Tuesday, May 29, 2012
Pesan Kebenaran Di Tengah Hutan Sitahuis
Bonan Dolok Di KM 8
Inilah puncak dari perjalanan Tarutung – Sibolga sejauh 66 KM yang harus ditempuh sekitar dua jam perjalanan (buat saya, perjalanan ini terasa sangat panjang sekali!). Masih di Bonan Dolok, Kecamatan Sitahuis, Tapanuli Tengah, tepatnya di KM 8 (kurang lebih 8 KM lagi mencapai Sibolga), ada pemandangan menarik yang bisa dinikmati di tepi jalan sebelah kanan (dari arah Tarutung). Kalau perut anda nggak bergejolak, kalau anda nggak sedang menahan mabuk, atau anda nggak sedang tertidur entah karena kecapaian atau mengindarkan diri dari kelokan 1200 buah yang fenomenal ini, anda akan melihat pemandangan Kota Sibolga dari ketinggian. Sekali lagi, kalau anda nggak menaiki angkutan umum, anda bisa berhenti sejenak untuk menikmati panorama alam Tapanuli Tengah yang kebanyakan berada di Bukit Barisan ini. Dari titik selepas Batu Lubang, tidak seberapa jauh, anda akan mendapati pemandangan Kota Sibolga dan Teluk Tapian Nauli dari ketinggian. Sepanjang 8 KM sisa perjalanan hingga Sibolga, kendaraan yang anda tumpangi akan terus menurun ke bawah sana. Disinilah, anda bisa menyadari bahwa Tapanuli Tengah memang benar-benar perpaduan dan kombinasi wisata gunung dan laut dalam satu kali pandang. Indah? Ya, anda harus menyaksikannya sendiri.
Monday, May 28, 2012
Kisah Si Hotel Puncak G.M. Panggabean
Gapura Utama Bukit Anugerah |
Plang Hotel Puncak GM Panggabean. Dimana Hotelnya? |
Pemandangan inilah yang masih menghiasi tepian kompleks |
Bagian Dari Kompleks Hotel |
Gapura Utama Hotel Puncak GM Panggabean |
Rumah A La Tapanuli Peralihan?
Masih di daerah Bonan Dolok, saya menemukan sederetan rumah-rumah yang sudah bisa dibilang nggak bernuansa Batak lagi, namun tetap memiliki ciri khas dan unik. Mungkin disinilah fase peralihan dari kebudayaan pedalaman Toba yang kental dengan pengaruh Batak, bertemu dengan kebudayaan pesisir yang memang telah mendapat pengaruh sangat banyak dari berbagai bangsa di dunia, Cina, India, Arab, Eropa dan Amerika. Rumah papan yang mereka bangun bukan sekedar rumah papan ala kadarnya, namun sejumlah ornamen turut menghiasi rumah papan yang tampilannya sangat sederhana tersebut. Nggak hanya ornamen seperti pucuk pintu yang bermodelkan kipas, namun papan penyusun penutup eternit teras pun dibuat dengan citarasa, terbukti dengan penyusunan ujung papan yang saling maju mundur. Citarasa kolonial sangat kuat terasa pada rumah-rumah di deretan ini. Saya nggak melihat adanya rumah-rumah sejenis terbangun di wilayah Toba, atau bahkan di wilayah pesisir Selat Malaka yang lebih bernuansa Melayu. Gaya kolonialisme semata kah yang diusung?
