Friday, January 27, 2012

Mendaki Menuju Puncak Salib Kasih

Seusai perjalanan 10 menit menempuh lereng bukit, akhirnya saya dan teman saya tiba di Puncak Bukit Siatas Barita. Disinilah objek wisata Salib Kasih berada. Kota Tarutung sendiri sudah termasuk Kota berhawa sejuk dan segar. Nah, berada di ketinggian bukit membuat saya agak menggigil kedinginan karena anginnya lebih sejuk dan lebih segar. Untung saja, saya sudah siap dengan jaket sehingga dinginnya puncak bukit nggak terlalu terasa.
Pintu masuk Salib Kasih adalah suatu bangunan dengan atap khas Batak, namun bercabang empat. Di depan pintu masuk ini berjejer, selayaknya tempat wisata pada umumnya, kios-kios makanan, oleh-oleh dan foto. Pada sisi lain yang berseberangan dengan deretan kios, ada pelataran terbuka dengan bentuk seperti teater yang konon sering digunakan untuk kebaktian raya, Natal atau Paskah. Di depan pelataran yang berbentuk teater tersebut ada sejumlah permainan anak seperti kincir ria, jungkat jungkit, atau perosotan. Kala itu, waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore dan keramaian pengunjung tidak terlalu terasa. Kios-kios berjualan sebagian besar tutup dan sebagian yang buka tidak dipadati pengunjung. Mungkin memang bukan hari kunjungan besar kali yach? Yang menyenangkan, harga tiket masuk tempat ini luar biasa murah : Rp. 2.000 untuk dewasa dan Rp. 1.000 untuk anak-anak. Wow! Murah sekali!
Di pintu masuk utama ada sosok patung Dr. Ingwer Luwig Nommensen di kala muda. Mengapa muda? Soalnya sosoknya terlihat lebih kurus dibanding foto-foto Nommensen yang umum ditemui dimanapun. Selain memang beliau adalah rasulnya Bangsa Batak, ada alasan tersendiri dan kaitan antara Nommensen dengan Siatas Barita ini sehingga beliau dibuatkan patung dan dipajang di pintu masuk Salib Kasih. Nah, perjalanan menuju puncak Salib Kasih hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki saja, melalui anak tangga yang sudah tersusun rapih, melalui hutan pinus yang rindang. Wilayah lintasan ini disebut Taman Kenangan karena sepanjang perjalanan, banyak ditemui prasasti-prasasti mulai dari yang bentuknya sederhana dari bebatuan, kayu, hingga yang rapih dari keramik dan yang mewah berupa kursi peristirahatan. Prasasti-prasasti ini disumbang oleh banyak jemaat mulai dari Naggroe Aceh Darussalam hingga Papua. Ada sich komentar miring yang menyindir bahwa Taman Kenangan ini tak ubahnya laksana kuburan karena bentuk prasasti-prasasti tersebut nggak berbeda jauh dengan batu nisan yang dijajarkan di sepanjang jalan. Memang sich, kalau dilihat sekilas, memang agak mirip dengan deretan makam. Namun di sisi lain, Taman Prasasti ini bagus juga untuk menandai umat yang pernah berkunjung kesana. Sempat loch saya berpikir untuk meninggalkan suatu prasasti di tempat ini. Namun saya nggak mau yang ribet, sehingga prasasti yang terpikirkan ialah yang terbuat dari karton atau kertas saja walaupun nggak bisa dipastikan berapa lama prasasti dari karton tersebut akan bertengger sebelum akhirnya dikira sampah oleh petugas kebersihan setempat. Hahaha.
Bentuk jalan setapak yang tertata dengan rapih ini memang memudahkan para pejalan kaki yang akan berangkat menuju puncak Salib Kasih. Berjalan menembus hutan pinus pun terasa menyegarkan karena bebauan pinus ditambah suhu yang cukup sejuk dan rindang di bawang naungan daun pinus. Hanya saja, perjalanan ini cukup menguras tenaga karena dari patung Dr. IL Nommensen, jalan yang ditempuh seluruhnya menanjak. Perjalanan pada malam hari pun nggak disarankan karena saya memang nggak melihat sejumlah penerangan jalan yang memadai untuk para pejalan kaki (saya nggak terlalu tahu jam buka dan tutup Salib Kasih ini). Di ujung dari perjalanan menembus Taman Kenangan ini, jalanan terbagi menjadi dua, jalur pergi dan jalur pulang. Walaupun melalui jalur yang berbeda, namun kedua jalan setapak ini boleh dicoba karena banyak bacaan yang dikutip dari alkitab yang ditempelkan di sudut-sudut pohon atau semak. Nah, di ujung Taman Kenangan ini, disanalah Salib Kasih berada.

