Friday, July 20, 2012

Menjemput Penumpang Di Bandara Binaka Gunungsitoli

Selamat Datang di Bandar Udara Binaka
Plang Bandara Binaka di Pertigaan
Bandar Udara Binaka (GNS) adalah bandar udara utama di Nias, penghubung dengan daratan Sumatera, tepatnya di Kota Medan. Sayangnya, selain penerbangan reguler, hanya ada penerbangan langsung carteran yang melayani kota Medan – Gunungsitoli dan sebaliknya. Ini artinya, anda harus merogoh kocek lebih dalam untuk naik pesawat kecil yang melayani dua kota ini kalau mau memaksakan diri mencarter pesawat. Lebih disayangkan lagi, Sumatera Utara itu kan wilayah yang cukup lebar. Bandara kecilnya tersebar di berbagai kabupaten seperti misalnya Barita di Parbaba, Pangururan, Samosir; Sibisa di Toba Samosir; Silangit di Tapanuli Utara; Drs Ferdinand Lumban Tobing, Pinang Sori di Tapanuli Tengah; dan Aek Godang di Tapanuli Selatan. Namun nyatanya, tidak ada lalu lintas antara bandara-bandara kecil di kabupaten seluruh Sumatera Utara ini. Semua bandara kecil ini hanya terkoneksi dengan Polonia saja sebagai hub utama. Hal ini diperparah dengan minimnya jadwal penerbangan dan informasinya. Jadi, naik kendaraan umum di darat untuk kemudian menyambung dengan pesawat kecil tampaknya bukanlah opsi yang menarik untuk dipertimbangkan. Informasi terakhir, saya mendapati bahwa ada pesawat rute Pinang Sori – Gunungsitoli namun kebenarannya sulit untuk dibuktikan walaupun dikatakan beroperasi seminggu sekali pada hari selasa. Saya tidak ingin mengambil resiko dan mengacaukan seluruh rencana perjalanan saya, maka saya memilih jalur darat sebagai jalur yang terpercaya. Apabila anda nekad mau mengambil jalur udara, selalu cek berkali-kali mengenai jadwal apakah bisa dipercaya atau tidak. (Hubungi Bapak Ariyanto di 081376689935 : info : Selasa : Sibolga – Gunungsitoli ; Rabu : Gunungsitoli – Pulau Tello – Sibolga : pesawat baling-baling NBA berkapasitas 18 orang dengan harga Rp. 165.000 – 175.000 karena disubsidi oleh pemerintah daerah Nias)
Jalan masuk menuju Bandara Binaka dari ruas utama
Ini sebabnya ketika pesawat Citilink yang saya tumpangi tidak bisa mendarat lantaran sebuah Susi Air pecah ban di Polonia, sedikit hati kecil saya agak berharap bahwa pesawat akan dialihkan setidak-tidaknya ke Pinang Sori, Aek Godang, Silangit, atau setidak-tidaknya Sibisa, lah. Hahaha. Lumayan, bisa menghemat waktu perjalanan khan? Sayangnya, itu tidak terjadi karena pesawat dialihkan ke Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru dan tidak ada yang boleh turun. Alhasil, saya menunggu di dalam pesawat sambil dongkol, untung saja nggak dikasih menu makan siang ikan tongkol. Hihihi. Saya tiba kembali di Polonia pukul 12 siang, terlambat 3 jam dari jadwal yang artinya saya harus mengubur harapan saya untuk sampai Sibolga pada malam hari. Huh.
Areal parkir Bandara Binaka
Bangunan Utama Bandara Binaka
Bandara Binaka bukanlah bandara besar. Letaknya agak jauh dari pusat kota yakni sekitar 15 KM. Dengan panjang landasan hanya 1800 meter saja, jelas Boeing 737 dan Airbus A320 tidak mungkin mendarat di tempat ini. pesawat yang melintasi rute ini hanyalah pesawat-pesawat kecil seperti Casa, Cessna, Fokker, dan pesawat yang tidak membutuhkan landasan panjang untuk lepas landas maupun mendarat. Uniknya, walaupun bandara kecil, namun Binaka ternyata cukup sibuk dengan lalu lintas pesawat di sekitarnya. Maskapai Lion Air saja memiliki 4 rute penerbangan bolak balik Medan setiap harinya. Belum lagi Merpati. Kemudian ada pesawat carteran seperti Susi Air yang bolak-balik melayani