Saturday, August 27, 2011

(Kembali Ke) Sumatera Utara

Saya sangat suka dengan tempat-tempat yang memiliki budaya kuat dan berhawa dingin. Oleh karena itu, saya tidak butuh alasan lagi donk untuk bertandang kembali ke Tano Batak, bulan Juli dan Agustus ini, 27 Juli – 3 Agustus 2011. Highlight dari perjalanan kali ini sebenarnya adalah Nias. Saya sudah pernah berjanji kepada salah seorang teman saya, Harkat Christian Zamasi. untuk bisa mencapai Nias. Masalahnya, saya sudah pernah dua kali berjanji akan mencapai Nias, namun dua kalinya pula janji tersebut tidak dapat terlaksana. Perjalanan kali ini sebenarnya pun merupakan penjadwalan ulang dari niat saya yang sempat muncul setahun lalu. Setahun yang lalu, bahkan saya sudah menyediakan waktu cuti selama 12 hari untuk melintasi Tano Batak, Tano Niha dan Dataran Tinggi Gayo serta titik terbarat Indonesia, Sabang dan Banda Aceh. Sayang beribu sayang, ada halangan yang membuat perjalanan tersebut tidak dapat terealisasi. Saya harus menjadwalkan ulang perjalanan ini hingga satu tahun lamanya. Kali ini, saya nggak mau muluk-muluk dan terburu-buru. Biarlah Nanggroe Aceh Darrusalam akan saya jejaki kali lain. Kali ini, sesuai dengan janji saya, Nias akan saya jejaki. Dan, syukur Puji Tuhan, Saya akhirnya berhasil mencapai Nias, walaupun dengan sedikit perubahan besar dan tambah sulam jadwal disana-sini.
Saya sudah pernah mengunjungi Tano Batak pada tahun 2007. Kala itu, saya hanya sedikit mencicipi apa yang disebut dengan tanahnya orang-orang Batak. Namun, walaupun sedikit, saya sudah jatuh cinta secara instan terhadap tanah ini. Saya merasa terpanggil untuk kembali mengunjunginya lagi. Saya tertarik akan orang-orangnya, kebudayaannya, alamnya yang bersahaja dan sejuk serta kharisma yang dimilikinya. Nah, bukan keputusan sulit bagi saya untuk menjadwalkan ulang Tanah Sumatera Utara ke dalam jadwal saya. Saya akan dengan senang hati memasukkan Sumatera Utara dalam perjalanan kali ini. Namun, kali ini saya memasukkan Nias, yang berada di seberang lautan sana dan secara kultural, sudah sangat berbeda dengan kehidupan orang-orang Batak yang berada di daratan Sumatera. Inilah highlight perjalanan saya kali ini. Belum banyak orang bisa mencapai Nias. Saya ingin menjejakkan kaki saya di Pulau Nias, Tano Niha begitu sebutannya. Tentu saja, persiapannya cukup banyak yang diperlukan untuk bisa mencapai Nias dibanding kalau saya hanya berkeliaran di seputaran Danau Toba saja.
8 hari yang saya jadwalkan selama berada di Sumatera Utara akan banyak dihabiskan di 3 puak Batak, Simalungun, Karo dan Toba serta sedikit Angkola karena saya mengunjungi Sibolga. Sayang sekali, karena keterbatasan waktu, saya tidak mendapat kesempatan untuk mengunjungi Pakpak – Dairi di barat dan Mandailing di selatan sana. Di sisi lain, saya mendapat Nias! Penerbangan ini saya lakukan dengan Citilink dan kebetulan saya mendapat harga cukup murah untuk mencapai Medan. Hanya dengan Rp. 382.000 saja sekali jalan, saya sudah mencapai Medan. Bandingkan dengan orang yang duduk di sebelah saya dan harus membayar tiket sebesar Rp. 1.700.000 untuk sekali jalan. Saya merasa perjalanan ini benar-benar terberkati. Siap menikmati Sumatera Utara dan jatuh cinta kepadanya? Tunggu jurnal perjalanan saya!

Friday, August 26, 2011

Sorabi Hijau Asli Rengasdengklok!

Salah satu penganan khas Rengasdengklok yang nggak boleh terlupa saat berkunjung ke kota bersejarah ini adalah sorabi. Bukan sorabi biasa loch, serabi ini warnanya hijau. Mungkin kalau anda jarang bertandang ke Karawang, kita akan jarang mendengar kesohoran sorabi ini. Namun, area yang berbatasan dengan Karawang seperti Bekasi, Subang dan Purwakarta cukup mengenal sorabi hijau milik M. Kasim. Sorabi ini tidak memiliki cabang, hanya ada satu-satunya di Rengasdengklok, bahkan di Karawang, Jawa Barat, Indonesia, atau bahkan seluruh dunia. Hahaha. Lebay.Sehubungan dengan lokasinya yang dekat kuburan, sorabi ini bahkan bergelar "Sorabi Kuntilanak" hahaha.
Sorabi ini tersedia dalam dua rasa : original rasa gula jawa dan rasa durian. Hmmm...kabar baik untuk penggemar durian nich. Rasa sorabinya sich sama aja, yang membedakan hanyalah saus bumbunya saja. Terus terang, rasa durian memang lebih enak karena lebih terasa bumbunya. Namun, buat yang nggak menggemari buah yang satu ini, rasa original pun menarik untuk dicoba. Untuk sorabi original, harga jualnya Rp. 15.000 untuk 10 butir sorabi. Untuk sorabi durian, harganya Rp. 20.000, lebih mahal Rp. 5.000 untuk jumlah sorabi yang sama. Kalau ke Rengasdengklok, jangan lupakan sorabi ini. Telepon (0267) 480776. Bapak M. Kasim menerima pesanan juga loch.

