Friday, September 30, 2011

Lintas Alam Malam Hari Tomok - Tuk-Tuk Siadong

Percobaan terakhir, pemuda yang paling pertama menawarkan jasa angkutan tadi akhirnya kembali memepet kami. Ia menawarkan harga ultimatum terakhir, Rp. 40.000/ 2 orang. Saya tetap tidak tertarik dan melanjutkan perjalanan saya. Tampaknya ia kesal dan kemudian ia bergegas memacu kendaraannya ke arah Tuk-Tuk Siadong. Ini adalah akhir dari penawaran pemuda tersebut, walaupun beberapa ojek lain masih kerap mendatangi kami dan mencoba melakukan penawaran. Untungnya, semakin kami berjalan mendekati Tuk-Tuk, penawaran tersebut hilang sama sekali.
Saya baru menyadari, senter adalah benda yang paling dibutuhkan kalau kita nekad berjalan kaki pada malam hari di Pulau Samosir. Rute 2 KM dari Tomok menuju Tuk-Tuk Siadong tampaknya menyenangkan. Apabila dilakukan bersama teman, nampaknya jalur tersebut bukanlah hambatan berarti. Kita bisa menjelajahi rute sambil mengobrol dan tiba-tiba saja, voila, sudah sampai! Permasalahannya, kami melakukan perjalanan ini di keremangan malam. Kegelapan malam, malah! Samosir termasuk wilayah yang miskin penerangan lampu jalanan. Terangnya lampu hanya didapat apabila ada sebentuk bangunan di pinggir kiri atau kanan jalan. Namun, masalahnya, tutupan utama Samosir umumnya bukan rumah, melainkan sawah, bukit dan hutan. Alhasil, kami beberapa kali harus berjalan di tengah kegelapan malam, tanpa bisa membedakan yang mana parit, yang mana jalanan, (yang mana makam) dan yang mana sawah. Disinilah fungsi senter sangat diandalkan.
Dalam melakukan perjalanan ini, kami beberapa kali disapa oleh anak-anak di beberapa rumah dengan perkataan, “hello mister”. Mungkin kami dikira orang asing kali yach? Namun, rumah hanyalah salah satu dari sekian banyak fitur dan objek yang kami jumpai. Selepas Desa Tomok, kami melewati areal rerimbunan tanaman yang cukup lebat. Saya yakin, kalau saya sendirian sich mungkin nggak bakal senekad ini untuk melewati jalanan sepi tanpa penerangan sama sekali tersebut. Saya pasti sudah mengambil penawaran dari supir ojek tersebut saat pertama kali! Hihihi. Beberapa kali saya menyaksikan kuburan. Ya, saya ulangi, banyak kuburan di tepi kiri dan kanan jalan yang kami lalui. Nggak heran sich, Samosir kan terkenal dengan julukan pulau 1000 makamnya. Di samping kiri dan kanan jalan banyak sekali ditemukan makam-makam, dari sekedar makam biasa hingga makam keturunan raja, lengkap dengan kubur batu di atas tanah dan bangunan bertingkatnya. Luar biasa, sekaligus menakutkan karena kami melihatnya pada malam hari. Teman saya bahkan tidak berani menengok sama sekali ke arah makam. Pandangannya lurus saja ke depan. Padahal, saat siang hari, monumen-monumen di makam tersebut tergolong unik dan indah. Banyak yang berfoto-foto di depan monumen makam tersebut.