rute ini. Yah, walaupun kesibukannya nggak bisa dibandingkan dengan misalnya saja Polonia, Medan, namun untuk ukuran sebuah kabupaten, bandara ini oke punya. Ini juga alasan mengapa Bandara Binaka merupakan tempat yang potensial untuk menjemput tamu. Ya, dengan jarak 15 KM dari pusat Kota Gunungsitoli, tamu yang baru tiba akan kesulitan kalau nggak memiliki kendaraan untuk membawa mereka menuju ke Gunungsitoli atau Teluk Dalam. Ini salah satu alasan mengapa taksi yang saya tumpangi masuk kompleks bandara dan menunggu untuk menjemput tamu yang baru saja mendarat. Walaupun lagi-lagi menunggu, tapi setidaknya saya sudah bisa menjenguk Bandara Binaka walau tidak sempat mencicipi pesawat yang mendarat di bandara ini. hehehe.
Bangunan utama bandara Binaka yang sudah kusam
Bandara yang menempati areal cukup lebar ini tidak memiliki ciri khas bangunan Nias sama sekali kecuali sebuah rumah adat Nias khas Nias Utara yang terbangun di sisi depan kompleks bandara, itu pun kalau memang rumah tersebut masih termasuk dalam kompleks bandara. Bangunan bandara secara umum berupa kotak-kotak saja, berwarna dasar biru cerah dan putih. Namun, cuaca dan waktu telah memudarkan kecerahan tersebut. Sebagian besar catnya telah terkelupas dan tertutup dengan kotoran serta lumut sehingga kesan kurang terawat sangat kuat terasa di bandara ini. Untungnya, areal parkirnya yang cukup luas mampu menampung ratusan kendaraan walaupun saya yakin kalau tingkat kesibukan bandara ini meningkat, jangankan areal parkirannya, namun luas bangunannya pun perlu ditambah. Kompleks Bandara Binaka ini juga bersatu dengan kantor Stasiun Meteorologi Binaka – Gunungsitoli.
Kantor Penjualan tiket NBA
Yang menarik, ada satu bangunan yang memasang spanduk warna merah dengan tulisan NBA, PT. Nusantara Buana Air. Di sebelah judul, spanduk itu menjelaskan rute-rute yang dilayaninya yakni Gunungsitoli menuju Pulau Tello, Sibolga, Silangit, dan Sinabang pulang pergi. Wow! Sebagai informasi, Pulau Tello adalah bandara yang berlokasi di Pulau-Pulau Batu, bagian dari Kabupaten Nias Selatan, terlepas dari pulau utama Nias. Sementara Sinabang adalah ibukota Kabupaten Simeulue, Nanggroe Aceh Darrusalam. Hmmm? Jadi ada yach rute menuju tempat-tempat ini dari Gunungsitoli? Spanduknya sich terlihat baru dan bersih, namun bangunan tersebut tampaknya tidak berpenghuni. Sudah lama tidak berpenghuni atau semata karena hari minggu-kah? Saya tidak sempat bertanya atau mencari informasi lebih lanjut tentang ini. Mungkin teman-teman bisa bantu?
Bandara Binaka dari kejauhan. Terlihat ATC
Beberapa penumpang tambahan datang dan membawa barang bawaan yang lebih banyak lagi. Kami diminta untuk keluar karena sang supir mau menyusun lebih banyak barang lagi di pucuk taksi. Wow, sejumlah barang bawaan ditambahkan lagi dan dibebat dengan tali tambang plastik yang lebih banyak lagi. Bahkan, konstruksi tali dibuat sedemikian rupa hingga mengikat bagian pintu yang saya tempati. Alhasil, sebelum sampai Teluk Dalam, saya tidak bisa keluar lewat pintu yang saya tempati, harus keluar lewat pintu sisi satunya lagi. Hahaha. Untung saja, semua barang-barang tersebut dapat tertata dengan baik dan dibantu dengan kemahiran sang supir dan co-supir untuk menata, perjalanan pun siap dilanjutkan lagi menuju Teluk Dalam dengan segera. Dengan tambahan penumpang lagi, sekarang taksi ini sudah benar-benar penuh. Saya hanya berharap bahwa taksi ini tidak berhenti lebih lanjut lagi untuk menambah penumpang. Selain membuat sempit kapasitas duduk, waktu pun semakin terulur. Semoga.