Thursday, January 26, 2012

Hutabarat Dan Siatas Barita


Siatas Barita adalah nama salah satu bukit yang mengelilingi Rura (=lembah) Silindung, tempat Kota Tarutung berada. Keistimewaan Bukit Siatas Barita adalah keberadaan satu buah objek wisata rohani yang terletak persis di pucuk bukit yakni Salib Kasih. Salib Kasih adalah salib raksasa berukuran besar yang bisa terlihat dari dasar bukit sekalipun, bercahaya dan tampak seakan-akan menerangi, memberkati dan sekaligus melindungi Kota Tarutung. Walaupun tampak cukup dekat, kenyataannya akses menuju puncak Salib Kasih tidaklah sedemikian dekatnya. Saya berpikir bahwa jalan menuju Salib Kasih bisa ditempuh dengan berjalan lurus menaiki lereng bukit yang berhadapan langsung dengan salib tersebut. Kenyataannya, jalan raya menuju salib tersebut berkelok-kelok layaknya pendakian di gunung. Seusai melalui jalan yang berkelok-kelok pun, pengunjung harus melanjutkan dengan menyusuri jalan setapak yang terlah tertata dengan rapih menuju Salib Kasih ini. Perjalanan luar biasa yang sebanding dengan hasilnya. Walaupun memang tampak seperti objek wisata rohani khusus agama Nasrani, namun objek wisata ini adalah objek wisata umum untuk semua kalangan. Di Salib Kasih ini, anda bisa mengetahui siapa itu Ingwer Ludwig Nommensen, dan menikmati pemandangan cantik Rura Silindung dari ketinggian.
Permasalahannya ialah, tidak ada angkutan umum yang terjadwal yang menuju objek wisata ini. Klasik yach? Banyak sekali objek wisata di Indonesia yang tidak memiliki ketersediaan sarana angkutan umum berjadwal yang bisa mengantarkan pengunjung hingga ke pintu masuk objek. Untuk kelas backpacker seperti saya, tentu ini menjadi salah satu persoalan tersendiri dalam menunjungi objek wisata. Saya harus berjuang keras untuk melakukan negosiasi, baik dengan supir angkot ataupun ojek yang bisa mengantarkan saya ke objek wisata yang saya inginkan. Walaupun Siatas Barita tidak terletak terlalu jauh dari Kota Tarutung dan Kota Tarutung sangat terkenal dengan objek wisata rohani-nya, namun ketersediaan angkot berjadwal dan terorganisir menjadi suatu kendala tersendiri. Mungkin bisa menjadi masukan untuk PemKab Tapanuli Utara? Dalam perjalanan melintasi wilayah Hutabarat, seorang Inang bertanya kepada kami, kemanakah tujuan kami? Tentu, bukan tanpa alasan bahwa ia bertanya demikian kepada kami. Sepanjang perjalanan, saya dan rekan saya sibuk melihat kiri dan kanan jalan. Ketika Salib Kasih yang terkenal itu muncul di puncak Bukit Siatas Barita, kami berseru riuh rendah. Hahaha. Heboh sendiri dech pokoknya. Singkat kata, inang itu menjelaskan bahwa tidak ada angkutan umum untuk menuju puncak Siatas Barita. “Berjalan kaki saja, biar tahu rasa!”, begitu ucapan inang tersebut. Walaupun ucapan tersebut bernada keras, saya rasa, maksudnya adalah agar kami dianjurkan berjalan kaki, bahwa jalan menuju puncak tidak terlalu jauh. Namun, seorang amang bersama anaknya mendebat sang inang dan berkata bahwa jarak tersebut terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Si inang tidak mau kalah, ia berkata bahwa ia dan teman-temannya sudah pernah berjalan kaki dari dasar lereng menuju puncak bukit. Hoooo...tampaknya atas dasar inilah maka sang inang menganjurkan saya dan teman untuk berjalan kaki menuju puncak bukit. Namun, pendapat tersebut segera disanggah oleh sang amang. Ia mengatakan bahwa lebih baik naik menggunakan kendaraan karena matahari sudah agak condong ke barat. Kalau mau turun dari bukit saat pulang nanti, terserah kami saja, apakah mau berjalan kaki atau naik angkutan kembali. Si amang sejurus kemudian bertanya kepada supir angkutan apakah dia mau mengantarkan kami berdua ke puncak Siatas Barita. Dalam bahasa Batak, mereka berdua berdebat, yang saya bisa tebak bahwa sang supir agak nggak setuju. Namun, tampaknya perdebatan dimenangkan oleh sang amang karena sang supir mau mengantarkan kami dengan biaya RP. 60.000. Wow! Rp. 60.000?!?! saya langsung menawar harga tersebut tanpa berpikir panjang, “nggak bisa ditawar, Lae?”. Sungguh, sang amang beserta anaknya adalah orang yang baik. Ia memberikan kode dengan tangannya kepada kami dengan tiga jari teracung ke atas menandakan angka tiga. Akhirnya, saya menawar RP. 25.000 (dengan prinsip, kurangin sedikit dari harga yang dimaksud. Hihihihi). Sang supir tidak mau karena terlalu murah dan ia mengatakan bahwa perjalanan tersebut cukup jauh. Yaa…ujung-ujungnya sang supir nyerah sendiri karena akhirnya kami sepakat di harga Rp. 30.000, seperti yang disarankan oleh si amang. Waaah, mauliate godang, amang! Biaya Rp. 30.000 itu mencakup ongkos angkutan kota dari Kota Tarutung ke Hutabarat, dan dari kaki Siatas Barita menuju puncak bukit Salib Kasih untuk dua orang di angkutan yang legaaa itu. Perjalanannya sendiri sih hanya butuh waktu 10 menit saja dari kaki menuju puncak bukit. Namun, angkutan yang kami tumpangi meraung-raung menanjak melintasi jalan yang lumayan terawat dan beraspal. Hohoho. Ayo, kamu bisa!