Selain manusia, yang paling banyak menemani kami adalah anjing. Ya, penduduk Samosir tampaknya tidak dapat dipisahkan dengan hewan yang satu ini. Difungsikan sebagai hewan penjaga rumah dan pekarangan, beberapa kali kami harus berhadapan dengan anjing yang menggonggong dan mengira kami pencuri atau sebangsanya karena berjalan dalam gelap dalam kesunyian. Terkadang, anjing-anjing tersebut mengkonfrontasi kami terlalu jauh. Mereka tidak sekedar menyalak, namun juga mengejar. Waduh, saya nggak mau mengambil resiko mereka akan menggigit kami dari belakang donk? Disinilah senter yang saya gunakan memiliki fungsi kedua. Saya akan memain-mainkan sinarnya sedemikian rupa sehingga mereka agak terancam dengan kilauan cahayanya. Kalau ini tidak berhasil juga, saya akan pura-pura mengambil batu dan pura-pura menimpuk mereka. Tentu, ini Cuma gertakan. Saya nggak berani juga kalau sampai benar-benar melakukannya. Gimana kalau anjing tersebut mati dan saya dituntut sama pemiliknya? Walah, bisa kacau balau berantakan deh liburan ini. Hahaha. Untungnya, metode ini cukup berhasil. Anjing tersebut menjauh tatkala saya membungkuk dengan gerakan mengambil batu. Fiuhhhh.
Hal istimewa lainnya yang saya dapatkan selama perjalanan ini adalah saya bisa mensyukuri nikmat alam yang sangat luar biasa cantiknya. Samosir beranugerah langit malam yang luar biasa cantik. Walaupun tidak cerah karena tiada sinar rembulan, namun langit Samosir bertabur ribuan, bahkan jutaan bintang. Ingin rasanya saya merebahkan diri di rumput dan memandangi bintang-bintang tersebut semalaman. Hehehe. Untungnya saya tersadar bahwa saya berada di tengah-tengah jalan yang tak ubahnya seperti hutan. Di Jakarta, saya tidak pernah bisa menikmati langit yang secantik ini lantaran cahaya lampu kota dan polusi tentunya. Samosir tentu saja bebas dari kedua hal tersebut. Langit di tempat ini luar biasa manis dan cantik. Nggak bosen-bosen deh memandanginya. Tuk-Tuk Siadong adalah sebuah tanjung kecil yang terletak di tepi timur Pulau Samosir yang berada di luar jalur lintas Samosir. Dalam perjalanan dari Tomok menuju Ambarita, anda akan melihat satu buah percabangan jalan besar dengan gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Kabupaten Samosir Pariwisata” kemudian di bawahnya “Welcome to Samosir Tourism Regency” dan di bawahnya ucapan yang sama dengan aksara Batak. Tempat ini dikenal sebagai Bukit Beta Garoga, Simpang Tuk-Tuk Siadong. Di depan gapura ini ada sebuah warung kecil. Kalau anda nggak yakin, anda silahkan bertanya. Nah, angkot yang melayani rute Tomok – Pangururan dan sebaliknya sama sekali tidak melewati tanjung ini. Anda harus berjalan kaki, naik motor atau mobil carteran guna mencapai Tuk-Tuk Siadong. Buat anda pecinta kegiatan jalan kaki, Tuk-Tuk Siadong sudah tidak terlalu jauh lagi, tinggal satu kilometer lagi ke sebelah kanan. Nah, kumpulan penginapan Tuk-Tuk Siadong berada sekitar 1000 meter dari gapura ini. Anda akan melewati jalanan naik, turun, melewati sawah dan perbukitan. Walaupun daerah ini sudah termasuk daerah wisata dan sudah lebih komersil dibanding wilayah manapun di Samosir, namun anda tetap akan berada dalam kegelapan malam karena minimnya penerangan jalan. Hanya sesekali saja bonus berupa lampu jalanan yang menyinari langkah anda. Di bagian Samosir yang ini, kembali anda bisa tiba-tiba saja didekati oleh para pengendara motor. Namun, mereka bukan ojek, melainkan orang-orang yang bekerja pada suatu penginapan dan bertugas untuk mengambil turis. Nah, anda bisa bertanya pada mereka apabila kebetulan mereka menawarkan penginapan mereka. Kalau anda cocok akan harganya, silahkan ikut motor mereka. Namun, kalau anda masih mau menikmati jalan kaki ini dan memilih sendiri hotel yang sesuai dengan cita rasa anda, saya rasa tidak terlalu masalah kalau anda menolak seperti yang saya lakukan.
Buat anda yang memang berencana untuk mengikuti jejak saya : berhemat dan menikmati jalan-jalan malam di Samosir, anda perlu memperhatikan sejumlah hal. Pertama, anda harus memang sudah terbiasa berjalan kaki. Bukan hanya sekedar soal dua kilometer yang menjadi jarak Tomok – Tuk-Tuk Siadong ini. Akan tetapi kondisi jalan yang sudah beraspal ini adalah rute pendakian dan penurunan dengan beberapa bopeng. Kontur jalan yang tidak rata mewarnai wajah Samosir. Hal lainnya adalah senter yang wajib sekali anda bawa selama perjalanan. Kecuali anda yakin sekali akan arah pijakan anda, anda bisa meniadakan senter dalam perjalanan anda. Terakhir, tetap gunakan lotion anti nyamuk karena anda akan berjalan dalam rerimbunan pepohonan di kiri dan kanan jalan. Walaupun nggak masalah berjalan sendirian, namun saya lebih menyarankan setidaknya anda memiliki seorang teman untuk menemani hobi anda ini. Dalam perjalanan, anda memang akan menjumpai banyak sekali orang yang menawarkan jasa tumpangan. Mulai dari ojek, angkot, mobil, hingga truk! Ya, saya bahkan bertemu dengan sejumlah turis yang menaiki truk dan menawarkan jasa tumpangan kepada kami. Yah, kalau anda nggak nyaman, anda boleh-boleh saja koq menolaknya. Khusus untuk para penjemput turis, gunakan jasa mereka kalau anda benar-benar yakin akan menginap di hotel yang mereka rekomendasikan. Akan sangat nggak etis kalau mereka sudah membawa anda, namun anda pindah ke hotel lain. Sekali lagi agar anda ingat, anda sudah masuk ke dalam wilayah komersil di Pulau Samosir. Tidak ada yang benar-benar gratis di tempat ini. Bijaklah dalam berwisata! Hehehe.

Thursday, September 29, 2011

Tidak Ada Angkutan Umum Ke Tuk-Tuk Siadong

Begitu kami menjejakkan kaki kami di Pulau Samosir, sejenak saya baru tersadar : hari sudah malam, akankah ada angkutan dari Tomok menuju Tuk-Tuk Siadong tempat kami melewatkan malam? Sejumlah turis nampak naik mobil carteran yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Para inang menaiki angkutan yang sudah menunggu di tepi pelabuhan. Duh, saya baru tersadar kebodohan saya. Kenapa saya nggak riset dulu yach untuk rute Tomok – Tuk Tuk Siadong? Nggak berapa lama, datanglah sesuatu yang mengaku bernama solusi. Seorang pria muda datang menghampiri kami dan menawarkan jasa pengantaran. Sebelumnya ia bertanya terlebih dahulu kemanakah kami akan berangkat. Kami menjawab, “Tuk-Tuk Siadong” atau dalam bahasa setempat kerap disebut “Tuktuk” saja. Pria tersebut menawarkan mobil yang sudah ia persiapkan di pinggir pelabuhan dan menyebutkan harga Rp. 60.000 untuk sekali pengantaran ke Tuk-Tuk Siadong untuk dua orang. Artinya, satu orang akan dikenakan harga Rp. 30.000. Mata saya melotot saat itu. Tampaknya, saya sudah masuk ke dalam sisi komersil dari dunia pariwisata Danau Toba. Saya kembali mengingat-ingat dan akhirnya saya nekad memberanikan diri untuk menawar, dengan keyakinan bahwa Tomok – Tuk-Tuk Siadong cukup dekat, hanya sekitar 2 kilometer saja.
Saya menawar Rp. 5.000 per orang. Ya, saya tahu apa yang anda pikirkan. Mungkin saya nawarnya keterlaluan. Namun buat saya, untuk jarak 2 Kilometer, mereka yang menawarkan harga Rp. 30.000/orang jauh lebih keterlaluan. Toh, saya nggak minta naik mobil. Naik motor juga jadi, yang penting sampai. 2 KM sih nggak terlalu masalah untuk sebuah motor kan? Seperti yang sudah saya duga, mereka tidak mau menurunkan harga penawarannya. Baiklah, saya akhirnya mengeluarkan senjata pamungkas. Saya mengajak teman saya untuk berjalan kaki. Toh, berjalan 2 KM tidak akan membunuh saya. Tampaknya ancaman tersebut berhasil, ia menurunkan harganya menjadi Rp. 50.000/2 orang. Saya tetap tidak tertarik dan saya kembali melangkahkan kaki. Dalam benak saya. Separah-parahnya, untuk jarak sedekat itu, harga yang wajar adalah Rp. 10.000/orang. Itu saja menurut saya sudah merupakan suatu pemerasan.
Akhirnya, dengan tekad yang kuat, saya nekad berjalan kaki menyusuri Jalan Lintas Samosir untuk mencapai Tuk-Tuk Siadong yang berjarak sekitar 2 KM dari Tomok. Pemuda tadi nggak mau kalah. Ia tetap mendampingi kami sambil mengatakan kata-kata “jauh, bensin mahal, dsb”. Sayangnya, saya sudah terlanjur antipati duluan. Alih-alih kebutuhan, ini lebih kepada perang urat syaraf dan tekad buat saya. Hahaha. Sampai harganya diturunkan menjadi harga yang saya inginkan, saya rasa saya tidak tertarik untuk naik kendaraan mereka. Namun, serangan tidak berhenti disitu saja. Beberapa tukang ojek juga memepet dan menawarkan jasanya pada kami yang berjalan kaki. Apabila siang hari, tampaknya ini bukan sesuatu hal yang aneh. Namun, kami berjalan kaki pada malam hari di keremangan malam Samosir dan dalam suasana sepi. Mau tak mau para supir ojek dan kendaraan akan berlomba-lomba untuk merebut hati kami. Hahahaha. Sekedar informasi, tidak ada angkutan publik dari Tomok ke Tuk-Tuk Siadong yang hanya berjarak 2 KM saja. Pilihannya hanya berjalan kaki, atau anda naik angkot lintas Samosir yang melayani rute Tomok - Pangururan, turun di Simpang Tuk-Tuk Siadong dan berjalan kaki sejauh 1 KM lagi. Kalau anda terburu-buru dan punya dana lebih, mungkin anda tertarik untuk menyewa ojek atau carter mobil (perkiraan biaya Rp. 20.000/orang untuk motor dan Rp. 30.000/orang untuk mobil). Sayangnya, saya nggak tertarik. Hohoho.