Thursday, July 19, 2012

Sisi Lain : Bunga Papan Ucapan A La Nias

Ya ini mungkin cuma asumsi saya saja sich, namun karena bunga papan yang biasa tampak di sekitar tempat tinggal saya adalah papan bunga ucapan dengan bunga-bunga, maka saya jadi bertanya-tanya ketika melihat papan bunga yang lain dari biasanya ini. Papan bunga ucapan di Nias agak berbeda dan cukup menarik mata saya karena cukup mencolok mata dan tidak ada hiasan bunganya sama sekali sehingga saya kembali bertanya-tanya, masih relevankah untuk disebut bunga papan? Hehehe. Saya beberapa kali melihat bunga papan ini (tetap gunakan istilah yang sama saja yach) di tepi jalan, berderet-deret dan kebanyakan digunakan untuk mengungkapkan duka cita, alih-alih suka cita. Ya, beberapa bunga papan yang kebetulan berdiri di tepi jalan raya Gunungsitoli – Teluk Dalam ini memang mengungkapkan duka cita atas meninggalnya seseorang. Uniknya, seperti yang saya katakan tadi, tidak ada unsur bunga sama sekali yang digunakan di papan ini. semua ucapan dan hiasan tampaknya menggunakan material busa dan kertas krep yang dibentuk menjadi deretan kata-kata dan tulisan. Pemilihan materialnya sendiri cukup sederhana menurut saya, namun justru menjadikan bunga papan ini sangat mencolok dalam segi warna karena kertas krep dan busa memiliki warna yang mencolok dan menyala. Hmm...saya jadi bertanya-tanya, apakah di Nias tidak ada dataran tinggi sehingga menanam bunga potong agak sulit dilakukan? Tentu, dengan transportasi yang semakin baik seharusnya lalu lintas dari daratan Sumatera menuju Nias semakin mudah untuk dilakukan. Apakah nilai ekonomisnya belum tercapai kalau nekad membawa bunga dari daratan Sumatera? Atau karena kebiasaan dan adat sajakah? Atau justru ternyata Nias memiliki perkebunan bunga potong? Atau ada alasan lain? Bagaimana pendapat teman-teman?

Tuesday, July 17, 2012

Berkenalan Dengan Banua Niha Keriso Protestan

Ada yang baru di Nias. Selepas meninggalkan Sibolga, saya sudah tidak melihat HKBP (Huria Kristen Batak Prostestan) lagi. Sebagai gantinya, ada BNKP (Banua Niha Keriso Protestan) yang tersebar dimana-mana. Belum keluar dari Gunungsitoli saja, saya sudah melihat sejumlah BNKP berderet di tepi jalan. Sebagian besar penduduk Nias merupakan jemaat BNKP nampaknya.
Ya, kalau saya baca sejarah BNKP, wilayah jelajah Nommensen waktu itu memang tidak mencapai Nias. Menariknya, gereja pertama yang menyambangi Nias adalah misionaris Perancis yang berhaluan Katolik. Namun karena masa kerjanya yang tidak berlangsung lama karena kedua pastor ini keburu meninggal dunia. Selang beberapa puluh tahun kemudian, barulah Rheinische Missions-Gesselschaft atau yang biasa dikenal dengan RMG masuk dan melakukan penginjilan di Nias. Sebagai informasi, RMG ini adalah badan yang sama dengan badan yang melakukan perutusan ke dataran tinggi Toba dan melakukan pembabtisan perdana pada orang Batak. Pada awalnya, jemaat yang ada di Nias tidak tumbuh dengan pesat, namun selepas kedatangan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1900, jumlah jemaat tumbuh dengan pesat hingga mencapai beberapa puluh ribu dalam waktu beberapa tahun saja. Kini, BNKP adalah gereja paling populer di Nias, populasinya sekitar 60% penduduk, bersanding dengan Gereja Advent, Gereja Pantekosta Tabernakel, Gereja Katolik, dan Masyarakat Muslim. Bahasa pengantar resmi yang digunakan di BNKP, baik untuk alkitab adalah Bahasa Nias Utara. Alkitab perjanjian baru pun telah diterjemahkan dalam bahasa Nias ini. Unik, dan saya nggak mengerti sama sekali. Hihihi.
Gereja-gereja BNKP di Nias tersebar dimana-mana, mulai dari tepi jalan hingga pedalaman. Bentuk bangunan BNKP secara umum sederhana namun bentuknya khas, biasanya dengan bangunan menara gereja utama dengan atap bersusun dan salib di puncaknya. Pembeda antara satu jemaat dengan jemaat lainnya hanyalah wilayah yang ditandai seperti : Jemaat Fodo, Jemaat Nazaret, Jemaat Ononamolo, Jemaatn Yohanes, Jemaat Bawomataluo, dan lain-lain. Walaupun fisik gerejanya cukup sederhana seperti tampilan di beberapa foto di postingan ini, namun pada hari minggu, saya mendapati warga Nias sungguh bersuka cita untuk datang ke gereja (yang biasanya pagi) dengan pakaian yang rapih dan sopan. Yang wanita pun sebagian besar menggunakan rok, dan kaum tua menggunakan kebaya atau batik. Indah yach? Barangkali teman-teman nasrani berminat untuk mengikuti kebaktian di tempat ini sesekali?

