Saturday, April 07, 2012

Perubahan Makassar Ke Arah Yang Lebih Baik


Sangat menyenangkan bisa kembali ke Makassar. Terus terang, Makassar adalah kota yang berubah paling banyak hanya dalam beberapa tahun berselang. Kunjungan pertama saya ke kota ini adalah tahun 2007. Dua tahun berselang, tepatnya tahun 2009, wah terus terang saya sudah nggak bisa mengenali lagi kota ini. Kota Makassar benar-benar berubah sangat banyak. Nampaknya, pemerintah Kota Makassar dan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan benar-benar serius berbenah dan ingin menjadikan Makassar sebagai destinasi wisata yang patut diperhitungkan di Indonesia dan sekaligus gerbang menuju Indonesia Timur.
Suasana runway Bandara Hasanuddin tahun 2007
Suasana malam, tampak bagian depan bandara Hasanuddin yang megah tahun 2010
Saya masih ingat sekali akan kunjungan pertama saya ke Makassar. Bandara Sultan Hasanuddin yang dimiliki Makassar sama sekali tidak menimbulkan kesan apapun buat saya. Saya hanya bertanya-tanya dalam hati saja sich, koq bisa Kota sekelas Makassar namun bandaranya sekecil ini? Belasan porter menyerbu saya, berlomba-lomba mencoba ‘membantu’ kami mengambil bagasi dan membawakannya. Jujur, saya merasa apa yang mereka lakukan agak bersifat memaksa sich. Nah, perubahan drastis terjadi pada tahun 2009 dimana Bandara Hasanuddin ini memiliki bentuk baru yang luar biasa unik, luas dan buat saya, sangat bagus untuk dijadikan lokasi berfoto ria. Hohoho. Bagian paling mengesankan buat saya adalah atap lengkung yang bergaya art deco dengan warna-warni hitam-putih dan oranye-putih. Saya langsung bertanya-tanya dalam hati, “kemanakah Bandara Sultan Hasanuddin yang dahulu itu?”. Eksterior bandara dari depan, terlebih di saat malam hari juga sangat mengesankan buat saya. Indah sekali apalagi dengan deretan lampu-lampu yang menyala begitu gemerlapnya. Satu hal terakhir yang tidak boleh terlupa untuk disebutkan tentunya adalah miniatur Kapal Phinisi yang berada di tengah-tengah selasar kedatangan maupun keberangkatan. Kapal Phinisi ini sekaligus menjadi sebuah ikon Sulawesi Selatan dengan pelaut Bugisnya yang gagah berani mengarungi lautan. Tak ayal, lokasi Kapal Phinisi ini pun rutin menerima kunjungan pengunjung yang sekedar ingin melihat-lihat ataupun ingin berfoto.
Jalan Tol dengan "aksen tanah" ruas Biringkanaya - Makassar tahun 2007
Kembali lagi ke tahun 2007, saya teringat kembali ketika melalui Jalan Tol Biringkanaya yang berada di depan bandara guna menuju jantung Kota Makassar. Yang saya ingat, jarak antara bandara dengan kota cukup jauh, sehingga saya sangat mengingat apa yang saya lihat sepanjang perjalanan menuju kota. Bayangan umum akan suatu jalan tol adalah jalan layang atau jalan khusus yang berbayar, tentu dengan kondisi aspal mulus dan lengang sehingga kendaraan bisa memacu kecepatan dengan optimal. Namun, saya baru kali pertama melihat jalan tol yang unik dan tentunya tiada duanya, hanya di Makassar. Jalan tol ini tidak ubahnya sebuah jalan tanah dengan kondisi yang tidak memungkinkan kendaraan untuk dipacu dengan kencang. Sepanjang perjalanan, kendaraan bergerak perlahan melintasi jalan tanah dengan gundukan disana-sini sembari berjuang untuk menghindari bagian yang tidak terlalu rata. Hahaha. Seru! Nah, keseruan tersebut belum berhenti sampai disitu saja. Jalan tol ini ternyata terhubung dengan sejumlah bangunan di sepanjang jalan tol yang saya duga adalah sebuah pabrik. Jadi, Jalan Tol ruas Biringkanaya – Makassar terhubung dengan jalan masuk bangunan-bangunan yang saya duga adalah pabrik yang tersebar di sepanjang jalan tol ini. Sejumlah rumah apung dengan arsitektur panggung pun tampak di tepi jalan tol yang berbatasan dengan perairan (saya jadi bertanya sendiri, “apakah kita berada di tepi