Tuesday, March 27, 2012

Patung, Prasasti Dan Peralatan Rumah Tangga Di Aula Bawah Museum Batak Balige

Kejutan! Ternyata di bagian bawah Museum Batak T.B. Silalahi Center banyak terdapat patung-patung dan prasasti unik dari kebudayaan Batak. Sayangnya, patung-patung yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar di seantero aula ini hanya berasal dari wilayah Batak Toba. Saat saya tanyakan kepada Imelda Limbong, ia menjawab bahwa koleksi yang didapat baru yang berasal dari wilayah Batak Toba saja. Untuk wilayah puak lainnya sedang menyusul diusahakan untuk dikumpulkan. Adapun sebagian besar dari patung maupun prasasti ini berasal dari kebudayaan lama Bangsa Batak yang masih menganut pelebegu, ini ditandai dengan terdapatnya sejumlah ulubalang dan bahan material penyusun yang sebagian besar terbuat dari batu dan kayu. Selain patung dan prasasti, terdapat pula sejumlah peralatan rumah tangga seperti Panutuan dan Losung.
Benda-benda unik lainnya yang dipasang ialah patung-patung penghias suatu Huta, ornamen penghias sebuah rumah dan (mungkin) sesuatu yang disembah pada masa itu. Jujur saja, sekilas saya melihat warna kebudayaan Aztec atau Maya dalam benda-benda pajangan di aula bawah Museum Batak ini. Apakah memang semua umat manusia saling memiliki hubungan yach? Apabila hari sudah gelap, saya yakin saya tidak terlalu menginginkan untuk berada di tempat ini lantaran ekspresi dan ukiran patung batu maupun kayu tersebut yang saya nilai agak menyeramkan. Ekspresinya saja sudah agak menyeramkan, apalagi melihat fungsi dari patung-patung tersebut yang dipercaya sebagai penjaga sehingga beberapa diantaranya disembah, dan memiliki kekuatan magis. Saya sich nggak sampai kepikiran kalau patung-patung ini dibuat replikanya dan dijual sebagai souvenir ke pengunjung. Saya rasa saya nggak akan membelinya, saya lebih suka Ulos atau benda-benda rumah tangga saja. Hehehe.
Sayangnya, hampir semua koleksi unik disini hanya dicantumkan namanya saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut. Walaupun semua kondisi barang-barang yang dipadajng dalam kondisi terawat, namun akan jauh lebih baik apabila ada penjelasan detail untuk setiap benda yang dipajang disini. Walau nggak ada tanda “Dilarang Menyentuh” benda koleksi, namun sebaiknya memang kita harus membiasakan diri untuk tidak menyentuh benda-benda koleksi mengingat usia benda-benda ini yang sudah ratusan tahun lamanya. Kebiasaan orang kita sih, kalau ditutup, ingin melihat; kalau dikasih lihat, ingin memegang; kalau dikasih pegang, ntar minta apa lagi. Hahaha. Nggak akan ada habisnya. Jadi, usahakan untuk menahan keinginan memegang benda-benda pajangan tersebut, apalagi benda-benda ini diletakkan di tempat terbuka tanpa adanya pelindung kerangkeng atau pagar sama sekali. Udara dari Danau Toba pun akan langsung menghantam tempat ini tanpa hambatan sama sekali. Untung saja udara Danau Toba bukanlah laut yang bergaram yang akan mengorosif wilayah sekitar ini. Sambil menikmati patung-patung kebudayaan Batak Toba, kita bisa menikmati hamparan sawah menghijau yang cantik membingkai Danau Toba di tepi Balige ini. Ya, saya sudah nggak inget pulang kalau melihat sawah dan danau seindah dan secantik ini.

Monday, March 26, 2012

Ulubalang Si Penjaga Desa

Patung hiasan sebuah huta yang agak mengerikan buat saya adalah Pangulubalang atau Ulubalang. Patung ini terletak di tepian salah satu gerbang desa.
Model Ulubalang sendiri dibuat menjadi lebih “ceria” walaupun masih terasa nuansa magisnya, terutama dari ekspresi wajah Sang Ulubalang dan ornamen yang dikenakannya. Efek “ceria” dari Ulubalang ini didapat dari keberadaan sebuah kotak donasi di depannya yang bertuliskan “Make A Wish”. Hihihi. Mungkin saja bisa menjadi semacam hiburan atau atraksi wisata populer seperti Wish Fountain di Trevi Fountain, hihihi. Ulubalang atau Pangulubalang sendiri berkaitan dengan kebudayaan Batak ketika masih di era animisme atau Pelebegu. Patung yang terbuat dari kayu atau batu ini berfungsi sebagai pelindung desa ketika masyarakat Huta sedang pergi bertani. Lebih dalam lagi, patung ini diyakini berisikan roh yang disebut dengan Roh Pangulubalang. Masyarakat Batak era itu memuja dan menyembah roh ini guna meminta keselamatan dan memohon rejeki. Bahkan, roh Pangulubalang bisa ditugaskan untuk pergi ke daerah musuh untuk menutup mata dan telinga mereka sehingga tidak mampu berperang. Pangulubalang memiliki peran penting dalam perselisihan antar marga atau perang antar desa.