Tuesday, September 27, 2011

Satu Jam Melayari Danau Toba

Inilah salah satu bagian yang paling menyenangkan buat saya selama perjalanan melintasi Tanah Sumatera Utara : melayari Danau Toba, menyebrang dari Ajibata menuju Tomok, kota pelabuhan di tepi timur Pulau Samosir. Perjalanan ini akan dilangsungkan selama kurang lebih satu jam. Namun, jauh dari kata membosankan, perjalanan ini akan sangat menyenangkan. Kenapa? Yuk, mari saya jabarkan alasan-alasannya. Pertama, air Danau Toba bisa dikatakan cukup tenang. Walaupun lebar dan dalam serta kondisi iklimnya bisa menyerupai lautan, ombak di Danau Toba cukup tenang. Buat anda yang hobi mabok laut, nggak usah kuatir, anda akan menikmati perjalanan ini tanpa “aksesori kantong plastik” di genggaman anda. Hehehe. Kedua, pemandangan indah yang tersaji selama perjalanan berupa bukit-bukit tandus dengan tutupan vegetasi yang didominasi oleh tanaman berdaun jarum dan semak. Dimana lagi ada pemandangan serupa seperti ini? Ketiga, desa-desa di pinggir Danau Toba berhiaskan Rumah Adat masyarakat Batak Toba, lengkap dengan gereja kecil dimana-mana membuat perjalanan ini benar-benar suatu “perjalanan”. Sekali lagi, anda nggak akan menemukan pemandangan serupa setiap harinya. Keempat, kalau anda kebetulan menyebrang tidak pada tengah hari –yang biasanya panas sekali-, anda akan mendapatkan rona senja dengan gelayut warna lembayung di langit yang cantik sekali. Anda akan menyaksikan matahari terbenam di perbukitan sisi Samosir karena di sisi barat anda adalah Pulau Samosir. Terakhir, kalau anda beruntung, biasanya kapal-kapal ini memutarkan lagu-lagu pop Batak Toba selama perjalanan. Waaaaah, benar-benar komplit rasa Batak akan perjalanan kali ini. Ditambah lagi dengan ongkos perjalanan yang luar biasa murah. Haruskah saya komplain?
Saya berlabuh pada pukul setengah tujuh malam. Di saat Jakarta sudah tenggelam dalam gelap, di Danau Toba, matahari masih memancarkan sinar senjanya yang cantik disini. Saya berlayar sambil mendapatkan foto-foto indah di wilayah sekeliling Danau Toba. Sembari memakan roti bekal saya, meminum minuman ringan, saya menikmati dendangan lagu Shania Twain alih-alih lagu pop Batak. Entah mengapa, tampaknya Shania Twain adalah artis yang digemari di wilayah Ajibata – Tomok ini karena sebelumnya, saya pernah menaiki kapal –entah sama atau berbeda- dengan iringan lagu-lagu Shania Twain yang sama. Yah sudahlah, Shania Twain juga masuk koq untuk kuping saya. Wekekekek.
Sayang sekali, keindahan alam di sekeliling hanya mampu bertahan selama setengah jam saja. Selepas matahari terbenam sempurna (artinya : bukan terbenam di perbukitan, tapi terbenam di horizon), kegelapan menyelimuti sekeliling kami. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain duduk dan menikmati perjalanan di tengah deru angin malam yang semakin dingin menusuk kulit. Walau demikian, kelap kelip cahaya neon bersinar terang di seberang dan semakin membesar seiring perjalanan kami menuju daratan Samosir. Satu lampu yang bersinar terang di ujung daratan dan berada di posisi yang cukup tinggi adalah cahaya lampu Gereja HKBP Tomok yang menjadi titik akhir perjalanan saya pada malam itu. Beberapa saat sebelum kapal merapat, mesin pun berhenti. Kapal hanya memanfaatkan sisa-sisa daya dorong mesin untuk mencapai tepi pelabuhan. Tak lama, papan kayu pun digeser untuk pijakan bagi penumpang yang akan turun. Begitu mencapai tanah, maka saya sudah secara resmi tiba di Pulau Samosir.