Wednesday, May 23, 2012
Batu Lubang Simaninggir Si Misterius
Batu Lubang Kedua Dari Arah Tarutung |
Sulitnya Berfoto Di Dalam Batu Lubang |
Foto Blur Dalam Batu Lubang |
Batu Lubang Kedua Dari Arah Sibolga |
Batu Lubang Pertama Dari Arah Sibolga |
Salah Satu Air Terjun Yang Mengaliri Sisi Batu Lubang |
Sunday, May 20, 2012
Manggis Dan Durian Tapanuli
Melintasi Monumen Munson Lymann
Apa sich yang saya lihat di perjalanan Tarutung – Sibolga? Di satu sisi, saya ingin agar tertidur dan tidak terpengaruh oleh kondisi jalan yang super berkelok-kelok sehingga saya nggak sempat mabuk. Namun demikian, di pihak lain, saya akan merasa amat sangat menyesal kalau-kalau tidak sempat menikmati perjalanan yang mungkin tidak tahu kapan akan saya lakukan lagi. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, Tapanuli Utara merupakan wilayah lembah dengan dataran luas di kanan kiri sehingga pemandangannya pun terasa lapang. Kondisi kontras akan saya rasakan begitu memasuki wilayah Tapanuli Tengah yang berbukit-bukit, berhutan lebat dan jalan sempit penuh kelokan, tanjakan dan turunan. Selepas Tarutung, saya memasuki wilayah Adiankoting yang notabene masih berada dalam wilayah Tapanuli Utara. Monumen Munson Lymann, dua misionaris asal Amerika yang dibunuh Raja Panggalamei di Lobupining berada di Adiankoting ini. Pintu gerbang monumennya terlihat jelas dari pinggir jalan. Saya sich ingin berhenti dan berfoto-foto sejenak karena ternyata monumen ini tidak terlalu jauh namun tidak terlalu dekat juga dari Tarutung. Namun, berhubung saya naik angkutan umum dan mengejar kapal ke Gunungsitoli, nampaknya pilihan yang ada hanyalah diam dan membiarkan Monumen Munson Lymann itu hilang terlewati. Hiks.
Friday, May 11, 2012
Dua Dunia Berbeda Tapanuli Utara Dan Tengah
Perhatikan kanan dan kiri Tapanuli Utara |
Anda masih berada di Tapanuli Utara |
Lebatnya hutan di Tapanuli Tengah |
Pemandangan dari dalam mobil saat di Tapanuli Tengah |
Bukit-bukit besar menghimpit jalanan kecil |
Benar saja, sang kenek menaikkan penumpang sebanyak-banyaknya dan cukup penuh. beberapa Inang bahkan membawa hasil bumi dan Inang persis di sebelah saya memangku sebaki penuh telur ayam! Duh. Saya nggak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau jalanannya nggak bagus. Yah, saya menunggu nggak terlalu lama sih, walaupun saya sempat membeli sekantong Kacang Sihobuk (lagi) untuk menemani saya ngemil kalau-kalau kelaparan di jalan, sampai akhirnya kendaraan pun penuh dan berangkat. Pisang (dari Hotel Bali tadi pagi), kacang di genggaman, dan kantung plastik kalau-kalau mau muntah telah saya siapkan. Sebotol minuman ringan manis pun telah saya siapkan kalau-kalau mulut saya terasa asam. Hahaha. Persiapan yang luar biasa dan saya pun berangkat.
Thursday, May 10, 2012
Kembali, Balige - Tarutung
Ya, saya akan bersiap menuju Sibolga. Sayangnya, Balige dan Sibolga masih terlalu jauh. Tidak ada angkutan umum langsung yang menuju kesana. Kecuali anda buru-buru, mungkin pilihan sewa kendaraan atau shuttle tidak terlalu menarik minat anda. Untuk menempuh perjalanan panjang Balige – Sibolga, saya hanya cukup berganti satu kali angkutan umum di Tarutung. Ya, Tarutung. Artinya, saya harus mengulangi kembali jalan yang saya tempuh dari Tarutung menuju Balige. Satu jam perjalanan, setengah jam menunggu penumpang, dan dua jam perjalanan, maka saya prediksi saya akan tiba di Sibolga empat jam kemudian. Nampaknya saya harus membeli beberapa bekal untuk di jalan nich.
