan di dekat loket tersebut untuk dimintai uang retribusi. Saya pikir saya sudah mencapai bibir pantai. Kenyataannya, dari loket, pantai masih berada cukup jauh. Masih sekitar sepuluhan menit lagi dengan menggunakan mobil barulah kami mencapai bibir pantai. Bagian belakang saya terasa pegal.
Jarak tempuh yang lumayan, kondisi jalan yang tidak bagus, loket seadanya jujur saja sudah membuat saya jiper duluan. Akan seperti apakah fisik pantai yang kami akan kunjungi ini? Yah, untungnya saja stigma tersebut runtuh seiring dengan saya menjejakkan kaki di Pantai Tanjung Pakis. Secara mengejutkan, semua aspek yang tadi sebelumnya saya sebut tidak mencermikan bentuk fisik pantai ini. Pantai Tanjung Pakis, ternyata cukup bagus. Deretan penjual makanan tertata cukup rapih di pinggir pantai. Beberapa fasilitas bahkan seperti bungalow telah hadir untuk mereka yang berniat bermalam di lokasi. Jalan di sekitar area telah tertata dengan rapih dihiasi dengan konblok. Fasilitas tambahan seperti dermaga hingga banana boat pun sudah tersedia loch disini (Rp. 25.000/orang). Sayangnya, pantai ini bukan benar-benar pantai idaman. Pasirnya nggak putih atau kuning. Sama seperti pantai-pantai di jalur pantai utara, pasir disini berwarna gelap. Walaupun banyak anak-anak dan keluarga yang bermain air di perairan yang sebenernya cukup bening tersebut, saya tidak terlalu tertarik untuk menceburkan diri ke dalamnya.
Ada sejumlah ban hingga perahu kecil yang bisa dipinjam. Pantai ini kebanyakan dikunjungi oleh keluarga atau pasangan muda-mudi namun yang berdomisili tidak jauh dari wilayah Karawang. Seusai beraktifitas di laut, warung-warung makan di pinggir jalan sudah memanggil anda kalau-kalau anda butuh bantuan dalam hal makanan. Hehehe. Nggak Cuma makanan standard macam mie instan saja loch. Makanan agak berat seperti nasi goreng, sate dan ikan bakar tersedia di tempat ini. Pantai Tanjung Pakis juga menjual ikan yang baru saja ditangkap dari laut. Sore itu, semangkuk indomie dan air kelapa muda menemani saat-saat kami bersantai. Sayangnya, suasana tersebut harus diakhiri kala matahari mulai merapat ke ufuk barat. Kami harus bergegas pulang agar tidak terjebak di jalanan yang agak minim penerangan jalan. Untuk souvenir, Pantai Tanjung Pakis menjual aneka macam hasil kreatifitas ibu-ibu disini dengan kulit kerang. Mulai dari hiasan gantung, cermin, hingga perabot yang ditempeli kulit kerang tersedia disini. Kalau anda tertarik dengan hiasan kerang ini, jangan lupa bawa satu sebelum pulang yach.
Monday, August 22, 2011
Vihara Buddha Sasana Yang Warna-Warni
Sunday, August 21, 2011
Candi Blandongan Yang Belum Selesai
Nama Blandongan pada candi ini berarti pendopo atau tempat pertemuan dalam dialek bahasa setempat. Nama ini konon berasal dari peruntukkan unur sebelum candi ini ditemukan. Sama seperti Candi Jiwa, sebelum Candi Blandongan ditemukan, candi ini tertutup unur atau bukit/gundukan tanah. Orang-orang yang suka menggembalakan kambing mereka suka beristirahat di unur ini. Dari sinilah muncul nama Blandongan. Belakangan, ditemukan kerangka manusia, tembikar, dan perhiasan di tempat ini. Ini tentu mengejutkan sekaligus memberi petunjuk bagi para arkeolog bahwa ada sesuatu di bawah unur ini.
Saturday, August 20, 2011
Candi Jiwa Yang (Konon) Mistis
Situs Batujaya Yang Tertua Di Jawa
Kebetulan kami berada di Karawang dan kebetulan lagi berada di Rengasdengklok. Kenapa nggak mencoba menyambangi dua buah candi yang *tentu saja tidak seterkenal Borobudur* cukup terkenal baru-baru ini. Walaupun namanya bisa dikatakan tidak sepopuler Borobudur atau Prambanan, namun secara mengejutkan, wilayah Karawang memiliki situs percandian dengan sejumlah candi berada di dalamnya. Konon, Karawang bahkan bergelar Lumbung Candi di Jawa Barat! Belum pernah denger kan? Mari ikut saya!