Sunday, July 15, 2012

Sisi Lain : Toilet Terminal Bus Gunungsitoli...Jangan Kaget!

Ketika taksi sudah mau melanjutkan perjalanan, saya yang tak ingin kenyamanan perjalanannya terganggu memutuskan untuk membuang air kecil saya terlebih dahulu. Daripada nahan-nahan selama 2-3 jam ke depan dan perjalanan jadi nggak nyaman, lalu minta supir untuk berhenti di suatu tempat sementara penumpang lainnya nungguin? Lebih baik saya buang dahulu sebelum perjalanan dilanjutkan, khan? Nah, saya mencari-cari lokasi toilet di Terminal bus Gunungsitoli. Dimanakah toilet tersebut berada? Saya memutari terminal dan tidak mendapatkan apapun karena tidak ada tulisan toilet sama sekali. Tidak ada yang bisa ditanyai karena saya jarang melihat orang disini. Eh, di sudut sana ada seorang ibu yang sedang bermain bersama anaknya. Saya hampirilah mereka dan memamerkan senyum saya yang paling manis. *tring*. “Ibu, maaf, dimanakah toilet berada?”. Sambil tetap tersenyum, si ibu beranjak dan kemudian menunjuk rumahnya, “toilet, silahkan”. Hah?
Ternyata entah saya kurang teliti mencari atau memang tidak ada toilet sama sekali di Terminal bus Gunungsitoli. Alih-alih toilet umum, kios kecil sayur dan makanan ringan ibu itu yang tampaknya digunakan juga sebagai rumah difungsikan pula sebagai toilet umum. “Lurus saja, di ujung sana”, kata si ibu. Ya, saya menuruti ibu tersebut. Lalu sampailah saya pada sebuah lorong di bagian belakang rumah. Toiletnya nampaknya berada di sudut kiri lorong tersebut. Namun ada sesuatu di deretan lorong sebelah kanan. Pagar-pagar setinggi satu meteran berkotak-kotak berderet sepanjang lorong, memenuhi sisi sebelah kanan. Suara geraman dan dengusan rendah terdengar saat saya memasuki lorong tersebut. Ooops... ini adalah kandang babi! Agak kaget sich dan saya nggak terlalu senang juga berada agak dekat dengan babi yang ukurannya lumayan besar tersebut. Untung saja ada pagar tersebut, tapi bagaimana kalau babi tersebut memanjat? Huft. Ya, saya melakukan hajat saya dengan segera namun agak susah karena penerangan di tempat ini sangat gelap dan seadanya. Belum lagi bagian belakang rumah yang tertutup dan pengap membuat suasana semakin tidak menyenangkan. Ini menjelaskan kenapa foto yang saya ambil nggak fokus dan blur semua.
Segera, setelah saya menyudahi ritual saya, saya memutuskan untuk berfoto di lokasi ini. Walapun berbulu hitam dan panjang, namun nampaknya babi yang dipelihara disini adalah babi ternakan, bukan babi hutan. Maklum, sebagian besar penduduk Nias menganut agama Nasrani sehingga babi adalah makanan yang cukup lazim ditemukan. Namun, memiliki kandang babi yang menyatu dengan toilet dan rumah? Saya agak kaget sich sebenarnya walaupun mungkin masih ada lagi kebiasaan serupa di Nias ini. Segera, setelah saya keluar, saya mengucapkan terima kasih kepada sang ibu. Nah, disini saya dilema, bayar atau nggak yach? Namun, karena saya melihat posisi si ibu sebagai orang yang menawarkan fasilitas umum, maka saya akhirnya membayar Rp. 2.000 yang diterima ibu tersebut dengan sukacita. Oh, berarti memang harus membayar kalau menggunakan jasa toilet di rumah beliau. Nggak lupa saya mengucapkan salam khas Nias "Ya'ahowu" agar bisa diterima dengan lebih baik lagi. Eh, sang ibu melontarkan ucapan serupa pula sambil mengatakan bahwa ia mengira saya adalah turis Jepang. *awww, you, please, stop it. fuhuhu* hehehe. Hmm...terus terang, selepas taksi beranjak dari Terminal bus Gunungsitoli, saya masih penasaran, dimanakah letak toilet umum yang sesungguhnya di Terminal Bus Gunungsitoli itu?