Seharusnya sich saya tidak memilih-milih. Namun, rata-rata angkutan yang melewati Soposurung telah penuh. Mungkin tidak banya penumpang yang akan naik di Soposurung. Umumnya, begitu keluar Kota Balige, angkutan telah terisi penuh. Ya maklum, Soposorung bisa dikatakan sebagai pinggirannya Balige. Nggak heran, situasi di sekitar agak sepi dibandingkan dengan di pusat kota. Karena selalu penuhnya angkutan, saya membuang waktu beberapa menit untuk mendapatkan angkutan yang pas. Apalagi, saya memang menghindari duduk di tengah atau di belakang angkutan yang sudah pasti sangat berjejal, nggak bisa nafas dan berpotensi membuat mabuk. Hihihi. Daripada kacau seluruh perjalanan, ya tunggu sebentar nggak papa kali yach.
Kemudian, berhentilah seuntai(?) angkot yang mengerem sedemikian rupa setelah melihat saya. Ia butu-butu mundur dan supirnya turun untuk menemui saya. Wow! Servis luar biasa! Ia bertanya kemanakah saya akan menuju dan saya mengatakan Sibolga. Ya, sesuai dugaan saya, bapak itu berkata bahwa tidak ada angkutan menuju Sibolga langsung dari Balige. Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak dan sudah tidak ada pada saat saya menunggu di tepi jalan itu. Ia menawarkan saya untuk menumpang angkutan umumnya (yang saat itu sudah kelewat penuh). Terus terang saya tidak tertarik dan langsung mengatakan bahwa angkutan si bapak telah penuh. Namun, secara ajaib, ia mengatur pengaturan tempat duduk di dalam angkutan dan secara mengejutkan, saya mendapat tempat yang sangat bagus, di depan bersama supir di tepi jendela! Hore, saya bisa menjelajahi Balige – Tarutung sambil berfoto-foto pastinya.
Angkutan umum di daerah, contohnya Balige – Tarutung secara umum akan menipis jumlahnya saat sore hari. Jadi, pastikanlah anda sudah tiba di lokasi tujuan sebelum sore menghadang. Usahakan sore hari hanya digunakan untuk menyusuri tujuan yang sudah tidak terlalu penting atau mudah dicapai. Saya masih cukup beruntung mendapatkan angkutan yang akan membawa saya, walaupun sudah lewat tengah hari. Oh ya, Rute Balige – Tarutung akan ditempuh dalam 1 jam dan akan melewati Gurgur, Silangit, Siborong-borong, Huta Raja, dan Sipoholon. Pemandangan yang terlihat? Dari Balige sampai Gurgur, pemandangan bukit kehijauan masih dapat anda nikmati. Namun, dari Silangit sampai Siborong-borong, hutannya mulai agak sedikit berkurang kelebatannya. Melewati Huta Raja dan Sipoholon, pemandangan yang anda nikmati akan ditambah dengan tebing bebatuan kapur (ini menjelaskan mengapa di Sipoholon banyak sekali sumber pemandian air panas). Sepanjang perjalanan, angkutan yang saya tumpangi jarang menaikkan atau menurunkan penumpang. Saya rasa sangat wajar mengingat banyak tempat yang dilalui rute angkutan ini merupakan ladang atau hutan. Untuk durasi 1 jam perjalanan, saya membayar Rp. 15.000 saja dan menunggu sejenak di Kota Tarutung, arah menuju Tapanuli Tengah.