Batujaya, terletak di utara Rengasdengklok, kurang lebih 45 menit perjalanan dengan menggunakan mobil. Temuan kompleks percandian di wilayah ini konon disebut-sebut sebagai temuan terbesar dalam 50 tahun terakhir karena menyingkap hal-hal yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Seperti diketahui, candi tertua yang ada di Pulau Jawa berasal dari abad ke 8. Nah, berdasarkan dari hasil analisa karbon, Kompleks Situs Batujaya berasal dari abad ke 2, hingga yang termuda pada abad ke 12. Temuan ini juga meruntuhkan pendapat bahwa tidak ada candi di Jawa Barat selain di wilayah Leles, Garut, yakni Candi Cangkuang. Situs Batujaya menunjukkan pada kita bahwa ada peradaban Buddha (mungkin oleh Kerajaan Taruma) pada masa itu yang hidup di sekitar aliran Sungai Citarum purba. Menarik sekali mengamati candi-candi ini karena mulai dari bentuk, batuan penyusun, hingga filosofinya agak berbeda dengan candi-candi yang selama ini kita kenal. Secara sederhana saja, apabila diminta untuk membayangkan bentuk candi, pasti kita akan membayangkan batu-batu besar berat berwarna hitam atau abu-abu yang direlief membentuk dewa-dewi pada jaman dahulu. Contoh paling sederhana tentu saja relief Karmawibhangga di sekujur Borobudur dan relief cerita Ramayana di sekujur Prambanan. Itu adalah batuan andesit yang biasanya banyak terdapat di wilayah seputar gunung berapi. Pada situs Batujaya, anda akan melihat bahwa candi-candi yang ada disini tersusun atas batu bata merah, yang membuat kita berpikir bahwa candi-candi ini berusia lebih muda daripada candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara mengejutkan, candi di Situs Batujaya berusia lebih tua daripada candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batuan penyusun candi ternyata tidak merefleksikan umur candi. Hmmmm.
Selain itu, bentuk candi-candi di tempat ini pun tidak mengesankan bentuk candi yang selama ini kita kenal. Umumnya candi mengandung bentuk stupa dan bentuk seperti rumah dengan semakin ke atas semakin mengerucut. Candi Jiwa, salah satu candi yang berada dalam kompleks Situs Batujaya tidak mengesankan bentuk candi yang selama ini kita kenal. Candi ini tinggi, datar, dan tidak memiliki tangga sama sekali. Beberapa ahli percaya, bahwa ini merupakan bentuk dasar dari sebuah stupa. Namun, misteri ini bukanlah satu-satunya misteri yang ada dalam kompleks Situs Batujaya ini. Aliran situs percandian ini, walaupun dipercaya beraliran Buddha, namun banyak terdapat unsur Hindu dalam filosofinya. Tentang bagaimana candi-candi ini bisa terkubur pun, sebenarnya masih merupakan suatu misteri. Umumnya, candi dikubur ketika akan dirusak oleh pihak lawan atau, kalau melihat skalanya yang luas, ada bencana alam (atau mega bencana alam) yang terjadi di wilayah ini (masih ingat donk, bagaimana Candi Borobudur ketika ditemukan?). Ketika ditemukan, candi-candi ini semuanya terkubur dalam tanah. Wilayah Batujaya ini dahulu juga dikenal karena keangkerannya. Sebelum ditemukan, Candi Jiwa, misalnya, merupakan suatu bukit/gundukan tanah berbentuk oval. Menarik ketika ditemukan, mereka menemukan susunan batu bata, keramik, perhiasan, dan tentu saja tengkorak dan tulang belulang yang membuat mereka yakin bahwa pernah ada peradaban purba di tempat ini. Hingga kini, baru dua candi yang sudah dan sedang dipugar yakni Candi Jiwa dan Candi Blandongan. Total, konon terdapat sekitar 13 candi (atau lebih?) yang masih terpendam di wilayah ini. Tidak tertutup juga kemungkinan bahwa masih ada bangunan candi lain yang belum diketahui keberadaannya. Pemugaran total masih membutuhkan waktu cukup lama mengingat candi ini baru ditemukan pada tahun 1984 dan hingga kini, baru dua candi yang berhasil dipugar dan sedang dipugar.