Thursday, August 25, 2011

Matahari Terbenam Dan Jalanan Rusak Rengasdengklok

Malam belum benar-benar turun di Pantai Tanjung Pakis, namun kami sudah harus segera pulang berhubung jalanan yang minim penerangan akan terbentang di hadapan kami. Agak ngeri juga kan kalau pulang di jalanan areal tambak dengan penerangan seadanya? Jadi, sebelum matahari benar-benar terbenam, setidaknya kami sudah keluar dari area Tanjung Pakis. Sambil menyusuri jalan yang luar biasa gelap, kami menyaksikan salah satu matahari terbenam paling indah yang pernah saya saksikan selama hidup saya. Areal tambak dan ladang yang hampir tidak memiliki tutupan rumah, hanya pepohonan dan rumput saja, membuat wilayah Pakis Jaya sangat cocok untuk dijadikan tempat melihat matahari terbenam loch. Walaupun pantai sudah tidak terlihat lagi, namun matahari terbenam di horison masih dapat kita saksikan disini. Akhirnya, saya dan rombongan sepakat untuk berhenti sebentar dan menikmati cantiknya matahari terbenam di Pakis Jaya, Karawang.
Kami tidak lama menyaksikan matahari terbenam tersebut. Proses terbenamnya matahari ternyata tergolong cepat apabila kita menunggunya. Tidak sampai beberapa menit, kami bisa melihat matahari yang semakin condong hingga perlahan-lahan menghilang. Seiring dengan gelap yang semakin turun di sekeliling kami, kami segera bergegas agar setidaknya sudah mencapai Jalan Raya Rengasdengklok sebelum kegelapan total melanda. Nah, setelah tadi kami menyaksikan salah satu matahari terbenam yang terindah dalam hidup saya, sekarang saya mengalami jalan paling panjang yang pernah saya lalui. Walaupun jaraknya tidak terlalu panjang, kami membutuhkan hampir satu setengah jam dari Pakis Jaya hingga Rengasdengklok. Saya bahkan sempat tertidur, terbangun, mengobrol, dan tertidur, kemudian terbangun lagi! Namun kami belum tiba di Rengasdengklok. Mengagumkan! Jalanan yang tidak terlalu bagus membuat kami berjalan dengan perlahan. Lampu-lampu jalanan terbatas dan hampir tidak ada yang bisa dilihat sepanjang perjalanan lantaran sudah terlalu gelap, sungai di satu sisi dan rumah-rumah di sisi lain. Sayang sekali. Seandainya, aksesnya bisa lebih dibuat baik, harusnya kunjungan ke wilayah ini akan mengalir lebih deras lagi.
PS: Fotonya langsung jadi di kamera saya loch, nggak pakai proses edit-editan.

Tuesday, August 23, 2011

Pantai Tanjung Pakis Jauuuuuuuuh Sekali

Tujuan akhir kami dalam menjelajahi Karawang adalah pantai! Saya sich nggak terlalu yakin ada pantai di tempat ini. Namun, Karawang berbatasan dengan pantai utara bukan? Harusnya ada pantai donk yach? Dengan asumsi analogi tersebut kami berangkat menuju utara. Kenyataannya, memang ada plang jalan bertuliskan “Pantai Tanjung Pakis” di jalan yang kami lalui. Hore! Nggak sia-sia deh membawa celana renang dan baju pantai. Hihihi. Walaupun terletak di Laut Jawa, dekat dengan Jakarta, saya masih berharap-harap cemas aja nich mudah-mudahan airnya cukup bersih untuk dicelupi.
Ternyata, pantai yang akan kami tuju itu jauuuuuh. Ada beberapa pantai kecil yang terletak di percabangan jalan sich, namun tujuan utama kami adalah Pantai Tanjung Pakis yang terletak di Kecamatan Pakisjaya, terletak di bagian Karawang yang paling utara dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Semenjak keluar dari kompleks Situs Batujaya, masih sekitar satu jam lagi yang dibutuhkan untuk mencapai tepi pantai. Padahal, dari Batujaya, pantai sudah tidak terlalu jauh. Yang menjadi masalah adalah satu-satunya jalan yang tersedia yang menghubungkan Rengasdengklok dan Pakisjaya bukan merupakan jalan yang baik. Pada beberapa bagian, jalan ini berdempetan dengan tambak-tambak sehingga banjiran air tambak sering menggenangi jalan yang kami lalui. Menariknya, jalan-jalan ini sudah tidak menyerupai jalan aspal atau beton lagi. Kami seperti sedang melakukan off-road di atas medan berpasir lembek namun pemandangannya pedesaan, lengkap dengan tambak dan pepohonan. Ini alasannya mengapa kami berjalan dengan sangat lambat untuk mencapai bibir pantai di utara Karawang.
Di tengah-tengah perjalanan kami melintasi jalanan berpasir becek tersebut, ada sebuah loket tiket sederhana dari kayu yang disusun seadanya. Ini adalah loket tempat pembayaran tiket dengan harga RP. 5.000/orang dan tanpa bukti tiket. Jadi, Pantai Tanjung Pakis ini dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Saya melihat sejumlah motor dan mobil diberhentikan di dekat loket tersebut untuk dimintai uang retribusi. Saya pikir saya sudah mencapai bibir pantai. Kenyataannya, dari loket, pantai masih berada cukup jauh. Masih sekitar sepuluhan menit lagi dengan menggunakan mobil barulah kami mencapai bibir pantai. Bagian belakang saya terasa pegal.
Jarak tempuh yang lumayan, kondisi jalan yang tidak bagus, loket seadanya jujur saja sudah membuat saya jiper duluan. Akan seperti apakah fisik pantai yang kami akan kunjungi ini? Yah, untungnya saja stigma tersebut runtuh seiring dengan saya menjejakkan kaki di Pantai Tanjung Pakis. Secara mengejutkan, semua aspek yang tadi sebelumnya saya sebut tidak mencermikan bentuk fisik pantai ini. Pantai Tanjung Pakis, ternyata cukup bagus. Deretan penjual makanan tertata cukup rapih di pinggir pantai. Beberapa fasilitas bahkan seperti bungalow telah hadir untuk mereka yang berniat bermalam di lokasi. Jalan di sekitar area telah tertata dengan rapih dihiasi dengan konblok. Fasilitas tambahan seperti dermaga hingga banana boat pun sudah tersedia loch disini (Rp. 25.000/orang). Sayangnya, pantai ini bukan benar-benar pantai idaman. Pasirnya nggak putih atau kuning. Sama seperti pantai-pantai di jalur pantai utara, pasir disini berwarna gelap. Walaupun banyak anak-anak dan keluarga yang bermain air di perairan yang sebenernya cukup bening tersebut, saya tidak terlalu tertarik untuk menceburkan diri ke dalamnya.
Ada sejumlah ban hingga perahu kecil yang bisa dipinjam. Pantai ini kebanyakan dikunjungi oleh keluarga atau pasangan muda-mudi namun yang berdomisili tidak jauh dari wilayah Karawang. Seusai beraktifitas di laut, warung-warung makan di pinggir jalan sudah memanggil anda kalau-kalau anda butuh bantuan dalam hal makanan. Hehehe. Nggak Cuma makanan standard macam mie instan saja loch. Makanan agak berat seperti nasi goreng, sate dan ikan bakar tersedia di tempat ini. Pantai Tanjung Pakis juga menjual ikan yang baru saja ditangkap dari laut. Sore itu, semangkuk indomie dan air kelapa muda menemani saat-saat kami bersantai. Sayangnya, suasana tersebut harus diakhiri kala matahari mulai merapat ke ufuk barat. Kami harus bergegas pulang agar tidak terjebak di jalanan yang agak minim penerangan jalan. Untuk souvenir, Pantai Tanjung Pakis menjual aneka macam hasil kreatifitas ibu-ibu disini dengan kulit kerang. Mulai dari hiasan gantung, cermin, hingga perabot yang ditempeli kulit kerang tersedia disini. Kalau anda tertarik dengan hiasan kerang ini, jangan lupa bawa satu sebelum pulang yach.