laut?”) lengkap dengan perahu-perahu kecilnya. Seakan kejutan belum cukup, sambil melaju di jalan tol tersebut, kendaraan yang saya lalui beberapa kali berhadapan atau bersisian dengan pete-pete (angkutan kota Makassar) yang beberapa kali menaikkan maupun menurunkan penumpang. Hehehe. Jalan tol ini tidak ubahnya bagaikan jalan raya umum. Kejutan terakhir adalah ketika saya menjumpai beberapa ekor sapi yang hendak menyebrang jalan di jalan tol! Kendaraan yang saya tumpangi terpaksa harus mengalah demi memberikan jalan pada sapi-sapi tersebut yang ternyata menyebrang dengan santai. Hehehehe. Sungguh, ini suatu pengalaman unik yang saya kira belum tentu akan saya dapatkan lagi di manapun, maupun di masa yang akan datang. Melengkapi semua keunikan tersebut, jalan tol ini tetap memungut biaya retribusi bagi setiap kendaraan yang akan melintas! Melihat kondisi jalan tol ruas Biringkanaya – Makassar pada tahun 2009, saya tentu akan berkata, “ya, saya tidak akan bisa menjumpai jalan tol unik itu lagi”. Jalan tol yang unik dan berjalan tanah tersebut telah berubah menjadi jalan tol yang seperti biasa kita kenal. Selamat tinggal saya ucapkan pada jalan masuk pabrik yang bersatu dengan jalan tol, serta para sapi-sapi tersebut. Hmm...tiba-tiba saya terpikir, dimanakah mereka harus menyebrang sekarang? Hihihi.
Lapangan Karebosi tahun 2007
Lapangan Karebosi tahun 2009, lengkap dengan Karebosi Link di bawah tanah
Pantai Akkarena, Tanjung Bunga tahun 2007
Wajah Makassar pun jauh berubah dibanding dua tahun lalu. Sungguh, dua tahun bukanlah waktu yang lama, namun juga bukan waktu yang singkat karena dalam sekejab, wajah Makassar begitu berubah drastis. Perubahan yang paling saya ingat terjadi di pusat kota adalah yang terjadi pada Lapangan Bola Karebosi. Kalau dahulu, lapangan ini tidak terlalu mencolok mata karena mata biasanya hanya tertuju pada dua buah patung yang sedang bermain bola, satu dengan kostum olahraga dan satunya lagi dengan kostum ala lelaki Makassar. Lapangan bola ini, pun maaf-maaf saja, tidak menarik untuk dilihat karena hampir kosong. Bandingkan dengan tahun 2009 dimana Lapangan Karebosi telah direvitalisasi sedemikian rupa sehingga tribun untuk penonton telah ditata dengan sangat baik dan rapih. Penambahan drastis dari Lapangan Karebosi tentunya adalah Karebosi Link, yakni mall bawah tanah yang berada di bawah Lapangan Karebosi. Wow! Mungkin ini adalah satu-satunya mall bawah tanah di Indonesia kali yach? Kawasan Tanjung Bunga yang sekarang dikenal memiliki Celebes Convention Center dan Trans Studio pertama di Indonesia memang sangat menarik minat para pelancong dari seluruh Indonesia untuk bertandang ke Makassar. Namun dahulu, pada tahun 2007, wilayah ini masih sangat kosong dan saya hanya ingat Pantai Akkarena sajalah yang menjadi pemanis kawasan ini. Cukup menggembirakan dan membanggakan yach perkembangan Kota Makassar dalam kurun waktu yang cukup singkat ini. Dalam sekejab, Makassar mampu menarik pelancong dari berbagai tempat di Indonesia. Dalam skala kecil dan pendek, para pelancong tersebut mungkin terpikat akan Trans Studio yang pertama kali dibuka di Makassar. Namun, dalam skala lebih besar dan lebih panjang, para pelancong tersebut akan menikmati kuliner khas Makassar dan Sulawesi Selatan, kemudian berkunjung ke Bantimurung, Malino, Tanjung Bira, Danau Tempe, hingga Tana Toraja! Upaya pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan tampaknya sudah sangat berhasil dalam rangka memajukan Makassar dan Sulawesi Selatan sebagai tujuan wisata yang seksi di mata pelancong, baik lokal maupun internasional! Kita tunggu saja ada kejutan apalagi yang akan dibuat oleh pemerintah daerah Sulawesi Selatan yang pastinya akan semakin menarik minat para pelancong! Ya, saya menunggu!

Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Blog Promosi Wisata Sulawesi Selatan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan CV.Mandasini Putra Utama. Kegiatan ini juga menggandeng Komunitas Blogger Makassar Anging Mammiri dan KoshMediaTama sebagai partner.

Tiada Pengalaman Dan Rasa Yang Sama Di Sulawesi Selatan


Beberapa kali berkunjung ke Sulawesi Selatan, ternyata saya ingin kembali datang, lagi, lagi dan lagi. Inilah keunikan Sulawesi Selatan, hampir setiap kota dan kabupatennya, memiliki destinasi wisata unggulan yang unik dan wajib sekali dikunjungi. Sehingga, setaip kali anda berkunjung ke Sulawesi Selatan, anda tidak akan pernah mendapatkan rasa Sulawesi Selatan yang sama, selalu ada rasa yang berbeda. Kali ini, saya ingin berkunjung ke Sulawesi Selatan bagian tengah, negerinya Orang Bugis.
Walaupun menjadi primadona destinasi wisata di Indonesia dengan segala keunikan budaya dan alamnya, namun saya menjumpai bahwa banyak masyarakat di Sulawesi Selatan masih merasa asing akan kehadiran turis. Saya mengalami hal ini sendiri dalam suatu kijang –kendaraan antar kota dan kabupaten, bukan bus atau pete-pete- yang membawa saya dari Maros menuju Watansoppeng. Terus terang, jalanannya sich parah, terlebih selepas bukit-bukit di Camba sebelum tiba di Kabupaten Bone. Namun, justru disinilah saya bisa merasa dekat kepada setiap penumpang yang ada di dalam kijang tersebut. Pemandangan yang luar biasa indah di Camba begitu saya nikmati hingga lama kelamaan, saya akhirnya mabuk karena pengapnya udara di dalam kijang dan ditambah kondisi jalan yang buruk. Wah, saya terharu karena mereka membantu saya dalam melewati masa-masa mabuk ini. Satu hal yang saya sadari, mereka bertanya apa profesi saya dan apa yang saya lakukan di sana. Ketika saya jawab bahwa saya sedang berjalan-jalan dan berniat untuk melihat kelelawar di Watansoppeng, mereka terlihat bertanya-tanya dan menampilkan mimik agak terheran dengan jawaban saya. Ya, mereka masih menganggap bahwa konsep turis yang berjejalan ria di kendaraan antar kabupaten adalah sesuatu yang asing. Turis itu harusnya pergi beramai-ramai dan naik kendaraan carteran, begitu kata mereka. Namun, saya terharu akan kebaikan mereka seusai membantu saya melewati masa mabuk darat. Mereka dengan gencar dan senang hati mempromosikan destinasi wisata menarik yang ada di kabupaten mereka, termasuk misalnya pemandian air panas Lejja dan pemandian air dingin Ompo. Nggak tua, nggak muda, nggak laki-laki, nggak perempuan, semuanya berlomba mempromosikan titik-titik pariwisata di seputaran Bone dan Soppeng. Begitu memasuki wilayah Soppeng pun, mereka dengan celoteh riangnya memberitahukan bahwa saya sudah tiba di Kabupaten Soppeng. Kebaikan mereka yang terakhir ialah memberitahukan saya arah jalan untuk menikmati kelelawar yang saya cari-cari ketika saya turun di Terminal Soppeng. Sungguh, kami memang saudara, se-Bangsa Indonesia.
Memang sich, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang dan Pinrang tampaknya terletak di luar jalur wisata utama Sulawesi Selatan. Namun demikian, masing-masing kabupaten yang saya katakan tadi tetap memiliki pesonanya masing-masing dan layak dikunjungi turis. Pada saat saya menyambangi tempat ini, ternyata keberadaan turis asing, bahkan toko kelontong yang buka hingga 24 jam sudah lumrah. Terlihat sekali kesiapan sejumlah kabupaten ini dalam menerima wisatawan, baik lokal maupun asing. Uniknya, masyarakat lokal masih dengan kepolosan dan lugunya selalu minta difoto apabila saya berjalan mengelilingi kota atau daerah dengan membawa kamera. Satu hal yang paling saya ingat adalah perkataan mereka, “shooting, shooting!”. Loch? Padahal saya hanya membawa kamera saku biasa, bukan kamera video besar untuk keperluan shooting loch. Namun mereka tetap dengan antusiasnya meminta saya untuk memfoto mereka.