Pelabuhan Orang Ajibata, Toba Samosir

Memasuki Kota Parapat dari sisi resort, menembus jalan-jalan kecil diantara penginapan dan hotel, kemudian keluar di sisi pelabuhan kendaraan dan orang di Ajibata, rasanya waktu tidak pernah berjalan di tempat ini. Semuanya hampir sama persis seperti yang saya ingat empat tahun yang lalu. Termasuk tiketnya! Harga tiket untuk penyebrangan orang selama kurang lebih 45 – 60 menit melintasi Danau Toba dari Ajibata ke Tomok adalah Rp. 4.000! Murah dan tidak berubah semenjak 2007 lalu. Tidak peduli apakah anda warga lokal atau turis, harganya sama. Tidak ada pembedaan sama sekali. Adakah hal lain yang lebih menyenangkan daripada ini?
Kapal yang akan kami gunakan bukan kapal ro-ro, apalagi kapal ferry! Kapal ini adalah kapal kayu sederhana, namun bertingkat dua dan terdapat dek pemandangan di atasnya. Orang-orang Danau Toba tampaknya sangat tahu bagaimana menjual keindahan alam yang mereka miliki. Tentu, saya nggak berminat untuk melewatkan perjalanan ini dengan duduk berdiam di dek bawah donk. Saya pasti memilih untuk duduk di kursi besi yang disusun di dek atas, sambil menikmati semilir (dan dinginnya) angin Danau Toba. Kebetulan saya diberikan "bonus" berupa matahari terbenam dan langit senja berwarna lembayung selama perjalanan. Indahnya hidup ya? Hehehehe.
Namun, sebelum kapal dijalankan, kami semua harus mengeluarkan barang-barang kami terlebih dahulu dari dalam mobil. Barang kami jumlahnya tidak seberapa. Barang-barang jualan milik inang-inang tersebut lah yang luar biasa. Mereka membawa berkarung-karung bahan pangan untuk dibawa menyebrang ke Tanah Samosir. Nggak hanya itu, beberapa penduduk tampak menyebrangkan sepeda motor mereka. Dengan kekuatan luar biasa, sepeda motor tersebut diputar di atas perahu oleh para awak. Wuihhh... nggak kebayang dech tenaga mereka. Para inang tersebut sebagian masih duduk-duduk di warung sekitar, namun sebagian sudah masuk ke dalam perahu. Bagaimana dengan barang-barang mereka? Yah, itu tugas awak kapal yang bertugas mengangkut dan menyusun barang-barang tersebut agar muat di dalam kapal.
Untungnya, turis nggak hanya kami saja. Ada beberapa gerombolan turis lokal yang kami lihat pada sore itu. Sejumlah koper dan tas bagus tampak teronggok di sisi geladak kapal, bersanding dengan kardus dan karung, yang memang ditujukan untuk penampungan barang-barang. Jangan kuatir, barang-barang ini aman semua koq. Penyebrangan antara Tomok dan Ajibata dilakukan dalam interval setengah hingga satu jam sekali. Cukup sering yach? Oleh karena itu, ada sejumlah kapal yang kami lihat ditambatkan di sisi kiri dan kanan kapal yang akan kami naiki. Seorang awak kapal yang mengangkut barang-barang bahkan sempat berpose untuk kami sebelum menyelesaikan pekerjaannya. Di luar dari wajahnya yang tampaknya garang, tampaknya mereka orang yang menyenangkan. Hehehehe. Sebelum kapal berangkat, mereka akan membunyikan klakson atau sirine panjang tanda akan memulai perjalanan. Ini juga sebagai sinyal bagi mereka yang masih berada di luar kapal untuk segera masuk ke dalam kapal. Siap berlayar?

Saturday, September 24, 2011

Selamat Datang Di Parapat!


Semakin dekat mobil meliuk menuju tepi Danau Toba, semakin besar pulalah lokasi yang kami tuju. Ya, Kota Parapat di Kabupaten Simalungun yang terletak persis di bibir Danau Toba adalah tujuan utama kami pada sore hari itu. Semakin mendekati Kota Parapat, mobil yang lalu lalang semakin banyak di ruas yang kami lewati. Sepasang patung berpakaian adat khas Batak Toba menyambut kami di pinggir jalan tepi Kota Parapat. Dari sini, Parapat terbagi menjadi dua bagian kota, satu pada belokan sebelah kanan tidak jauh dari patung selamat datang tersebut, satu lagi Parapat yang berada di ruas jalan utama jalan lintas Sumatera. Parapat yang berada di belokan adalah Kota Parapat yang diperuntukkan untuk resort wisata. Sebagian besar bangunan di tempat ini diperuntukkan untuk hotel dan penginapan. Di sisi lain, Kota Parapat yang “sesungguhnya” adalah yang berada di lintas Sumatera.
Dengan banyaknya resort, hotel, maupun penginapan yang ada di Parapat, tak ayal kota ini menjadi lokasi favorit bagi para pelancong yang ingin menikmati kecantikan alam Danau Toba. Namun, bagi mereka yang berjiwa petualang dan lebih gemar mengeksplorasi, umumnya akan melewati Parapat dan langsung menyebrang menuju Tuk-Tuk Siadong, kota resort yang berada di seberang Parapat, di sisi Samosir. Kota Parapat sendiri pernah meraih masa jayanya pada era 1990an. Kota ini ramai dikunjungi oleh turis-turis dari luar negeri, baik dari Asia hingga Eropa dan Amerika. Sayangnya, karena krisis moneter tahun 1997, kota ini seakan berhenti berdenyut dan mati suri walaupun usaha pengembangannya masih dilakukan hingga kini. Kota Parapat sedikit banyak memang mengingatkan saya pada kota lama yang pernah Berjaya namun akhirnya ditinggalkan namun tidak benar-benar mati sempurna. Beberapa bangunan tampak menjadi saksi kebesaran kota ini pada masa lampau seperti Parapat Theatre yang terbengkalai dan tidak pernah digunakan lagi.
Tujuan akhir saya kali ini memang bukan di Parapat. Agenda perjalanan saya masih panjang. Tujuan akhir saya adalah Kota Ajibata, kota yang bersisian langsung dengan Parapat namun sudah berbeda kabupaten. Kalau Kota Parapat adalah kota resort dan wisatanya, maka Ajibata adalah kota transportasinya. Segala macam bentuk penyebrangan dari Ajibata ke Tomok dilayani disini, baik orang perorangan, sepeda motor, mobil, hingga kendaraan angkut besar. Namun, untuk pelabuhannya, memang dibedakan antara kapal besar dengan kapal kecil yang hanya mengangkut orang/motor. Ya, Selamat Datang di Parapat!