Monday, August 22, 2011

Vihara Buddha Sasana Yang Warna-Warni

Nggak ada niat sama sekali sich untuk menuju ke kelenteng ini. Namun, dalam perjalanan dari Tugu Proklamasi Rengasdengklok menuju Situs Batujaya, kami berjumpa kelenteng ini di tepi jalan. Tanpa banyak ba bi bu, kami segera memberhentikan kendaraan untuk minta diturunkan di gerbang masuk kelenteng (ternyata namanya Vihara Buddha Sasana) yang berwarna merah dan kuning meriah, kontras sekali dengan lingkungan sekitarnya. Berhubung di luar panas, mari kita segera masuk ke dalam!
Sebelum anda memutuskan untuk berkunjung ke kelenteng ini, perlu diingat, bahwa kelenteng ini tidak ada petunjuk jalannya sama sekali. Kelenteng ini terletak persis di tepi Jalan Raya Rengasdengklok – Pakisjaya. Persis di depan kelenteng adalah hamparan lapangan rumput. Vihara Buddha Sasana ini harusnya sich nggak susah ditemukan karena warnanya menyala merah dan kuning, mencolok sekali. Nah, Vihara ini terdiri atas dua bangunan utama, Vihara itu sendiri dan satunya lagi berupa Dhammasala. Banyak ornament unik yang berada di tempat ini, cocok banget buat berfoto yang unik-unik. Sebagai contoh, ada labu ajaib yang sering dijadikan tempat untuk mengurung makhluk gaib *coba dech tonton serial Sun Go Kong*. Labu ajaib berukuran besar ini berwarna emas, lengkap dengan grafir naga. Labu ajaib ini digunakan untuk membakar hio dan kertas doa. Nah, tidak jauh dari labu ajaib tersebut, ada tempat untuk meletakkan hio-hio yang telah dibakar. Wadah dari kuningan dan hiasan naga dan burung phoenik menyertai wadah ini.
Tempat yang paling menarik dari areal Vihara Buddha Sasana ini tentu saja adalah bangunan Vihara itu sendiri. Gedungnya menyala dengan warna dasar merah kuning. Serasa hidup dalam dunia kartun! Penjaga yang berada di dalam Vihara tersebut memperbolehkan kita untuk masuk dan melihat-lihat, bahkan berfoto! Wah, asyik! Walau demikian, saya jadi ingat bahwa beberapa tahun yang lalu saya pernah berkunjung ke salah satu kelenteng di Surabaya dan tidak diijinkan untuk memotret area altar. Entah alasannya kenapa, namun saya tetap menurutinya. Nah, di Vihara Buddha Sasana ini, kami bebas berfoto di dalam interior Vihara. Menyenangkan. Banyak sekali benda menarik dan bagus-bagus yang bisa dijadikan objek foto. Sebut saja deretan lampion, hingga tombak-tombak yang biasanya sering kita lihat pada pertandingan wushu. Bentuk naga dan phoenik yang mengelilingi pilar-pilar besar serta lilin-lilin raksasa boleh banget menjadi fokus perhatian anda. Dengan nuansa merah, anda bisa dapat foto-foto yang bagus di tempat ini. Oh ya, ruangan ini *hasil cari dari internet* namanya Uposathagara. Fungsinya adalah ruang untuk pentahbisan Bikkhu dan upacara keagamaan yang dihadiri para Bikkhu.
Ruangan terakhir yang kami kunjungi adalah Dhammasala. Apa sich Dhammasala itu?Dhammasala adalah ruangan tempat untuk melakukan puja bhakti, upacara keagamaan, dan tempat pembabaran Dhamma. Bangunan ini tidak bernuansa merah seperti bangunan utama. Malah, bangunan ini cenderung lebih menampilkan warna-warna netral seperti biru muda walaupun tetap ada warna berani seperti kuning dan merah. Di bagian dalam Dhammasala ini terdapat lukisan relief yang cantik. Rengasdengklok tampaknya berhasil memposisikan dirinya sebagai kota yang majemuk dan plural. Sebagai bukti, nggak hanya Masjid dan Gereja saja yang banyak di tempat ini. Vihara dan Kelenteng pun ada dan tampil cantik di tempat ini.