Wednesday, January 25, 2012

Hotel Bali, Tarutung

Bingung memilih hotel yang sekiranya akan saya tempati membuat saya dan teman saya memasuki beberapa hotel di Tarutung. Hihihihi. Untung saja, waktu saya cukup banyak untuk melakukan ini. Plus, walaupun Tarutung berhawa sejuk cenderung dingin, entah kenapa selepas perjalanan dari Dolok Sanggul, cuacanya membuat saya malas untuk berjalan keluar. Saya ingin berteduh di dalam bangunan yang sejuk dan merebahkan diri sejenak. Jadi, tampaknya mencari hotel adalah suatu keharusan bukan? Ditambah lagi saya harus meletakkan barang-barang saya yang berat sebelum menuju Salib Kasih. Semakin butuh hotel banget dech.
Pilihan dijatuhkan antara Hotel Bali dan Hotel Perdana, dua yang menurut saya cukup baik dan masih sesuai dengan anggaran saya serta terletak di jalan yang sama, bersebelahan saja. Akan tetapi, bagaimana dengan isi dalamnya? Akhirnya saya dan rekan saya membuat keputusan, kami berdua berpencar dan masuk masing-masing hotel, minta ditunjukkan kamar, tanya harga, fasilitas dan kemudian bertemu lagi di tengah-tengah antara dua hotel yang kebetulan bertetangga tersebut. Bodohnya, saya datang dengan laporan “kamarnya lumayan”, sementara teman saya menunjukkan gambar di blackberry-nya yang ternyata foto suasana di dalam kamar tersebut. Haduh, bodoh bener, kenapa saya nggak foto yach? *tepok jidat*. Akhirnya, dengan kebodohan saya, teman saya harus saya ajak lagi ke hotel yang tadi saya masuki, minta ditunjukkan kamar sekali lagi, dan akhirnya dengan pandangan mata kami masing-masing yang seharusnya berarti “sesuatu banget”, akhirnya kami memilih Hotel Bali, hotel yang teman saya survey.
Ya, saya memang pernah bilang bahwa tidak ada hotel yang cukup baru di wilayah Tarutung ini. Dengan harga yang sama, anda bisa mendapatkan hotel yang sangat bagus di wilayah Tuk-Tuk Siadong, kualitas agak lumayan di Pangururan, dan kualitas rata-rata di Tarutung. Hotel Bali ini mengusung gaya jadul, mungkin dibangun pada akhir 1980-an atau awal 1990-an. Arsitekturnya rata-rata serupa untuk wilayah Tarutung dan sekitarnya. Prinsip saya, nggak masalah mau tidur dimana juga yang penting kamarnya bersih dan nggak bikin suasana nggak menyenangkan. Kebersihan di Hotel Bali terhitung rata-rata cukup baik. Kamarnya ada televisi kecil, dengan siaran lokal, berubin tegel, pemandangan ke belakang kota, dinding kamar agar terkelupas dan kamar mandi yang nggak bisa ditutup dari dalam. Hihihihi. Kamar pertama yang kami terima ternyata air kerannya nggak keluar dan listriknya mati. Nggak mau rugi donk, akhirnya kami meminta kamar yang terletak bersebelahan dengan kamar tersebut. Sialnya, kamar tersebut baru saja bekas check out sehingga butuh untuk dibersihkan terlebih dahulu. Untung saja, kamar tersebut listriknya nyala dan air kerannya menyala. Nggak kenapa dech tunggu sebentar demi kehidupan yang lebih baik #Halah.
Tarutung berhawa dingin, sehingga keberadaan selimut di masing-masing tempat tidur mutlak dibutuhkan. Soal kamar mandinya, kalau tinggal sendiri sich nggak kenapa yach, mandinya bisa dengan pintu terbuka. Namun, kalau anda tinggal berdua, agak repot karena pintu harus ditutup dari luar sehingga membutuhkan bantuan rekan anda untuk menutup dan membuka pintu. Hehehe. Untuk sarapan, Hotel Bali ini tergolong fleksibel karena makan prasmanan baru diadakan ketika jumlah tamu yang menginap cukup banyak. Apabila jumlah tamu tidak terlalu banyak, maka makan pagi akan disediakan di kamar-kamar. Sarapan kami pada pagi itu tergolong berat, dan terhitung mewah untuk hotel dengan harga RP. 150.000. Makan pagi hari itu adalah nasi putih, mie goreng, dan telur bumbu cabai. Buah-buahannya adalah pisang dan minumnya boleh milih antara kopi atau the. Semua ini boleh diambil sepuasnya, ekstra kerupuk pula! Hohohoho. Sayang, saya kayaknya nggak bisa makan makanan seberat ini pada pagi hari sehingga saya hanya memakan seporsi mie goreng saja. Ngomong-ngomong, mie goreng Hotel Bali, atau Mie Goreng Tarutung rasanya agak berbeda dengan mie goreng yang selama ini pernah saya makan. Untuk satu hal yang paling saya ingat dan saya suka dari Hotel Bali ini adalah, ruang hall tengahnya, tempat tamu bisa duduk, bersantai dan mengobrol berbau bedak bayi! Saya suka sekali melewati ruangan ini berkali-kali.

Tuesday, January 17, 2012

Pilah Pilih Hotel Dan Penginapan Di Tarutung

Mencari hotel di Tarutung susah-susah gampang. Tarutung, kota yang nggak terlalu besar rasanya bisa habis dikelilingi pusat kotanya dalam sekian jam dengan berjalan santai. Sambil berjalan santai di seputaran Tarutung Kota, saya melihat ada sejumlah penginapan yang bisa dipergunakan bagi para penjelajah untuk beristirahat. Sebagian besar penginapan itu memang terletak di seputaran pusat kota saja. Di luar wilayah itu, misalnya yang mau menuju arah Hutabarat, Sipoholon, atau Adian Koting tidak terlalu banyak (atau malah nggak ada?) penginapan.
Deretan penginapan yang lumayan berada di Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Ferdinand Lumban Tobing. Penginapan yang agak jadul terletak di Jalan D.I. Pandjaitan, dekat dengan pasar dan area ngetemnya angkutan yang akan membawa kita menuju Sibolga. Namun secara umum, nggak ada penginapan yang benar-benar baru di Tarutung Kota. Penginapan yang ada rata-rata sudah berumur, dan bisa terlihat jelas dari fisik bangunan, hingga furnitur yang digunakan. Kalau anda bertualang hingga Tarutung dan dimulai dari Medan, Pematang Siantar, Parapat, dan Tuk-Tuk Siadong, maka anda pasti akan merasakan degradasi kualitas penginapan untuk harga yang sama. Misalnya, di Tuk-Tuk Siadong anda bisa mendapatkan penginapan yang masuk kategori bagus dengan harga, sebut saja Rp. 150.000. Masuk Pangururan, untuk harga yang sama, anda bisa mendapatkan penginapan yang kualitasnya ”lumayan”. Nah, sesampainya di Tarutung, untuk harga Rp. 150.000, penginapan yang anda dapat masuk dalam kualitas “rata-rata”. Tebakan saya sich, walaupun Tarutung terkenal dengan Salib Kasihnya, kenyataannya jarang sekali turis dari belahan bumi bagian barat yang mencapai tempat ini. Rata-rata, mereka berpetualang hingga Samosir, atau Brastagi. Bagi yang agak nyentrik, mereka mungkin mencoba untuk pergi ke Nias. Namun, sepanjang perjalanan saya di Tarutung selama 2 hari 1 malam, saya tidak menemukan satu pun turis asing, baik dari Eropa, Amerika, atau bahkan turis dengan wajah Asia sekalipun.
Mencari penginapan di Tarutung cukup mudah karena penginapan yang tersedia sebenarnya cukup untuk para petualang. Informasi harga kamarnya pun bisa didapat dari website resmi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang mencatatkan 13 penginapan di Tapanuli Utara dengan dua buah di Siborong-borong dan Siatas Barita, sisanya berada di Kota Tarutung. Sayangnya, detail informasi mengenai kamar termasuk telepon, ulasan keadaan hotel dan kondisi kamar cukup sulit ditemukan. Apalagi beberapa dari penginapan tersebut menggunakan nama yang sangat umum seperti misalnya : Segar, Horas, Bali, Perdana, dan kata-kata yang akan mudah anda jumpai di kota kecamatan atau kabupaten lain di Sumatera Utara. Walaupun ketersediaan kamar cukup terjaga, namun para petualang yang benar-benar terorganisir akan lebih menyenangi kalau mereka sudah memiliki tempat untuk melewatkan malam di suatu kota (walaupun saya menggunakan cara melihat fisik dan interior hotel dan kemudian baru menyatakan ingin check-in sich...hehehe).
Beberapa hotel dan penginapan yang saya lalui antara lain:
  • Hotel Bali, Jalan Balige (Jalan Raya Tarutung-Siborong-borong) No. 1 Tarutung 22411, (0633)21854,(0633)20271 
  • Hotel Perdana, Jalan Dr. Ferdinand Lumban Tobing, Tarutung, (0633)21526 
  • Hotel Diaji, Jalan Dr. Ferdinand Lumban Tobing, Tarutung, (0633)21627 
  • Hotel Safari, Jalan Sisingamangaraja, Tarutung 
  • Hotel Kenari, Jalan Mayjend D.I. Pandjaitan 43, Tarutung, 22411, (0633)21627 
  • Hotel Palapa, Jalan Mayjend D.I. Pandjaitan No. 103, Tarutung, 22411, (0633)21845 
  • Losmen Segar, Jalan Mayjend D.I. Pandjaitan, Tarutung, 22411 
  • Penginapan Horas, Jalan Raja Saul Lumban Tobing, Tarutung, 22411, 085270085110

