Tuesday, May 29, 2012

Pesan Kebenaran Di Tengah Hutan Sitahuis

“Jangan Sombong…!!! Segalanya akan berakhir. Jangan berbuat jahat agar anak dan keluargamu tidak menderita. Perbuatlah yang terbaik dan berdoalah Tuhan pasti menolongmu. BERTOBATLAH…!!! Masih ada waktu”. Dari keremangan dan rimbunnya hutan, tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah tulisan besar yang terletak di tepian belokan jalan ruas Tarutung-Sibolga. Tulisan ini dapat anda temui sebelum Batu Lubang apabila anda berasal dari Tarutung. Buat saya, ini sangat aneh karena di tengah-tengah hutan yang bersahaja, ada tulisan besar yang terbuat dari semen dan bukan itu saja! Tulisan ini diwarnai dan diberi corak timbul beserta hiasan, dan gambar warna-warni yang membuatnya sedemikian mencolok. Pertama, saya sempat berpikir apakah di lokasi belokan ini sering terjadi kecelakaan? Sehingga tulisan tersebut dibuat untuk memperingati dan agar setiap pelintas berhati-hati? Namun, saya telaah lagi lebih dalam maksudnya. Saya kira, maknanya lebih dari sekedar kecelakaan atau berhati-hati di ruas ini. Gambar orang yang sedang berdoa di sebelah tulisan (berdoa ala Nasrani di kiri dan berdoa ala Muslim di kanan) mengisyaratkan bahwa selain makna yang berkaitan dengan keagamaan, tulisan tersebut juga mengajak pembacanya untuk selalu berada di jalan kebenaran. Jangan berbuat jahat dan bertobatlah selagi sempat, tampaknya menjadi inti dari makna tulisan tersebut. Tulisan yang bagus, sebenarnya! Entah apakah di lokasi yang bersangkutan direncanakan untuk dibangun objek wisata iman, atau memang tulisan tersebut bermaksud mengajak saja, saya tidak tahu. Sayangnya, pelintas yang melewati tulisan ini terbatas, tidak banyak seperti di kota besar. Mungkinkah tulisan serupa dipasang di tempat yang ramai pelintas agar lebih banyak lagi yang membacanya?

Bonan Dolok Di KM 8

Inilah puncak dari perjalanan Tarutung – Sibolga sejauh 66 KM yang harus ditempuh sekitar dua jam perjalanan (buat saya, perjalanan ini terasa sangat panjang sekali!). Masih di Bonan Dolok, Kecamatan Sitahuis, Tapanuli Tengah, tepatnya di KM 8 (kurang lebih 8 KM lagi mencapai Sibolga), ada pemandangan menarik yang bisa dinikmati di tepi jalan sebelah kanan (dari arah Tarutung). Kalau perut anda nggak bergejolak, kalau anda nggak sedang menahan mabuk, atau anda nggak sedang tertidur entah karena kecapaian atau mengindarkan diri dari kelokan 1200 buah yang fenomenal ini, anda akan melihat pemandangan Kota Sibolga dari ketinggian. Sekali lagi, kalau anda nggak menaiki angkutan umum, anda bisa berhenti sejenak untuk menikmati panorama alam Tapanuli Tengah yang kebanyakan berada di Bukit Barisan ini. Dari titik selepas Batu Lubang, tidak seberapa jauh, anda akan mendapati pemandangan Kota Sibolga dan Teluk Tapian Nauli dari ketinggian. Sepanjang 8 KM sisa perjalanan hingga Sibolga, kendaraan yang anda tumpangi akan terus menurun ke bawah sana. Disinilah, anda bisa menyadari bahwa Tapanuli Tengah memang benar-benar perpaduan dan kombinasi wisata gunung dan laut dalam satu kali pandang. Indah? Ya, anda harus menyaksikannya sendiri.