Sunday, August 21, 2011

Candi Blandongan Yang Belum Selesai

Seusai menikmati bentuk Candi Jiwa, kami berjalan lebih lanjut 500 meter ke arah candi Blandongan. Hampir sama seperti Candi Jiwa, candi kedua di kompleks Situs Batujaya ini terletak di areal persawahan. Walaupun telah dibuka dan bisa dikunjungi, namun Candi Blandongan masih masuk dalam candi yang sedang direstorasi. Hal ini terlihat jelas dari bedeng-bedeng seng penutup area candi. Kalau di Candi Jiwa sudah menggunakan pagar besi permanen, disini hanya ada pagar bedeng yang terbuat dari seng. Selama proses ekskavasinya belum selesai, rasanya pagarnya akan tetap seperti itu.
Plang dengan tulisan “Candi Blandongan” menyambut kami di ujung jalan setapak ini. Ya, baru dua candi ini saja yang diberi jalan setapak. Situs candi lain belum dipugar sama sekali. Bahkan untuk menuju ke lokasi situs lain harus menyusuri pematang sawah. Kesan pertama yang kami dapatkan ketika tiba di Candi Blandongan adalah : bentuk fisiknya berbeda dengan Candi Jiwa. Ya, bentuk fisik Candi Blandongan hampir mirip dengan candi-candi yang kita kenal, lengkap dengan ruang dan tangga. Sayang, masa ekskavasi yang belum selesai membuat candi ini dipagari. Hampir seluruh aksesnya ditutup sehingga kita tidak bisa masuk ke dalam bagian dalam candi. Walau demikian, area tangga dan pintu masuk candi serta badannya telah terpugar dengan cukup baik. Di sekeliling candi, terdapat parit yang cukup lebar. Tidak ada tangga untuk menuju ke areal candi. Ya mungkin karena candi ini belum selesai direstorasi. Akibatnya, anda harus menuruni parit yang cukup curam untuk mencapai candi. Beberapa bagian dari sisi parit tersebut pun tertutup oleh tumpukan batu bata candi yang memang entah hancur atau memang belum direstorasi secara sempurna. Walaupun bentuk fisik candi ini mirip dengan candi-candi di bagian tengah dan timur Pulau Jawa, namun karena terbuat dari batu bata, candi ini miskin relief. Susunan batu bata itu sendiri yang sudah menjadi keunikan candi, tanpa relief yang menyertainya.
Nama Blandongan pada candi ini berarti pendopo atau tempat pertemuan dalam dialek bahasa setempat. Nama ini konon berasal dari peruntukkan unur sebelum candi ini ditemukan. Sama seperti Candi Jiwa, sebelum Candi Blandongan ditemukan, candi ini tertutup unur atau bukit/gundukan tanah. Orang-orang yang suka menggembalakan kambing mereka suka beristirahat di unur ini. Dari sinilah muncul nama Blandongan. Belakangan, ditemukan kerangka manusia, tembikar, dan perhiasan di tempat ini. Ini tentu mengejutkan sekaligus memberi petunjuk bagi para arkeolog bahwa ada sesuatu di bawah unur ini.
Tidak tampak adanya keramaian berarti di Candi Blandongan ini. Wisatawan yang mengunjungi lokasi pun tidak terlalu banyak, hanya ada kami dan beberapa orang masyarakat lokal saja. Dibandingkan dengan Candi Jiwa, Candi Blandongan memang terlihat lebih tidak utuh dan berantakan. Namun dari segi ukuran, Candi Blandongan lebih lebar daripada Candi Jiwa yakni sekitar 24m x 24m. Konon, menurut sejumlah ahli, candi ini adalah candi utama dari Situs percandian di Batujaya ini. Hal ini terbukti dengan adanya pintu masuk dan tangga di keempat sisinya. Oh ya, hal menarik lainnya dari batuan penyusun candi-candi ini adalah mereka menggunakan kerang. Warna putih yang tampak diantara batu tersebut merupakan kerang. Hal ini wajar, karena Desa Segaran, Kecamatan Batujaya ini terletak tidak jauh dari laut (dengan ketinggian sekitar 4 meter di atas permukaan laut). Namun, pada jaman dahulu, dipercaya bahwa tepi laut itu tidak berada sejauh sekarang loch. Kompleks percandian ini berada persis di pinggir laut, muara Sungai Citarum Purba. Karena sedimentasi ratusan tahun lamanya, maka tepi laut bergeser semakin ke utara, menjauhkan candi dari tepian laut.
Tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan di Candi Blandongan selain melihat dan berfoto-foto. Maklum, selain belum selesai, candi ini belum dilengkapi dengan petunjuk atau informasi atau latar belakang sejarah candi ini. Akhirnya, kami beristirahat dan berteduh di bawah sebuah pohon sejenis petai cina yang tumbuh di sudut kompleks candi. Wajarlah, berada tidak terlalu jauh dari tepi pantai dan tanpa naungan pohon besar, berjalan-jalan di candi ini pada siang hari lumayan membuat terbakar. Maka, kami segera bergegas kembali ke pintu masuk agar tidak terlalu lama terpanggang sengatan matahari. Ingat, dilarang mengusik candi karena candi ini milik anak cucu kita. Jangan sampai kejahilan kita membuat mereka tidak mampu lagi melihat fisik candi dan hanya mampu menatap fotonya saja.