Angkutan umum di daerah, contohnya Balige – Tarutung secara umum akan menipis jumlahnya saat sore hari. Jadi, pastikanlah anda sudah tiba di lokasi tujuan sebelum sore menghadang. Usahakan sore hari hanya digunakan untuk menyusuri tujuan yang sudah tidak terlalu penting atau mudah dicapai. Saya masih cukup beruntung mendapatkan angkutan yang akan membawa saya, walaupun sudah lewat tengah hari. Oh ya, Rute Balige – Tarutung akan ditempuh dalam 1 jam dan akan melewati Gurgur, Silangit, Siborong-borong, Huta Raja, dan Sipoholon. Pemandangan yang terlihat? Dari Balige sampai Gurgur, pemandangan bukit kehijauan masih dapat anda nikmati. Namun, dari Silangit sampai Siborong-borong, hutannya mulai agak sedikit berkurang kelebatannya. Melewati Huta Raja dan Sipoholon, pemandangan yang anda nikmati akan ditambah dengan tebing bebatuan kapur (ini menjelaskan mengapa di Sipoholon banyak sekali sumber pemandian air panas). Sepanjang perjalanan, angkutan yang saya tumpangi jarang menaikkan atau menurunkan penumpang. Saya rasa sangat wajar mengingat banyak tempat yang dilalui rute angkutan ini merupakan ladang atau hutan. Untuk durasi 1 jam perjalanan, saya membayar Rp. 15.000 saja dan menunggu sejenak di Kota Tarutung, arah menuju Tapanuli Tengah.
Tuesday, May 08, 2012
Makan Siang Kilat Di Pagar Batu, Soposurung
Inang itu membetulkan posisi mukena yang ia kenakan ketika saya memasuki rumah makan sederhananya yang berada di Soposurung, pintu masuk Objek Wisata Pagar Batu yang berisi Makam Raja Sisingamangaraja XII dan T.B. Silalahi Center. Dengan gaya khas Batak dan raut wajah yang keras, Inang itu menyapa saya, bertanya ingin makan apa. Ya, saya menyudahi kunjungan saya di Balige dan bersiap menuju Sibolga sore nanti. Saat ini, waktu adalah sangat berharga. Saya tidak boleh menyia-nyiakan waktu karena berimbas pada keberangkatan kapal yang akan saya tumpangi menuju Gunungsitoli nanti malam. Ada sich, perasaan ingin mampir ke pusat Kota Balige. Namun, saya lebih takut ketinggalan kapal. Akhirnya, saya makan di warung Inang ini.
Makanan yang disediakan pun a la kadarnya dan tidak terlalu istimewa. Saya memesan bihun goreng dan segelas jus terong Belanda (Kayaknya, mumpung berada di wilayah Sumatera Utara, harus sering-sering minum ini dech. hehehe). Rasa makanannya pun biasa saja, khas masakan rumah. Standard khas bihun goreng, namun cukup mengenyangkan dan bumbunya oke buat saya. Harga makanan di kedai ini pun sangat bersahabat dengan kantong. Tidak mahal, walaupun kedai ini terletak sepelemparan batu saja dari pintu gerbang objek wisata Pagar Batu yang berisi dua objek wisata andalan Balige. Pada saat saya menikmati makan siang saya yang tertunda pun, serombongan konvoy motor turis asing memasuki pintu gerbang dan langsung menimbulkan suasana riuh. Pemandangan ini cukup menarik minat saya walaupun sang Inang tampak biasa-biasa saja. Tampaknya objek wisata Pagar Batu ini telah menjadi semacam komoditas unggulan bagi Balige dan Toba Samosir. Perkiraan saya, mereka datang berkonvoy naik sepeda motor dari Tuk-Tuk sana, surganya para turis asing. Walaupun masih mungkin, namun saya rasa sangat jarang turis asing tinggal di Balige dan meninggalkan pesona Tuk-Tuk sebagai lokasi pilihan favorit mereka.
