Tuesday, March 27, 2012
Patung, Prasasti Dan Peralatan Rumah Tangga Di Aula Bawah Museum Batak Balige
Monday, March 26, 2012
Ulubalang Si Penjaga Desa
Patung hiasan sebuah huta yang agak mengerikan buat saya adalah Pangulubalang atau Ulubalang. Patung ini terletak di tepian salah satu gerbang desa.
Model Ulubalang sendiri dibuat menjadi lebih “ceria” walaupun masih terasa nuansa magisnya, terutama dari ekspresi wajah Sang Ulubalang dan ornamen yang dikenakannya. Efek “ceria” dari Ulubalang ini didapat dari keberadaan sebuah kotak donasi di depannya yang bertuliskan “Make A Wish”. Hihihi. Mungkin saja bisa menjadi semacam hiburan atau atraksi wisata populer seperti Wish Fountain di Trevi Fountain, hihihi. Ulubalang atau Pangulubalang sendiri berkaitan dengan kebudayaan Batak ketika masih di era animisme atau Pelebegu. Patung yang terbuat dari kayu atau batu ini berfungsi sebagai pelindung desa ketika masyarakat Huta sedang pergi bertani. Lebih dalam lagi, patung ini diyakini berisikan roh yang disebut dengan Roh Pangulubalang. Masyarakat Batak era itu memuja dan menyembah roh ini guna meminta keselamatan dan memohon rejeki. Bahkan, roh Pangulubalang bisa ditugaskan untuk pergi ke daerah musuh untuk menutup mata dan telinga mereka sehingga tidak mampu berperang. Pangulubalang memiliki peran penting dalam perselisihan antar marga atau perang antar desa.
Tuesday, March 20, 2012
Huta Batak Siap Kunjung Di T.B. Silalahi Center
Belajar sejarah, sosiologi, antropologi, dan kebudayaan ternyata bisa sangat menyenangkan. Saya harus mengakui bahwa saya sangat menyukai T.B. Silalahi Center. Mengapa? Karena visi mereka untuk mempersatukan 6 puak Batak dan memperkenalkan budaya Batak ternyata tidak tanggung-tanggung. Mereka totalitas dalam melakukan pelayanan karya kemanusiaan mereka (Saya menyebut ini karya kemanusiaan karena memang berkaitan dengan kebudayaan manusia toh? Hehehe). Selain museum yang memajang benda-benda adat dan budaya Batak, di tempat ini ada sebuah Huta Batak atau Kampung Batak. Persis di sebelah Ruma Bolon, sebelum kolam renang, disinilah Huta Batak ini berada.
Definisi dari Huta Batak sendiri adalah pemukiman khas Batak yang tertutup, terdiri atas desa-desa dan membentuk masyarakat kelompok kecil. Umumnya, kelompok masyarakat kecil ini masih memiliki hubungan kekerabatan, atau kumpulan marga. Kenapa disebut tertutup? Secara harafiah, Huta Batak memang dikelilingi oleh tembok batu atau tanah yang disebut dengan Parik dan ditanami pohon bambu yang sangat rapat. Jalan masuk ke dalam suatu Huta maksimal hanya ada satu atau dua, depan atau dan belakang. Secara sistem sendiri, tertutupnya suatu Huta dikarenakan sistem kekerabatan yang masih dianut oleh kelompok yang tinggal di dalamnya. Walaupun sekarang sudah menjadi lebih cair dibandingkan jaman dahulu, namun umumnya penghuni suatu Huta adalah orang-orang masih bertalian darah dan memiliki hubungan kekerabatan hasil dari kawin mawin. Walaupun masih dikelilingi oleh Parik dan memiliki dua jalan masuk, namun penggambaran Huta Batak di T.B. Silalahi Center sudah dimodifikasi agar tidak terlalu berkesan “tertutup”.