Peristiwa lebih menarik lagi saya dapatkan di jalan setapak yang menuju ke jantung Danau Tempe. Di jalan setapak yang konon selalu banjir setiap tahun akibat luapan air Danau Tempe ini, rumah-rumahnya dibuat dengan gaya panggung dan sebuah ketinting atau perahu khas Danau Tempe berada di bawahnya. Syukurlah, pada saat kunjungan saya, Danau Tempe sedang tidak meluap sehingga becak yang saya tumpangi bisa masuk jauh ke dalam pedalaman dusun yang berada di tepi Danau Tempe. Disini, anak-anak menyambut saya dengan semangat dan memanggil-manggil “Hello Mister” berulang-ulang padahal jelas-jelas saya bukan mister! Sesampainya saya di tepi setapak, saya dikerubungi oleh anak-anak yang ingin difoto. Ibu maupun ayah mereka umumnya berada di teras rumah panggung dan tersenyum saja melihat ulah dan keceriaan anak-anak kecil tersebut. Walau masih sangat polos dan lugu, namun saya takjub juga melihat beberapa diantara mereka telah mampu mendayung ketinting untuk berlayar menuju ke tengah danau. Walaupun memang masih dinahkodai oleh pemuda yang lebih besar, namun anak-anak tersebut sudah mampu untuk membantu, entah mungkin, kakaknya dalam menavigasi arah dari perahu tersebut. Nah, walaupun Danau Tempe sebaiknya dikunjungi pada pagi hari untuk pengamatan burung-burung air, namun pemandangan pada senja hari ternyata luar biasa indahnya. Rona lembayung memenuhi langit yang semakin lama semakin temaram. Uniknya, justru di saat langit semakin temaram tersebut, saya justru menjumpai sejumlah perahu yang baru mulai berlayar menuju jantung danau. Aktifitas nelayan pada senja hari pun dimulai dan berakhir pada dini hari nanti. Tidak ada waktu kunjungan yang pas di Danau Tempe ini. Semua waktu kunjungan adalah pas, dan anda tidak akan pernah menjumpai rasa yang sama sekali lagi, sama halnya ketika anda berkunjung ke Sulawesi Selatan. Tidak ada rasa Sulawesi Selatan yang sama yang akan anda dapatkan walaupun anda berkunjung untuk kali kedua, ketiga, atau seterusnya. Sungguh, keramahan penduduk, keindahan alam serta keunikan budaya telah membuat saya jatuh cinta kepada Sulawesi Selatan, sedalam-dalamnya. Bagi teman-teman yang belum pernah mencicipi jalur tengah ini, cobalah! Dan bersiap akan jatuh cinta karenanya!

Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Blog Promosi Wisata Sulawesi Selatan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan CV.Mandasini Putra Utama. Kegiatan ini juga menggandeng Komunitas Blogger Makassar Anging Mammiri dan KoshMediaTama sebagai partner.

Pantai Seksi A La Tanjung Bira


Saya teringat akan perjalanan saya mencari Tanjung Bira sekian tahun yang lampau. Saya sich senang dan terpesona akan pantai berpasir putihnya yang mirip sekali dengan tepung tersebut. Saya belum pernah melihat dan mencicipi pantai sejenis di tempat lain di Indonesia. Kondisi pantai pun masih sangat bagus, kalau saya katakan. Indikatornya adalah banyaknya hewan laut yang masih dengan mudahnya ditemui di penjuru pantai. Aneka jenis kerang, bintang laut, bulu babi, serta hewan-hewan ajaib yang jarang saya lihat bertebaran dengan mudahnya di penjuru pantai. Ditambah dengan minimnya sampah, pantai ini benar-benar sangat layak untuk dijadikan destinasi wisata utama, bukan hanya wisata lokal yang menarik masyarakat Makassar atau Watampone saja,namun seluruh penduduk Indonesia, bahkan warga dunia!Kondisi pantai yang demikian inilah yang membuat saya menganugerahkan julukan "Pantai Seksi" untuk si Tanjung Bira, yang bernama asli Pantai Paloppalakaya ini.