Tuesday, March 20, 2012

Huta Batak Siap Kunjung Di T.B. Silalahi Center

Belajar sejarah, sosiologi, antropologi, dan kebudayaan ternyata bisa sangat menyenangkan. Saya harus mengakui bahwa saya sangat menyukai T.B. Silalahi Center. Mengapa? Karena visi mereka untuk mempersatukan 6 puak Batak dan memperkenalkan budaya Batak ternyata tidak tanggung-tanggung. Mereka totalitas dalam melakukan pelayanan karya kemanusiaan mereka (Saya menyebut ini karya kemanusiaan karena memang berkaitan dengan kebudayaan manusia toh? Hehehe). Selain museum yang memajang benda-benda adat dan budaya Batak, di tempat ini ada sebuah Huta Batak atau Kampung Batak. Persis di sebelah Ruma Bolon, sebelum kolam renang, disinilah Huta Batak ini berada.
Definisi dari Huta Batak sendiri adalah pemukiman khas Batak yang tertutup, terdiri atas desa-desa dan membentuk masyarakat kelompok kecil. Umumnya, kelompok masyarakat kecil ini masih memiliki hubungan kekerabatan, atau kumpulan marga. Kenapa disebut tertutup? Secara harafiah, Huta Batak memang dikelilingi oleh tembok batu atau tanah yang disebut dengan Parik dan ditanami pohon bambu yang sangat rapat. Jalan masuk ke dalam suatu Huta maksimal hanya ada satu atau dua, depan atau dan belakang. Secara sistem sendiri, tertutupnya suatu Huta dikarenakan sistem kekerabatan yang masih dianut oleh kelompok yang tinggal di dalamnya. Walaupun sekarang sudah menjadi lebih cair dibandingkan jaman dahulu, namun umumnya penghuni suatu Huta adalah orang-orang masih bertalian darah dan memiliki hubungan kekerabatan hasil dari kawin mawin. Walaupun masih dikelilingi oleh Parik dan memiliki dua jalan masuk, namun penggambaran Huta Batak di T.B. Silalahi Center sudah dimodifikasi agar tidak terlalu berkesan “tertutup”.
Huta Batak ini menampilkan apa yang menjadi gambaran suatu Huta secara sempurna. Di tempat ini, gambaran suatu Huta secara sempurna diperlihatkan seperti pada deretan Ruma dan Sopo yang berhadap-hadapan, keberadaan Pohon Hariara, keberadaan makam batu, diorama orang, peralatan yang digunakan, hingga ornamen-ornamen adat seperti Sigale-gale atau magis seperti Ulubalang yang berfungsi untuk melindungi Huta. Di tengah-tengah Huta, terdapat halaman atau yang disebut dengan Alaman yang luas, tempat anak-anak bermain atau orang dewasa beraktifitas. DI kanan dan kiri Alaman ini terdapat deretan Ruma dan Sopo. Menariknya, deretan Ruma dan Sopo di tempat ini bukanlah Ruma maupun Sopo buatan. Semua Ruma dan Sopo di tempat ini adalah bangunan asli yang dahulunya pernah ditempati dan sudah berusia ratusan tahun. Walaupun sudah mengalami sejumlah perbaikan, namun bentuk asli bangunannya tetap dipertahankan. Semua Ruma dan Sopo ini merupakan sumbangan dari sejumlah keluarga yang tersebar di beberapa lokasi seperti misalnya Silaen, Laguboti, Ombur, Hutabulu, bahkan rumah Bapak T.B. Silalahi sendiri. Menariknya lagi, bagian bawah Ruma yang disebut Tombara ternyata bisa merepresentasikan kehidupan seperti apakah yang dijalani oleh warga Batak yang menghuni suatu Ruma. Misalnya saja, jika di Tombara terdapat peralatan memancing, atau bubu penangkap ikan, maka bisa dipastikan bahwa penghuni Ruma tersebut adalah seorang Partoba (nelayan). Apabila di Tombara terdapat alat-alat pertanian, maka bisa dipastikan bahwa penghuni rumah tersebut berprofesi sebagai petani. Ada pula yang pada bagian Tombara-nya terdapat alat-alat untuk menenun Ulos. Rumah dimana Bapak T.B. Silalahi tinggal dan besar pun terdapat seekor kerbau replika dengan kedua tanduk yang bengkok ke bawah. Ini untuk penanda bahwa pada masa kecilnya, beliau menggembalakan kerbau yang dua tanduknya bengkok ke bawah.
Anda bisa saja memasuki sejumlah Ruma dan Sopo yang terbuka (biasanya, kita mungkin nggak enak kalau memasuki Ruma atau Sopo yang memang benar-benar dihuni khan?). Ada salah satu Sopo yang bahkan terbuka pada semua sisinya sehingga tidak memiliki dinding. Bagian dalam Ruma dan Sopo pun masih dipertahankan seperti aslinya walaupun sudah mengalami modifikasi untuk menyelamatkan bangunannya itu sendiri (minus perabotan dan kelengkapan peralatan rumah tangga saja yang sudah tidak ada di dalam Ruma). Buat saya, ini adalah penggambaran Huta Batak yang sangat baik dan sangat layak dikunjungi. Nggak hanya menampilkan suasana Huta Batak yang dibuat seperti aslinya, namun papan-papan besar yang berisikan penjelasan akan setiap aspek dalam Huta Batak ini cukup banyak dan mendetail. Ya, saya bisa belajar banyak dari papan-papan informasi tersebut.