Saturday, August 20, 2011

Candi Jiwa Yang (Konon) Mistis

Yak, mulailah balada kami pada siang itu berjalan beriringan memasuki Kompleks Situs Batujaya. Jalan setapak buatan selebar 1 meter menjadi jalanan yang harus kami tempuh. Selepas melewati toilet percandian, dalam jarak tidak terlalu jauh (sekitar 500 meter), diantara hamparan tanaman padi, kami bertemu dengan Candi Jiwa. Bangunan candi itu nampak besar di depan kami. Memang sich, kalau dibandingkan dengan kompleks Prambanan atau Borobudur, candi ini kalah besar. Ukuran Candi Jiwa hanya sebesar 19mx19m saja. Parit dibuat mengelilingi candi tersebut dan di luar dari parit tersebut, candi ini dikelilingi oleh pagar. Plang Candi Jiwa terpampang dengan jelas di depan halaman candi ini. Untuk mencapai candi, saya harus menuruni parit yang agak curam.
Hal pertama yang terbersit dalam pikiran saya adalah : “kenapa diberi nama Candi Jiwa sich?”. Soalnya, nama desa ini adalah Desa Segaran. Saya jadi bertanya-tanya donk, darimana mereka menemukan nama “Jiwa” untuk dipasangkan pada candi? Sedikit penyelidikan yang saya lakukan, nama “Jiwa” yang dipasangkan pada candi ini bukan tanpa makna semata. Sama seperti nama-nama suatu tempat, umumnya kisahnya banyak sehingga ujung-ujungnya menjadi kabur darimanakah asal nama yang sebenarnya. Nah, untuk versi Candi Jiwa, ada 3 versi asal nama candi ini. Versi pertama adalah versi dengan bau mistik yang sangat keras. Jadi, dahulu sebelum Candi Jiwa dan Situs Batujaya ditemukan, wilayah ini penuh dengan unur (bukit, menurut dialek setempat). Unur-unur itu sering dijadikan tempat untuk menggembalakan kambing. Nah, konon, kambing-kambing yang digembalakan di tempat tersebut bisa tiba-tiba mati. Jangankan kambing, orang saja bisa sampai sakit tiba-tiba dan kemudian meninggal. Nah, karena sering mengambil jiwa makhluk hidup yang berada di unur tersebut, maka candi ini disebut Candi Jiwa.
Versi kedua adalah bentuk Candi Jiwa ini mirip dengan tempat meletakkan dan membakar mayat atau juga kuburan. Bunga Padma, simbol Agama Buddha yang memahkotai bagian atas candi diasosiasikan sebagai bunga kematian. Karena sering digunakan sebagai tempat pembakaran mayat, maka candi ini dinamakan Candi Jiwa. Nah, Versi terakhir merupakan versi yang agak samar. Nama Jiwa dikaitkan dengan nama Syiwa, Dewa yang paling dipuja dalam masyarakat Hindu Jawa Kuno. Menariknya, Candi Jiwa sendiri beraliran Agama Buddha dan dalam Agama Buddha, tidak ada Dewa Syiwa. Misteri-misteri ini meliputi nama hingga bangunan Candi Jiwa sampai kini. Selain nama, bentuk fisik candi ini pun tergolong unik karena tiada duanya di Indonesia. Seperti kita tahu, candi sebagai tempat pemujaan biasanya berkarakteristik membelakangi gunung, memiliki ruang, dan ada tangga serta pintu masuk. Namun, Candi Jiwa ini memiliki bentuk yang agak ‘nyeleneh’ dan berada di luar pakem kebiasaan. Pada Candi Jiwa, tidak ditemukan adanya tangga. Bentuk fondasi yang demikian membuat para ahli percaya bahwa ini adalah stupa, terlebih dengan adanya hiasan Bunga Padma pada bagian puncak candi.
Berhubung Candi Jiwa tidak memiliki ruang, maka tidak banyak yang bisa dilakukan di candi ini selain mengelilingi bangunannya. Kalau memperhatikan secara detail bentuk fisik candi ini, pastinya akan timbul pertanyaan. Biasanya, candi yang lebih muda kan menggunakan batu bata sebagai bahan penyusunnya? Tapi, Candi Jiwa berasal dari era prasejarah yakni sekitar abad 4. Koq bisa yach? Satu lagi pertanyaan yang mengiringi pertanyaan tersebut adalah, pada jaman itu belum dikenal teknik pencetakan batu bata. Teknik pengukiran batuan andesit lebih dikuasai manusia pada jaman itu. Secara sederhana bisa disimpulkan, nenek moyang kita memiliki teknik dan kemampuan yang sangat hebat sehingga sudah mampu menghasilkan karya berupa candi dengan teknik batu bata cetak. Ini juga merupakan misteri lain yang harus dijawab oleh para arkeolog negeri ini.
Buat teman-teman yang hobi berfoto, silahkan saja mau bergaya seekspresif dan sekreatif apapun dalam membuat pose di candi ini. Namun, berhubung candi ini sudah berusia 1600 tahun, lebih tua dari kakek buyut dari kakek buyut dari kakek buyut dari kakek buyutnya kita, maka sebaiknya berhati-hati. Walaupun tergolong kuat karena sudah berdiri lebih dari 1 milenium dan 6 abad, namun potensi kerusakan selalu ada. Beberapa sudut candi sudah tidak terlalu utuh lagi karena bekas dipendam. Susunan batu bata yang ada di sekeliling candi juga tampak rapuh. Sebaiknya sich nggak diinjak sembarangan agar tidak merusak mahakarya purbakala dari nenek moyang kita. masih mau donk, anak cucu kita melihat candi ini di kemudian hari?

Situs Batujaya Yang Tertua Di Jawa

Kebetulan kami berada di Karawang dan kebetulan lagi berada di Rengasdengklok. Kenapa nggak mencoba menyambangi dua buah candi yang *tentu saja tidak seterkenal Borobudur* cukup terkenal baru-baru ini. Walaupun namanya bisa dikatakan tidak sepopuler Borobudur atau Prambanan, namun secara mengejutkan, wilayah Karawang memiliki situs percandian dengan sejumlah candi berada di dalamnya. Konon, Karawang bahkan bergelar Lumbung Candi di Jawa Barat! Belum pernah denger kan? Mari ikut saya!