Saturday, January 14, 2012

Sisi Lain : Tarutung, Nggak Hanya Gereja

Tarutung dikenal sebagai pusatnya HKBP, atau bahkan tempat kelahiran HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Karena ini, nggak heran, ibukota Tapanuli Utara ini dikenal dengan ciri khas kristen-nya. Nggak urung, perayaan natal terbesar di Indonesia pun salah satunya dipusatkan di Kota Tarutung, selain Jakarta dan Manado tentunya. Pemandangan umum di Tarutung pun biasanya didominasi dengan segala macam bentuk gereja. Uniknya, gereja-gereja tersebut bahkan tidak berjarak jauh, ada yang bisa dicapai dalam 5 menit perjalanan kaki, atau bahkan berseberangan jalan, hingga berdempetan kiri kanan dan depan belakang. Gereja semuanya! Pemandangan sehari-hari di sekitar Tarutung memang gereja. Nggak Cuma Gereja HKBP, namun ada juga gereja lainnya seperti GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia), GBI (Gereja Bethel indonesia), Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, hingga Gereja Katolik. Mungkin teman-teman yang muslim akan sedikit bertanya-tanya kali yach, apakah ada masjid di Tarutung, plus makan makanan halal?
Jawabannya sangat memuaskan tentunya. Selain citra “Kota Wisata Rohani” yang memang kuat, Tarutung terkenal dengan kerukunan umat beragamanya. Suasana adem dan sejuk serta ritme yang santai, membuat siapa saja ingin menikmati Kota Tarutung. Plus, penduduk kota-nya yang luar biasa ramah, semakin membuat saya jatuh cinta dengan kota ini. Di tepian Sungai Sigeaon yang cantik, berdirilah sebuah Masjid Raya Tarutung! Wow, Masjid Raya ini berukuran besar dan biasanya kegiatan Hari Raya Idul Fitri atau Idul Qurban di Kota Tarutung dipusatkan di masjid ini. Nggak cuma itu, saya melihat ada sejumlah masjid yang berdiri tegak di jalan-jalan raya di Tarutung, salah satunya adalah yang berada di Jalan Raja Johannes Hutabarat yang menuju ke kaki Bukit Siatas Barita, wilayah Hutabarat. Soal makanan? Nggak usah terlalu kuatir! Sejumlah rumah makan khas Batak pun membuka usaha mereka di tempat ini. Errr...rumah makan khas Batak? Lapo-lapo dan sejenisnya kah? Eits, jangan salah. Batak tidak melulu diasosiasikan dengan kristen. Kalau teman-teman bermain-main ke Tapanuli Tengah hingga Tapanuli Selatan, pasti teman-teman akan banyak berjumpa dan mengetahui bahwa suku Batak banyak juga yang muslim. Salah satu rumah makan yang menyediakan menu makanan muslim adalah Kedai Nasi Islam A.R. Panggabean di Jalan D.I. Pandjaitan yang mengarah ke Hutabarat. Tarutung sebagai kota yang heterogen pun memiliki sejumlah pilihan rumah makan lain seperti misalnya Rumah Makan Putri Minang Islam dengan masakan khasnya nasi campur. Nah, nggak ada alasan lagi khan untuk nggak menyambangi Tarutung? Hmm...saya nggak dibayar untuk mengiklankan Tarutung oleh PemKab Tapanuli Utara loch. Saya yang merasa bahwa kota ini tenang dan menyenangkan, cocok banget untuk lokasi wisata, sangat merekomendasikan teman-teman untuk berkunjung kemari.

Thursday, January 12, 2012

Tinggal Di Tarutung?