Friday, September 23, 2011

Bertemu Dengan Orang Batak


Orang Batak mungkin adalah salah satu etnis yang populasi dan persebarannya cukup luas di tanah air kita tercinta ini. Nggak perlu cari jauh-jauh, di sekitar kita saja, pasti anda akan banyak menjumpai teman, atau bahkan saudara dengan nama belakang seperti Tobing, Limbong, Simarmata, Pangaribuan, Sinaga, Pakpahan, Manurung, Butar-Butar, Nainggolan, Sitompul, Sitanggang, Sembiring, Tarigan, Tambunan, Nasution, Silalahi, Harahap, Purba, Tampubolon, dan Marpaung. Mereka ini adalah orang-orang Batak, dengan kekayaan dan keunikan budaya, bahasa serta adat istiadatnya. Tempat tinggal asal mereka adalah di seputaran dataran tinggi Toba, tepatnya di sekeliling Danau Toba. Sementara itu, Gunung Pusuk Buhit yang berada di sebelah barat Danau Toba, dipercaya menjadi lokasi asal tempat Orang Batak turun pertama kali ke bumi dari Mula Jadi Na Bolon atau kita mengenalnya sebagai Tuhan. Siraja Batak ini nggak punya marga Batak sama sekali loh. Anak maupun keturunannya ini lah yang mendapat boru atau marga di belakang namanya. Replika Siraja Batak ini bisa dilihat salah satunya yang cukup besar berada di Desa Pagar Batu, Kota Balige, Kabupaten Toba Samosir.
Masih inget nggak sich dengan pelajaran waktu sekolah dasar dahulu? Sumatera Utara dideskripsikan secara singkat dan datar. Kalau anda masih ingat, kurang lebih seperti ini : Sumatera Utara beribukota di Medan, penduduknya Orang Batak, rumah adatnya Rumah Bolon, tarian adatnya Tor-Tor, pakaian daerahnya Ulos, lagu daerahnya Rambadia, serta objek wisatanya Danau Toba. Sangat sempit sekali yah deskripsi yang dimuat pada waktu itu? Sekarang, kita tahu bahwa Sumatera Utara terdiri atas puluhan Kabupaten dan ratusan Kecamatan. Tiap kabupaten memiliki ciri khas budaya-nya masing-masing. Dalam satu kabupaten pun, identitas budaya yang dimilikinya bisa berbeda-beda, tidak datar begitu saja.
Seiring dengan perkembangannya, orang Batak pun menyebar ke seluruh nusantara. Nah, bagian ini lah yang hingga kini masih merupakan kontroversi. Menurut Museum Sejarah Batak di T.B. Silalahi Center, Etnis Batak memiliki 6 Puak Batak atau yang dikenal sebagai sub-etnis Batak. Mereka adalah Batak Toba (yang terbesar dan tinggal di seputaran Danau Toba hingga Tapanuli), Batak Simalungun (berada di wilayah Simalungun, Raya dan Siantar), Batak Karo (berada di wilayah Karo, Brastagi dan Kabanjahe), Batak Pak-Pak Dairi (berada di wilayah Pak-Pak, Dairi, Salak, dan Sidikalang), Batak Mandailing (berada di sekitar Mandailing, Natal, Padang Lawas, dan Sidempuan), dan Batak Angkola (Sipirok, Batangtoru dan Tapanuli Tengah). Di luar dari enam puak Batak yang resmi ini, sebenarnya terdapat pula klasifikasi untuk sub-etnis Batak lain seperti misalnya : Batak Singkil (di seputaran Aceh Singkil), Batak Gayo (Seputaran Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Bener Meriah), Batak Rao (Di Sumatera Barat), Batak Pasir Rokan (daerah Rokan, Riau), dan Batak Dalé (wilayah pesisir Sumatera Timur). Adapun klasifikasi suku-suku ini sebagai sub-etnis Batak didasarkan pada bahasa, ciri fisik dan kebudayaan yang tidak begitu terpaut jauh. Antar suku-suku ini masih bisa mengerti bahasa lawan bicaranya walaupun ada beberapa kata yang memang jelas-jelas berbeda sebagai contoh, Ulos adalah istilah untuk kain tenun penghangat tubuh di wilayah Batak Toba. Pada masyarakat Simalungun, namanya menjadi Hiou. Pada masyarakat Karo, namanya menjadi Uis. Pada masyarakat Pak-Pak Dairi, namanya menjadi Oles. Pada masyarakat Angkola dan Mandailing, namanya menjadi Abit. Walaupun berbeda, namun prinsip dasar dari kain tenun ini serupa. Yang membedakan hanyalah cara penenunannya, motifnya dan cara lipat/penggunaannya. Seperti itu.
Uniknya, hingga saat ini, banyak sekali kelompok masyarakat di Sumatera Utara yang menolak untuk dimasukkan dalam kategori sub-etnis Batak. Beberapa diantaranya menyebut mereka sebagai satu etnis atau suku yang berdiri utuh. Ini didasarkan pula dari sejarah asal muasal mereka yang berbeda dengan sejarah Batak Toba. Umumnya, mereka menolak sejarah Batak Toba dengan Gunung Pusuk Buhit dan Mula Jadi Na Bolon-nya karena ada referensi lain, misalnya dari suatu kerajaan atau migrasi dari wilayah tertentu. Anda bisa mencari referensi mengenai ini di internet. Beberapa suku seperti Karo dan Mandailing cukup tegas menyebut mereka sebagai suatu etnis yang berdiri sendiri, bukan berada di bawah etnis Batak. Sementara itu, untuk istilah “Batak”, mereka mengarahkannya sebagai “Batak Toba”.
Pada awal mulanya, Orang Batak menganut agama tradisional mereka yang disebut Pelebegu. Kepercayaan Pelebegu ini merupakan kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang mempercayai adanya kekuatan di atas manusia dalam manifestasi roh di bebatuan, pohon dan lainnya. Seiring dengan perjalanan waktu, termasuk ketika pedagang Tamil mulai berdagang di pantai barat Sumatera dan Misionaris Belanda dan Jerman memasuki Sumatera, masuklah agama Islam, dan Kristen ke Tanah Batak. Agama Malim yang berpusat di Huta Tinggi pun sebenarnya merupakan bentuk modern dari Pelebegu, karena sudah memiliki pengaruh Katolik dan Islam. Pada kepercayaan masyarakat tradisional Batak, terdapat pula praktek kanibalisme yang terutama ditujukan kepada lawan atau penjahat di dalam masyarakat. Untungnya, praktek semacam ini semenjak abad 20 sudah ditiadakan berkat masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak. Kini, agama Kristen merupakan agama dominan yang dianut oleh penduduk di seputaran Danau Toba. Saya percaya tidak perlu pembuktian empiris mengenai hal ini, namun cermati saja jumlah gereja besar dan kecil yang tersebar di sepanjang perjalanan. Sementara itu, agama Islam lebih banyak dianut oleh penduduk yang bermukim di pesisir baik barat maupun timur. Mayoritas muslim di pesisir barat berada di Kabupaten Mandailing Natal. Sementara itu, mayoritas muslim di timur kebanyakan adalah orang-orang Melayu yang memang kental dengan kebudayaan Deli serta banyak mendapat pengaruh Riau, Aceh dan Malaysia. Di luar dari itu, Pelebegu dan Malim tetap berkembang di masyarakat tradisional Batak.
Yah, terlepas dari sub-etnis aatau agama apapun yang orang Batak anut, namun satu hal yang saya percayai, mereka memiliki kebudayaan yang tinggi, cita rasa yang menarik dan suara yang bagus. Rumah adat, ulos, tarian daerah, lagu-lagu berbahasa Batak, ukir-ukiran di sekeliling rumah adat, system kemasyarakatan pada suatu huta (=kampung), dan aksara Batak, menjadi pertanda bahwa bangsa ini adalah bangsa yang memiliki sejarah panjang dan menarik untuk dieksplorasi. Sambil berjalan menelusuri kecantikan alam Sumatera Utara, kita belajar untuk mengenal lebih jauh kebudayaan Orang Batak yang unik ini yach!