Situs Batujaya ini terletak di percabangan Jalan Raya Rengasdengklok – Pakisjaya. Nggak susah menemukan jalan ini sebab inilah jalan satu-satunya penghubung wilayah Rengasdengklok dengan Pantai Pakisjaya di utara sana. Nggak usah takut kesasar, selama anda memperhatikan jalan, anda akan melihat plang petunjuk bahwa ada satu belokan tempat terdapatnya situs Batujaya ini. Dalam perjalanan pun, petunjuk arah menuju Situs Batujaya ditampilkan dalam hitungan kilometer. Sangat terbantu sekali dech. Dari belokan tersebut, situs ini sudah tidak terlalu jauh. Nah, kompleks Situs Batujaya ini berada di tengah-tengah areal persawahan. Agak unik melihat bahwa diantara hamparan-hamparan sawah ini, terdapat beberapa bangunan candi yang menjulang dan dipagari. Jalan setapak yang bisa dilalui motor telah terbangun mulai dari pintu masuk hingga Candi Blandongan, melewati Candi Jiwa. Untuk memasuki Situs Batujaya, anda tidak dikenakan biaya apapun. Hanya saja, anda wajib menuliskan nama anda di buku tamu dan kemudian membayar donasi secukupnya untuk membantu proses pemugaran candi-candi si situs ini. Apabila anda membutuhkan informasi lebih lanjut, warga setempat tanpa diminta bersedia untuk mendampingi anda selama kunjungan untuk menjadi guide dan bercerita banyak tentang sejarah situs, tentu, dengan donasi sejumlah dana. Sebelum menuju kompleks Situs Batujaya, saya sudah mempelajari banyak tentang situs-situs ini, lengkap dengan kisah mistis di unur-unur (unur = bukit/gundukan) sekitar kompleks. Oleh karena itu, saya dan rekan-rekan merasa tidak perlu menyewa jasa guide tersebut. Jalanan menuju lokasi percandian juga terbuka lebar dan mudah dijalani. Rasanya sich nggak perlu sampai menyewa ojek. Yang jadi masalah hanyalah anda perlu membeli minuman karena lokasi percandian di dataran rendah dan terbuka hampir tanpa adanya naungan pohon apapun. Lumayan bikin keringetan dan terbakar. Jadi, sunblock kayaknya perlu juga untuk anda yang akan menuju tempat ini. Kalau anda tertarik akan sejarah situs percandian ini, boleh banget tuch menyewa guide untuk menemani anda berjalan-jalan dan menggali informasi. Hitung-hitung, meningkatkan taraf ekonomi masyarakat lokal lah. Toilet hanya ada di pintu masuk. Jadi, sebelum berjalan-jalan ke kompleks, buang air kecil/besar dulu ya. Jangan buang di sembarang tempat. Kualat ntar! Hihihi.
Batujaya, terletak di utara Rengasdengklok, kurang lebih 45 menit perjalanan dengan menggunakan mobil. Temuan kompleks percandian di wilayah ini konon disebut-sebut sebagai temuan terbesar dalam 50 tahun terakhir karena menyingkap hal-hal yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Seperti diketahui, candi tertua yang ada di Pulau Jawa berasal dari abad ke 8. Nah, berdasarkan dari hasil analisa karbon, Kompleks Situs Batujaya berasal dari abad ke 2, hingga yang termuda pada abad ke 12. Temuan ini juga meruntuhkan pendapat bahwa tidak ada candi di Jawa Barat selain di wilayah Leles, Garut, yakni Candi Cangkuang. Situs Batujaya menunjukkan pada kita bahwa ada peradaban Buddha (mungkin oleh Kerajaan Taruma) pada masa itu yang hidup di sekitar aliran Sungai Citarum purba. Menarik sekali mengamati candi-candi ini karena mulai dari bentuk, batuan penyusun, hingga filosofinya agak berbeda dengan candi-candi yang selama ini kita kenal. Secara sederhana saja, apabila diminta untuk membayangkan bentuk candi, pasti kita akan membayangkan batu-batu besar berat berwarna hitam atau abu-abu yang direlief membentuk dewa-dewi pada jaman dahulu. Contoh paling sederhana tentu saja relief Karmawibhangga di sekujur Borobudur dan relief cerita Ramayana di sekujur Prambanan. Itu adalah batuan andesit yang biasanya banyak terdapat di wilayah seputar gunung berapi. Pada situs Batujaya, anda akan melihat bahwa candi-candi yang ada disini tersusun atas batu bata merah, yang membuat kita berpikir bahwa candi-candi ini berusia lebih muda daripada candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara mengejutkan, candi di Situs Batujaya berusia lebih tua daripada candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batuan penyusun candi ternyata tidak merefleksikan umur candi. Hmmmm.