Tarutung, ibukota dari Tapanuli Utara adalah kota yang menyenangkan. Maka dari itu, saya akhirnya memilih untuk bermalam di kota ini. Seturut dengan semakin jauhnya wilayah jelajah saya dari objek-objek wisata standar, semakin sedikit pulalah penginapan komersil yang bisa dipilih sebagai tempat bermalam saya. Pada situasi seperti ini, saya memilih untuk menginap di ibukota Kabupaten dengan pertimbangan masih ada sejumlah penginapan yang dapat dijadikan pilihan. Situasi pada malam hari pun biasanya nggak sepi-sepi amat karena namanya juga kota. Hehehe. Walaupun nggak bisa dibandingkan dengan Medan atau Pematang Siantar, namun Tarutung yang dibelah oleh Sungai Sigeaon ini sudah memiliki jalur satu arah yang memutari pusat kota, yakni Jalan S.M. Raja yang menuju Sibolga dan Jalan F.L.Tobing yang menuju Balige. Angkutan kotanya cukup tertib walaupun yang namanya ngetem tuh ada dimana-mana yach. Pinggir kanan dan kiri Sungai Sigeaon pun sudah tertata rapih dan terdapat trotoar untuk pejalan kaki. Salah satu kota yang ramah terhadap pejalan kaki, menurut saya. Rasanya, saya kuat berjalan kaki dari pintu masuk Tarutung di Sipoholon sampai Siatas Barita di Hutabarat. Penduduk asli Tarutung pasti geleng-geleng kepala kalau melihat kelakuan saya. "Dasar orang Jakarta!", mungkin begitu pikir mereka. Hahaha. Aura Batak muncul lagi di tempat ini terutama dengan deretan bangunan Ruma dan Sopo Bolon besar yang merupakan Kantor DPRD Tapanuli Utara, Gedung Kesenian dan Kebudayaan serba guna Sopo Partungkoan, dan Kantor Bupati Tapanuli Utara menghiasi tepian sungai. Di sejumlah sudut kota, banyak pedagang Ulos membuka tokonya. Soal makan, rasanya nggak sulit yah mencari makanan di tempat ini. Yang sulit justru memilih, makanan mana yang mau dicoba (semuanya terlihat menggiurkan), mengingat sempitnya waktu di Tarutung.
Berjalan dan menikmati Tarutung, saya merasa bahwa saya harus melambat dan menikmati setiap inci denyut kehidupan saya di kota ini. Dengan jarak sekitar 8 jam perjalanan darat dari Kota Medan (288KM), walau dilintasi oleh lintas tengah Sumatera, Tarutung jauh dari kesan sibuk dan terburu-buru. Penduduk kota ini luar biasa ramah. Sembari berjalan-jalan, mereka menyapa saya dan memberikan sinyal bahwa mereka ingin difoto. Yah, saya mencoba mengambil foto mereka dalam beberapa pose dan mereka senang lhooo... Hehehe. Mereka tahu bahwa saya orang luar dan mereka tidak segan-segan menyapa, bahkan memberitahukan objek apa saja yang menarik untuk difoto atau dikunjungi di Tarutung. Dalam perjalanan, saya bahkan diberi sejumlah tips oleh sesama penumpang kendaraan, bahkan hingga urusan tawar menawar harga! Saya merasa terbantu sekali. Saya bahkan disapa oleh seorang pria yang bertanya bagaimana kabar saya dan bagaimana hasil fotonya. Sebelum saya bingung, ia melanjutkan bahwa ia sudah sempat difoto pada hari sebelumnya. Hohoho. Mungkin karena Tarutung tidak berukuran terlalu besar, maka orang-orangnya tidak terlalu banyak dan saling kenal dan tahu satu sama lain kali yach? Secara sekilas saja, Sibolga jauh lebih besar daripada Tarutung.
Kota yang bergelar Kota Wisata Rohani ini selain terkenal dengan Salib Kasih-nya, terkenal juga dengan slogan Bona Pasogit-nya. Rasanya sering denger dech, Bona Pasogit tuh apa yach? Secara harafiah, Bona Pasogit bisa diterjemahkan menjadi asal usul. Namun, pengertian kampung halaman pun ternyata masuk dalam frase “Bona Pasogit” ini. Bahkan di tepi jalan, ada papan reklame yang mengajak warga Tapanuli Utara untuk disiplin membayar pajak sebagai bukti kecintaan terhadap Bona Pasogit, ya kurang lebih maknanya adalah kampung asal.
Ngomong-ngomong, saya baru tahu kalau Tarutung itu artinya durian dalam bahasa Batak. Lucunya, saya nggak melihat ada banyak durian di Tarutung. Satu-satunya penjual durian yang saya temui selama berada di Tarutung adalah penjual durian di perempatan Jalan Ferdinand Lumban Tobing dan Jalan D.I. Pandjaitan. Konon, bukan karena Tarutung banyak ditumbuhi durian, namun karena ada sebuah pohon durian yang sering dijadikan tempat berkumpul sehingga nama Rura Silindung berubah menjadi Tarutung. Pohon durian ini kini letaknya tidak jauh dari Sopo Partungkoan di Jalan S.M. Raja. Dengan ritme yang dimilikinya, hawanya yang sejuk, dan keramahan orang-orangnya, saya mau tinggal di Tarutung di masa tua nanti. Hehehe.

Tuesday, January 10, 2012

Selamat Datang Di Tapanuli Utara!

Sebelum saya tiba di Ibukota Tapanuli Utara, saya pernah mendapat brosur kabupaten ini pada Sumut Expo di Balai Kartini sekitar November 2009. Dengan dikelilingi oleh Rura (=lembah) Silindung, hawa yang sejuk, bersentuhan dengan Danau Toba di utara dan Bukit Barisan di selatan, lokasi asal dan pusatnya HKBP (Perayaan Natal Nasional pernah dipusatkan di kota ini), sejumlah lokasi wisata iman, pusat pembuatan gitar, makanan unik, makam dan monumen, serta budaya Tapanuli yang masih asli, Tapanuli Utara layak banget menjadi tujuan wisata anda!, begitu kurang lebih anjuran dan ajakan brosurnya. Sepanjang sejarah kabupaten di Sumatera Utara, mungkin Tapanuli Utara-lah yang memegang rekor perpecahan (pemekaran) terbanyak, bahkan hingga ber-cucu. Aslinya, wilayah ini mencakup Dairi, Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, Samosir, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara sendiri. Luas banget yach? Sekarang, unik dan anehnya, posisi Tapanuli Utara sendiri terletak lebih selatan daripada Tapanuli Tengah yang berada di tepi Samudera Hindia. Namanya perlu disesuaikan nggak tuh? Hehehe. Omong-omong, Tapanuli itu sendiri merujuk dari kata “Tapian Na Uli” yang bersumber dari wilayah di sekitar Sibolga, tepian yang indah. Dalam perkembangannya, Tapanuli itu merujuk pada wilayah di selatan Danau Toba, mulai dari Dairi hingga Mandailing Natal.
Sebenarnya, keindahan alam Tapanuli Utara sendiri sich sudah menjadi objek wisata tersendiri yach. Walaupun di siang hari nggak terlalu dingin-dingin amat, namun pada malam hari, dinginnya tempat ini lumayan bikin menggigil. Agak berbeda dengan kawasan Puncak, Jawa Barat yang menusuk tulang, dinginnya tempat ini lebih dikarenakan angin lembah yang bertiup di seputaran kota. Maklum, Tarutung kan memang terletak di dasar Rura Silindung. Jadi, memandang kemanapun, kita akan melihat bukit-bukit mengelilingi dan sekaligus membentengi kota ini. Terlebih dengan posisinya yang berada di dataran tinggi, komplit lah hawa dingin menyergap dari segala arah. Pemandangan sehari-hari yang saya lihat adalah awan tebal menyelimuti langit di atas Tarutung, hanya sesekali matahari bersinar menembus kumpulan awal tebal tersebut. Sejumlah kabut tebal biasa terlihat pada pagi hari, menutupi pandangan saya akan puncak-puncak bukit di sekitar Tapanuli Utara. Objek wisata andalan Tapanuli Utara adalah Salib Kasih yang berada di atas Bukit Siatas Barita. Waktu pertama kali melihat brosurnya dan dipromosikan sedemikian rupa, saya benar-benar penasaran dan ingin berkunjung ke Salib Kasih ini. Unik juga melihat salib sebesar ini dan berada di puncak bukit. Apakah saya sampai disana? Tunggu saja postingan selanjutnya! Hehehe. Di luar dari Salib kasih yang terletak cukup dekat dari Kota Tarutung, ada sejumlah objek wisata lain yang masih terhitung dekat seperti Air Panas Hutabarat, Air Panas Sipoholon, hingga yang lumayan butuh usaha untuk mencapainya seperti Monumen Munson Lyman dan Muara serta Hutaginjang. Tertarikkah mencicipi pesonanya Tapanuli Utara? Mari ikut saya!