Huta Batak ini menampilkan apa yang menjadi gambaran suatu Huta secara sempurna. Di tempat ini, gambaran suatu Huta secara sempurna diperlihatkan seperti pada deretan Ruma dan Sopo yang berhadap-hadapan, keberadaan Pohon Hariara, keberadaan makam batu, diorama orang, peralatan yang digunakan, hingga ornamen-ornamen adat seperti Sigale-gale atau magis seperti Ulubalang yang berfungsi untuk melindungi Huta. Di tengah-tengah Huta, terdapat halaman atau yang disebut dengan Alaman yang luas, tempat anak-anak bermain atau orang dewasa beraktifitas. DI kanan dan kiri Alaman ini terdapat deretan Ruma dan Sopo. Menariknya, deretan Ruma dan Sopo di tempat ini bukanlah Ruma maupun Sopo buatan. Semua Ruma dan Sopo di tempat ini adalah bangunan asli yang dahulunya pernah ditempati dan sudah berusia ratusan tahun. Walaupun sudah mengalami sejumlah perbaikan, namun bentuk asli bangunannya tetap dipertahankan. Semua Ruma dan Sopo ini merupakan sumbangan dari sejumlah keluarga yang tersebar di beberapa lokasi seperti misalnya Silaen, Laguboti, Ombur, Hutabulu, bahkan rumah Bapak T.B. Silalahi sendiri. Menariknya lagi, bagian bawah Ruma yang disebut Tombara ternyata bisa merepresentasikan kehidupan seperti apakah yang dijalani oleh warga Batak yang menghuni suatu Ruma. Misalnya saja, jika di Tombara terdapat peralatan memancing, atau bubu penangkap ikan, maka bisa dipastikan bahwa penghuni Ruma tersebut adalah seorang Partoba (nelayan). Apabila di Tombara terdapat alat-alat pertanian, maka bisa dipastikan bahwa penghuni rumah tersebut berprofesi sebagai petani. Ada pula yang pada bagian Tombara-nya terdapat alat-alat untuk menenun Ulos. Rumah dimana Bapak T.B. Silalahi tinggal dan besar pun terdapat seekor kerbau replika dengan kedua tanduk yang bengkok ke bawah. Ini untuk penanda bahwa pada masa kecilnya, beliau menggembalakan kerbau yang dua tanduknya bengkok ke bawah.
Anda bisa saja memasuki sejumlah Ruma dan Sopo yang terbuka (biasanya, kita mungkin nggak enak kalau memasuki Ruma atau Sopo yang memang benar-benar dihuni khan?). Ada salah satu Sopo yang bahkan terbuka pada semua sisinya sehingga tidak memiliki dinding. Bagian dalam Ruma dan Sopo pun masih dipertahankan seperti aslinya walaupun sudah mengalami modifikasi untuk menyelamatkan bangunannya itu sendiri (minus perabotan dan kelengkapan peralatan rumah tangga saja yang sudah tidak ada di dalam Ruma). Buat saya, ini adalah penggambaran Huta Batak yang sangat baik dan sangat layak dikunjungi. Nggak hanya menampilkan suasana Huta Batak yang dibuat seperti aslinya, namun papan-papan besar yang berisikan penjelasan akan setiap aspek dalam Huta Batak ini cukup banyak dan mendetail. Ya, saya bisa belajar banyak dari papan-papan informasi tersebut.
Anda bisa saja memasuki sejumlah Ruma dan Sopo yang terbuka (biasanya, kita mungkin nggak enak kalau memasuki Ruma atau Sopo yang memang benar-benar dihuni khan?). Ada salah satu Sopo yang bahkan terbuka pada semua sisinya sehingga tidak memiliki dinding. Bagian dalam Ruma dan Sopo pun masih dipertahankan seperti aslinya walaupun sudah mengalami modifikasi untuk menyelamatkan bangunannya itu sendiri (minus perabotan dan kelengkapan peralatan rumah tangga saja yang sudah tidak ada di dalam Ruma). Buat saya, ini adalah penggambaran Huta Batak yang sangat baik dan sangat layak dikunjungi. Nggak hanya menampilkan suasana Huta Batak yang dibuat seperti aslinya, namun papan-papan besar yang berisikan penjelasan akan setiap aspek dalam Huta Batak ini cukup banyak dan mendetail. Ya, saya bisa belajar banyak dari papan-papan informasi tersebut.