Batujaya, terletak di utara Rengasdengklok, kurang lebih 45 menit perjalanan dengan menggunakan mobil. Temuan kompleks percandian di wilayah ini konon disebut-sebut sebagai temuan terbesar dalam 50 tahun terakhir karena menyingkap hal-hal yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Seperti diketahui, candi tertua yang ada di Pulau Jawa berasal dari abad ke 8. Nah, berdasarkan dari hasil analisa karbon, Kompleks Situs Batujaya berasal dari abad ke 2, hingga yang termuda pada abad ke 12. Temuan ini juga meruntuhkan pendapat bahwa tidak ada candi di Jawa Barat selain di wilayah Leles, Garut, yakni Candi Cangkuang. Situs Batujaya menunjukkan pada kita bahwa ada peradaban Buddha (mungkin oleh Kerajaan Taruma) pada masa itu yang hidup di sekitar aliran Sungai Citarum purba. Menarik sekali mengamati candi-candi ini karena mulai dari bentuk, batuan penyusun, hingga filosofinya agak berbeda dengan candi-candi yang selama ini kita kenal. Secara sederhana saja, apabila diminta untuk membayangkan bentuk candi, pasti kita akan membayangkan batu-batu besar berat berwarna hitam atau abu-abu yang direlief membentuk dewa-dewi pada jaman dahulu. Contoh paling sederhana tentu saja relief Karmawibhangga di sekujur Borobudur dan relief cerita Ramayana di sekujur Prambanan. Itu adalah batuan andesit yang biasanya banyak terdapat di wilayah seputar gunung berapi. Pada situs Batujaya, anda akan melihat bahwa candi-candi yang ada disini tersusun atas batu bata merah, yang membuat kita berpikir bahwa candi-candi ini berusia lebih muda daripada candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara mengejutkan, candi di Situs Batujaya berusia lebih tua daripada candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batuan penyusun candi ternyata tidak merefleksikan umur candi. Hmmmm.
Selain itu, bentuk candi-candi di tempat ini pun tidak mengesankan bentuk candi yang selama ini kita kenal. Umumnya candi mengandung bentuk stupa dan bentuk seperti rumah dengan semakin ke atas semakin mengerucut. Candi Jiwa, salah satu candi yang berada dalam kompleks Situs Batujaya tidak mengesankan bentuk candi yang selama ini kita kenal. Candi ini tinggi, datar, dan tidak memiliki tangga sama sekali. Beberapa ahli percaya, bahwa ini merupakan bentuk dasar dari sebuah stupa. Namun, misteri ini bukanlah satu-satunya misteri yang ada dalam kompleks Situs Batujaya ini. Aliran situs percandian ini, walaupun dipercaya beraliran Buddha, namun banyak terdapat unsur Hindu dalam filosofinya. Tentang bagaimana candi-candi ini bisa terkubur pun, sebenarnya masih merupakan suatu misteri. Umumnya, candi dikubur ketika akan dirusak oleh pihak lawan atau, kalau melihat skalanya yang luas, ada bencana alam (atau mega bencana alam) yang terjadi di wilayah ini (masih ingat donk, bagaimana Candi Borobudur ketika ditemukan?). Ketika ditemukan, candi-candi ini semuanya terkubur dalam tanah. Wilayah Batujaya ini dahulu juga dikenal karena keangkerannya. Sebelum ditemukan, Candi Jiwa, misalnya, merupakan suatu bukit/gundukan tanah berbentuk oval. Menarik ketika ditemukan, mereka menemukan susunan batu bata, keramik, perhiasan, dan tentu saja tengkorak dan tulang belulang yang membuat mereka yakin bahwa pernah ada peradaban purba di tempat ini. Hingga kini, baru dua candi yang sudah dan sedang dipugar yakni Candi Jiwa dan Candi Blandongan. Total, konon terdapat sekitar 13 candi (atau lebih?) yang masih terpendam di wilayah ini. Tidak tertutup juga kemungkinan bahwa masih ada bangunan candi lain yang belum diketahui keberadaannya. Pemugaran total masih membutuhkan waktu cukup lama mengingat candi ini baru ditemukan pada tahun 1984 dan hingga kini, baru dua candi yang berhasil dipugar dan sedang dipugar.

Situs Batujaya ini terletak di percabangan Jalan Raya Rengasdengklok – Pakisjaya. Nggak susah menemukan jalan ini sebab inilah jalan satu-satunya penghubung wilayah Rengasdengklok dengan Pantai Pakisjaya di utara sana. Nggak usah takut kesasar, selama anda memperhatikan jalan, anda akan melihat plang petunjuk bahwa ada satu belokan tempat terdapatnya situs Batujaya ini. Dalam perjalanan pun, petunjuk arah menuju Situs Batujaya ditampilkan dalam hitungan kilometer. Sangat terbantu sekali dech. Dari belokan tersebut, situs ini sudah tidak terlalu jauh. Nah, kompleks Situs Batujaya ini berada di tengah-tengah areal persawahan. Agak unik melihat bahwa diantara hamparan-hamparan sawah ini, terdapat beberapa bangunan candi yang menjulang dan dipagari. Jalan setapak yang bisa dilalui motor telah terbangun mulai dari pintu masuk hingga Candi Blandongan, melewati Candi Jiwa. Untuk memasuki Situs Batujaya, anda tidak dikenakan biaya apapun. Hanya saja, anda wajib menuliskan nama anda di buku tamu dan kemudian membayar donasi secukupnya untuk membantu proses pemugaran candi-candi si situs ini. Apabila anda membutuhkan informasi lebih lanjut, warga setempat tanpa diminta bersedia untuk mendampingi anda selama kunjungan untuk menjadi guide dan bercerita banyak tentang sejarah situs, tentu, dengan donasi sejumlah dana. Sebelum menuju kompleks Situs Batujaya, saya sudah mempelajari banyak tentang situs-situs ini, lengkap dengan kisah mistis di unur-unur (unur = bukit/gundukan) sekitar kompleks. Oleh karena itu, saya dan rekan-rekan merasa tidak perlu menyewa jasa guide tersebut. Jalanan menuju lokasi percandian juga terbuka lebar dan mudah dijalani. Rasanya sich nggak perlu sampai menyewa ojek. Yang jadi masalah hanyalah anda perlu membeli minuman karena lokasi percandian di dataran rendah dan terbuka hampir tanpa adanya naungan pohon apapun. Lumayan bikin keringetan dan terbakar. Jadi, sunblock kayaknya perlu juga untuk anda yang akan menuju tempat ini. Kalau anda tertarik akan sejarah situs percandian ini, boleh banget tuch menyewa guide untuk menemani anda berjalan-jalan dan menggali informasi. Hitung-hitung, meningkatkan taraf ekonomi masyarakat lokal lah. Toilet hanya ada di pintu masuk. Jadi, sebelum berjalan-jalan ke kompleks, buang air kecil/besar dulu ya. Jangan buang di sembarang tempat. Kualat ntar! Hihihi.