Seorang pembeli datang (dengan pakaian tidur) untuk menikmati nasi goreng Sang Inang. Sambil ia duduk, sang Inang pun mengobrol dengannya, kemudian mengarah kepada saya. Sudah barang tentu, penampilan saya yang sangat bukan-warga-lokal telah memancing sang Inang untuk bertanya. Saya ceritakan saja, bahwa saya berasal dari Tarutung, menuju Balige untuk melihat makam Ompu Sisingamangaraja XII dan T.B. Silalahi Center, serta akan bertolak menuju ke Sibolga dalam rangka menuju Nias. Sang Inang terperangah lebih lanjut ketika ia tahu bahwa saya pergi seorang diri. “bisa jantungan mamak kalau anak Inang pergi-pergi seperti ini”, begitu katanya sembari mensyukuri bahwa anaknya tidak pernah pergi seliar saya. Hihihihi. “Tidak takutkah, adek?”, begitu tanyanya setelah ia berhasil mengendalikan rasa kagetnya (nampak jelas sebab beliau mengelus-elus dada dan mimiknya terperangah). Saya jelaskan bahwa saya tidak takut. Saya jelaskan lebih lanjut, justru orang jahat itu lebih banyak berada di kota besar. Dengan saya yang berasal dari Jakarta, nampaknya justru saya harus lebih takut pada lokasi kediaman saya sendiri, bukan? Saya jelaskan lagi, sepanjang perjalanan saya yang sudah mencapai 4 hari di belantara Sumatera Utara ini, saya justru menemukan orang-orang terbaik dalam hidup saya ini. Hmm...saya bisa melihat senyum tipis menghiasi wajah sang Inang yang memang keras, sangat khas Batak tersebut.
Obrolan berlanjut semakin kental antara saya, Sang Inang dan pengunjung lain. Sembari menikmati makan siang, saya mengobrol tentang berbagai kondisi di Sumatera Utara ini. Sayang, saya harus menghabiskan makanan dengan cepat dan segera meluncur ke jalan untuk mencari angkutan menuju Sibolga. Saya tidak bisa berbincang lama-lama dengan Sang Inang. Ah...andai saya memiliki waktu lebih di tempat ini. Saya menyudahi percakapan saya dengan Sang Inang dan pembeli lainnya. Untuk makanan yang saya konsumsi, saya hanya cukup membayar Rp. 16.000 saja! Harga yang sangat murah, kembali lagi mengingat Pagar Batu adalah gerbang wisata andalan Toba Samosir. Teriring dengan doa semoga Tuhan beserta saya dan agar selalu berhati-hati dari Sang Inang, saya kembali menuju ruas Balige – Tarutung.
Makanan yang disediakan pun a la kadarnya dan tidak terlalu istimewa. Saya memesan bihun goreng dan segelas jus terong Belanda (Kayaknya, mumpung berada di wilayah Sumatera Utara, harus sering-sering minum ini dech. hehehe). Rasa makanannya pun biasa saja, khas masakan rumah. Standard khas bihun goreng, namun cukup mengenyangkan dan bumbunya oke buat saya. Harga makanan di kedai ini pun sangat bersahabat dengan kantong. Tidak mahal, walaupun kedai ini terletak sepelemparan batu saja dari pintu gerbang objek wisata Pagar Batu yang berisi dua objek wisata andalan Balige. Pada saat saya menikmati makan siang saya yang tertunda pun, serombongan konvoy motor turis asing memasuki pintu gerbang dan langsung menimbulkan suasana riuh. Pemandangan ini cukup menarik minat saya walaupun sang Inang tampak biasa-biasa saja. Tampaknya objek wisata Pagar Batu ini telah menjadi semacam komoditas unggulan bagi Balige dan Toba Samosir. Perkiraan saya, mereka datang berkonvoy naik sepeda motor dari Tuk-Tuk sana, surganya para turis asing. Walaupun masih mungkin, namun saya rasa sangat jarang turis asing tinggal di Balige dan meninggalkan pesona Tuk-Tuk sebagai lokasi pilihan favorit mereka.