Friday, March 16, 2012
Sopo Dan Ruma Batak : Kekayaan Arsitektural Bangso Batak
Ciri khas unik Ruma Batak ialah adanya gorga atau ukir-ukiran khas Batak yang warnanya putih, hitam dan merah, warna Bangsa Batak. Gorga ini menyelimuti hampir sekujur bagian rumah dan berfungsi untuk mempercantik rumah, sekaligus memiliki nilai filosofis seperti perlindungan dan rasa nyaman. Bentuk lain yang akan anda temui ialah wajah menyeringai yang biasanya terdapat di sudut rumah, ini disebut singa. Singa, sesuai dengan namanya dan bentuknya, dibuat untuk melindungi seisi penghuni. Pada bagian pucuk rumah terdapat Ulupaung yang memiliki fungsi perlindungan dan penolak bala juga. Selain itu, anda bisa menemukan keberadaan ukiran cecak dan buah dada wanita yang terkadang jumlahnya lebih dari dua. Makna dari ukiran ini adalah kebijaksanaan dan kesuburan. Ukiran gorga yang bergelung-gelung bermakna kekayaan. Nah, sedemikian rumit filosofis maupun cara membuat rumah Batak, nggak mengherankan proses pembuatannya lama dan biayanya cukup tinggi. Untung saja, di beberapa tempat masih dirawat dan dilestarikan sehingga tidak punah.
Ruma Batak, sekaligus sebagai rumah asli Bangsa Indonesia rata-rata memiliki bentuk panggung. Tentu, ini berfungsi untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas maupun bencana alam. Nah, pada Bangsa Batak, bagian bawah rumah ini disebut Tombara. Bagian ini berfungsi untuk menyimpan kayu, perahu, kandang ternak dan tempat menenun Ulos bagi wanita. Ruma Batak memang seharusnya dijaga dan dipelihara oleh kita sebagai generasi penerus agar keturunan kita dapat melihat betapa kayanya bangsa ini. Kalau sukar mencari Ruma Batak di seputaran Danau Toba, coba deh pergi ke museum-museum daerah yang masih memajang Ruma Batak. Salah satunya yang bisa anda temukan adalah yang berada di T.B. Silalahi Center, lengkap dengan anjing kayu di depan rumah, dan totem khas Batak. Rumah adat Batak di tempat ini masih terawat baik sehingga kita nayamn untuk memasukinya dan melihat-lihat.
Museum Batak Terlengkap Dan Terbaik Di Seluruh Dunia : T.B. Silalahi Center
Temuilah Imelda Limbong, kurator baik hati dan sangat penuh informasi ini adalah kurator yang menemani saya sepanjang perjalanan saya di dalam Museum Batak. Informasi yang dimilikinya hebat, walaupun dia mengklaim bahwa dirinya masih belajar. Pada praktiknya, ia hampir dapat menjelaskan semua pertanyaan saya tentang Suku Batak. Yah, biar anda nggak terlalu kehilangan arah dalam penjelasan ini, ada baiknya anda sedikit mempelajari tentang Suku Batak, mulai dari wilayah hidupnya, sejarahnya, agama yang dianut, kepercayaan tradisionalnya, puak Batak, hingga masuknya Kristen dan Islam ke tanah Batak serta adat istiadat setempat termasuk kebudayaannya. Untung saja, saya telah banyak membaca sedikit banyak mengenai suku ini. Perjalanan saya selama 4 hari di wilayah Samosir dan Tapanuli pun sudah memberikan saya sejumlah informasi dan tentunya pertanyaan yang kebetulan bisa ditanyakan kepada kurator museum ini. Hohoho. Imelda Limbong, anda tidak akan lepas dari serbuan pertanyaan saya!
Museum Batak sendiri terletak di lantai dua bangunan berbentuk trapesium ini. setelah menitipkan tas dan barang bawaan saya (gratis loh, dapat kunci pula!), saya diantar oleh Imelda Limbong ke lantai atas tempat museum berada. Asyiknya, saya boleh membawa kamera. Sayang sekali kalau masih ada museum-museum yang tidak memperbolehkan kamera dibawa ke dalam ruang eksibisinya. Museum Batak tentu merupakan perkecualian, kamera boleh dibawa ke dalam ruang eksibisi. Nah, sesampainya di lantai atas, saya pikir Imelda akan meninggalkan saya. Ternyata tidak! Ia dengan semangat dan penuh informasi menjelaskan tentang berbagai jenis benda pajangan yang ada di dalam museum. Tentu, sambil berjalan, ia juga bertanya akan asal usul saya, profesi saya, dan arah tujuan saya, mungkin maksudnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang saya. Untungnya, sekali lagi saya ucapkan, saya telah membaca sedikit banyak informasi tentang Suku Batak, jadi pertanyaan saya bukan pertanyaan-pertanyaan ecek-ecek dan sederhana lho. Hihihi. Imelda tampaknya memerlukan informasi berupa latar belakang saya sehingga ia bisa menentukan sejauh mana informasi tentang Etnis Batak dijabarkan namun jangan sampai membuat saya bingung dan tidak tertarik.