Friday, March 16, 2012

Sopo Dan Ruma Batak : Kekayaan Arsitektural Bangso Batak

Rumah adat Batak ada dua jenis, yakni Ruma yang difungsikan sebagai tempat tinggal, dan Sopo yang berfungsi sebagai gudang atau bangunan serbaguna. Cara membedakan keduanya cukup mudah. Pintu Ruma biasanya tertutup oleh tubuh bangunan, tangganya seakan-akan terhisap ke dalam bangunan, sementara pintu dan tangga Sopo berada lebih terbuka dan terekspos di depan. Selain itu, ada pula Sopo yang tidak berdinding, terbuka di sekelilingnya. Sopo jenis ini berfungsi sebagai tempat pertemuan. Nah, penjelasan akan rumah adat Batak disini adalah penjelasan akan rumah adat Batak Toba. Mengapa? Sebab rumah adat puak Batak yang lain akan sangat berbeda dari segi arsitekturnya, bentuk bangunannya, hingga filosofinya walaupun ada benang merah yang menghubungkan mereka semua. Rumah adat jenis ini bisa ditemukan di sekitar Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan dan sebagian Tapanuli Tengah.
Membangun rumah adalah suatu proses yang rumit. Mengapa? Sebab rumah Batak yang asli dibangun tanpa menggunakan paku. Mirip dengan semua rumah adat tradisional di Indonesia, rumah adat ini dibangun dengan menggunakan sambungan-sambungan antar kayu dan tali sebagai penguatnya. Pasak berupa kayu pun digunakan sebagai penguat sambungan dan mereka tidak menggunakan material modern seperti paku besi sama sekali. Pada perkembangannya, rumah Batak yang sudah setengah modern sudah menggunakan paku besi untuk menyederhanakan pembangunan, walaupun sudah tidak selaras lagi dengan filosofi awalnya. Pembangunan rumah juga dikatakan rumit karena membutuhkan sejumlah kayu tertentu dalam jumlah banyak. Tidak ada material seperti pasir atau semen yang disertakan dalam pembuatannya. Semuanya menggunakan bahan-bahan alami. Tentu, semua bahan baku tersebut membutuhkan biaya besar. Ini sebabnya masyarakat Batak masa kini sudah tidak banyak membangun rumah tradisional karena alasan tersebut. Atap sirapnya kebanyakan sudah diganti dengan asbes atau seng, kemudian tali penguat sambungan kayu diganti dengan menggunakan paku besi. Bagi yang modalnya tidak banyak, bentuk Ruma Bolon pun sudah sama sekali ditinggalkan. Mereka lebih memilih membangun rumah panggung sederhana atau rumah bata atau rumah papan. Sayang sekali karena efeknya adalah Ruma Bolon menjadi langka dan hampir punah. Padahal, Ruma Bolon ini juga memiliki nilai kearifan lokal yakni tahan gempa karena wilayah Samosir dan Tapanuli terletak di patahan aktif.

Ciri khas unik Ruma Batak ialah adanya gorga atau ukir-ukiran khas Batak yang warnanya putih, hitam dan merah, warna Bangsa Batak. Gorga ini menyelimuti hampir sekujur bagian rumah dan berfungsi untuk mempercantik rumah, sekaligus memiliki nilai filosofis seperti perlindungan dan rasa nyaman. Bentuk lain yang akan anda temui ialah wajah menyeringai yang biasanya terdapat di sudut rumah, ini disebut singa. Singa, sesuai dengan namanya dan bentuknya, dibuat untuk melindungi seisi penghuni. Pada bagian pucuk rumah terdapat Ulupaung yang memiliki fungsi perlindungan dan penolak bala juga. Selain itu, anda bisa menemukan keberadaan ukiran cecak dan buah dada wanita yang terkadang jumlahnya lebih dari dua. Makna dari ukiran ini adalah kebijaksanaan dan kesuburan. Ukiran gorga yang bergelung-gelung bermakna kekayaan. Nah, sedemikian rumit filosofis maupun cara membuat rumah Batak, nggak mengherankan proses pembuatannya lama dan biayanya cukup tinggi. Untung saja, di beberapa tempat masih dirawat dan dilestarikan sehingga tidak punah.
Nah, saya mencoba untuk masuk ke dalam salah satu Ruma yang ada. Sebagian dari Ruma dan Sopo tersebut terkunci namun ada juga yang tidak. Nah, saya tidak sia-siakan kesempatan ini mengingat saya pernah berniat memasuki Ruma Batak sebelumnya di Simanindo namun tidak jadi karena Ruma tersebut dihuni (mungkin) ribuan tawon penyengat. Hiiii. Bagian dalam dari Ruma memperlihatkan apa yang disebut dengan sambungan antara kayu dan ikatan tali. Ya, hampir semua bagiannya tidak disambung menggunakan paku besi, hanya tali temali saja. Ruangan di dalam Ruma Batak ternyata luas, dan tidak memiliki sekat sama sekali. Walaupun sejumlah keluarga bisa tinggal bersama-sama, namun mereka memiliki pembatas antara satu keluarga dengan keluarga lain, yakni batas tikar. Jumlah tungku sebanyak dua atau tiga pun digunakan secara bersama-sama oleh keluarga yang tinggal di dalamnya. Sungguh, keharmonisan yang indah antara sesama manusia, hidup rukun dan berdampingan dalam damai yach? Pada beberapa rumah, saya melihat bangunan setengah modern yang diaplikasikan pada kayu yang dicat dan dipelitur. Pada beberapa rumah, walaupun luarnya masih sangat asli dan tradisional, namun dalamnya telah menggunakan pintu, lengkap dengan pegangan dan kuncinya! Hehehe.
Ruma Batak, sekaligus sebagai rumah asli Bangsa Indonesia rata-rata memiliki bentuk panggung. Tentu, ini berfungsi untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas maupun bencana alam. Nah, pada Bangsa Batak, bagian bawah rumah ini disebut Tombara. Bagian ini berfungsi untuk menyimpan kayu, perahu, kandang ternak dan tempat menenun Ulos bagi wanita. Ruma Batak memang seharusnya dijaga dan dipelihara oleh kita sebagai generasi penerus agar keturunan kita dapat melihat betapa kayanya bangsa ini. Kalau sukar mencari Ruma Batak di seputaran Danau Toba, coba deh pergi ke museum-museum daerah yang masih memajang Ruma Batak. Salah satunya yang bisa anda temukan adalah yang berada di T.B. Silalahi Center, lengkap dengan anjing kayu di depan rumah, dan totem khas Batak. Rumah adat Batak di tempat ini masih terawat baik sehingga kita nayamn untuk memasukinya dan melihat-lihat.