Thursday, August 18, 2011

Tugu Rengasdengklok Yang Belum Selesai

Sebelum masuk ke dalam Monumen Kebulatan Tekad, dijamin mata kita akan terpancang pada areal luas di sebelah kiri, bertanah merah, dipagari dengan replika bambu runcing berwarna kuning berukuran besar, serta di tengahnya, ada empat buah lengan kiri yang mencuat dari tanah menjulang ke angkasa. Benda apakah itu?
Ini adalah Monumen Proklamasi Rengasdengklok. Sayangnya, monumen ini telah berdiri cukup lama di tempat ini tanpa adanya kepastian proses penyelesaiannya. Monumen ini terkendala oleh banyak hal termasuk salah satunya krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 yang mengakibatkan penyelesaiannya menjadi tersendat. Pembangunan monumen ini pertama kali dilakukan pada tahun 1996, hingga kini tahun 2011, 15 tahun sesudah pengurukan pertama kali, monumen ini masih benar-benar belum selesai. Memang sich sekitar beberapa tahun lalu PemKab Karawang dan pemerintah pusat mulai fokus pada pembenahan monumen ini. Namun, sampai sekarang, monumen ini masih seperti yang anda lihat.
Sebenarnya, tugu ini luar biasa sich. Warna tanah yang bersemburat kemerahan, kontras dengan warna kuning pada bambu runcing dan logam dari monumen. Dipadu dengan birunya langit, anda akan mendapatkan foto yang luar biasa kontras. Apalagi dengan hampir tidak adanya tutupan pepohonan sama sekali di areal tengah, dijamin, tempat ini menarik untuk dijadikan objek foto-foto. Sayangnya, berfoto di tempat ini pada siang hari akan sangat menyiksa diri. Matahari terasa benar-benar membakar kulit kita ketika berada di tempat ini pada tengah hari. Sebagai sebuah tugu, memang diharapkan tugu ini bisa memberikan informasi banyak mengenai silsilah Kota Rengasdengklok dan Kabupaten Karawang yang dijadikan basis utama pergerakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, meranggasnya rumput dan keringnya tanah di sekitar lokasi turut menegaskan bahwa tugu ini belum selesai. Tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilihat di monumen ini selain empat buah tangan yang mengepal ke udara seperti sedang mengucapkan kata “Merdeka” (tangan kanan dipercaya sedang memegang bambu runcing). Tidak ada petunjuk, tidak ada museum, tidak ada relief atau apapun yang sekiranya membuat turis akan berlama-lama di tempat ini. Yang paling menarik selain dari tugu ini paling hanya segerombolan kambing yang sedang merumput di tempat ini. Mari kita menyingkir sebelum terkena sengatan matahari parah dan mengganggu seluruh rencana perjalanan ini.

Monumen Kebulatan Tekad, Rengasdengklok

Pada Tahun 1950, Sungai Citarum meluap. Rumah Alm. Bapak Djiauw Kie Siong saat itu terkena imbas dari meluapnya air Sungai Citarum. Demi menyelamatkan peninggalan bersejarah, rumah tersebut dipindahkan ke lokasinya sekarang (rumah anaknya nomor 5). Lokasi lama tempat rumah tersebut berdiri telah didirikan sebuah monumen. Monumen Kebulatan Tekad namanya untuk mengenang lokasi tempat peristiwa bersejarah terjadi kala detik-detik menuju diproklamirkannya kemerdekaan bangsa ini.
Monumen yang didirikan pada tahun 1950 ini telah dipugar beberapa kali dan terakhir berlangsung pada pemerintahan Presiden RI ke 5, Ibu Megawati Soekarnoputri. Monumen yang berbentuk tangan kiri yang mengepal ini berdiri di atas pedestal berukuran 15x15 meter. Ada alasannya loch mengapa monumen ini mengusung bentuk tangan kiri. Konon, Tangan kiri Bapak Presiden Soekarno kala itu mengepal dan mengacung sembari beliau mengucapkan kata “merdeka”. Sementara, tangan kanannya menandatangani naskah proklamasi. Apabila dilihat dari atas, areal monumen yang berbentuk segitiga ini menampilkan angka 17,8 dan 45. Angka-angka tersebut dibentuk dari batu-batu koral penyusun area berjalan di taman ini. Di bagian belakang monumen, terdapat relief proses detik-detik tercapainya proklamasi kemerdekaan Indonesia, termasuk telah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok. Beberapa tanaman pohon dan bebungaan menaungi taman ini namun tidak cukup rindang untuk membuat keseluruhan taman ini menjadi sejuk. Nampaknya, taman ini tidak banyak dikunjungi oleh wisatawan sebab pada saat kedatangan kami, pagar taman ini tertutup. Memang sich, pintu pagarnya bisa dibuka dengan mudah. Namun ya itu, hampir jarang terlihat tanda-tanda kunjungan wisatawan disini. Menariknya lagi, pada saat kami berkunjung ke monumen ini, beberapa warga juga terlihat tertarik, termasuk sejumlah anak-anak, dan kemudian ikut berkunjung dan berfoto-foto di tempat ini. Apa jangan-jangan mereka nggak tahu yach kalau monument ini terbuka untuk umum dan menjadi lokasi wisata?