Seorang pembeli datang (dengan pakaian tidur) untuk menikmati nasi goreng Sang Inang. Sambil ia duduk, sang Inang pun mengobrol dengannya, kemudian mengarah kepada saya. Sudah barang tentu, penampilan saya yang sangat bukan-warga-lokal telah memancing sang Inang untuk bertanya. Saya ceritakan saja, bahwa saya berasal dari Tarutung, menuju Balige untuk melihat makam Ompu Sisingamangaraja XII dan T.B. Silalahi Center, serta akan bertolak menuju ke Sibolga dalam rangka menuju Nias. Sang Inang terperangah lebih lanjut ketika ia tahu bahwa saya pergi seorang diri. “bisa jantungan mamak kalau anak Inang pergi-pergi seperti ini”, begitu katanya sembari mensyukuri bahwa anaknya tidak pernah pergi seliar saya. Hihihihi. “Tidak takutkah, adek?”, begitu tanyanya setelah ia berhasil mengendalikan rasa kagetnya (nampak jelas sebab beliau mengelus-elus dada dan mimiknya terperangah). Saya jelaskan bahwa saya tidak takut. Saya jelaskan lebih lanjut, justru orang jahat itu lebih banyak berada di kota besar. Dengan saya yang berasal dari Jakarta, nampaknya justru saya harus lebih takut pada lokasi kediaman saya sendiri, bukan? Saya jelaskan lagi, sepanjang perjalanan saya yang sudah mencapai 4 hari di belantara Sumatera Utara ini, saya justru menemukan orang-orang terbaik dalam hidup saya ini. Hmm...saya bisa melihat senyum tipis menghiasi wajah sang Inang yang memang keras, sangat khas Batak tersebut.
Obrolan berlanjut semakin kental antara saya, Sang Inang dan pengunjung lain. Sembari menikmati makan siang, saya mengobrol tentang berbagai kondisi di Sumatera Utara ini. Sayang, saya harus menghabiskan makanan dengan cepat dan segera meluncur ke jalan untuk mencari angkutan menuju Sibolga. Saya tidak bisa berbincang lama-lama dengan Sang Inang. Ah...andai saya memiliki waktu lebih di tempat ini. Saya menyudahi percakapan saya dengan Sang Inang dan pembeli lainnya. Untuk makanan yang saya konsumsi, saya hanya cukup membayar Rp. 16.000 saja! Harga yang sangat murah, kembali lagi mengingat Pagar Batu adalah gerbang wisata andalan Toba Samosir. Teriring dengan doa semoga Tuhan beserta saya dan agar selalu berhati-hati dari Sang Inang, saya kembali menuju ruas Balige – Tarutung.
Saturday, May 05, 2012
Mengapresiasi Museum Koleksi Pribadi T.B. Silalahi Center
Dan, tibalah Imelda Limbong mengantarkan saya pada bangunan utama sekaligus bangunan terakhir yang ada di T.B. Silalahi Center ini. Bangunan yang berada paling depan ini adalah Museum Pribadinya Bapak T.B. Silalahi. Petugas keamanan yang berjaga di tempat ini sebelumnya telah mengarahkan saya untuk menuju Museum Batak terlebih dahulu sebelum menuju ke museum pribadi Bapak T.B. Silalahi ini. Hmm...ada apa sich di dalam museum ini?
Secara pribadi, saya sich bukan penggemar berat museum koleksi pribadi. Saya lebih suka museum yang menawarkan informasi secara umum, pengetahuannya bersifat universal, bukan tentang satu tokoh tertentu saja. Dalam hal ini, saya lebih suka Museum Batak dibanding museum pribadi T.B. Silalahi Center. Walaupun museumnya cukup menarik juga, namun mungkin dari dalam diri saya yang memang lebih cenderung menyukai museum dengan muatan yang lebih umum, dibanding yang khusus seperti ini. Sama halnya ketika saya kurang bisa mengapreasiasi museum seni rupa atau lukisan. Hehehehe. Sudah dari sananya begitu kali yach?