Sunday, January 08, 2012

Sisi Lain : Vespa Di Becak Motor Siborongborong

Sekali lagi, saya akan menulis tentang becak motor yang beroperasi di wilayah Sumatera Utara. Walaupun tidak terlalu saya perhatikan, namun hampir di setiap daerah umumnya memiliki becak motor dengan gaya dan ciri khas-nya masing-masing. Uniknya, untuk wilayah yang berbatasan pun, becak motornya bisa jadi berbeda atau bahkan sangat berbeda. Kondisi ini saya dapatan di rute Dolok Sanggul – Siborongborong – Tarutung. Walaupun ketiga kota ini bertetangga, bahkan antara Dolok Sanggul dan Siborongborong yang hanya terpisahkan oleh jarak setengah jam, namun becak motor yang dimiliki masing-masing kota berbeda.
Secara umum, motor yang digunakan oleh becak motor di banyak kota adalah motor besar. Motor besar yang dimaksud disini biasanya adalah Honda Win yang suaranya menderu-deru dan agak berisik kalau lewat. Hihihi. Nah, di Siborongborong, becak motornya ternyata menggunakan Vespa! Ya, keunikan dari Kota Siborongborong adalah becak motor yang menggunakan motor Vespa sebagai penariknya di sebelah kanan. Untuk ruang penumpangnya, bentuknya juga cukup unik karena berbentuk hampir menyerupai kapsul, agak berbeda dengan Dolok Sanggul yang agak demokratis (baca : terbuka), atau bahkan Pangururan yang sangat liberal (baca : terbuka banget. Hahaha). Sayangnya, empat kali melintasi kota ini, empat kali pula saya selalu menggunakan angkutan publik. Saya nggak menyempatkan diri untuk turun dan mencicipi sejumput Siborongborong. Jadi, saya juga tidak memiliki kesempatan untuk naik becak motor-nya sama sekali. Penumpangnya sih mungkin nggak merasakan perbedaan kali yach? Kan, yang berbeda hanya di motor supirnya. Penumpangnya sih cuma duduk. Hihihihi.