Situs Batujaya ini terletak di percabangan Jalan Raya Rengasdengklok – Pakisjaya. Nggak susah menemukan jalan ini sebab inilah jalan satu-satunya penghubung wilayah Rengasdengklok dengan Pantai Pakisjaya di utara sana. Nggak usah takut kesasar, selama anda memperhatikan jalan, anda akan melihat plang petunjuk bahwa ada satu belokan tempat terdapatnya situs Batujaya ini. Dalam perjalanan pun, petunjuk arah menuju Situs Batujaya ditampilkan dalam hitungan kilometer. Sangat terbantu sekali dech. Dari belokan tersebut, situs ini sudah tidak terlalu jauh. Nah, kompleks Situs Batujaya ini berada di tengah-tengah areal persawahan. Agak unik melihat bahwa diantara hamparan-hamparan sawah ini, terdapat beberapa bangunan candi yang menjulang dan dipagari. Jalan setapak yang bisa dilalui motor telah terbangun mulai dari pintu masuk hingga Candi Blandongan, melewati Candi Jiwa. Untuk memasuki Situs Batujaya, anda tidak dikenakan biaya apapun. Hanya saja, anda wajib menuliskan nama anda di buku tamu dan kemudian membayar donasi secukupnya untuk membantu proses pemugaran candi-candi si situs ini. Apabila anda membutuhkan informasi lebih lanjut, warga setempat tanpa diminta bersedia untuk mendampingi anda selama kunjungan untuk menjadi guide dan bercerita banyak tentang sejarah situs, tentu, dengan donasi sejumlah dana. Sebelum menuju kompleks Situs Batujaya, saya sudah mempelajari banyak tentang situs-situs ini, lengkap dengan kisah mistis di unur-unur (unur = bukit/gundukan) sekitar kompleks. Oleh karena itu, saya dan rekan-rekan merasa tidak perlu menyewa jasa guide tersebut. Jalanan menuju lokasi percandian juga terbuka lebar dan mudah dijalani. Rasanya sich nggak perlu sampai menyewa ojek. Yang jadi masalah hanyalah anda perlu membeli minuman karena lokasi percandian di dataran rendah dan terbuka hampir tanpa adanya naungan pohon apapun. Lumayan bikin keringetan dan terbakar. Jadi, sunblock kayaknya perlu juga untuk anda yang akan menuju tempat ini. Kalau anda tertarik akan sejarah situs percandian ini, boleh banget tuch menyewa guide untuk menemani anda berjalan-jalan dan menggali informasi. Hitung-hitung, meningkatkan taraf ekonomi masyarakat lokal lah. Toilet hanya ada di pintu masuk. Jadi, sebelum berjalan-jalan ke kompleks, buang air kecil/besar dulu ya. Jangan buang di sembarang tempat. Kualat ntar! Hihihi.
Thursday, August 18, 2011
Tugu Rengasdengklok Yang Belum Selesai
Sebelum masuk ke dalam Monumen Kebulatan Tekad, dijamin mata kita akan terpancang pada areal luas di sebelah kiri, bertanah merah, dipagari dengan replika bambu runcing berwarna kuning berukuran besar, serta di tengahnya, ada empat buah lengan kiri yang mencuat dari tanah menjulang ke angkasa. Benda apakah itu?