Namun, perjalanan menuju Tanjung Bira bukanlah perjalanan yang mudah untuk dilakukan. Dengan jarak tempuh sekitar 5 jam perjalanan apabila normal, perjalanan ini masih bisa dibilang ringan. Yang memberatkan sebenarnya adalah tidak tersedianya angkutan publik yang cukup murah dan hadir setiap saat untuk melayani masyarakat yang hendak berkunjung kesana. Angkutan umum yang paling bisa diandalkan ialah “kijang” yang melayani rute Terminal Mellengkeri – Bulukumba. Namun, karena keterbatasan tempat duduk, maka seringkali kijang-kijang ini harus menunggu penuh terlebih dahulu baru memutuskan untuk berjalan. Parahnya, apabila menjumpai penumpang di tengah perjalanan antara Mellengkeri – Bulukumba, mereka memaksakan mengangkut sehingga saya pernah berada di dalam mobil kijang dengan isi 12 orang termasuk supir. Rasanya? Saya hanya ingat bahwa saya berpegangan sangat erat ke pegangan di atas pintu karena apabila pintu terbuka, saya akan langsung tumpah ke jalanan. Sungguh perjalanan yang mengesankan!
Kebanyakan kijang pun hanya berhenti sampai di Bulukumba saja sebab penumpang kijang-kijang ini rata-rata merupakan warga setempat, bukan wisatawan. Alhasil, apabila tidak ada sama sekali penumpang yang akan menuju Tanjung Bira, anda akan diturunkan di Bulukumba dan harus mencari kijang lain yang kebetulan akan menuju kesana atau menggunakan pete-pete setempat yang melayani rute Bulukumba – Tanjung Bira. Sialnya saya, saya tidak menemukan pete-pete jurusan Tanjung Bira sedangkan hari sudah mulai sore. Mengingat angkutan umum yang pasti menghilang selepas petang, maka saya tidak mau berspekulasi terlalu lama. Saya nekad menaiki angkutan Bulukumba – Tanaberru dan kemudian melanjutkan lagi dengan angkutan Tanaberru – Tanjung Bira. Untunglah, berkat peta dan Tanya sana-sini, saya jadi tahu bahwa Tanaberru atau Bontobahari adalah satu titik di tengah-tengah perlintasan Bulukumba – Tanjung Bira. Alhasil, saya tiba di Tanjung Bira sore sekali. Saya menghabiskan waktu satu hari penuh untuk mencapai Tanjung Bira dari Makassar. Wow!
Agar perjalanan tidak membosankan, sebaiknya angkutan wisata yang nantinya akan melayani jalur Makassar – Tanjung Bira disinergikan dengan beberapa kabupaten yang dilintasi jalur tersebut. Sederhana saja, Kabupaten Gowa bisa menyumbangkan Malino, Jeneponto bisa menyumbangkan padang savana, ladang garam dan warung Coto Kuda, Takalar dengan wisata balap mobil di jalanan tanahnya, sementara Bantaeng bisa menyumbangkan wisata di lereng Lompobattang, serta Bulukumba bisa menyumbang wisata sawah dan tentu saja pembuatan Perahu Phinisi di Tanaberru serta mendaki bukit Pua Janggo. Dari Bulukumba, perjalanan pun bisa dikembangkan hingga pemukiman Suku Kajang di Bulukumba, Rumah adat Karampuang di Sinjai dan berakhir di Watampone. Sebagai turis yang melakukan perjalanan seorang diri dan mengikuti jalur transportasi reguler, agak sulit untuk berhenti di sejumlah titik ini, tentu dengan alasan utamanya berupa ketidaktersediaan angkutan yang akan menjemput di kala selesai berwisata nanti. Merepotkan bukan? Padahal, objek wisata yang berada di tengah-tengah perlintasan Mellengkeri – Bulukumba bukanlah objek wisata kacangan. Objek-objek ini merupakan objek wajib kunjung yang sekaligus sebagai penanda betapa beragam dan indahnya Sulawesi Selatan.
Walaupun Tanjung Bira cukup menyenangkan, terutama dengan pantai yang bersih dan tenang serta karakteristik pasir yang tidak bisa ditemui di mana pun, namun kesiapannya sebagai tempat wisata internasional masih jauh panggang dari api. Hal paling mendasar saja yakni penginapan dan makanan. Mencari penginapan di Tanjung Bira susah-susah gampang. Susah dicari karena rata-rata penginapan disana tidak menyertakan nomor kontak, hanya nomor ponsel pemilik atau penjaga yang selang beberapa tahun tidak bisa dipastikan lagi aktif atau tidaknya. Memang sich, sesampainya disana, kita akan menjumpai bahwa penginapan-penginapan tersebut masih banyak memiliki kamar yang kosong dan siap untuk ditempati, namun alangkah lebih baiknya apabila kepastian kamar sudah terjamin sebelum wisatawan mencapai tempat tersebut. Iya donk, agak ngeri juga khan kalau nekat berkunjung tapi tidak memiliki kepastian tempat untuk bermalam. Masak iya mau bermalam di tepi pantai?