Eskalator yang berada di tengah memisahkan ruang eksibisi menjadi dua, kanan dan kiri yang seluruh bagiannya dipartisi kaca. Ruang pertama yang saya masuki adalah ruang di sebelah kiri eskalator dengan isi benda-benda kebudayaan Batak. Sementara itu, ruang di sebelah kanan berisi penjelasan detail tentang enam puak Batak yang tersebar di seluruh Sumatera Utara (pada beberapa literatur, anda akan mendapatkan 10 macam puak Batak seperti Rao, Singkil, Gayo, hingga Pasir Rokan dan Dale). Inilah mengapa Museum Batak ini dinobatkan sebagai Museum Batak termodern, terapih, termewah dan termegah serta terlengkap. Alasannya cukup jelas, semua benda pajangan di tempat ini sangat terawat. Penerangan sangat memadai dan pada siang hari, museum ini memanfaatkan celah-celah di seputaran gedung yang bertujuan untuk memberikan penerangan alami. Museum ini tidak sumpek dan gelap namun sungguh terang dan bersih. Semua benda eksibisi memiliki penjelasan dan penjelasannya diketik rapih dengan label. Yah, maklum sich mengingat museum ini baru saja diresmikan pada 18 Januari 2011 (wow! Belum satu tahun ketika saya berkunjung ke tempat ini), maka semuanya akan terasa baru. Namun, saya tentu sangat optimis berharap bahwa museum ini akan terus terawat rapih mengingat harga tiket masuknya yang cukup masuk akal untuk merawat museum ini. Berdasarkan apa yang saya lihat, sangat wajar lah bahwa Museum Batak ini dinobatkan sebagai Museum Batak Terlengkapo dan Terbaik bukan saja di seluruh Sumatera Utara, bukan cuma se-Indonesia juga, tapi seluruh dunia! Ya donk, mana ada lagi Museum Batak yang berlokasi di luar dari wilayah ini dengan koleksi selengkap ini?
Memasuki ruang eksibisi sebelah kiri, anda akan diperlihatkan oleh sejumlah benda kebudayaan Batak mulai dari perhiasan, Ulos (ternyata Ulos memiliki sejumlah nama berbeda di setiap puak lho), senjata, peralatan upacara, alat rumah tangga, hingga ornamen rumah. Bahan-bahan penyusunnya pun bervariasi. Untuk perhiasan dan peralatan upacara, kebanyakan terbuat dari kuningan walau ada juga yang terbuat dari kayu seperti rumbi yang digunakan untuk menyimpan beras. Interaksi kebudayaan Batak dengan kebudayaan luar pun terlihat dari benda-benda eksibisi yang kebanyakan terbuat dari keramik dan berupa piring serta patung-patung yang sangat jelas berasal dari Daratan Tiongkok. Aspek lainnya yang dibahas adalah mata pencaharian penduduk Etnis Batak kala itu yang selain bertani juga menangkap ikan dan berburu hewan. Sejumlah sangkar binatang dan bubu yang terbuat dari anyaman bambu turut dipamerkan di tempat ini.
Agama besar yang ada di Tano Batak adalah Islam dan Kristen. Bagaimana Islam dan Kristen bisa menyebar dan masuk ke Tana Batak yang semula menganut Pelebegu pun dijelaskan dengan cukup baik disini. Kristenisasi dapat dikatakan sangat berhasil bagi penduduk Batak yang tinggal di pedalaman, bahkan hingga terbitnya alkitab yang diterjemahkan dalam Bahasa Batak. Sementara itu, pedagang-pedagang muslim memulai karya pengislaman Tano Batak dimulai dari wilayah Barus. Wilayah pesisir lainnya kebanyakan mengalami Islamisasi karena pengaruh kerajaan-kerajaan Islam yang cukup kuat di sekitar Sumatera Utara seperti Aceh di utara, Siak dan Melayu di timur dan tenggara, serta Minang di selatan.