Saturday, January 07, 2012

Melintasi Pertigaan Siborongborong

Nggak terlalu jauh dari pintu gerbang “Selamat Jalan Dari Kabupaten Humbang Hasundutan”, nggak sampai 10 menit, sekitar 5 menitan malah, saya sudah tiba di Siborongborong. Posisi kota ini sedemikian strategisnya karena terletak di lintas tengah Sumatera. Artinya, pelancong dari arah selatan, mulai dari Kota Nopan, Padang Sidempuan, Sibolga, dan Tarutung, harus melewati kota ini kalau ingin menuju utara seperti Balige, Dolok Sanggul, Sidikalang, Pematang Siantar, Kabanjahe, dan Medan. Untuk arah sebaliknya pun, pelancong harus melewati kota ini. Ini menjelaskan kenapa saya bolak-balik melewati kota ini berkali-kali saat akan menuju Tarutung, menuju Balige, kembali ke Pematang Siantar, dan menuju Sibolga.
Terima kasih untuk teman saya, Tryvo Felix Sianturi yang secara nggak langsung sebenarnya, memperkenalkan kota ini kepada saya. Hehehe. Siborongborong menurut saya nggak ubahnya seperti kota-kota di Tapanuli yang pernah saya lihat. Mulai dari arsitektur bangunannya, deretan ruko-ruko di tepi jalan dengan atap khas Bolon, hingga suasana pasarnya, semuanya mirip dengan kota-kota di Tapanuli yang pernah saya lewati. Satu hal yang cukup membedakan adalah adanya satu buah pertigaan besar yang menghubungkan Dolok Sanggul, Tarutung, dan Balige. Walaupun disebut pertigaan besar karena menghubungkan tiga ibukota kabupaten, namun jangan bayangkan ini adalah pertigaan yang lebar. Hampir serupa dengan jalan-jalan lintas Sumatera dimanapun, median jalan hanya mampu digunakan maksimal dua buah kendaraan saja. Kondisi jalannya pun tidak bisa dikatakan baik. Entah mengapa, saya memiliki semacam perasaan bahwa jalanan di tempat ini tertutup oleh pasir kuning. Pertigaan yang dilalui oleh para pelancong dari berbagai kota pun sebenarnya merupakan perluasan dari Pasar Siborongborong yang berada di tanah lapang yang tepat berada di sebelah kiri jalur menuju ke Tarutung. Tidak ada hal-hal yang mencirikan Tanah Batak di tengah wilayah ini selain atap Batak dan gereja-gereja berbagai jemaat yang tersebar berserakan di seantero penjuru. Rumah adat, pakaian adat dan tari-tarian? Agak susah menemukannya ketika anda sudah keluar dari wilayah Samosir.
Kecantikan alam Siborong-borong baru nyata jelas terlihat di area luar pasar. Dengan alam perbukitan dan tanah datar, terkadang campuran antara makam atau gereja membuat pemandangan yang cantik, menurut saya. Bandara Silangit, bandara-nya Kabupaten Tapanuli Utara juga berada di wilayah ini. Selain sebagai kota perlintasan, Siborong-borong juga terkenal sebagai kota pengumpul bagi kopi yang dihasilkan di Lintong Nihuta. Bahkan, menurut rencana, ke depannya akan dibangun pusat pengolahan kopi di Siborong-borong agar tidak terlalu jauh ketika harus diolah di Medan sana.
Berbicara mengenai Siborongborong, maka yang terkait sich biasanya adalah wacana pembentukan Propinsi Tapanuli yang mencakup Dairi, Pakpak Bharat, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan dan Kota Sibolga. Alasannya sich, karena pusat pemerintahan yang ada, Medan dirasakan terlalu jauh dari kota-kota di wilayah Tapanuli. Siborongborong pada jaman dahulu memang pernah menjadi ibukota dari afdeling Hoovlakte Van Toba untuk wilayah Humbang, bukan di Dolok Sanggul. Dengan alasan ini pulalah tampaknya Siborongborong ingin dinaikkan lagi pamornya sebagai kota yang penting dan strategis dalam hal pemerintahan. Yah, pemekaran memang sesuatu yang sensitif. Sensitif dalam hal latar, sensitif dalam hal motif, dan sensitif dalam banyak aspek, termasuk kepentingan politis suatu kelompok atau bahkan orang. Soalnya, selain Propinsi Tapanuli, ada banyak wilayah lain yang menunggu untuk dimekarkan pula. Yang paling dekat di Sumatera Utara sebut saja ada wacana untuk Propinsi Barumun Raya, Propinsi Nias, Propinsi Sumatera Tenggara, Propinsi Sumatera Timur, dan Propinsi Asahan Labuhan Batu. Banyak ya? Pada beberapa sisi, pemekaran tampaknya solusi jitu untuk mengentaskan masalah kesenjangan pemerintahan dan kesejahteraan. Saya sangat setuju kalau ini yang dijadikan dasar landasan ide pemekaran wilayah. Jarak ratusan kilometer untuk pengurusan dokumen legal, atau pengiriman hasil bumi dalam kondisi jalan yang tidak selalu bagus memang sebaiknya dipangkas demi terciptanya iklim yang sehat bagi pemercepatan perkembangan suatu daerah. Namun di lain pihak, pemekaran tampaknya dijadikan ajang untuk bagi-bagi kekuasaan dan pengerucutan kelompok etnik. Apalagi, pemekaran umumnya mendapatkan dana hibah dari pemerintah pusat sebesar sekian milyar untuk penyelenggaraan pemerintahan perdana. Banyak kasus terkuak di negeri ini ketika sehabis dimekarkan, suatu daerah bukannya semakin maju malah semakin terbelakang. Hal ini diperparah lagi dengan pemimpin daerah tersebut yang sangat sukar ditemui berada di kantor di wilayah tersebut, kebanyakan justru berada di Jakarta! Hmm... ceritanya jadi sedikit miring ya? Nggak heran, kementrian dalam negeri sampai melakukan moratorium pemekaran menyoal pemekaran wilayah propinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia yang dirasakan terlalu “euforia” dalam iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat ini. Lha, koq saya jadi ngelantur kemana-mana yach? Hehehe. Terlepas dari motif apapun yang ada di balik niat pembentukan propinsi Tapanuli, menarik untuk menyambangi Siborongborong sambil minum kopi Lintong dan mencicipi Ombus-Ombus.Biarlah pemekaran menjadi persoalan elite tertentu. Yah...semoga berhasil dan diberkati dalam pelaksanaannya jika memang misinya memang mulia : kesejahteraan masyarakat. Amin! Kalau saya sich urusannya jalan-jalan dan foto-foto saja. Hehehe.