Thursday, September 22, 2011

1000 Hal Yang Wajib Dilakukan Sebelum Ajal Menjemput : Melihat Danau Toba

Saya pertama kali mencicipi Sumatera Utara pada tahun 2007 di bulan Agustus. Target utama saya kala itu adalah Danau Toba. Jelas, berkunjung ke Sumatera Utara kalau nggak ke Danau Toba kayaknya nggak afdol yach? Berkunjung ke danau terbesar di Indonesia tentu saja menjadi suatu pengalaman tertentu yang bisa membuat iri siapapun yang mendengarnya. Kembali mengingat pengalaman saya empat tahun yang lalu, selepas Tiga Dolok, mobil yang kami tumpangi membelah hutan hujan sekunder dengan jalan yang tidak lebar. Saya bertanya-tanya dalam hati, dimanakah Danau Toba berada. Sebab, sepanjang perjalanan, yang kami lihat hanyalah pepohonan tebal saja. Saya masih berharap-harap cemas untuk menantikan, seperti apakah Danau Toba ini.
Dan ternyata memang benar, di suatu belokan, kami melihat seberkas danau ini dari ketinggian. Mulanya saya masih nggak yakin. Namun, pada suatu belokan lagi, saya dan teman-teman benar-benar melihat danau cantik ini. Entah mengapa, ada kesan magis ketika pertama kali melihat danau ini. kami semua berseru girang dan saling tertawa-tawa ketika melihat Danau Toba untuk pertama kalinya. Kami dipenuhi dengan kegairahan dan pandangan pun tak kami enyahkan dari sisi kaca jendela. Melihat Danau Toba untuk pertama kalinya dalam hidup merupakan suatu pengalaman yang luar biasa, menurut saya. Berbeda dengan kami, Pak Bambang yang menyupiri kami tampak biasa saja dengan pemandangan tersebut. Mungkin beliau sudah berratus-ratus kali menjelajahi rute tersebut yach?
Nah, pengalaman ini saya ulangi lagi pada 2011. Rasa yang saya terima agak berbeda ketika saya kembali bertemu dengan danau ini. Saya sudah memiliki bayangan akan kurang lebihnya danau ini. Namun teman saya, yang berada di sebelah saya dan berada lebih dekat dengan kaca, tak henti-hentinya berdecak kagum dan ber “ooh” dan “aah”. Tak lupa, ia mengeluarkan kameranya dan terus menerus menjepretkannya guna mendapatkan pemandangan Danau Toba dengan pemandangan matahari terbenamnya. Ia pun melontarkan ucapan “nggak nyesel ke sini”. Mungkin gairah tersebut adalah gairah yang saya alami ketika pertama kali melihat Danau Toba ini. Pada kali kedua, mungkin gairahnya sudah tidak sama dengan kali pertama saya melihatnya. Magisnya sudah agak hilang. Namun, buat yang kali pertama menyaksikan Danau Toba, ada sensasi tertentu yang menyenangkan dan, versi lebaynya saya, saya merasa beruntung bisa hidup, dan masih punya kesempatan untuk menyaksikan Danau Toba. Hahaha.
Oh ya, Danau Toba adalah danau terbesar di Indonesia, malah danau vulkanis terbesar di dunia. Artinya, sisi danau ini teramat luas dan mengakibatkan ada banyak kota-kota maupun desa yang berada di seputaran sisinya. Dari masing-masing desa maupun kota tersebut, pemandangan yang disajikan pun berbeda-beda. Tempat paling standard dan paling umum namun yang paling membuat saya berdecak kagum adalah pemandangan Danau Toba dari sisi Parapat. Ketika mobil pertama kali keluar membelah pepohonan, danau tersebut terlihat megah di bawah sana dan ada gelegar kegembiraan di perut kami. Namun, dari beberapa referensi yang saya dapatkan, pemandangan tercantik danau ini justru terdapat di Nainggolan, kota pelabuhan lama di Kabupaten Simalungun yang terletak di utara Parapat. Beberapa kota, maupun desa yang memiliki pemandangan Danau Toba antara lain Ajibata, Balige, Pagarbatu (dipadukan dengan pemandangan ladang jagung yang menguning), Tele, Palipi, Tongging (ini salah satu desa dengan pemandangan Danau Toba yang cantik juga), Muara, Lintong Nihuta, dan pemandangan Danau Toba dari sisi Samosir seperti Tomok, Ambarita, Tuk-Tuk Siadong, Simanindo, Pangururan, Onan Runggu, dan masih banyak lagi. Anda mungkin harus mencoba mencicipi pemandangan Danau Toba yang berbeda-beda dari banyak sisinya. Lihatlah wajah Danau Toba yang berbeda-beda tersebut. Sudahkah anda memasukkan daftar “Menyaksikan Danau Toba” sebagai salah satu dari 1000 hal yang wajib anda lakukan sebelum maut menjemput? Walau kalimat terakhir saya terdengar menyeramkan, tapi percayalah, anda wajib memasukkan Danau Toba sebagai tempat wajib kunjung, setidaknya sekali seumur hidup.