Ngetem Lama Di Terminal Gunungsitoli *sigh*

Becak Motor Khas Gunungsitoli
Saya sich senang, saya pikir taksi ini akan langsung bertolak menuju Teluk Dalam dan saya akan tiba di Teluk Dalam tidak lama lagi. Setelah itu, saya akan segera bisa menjelajah banyak desa adat di Nias. Namun, belukm 5 menit berjalan, taksi tersebut melewati jalan utama di Gunungsitoli yang memang sepi, untuk kemudian masuk ke Terminal Bus Gunungsitoli yang juga sama-sama sepi. Taksi berputar sekali dan kemudian parkir di dekat pintu keluar terminal. Loch?
Kantor Terminal Bus Gunungsitoli
Sejumlah penumpang turun, bahkan yang duduk di belakang saya pun turun. Sang supir tidak memberitahukan saya dan mesin mobil pun dimatikan. Sejumlah penumpang duduk-duduk santai di areal pintu keluar terminal sambil merokok. Ha? Ini orang-orang pada mau ngapain yah? Yach, saya sich nggak berpikir panjang, saya hanya menduga ini semacam istirahat sejenak (istirahat sehabis 5 menit berkendara? Ya betul!). oleh karena itu, saya diam saja di dalam mobil sambil menunggu. Mudah-mudahan nggak lama.
Suasana Kota Gunungsitoli Yang Sepi Pada Minggu Pagi
Namun, lama berselang, sekitar 10 menit yang membuat bosan, akhirnya saya keluar dan menenteng kamera saya untuk mengamati kondisi sekitar. Nampaknya sang supir menunggu satu atau dua tamu lagi di jalan raya Gunungsitoli yang luar biasa sepi tersebut. Sesekali, hanya ada satu kenbdaraan melintas, beberapa sepeda motor, dan sejumlah becak motor. Efek hari minggu kah? Efek dimana semua warga pergi ke gereja dan tidak melakukan kegiatan sama sekali? Sejumlah warga Gunungsitoli duduk-duduk di dekat areal terminal sambil mengobrol. Aktifitas padapagi itu dapat dikatakan sangat jauh dari keramaian. Waktu memang masih menunjukkan pukul 7 yang baru saja lewat. Tapi buat saya, ini terlalu lama.
Penumpang Tambahan! *yay*
Mau tahu kapan taksi kembali bergerak? Kurang lebih satu jam penantian yang membuat saya geregetan karena nggak sabar, akhirnya taksi kembali diberangkatkan. Sang supir dan co-supirnya alias kenek akhirnya mendapatkan (atau memang sudah dipesan sebelumnya) satu (atau dua?) penumpang tambahan. Barang tambahan penumpang tersebut diikat di atas atap taksi yang sudah hampir penuh tersebut dan kepadatan di dalam mobil pun bertambah. Untung saja saya mendapatkan posisi di tepi jendela sehingga saya memang leluasan untk melihat-lihat keadaan sekeliling dan berfoto. Sayangnya, tempat duduk yang saya tempati merupakan jalur masuk atau keluar bagi penumpang yang duduk di belakang saya. Alhasil, begitu mobil berhenti atau mau naik, saya harus sigap dan waspada mempersiapkan mereka untuk keluar atau masuk mobil. Mau tahu situasi Gunungsitoli pada pagi hari minggu sekitar jam 7? Lihat gambar-gambar ini. Satu kata : sepi.
Supir Yang Membawa Saya Menuju Teluk Dalam
Becak Sepeda Tanpa Motor Khas Gunungsitoli
Ada Prudential Juga Di Gunungsitoli

Thursday, July 12, 2012

Selamat Datang Di Nias, Ya'ahowu!