Museum Batak Terlengkap Dan Terbaik Di Seluruh Dunia : T.B. Silalahi Center

Temuilah Imelda Limbong, kurator baik hati dan sangat penuh informasi ini adalah kurator yang menemani saya sepanjang perjalanan saya di dalam Museum Batak. Informasi yang dimilikinya hebat, walaupun dia mengklaim bahwa dirinya masih belajar. Pada praktiknya, ia hampir dapat menjelaskan semua pertanyaan saya tentang Suku Batak. Yah, biar anda nggak terlalu kehilangan arah dalam penjelasan ini, ada baiknya anda sedikit mempelajari tentang Suku Batak, mulai dari wilayah hidupnya, sejarahnya, agama yang dianut, kepercayaan tradisionalnya, puak Batak, hingga masuknya Kristen dan Islam ke tanah Batak serta adat istiadat setempat termasuk kebudayaannya. Untung saja, saya telah banyak membaca sedikit banyak mengenai suku ini. Perjalanan saya selama 4 hari di wilayah Samosir dan Tapanuli pun sudah memberikan saya sejumlah informasi dan tentunya pertanyaan yang kebetulan bisa ditanyakan kepada kurator museum ini. Hohoho. Imelda Limbong, anda tidak akan lepas dari serbuan pertanyaan saya!
Museum Batak sendiri terletak di lantai dua bangunan berbentuk trapesium ini. setelah menitipkan tas dan barang bawaan saya (gratis loh, dapat kunci pula!), saya diantar oleh Imelda Limbong ke lantai atas tempat museum berada. Asyiknya, saya boleh membawa kamera. Sayang sekali kalau masih ada museum-museum yang tidak memperbolehkan kamera dibawa ke dalam ruang eksibisinya. Museum Batak tentu merupakan perkecualian, kamera boleh dibawa ke dalam ruang eksibisi. Nah, sesampainya di lantai atas, saya pikir Imelda akan meninggalkan saya. Ternyata tidak! Ia dengan semangat dan penuh informasi menjelaskan tentang berbagai jenis benda pajangan yang ada di dalam museum. Tentu, sambil berjalan, ia juga bertanya akan asal usul saya, profesi saya, dan arah tujuan saya, mungkin maksudnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang saya. Untungnya, sekali lagi saya ucapkan, saya telah membaca sedikit banyak informasi tentang Suku Batak, jadi pertanyaan saya bukan pertanyaan-pertanyaan ecek-ecek dan sederhana lho. Hihihi. Imelda tampaknya memerlukan informasi berupa latar belakang saya sehingga ia bisa menentukan sejauh mana informasi tentang Etnis Batak dijabarkan namun jangan sampai membuat saya bingung dan tidak tertarik.
Eskalator yang berada di tengah memisahkan ruang eksibisi menjadi dua, kanan dan kiri yang seluruh bagiannya dipartisi kaca. Ruang pertama yang saya masuki adalah ruang di sebelah kiri eskalator dengan isi benda-benda kebudayaan Batak. Sementara itu, ruang di sebelah kanan berisi penjelasan detail tentang enam puak Batak yang tersebar di seluruh Sumatera Utara (pada beberapa literatur, anda akan mendapatkan 10 macam puak Batak seperti Rao, Singkil, Gayo, hingga Pasir Rokan dan Dale). Inilah mengapa Museum Batak ini dinobatkan sebagai Museum Batak termodern, terapih, termewah dan termegah serta terlengkap. Alasannya cukup jelas, semua benda pajangan di tempat ini sangat terawat. Penerangan sangat memadai dan pada siang hari, museum ini memanfaatkan celah-celah di seputaran gedung yang bertujuan untuk memberikan penerangan alami. Museum ini tidak sumpek dan gelap namun sungguh terang dan bersih. Semua benda eksibisi memiliki penjelasan dan penjelasannya diketik rapih dengan label. Yah, maklum sich mengingat museum ini baru saja diresmikan pada 18 Januari 2011 (wow! Belum satu tahun ketika saya berkunjung ke tempat ini), maka semuanya akan terasa baru. Namun, saya tentu sangat optimis berharap bahwa museum ini akan terus terawat rapih mengingat harga tiket masuknya yang cukup masuk akal untuk merawat museum ini. Berdasarkan apa yang saya lihat, sangat wajar lah bahwa Museum Batak ini dinobatkan sebagai Museum Batak Terlengkapo dan Terbaik bukan saja di seluruh Sumatera Utara, bukan cuma se-Indonesia juga, tapi seluruh dunia! Ya donk, mana ada lagi Museum Batak yang berlokasi di luar dari wilayah ini dengan koleksi selengkap ini?