Museum koleksi pribadi Bapak T.B. Silalahi ini berisi akan benda-benda koleksinya beliau, sekaligus pula tentang perjalanan hidup beliau mulai dari kecil hingga sekarang. Setiap kembali ke Balige, pasti Bapak T.B. Silalahi akan menyempatkan diri untuk mengunjungi museum ini dan memberi masukan guna pengembangan dan detail apa saja yang perlu dilakukan di museum ini. Di mata para kurator, beliau adalah orang yang baik dan murah hati walaupun memang tegas dan mendetail terutama jika menyangkut pekerjaan. Tak jarang, apabila pengerjaan museum ini tidak sempurna, ia akan memprotesdan meminta untuk diulang hingga hasilnya memuaskan.
Adapun sejumlah koleksi yang ditawarkan di dalam museum pribadinya ini adalah seluruh benda-benda koleksi pribadinya dari seluruh Indonesia dan dunia, benda-benda kenang-kenangan dan persahabatan dari berbagai duta bangsa, hingga seragam masa kecil ketika sedang bersekolah dahulu. Satu hal yang menarik buat saya adalah adanya keberadaan sepasang patung yang menggambarkan Bapak T.B. Silalalahi beserta ibu di kala tua nanti. Kedua patung tersebut mengenakan pakaian adat Batak dan saya hampir tidak mengenalinya karena wajah patung tersebut bercambang. Menurut Imelda Limbong, patung tersebut cukup mirip dengan Bapak T.B. Silalahi yang sekarang. Benda lainnya yang saya suka adalah pakaian adat Nias yang diberikan sebagai bentuk penghargaan untuk beliau karena telah membantu masa-masa rekonstruksi bencana gempa dan tsunami di Nias. Adapun satu buah ruang kerja utuh yang dipagari dan tidak boleh dimasuki yang konon masih menjadi ruang kerja Bapak T.B. Silalahi setiap bertandang ke Balige. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan disini karena memang variasi dan jumlah koleksinya tidak sebanyak Museum Batak. Walaupun berstatus barang pribadi, namun Imelda Limbong sangat baik hati dengan mengijinkan saya untuk memfoto sejumlah koleksi beliau yang dipajang di museum tersebut. Sempatkanlah mencicipi museum koleksi barang pribadi ini kalau anda berkunjung ke T.B. Silalahi Center.
Museum koleksi pribadi Bapak T.B. Silalahi ini berisi akan benda-benda koleksinya beliau, sekaligus pula tentang perjalanan hidup beliau mulai dari kecil hingga sekarang. Setiap kembali ke Balige, pasti Bapak T.B. Silalahi akan menyempatkan diri untuk mengunjungi museum ini dan memberi masukan guna pengembangan dan detail apa saja yang perlu dilakukan di museum ini. Di mata para kurator, beliau adalah orang yang baik dan murah hati walaupun memang tegas dan mendetail terutama jika menyangkut pekerjaan. Tak jarang, apabila pengerjaan museum ini tidak sempurna, ia akan memprotesdan meminta untuk diulang hingga hasilnya memuaskan.
Adapun sejumlah koleksi yang ditawarkan di dalam museum pribadinya ini adalah seluruh benda-benda koleksi pribadinya dari seluruh Indonesia dan dunia, benda-benda kenang-kenangan dan persahabatan dari berbagai duta bangsa, hingga seragam masa kecil ketika sedang bersekolah dahulu. Satu hal yang menarik buat saya adalah adanya keberadaan sepasang patung yang menggambarkan Bapak T.B. Silalalahi beserta ibu di kala tua nanti. Kedua patung tersebut mengenakan pakaian adat Batak dan saya hampir tidak mengenalinya karena wajah patung tersebut bercambang. Menurut Imelda Limbong, patung tersebut cukup mirip dengan Bapak T.B. Silalahi yang sekarang. Benda lainnya yang saya suka adalah pakaian adat Nias yang diberikan sebagai bentuk penghargaan untuk beliau karena telah membantu masa-masa rekonstruksi bencana gempa dan tsunami di Nias. Adapun satu buah ruang kerja utuh yang dipagari dan tidak boleh dimasuki yang konon masih menjadi ruang kerja Bapak T.B. Silalahi setiap bertandang ke Balige. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan disini karena memang variasi dan jumlah koleksinya tidak sebanyak Museum Batak. Walaupun berstatus barang pribadi, namun Imelda Limbong sangat baik hati dengan mengijinkan saya untuk memfoto sejumlah koleksi beliau yang dipajang di museum tersebut. Sempatkanlah mencicipi museum koleksi barang pribadi ini kalau anda berkunjung ke T.B. Silalahi Center.