Wednesday, September 21, 2011

Menuju Parapat!

Celotehan para Inang dalam bahasa Batak memenuhi mobil yang kami tumpangi. Pengap, keringat, sayuran, bahan pangan, bensin dan bau kursi lama memenuhi dan mengikat ruang nafas kami di dalam van bobrok tersebut. Dari Pematang Siantar, kami bergerak terus ke arah selatan menuju Pelabuhan Penyebrangan Orang Ajibata di Toba Samosir. Penyebrangan dari Ajibata ke Tomok sebenarnya dilayani hingga pukul 9 malam. Arah sebaliknya, dari Tomok ke Ajibata tidak semalam itu. Mungkin jam 7 atau 8 sudah berhenti. Namun, saya tidak mau kalau sampai harus menaiki kapal terakhir. Males banget! Saya berharap saya masih dapat mencapai Parapat dan kemudian berhenti di Ajibata setidaknya pada pukul 6 sore agar masih dapat menikmati cahaya matahari di Danau Toba. Syukur-syukur dapat pemandangan matahari terbenam. Iya ngga?
Mobil yang kami tumpangi berisi sekitar 15 orang. Perlahan, mobil tersebut membelah sore hari di Pematang Siantar. Tidak lama berselang, kami sudah kembali menjumpai pemandangan kebun sawit yang menandakan bahwa kami sudah keluar dari Kota Pematang Siantar. Namun, kebun sawit bukanlah vegetasi utama di kawasan ini. Seiring dengan semakin dekatnya kami ke Parapat, kami berada semakin tinggi dan perlahan kami memasuki Dataran Tinggi Toba. Vegetasi di sekitar kami pun sudah bukan kebun sawit lagi, namun hutan hujan sekunder. Angin dingin pun menampar wajah kami melalui jendela mobil yang kami biarkan terbuka.
Ada peristiwa lucu yang terjadi di saat kendaraan yang kami tumpangi sedang bergerak mengikuti jalan meliuk menuju Parapat di tepi Danau Toba. Seorang inang (ibu) tiba-tiba meminta sang supir berhenti. Inang itu berbicara dalam Bahasa Batak, namun makna dari kata-kata yang diucapkannya tampaknya cukup jelas. Sang supir, yang tampaknya ingin segera menyudahi rit-nya, memilih untuk tidak mengindahkan permintaan inang tersebut. Sebagai informasi, percakapan ini dilakukan dalam Bahasa Batak, dengan ditimpali oleh teman-teman sang inang di kanan, kiri maupun depannya. Mungkin kesal karena permintaannya tidak diindahkan, sang inang mengatakan bahwa ia ingin (maaf) buang air besar. Sekali lagi, saya tidak mengerti Bahasa Batak, namun karena gestur dan mimik si inang yang begitu jelas menyiratkan demikian, maka saya berkesimpulan demikian. Kembali, sang supir tidak mengindahkan sang inang. Maka, dengan ancaman, sang inang mengatakan bahwa ia akan (maaf) buang air besar di dalam mobil saja. Teman-teman sang inang yang panik akhirnya membujuk sang supir untuk segera berhenti. Akhirnya, kendaraan pun diberhentikan ke tepi dan sang inang keluar dari kendaraan dan menghilang dari pandangan di dalam semak-semak hutan. Hihihi. Menunggu tidak terlalu lama, sang inang kembali dengan wajah berseri-seri. Mungkin sudah puas menjalankan kewajibannya yach? Hohoho. Peristiwa ini terjadi tidak terlalu jauh selepas Pasar Tiga Dolok, saat rerimbunan pepohonan sudah cukup meninggi.
Akhirnya, mengejar ketinggalan waktu, sang supir kembali memacu mobilnya di jalanan kecil yang membelah Kabupaten Simalungun tersebut. Beruntung bagi kami, saat itu bukan waktu kunjungan wisata sehingga tidak ditemukan iring-iringan kendaraan dalam jumlah besar di ruas jalan tersebut. Mobil kami bisa mencapai Kota Parapat dengan cepat setelah sebelumnya kami disuguhi pemandangan cantik Danau Toba di sisi kanan, lengkap dengan matahari terbenamnya. Walau bertujuan Parapat, namun tujuan akhir kendaraan ini adalah Ajibata, kota pelabuhan yang terletak persis di sisi Kota Parapat, namun sudah berbeda kabupaten, Kabupaten Toba Samosir. Disinilah lokasi perahu penyebrangan orang dan kendaraan kecil seperti motor berada. Ya, kami memang sangat beruntung bisa mendapatkan perahu pukul 6 sore untuk menyebrang ke Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba. Kecantikan danau ini akan terasa maksimal pada saat senja seperti ini, dipadu dengan matahari terbenamnya.