Memasuki ruang eksibisi sebelah kiri, anda akan diperlihatkan oleh sejumlah benda kebudayaan Batak mulai dari perhiasan, Ulos (ternyata Ulos memiliki sejumlah nama berbeda di setiap puak lho), senjata, peralatan upacara, alat rumah tangga, hingga ornamen rumah. Bahan-bahan penyusunnya pun bervariasi. Untuk perhiasan dan peralatan upacara, kebanyakan terbuat dari kuningan walau ada juga yang terbuat dari kayu seperti rumbi yang digunakan untuk menyimpan beras. Interaksi kebudayaan Batak dengan kebudayaan luar pun terlihat dari benda-benda eksibisi yang kebanyakan terbuat dari keramik dan berupa piring serta patung-patung yang sangat jelas berasal dari Daratan Tiongkok. Aspek lainnya yang dibahas adalah mata pencaharian penduduk Etnis Batak kala itu yang selain bertani juga menangkap ikan dan berburu hewan. Sejumlah sangkar binatang dan bubu yang terbuat dari anyaman bambu turut dipamerkan di tempat ini.
Agama besar yang ada di Tano Batak adalah Islam dan Kristen. Bagaimana Islam dan Kristen bisa menyebar dan masuk ke Tana Batak yang semula menganut Pelebegu pun dijelaskan dengan cukup baik disini. Kristenisasi dapat dikatakan sangat berhasil bagi penduduk Batak yang tinggal di pedalaman, bahkan hingga terbitnya alkitab yang diterjemahkan dalam Bahasa Batak. Sementara itu, pedagang-pedagang muslim memulai karya pengislaman Tano Batak dimulai dari wilayah Barus. Wilayah pesisir lainnya kebanyakan mengalami Islamisasi karena pengaruh kerajaan-kerajaan Islam yang cukup kuat di sekitar Sumatera Utara seperti Aceh di utara, Siak dan Melayu di timur dan tenggara, serta Minang di selatan.
Bagian kedua atau sisi sebelah kanan eskalator berisi penjelasan detail akan enam puak yang ada di Sumatera Utara. Keenam puak tersebut adalah Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Banyak penjelasan menarik yang saya dapatkan disini, mulai dari wilayah hidup puak tersebut, hingga diasporanya kemana saja, bahasa yang dipergunakan, adat istiadat, hingga marga yang biasanya menyertai puak tersebut. Oh ya, puak itu bisa disamakan dengan istilah sub-etnis. Di bagian ini pula terdapat enam pasang patung manekin yang mengenakan pakaian adat masing-masing puak. Tampilan mereka masing-masing sangat khas dan unik seperti misalnya Angkola dan Mandailing yang mengenakan topi rumit seperti model Teuku Umar, Pakpak dan Simalungun yang ikat kepalanya menyerupai suku Minang, hingga Karo yang tutup kepala wanitanya seperti tudung berbentuk segi empat. Puak Toba sendiri penampilannya adalah yang paling “Batak” dengan maksud sangat mewakili etnis Batak secara umum. Lokasinya yang berada di tengah-tengah dataran tinggi Toba membuatnya memiliki kebudayaan yang masih cukup asli dan belum terinkulturasi dengan budaya tetangga. Pakaian khas pria-nya saja paling terbuka sendiri dibanding puak-puak lainnya. Nah, puas melihat enam jenis pakaian adat masing-masing puak, saya dipuaskan lagi dengan melihat aneka jenis Ulos beserta mesin pembuatnya. Sayang, karena ini merupakan museum, maka mesin tenun pembuat Ulos hanya digunakan sebagai pajangan saja, bukan untuk dicobai. Profesi Imelda sebagai kurator tidak hanya menuntut ia agar bisa memahami semua informasi ini. Ia pun pernah mencoba menenun Ulos, bukan sekedar teorinya saja, walaupun tidak diselesaikan.
Wah, saya berkeliling hanya setengah jam saja di dalam Museum Batak ini, namun informasi yang saya dapat luar biasa. Imelda bahkan menjelaskan akan Tarombo Batak berkaitan dengan urutan marga Limbong yang dimilikinya di dalam silsilah Siraja Batak. Wow! Imelda memang luar biasa, salah satu kurator yang sangat direkomendasikan dan cocok banget untuk menemani wisatawan yang bawel kayak saya. Hihihi. Saya pikir seusai menemani saya berkeliling Museum Batak, berakhirlah tugas Imelda. Begitu turun, hampir saja saya mengucapkan terima kasih banyak sebelum ia mengarahkan jalan saya menuju Museum Pribadi T.B. Silalahi. Wow, sekali lagi, saya ditemani oleh Imelda Limbong! Kurator yang sangat direkomendasikan!