Pekerjaan rumah yang mendasar berikutnya bagi Kabupaten Bulukumba adalah soal makanan. Makanan yang tersedia disana sangat sederhana dan kurang bervariasi. Hendaknya perlu memiliki sejumlah rumah makan yang bercita rasa, unik, enak, dan kalau bisa memiliki ciri khas dari wilayah Tanjung Bira atau Bulukumba. Nggak lain, ini bertujuan untuk menahan lebih lama wisatawan berada tempat ini. Walaupun wisatawan asing sudah berhasil dan memadati tempat ini, namun persoalan yang sangat mendasar ini tidak bisa memaksa turis bertahan cukup lama di wilayah ini. Bagi saya sendiri, tinggal satu malam saja di Tanjung Bira sudah lebih dari cukup. Apabila saya memiliki pilihan untuk tidak bermalam di Tanjung Bira, mungkin saya akan melakukannya dan melakukan perjalanan Makassar – Tanjung Bira – Makassar dalam satu hari. Badan capai tidak masalah karena Tanjung Bira tidak memiliki fasilitas untuk mengikat turis lebih lama disana. Pembangunan kawasan yang bersinergi dengan segala pemangku kepentingan dan pelaku bisnis bukan saja menjadikan Tanjung Bira menjadikan magnet yang kuat dalam menarik wisatawan, namun juga penting untuk mengisi pundi-pundi perekonomian. Saat ini, saya hanya datang untuk menikmati pasir putih dan bersihnya air laut di Tanjung Bira. Di masa yang akan datang, bukan tidak mungkin saya menikmati titik-titik wisata dalam perjalanan menuju Tanjung Bira, melakukan berbagai aktifitas di pantainya yang bersih dan cantik, menikmati sajian musik dan suasana malam di Tanjung Bira (ada pilihan pantai yang hingar binger dan ada pantai yang sunyi yang memang dikhususkan bagi mereka yang ingin ketenangan), menikmati makanan khas Tanjung Bira dan Bulukumba, serta kesenian khas, tari-tarian dari wilayah Bulukumba. Terdengar sangat menyenangkan, bukan? Nah, buat anda yang belum sempat mencicipi Tanjung Bira, sempatkanlah waktu untuk menginjakkan kaki di pantai ini, setidaknya sekali seumur hidup. Perjalanan panjang dan kesabaran yang anda tabur akan menerima tuaiannya saat anda tiba di Tanjung Bira. Yuk, Ke Tanjung Bira, Sulawesi Selatan!

Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Blog Promosi Wisata Sulawesi Selatan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan CV.Mandasini Putra Utama. Kegiatan ini juga menggandeng Komunitas Blogger Makassar Anging Mammiri dan KoshMediaTama sebagai partner.

Tidak Ada Alasan Untuk Tidak Mencintai Tana Toraja


Buat saya, Tana Toraja adalah salah satu tempat paling eksotis di Indonesia, bahkan mungkin di muka bumi ini. Alasannya kenapa? Coba anda bayangkan ini dalam kepala anda : kendaraan yang anda tumpangi bergerak perlahan pada pagi hari, melintasi pegunungan berhawa dingin sambil menembus kabut tebal. Perlahan, ketika kabut tersebut mulai tersibak, tampaklah sawah-sawah yang hijau dan gunung yang biru. Masyarakat Tana Toraja pagi itu mulai menampilkan geliat aktifitasnya dalam balutan sarung Toraja guna menahan hawa dingin. Ketika kabut lebih tersibak lagi, muncullah gereja-gereja, dan rumah adat Bangsa Toraja yang menawan : Tongkonan dan Alang, bangunan dari bambu dengan atap lengkungnya yang khas. Seluruh pemandangan tersebut berpadu dengan Sungai Sa’dan yang mengalir cantik, sawah yang hijau, gunung yang biru, dan Tedong (kerbau) merumput. Ah, adakah alasan lain untuk tidak mencintai Tana Toraja?