Monday, May 28, 2012

Kisah Si Hotel Puncak G.M. Panggabean

Gapura Utama Bukit Anugerah
Ketika kendaraan yang saya tumpangi melaju perlahan di tengah hutan di dalam Bukit Barisan yang memisahkan Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, saya sama sekali tidak berharap menemukan adanya objek menarik sepanjang perjalanannya. Maklum, bidang tutupan hutan di kanan dan kiri sepanjang jalur yang saya lihat cukup lebat. Ditambah dengan minimnya pemukiman yang saya lihat di sepanjang jalur yang saya lintasi, rasa-rasanya saya tidak berharap terlalu banyak untuk sebuah objek, barangkali? Namun, tiba-tiba saya terperangah ketika kendaraan yang saya tumpangi melewati sebuah gapura yang bertuliskan “Objek Wisata Bukit Anugerah”. Saya semakin terperangah lagi ketika melihat ada objek wisata “Puncak G.M. Panggabean” dan “Hotel Puncak G.M. Panggabean” di sebelahnya. Jauh di dalam hutan belantara, ada objek wisata berukuran besar seperti ini, lengkap dengan hotel yang tampaknya diurus dengan sangat serius. Terus terang, saya tertarik untuk menyambangi dan melihat-lihat kondisi objek wisata yang terletak di tengah-tengah bukit barisan ini.
Plang Hotel Puncak GM Panggabean. Dimana Hotelnya?
Usut punya usut, konon beberapa tahun lampau sempat ada wacana dari pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah bahwa mereka ingin menjadikan kawasan di tengah Bonan Dolok ini sebagai kompleks pariwisata terpadu berskala internasional. Salah satu dan dua dari sarana tersebut adalah sinergi antara Puncak G.M. Panggabean dan Bukit Anugerah yang sudah saya lihat sebelumnya. Objek lain yang akan disinergikan yakni wisata pesisir di Sibolga dan Pandan sana. Jadi, semacam ingin mempromosikan bahwa berbagai jenis kegiatan wisata dengan berbagai tema, mulai dari gunung hingga laut ada di Tapian Nauli yang indah ini. Konon lagi yang lebih hebohnya, ada rencana untuk membangun semacam monorail untuk menghubungkan Pulau Mursala di lepas pantai Pandan dengan Bonan Dolok. Hmmmm.
Pemandangan inilah yang masih menghiasi tepian kompleks
Dari semua rencana tersebut, menurut saya yang paling mencuat ialah pembangunan patung besar di Bukit Anugerah yang konon tingginya akan melebihi Patung Liberty di New York sana. Patung yang akan dibuat ialah sosok Nabi Nuh, sosok Nabi yang membuat bahtera dan menyelamatkan berbagai jenis makhluk hidup kala bumi diterjang air bah pada jaman dahulu kala. Alasan mengapa dipilihnya sosok Nabi Nuh, saya juga tidak terlalu tahu persis. Patung Nabi Nuh ini yang bisa dinaiki hingga ke puncaknya pun dilengkapi dengan hotel berlantai tujuh berbentuk seperti bahtera, berskala internasional namun juga mampu menjaring wisatawan kelas menengah. Mendukung Patung Nabi Nuh dengan bahtera-nya, akan dibuat sejenis taman aneka satwa bukan kebun binatang. Artinya, hewan-hewan itu bisa berkeliaran dengan bebas sambil tetap mengedepankan konsep keamanan tentunya. Rencana ambisius ini memang memikat, terutama dengan menaikkan pamor Tapanuli Tengah sebagai lokasi wisata yang berskala internasional. Jadi, turis tidak hanya bertahan di jantung Toba saja, namun bisa melanjutkan ke Tapanuli Tengah. Untuk pembuatannya, patung ini menggunakan arsitek patung kenamaan Nyoman Nuarta yang sudah terkenal dalam pembuatan berbagai patung berukuran besar, salah satunya adalah Garuda Wishnu Kencana di Bukit Ungasan, Jimbaran, Bali.
Bagian Dari Kompleks Hotel
Gapura Utama Hotel Puncak GM Panggabean
Sayangnya, rencana tinggal rencana. Saya menemukan bahwa proyek ini memiliki banyak ketidakjelasan. Konon, rencana awal penggelontoran proyek ini dimulai pada tahun 2007. Diharapkan, pada 2 atau 3 tahun berikutnya, sudah bisa selesai dan tentunya menjadi kebanggaan masyarakat Tapanuli dan Sumatera Utara. Sayangnya, jauh panggang dari api. Hingga kini patung yang diharapkan menjadi ikon Tapanuli Tengah di pedalaman Bonan Dolok itu tak kunjung terealisasi. Jangankan patung, monorail yang diharapkan pun tidak ada. Atau, melihat kebutuhan dasar saja, perawatan yang ada terhadap Hotel Puncak G.M. Panggabean pun terlihat sangat apa adanya. Pintu gerbang yang sudah lusuh terkena cuaca, papan petunjuk yang sudah berkarat, areal yang masih belum tertata rapih dan banyak gerusan batu cadas, nampaknya sangat jauh dari kesan lokasi pariwisata internasional bukan? Ditambah lagi dengan sedikitnya jumlah pelintas yang melewati tempat ini. Saya bahkan nggak yakin ada cukup pelintas di saat malam hari. Jumlahnya sangat jauh bila dibandingkan keramaian yang ada di misalnya Parapat, atau Tuk-Tuk Siadong, atau bahkan Sibolga dan Pandan sebagai ibukota kabupaten. Walaupun kenyataannya Puncak G.M. Panggabean ini sudah tidak terlalu jauh dari Kota Sibolga yakni sekitar 8 KM, namun jalur yang terus menanjak, sempit, dan sangat bernuansa hutan, entah kenapa seakan membuat wisatawan sudah malas untuk melanjutkan perjalanan menuju ke jantung Bukit Barisan ini. Saya saja tidak menemukan adanya plang atau papan informasi yang bisa membantu saya menemukan kompleks pariwisata terpadu di Bonan Dolok ini. Kalau memang terpadu dan dikerjakan dengan serius, tentunya sejumlah papan informasi dan petunjuk bukan persoalan rumit khan? Apa mungkin para wisatawan lebih tertarik untuk berwisata pantai di pesisir Tapanuli Tengah? Ataukah perjalanan para wisatawan tersebut terhenti sampai di Balige saja? Sayang sekali, saya berharap pemerintah setempat kembali komit akan keseriusannya menangani objek wisata yang memberikan kesan terlantar ini. Terlantar atau tidak, anda bisa menentukannya sendiri dalam foto-foto jepretan saya ini.

Rumah A La Tapanuli Peralihan?

Masih di daerah Bonan Dolok, saya menemukan sederetan rumah-rumah yang sudah bisa dibilang nggak bernuansa Batak lagi, namun tetap memiliki ciri khas dan unik. Mungkin disinilah fase peralihan dari kebudayaan pedalaman Toba yang kental dengan pengaruh Batak, bertemu dengan kebudayaan pesisir yang memang telah mendapat pengaruh sangat banyak dari berbagai bangsa di dunia, Cina, India, Arab, Eropa dan Amerika. Rumah papan yang mereka bangun bukan sekedar rumah papan ala kadarnya, namun sejumlah ornamen turut menghiasi rumah papan yang tampilannya sangat sederhana tersebut. Nggak hanya ornamen seperti pucuk pintu yang bermodelkan kipas, namun papan penyusun penutup eternit teras pun dibuat dengan citarasa, terbukti dengan penyusunan ujung papan yang saling maju mundur. Citarasa kolonial sangat kuat terasa pada rumah-rumah di deretan ini. Saya nggak melihat adanya rumah-rumah sejenis terbangun di wilayah Toba, atau bahkan di wilayah pesisir Selat Malaka yang lebih bernuansa Melayu. Gaya kolonialisme semata kah yang diusung?