Ah, selamat datang di Nias! Saya merasa seperti memasuki dunia baru ketika berpindah dari daratan Sumatera di Sibolga menuju Pulau Nias. Bentuk kebudayaan yang berbeda sama sekali akan saya temui di pulau ini. Walaupun mitologi pra-Siraja Batak menyebutkan bahwa orang Nias memiliki hubungan kekerabatan dengan orang Batak, namun dari segi bahasa dan kebudayaan, saya sukar menemukan tali merah yang menghubungkan kedua etnis ini. Beda halnya apabila saya mencoba untuk menghubungkan katakanlah Orang Karo, Orang Mandailing, dengan Orang Toba. Ada sejumlah marga yang sama dan dipakai di beberapa etnis tersebut. Namun di Nias, anda akan menemukan sejumlah marga yang sama sekali berbeda dan tidak akan pernah digunakan oleh orang Batak (contoh saja : Halawa, Lahömi, Marulafau, Sisökhi, Taföna'ö, Waruwu, dan Zamasi). Belum lagi kalau ditelaah dari segi bahasa yang sangat berbeda. Bahasa Orang Nias cenderung mirip Polinesia yang banyak huruf vokalnya. Huruf dan lafal Nias pun banyak menggunakan huruf 'Z', huruf yang jarang dipakai di seantero Indonesia (kecuali mungkin Manggarai, NTT). Belum lagi tidak ada akhiran konsonan untuk Orang Nias yang sangat membedakannya dari Orang Batak.
Apa sich yang dicari di Nias? Pulau yang lebih kecil daripada Bali ini ternyata menyimpan satu bentuk kebudayaan unik yang tidak ada duanya di Indonesia, bahkan dunia. Selain terkenal karena ombak pantainya yang menantang bagi para peselancar, Nias juga merupakan rumah bagi suku-suku asli yang belum tersentuh oleh modernitas pembangunan. Pakaian adat, rumah adat, sistem kekerabatan, arsitektur, tarian, hingga kehidupan sehari-hari Orang Nias sangatlah unik. Dalam satu pulau ini, anda bisa menikmati berbagai bentuk wisata mulai dari wisata pantai, wisata bukit (tidak ada gunung yang benar-benar tinggi di Nias), dan wisata adat. Sudahkah saya mengatakan bahwa saya sangat menggilai melihat kebudayaan unik yang ada di seluruh Indonesia? Apalagi jika kebudayaan tersebut sangat jauh berbeda dari keseharian hidup saya sehari-hari.
Banyak persiapan penting yang perlu saya lakukan sebelum mencapai tempat ini. Maklum, perjalanan menuju Nias tidaklah mudah. Perlu seharian melintasi Sumatera dari Medan hingga Sibolga untuk dapat mencapai Nias. Seharian berkendara tersebut belum termasuk dengan penyebrangan semalam penuh untuk mencapai Nias. Nah, nggak salah khan kalau perjalanan menuju Nias membutuhkan persiapan tertentu? Terlebih pesawat udara hanya tersedia pada hari-hari tertentu dan kapal laut tidak beroperasi pada hari minggu. Nah, kalau yang ini saya nggak terlalu tahu alasannya, namun saya menduga karena mayoritas warga Nias adalah penganut Kristiani, maka minggu menjadi hari yang cukup penting untuk kegiatan keagamaan. Sepanjang perjalanan anda bisa sangat dengan mudahnya menemukan aneka bentuk gereja (umumnya BNKP = Banua Niha Keriso Protestan) di kanan dan kiri jalan. Anda juga akan menemukan sejumlah kota dan pusat aktifitas akan sepi pada hari minggu. Berbekal informasi ini, mudah-mudahan anda nggak akan salah jadwal ketika berkunjung ke Nias.
Informasi tambahan yang sekiranya menuntut teman-teman agar lebih waspada adalah soal malaria. Ya, begitu berpindah pulau dari Sumatera menuju Nias, teman-teman akan melihat sejumlah plang yang bertuliskan “waspada malaria”. Ya, Nias memang masih menjadi kantung endemik malaria. Persiapan meminum kina dan turunannya seminggu sebelum berkunjung ke pulau ini wajib dilakukan. Jangan lupa juga untuk selalu sedia spray dan lotion anti nyamuk agar nyamuk malaria tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk singgah di kulit teman-teman. Percayalah, lebih baik waspada dan ambil langkah-langkah pencegahan daripada teman-teman menyesal lantaran liburan teman-teman berantakan karena, amit-amit sesuatu yang tidak diharapkan.
Setelah dua persiapan yang utama ini selesai dilakukan, persiapan lainnya adalah penyesuaian terhadap iklim Nias itu sendiri. Secara umum, walaupun terletak di jalur cincin api Pasifik, namun wilayah Nias tidak mendapat pengaruh gunung sama sekali. Titik tertinggi di Nias terletak di area selatan dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Nias justru merupakan dataran rendah dengan ketinggian lahan sekitar 0-400 meter di atas permukaan laut. Jejak cincin api hanya tampak di sejumlah tempat seperti Mbombo Aukhu yang memiliki mata air panas alami. Sehubungan dengan iklim di Nias yang tergolong tropis tanpa dataran tinggi, pakaian yang digunakan sebaiknya memang yang ringan dan menyerap keringat dengan baik.
Soal makanan, Nias tidak sebegitu terbelakangnya koq. Walaupun hampir sulit ditemui makanan asli khas Nias, namun berbagai jenis makanan Batak, Minang dan Chinese banyak ditemukan di seantero Nias, yang juga merupakan suku pendatang terbanyak selain Orang Nias itu sendiri. Aneka produk minuman ringan produksi pabrik yang sudah umum kita kenal pun banyak ditemukan di Nias, termasuk di warung-warung lintas kota yang kita temukan. Nggak usah khawatir soal makan dech. Terlebih di daerah wisata seperti Pantai Sorake dimana populasi orang asing jauh lebih banyak daripada orang lokal, standard makanannya sudah sangat internasional.
Yang perlu dipersoalkan mungkin hanyalah ketiadaan transportasi publik yang melayani suatu kota, tempat wisata, atau antar kota. Ya, sungguh disayangkan transportasi umum hanya tersedia dalam jumlah minim dan itupun hanya berputar di dalam kota saja. Untuk jalur transportasi ke lokasi wisata yang umum sekalipun seperti Bawomataluo, atau Teluk Lagundri akan sukar ditemukan angkutan umum yang selalu tersedia setiap saat (apalagi jika anda memilih untuk menuju Gomo, atau Hilinawalo Mazingo yang lebih jarang dikunjungi turis). Memang sich, ada truk bak terbuka yang tampaknya merupakan angkutan umum yang cukup murah. Namun, menilik dari ketersediaannya, saya tampaknya tidak akan membuang-buang waktu kunjungan saya di Nias yang tergolong singkat. Jasa mobil carteran atau ojek sehari penuh jauh lebih masuk akal untuk mengantarkan anda keliling Nias, dengan cepat tentunya.
Terakhir, jangan lupa untuk selalu membawa uang cash dalam perjalanan anda. Walaupun sudah terlayani dengan ATM BRI (dan ATM Bersama) di sudut kota Teluk Dalam dan Gunungsitoli, namun secara umum transaksi pembayaran akan jauh lebih mudah dan cepat dilakukan dengan uang cash. Mari, ikuti langakh perjalanan saya selama 3 jam ke depan mencapai Teluk Dalam!