Bangsa Toraja terkenal karena masih memelihata kebudayaannya yang unik hingga saat ini. Berkat kekhasan budaya mereka, hingga saat ini, Tana Toraja masih menjadi lokasi yang sangat menarik bagi para wisatawan untuk datang berkunjung. Tana Toraja masih menawarkan upacara adat yang menawan, kain tenun adat yang indah coraknya, tari-tarian yang menarik, hingga kopi yang lezat! Keunikan budaya Tana Toraja belum ditemukan di tempat lain di dunia ini. Keunikan budaya Toraja hanya ada di Tana Toraja saja. Kemiripan budaya hanya terjadi di Mamasa, Sulawesi Barat dan Kulawi, Sulawesi Tengah. Sayangnya, akses menuju Tana Toraja tergolong masih sulit karena melibatkan perjalanan panjang dengan kendaraan darat, atau transportasi udara yang jarang jumlahnya dan mudah dibatalkan karena jarangnya penumpang atau faktor cuaca. Faktor inilah yang tampaknya membuat mundur sejumlah turis yang kurang memiliki mental petualang dalam dirinya. Bagi turis yang tidak tahan dengan perjalanan panjang atau penerbangan yang tidak bisa diandalkan, plus tidak terlalu tertarik akan kebudayaan unik, Tana Toraja pastilah tidak masuk dalam daftar kunjungan wisata mereka. Untungnya, masih banyak turis yang masih semangat untuk melakukan perjalanan panjang demi melihat eksotismenya Tana Toraja. Untungnya pula, berkat terkenalnya Tana Toraja sejak lama, usia pengembangan pariwisata di tempat ini hampir bisa disejajarkan dengan Bali. Akses menuju Tana Toraja, jumlah penginapan, dan pengelolaan objek wisata sudah tertata dengan baik. Apakah anda berpikir soal bus reyot yang akan menemani anda dalam perjalanan 10 jam menuju jantung Tana Toraja? Kayaknya anda salah. Bus yang akan membawa anda dari Makassar, salah satu pintu masuk Tana Toraja bervariasi. Bus yang tersedia mulai dari bus ekonomi, bus eksekutif, hingga bus kelas VIP dengan jarak antar kursi yang luar biasa lega dan kursi super nyaman. Harga tiket perjalanannya pun cukup terjangkau. Apabila anda memiliki anggaran yang ketat, opsi berupa bus ekonomi bisa menjadi pilihan yang menarik. Untuk mereka yang tidak mau terikat dengan waktu, carter kendaraan pun bisa dilakukan. Soal penginapan pun tidak menjadi soal, karena penginapan sederhana hingga hotel berbintang lima siap melayani turis dengan berbagai kebutuhan di Tana Toraja. Anda tinggal pilih yang sesuai dengan anggaran dan kenikmatan. Mudah bukan?
Sayangnya, Tana Toraja belum memiliki transportasi publik yang mampu melayani turis selama berwisata disana. Angkutan umum yang tersedia hanya melayani jalur-jalur tertentu dan jumlahnya menurun selepas siang. Maka dari pada itu, usahakan agar tidak terjebak malam ketika sedang asyik berkunjung ke salah satu objek wisata kalau tidak memiliki kendaraan pribadi atau sewaan. Kalau nggak bisa pulang kan repot juga. Nah, opsi bagi yang merasa tidak nyaman dengan angkutan umum yang seadanya ialah sewa kendaraan. Karena sejak lama berstatus sebagai destinasi wisata unggulan, perkembangan sarana penunjang pariwisata pun tumbuh subur, salah satunya adalah bisnis kendaraan sewaan. Anda bisa memilih dengan bebas baik sepeda motor atau mobil tergantung jumlah peserta dan anggaran.