Wednesday, May 23, 2012

Batu Lubang Simaninggir Si Misterius

Batu Lubang Kedua Dari Arah Tarutung
Salah satu objek yang pastinya akan sangat menarik perhatian dan mungkin menjadi semacam “hal yang patut dilihat” ketika melintasi Tarutung – Sibolga adalah Batu Lubang. Saat akan mencari info akan objek wisata di ruas ini, saya mendapatkan info mengernai Batu Lubang ini dari Mbah Google. Beberapa penduduk lokal yang mengetahui bahwa saya akan berkunjung ke Sibolga via Tarutung pun memberikan saran pribadi mereka mengenai objek Batu Lubang ini. Saat hampir akan tiba di objek tersebut, Ibu di sebelah saya pun berkata, “adik suka berfoto bukan? Sebentar lagi kita hampir tiba di Batu Lubang”. Hmm...semenarik itu kah Batu Lubang yang sangat direkomendasikan oleh masyarakat Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah ini?
Sulitnya Berfoto Di Dalam Batu Lubang
Terletak di Desa Simaninggir, Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapanuli Tengah (saya nggak melihat ada desa di sekeliling Batu Lubang ini, malah persisnya merupakan bukit yang tertutup hutan belantara!), Batu Lubang menjadi semacam pertanda bagi pelancong dari Tarutung bahwa mereka sudah hampir tiba di Kota Sibolga. Sesuai dengan namanya, Batu Lubang adalah sebuah batu besar yang berlubang dan menjadi semacam terowongan bagi pelintas yang melewati jalur Tarutung – Sibolga. Ternyata, Batu Lubang ini ada dua buah. Dari Tarutung, anda akan menjumpai Batu Lubang pertama yang singkat dan Batu Lubang kedua yang lebih panjang. Batu Lubang ini memiliki fitur air terjun kecil di sejumlah sisinya. Batu Lubang kedua bahkan dialiri air terjun pada sisinya.
Foto Blur Dalam Batu Lubang
Batu Lubang Kedua Dari Arah Sibolga
Batu Lubang merupakan sebuah terowongan batu alamiah yang bisa dilintasi oleh satu buah kendaraan yang cukup besar. Panjang terowongan alamiah yang terbentuk adalah 8 meter dan 10 meter pada masing-masing batu pertama dan kedua. Karena sempitnya median jalan, maka hanya satu kendaraan yang bisa melintasi terowongan ini pada satu waktu. Bagian dalam terowongan gelap dan lembab karena dialiri air. Kondisi jalanan pun rusak parah dan berkawah karena kerap digenangi air. Batu Lubang pertama yang pendek memudahkan kita untuk berkendara sambil melihat ujung jalan satunya lagi. Sementara itu, Batu Lubang yang kedua cukup panjang dan berbelok sehingga pelancong tidak bisa melihat ujung jalan di sisi satunya lagi. Saya sich ingin berhenti dan berfoto sejenak di Batu Lubang ini karena ini sangat khas Tapanuli Tengah. Pencarian akan “Batu Lubang” di Google pun akan memunculkan Batu Lubang yang dimaksud pada bagian atas pencarian. Sayangnya, saya naik angkutan umum sehingga tidak bisa berhenti sembarangan. Selain itu, saya pun terburu-buru harus mencapai Sibolga pada waktunya dan bertemu Pak Daniel Lömbu (085262509269/081361211032)untuk mengambil tiket yang sudah saya pesan. Saya nggak bisa berhenti disini. Sayang sekali. Apabila teman-teman mencarter kendaraan pribadi, mungkin bisa berhenti di bagian luar Batu Lubang yang agak lebar untuk berhenti sejenak, melihat Batu Lubang dan menikmati pemandangan sekitar yang memang berbukit, berngarai, dan memiliki hutan yang sangat lebat, plus air terjun mungil yang bergemericik di sejumlah sisinya. Indah? Ya, tempat ini indah. Kaum kolonialis Belanda yang datang dari Pantai Barat Sumatera, tepatnya Kota Barus memang memasuki wilayah Tapanuli dan Jantung Toba dari arah Barat. Jalan berkelok yang menembus deretan Bukit Barisan merupakan produk buatan pemerintah kolonial saat itu. Maklum, saat itu cukup sulit untuk mencapai Tarutung dari Sibolga sehingga dicetuskanlah ide pembangunan jalan yang menghubungkan dua kota tersebut. Tidak terhitung berapa banyak nyawa pekerja yang tewas saat pembangunan jalan dengan sistem kerja rodi tersebut. Ya, pembangunan jalan tersebut memang memakan sangat banyak darah anak bangsa ini. Tidak selesai pada masa kolonialisme Belanda, pembangunan jalan tersebut diteruskan pada masa penjajahan Jepang. Saking kejamnya, mereka yang tewas langsung saja dibuang ke dalam jurang yang melingkari Bukit Barisan sedalam ratusan meter tersebut. Nah, dalam proses pembangunannya ini, mereka menghadapi tantangan, terutama dengan hadirnya dua buah batu besar yang ada dalam jalur Sibolga-Tarutung. Kebayang nggak memahat batu-batu cadas tersebut dengan tangan dan peralatan manual hingga berlubang dan menjadi terowongan serta bisa dilewati? Jalan yang sempit tersebut barulah dilebarkan dengan dinamit pada masa pemerintahan modern yakni tahun 1990-an. Bentuk jalan tersebut bertahan hingga seperti yang dikenal sekarang.
Batu Lubang Pertama Dari Arah Sibolga
Adapun cerita mistis menggelayuti terowongan ini hingga kini. Memang sich, buat anda yang melintasi terowongan tersebut, pasti setuju dengan saya bahwa setting di tempat ini memang menyeramkan, selain indah tentunya. Pada siang hari sekalipun, rerimbunan pepohonan yang sangat tebal dan rapat membuat lokasi cukup teduh dan sejuk sehingga menimbulkan kesan gelap. Hal ini diperparah dengan bagian dalam terowongan yang memang gelap. Nggak kebayang dech kalau melintasi jalur ini pada malam hari. Mungkin hanya lampu kendaraan saja yang bisa dijadikan panduan. Nah, ada semacam kepercayaan bahwa pelintas, terutama supir harus membunyikan klakson ketika melewati terowongan Batu Lubang ini. Klakson ini sebagai pertanda bahwa anda meminta ijin untuk melintasi tempat ini. Selain untuk menghindari pertemuan dua kendaraan di bagian dalam gua yang memang sempit, aksi yang dilakukan ini pun sarat dengan kisah mistis yang menyelimuti kawasan ini. Settingannya berada di tengah hutan, jauh dari pemukiman dan keramaian manusia, ditambah dengan proses pelubangan batu ini yang memang banyak memakan korban jiwa. Semakin lengkaplah bau mistis yang tercium di tempat ini.
Salah Satu Air Terjun Yang Mengaliri Sisi Batu Lubang
Buat teman-teman yang kebetulan melintasi Tarutung – Sibolga, ada baiknya sich berhenti untuk melihat-lihat Batu Lubang dan panorama di sekeliling tempat ini. Sayangnya, tidak ada papan petunjuk sama sekali yang mengisyaratkan bahwa anda sudah tiba di Batu Lubang. Namun, apabila anda bertemu dengan penduduk lokal yang sudah biasa pulang balik melintasi jalur ini, percaya dech, mereka akan dengan senang hati menginformasikan keberadaan Batu Lubang ini. Nikmatilah Batu Lubang ini tetap dengan pikiran positif, agar nuansa seramnya tidak terbawa-bawa. Hehehe.