Thursday, March 15, 2012

Kompleks T.B. Silalahi Center Di Tepi Balige

Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali berkunjung, dua tiga objek wisata terdatangi. Ya, saya senang bisa berkunjung ke Balige karena dua objek wisata yang ingin saya kunjungi letaknya berdekatan. Kedua objek wisata ini terletak di Desa Pagarbatu. Selain Makam Raja Sisingamangaraja XII, objek wisata berikut yang ingin saya sambangi adalah T.B. Silalahi Center, kompleks yang cukup luas mencakup museum Batak modern terbesar, museum koleksi dan sejarah pribadi Bapak T.B. Silalahi, gedung pertemuan skala internasional, kampung Batak, Ruma Bolon, hingga restoran, kolam renang serta pusat kerajinan tangan dan karya seni Sumatera Utara. Konon, informasi yang disajikan di museum ini beserta kuantitas serta kualitas barang pameran merupakan yang terbaik, bukan saja di seluruh Sumatera Utara, bukan juga seluruh Indonesia, namun hingga ke seluruh dunia! (wajar donk, pusat suku Batak kan memang di seputaran Toba dan sekitarnya. Hohoho). Museum ini baru diresmikan pada tahun 2006 sehingga walaupun baru 5 tahun berselang, kunjungan saya masih merupakan kunjungan baru bagi kompleks ini. Hampir semua cat dan perawatan bangunannya masih bagus. Konon, ke depannya akan dibangun pula pusat kebudayaan yang berkaitan dengan budaya Batak seperti Batak Karo dan Nias. Uniknya, kebudayaan Batak tidak mencakup wilayah Sumatera Utara saja, namun berkaitan hingga ke Toraja. Nah loh, koq bisa?
Pengelolaan yang modern dan dipegang oleh pihak swasta tampaknya merupakan kunci bahwa objek wisata museum bisa maju dan keren. T.B. Silalahi Center buktinya. Untuk kompleks wisata sekelas ini, saya rela deh bayar agak mahalan. Kebetulan, tiket masuk untuk orang dewasa adalah Rp. 10.000. Harga ini menurut saya sangat wajar untuk kelas museum yang sangat bagus, rapih, dan modern ini. Untuk anak-anak, tiket masuknya adalah Rp. 5.000. Seperti umumnya tempat wisata di Indonesia, wajah-wajah turis asing akan dikenakan tiket masuk lebih mahal daripada orang lokal yakni Rp. 50.000. Nah, buat orang lokal yang wajahnya ke-Korea-Koreaan, sebaiknya stop bertingkah dan berbicara Bahasa Korea kalau nggak mau dikenakan tiket masuk Rp. 50.000. Hihihi.
Dari awal masuk saja, kesan modern dan keren sudah terpancar dari tempat ini. Saya nggak mau melebih-lebihkan sich, namun pintu masuknya saja menggunakan pintu ulir yang akan berputar apabila turis masuk. Suatu kesan yang sangat baik, saya rasa. Begitu masuk, anda akan dihadapkan pada halaman utama kompleks T.B. Silalahi Center yang memajang tank-tank tempur (karena Bapak T.B. Silalahi memang orang Angkatan Darat). Objek foto yang menarik tentunya buat anda yang narsis. Kapan lagi coba bisa berfoto bersama tank tempur? Wow! Namun, fotonya jangan terlalu eksis dan heboh sampai menaiki tank tempur tersebut yach. Ada larangan agar pengunjung tidak menaiki tank tersebut agar tidak merusak benda pajangan tersebut (atau juga mengaktifkan tombol picu meriamnya. Hihihi. Seram).
Di belakang koleksi tank terdapat Museum Pribadi Bapak T.B. Silalahi. Di tempat ini ada seorang petugas yang mencoba mengarahkan pengunjung untuk memasuki Museum Batak terlebih dahulu, entah mengapa. Tidak terlalu jauh dari deretan tank tempur, ada patung seorang anak membaca buku sambil menaiki kerbau bertanduk jatuh. Konon, ini adalah gambaran Bapak T.B. Silalahi di kala kecil. Tanduk jatuh sang kerbau pun persis seperti yang diingat oleh beliau. Nah, persis di belakang patung tersebut ada toko suvenir dan makanan ringan. Di belakang toko suvenir tersebut, terdapatlah sebuah bangunan modern dengan bentuk trapesium terbalik yang merupakan gedung pertemuan dengan Museum Batak di bawahnya. Desain bangunannya sungguh kontemporer dan modern. Bahkan, ada LCD raksasa di salah satu sudut gedung pertemuan ini yang bisa menginformasikan acara kegiatan yang berlangsung. Rp. 10.000 sich bener-bener murah loch.
Tidak jauh dari gedung pertemuan dan Museum Batak, ada replika besar Siraja Batak, kakek buyutnya Orang Batak terutama dalam hal penurunan marga. Banyak hal yang bisa kita ketahui juga seputar Suku Batak di lapangan ini. Selain Siraja Batak, ada 6 puak Batak yang teremboss di bagian fondasi sekitar gedung pertemuan. 6 puak tersebut adalah Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak, dan Angkola. Walaupun sejatinya terjadi perbedaan di antara masing-masing puak Batak, namun T.B. Silalahi Center ini nampaknya berupaya untuk mempersatukan 6 puak Batak dengan nama umum : Batak. Walaupun sich, setelah saya berkunjung ke rumah adat, ke kampung Batak, hingga membaca hampir seluruh papan informasi tentang Suku Batak yang ada, saya berpendapat bahwa informasi yang ditulis di seluruh kompleks ini lebih menjurus pada Suku Batak Toba yang penyebarannya memang di wilayah Tapanuli Utara hingga seputaran Toba. Namun untuk keakuratan dan kelengkapan informasi, museum ini sudah sangat mewakili dan bisa menjadi sumber informasi yang sangat layak dipercaya bagi anda penikmat kebudayaan Batak maupun para peneliti. Sungguh, saya kagum dengan museum ini. Terletak 6-7 jam perjalanan dari Kota Medan, niat Bapak T.B. Silalahi sungguh mulia untuk mendirikan museum ini di Kota Balige sebagai sumber pembelajaran masyarakat akan kebudayaannya sendiri. Tepuk tangan yang meriah!
Untuk menuju ke Kompleks T.B. Silalahi Center, cukup lanjutkan 100 meter perjalanan anda dari Makam Raja Sisingamangaraja XII ke arah tepi Danau Toba, melewati sejumlah rumah dan ladang jagung yang sudah menguning. Cantik sekali. Tidak perlu ragu, bangunan trapesium terbalik tersebut sudah akan terlihat di kejauhan, atau bahkan di tepi danau bagi anda yang menggunakan perahu. Sayang, entah apakah karena saya datang pada hari libur, atau ada sebab lain, namun kunjungan ke tempat ini tidak terlalu ramai. Bahkan, pengunjungnya pun bisa dihitung menggunakan jari. Padahal, berwisata di museum, apalagi yang sekeren ini bisa menjadi kesenangan tersendiri lho. Nggak usah jauh-jauh deh, buat teman-teman yang berada di Samosir, Medan, atau Tarutung, sudah pernahkah anda mengunjungi T.B. Silalahi Center?