Wednesday, July 11, 2012

Perihal Taksi Di Nias

Walaupun Nias seringkali mendapatkan predikat daerah dengan biaya ekonomi tinggi lantaran segala sesuatunya kurang tersedia, termasuk angkutan darat, namun untuk jarak 3 jam (90 KM) melintasi Gunungsitoli – Teluk Dalam, harga yang dibebankan per kepala adalah Rp. 50.000 dan menurut saya ini murah. Sayangnya, transportasi publik belum tersedia di Nias sehingga satu-satunya wahana yang dapat mengantarkan anda dari Gunungsitoli menuju Teluk Dalam hanyalah taksi-taksi ini (dalam wujud Kijang Innova, Kijang Krista, Daihatsu Luxio, atau Suzuki APV biasanya). Silahkan anda bandingkan dengan rute Jakarta – Bandung sejauh 125 KM dan biaya yang dibebankan sebesar mulai dari Rp. 60.000. Karena merupakan satu-satunya penghubung antar dua kota besar di Pulau Nias, maka taksi-taksi ini bukanlah angkutan umum yang cukup baik. Dari segi kenyamanan sich sudah cukup memadai, perjalanan 3 jam ini tak terasa ketika berada di dalam kendaraan yang cukup nyaman ini, sambil menikmati pemandangan sekitar. Namun,taksi-taksi ini tampaknya harus mematuhi kuota pengisian kursi di dalam rute mereka kalau tidak mau menanggung rugi. Ini sebabnya taksi yang saya tumpangi menunggu sejenak di pelabuhan, lalu masuk ke Terminal Bus Gunungsitoli cukup lama (yang sangat sepi, anehnya namun buru-buru saya menyadari bahwa minggu adalah hari dimana segala aktifitas akan turun drastis. Hari gereja, mungkin?), dan kemudian masuk lagi ke Bandara Binaka. Proses menunggu penumpang di sejumlah titik tersebut sangat membuang waktu dan melelahkan. Kalau anda diburu waktu dan berdana lebih, mungkin bisa mencarter satu taksi sekaligus tanpa harus menunggu penumpang lainnya. Nias yang memang termasuk dalam kategori daerah tertinggal, memang belum sempat menikmati indahnya pembangunan. Jalan mulus yang anda lalui sejauh 90 KM adalah gambaran yang tepat dari peribahasa “Petaka Membawa Nikmat”. Apa pasal? Sebelum tahun 2004, semenjak jaman kemerdekaan, Nias tampak tak tersentuh manisnya pembangunan. Rute 90 KM antara Gunungsitoli menuju Teluk Dalam harus dilalui dengan susah payah dan tertatih-tatih. Namun, Gempa besar di Nias tahun 2004 dan 2005 yang turut membawa pula BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) turut andil dalam memuluskan pembangunan jalan lintas Nias, plus memuluskan juga tingkat ekonomi kawasan ini. Bahkan ada semacam guyonan sarkastis yang berkembang di masyarakat, “untung ada gempa”. Hasilnya jelas bisa dinikmati oleh warga Nias dan pelancong yang hendak wara-wiri Gunungsitoli – Teluk Dalam dan sebaliknya. Mobilitas warga menjadi mudah dan cepat, cukup 2,5 – 3 jam saja. Walaupun hanya berupa taksi saja, namun saya percaya, ke depannya Nias akan semakin berkembang. Dengan ukuran yang tidak terlalu lebar, pulau ini tampaknya mudah untuk dikelola. Bisa saja wacana pemekaran Provinsi Nias yang santer berkembang bisa mewujudkan transportasi publik antar kota yang diidam-idamkan warga. Bukan nggak mungkin bus besar hingga kereta api akan muncul di kawasan ini. Ya ngga? Nias sejauh ini sudah cukup harum namanya di kalangan para peselancar, terutama peselancar asing dan Pantai Sorake dan Teluk Lagundri-nya. Belum lagi keindahan dan keunikan budaya Nias yang sedikit banyak memiliki pertalian antara Bangsa Ainu dan Suku Maya dan Inca. Bukan nggak mungkin, nanti Bandara Internasional Binaka atau bandara baru di Teluk Dalam melayani penerbangan internasional langsung tanpa harus melalui Polonia, Soekarno Hatta, atau Ngurah Rai.