Sunday, May 20, 2012

Manggis Dan Durian Tapanuli

Saya tidak tahu apa yang terjadi, namun tampaknya saya tertidur karena jalanan yang cukup statis dengan pemandangan yang cukup monoton (ini kelemahan saya ketika perjalanan. Huft). Ketika terbangun, saya sudah berada di dunia yang berbeda itu. Wow. Nuansa berbeda langsung sekejab saya rasakan. Rumah yang mendekati tepian jalan yang sempit, pepohonan yang semakin rapat, dan perbukitan yang semakin dekat. Walaupun tidak ada papan petunjuk yang bisa membantu (ya, saya menyadari bahwa ruas Tarutung – Sibolga adalah salah satu ruas yang miskin papan petunjuk-mungkin juga disebabkan karena tidak banyak percabangan jalan kali yach-) entah mungkin sekolah dasar, kantor camat, atau apapun itu, namun saya yakin sekali bahwa saya sudah memasuki wilayah Tapanuli Tengah. Saya berjalan dari desa ke desa, dan melewati sejumlah Rumah Bolon (nuansa Batak Toba mulai berkurang di wilayah ini), wc umum, hingga kios buah tradisional yang menjual manggis, durian dan sesuatu yang nampaknya air sirup manggis (warnanya hitam, kira-kira apa yach?). Sekali lagi, karena saya naik angkutan umum, maka saya tidak berhenti sama sekali. Padahal, saya ingin sekali berhenti dan bertanya dan bahkan kalau bisa mencicipi sirup yang nampaknya produksi rumahan tersebut. Yum! Selain manggis, saya pun menemukan aneka durian lokal yang dijual oleh penduduk lokal. Durian tersebut tidak besar, kemungkinan dipetik di kebun mereka sendiri (Saya nggak memikirkan kemungkinan kalau durian tersebut diimport atau dipasok dari pasar induk terdekat yang jaraknya mungkin puluhan kilometer). Masak iya sich durian saja sampai diimpor dari kota-kota tetangga? ini hutan dan ini Sumatera, bung! Buat pencinta buah-buahan eksotis terutama khas Sumatera, layak banget untuk sesekali berhenti dan mencicipi hasil kebun lokal penduduk Tapanuli Tengah nich.

Melintasi Monumen Munson Lymann

Apa sich yang saya lihat di perjalanan Tarutung – Sibolga? Di satu sisi, saya ingin agar tertidur dan tidak terpengaruh oleh kondisi jalan yang super berkelok-kelok sehingga saya nggak sempat mabuk. Namun demikian, di pihak lain, saya akan merasa amat sangat menyesal kalau-kalau tidak sempat menikmati perjalanan yang mungkin tidak tahu kapan akan saya lakukan lagi. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, Tapanuli Utara merupakan wilayah lembah dengan dataran luas di kanan kiri sehingga pemandangannya pun terasa lapang. Kondisi kontras akan saya rasakan begitu memasuki wilayah Tapanuli Tengah yang berbukit-bukit, berhutan lebat dan jalan sempit penuh kelokan, tanjakan dan turunan. Selepas Tarutung, saya memasuki wilayah Adiankoting yang notabene masih berada dalam wilayah Tapanuli Utara. Monumen Munson Lymann, dua misionaris asal Amerika yang dibunuh Raja Panggalamei di Lobupining berada di Adiankoting ini. Pintu gerbang monumennya terlihat jelas dari pinggir jalan. Saya sich ingin berhenti dan berfoto-foto sejenak karena ternyata monumen ini tidak terlalu jauh namun tidak terlalu dekat juga dari Tarutung. Namun, berhubung saya naik angkutan umum dan mengejar kapal ke Gunungsitoli, nampaknya pilihan yang ada hanyalah diam dan membiarkan Monumen Munson Lymann itu hilang terlewati. Hiks.