Kalau memulai kunjungan di Tana Toraja, saya sarankan sich sepagi mungkin anda sudah mulai bergerak. Alasannya sich cukup jelas, karena objek wisata di Tana Toraja rata-rata berupa makam, saya yakin anda nggak mau donk terjebak kegelapan malam di makam? Kendala lain yang agak mengurangi kenikmatan selama saya berkunjung ialah akses masuk menuju objek wisata yang cukup buruk. Hal ini sangat kontras dengan kondisi jalan raya utama yang sangat bagus dan mulus. Beberapa objek wisata seperti Londa, Lemo, atau Kambira memiliki jalan masuk yang buruk. Panjang jalan masuknya berbeda-beda, namun rata-rata semuanya dalam kondisi berbatu-batu yang hanya nyaman dilalui dengan berjalan kaki. Kalau hanya sekedar beberapa puluh meter sih nggak masalah, namun kalau jalan masuknya satu kilometer lebih? Akses kendaraan tetap dibutuhkan juga! Hal ini mungkin disebabkan pula oleh sangat tersebarnya objek wisata di wilayah Tana Toraja dan biaya retribusi yang sangat murah. Ya, bayangkan saja, rata-rata ongkos masuk satu objek wisata hanya sekitar Rp. 5.000 per orang. Dengan jumlah pengunjung yang tidak terlalu banyak, apalagi akses masuk yang sudah membuat “mundur”para turis, pendapatan dari segi retribusi sangat jauh panggang daripada api. Kasarnya, membiayai petugas lokal yang berjaga saja sudah tidak mencukupi, bagaimana mau merawat kondisi objek yang ada? Pemerintah daerah setempat harus mengkaji lagi apakah retribusi tiket masuk yang dibebankan kepada turis sudah layak untuk pengembangan objek tersebut ke depannya. Kita bisa melihat beberapa contoh objek wisata di Indonesia yang memiliki harga tiket cukup mahal, namun ternyata tetap mampu menarik minat banyak turis untuk berkunjung. Tentu, pengelolaan yang profesional dan strategi pengembangan objek wisata yang baik turut andil dalam berhasilnya suatu objek wisata atau tidak.
Memang sich, selain objek wisata itu sendiri yang biasanya menawan dan khas, selalu ada kios kecil atau deretan kios yang menjual produk-produk hasil kerajinan tangan masyarakat setempat. Beberapa dari kios tersebut berada dalam kondisi yang bagus namun saya melihat lebih banyak yang berada pada kondisi yang menyedihkan dan sepi pengunjung. Tak urung, beberapa penjual tampak agak terlalu memaksa apabila melihat pengunjung datang, bak burung elang melihat anak ayam! Mungkin situasi ini yang menyebabkan pengunjung enggan berlama-lama untuk berkunjung. Apa boleh buat, minimnya jumlah pengunjung membuat mereka tidak bisa memasarkan produk kerajinan tangan mereka dengan baik. Kesempatan pengunjung datang tentu tidak disia-siakan oleh mereka dalam memasarkan produk mereka untuk tambahan uang dapur tentunya. Objek wisata populer seperti Ke’te’ Kesu’ mungkin tidak sulit mendulang rupiah dari pemasukan penjualan souvenir. Namun, bagaimana dengan objek wisata kurang populer seperti Pallawa atau Buntu Pune? Satu hal yang agak menyulitkan buat saya ialah sukarnya mencari makanan ketika mengunjungi objek-objek wisata. Rumah makan kebanyakan hanya berada di kota-kota dengan jumlah penginapan yang signifikan. Masyarakat Toraja yang tinggal di lokasi, contohnya Jalan Raya Rantepao – Makale jarang yang membuka rumah makan untuk pengunjung yang kebetulan kelaparan di tengah jalan. Hal ini diperparah dengan kurang populernya makanan khas Toraja seperti Pa’piong atau Londong Pa’marassan di rumah makan yang berada di daerah wisata. Sayang sekali, wisatawan yang datang bukan hanya dijaring lewat keindahan alam dan budaya saja, tapi urusan perut juga. Sayang sekali apabila Pa’piong atau Londong Pa’marassan hanya ditemukan di tempat-tempat tertentu yang memang lokasi konsentrasi turis. Walaupun tergolong makanan dengan proses memasak yang lambat, sebaiknya pilihan menu khas Toraja diupayakan banyak tersedia di banyak tempat agar semua indera turis terpuaskan selama di Tana Toraja. Saya benar-benar merasa senang selama kunjungan saya di Tana Toraja. Selain mencicipi kebudayaan yang sama sekali baru dan suasana yang menarik, saya juga terpuaskan akan menu makanan unik yang dimiliki Tana Toraja. Belum lagi, oleh-oleh kain tradisional tenun ikat Tana Toraja yang saya bawa sebagai oleh-oleh, sungguh indah. Berwisata di Tana Toraja wajib untuk dilakukan setidaknya sekali seumur hidup guna merasakan pengalaman baru, terlepas dari kekurangan yang belum dilengkapi oleh Tana Toraja. Mari, berwisata ke Tana Toraja, berwisata ke Sulawesi Selatan, yuk!

Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Blog Promosi Wisata Sulawesi Selatan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan CV.Mandasini Putra Utama. Kegiatan ini juga menggandeng Komunitas Blogger Makassar Anging Mammiri dan KoshMediaTama sebagai partner.