Wednesday, March 14, 2012

Makam Raja Sisingamangaraja XII Di Soposurung, Pagar Batu Silalahi, Balige

Walaupun sebenarnya saya nggak boleh berpihak dan membuat blok, namun saya secara pribadi sangat tidak menyukai wisata makam. Tentu, ada alasannya mengapa saya tidak menyukai wisata makam. Sepanjang perjalanan, saya banyak menemukan makam yang dikomersialisasi. Maksudnya apa? Gambarannya begini, mulai dari pintu masuk, orang yang meminta-minta sudah duduk di emperan di sepanjang jalan. Di pintu masuk, sejumlah pungutan liar terjadi di luar dari tiket masuk yang wajar. Di tempat parkir, pungutan yang ada melebihi kewajaran dengan tingkat pelayanan yang membuat saya geleng-geleng kepala. Belum lagi sejumlah orang yang menggunakan tempat makam tersebut untuk “meminta sesuatu” mulai dari yang wajar hingga yang agak nyeleneh dan akhirnya tergolong ajaib. Saya sangat nggak suka makam yang terkomersialisasi seperti yang terjadi pada sejumlah makam tokoh besar di Jawa. Penduduk yang tinggal disana tahu bahwa makam tersebut ramai pengunjung dan mereka memanfaatkannya dengan cara yang salah. Orang-orang yang datang pun selain untuk berziarah pun menurut saya juga memiliki tujuan yang menyimpang. Buat saya, penting bagi saya untuk masuk ke sebuah makam, mendapat pencerahan dan informasi akurat akan seorang tokoh yang dimakamkan, baik dari papan informasi ataupun pemandu. Maaf saja, makam bukan tempat komersil untuk saya. Makam yang begini, yang justru terjadi di banyak tempat di Pulau Jawa, sama sekali tidak menarik minat saya. Saya tidak bisa mendapatkan informasi akurat tentang tokoh tersebut, malah gangguan yang didapat. Mau marah nggak sich?
Untungnya, ini tidak terjadi pada salah seorang tokoh nasional, pahlawan Bangsa Indonesia yang akan saya kunjungi di Tanah Sumatera Utara ini. Tokoh tersebut adalah Raja Sisingamangaraja XII. Entah mengapa, mendengar nama Balige, Ibukota Kabupaten Toba Samosir sudah terasosiasi dengan baik dengan makam Sisingamangaraja XII di benak saya. Nah, makamnya ini terletak di Desa Pagar Batu, tidak terlalu jauh dari pintu masuk Kota Balige, searah dengan T.B. Silalahi Center, sekitar 200 meter berjalan kaki ke dalam. Jangan kuatir, petunjuk jalan cukup jelas dan kanan kiri adalah bangunan rumah. Tidak jauh dari gerbang “Objek Wisata Pagar Batu”, setelah melewati ladang jagung dan sejumlah jagung yang dijemur, ada satu areal yang berpagar rapih dan bertuliskan “Makam Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII Soposurung Balige”. Yak, anda sudah sampai!
Makam ini terlihat sangat resik dan terawat rapih. Uniknya, walaupun di sudut areal makam ada sebuah warung yang harusnya berfungsi sebagai tempat penjaga, namun beberapa orang yang sedang mengobrol tersebut tetap asyik dengan kegiatannya ketika saya datang. Tidak hanya itu saja, mereka tampak tidak terusik walaupun saya mondar-mandir di area tersebut dan melihat-lihat. Baiklah, saya simpulkan bahwa masuk tempat ini gratis. Hehehe. Areal makam tersebut ternyata cukup luas. Selain makam Raja Sisingamangaraja XII yang tampak cukup jelas dari tepi jalan, ada Rumah Bolon yang berfungsi sebagai gedung perpustakaan. Selain itu ada sebuah sopo kecil dan sebuah sumur yang saya nggak tahu kegunaannya untuk apa karena tidak ada penjelasannya sama sekali. Sumur ini cukup dalam dan saya tidak bisa melihat dasarnya walaupun jejak vandalisme terlihat dengan adanya coret-coretan di tempat yang agak kurang lazim. Walau demikian, hampir semua bagian dari areal makam ini termasuk sumur tersebut sudah tertata rapih dengan terlapisinya hampir semua bagian dengan keramik. Di sejumlah bagian, hiasan gorga dan ukir-ukiran Batak mempercantik tampilan makam.
Untuk masuk makam Raja Sisingamangaraja XII sendiri, anda harus melepas alas kaki. Wow! Ada sebuah kotak donasi dan buku tamu yang sebaiknya anda tulis saat berkunjung ke makam ini. Sayang, ketiadaan penjaga membuat makam ini terasa kosong. Apalagi buku tamunya sudah lepas-lepasan dan rusak. Makam ini sendiri terdiri atas tiga makam. Makam tengah adalah Makam Raja Sisingamangaraja XII dengan bentuk bangunan yang paling tinggi. Sementara itu di kanan dan kirinya adalah makam kedua putra Sisingamangaraja XII yang gugur bersama dengan beliau yakni Raja Patuan Anggi dan Raja Patuan Nagari (namanya agak-agak bernuansa Minang yach?). Walaupun anak beliau ada tiga, termasuk Putri Lopian yang gugur bersama di medan perang, namun hanya dua dari anaknya ini yang dikuburkan bersama Sisingamangaraja XII di Soposurung. Tentu akan timbul pertanyaan, mengapa? Kalau baca secara detailnya disini, anda akan memahami bahwa Balige bukanlah tempat para pahlawan kita ini gugur. Mereka gugur di Simsim. Tulang belulangnya dipindahkan ke sejumlah tempat secara militer dan adat. Nah, terakhir tulang belulang tersebut barulah dipindahkan di balige atas saran dari Presiden Soekarno kala itu. Putri Lopian sendiri tenggelam dan tertimbun tanah di jurang. Jenazahnya sukar ditemukan dan akhirnya diputuskanlah untuk mengambil sebagian dari tanah tempat jasadnya tertimbun secara adat untuk dimakamkan di Porsea. Ketiga makam ini berbentuk podium penyerahan medali dengan bangunan tertinggi untuk Raja Sisingamangaraja XII. Makam-makam ini ditutupi batu merah dan sebagian dihiasi dengan ukir-ukiran khas Batak. Cantik. Sayang sekali, sayalah satu-satunya pengunjung pada siang tersebut.

Di sudut areal makam, ada Ruma Bolon besar yang sayangnya, setelah saya hampiri, ternyata terkunci. Diresmikan jauh setelah makam Raja Sisingamangaraja XII, gedung perpustakaan ini tampaknya tidak dijaga. Saya sedikit mengintip ke dala dan tampaklah bahwa tidak banyak yang bisa dilihat dari ruma ini. Toh, bangunannya terkunci pula. Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono dan Surya Dharma Paloh pernah berkunjung ke kompleks makam ini. Hal ini terbukti dengan hadirnya masing-masing tanda tangan mereka dalam marmer prasasti yang berbeda. Selain kehadiran dua marmer pualam ini, tidak terlihat lagi adanya papan ataupun petunjuk informasi lainnya di areal ini. Sayang sekali.
Kunjungan singkat saya di kompleks Makam Raja Sisingamangaraja akhirnya diselesaikan karena saya harus mengejar waktu sebelum berangkat ke Sibolga. Pada saat saya keluar sekalipun, beberapa orang yang terletak di warung sama sekali tidak menyadari keberadaan saya. Mereka masih saja terus asyik mengobrol sambil ngopi dan bermain catur. Seorang petani dengan kerbaunya pun tampak melenggang santai di pinggir areal makam ini. Hehehe. Dengan demikian, saya bisa menyimpulkan bahwa kunjungan ke Makam Raja Sisingamangaraj XII ini adalah gratis!