Thursday, January 05, 2012

Sisi Lain : Flo Rida Feat T-Pain With Low To The Siborong-borong

Shawty had them apple bottom jeans (jeans) 
Boots with the fur (with the fur) 
The whole club was lookin at her 
She hit the flo (she hit the flo) 
Next thing u kno 
Shawty got low low low low low low low low 
Them baggy sweat pants 
And the reeboxs with the straps (with the straps) 
She turned around and gave that big booty a slap (heeey) 
She hit the flo (she hit the flo) 
Next thing u kno 
Shawty got low low low low low low low low
Satu hal yang biasanya pasti saat saya menjelajah daerah-daerah adalah lagu yang diusung selama perjalanan. Biasanya, angkutan daerah memutarkan lagu khas atau lagu pop dengan bahasa daerah setempat. Lagu Batak diputarkan di wilayah Tapanuli, lagu Timor diputarkan di angkutan di Kupang, lagu Toraja diputarkan di bus Mamasa – Toraja, dan lagu Minang diputar di Sumatera Barat tentunya. Kalau nggak memutarkan lagu daerah, biasanya lagu andalan mereka adalah lagu-lagu nostalgia era 1980-an hingga awal 1990-an. Yang paling hits tentu saja Broery Marantika, Ebiet G. Ade, Pance Pondaag, dan tentu saja karya-karya Rinto Harahap. Di luar dari kedua kategori ini, umumnya terdapat lagu pop Indonesia standard seperti ST12, Peter Pan, Ungu, Wali, hingga band-band yang namanya belum sekelas yang sudah disebut pertama tadi. Lainnya lagu pop, tentu anda bisa menebak donk : dangdut! Ya, walaupun nggak sepopuler ketiga kategori awal, namun di beberapa daerah terutama wilayah Jawa, dangdut masih menjadi pilihan (sampe pusing dengerin dangdut di pesisir pantura – dangdut yang dibawakan oleh band lokal namun diaransemen dengan musik house).
Nah, di perjalanan selepas Dolok Sanggul melintasi Lintong Nihuta dan menuju arah Siborong-borong, Sampri yang saya naiki sudah cukup kosong, hanya tinggal segelintir orang saja yang tersisa di dalamnya. Sang supir memacu kendaraannya dengan agak ngebut, melintasi jalanan super mulus yang minim kelokan, melintasi dataran yang cukup lebar dengan vegetasi yang tidak terlalu rimbun di kiri dan kanan jalan. Sesekali, kuburan ala Batak muncul dan menjulang di dataran kiri dan kanan jalan. Tiba-tiba saja, sang supir memutarkan lagu T-Pain feat Flo Rida – Low dengan lirik seperti yang saya tulis di atas. Hahahaha. Saya langsung lirik-lirikkan dengan teman saya dan ya sudahlah, kita asyik sendiri di atas mobil sambil menggoyangkan badan mengikuti irama lagu hip hop ini. Saya pikir Shania Twain sudah paling hits di kapal penyebrangan Tomok – Ajibata. Ternyata, ada yang lebih hits lagi di jalur Lintong Nihuta – Siborong-borong. T-Pain dan Flo Rida pastinya. Hohohoho.
Sang supir memacu kendaraannya dengan ukuran yang menurut saya agak gila-gilaan. Memang sich jalanan super sepi dan posisi jalan yang berada di dataran membuat sang supir bisa dengan leluasa melihat ke segala arah. Walau demikian, terkadang ada belok-belokan kecil yang tidak terlihat dimana ujungnya, termasuk jalanan naik dan turun yang membuat saya agak khawatir. Amankah? Duh, saya jadi memegang pegangan angkot keras-keras, walau tetap bergoyang mengikuti irama lagu hip-hop di dalam angkutan yang melaju keras. Nah, saya menunggu nih, lagu apakah yang akan dibawakan berikutnya dari tape yang ada di dalam Sampri tersebut. Sayangnya, entah memang sang supir hanya menyukai lagu itu saja, atau dia kebetulan belum mengunduh lagu-lagu lainnya, alhasil, lagu berikutnya adalah lagu-lagu nostalgia di era 1980-an dan berlanjut lagu pop Indonesia. Selesailah sudah ajojing saya dan teman saya di dalam Sampri yang menuju Siborong-borong.

Tuesday, January 03, 2012

Bertarung Dengan Daging Di Dolok Sanggul

Sebenarnya, Dolok Sanggul serupa dengan Jeneponto, terkenal akan masakan daging kuda-nya. Sayangnya, waktu terlampau singkat dan saya kelamaan mengamati dan berfoto-foto pemandangan di sekitar Dolok Sanggul. Akibatnya, dalam waktu yang lebih singkat lagi, saya harus memutuskan untuk makan dimana saja dengan resiko Sampri yang kami tumpangi akan segera berangkat. Sebelum memilih salah satu rumah makan, saya menghampiri salah seorang penumpang yang makan di Rumah Makan Pribumi dan bertanya apakah kendaraan masih akan menunggu kami? Bapak tersebut mengatakan agar kami makan saja dan jangan kuatir, nanti akan dipanggil. Yah, nggak mencari jauh-jauh, akhirnya saya memilih Rumah Makan Pribumi sebagai lokasi makan siang kami.
Saya duduk di dalam rumah makan yang tampak jadul tersebut. Mejanya, kursinya, dindingnya, semuanya seakan membawa saya beberapa puluh tahun ke belakang. Hampir semuanya bernuansa kayu yang sudah pudar dimakan jaman. Bingung akan disajikan apa, tanpa basa-basi pramusaji menyajikan nasi, sebentuk daging, dan satu mangkok sup. Kayaknya cuma ada satu menu saja deh di tempat ini. Saya nggak tahu itu daging apa dan nggak tahu itu sup apa, kemungkinan sich sup daun labu karena bentuknya serupa dengan sup yang saya makan di Robema, Tomok. Saya nggak sempat berbincang-bincang dengan pramusaji karena segera bertarung dengan daging yang luar biasa keras tersebut. Sendok dan garpu yang saya gunakan sampai bengkok sehingga saya memutuskan untuk menggunakan tangan dan gigi. Krauk! Saya sampai khawatir daging ini akan membuat saya sakit perut saking keras dan alotnya. Hehehehe. Daging ini keras, dengan kuah yang menyelimutinya serupa semur karena rasanya manis. Saya harus mengorbankan tangan saya belepotan memegang daging agar bisa digigit. Tentu, saya jadi nggak bisa bebas memegang kamera lantaran tangan saya belepotan bertarung dengan daging. Hihihi. Sementara sayurnya, sama persis seperti yang saya rasakan di Robema, ada aroma tertentu namun rasanya hambar. Sayur labu memang harus disajikan dingin tampaknya.
Rumah makan ini terbuat dari kayu, tipikal rumah lama gaya Sumatera yang dibangun dan disusun dari papan-papan. Foto-foto pemilik dipajang di tempat ini, saya bisa membaca salah satunya : keluarga marga Munthe, boru Simatupang dan boru Sihombing. Terima kasih untuk Bapak Lamsar Simanullang, asli Dolok Sanggul yang sudah menjelaskan kepada saya mengenai beda antara “marga” dengan “boru”. Info saja, marga digunakan untuk laki-laki dan boru digunakan untuk perempuan. Sayang, saya nggak sempat berbincang panjang dengan pramusaji atau pemilik warung tentang makanan yang saya makan karena mereka tampak sibuk melayani tamu. Sedang berusaha mencari waktu yang cocok, tiba-tiba saja penumpang yang tadi kami tanyai memanggil kami dan mengatakan bahwa Sampri sudah siap berangkat. Kyaaaaa. Alhasil, saya nggak menghabiskan daging entah-apapun-itu yang tersaji di atas meja makan saya. Nasi merahnya pun nggak saya habiskan lantaran takut ditinggal Sampri. Hihihi. Untuk standard Dolok Sanggul dan selama di Sumatera Utara, saya rasa makanan ini tergolong mahal karena untuk nasi merah, daging, dan sup daun labu, ditambah air putih sepuasnya, satu orang dikenakan biaya Rp. 17.500. Cukup mahal apalagi daging dan nasinya nggak habis. Hiks.