Di Rumah Babah Djiauw Kie Siong

Ada yang menarik dari kisah pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta pada 16 Agustus 1945. Selama ini, nama-nama yang beredar mengelilingi kisah heroisme tersebut adalah Soekarno, Muhammad Hatta, Soekarni, Wikana, Chaerul Saleh, Achmad Soebardjo, Sayuti Melik dan Laksamana Maeda. Seingat saya, entah memang sejarah saya payah atau gimana yach, rumah yang menjadi tempat pengasingan kedua tokoh proklamator bangsa ini adalah rumah milik Laksamana Maeda. Namun saya salah. Entah saya memang tidak mendengarkan pelajaran sejarah dengan betul atau salah ingat. Namun, pernahkah sejarah menyebut nama Djiauw Kie Siong?
Rumah berdinding kayu tersebut terletak di Dusun Kalijaya I No 41, RT 001 RW 09, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, 41352, Kabupaten Karawang. Rumah sederhana dengan arsitektur betawi ini tampak sudah direnovasi beberapa kali. Bagian depan rumah tampak bercat putih dengan dua buah jendela kayu berwarna hijau di kanan dan kiri, mengapit satu pintu di tengah. Begitu masuk, kami disambut oleh interior rumah sederhana dengan dinding bercat hijau. Disinilah, monumen penghormatan untuk Alm. Bapak Djiauw Kie Siong alias Babah Kie Siong serta memorabilia terhadap seluk beluk kemerdekaan Indonesia diletakkan. Bagian pusat dari ruangan tersebut adalah sebuah meja altar untuk menghormati Alm. Bapak Djiau Kie Siong. Namun itu bukan altar biasa. Altar khas chinese lengkap dengan hio dan lilin tersebut berhiaskan aneka foto-foto seputar kemerdekaan Indonesia. Di seputar altar, anda bahkan bisa melihat foto Bung Karno beserta Ibu Fatmawati dan kedua anaknya, Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri. Selain foto Presiden Republik Indonesia, ada juga foto-foto pejuang kemerdekaan pada kala itu. Beberapa lukisan dan foto yang lazim ditemui di rumah seorang chinese juga terpampang di tempat ini. Tidak lupa, untuk mengabadikan kunjungan, sebuah buku tamu terpajang guna membiarkan kita mengisi data diri kita. Terakhir, banyak sekali piagam penghargaan yang diberikan oleh para pengamat budaya atau tim peneliti dan tur sejarah Indonesia kepada keturunan Babah Kie Siong yang diletakkan di seputar altar tersebut.
Selain altar yang dipenuhi aneka foto dalam bingkai tersebut, ada sebuah meja dengan 4 kursi di sudut ruangan yang konon katanya masih asli dari jaman Babah Djiauw Kie Siong masih hidup dan tidak dikutak-katik sampai sekarang (walaupun kenyataannya, kursi-kursi tersebut dapat diduduki). Sudut dinding yang lain berisi sekumpulan foto yang sudah lebih modern, anak dan cucu Djiauw Kie Siong yang sudah sukses menempuh pendidikan dan gelar akademis lainnya. Itulah isi dari ruangan utama bercat hijau dan beratap anyaman bambu tersebut. Situasi dan nuansanya masih dipertahankan seasli kejadian 16 Agustus 1945, hanya cat dan perawatannya saja yang terus menerus dilakukan. Nah, di sebelah kiri dan kanan ruang utama inilah terdapat masing-masing kamar tidur Soekarno dan Muhammad Hatta. Kamar Soekarno di sebelah kanan ruangan dan Muhammad Hatta di sebelah kirinya. Seluruh perabotan di tempat tersebut juga dibiarkan sama seperti aslinya (konon, ranjang asli yang dahulu sempat ditiduri oleh Soekarno sudah dibawa ke Museum Siliwangi. Benda yang ada disini adalah replikanya). Sebuah ranjang tidur kayu bertiang, lengkap dengan tirai kelambu sungguh menegaskan era yang dibawa olehnya. Semua seprei dan sarung bantal guling telah diganti dengan yang baru. Kami pun bahkan, sempat berfoto di ruangan tersebut.
Sisa dari rumah tersebut adalah bagian baru yang ditambahkan pada periode berikutnya. Anda bisa melihat dengan jelas perbedaannya. Rumah bagian belakang yang tampak jelas dari sisi kanan dan kiri altar, merupakan rumah tambahan baru dengan dinding bata dan semen. Arsitekturnya pun jauh lebih modern dibandingkan bagian depan yang masih dipertahankan keasliannya. Kami nggak masuk ke bagian ini, maklum, area ini tampaknya sudah menjadi area privat keluarga keturunan Djiauw Kie Siong. Sebuah bale-bale tempat bersantai tampak diletakkan di depan rumah tersebut. Cucu Djiauw Kie Siong, Ny. Iin dan suaminya, Tn. Yayang-lah yang menerima kami dengan hangat dan dengan sukarela menceritakan kisah mereka kepada kami. Ny. Iin tampak lebih malu-malu dan Tn. Yayang-lah yang lebih banyak membeberkan cerita perjuangan bangsa di rumah mereka itu. Sebagai bentuk perhatian kita terhadap sejarah bangsa Indonesia, donasi seadanya diharapkan bagi mereka yang bertandang ke rumah ini. Mereka tidak pernah meminta, akan tetapi, mengurus rumah bersejarah agar tidak dimakan usia tentu membutuhkan dana dan upaya bukan?

Tuesday, August 16, 2011

Menuju Rengasdengklok

Menuju Rengasdengklok adalah perkara mudah. Yang anda butuhkan hanya kesabaran saja! Dari Jakarta, jalan mulus membentang sepanjang jalur Cikampek dan tidak terkecuali Gerbang Tol Karawang Barat. Pemandangan bukit-bukit kecil akan mewarnai perjalanan anda begitu anda sampai di wilayah Karawang. Nah, selepas memasuki gerbang Tol Karawang Barat, jalanan mulai terasa agak ‘berwarna’. Butuh satu jam untuk mencapai Kota Karawang. Kalau anda sudah sampai Terminal Tanjungpura, artinya anda sudah cukup dekat. Secara resmi, anda sudah memasuki Jalan Raya Rengasdengklok. Upsss...jalan raya ini hanya muat oleh dua buah mobil saja dengan rumah-rumah di kanan dan kiri jalan. Begitu anda mencapai Pasar Rengasdengklok, anda secara resmi sudah berada di pusat Kota Rengasdengklok. Jalanan di tempat ini akan membesar secara layak koq. Hehehe. Tapi jangan senang dulu, sisa perjalanan akan anda tempuh dengan kondisi dan kualitas jalan yang semakin menurun. Rumah pengasingan Bung Karno tidak terletak di jalan raya utama, namun harus memasuki daerah perkampungan dengan jalanan yang semi diaspal. Kebetulan semalam terjadi hujan deras sehingga genangan air berwarna coklat cukup lebar tampak menyebar di sebagian badan jalan. Kalau anda jalan kaki, ya, siap-siap cuci kaki aja dech yah...
Nah, dari Pasar Rengasdengklok, kurang lebih teman-teman membutuhkan waktu setengah jam lagi untuk mencapai Rumah pengasingan Bung Karno. Sebelum tiba di rumah tersebut, di sebelah kiri teman-teman ada Tugu Perjuangan Rengasdengklok yang tampak belum selesai. Monumen Kebulatan Tekad yang lebih kecil dan lebih baru berada di belokan sebelum kita memasuki jalan tempat rumah pengasingan Bung Karno di Desa Rengasdengklok Utara. Jujur saja, saya nggak menemukan adanya kendaraan umum yang melintasi tempat ini. Kebanyakan, kendaraan yang melintas sampai wilayah ini adalah motor. Buat yang ogah berpanas-panas ria sambil gonta ganti angkutan, pertimbangkan dech buat sewa mobil aja kalau kebetulan kalian berjalan beramai-ramai (serius, Rengasdengklok sangat panaaaaas. Apa karena terletak di dataran rendah dan naungan pohon besarnya agak jarang yach di tugu tersebut?). Kalau sendirian, coba dech pertimbangkan untuk naik motor atau sewa. Oh, Selamat Datang di Rengasdengklok!