Friday, May 11, 2012

Dua Dunia Berbeda Tapanuli Utara Dan Tengah

Perhatikan kanan dan kiri Tapanuli Utara
Anda masih berada di Tapanuli Utara
Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, buat saya bagaikan dua dunia yang berbeda. Tapanuli Utara, dengan ibukotanya Tarutung, merupakan daerah berlembah, dengan dataran tinggi di sekeliling. Sementara itu, ketika memasuki wilayah Tapanuli Tengah dengan ibukotanya Pandan (bukan Sibolga yach), serasa memasuki hutan belukar belantara dengan aneka macam tanaman dan pepohonan lebat di kanan kiri, perbukitan naik turun, dan jalanan yang super berkelok! Nah, jalanan ini lah yang konon sangat legendaris dan sangat dicintai sekaligus dibenci oleh para pengguna jalan ruas Tarutung – Sibolga. Apa pasal? Kalau anda menikmati perjalanan yang cukup mudah melintasi wilayah Toba Samosir, Humbang Hasundutan, hingga ke Tapanuli Utara, maka bersiap-siaplah untuk menikmati ribuan kelokan di ruas Tarutung – Sibolga. Yap, anda nggak salah baca, tepatnya ada sekitar 1200 kelokan di ruas jalan yang “cuma” berjarak 66 KM ini. Kalau di Kabupaten Agam, Maninjau menuju Muko-Muko ada Kelok Ampek Puluah Ampek, atau Kelok 44, nah jumlah kelokan di tempat ini ada 1200 buah! Setidaknya demikian info yang bisa didapat saat saya mencari kendaraan menuju Sibolga. Saya sich nggak sebegitu gilanya menghitung setiap belokan yang ada, namun jumlah kelokannya memang banyak! Mungkin itu sebabnya jalanan ini mudah menuai orang-orang mabuk dan kendaraan yang kotor karena penumpangnya memuntahkan isi perutnya tanpa sempat dikendalikan. Ngeri yach? Waduh, saya sudah sangat jiper ketika akan melintasi ruas ini. Saya jadi teringat ruas Padang – Bukittinggi via Lembah Anai dan Padang Panjang yang telah sukses menghantam saya sehingga saya bener-bener nggak bisa menikmati perjalanan indah di ruas tersebut. Saya mabok nggak berhenti-berhenti sampai perut saya sakit karena isinya dikeluarkan semua. Bagaimana bisa saya menahan 1200 kelokan ini?
Lebatnya hutan di Tapanuli Tengah
Pemandangan dari dalam mobil saat di Tapanuli Tengah
Memasuki wilayah Tapanuli Tengah, jalanan yang tadinya lapang dan lebar dengan dataran di kanan kiri pun berubah 180 derajat terutama dengan ruas jalan yang (rasanya) semakin sempit, tepi jalan yang juga menyempit (mungkin juga efek dari lebatnya pepohonan) dan hampir tidak adanya lagi kota cukup besar yang bisa ditemui sepanjang perjalanan. Sepanjang perjalanan, saya hanya menjumpai sekumpulan kampung dan kemudian digantikan kembali oleh lebatnya hutan belantara yang menghiasi punggung Bukit Barisan. Yap, wilayah Tapanuli Tengah secara kebetulan memang berada di punggung Bukit Barisan. Walaupun sejumlah objek wisata cukup besar hadir di tempat ini, namun entah mengapa saya tetap merasakan bahwa rute ini sangat pelosok dan pedalaman sekali. Benar-benar memasuki dunia berbeda sama sekali dalam pandangan saya. Saya pun nggak bisa membayangkan apabila melintasi kawasan ini pada malam hari. Pastinya, kegelapan total dan pepohonan yang menari-nari dimainkan oleh lampu jalanan akan menemani kami sepanjang malam. Mengerikan.
Bukit-bukit besar menghimpit jalanan kecil
Sesampainya di Tarutung, saya diturunkan oleh sang supir di tepi jalan D.I. Pandjaitan, lokasi tempat kendaraan yang menuju Sibolga menunggu penumpang. Saya tidak mendapat kesempatan untuk meluruskan kaki dan menikmati situasi sekitar. Walaupun belum terlalu penuh, namun saya disuruh masuk ke dalam angkutan menuju Sibolga dan ditempatkan di bagian dalam! Arrrggghhh. Kacau balau! Saya paling membenci posisi duduk yang seperti ini, apalagi jarak Tarutung – Sibolga bisa dicapai dalam waktu 3-4 jam lamanya! Apabila tidak ada kota besar di antara Tarutung dan Sibolga, bisa-bisa saya duduk dengan posisi yang sama sampai di Sibolga nanti. Saya khawatir akan mabuk dan tentunya tidak bisa berfoto-foto ria. Hiks.
Benar saja, sang kenek menaikkan penumpang sebanyak-banyaknya dan cukup penuh. beberapa Inang bahkan membawa hasil bumi dan Inang persis di sebelah saya memangku sebaki penuh telur ayam! Duh. Saya nggak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau jalanannya nggak bagus. Yah, saya menunggu nggak terlalu lama sih, walaupun saya sempat membeli sekantong Kacang Sihobuk (lagi) untuk menemani saya ngemil kalau-kalau kelaparan di jalan, sampai akhirnya kendaraan pun penuh dan berangkat. Pisang (dari Hotel Bali tadi pagi), kacang di genggaman, dan kantung plastik kalau-kalau mau muntah telah saya siapkan. Sebotol minuman ringan manis pun telah saya siapkan kalau-kalau mulut saya terasa asam. Hahaha. Persiapan yang luar biasa dan saya pun berangkat.