Bagian kedua atau sisi sebelah kanan eskalator berisi penjelasan detail akan enam puak yang ada di Sumatera Utara. Keenam puak tersebut adalah Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Banyak penjelasan menarik yang saya dapatkan disini, mulai dari wilayah hidup puak tersebut, hingga diasporanya kemana saja, bahasa yang dipergunakan, adat istiadat, hingga marga yang biasanya menyertai puak tersebut. Oh ya, puak itu bisa disamakan dengan istilah sub-etnis. Di bagian ini pula terdapat enam pasang patung manekin yang mengenakan pakaian adat masing-masing puak. Tampilan mereka masing-masing sangat khas dan unik seperti misalnya Angkola dan Mandailing yang mengenakan topi rumit seperti model Teuku Umar, Pakpak dan Simalungun yang ikat kepalanya menyerupai suku Minang, hingga Karo yang tutup kepala wanitanya seperti tudung berbentuk segi empat. Puak Toba sendiri penampilannya adalah yang paling “Batak” dengan maksud sangat mewakili etnis Batak secara umum. Lokasinya yang berada di tengah-tengah dataran tinggi Toba membuatnya memiliki kebudayaan yang masih cukup asli dan belum terinkulturasi dengan budaya tetangga. Pakaian khas pria-nya saja paling terbuka sendiri dibanding puak-puak lainnya. Nah, puas melihat enam jenis pakaian adat masing-masing puak, saya dipuaskan lagi dengan melihat aneka jenis Ulos beserta mesin pembuatnya. Sayang, karena ini merupakan museum, maka mesin tenun pembuat Ulos hanya digunakan sebagai pajangan saja, bukan untuk dicobai. Profesi Imelda sebagai kurator tidak hanya menuntut ia agar bisa memahami semua informasi ini. Ia pun pernah mencoba menenun Ulos, bukan sekedar teorinya saja, walaupun tidak diselesaikan.
Wah, saya berkeliling hanya setengah jam saja di dalam Museum Batak ini, namun informasi yang saya dapat luar biasa. Imelda bahkan menjelaskan akan Tarombo Batak berkaitan dengan urutan marga Limbong yang dimilikinya di dalam silsilah Siraja Batak. Wow! Imelda memang luar biasa, salah satu kurator yang sangat direkomendasikan dan cocok banget untuk menemani wisatawan yang bawel kayak saya. Hihihi. Saya pikir seusai menemani saya berkeliling Museum Batak, berakhirlah tugas Imelda. Begitu turun, hampir saja saya mengucapkan terima kasih banyak sebelum ia mengarahkan jalan saya menuju Museum Pribadi T.B. Silalahi. Wow, sekali lagi, saya ditemani oleh Imelda Limbong! Kurator yang sangat direkomendasikan!
Museum Batak sendiri terletak di lantai dua bangunan berbentuk trapesium ini. setelah menitipkan tas dan barang bawaan saya (gratis loh, dapat kunci pula!), saya diantar oleh Imelda Limbong ke lantai atas tempat museum berada. Asyiknya, saya boleh membawa kamera. Sayang sekali kalau masih ada museum-museum yang tidak memperbolehkan kamera dibawa ke dalam ruang eksibisinya. Museum Batak tentu merupakan perkecualian, kamera boleh dibawa ke dalam ruang eksibisi. Nah, sesampainya di lantai atas, saya pikir Imelda akan meninggalkan saya. Ternyata tidak! Ia dengan semangat dan penuh informasi menjelaskan tentang berbagai jenis benda pajangan yang ada di dalam museum. Tentu, sambil berjalan, ia juga bertanya akan asal usul saya, profesi saya, dan arah tujuan saya, mungkin maksudnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang saya. Untungnya, sekali lagi saya ucapkan, saya telah membaca sedikit banyak informasi tentang Suku Batak, jadi pertanyaan saya bukan pertanyaan-pertanyaan ecek-ecek dan sederhana lho. Hihihi. Imelda tampaknya memerlukan informasi berupa latar belakang saya sehingga ia bisa menentukan sejauh mana informasi tentang Etnis Batak dijabarkan namun jangan sampai membuat saya bingung dan tidak tertarik.