Ini adalah Monumen Proklamasi Rengasdengklok. Sayangnya, monumen ini telah berdiri cukup lama di tempat ini tanpa adanya kepastian proses penyelesaiannya. Monumen ini terkendala oleh banyak hal termasuk salah satunya krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 yang mengakibatkan penyelesaiannya menjadi tersendat. Pembangunan monumen ini pertama kali dilakukan pada tahun 1996, hingga kini tahun 2011, 15 tahun sesudah pengurukan pertama kali, monumen ini masih benar-benar belum selesai. Memang sich sekitar beberapa tahun lalu PemKab Karawang dan pemerintah pusat mulai fokus pada pembenahan monumen ini. Namun, sampai sekarang, monumen ini masih seperti yang anda lihat.

Sebenarnya, tugu ini luar biasa sich. Warna tanah yang bersemburat kemerahan, kontras dengan warna kuning pada bambu runcing dan logam dari monumen. Dipadu dengan birunya langit, anda akan mendapatkan foto yang luar biasa kontras. Apalagi dengan hampir tidak adanya tutupan pepohonan sama sekali di areal tengah, dijamin, tempat ini menarik untuk dijadikan objek foto-foto. Sayangnya, berfoto di tempat ini pada siang hari akan sangat menyiksa diri. Matahari terasa benar-benar membakar kulit kita ketika berada di tempat ini pada tengah hari. Sebagai sebuah tugu, memang diharapkan tugu ini bisa memberikan informasi banyak mengenai silsilah Kota Rengasdengklok dan Kabupaten Karawang yang dijadikan basis utama pergerakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, meranggasnya rumput dan keringnya tanah di sekitar lokasi turut menegaskan bahwa tugu ini belum selesai. Tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilihat di monumen ini selain empat buah tangan yang mengepal ke udara seperti sedang mengucapkan kata “Merdeka” (tangan kanan dipercaya sedang memegang bambu runcing). Tidak ada petunjuk, tidak ada museum, tidak ada relief atau apapun yang sekiranya membuat turis akan berlama-lama di tempat ini. Yang paling menarik selain dari tugu ini paling hanya segerombolan kambing yang sedang merumput di tempat ini. Mari kita menyingkir sebelum terkena sengatan matahari parah dan mengganggu seluruh rencana perjalanan ini.

Monumen Kebulatan Tekad, Rengasdengklok
Pada Tahun 1950, Sungai Citarum meluap. Rumah Alm. Bapak Djiauw Kie Siong saat itu terkena imbas dari meluapnya air Sungai Citarum. Demi menyelamatkan peninggalan bersejarah, rumah tersebut dipindahkan ke lokasinya sekarang (rumah anaknya nomor 5). Lokasi lama tempat rumah tersebut berdiri telah didirikan sebuah monumen. Monumen Kebulatan Tekad namanya untuk mengenang lokasi tempat peristiwa bersejarah terjadi kala detik-detik menuju diproklamirkannya kemerdekaan bangsa ini.

Monumen yang didirikan pada tahun 1950 ini telah dipugar beberapa kali dan terakhir berlangsung pada pemerintahan Presiden RI ke 5, Ibu Megawati Soekarnoputri. Monumen yang berbentuk tangan kiri yang mengepal ini berdiri di atas pedestal berukuran 15x15 meter. Ada alasannya loch mengapa monumen ini mengusung bentuk tangan kiri. Konon, Tangan kiri Bapak Presiden Soekarno kala itu mengepal dan mengacung sembari beliau mengucapkan kata “merdeka”. Sementara, tangan kanannya menandatangani naskah proklamasi. Apabila dilihat dari atas, areal monumen yang berbentuk segitiga ini menampilkan angka 17,8 dan 45. Angka-angka tersebut dibentuk dari batu-batu koral penyusun area berjalan di taman ini. Di bagian belakang monumen, terdapat relief proses detik-detik tercapainya proklamasi kemerdekaan Indonesia, termasuk telah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok. Beberapa tanaman pohon dan bebungaan menaungi taman ini namun tidak cukup rindang untuk membuat keseluruhan taman ini menjadi sejuk. Nampaknya, taman ini tidak banyak dikunjungi oleh wisatawan sebab pada saat kedatangan kami, pagar taman ini tertutup. Memang sich, pintu pagarnya bisa dibuka dengan mudah. Namun ya itu, hampir jarang terlihat tanda-tanda kunjungan wisatawan disini. Menariknya lagi, pada saat kami berkunjung ke monumen ini, beberapa warga juga terlihat tertarik, termasuk sejumlah anak-anak, dan kemudian ikut berkunjung dan berfoto-foto di tempat ini. Apa jangan-jangan mereka nggak tahu yach kalau monument ini terbuka untuk umum dan menjadi lokasi wisata?