Thursday, May 10, 2012

Kembali, Balige - Tarutung

Ya, saya akan bersiap menuju Sibolga. Sayangnya, Balige dan Sibolga masih terlalu jauh. Tidak ada angkutan umum langsung yang menuju kesana. Kecuali anda buru-buru, mungkin pilihan sewa kendaraan atau shuttle tidak terlalu menarik minat anda. Untuk menempuh perjalanan panjang Balige – Sibolga, saya hanya cukup berganti satu kali angkutan umum di Tarutung. Ya, Tarutung. Artinya, saya harus mengulangi kembali jalan yang saya tempuh dari Tarutung menuju Balige. Satu jam perjalanan, setengah jam menunggu penumpang, dan dua jam perjalanan, maka saya prediksi saya akan tiba di Sibolga empat jam kemudian. Nampaknya saya harus membeli beberapa bekal untuk di jalan nich.
Seharusnya sich saya tidak memilih-milih. Namun, rata-rata angkutan yang melewati Soposurung telah penuh. Mungkin tidak banya penumpang yang akan naik di Soposurung. Umumnya, begitu keluar Kota Balige, angkutan telah terisi penuh. Ya maklum, Soposorung bisa dikatakan sebagai pinggirannya Balige. Nggak heran, situasi di sekitar agak sepi dibandingkan dengan di pusat kota. Karena selalu penuhnya angkutan, saya membuang waktu beberapa menit untuk mendapatkan angkutan yang pas. Apalagi, saya memang menghindari duduk di tengah atau di belakang angkutan yang sudah pasti sangat berjejal, nggak bisa nafas dan berpotensi membuat mabuk. Hihihi. Daripada kacau seluruh perjalanan, ya tunggu sebentar nggak papa kali yach. Kemudian, berhentilah seuntai(?) angkot yang mengerem sedemikian rupa setelah melihat saya. Ia butu-butu mundur dan supirnya turun untuk menemui saya. Wow! Servis luar biasa! Ia bertanya kemanakah saya akan menuju dan saya mengatakan Sibolga. Ya, sesuai dugaan saya, bapak itu berkata bahwa tidak ada angkutan menuju Sibolga langsung dari Balige. Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak dan sudah tidak ada pada saat saya menunggu di tepi jalan itu. Ia menawarkan saya untuk menumpang angkutan umumnya (yang saat itu sudah kelewat penuh). Terus terang saya tidak tertarik dan langsung mengatakan bahwa angkutan si bapak telah penuh. Namun, secara ajaib, ia mengatur pengaturan tempat duduk di dalam angkutan dan secara mengejutkan, saya mendapat tempat yang sangat bagus, di depan bersama supir di tepi jendela! Hore, saya bisa menjelajahi Balige – Tarutung sambil berfoto-foto pastinya.
Angkutan umum di daerah, contohnya Balige – Tarutung secara umum akan menipis jumlahnya saat sore hari. Jadi, pastikanlah anda sudah tiba di lokasi tujuan sebelum sore menghadang. Usahakan sore hari hanya digunakan untuk menyusuri tujuan yang sudah tidak terlalu penting atau mudah dicapai. Saya masih cukup beruntung mendapatkan angkutan yang akan membawa saya, walaupun sudah lewat tengah hari. Oh ya, Rute Balige – Tarutung akan ditempuh dalam 1 jam dan akan melewati Gurgur, Silangit, Siborong-borong, Huta Raja, dan Sipoholon. Pemandangan yang terlihat? Dari Balige sampai Gurgur, pemandangan bukit kehijauan masih dapat anda nikmati. Namun, dari Silangit sampai Siborong-borong, hutannya mulai agak sedikit berkurang kelebatannya. Melewati Huta Raja dan Sipoholon, pemandangan yang anda nikmati akan ditambah dengan tebing bebatuan kapur (ini menjelaskan mengapa di Sipoholon banyak sekali sumber pemandian air panas). Sepanjang perjalanan, angkutan yang saya tumpangi jarang menaikkan atau menurunkan penumpang. Saya rasa sangat wajar mengingat banyak tempat yang dilalui rute angkutan ini merupakan ladang atau hutan. Untuk durasi 1 jam perjalanan, saya membayar Rp. 15.000 saja dan menunggu sejenak di Kota Tarutung, arah menuju Tapanuli Tengah.