Tuesday, September 20, 2011

(Tidak Disangka) Berganti Moda Di Tengah Pematang Siantar

Begitu anda mengira bahwa anda akan selamat dan akan tiba di Parapat dengan utuh, anda salah! *tertawa kejam* BWAHAHAHAHA!
Kami melanjutkan perjalanan selama dua jam berikutnya menyusuri jalan-jalan Perbaungan dan sedikit mengalami macet sebelum mencapai Sei Rampah karena pembangunan jembatan. Selepas Sei Rampah, halangan hampir tidak ada sama sekali, yang ditandai dengan ngebutnya mobil yang kami tumpangi sepanjang sisa perjalanan. Lagi-lagi, kami sport jantung gratis disini! Begitu memasuki wilayah Simalungun, hujan turun dengan derasnya sehingga mau nggak mau “taksi” agak diperlambat lajunya. Syukurlah! Namun, memasuki kota Pematang Siantar, hujan telah berhenti dan si bapak kembali memacu cepat kendaraannya. Saya dan teman saya tidak dapat memejamkan mata barang sebentar pun karena terlalu waspada untuk tidur. Adrenalin kami memuncak. Disini, kami duduk di bagian tengah mobil dengan nyamannya sementara penumpang lain duduk di belakang. Saya berharap, situasi seperti ini terus berlanjut hingga kami tiba di Parapat, tempat kami bisa menikmati pemandangan dengan santai. Seperti yang telah saya katakan tadi, saya salah!
Ketika memasuki Kota Pematang Siantar, dalam hati saya berteriak senang! “Yay!” ternyata waktu yang dibutuhkan jauh lebih singkat. Mungkin saja saya akan tiba di Parapat sebelum matahari sempat terbenam, sehingga masih banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Sebelum itu terjadi, sang supir menurunkan salah seorang penumpang, seorang gadis di akademi perawatan Pematang Siantar. Kemudian, ia beranjak berjalan lagi. Harapan saya bahwa ia akan berjalan ke luar kota pun pupus sudah. Ia berhenti di suatu pasar, dimana saya berpikir ia akan menurunkan salah seorang penumpang disini. Ternyata, sang supir memberhentikan kendaraan, turun, dan menurunkan barang-barang kami. “loch? Loch? Pak?”. Kemudian ia berkata, “sampai sini saja yach, saya masih harus mengantarkan orang-orang ini dahulu. Takutnya nggak sampai Parapat kalau saya harus nganterin orang-orang ini terlebih dahulu”. Seraya berkata demikian, ia menunjuk satu buah mobil van bobrok yang tampaknya akan menggantikan taxi tersebut untuk mengantarkan kami ke ujung perhentian, Parapat. Gleg. Saya menelan ludah dengan susah payah. Dari suasana menyenangkan di dalam taxi tersebut, saya diturunkan dan ditransfer ke mobil van bobrok dimana saya harus duduk di belakang lantaran kursi depan sudah penuh dengan inang-inang yang berbelanja sayur dan hasil bumi. Hm...saya terbengong. Sisa perjalanan ini pastinya akan menjadi sangat panjang....

Sunday, September 18, 2011

Selamat Datang Di Perbaungan, Serdang Bedagai

Perbaungan adalah salah satu kota yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai. Jarak kota ini kurang lebih satu setengah jam perjalanan dari Kota Medan (kebetulan karena di Perbaungan sedang ada perbaikan jembatan). Perbaungan terletak di dataran rendah, suhu udara cenderung panas menyengat pada siang hari lantaran tutupan pepohonan agak jarang di wilayah ini. Namun, disinilah kami berhenti karena sang supir ingin beristirahat dan makan siang. Perbaungan terkenal dengan dodol-nya. Disini, ada sebuah pasar yang terkenal karena menjual hasil karya masyarakat setempat yakni Pasar Bengkel. Nggak hanya menjual dodol saja sich, Pasar Bengkel ini juga menjual benda-benda keperluan rumah tangga lainnya dan hasil bumi. Namun, memanjang ke arah timur sana, yang tersisa hanyalah toko oleh-oleh yang hanya menjual satu jenis komoditas utama : Dodol Perbaungan. Walaupun mereka juga menjual penganan lainnya, namun tampaknya Dodol Perbaungan inilah yang dititikberatkan. Deretan kios-kios dodol dengan tutupan terpal spanduk warna kuning yang bertuliskan “Pusat Jajanan UKM Pasar Bengkel Serdang Bedagai” kemudian di bawahnya ada nama “Hj. Evi Diana Erry Ketua TP. PKK dan Dekranas” menghiasi sepanjang jalan dan menemani kami keluar dari Kota Perbaungan. Uniknya, hampir semua kios tersebut menggunakan tutupan terpal spanduk yang sama. Apakah mereka semua satu paguyuban pengusaha dodol?
Saya berhenti di salah satu kios dodol. Dodol Riska, namanya. Sang supir tampaknya sudah terbiasa untuk berhenti di Dodol Riska ini. Nggak hanya menjual dodol, kios ini justru tampaknya lebih fokus pada bisnis rumah makannya, terbukti dengan banyaknya antrian kendaraan yang parkir di tempat ini (umumnya taksi antar kota) guna beristirahat dan makan siang. Hmm...nggak hanya saat itu masih siang sih (sekitar jam setengah 3 sore), selain saya sudah makan di Polonia sebelumnya, terus terang, menu makanan yang ada disana tidak menarik mata saya sama sekali. Rasanya, semua menu disini memiliki cita rasa pedas. Ada segunung mie di dalam etalase yang berwarna merah rona cabai, puluhan sate telur puyuh berbumbu cabai, tahu goreng berbumbu cabai, dan usus dengan warna merah yang saya yakin adalah cabai. Waduh. Bisa-bisa ntar saya kontraksi lagi di jalan. Alhasil, saya menyelamatkan diri saya dengan memilih minuman ringan saja untuk menentramkan perut saya. Walaupun menu makanan di tempat ini cukup murah (sekitar Rp. 10.000 – 15.000), namun saya memilih untuk tidak menyantap apapun sampai tiba di Parapat nantinya. Rasanya itu keputusan yang tepat. Kalau teman-teman berminat mencobanya, boleh membagi pengalaman tersebut disini.
Nah, walaupun Dodol Riska fokus pada rumah makan, namun intinya tempat ini tetap kios dodol. Oleh-oleh penganan utama di tempat ini ialah Dodol Bengkel. Selain dodol, ada penganan standard seperti wajik, keripik, hingga brownies yang saya yakin sangat berbeda dengan brownies di Bandung. Silahkan anda berbelanja oleh-oleh di tempat ini untuk kerabat anda di rumah. Situasi di sekitar Dodol Riska pun menjadi semacam panggung drama kehidupan. Hahaha. Walaupun agak lebay, namun disinilah segala macam bentuk manusia berinteraksi dengan sesamanya. Ada ibu-ibu yang menyusui bayinya. Ada seorang gadis muda mengisi perut sebelum menempuh perjalanan. Ada sepasang inang-inang yang sedang semangat mengobrol. Sekumpulan bapak-bapak duduk di pinggiran kios dan merokok sambil mengobrol. Seorang pengemis tua, dituntun oleh anaknya untuk mendapatkan rejeki lebih pada hari itu. Sayang, selain dodol, tidak ada hal menarik lain yang bisa dilihat di Perbaungan bagian ini. Terlebih panas menyengat yang saya rasakan, membuat saya nggak betah berlama-lama disini. Untung saja, Pak Supir segera menyudahi waktu istirahat kami dan kembali ke mobil.