Thursday, March 08, 2012

Menuju Jantung Toba Samosir

Tujuan berikutnya sebelum saya mencapai Sibolga pada malam hari adalah Balige. Balige ini adalah ibukota sekaligus kota terbesar di Kabupaten Toba Samosir. Ya, saya rasanya pernah berkata, saking lebar dan besarnya Danau Toba, banyak sisi yang memiliki wajah berlainan di setiap sudut di tepi danau ini. Balige adalah salah satunya. Walaupun sama-sama berkebudayaan Batak Toba, namun kota yang terletak di sisi selatan Danau Toba ini memiliki Museum Batak terbaik di seluruh Indonesia, malah mungkin seluruh dunia kali yach? Museum Batak yang terletak di T.B. Silalahi Center adalah objek yang wajib sekali dikunjungi bagi anda yang ingin menggali budaya Batak lebih dalam. Pasalnya, di museum ini tidak hanya menampilkan benda-benda kebudayaan Batak semata, namun penjelasannya pun memuaskan dan mendetail. Duh, saya jadi nggak sabar ingin tiba di Balige. Selain T.B. Silalahi Center, ada pula makam Sisingamangaraja XII yang memang terletak di Kota Balige, tepatnya di Desa Pagar Batu. Selain kedua tempat ini, ada pula Huta Tinggi yang terletak di Kecamatan Laguboti, yang menjadi pusat perkembangan agama Malim, dengan pengikutnya yang disebut Parmalim. Namun, saya nggak yakin apakah bisa mencapai Huta Tinggi atau nggak lantaran waktu yang sempit (catatan : Laguboti terletak setelah Balige sebelum Sigumpar, kota kecamatan di sisi tenggara Danau Toba, dalam perjalanan menuju ke Parapat). Oya, di Sigumpar ada pula makam Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Wow, banyak sekali yach objek wisata di Toba Samosir!
Saya menunggu di tepi jalan untuk mendapatkan angkutan menuju Balige. Angkutan yang tadinya banyak sekarang tiba-tiba menghilang entah kemana. Huft. Akhirnya datang satu angkutan yang sangat penuh dan saya dipaksa untuk masuk ke bagian dalam tanpa saya memiliki kesempatan untuk melepaskan tas ransel yang saya kenakan. Saya bingung, sebaiknya saya menunggu yang berikutnya atau ngga, soalnya angkot model begini nih yang biasanya bikin saya mabuk karena kurangnya pasokan udara di bagian dalam. Namun sang supir berkeras agar saya ikut angkutannya dan saya tidak bisa menolak. Haduh. Agak ngeri juga sih kalau saya terlalu buang-buang waktu di jalan nungguin angkutan yang nggak jelas, sementara pada sore hari saya sudah harus wajib kudu musti sampai di Sibolga. Akhirnya, saya masuk ke dalam angkot dan tidak bisa menggerakkan tubuh saya lantaran penuh dan barang bawaan saya dimana-mana. Selama satu jam kurang lebih saya duduk di bagian belakang kendaraan, terhimpit, tidak bisa bergerak, agak mual, dan tidak bisa melihat pemandangan di jalanan. Kacau. Jangankan mengeluarkan kamera untuk berfoto-foto, posisi duduk saya saja tidak bisa bergeser saking penuhnya itu angkot.
Untungnya, satu jam kemudian, sekitar Bandara Silangit, sejumlah penumpang turun dan menurunkan pula barang muatannya yang banyak tersebut. Fiuh. Ternyata banyaknya barang-barang di angkutan ini berasal dari penumpang yang turun di Silangit. Dalam sekejap, tali-tali pengikat barang-barang tersebut yang menggunung di atap kendaraan dikendurkan, semua barang diturunkan, termasuk berkarung-karung barang jualan yang saya sangat yakin adalah sendal jepit. Dalam sekejap pula, angkutan menjadi sangat kosong hingga saya bisa duduk selonjoran di dalamnya. Dari Silangit hingga Balige, penumpang yang tersisa adalah saya dengan satu orang wanita yang tampaknya adalah seorang pekerja kantoran, menilik dari pakaiannya. untungnya lagi, angkutan sudah menjadi kosong sehingga waktu yang tersisa dari perjalanan Silangit – Balige saya gunakan untuk menikmati pemandangan indah yang tersaji di sekeliling saya. Oh ya, perjalanan dari Tarutung menuju Balige adalah perjalanan berbalik arah kalau niatnya mau ke Sibolga. Para pembaca jangan sampai kebingungan ya...hehehe. Total perjalanan dari Tarutung ke Balige sekitar 2 jam. Mungkin bisa lebih cepat lagi kalau si angkot nggak menurunkan penumpang dan menunggu. Sepanjang perjalanan, yang tersaji adalah ladang dan perkebunan dengan sesekali sawah. Gereja dan makam a la Batak menghiasi sudut-sudut lahan tersebut. Danau Toba mulai terlihat saat saya sudah mulai memasuki wilayah Gurgur. Pada salah satu belokan jalan tiba-tiba saya melihat plang besar “T.B. Silalahi Center 300 M”. Sekejab saya panik dan buru-buru memberhentikan kendaraan yang saya tumpangi tersebut. Ongkos Rp. 15.000 pun melayang. Hihihi.