Tuesday, May 08, 2012

Makan Siang Kilat Di Pagar Batu, Soposurung

Inang itu membetulkan posisi mukena yang ia kenakan ketika saya memasuki rumah makan sederhananya yang berada di Soposurung, pintu masuk Objek Wisata Pagar Batu yang berisi Makam Raja Sisingamangaraja XII dan T.B. Silalahi Center. Dengan gaya khas Batak dan raut wajah yang keras, Inang itu menyapa saya, bertanya ingin makan apa. Ya, saya menyudahi kunjungan saya di Balige dan bersiap menuju Sibolga sore nanti. Saat ini, waktu adalah sangat berharga. Saya tidak boleh menyia-nyiakan waktu karena berimbas pada keberangkatan kapal yang akan saya tumpangi menuju Gunungsitoli nanti malam. Ada sich, perasaan ingin mampir ke pusat Kota Balige. Namun, saya lebih takut ketinggalan kapal. Akhirnya, saya makan di warung Inang ini.
Makanan yang disediakan pun a la kadarnya dan tidak terlalu istimewa. Saya memesan bihun goreng dan segelas jus terong Belanda (Kayaknya, mumpung berada di wilayah Sumatera Utara, harus sering-sering minum ini dech. hehehe). Rasa makanannya pun biasa saja, khas masakan rumah. Standard khas bihun goreng, namun cukup mengenyangkan dan bumbunya oke buat saya. Harga makanan di kedai ini pun sangat bersahabat dengan kantong. Tidak mahal, walaupun kedai ini terletak sepelemparan batu saja dari pintu gerbang objek wisata Pagar Batu yang berisi dua objek wisata andalan Balige. Pada saat saya menikmati makan siang saya yang tertunda pun, serombongan konvoy motor turis asing memasuki pintu gerbang dan langsung menimbulkan suasana riuh. Pemandangan ini cukup menarik minat saya walaupun sang Inang tampak biasa-biasa saja. Tampaknya objek wisata Pagar Batu ini telah menjadi semacam komoditas unggulan bagi Balige dan Toba Samosir. Perkiraan saya, mereka datang berkonvoy naik sepeda motor dari Tuk-Tuk sana, surganya para turis asing. Walaupun masih mungkin, namun saya rasa sangat jarang turis asing tinggal di Balige dan meninggalkan pesona Tuk-Tuk sebagai lokasi pilihan favorit mereka.
Seorang pembeli datang (dengan pakaian tidur) untuk menikmati nasi goreng Sang Inang. Sambil ia duduk, sang Inang pun mengobrol dengannya, kemudian mengarah kepada saya. Sudah barang tentu, penampilan saya yang sangat bukan-warga-lokal telah memancing sang Inang untuk bertanya. Saya ceritakan saja, bahwa saya berasal dari Tarutung, menuju Balige untuk melihat makam Ompu Sisingamangaraja XII dan T.B. Silalahi Center, serta akan bertolak menuju ke Sibolga dalam rangka menuju Nias. Sang Inang terperangah lebih lanjut ketika ia tahu bahwa saya pergi seorang diri. “bisa jantungan mamak kalau anak Inang pergi-pergi seperti ini”, begitu katanya sembari mensyukuri bahwa anaknya tidak pernah pergi seliar saya. Hihihihi. “Tidak takutkah, adek?”, begitu tanyanya setelah ia berhasil mengendalikan rasa kagetnya (nampak jelas sebab beliau mengelus-elus dada dan mimiknya terperangah). Saya jelaskan bahwa saya tidak takut. Saya jelaskan lebih lanjut, justru orang jahat itu lebih banyak berada di kota besar. Dengan saya yang berasal dari Jakarta, nampaknya justru saya harus lebih takut pada lokasi kediaman saya sendiri, bukan? Saya jelaskan lagi, sepanjang perjalanan saya yang sudah mencapai 4 hari di belantara Sumatera Utara ini, saya justru menemukan orang-orang terbaik dalam hidup saya ini. Hmm...saya bisa melihat senyum tipis menghiasi wajah sang Inang yang memang keras, sangat khas Batak tersebut.
Obrolan berlanjut semakin kental antara saya, Sang Inang dan pengunjung lain. Sembari menikmati makan siang, saya mengobrol tentang berbagai kondisi di Sumatera Utara ini. Sayang, saya harus menghabiskan makanan dengan cepat dan segera meluncur ke jalan untuk mencari angkutan menuju Sibolga. Saya tidak bisa berbincang lama-lama dengan Sang Inang. Ah...andai saya memiliki waktu lebih di tempat ini. Saya menyudahi percakapan saya dengan Sang Inang dan pembeli lainnya. Untuk makanan yang saya konsumsi, saya hanya cukup membayar Rp. 16.000 saja! Harga yang sangat murah, kembali lagi mengingat Pagar Batu adalah gerbang wisata andalan Toba Samosir. Teriring dengan doa semoga Tuhan beserta saya dan agar selalu berhati-hati dari Sang Inang, saya kembali menuju ruas Balige – Tarutung.