Memasuki ruang eksibisi sebelah kiri, anda akan diperlihatkan oleh sejumlah benda kebudayaan Batak mulai dari perhiasan, Ulos (ternyata Ulos memiliki sejumlah nama berbeda di setiap puak lho), senjata, peralatan upacara, alat rumah tangga, hingga ornamen rumah. Bahan-bahan penyusunnya pun bervariasi. Untuk perhiasan dan peralatan upacara, kebanyakan terbuat dari kuningan walau ada juga yang terbuat dari kayu seperti rumbi yang digunakan untuk menyimpan beras. Interaksi kebudayaan Batak dengan kebudayaan luar pun terlihat dari benda-benda eksibisi yang kebanyakan terbuat dari keramik dan berupa piring serta patung-patung yang sangat jelas berasal dari Daratan Tiongkok. Aspek lainnya yang dibahas adalah mata pencaharian penduduk Etnis Batak kala itu yang selain bertani juga menangkap ikan dan berburu hewan. Sejumlah sangkar binatang dan bubu yang terbuat dari anyaman bambu turut dipamerkan di tempat ini.
Agama besar yang ada di Tano Batak adalah Islam dan Kristen. Bagaimana Islam dan Kristen bisa menyebar dan masuk ke Tana Batak yang semula menganut Pelebegu pun dijelaskan dengan cukup baik disini. Kristenisasi dapat dikatakan sangat berhasil bagi penduduk Batak yang tinggal di pedalaman, bahkan hingga terbitnya alkitab yang diterjemahkan dalam Bahasa Batak. Sementara itu, pedagang-pedagang muslim memulai karya pengislaman Tano Batak dimulai dari wilayah Barus. Wilayah pesisir lainnya kebanyakan mengalami Islamisasi karena pengaruh kerajaan-kerajaan Islam yang cukup kuat di sekitar Sumatera Utara seperti Aceh di utara, Siak dan Melayu di timur dan tenggara, serta Minang di selatan.
Wah, saya berkeliling hanya setengah jam saja di dalam Museum Batak ini, namun informasi yang saya dapat luar biasa. Imelda bahkan menjelaskan akan Tarombo Batak berkaitan dengan urutan marga Limbong yang dimilikinya di dalam silsilah Siraja Batak. Wow! Imelda memang luar biasa, salah satu kurator yang sangat direkomendasikan dan cocok banget untuk menemani wisatawan yang bawel kayak saya. Hihihi. Saya pikir seusai menemani saya berkeliling Museum Batak, berakhirlah tugas Imelda. Begitu turun, hampir saja saya mengucapkan terima kasih banyak sebelum ia mengarahkan jalan saya menuju Museum Pribadi T.B. Silalahi. Wow, sekali lagi, saya ditemani oleh Imelda Limbong! Kurator yang sangat direkomendasikan!
Thursday, March 15, 2012
Kompleks T.B. Silalahi Center Di Tepi Balige
Pengelolaan yang modern dan dipegang oleh pihak swasta tampaknya merupakan kunci bahwa objek wisata museum bisa maju dan keren. T.B. Silalahi Center buktinya. Untuk kompleks wisata sekelas ini, saya rela deh bayar agak mahalan. Kebetulan, tiket masuk untuk orang dewasa adalah Rp. 10.000. Harga ini menurut saya sangat wajar untuk kelas museum yang sangat bagus, rapih, dan modern ini. Untuk anak-anak, tiket masuknya adalah Rp. 5.000. Seperti umumnya tempat wisata di Indonesia, wajah-wajah turis asing akan dikenakan tiket masuk lebih mahal daripada orang lokal yakni Rp. 50.000. Nah, buat orang lokal yang wajahnya ke-Korea-Koreaan, sebaiknya stop bertingkah dan berbicara Bahasa Korea kalau nggak mau dikenakan tiket masuk Rp. 50.000. Hihihi.