Di Rumah Babah Djiauw Kie Siong
Tuesday, August 16, 2011
Menuju Rengasdengklok
Menuju Rengasdengklok adalah perkara mudah. Yang anda butuhkan hanya kesabaran saja! Dari Jakarta, jalan mulus membentang sepanjang jalur Cikampek dan tidak terkecuali Gerbang Tol Karawang Barat. Pemandangan bukit-bukit kecil akan mewarnai perjalanan anda begitu anda sampai di wilayah Karawang. Nah, selepas memasuki gerbang Tol Karawang Barat, jalanan mulai terasa agak ‘berwarna’. Butuh satu jam untuk mencapai Kota Karawang. Kalau anda sudah sampai Terminal Tanjungpura, artinya anda sudah cukup dekat. Secara resmi, anda sudah memasuki Jalan Raya Rengasdengklok. Upsss...jalan raya ini hanya muat oleh dua buah mobil saja dengan rumah-rumah di kanan dan kiri jalan. Begitu anda mencapai Pasar Rengasdengklok, anda secara resmi sudah berada di pusat Kota Rengasdengklok. Jalanan di tempat ini akan membesar secara layak koq. Hehehe. Tapi jangan senang dulu, sisa perjalanan akan anda tempuh dengan kondisi dan kualitas jalan yang semakin menurun. Rumah pengasingan Bung Karno tidak terletak di jalan raya utama, namun harus memasuki daerah perkampungan dengan jalanan yang semi diaspal. Kebetulan semalam terjadi hujan deras sehingga genangan air berwarna coklat cukup lebar tampak menyebar di sebagian badan jalan. Kalau anda jalan kaki, ya, siap-siap cuci kaki aja dech yah...
Nah, dari Pasar Rengasdengklok, kurang lebih teman-teman membutuhkan waktu setengah jam lagi untuk mencapai Rumah pengasingan Bung Karno. Sebelum tiba di rumah tersebut, di sebelah kiri teman-teman ada Tugu Perjuangan Rengasdengklok yang tampak belum selesai. Monumen Kebulatan Tekad yang lebih kecil dan lebih baru berada di belokan sebelum kita memasuki jalan tempat rumah pengasingan Bung Karno di Desa Rengasdengklok Utara. Jujur saja, saya nggak menemukan adanya kendaraan umum yang melintasi tempat ini. Kebanyakan, kendaraan yang melintas sampai wilayah ini adalah motor. Buat yang ogah berpanas-panas ria sambil gonta ganti angkutan, pertimbangkan dech buat sewa mobil aja kalau kebetulan kalian berjalan beramai-ramai (serius, Rengasdengklok sangat panaaaaas. Apa karena terletak di dataran rendah dan naungan pohon besarnya agak jarang yach di tugu tersebut?). Kalau sendirian, coba dech pertimbangkan untuk naik motor atau sewa. Oh, Selamat Datang di Rengasdengklok!
Nah, dari Pasar Rengasdengklok, kurang lebih teman-teman membutuhkan waktu setengah jam lagi untuk mencapai Rumah pengasingan Bung Karno. Sebelum tiba di rumah tersebut, di sebelah kiri teman-teman ada Tugu Perjuangan Rengasdengklok yang tampak belum selesai. Monumen Kebulatan Tekad yang lebih kecil dan lebih baru berada di belokan sebelum kita memasuki jalan tempat rumah pengasingan Bung Karno di Desa Rengasdengklok Utara. Jujur saja, saya nggak menemukan adanya kendaraan umum yang melintasi tempat ini. Kebanyakan, kendaraan yang melintas sampai wilayah ini adalah motor. Buat yang ogah berpanas-panas ria sambil gonta ganti angkutan, pertimbangkan dech buat sewa mobil aja kalau kebetulan kalian berjalan beramai-ramai (serius, Rengasdengklok sangat panaaaaas. Apa karena terletak di dataran rendah dan naungan pohon besarnya agak jarang yach di tugu tersebut?). Kalau sendirian, coba dech pertimbangkan untuk naik motor atau sewa. Oh, Selamat Datang di Rengasdengklok!