Saturday, May 05, 2012

Mengapresiasi Museum Koleksi Pribadi T.B. Silalahi Center

Dan, tibalah Imelda Limbong mengantarkan saya pada bangunan utama sekaligus bangunan terakhir yang ada di T.B. Silalahi Center ini. Bangunan yang berada paling depan ini adalah Museum Pribadinya Bapak T.B. Silalahi. Petugas keamanan yang berjaga di tempat ini sebelumnya telah mengarahkan saya untuk menuju Museum Batak terlebih dahulu sebelum menuju ke museum pribadi Bapak T.B. Silalahi ini. Hmm...ada apa sich di dalam museum ini? Secara pribadi, saya sich bukan penggemar berat museum koleksi pribadi. Saya lebih suka museum yang menawarkan informasi secara umum, pengetahuannya bersifat universal, bukan tentang satu tokoh tertentu saja. Dalam hal ini, saya lebih suka Museum Batak dibanding museum pribadi T.B. Silalahi Center. Walaupun museumnya cukup menarik juga, namun mungkin dari dalam diri saya yang memang lebih cenderung menyukai museum dengan muatan yang lebih umum, dibanding yang khusus seperti ini. Sama halnya ketika saya kurang bisa mengapreasiasi museum seni rupa atau lukisan. Hehehehe. Sudah dari sananya begitu kali yach?
Museum koleksi pribadi Bapak T.B. Silalahi ini berisi akan benda-benda koleksinya beliau, sekaligus pula tentang perjalanan hidup beliau mulai dari kecil hingga sekarang. Setiap kembali ke Balige, pasti Bapak T.B. Silalahi akan menyempatkan diri untuk mengunjungi museum ini dan memberi masukan guna pengembangan dan detail apa saja yang perlu dilakukan di museum ini. Di mata para kurator, beliau adalah orang yang baik dan murah hati walaupun memang tegas dan mendetail terutama jika menyangkut pekerjaan. Tak jarang, apabila pengerjaan museum ini tidak sempurna, ia akan memprotesdan meminta untuk diulang hingga hasilnya memuaskan.
Adapun sejumlah koleksi yang ditawarkan di dalam museum pribadinya ini adalah seluruh benda-benda koleksi pribadinya dari seluruh Indonesia dan dunia, benda-benda kenang-kenangan dan persahabatan dari berbagai duta bangsa, hingga seragam masa kecil ketika sedang bersekolah dahulu. Satu hal yang menarik buat saya adalah adanya keberadaan sepasang patung yang menggambarkan Bapak T.B. Silalalahi beserta ibu di kala tua nanti. Kedua patung tersebut mengenakan pakaian adat Batak dan saya hampir tidak mengenalinya karena wajah patung tersebut bercambang. Menurut Imelda Limbong, patung tersebut cukup mirip dengan Bapak T.B. Silalahi yang sekarang. Benda lainnya yang saya suka adalah pakaian adat Nias yang diberikan sebagai bentuk penghargaan untuk beliau karena telah membantu masa-masa rekonstruksi bencana gempa dan tsunami di Nias. Adapun satu buah ruang kerja utuh yang dipagari dan tidak boleh dimasuki yang konon masih menjadi ruang kerja Bapak T.B. Silalahi setiap bertandang ke Balige. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan disini karena memang variasi dan jumlah koleksinya tidak sebanyak Museum Batak. Walaupun berstatus barang pribadi, namun Imelda Limbong sangat baik hati dengan mengijinkan saya untuk memfoto sejumlah koleksi beliau yang dipajang di museum tersebut. Sempatkanlah mencicipi museum koleksi barang pribadi ini kalau anda berkunjung ke T.B. Silalahi Center.

Hariara, Si Jantung Huta

Pohon ini sering sekali diasosiasikan sebagai Beringin, walaupun sebenarnya berbeda dengan beringin yang kita kenal, salah satunya ya beringin menjadi lambang suatu partai itu loch. Namun dalam adat Batak, keberadaan pohon ini (atau beringin juga terkadang disebut-sebut) sangat kental adanya. Menilik dari namanya, Hari=hari dan Ara=tujuh, maka pohon ini sering disebut sebagai pohon hari ketujuh. Apa pasal? Masyarakat Batak jaman dahulu konon selalu menanam pohon ini sebelum mulai membuka suatu Huta. Apabila Pohon Hariara ini dapat tumbuh hingga hari ketujuh, artinya tanah di kawasan ini cukup baik untuk dijadikan Huta dan perkembangan masyarakat ke depannya. Tanah yang dapat membuat Pohon Hariara hidup setelah hari ketujuh dipercaya bebas tulah, bebas petaka, dan dipercaya akan membawa kemakmuran pada masyarakat Batak yang tinggal di dalam Huta yang ditumbuhi Pohon Hariara tersebut. Karena posisinya, pohon ini umumnya menjadi titik sentral dalam kehidupan masyarakat Batak.
Coba dech sesekali anda berjalan ke Huta Batak yang masih asli. Biasanya, pohon ini selalu ada, tidak pernah absen. Pohon ini digunakan sebagai pembatas antara Huta yang satu dengan Huta yang lain, terkadang bahkan dipercaya sebagai simbol pengawal desa. Pohon Hariara dipercaya pula sebagai lokasi untuk mamele atau berdoa kepada penghuni alam gaib. Kebudayaan seperti ini cukup erat dengan masyarakat Indonesia atau Asia Tenggara yach, sebagai contoh bisa dilihat pada penduduk Kalimantan, Jawa dan Bali yang beberapa sukunya mengagungkan pohon ini dan mempercayai bahwa pohon ini “bernyawa”. Seiring dengan posisinya yang menandai suatu Huta, pohon ini dipakai juga untuk menandai kepemilikan satu wilayah atau juga lambang suatu marga. Lebih jauh lagi, Pohon Hariara sering dipakai sebagai saksi untuk perjanjian antar komunitas.
Pohon ini dapat tumbuh tinggi besar, kokoh, berakar tebal dan menjalar kemana-mana serta tahan berbagai cuaca dengan masa hidup yang lama. Satu Pohon Hariara yang tumbuh di satu Huta Batak di T.B. Silalahi Center ini saja sudah berusia 120 tahun lamanya. Karena sifatnya yang demikian, pohon ini disebut sebagai pohon hidupnya Orang Batak. Orang tua pun berharap bahwa anak-anaknya hidup seturut filosofi Pohon Hariara ini, tumbuh tinggi, besar dan kuat, membenamkan akar jauh ke dalam perut bumi, menjadi sumber hidup, dan saluran berkat bagi sesama dan makhluk hidup lainnya. Dalam keseharian hidup masyarakat Batak, rindang dan teduhnya pohon ini sering dijadikan lokasi untuk melakukan berbagai kegiatan, mulai dari anak-anak yang bermain, hingga orang dewasa yang saling berkumpul di bawah pohon untuk membicarakan sesuatu. Nah, coba deh cermati saat anda memasuki suatu Huta Batak, dapatkah anda menemukan dimanakah Pohon Hariara?