Dari awal masuk saja, kesan modern dan keren sudah terpancar dari tempat ini. Saya nggak mau melebih-lebihkan sich, namun pintu masuknya saja menggunakan pintu ulir yang akan berputar apabila turis masuk. Suatu kesan yang sangat baik, saya rasa. Begitu masuk, anda akan dihadapkan pada halaman utama kompleks T.B. Silalahi Center yang memajang tank-tank tempur (karena Bapak T.B. Silalahi memang orang Angkatan Darat). Objek foto yang menarik tentunya buat anda yang narsis. Kapan lagi coba bisa berfoto bersama tank tempur? Wow! Namun, fotonya jangan terlalu eksis dan heboh sampai menaiki tank tempur tersebut yach. Ada larangan agar pengunjung tidak menaiki tank tersebut agar tidak merusak benda pajangan tersebut (atau juga mengaktifkan tombol picu meriamnya. Hihihi. Seram).
Di belakang koleksi tank terdapat Museum Pribadi Bapak T.B. Silalahi. Di tempat ini ada seorang petugas yang mencoba mengarahkan pengunjung untuk memasuki Museum Batak terlebih dahulu, entah mengapa. Tidak terlalu jauh dari deretan tank tempur, ada patung seorang anak membaca buku sambil menaiki kerbau bertanduk jatuh. Konon, ini adalah gambaran Bapak T.B. Silalahi di kala kecil. Tanduk jatuh sang kerbau pun persis seperti yang diingat oleh beliau. Nah, persis di belakang patung tersebut ada toko suvenir dan makanan ringan. Di belakang toko suvenir tersebut, terdapatlah sebuah bangunan modern dengan bentuk trapesium terbalik yang merupakan gedung pertemuan dengan Museum Batak di bawahnya. Desain bangunannya sungguh kontemporer dan modern. Bahkan, ada LCD raksasa di salah satu sudut gedung pertemuan ini yang bisa menginformasikan acara kegiatan yang berlangsung. Rp. 10.000 sich bener-bener murah loch.
Tidak jauh dari gedung pertemuan dan Museum Batak, ada replika besar Siraja Batak, kakek buyutnya Orang Batak terutama dalam hal penurunan marga. Banyak hal yang bisa kita ketahui juga seputar Suku Batak di lapangan ini. Selain Siraja Batak, ada 6 puak Batak yang teremboss di bagian fondasi sekitar gedung pertemuan. 6 puak tersebut adalah Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak, dan Angkola. Walaupun sejatinya terjadi perbedaan di antara masing-masing puak Batak, namun T.B. Silalahi Center ini nampaknya berupaya untuk mempersatukan 6 puak Batak dengan nama umum : Batak. Walaupun sich, setelah saya berkunjung ke rumah adat, ke kampung Batak, hingga membaca hampir seluruh papan informasi tentang Suku Batak yang ada, saya berpendapat bahwa informasi yang ditulis di seluruh kompleks ini lebih menjurus pada Suku Batak Toba yang penyebarannya memang di wilayah Tapanuli Utara hingga seputaran Toba. Namun untuk keakuratan dan kelengkapan informasi, museum ini sudah sangat mewakili dan bisa menjadi sumber informasi yang sangat layak dipercaya bagi anda penikmat kebudayaan Batak maupun para peneliti. Sungguh, saya kagum dengan museum ini. Terletak 6-7 jam perjalanan dari Kota Medan, niat Bapak T.B. Silalahi sungguh mulia untuk mendirikan museum ini di Kota Balige sebagai sumber pembelajaran masyarakat akan kebudayaannya sendiri. Tepuk tangan yang meriah!
Untuk menuju ke Kompleks T.B. Silalahi Center, cukup lanjutkan 100 meter perjalanan anda dari Makam Raja Sisingamangaraja XII ke arah tepi Danau Toba, melewati sejumlah rumah dan ladang jagung yang sudah menguning. Cantik sekali. Tidak perlu ragu, bangunan trapesium terbalik tersebut sudah akan terlihat di kejauhan, atau bahkan di tepi danau bagi anda yang menggunakan perahu. Sayang, entah apakah karena saya datang pada hari libur, atau ada sebab lain, namun kunjungan ke tempat ini tidak terlalu ramai. Bahkan, pengunjungnya pun bisa dihitung menggunakan jari. Padahal, berwisata di museum, apalagi yang sekeren ini bisa menjadi kesenangan tersendiri lho. Nggak usah jauh-jauh deh, buat teman-teman yang berada di Samosir, Medan, atau Tarutung, sudah pernahkah anda mengunjungi T.B. Silalahi Center?