Hariara, Si Jantung Huta
Pohon ini sering sekali diasosiasikan sebagai Beringin, walaupun sebenarnya berbeda dengan beringin yang kita kenal, salah satunya ya beringin menjadi lambang suatu partai itu loch. Namun dalam adat Batak, keberadaan pohon ini (atau beringin juga terkadang disebut-sebut) sangat kental adanya. Menilik dari namanya, Hari=hari dan Ara=tujuh, maka pohon ini sering disebut sebagai pohon hari ketujuh. Apa pasal? Masyarakat Batak jaman dahulu konon selalu menanam pohon ini sebelum mulai membuka suatu Huta. Apabila Pohon Hariara ini dapat tumbuh hingga hari ketujuh, artinya tanah di kawasan ini cukup baik untuk dijadikan Huta dan perkembangan masyarakat ke depannya. Tanah yang dapat membuat Pohon Hariara hidup setelah hari ketujuh dipercaya bebas tulah, bebas petaka, dan dipercaya akan membawa kemakmuran pada masyarakat Batak yang tinggal di dalam Huta yang ditumbuhi Pohon Hariara tersebut. Karena posisinya, pohon ini umumnya menjadi titik sentral dalam kehidupan masyarakat Batak.
Coba dech sesekali anda berjalan ke Huta Batak yang masih asli. Biasanya, pohon ini selalu ada, tidak pernah absen. Pohon ini digunakan sebagai pembatas antara Huta yang satu dengan Huta yang lain, terkadang bahkan dipercaya sebagai simbol pengawal desa. Pohon Hariara dipercaya pula sebagai lokasi untuk mamele atau berdoa kepada penghuni alam gaib. Kebudayaan seperti ini cukup erat dengan masyarakat Indonesia atau Asia Tenggara yach, sebagai contoh bisa dilihat pada penduduk Kalimantan, Jawa dan Bali yang beberapa sukunya mengagungkan pohon ini dan mempercayai bahwa pohon ini “bernyawa”. Seiring dengan posisinya yang menandai suatu Huta, pohon ini dipakai juga untuk menandai kepemilikan satu wilayah atau juga lambang suatu marga. Lebih jauh lagi, Pohon Hariara sering dipakai sebagai saksi untuk perjanjian antar komunitas.
Pohon ini dapat tumbuh tinggi besar, kokoh, berakar tebal dan menjalar kemana-mana serta tahan berbagai cuaca dengan masa hidup yang lama. Satu Pohon Hariara yang tumbuh di satu Huta Batak di T.B. Silalahi Center ini saja sudah berusia 120 tahun lamanya. Karena sifatnya yang demikian, pohon ini disebut sebagai pohon hidupnya Orang Batak. Orang tua pun berharap bahwa anak-anaknya hidup seturut filosofi Pohon Hariara ini, tumbuh tinggi, besar dan kuat, membenamkan akar jauh ke dalam perut bumi, menjadi sumber hidup, dan saluran berkat bagi sesama dan makhluk hidup lainnya. Dalam keseharian hidup masyarakat Batak, rindang dan teduhnya pohon ini sering dijadikan lokasi untuk melakukan berbagai kegiatan, mulai dari anak-anak yang bermain, hingga orang dewasa yang saling berkumpul di bawah pohon untuk membicarakan sesuatu. Nah, coba deh cermati saat anda memasuki suatu Huta Batak, dapatkah anda menemukan dimanakah Pohon Hariara?