Wednesday, March 14, 2012
Makam Raja Sisingamangaraja XII Di Soposurung, Pagar Batu Silalahi, Balige
Untungnya, ini tidak terjadi pada salah seorang tokoh nasional, pahlawan Bangsa Indonesia yang akan saya kunjungi di Tanah Sumatera Utara ini. Tokoh tersebut adalah Raja Sisingamangaraja XII. Entah mengapa, mendengar nama Balige, Ibukota Kabupaten Toba Samosir sudah terasosiasi dengan baik dengan makam Sisingamangaraja XII di benak saya. Nah, makamnya ini terletak di Desa Pagar Batu, tidak terlalu jauh dari pintu masuk Kota Balige, searah dengan T.B. Silalahi Center, sekitar 200 meter berjalan kaki ke dalam. Jangan kuatir, petunjuk jalan cukup jelas dan kanan kiri adalah bangunan rumah. Tidak jauh dari gerbang “Objek Wisata Pagar Batu”, setelah melewati ladang jagung dan sejumlah jagung yang dijemur, ada satu areal yang berpagar rapih dan bertuliskan “Makam Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII Soposurung Balige”. Yak, anda sudah sampai!
Di sudut areal makam, ada Ruma Bolon besar yang sayangnya, setelah saya hampiri, ternyata terkunci. Diresmikan jauh setelah makam Raja Sisingamangaraja XII, gedung perpustakaan ini tampaknya tidak dijaga. Saya sedikit mengintip ke dala dan tampaklah bahwa tidak banyak yang bisa dilihat dari ruma ini. Toh, bangunannya terkunci pula. Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono dan Surya Dharma Paloh pernah berkunjung ke kompleks makam ini. Hal ini terbukti dengan hadirnya masing-masing tanda tangan mereka dalam marmer prasasti yang berbeda. Selain kehadiran dua marmer pualam ini, tidak terlihat lagi adanya papan ataupun petunjuk informasi lainnya di areal ini. Sayang sekali.
Kunjungan singkat saya di kompleks Makam Raja Sisingamangaraja akhirnya diselesaikan karena saya harus mengejar waktu sebelum berangkat ke Sibolga. Pada saat saya keluar sekalipun, beberapa orang yang terletak di warung sama sekali tidak menyadari keberadaan saya. Mereka masih saja terus asyik mengobrol sambil ngopi dan bermain catur. Seorang petani dengan kerbaunya pun tampak melenggang santai di pinggir areal makam ini. Hehehe. Dengan demikian, saya bisa menyimpulkan bahwa kunjungan ke Makam Raja Sisingamangaraj XII ini adalah gratis!
Thursday, March 08, 2012
Menuju Jantung Toba Samosir
Saya menunggu di tepi jalan untuk mendapatkan angkutan menuju Balige. Angkutan yang tadinya banyak sekarang tiba-tiba menghilang entah kemana. Huft. Akhirnya datang satu angkutan yang sangat penuh dan saya dipaksa untuk masuk ke bagian dalam tanpa saya memiliki kesempatan untuk melepaskan tas ransel yang saya kenakan. Saya bingung, sebaiknya saya menunggu yang berikutnya atau ngga, soalnya angkot model begini nih yang biasanya bikin saya mabuk karena kurangnya pasokan udara di bagian dalam. Namun sang supir berkeras agar saya ikut angkutannya dan saya tidak bisa menolak. Haduh. Agak ngeri juga sih kalau saya terlalu buang-buang waktu di jalan nungguin angkutan yang nggak jelas, sementara pada sore hari saya sudah harus wajib kudu musti sampai di Sibolga. Akhirnya, saya masuk ke dalam angkot dan tidak bisa menggerakkan tubuh saya lantaran penuh dan barang bawaan saya dimana-mana. Selama satu jam kurang lebih saya duduk di bagian belakang kendaraan, terhimpit, tidak bisa bergerak, agak mual, dan tidak bisa melihat pemandangan di jalanan. Kacau. Jangankan mengeluarkan kamera untuk berfoto-foto, posisi duduk saya saja tidak bisa bergeser saking penuhnya itu angkot.