Sunday, July 08, 2012

Ya'ahowu, Pelabuhan Gunungsitoli!

Selamat Datang di Gunungsitoli
Lambat laun, daratan mulai tampak di seberang sana. Walaupun masih gelap, namun titik-titik cahaya mulai mengisi horison gelap di seberang lautan. Perlahan namun pasti, titik-titik cahaya tersebut mulai membesar dan menampilkan pelabuhan dan perbukitan sebagai latarnya. Itulah Gunungsitoli, tempat KMP Tanjung Burang akan bersandar dan mengantarkan ribuan penumpangnya untuk menapaki Tano Niha. Ya’ahowu!
Riuhnya Suasana Saat Bubaran Kapal
Kesibukan Pagi Hari di Pelabuhan yang Agak Blur
Lapar? Nggak usah takut! Banyak pedagang makanan disini
Segera, ketika kapal bersandar dan tali pengikat kapal mulai dililitkan serta waktu menunjukkan pukul 6 tepat, ribuan penumpang bersama barang bawaan dan kendaraan yang terangkut mulai beringsut keluar. Ya, saya pun turut serta dalam gelombang masal tersebut. Saya menghirup udara di tempat ini dalam-dalam. Ah, saya bernafaskan Nias! Hehehehe. Saya harus menunggu angkutan yang akan membawa saya ke Teluk Dalam. Pak Berima (081264464737) adalah supir yang sedianya akan membawa saya dari Gunungsitoli menuju Teluk Dalam (kurang lebih 3 jam perjalanan melintasi pantai timur Nias). Pada saat saya tiba, saya segera menghubungi beliau dengan nomor telkomsel saya (ah, ya, sinyal XL hanya terdeteksi lemah di Gunungsitoli dan tidak ada sama sekali di Teluk Dalam. Jadi, tanpa bermaksud promosi, gunakan selalu Telkomsel untuk aktifitas jelajah nusantara anda). Pak Berima belum tiba dan saya agak sedikit panik karena apabila dia alpa dalam menjemput, buyar dan hancurlah semua rencana saya sebab saya hanya satu malam di Nias. Untungnya, beliau segera datang dan semua rutinitas tampak biasa saja untuk beliau. Beliau segera menghubungi semua penumpang yang sudah mendaftar dan segera melakukan pengepakan barang-barang yang dibawa oleh penumpang. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung bertanya dimanakah barang bawaan saya dan ketika saya tunjukkan, ia langsung mengambil dan meletakkan di antara tumpukkan barang-barang. Tampaknya, hanya saya saja yang barang bawaannya cukup normal. Penumpang lainnya, bahkan ada yang membawa koper segede gaban, karung, kardus dan sepeda mini. Wow. Semua barang ditempatkan di atas kijang tersebut dan diikat dengan menggunakan tali tambang. Entah bagaimana caranya, nampaknya dia memiliki kemampuan untuk mengikat barang di atas mobil tanpa terjatuh untuk perjalanan 3 jam. Barang-barang saya sendiri cukup diletakkan di bagasi belakang lantaran ukurannya yang di bawah standard. Hehehe.
Becak Motor Khas Gunungsitoli, Nias
Arah keluar dari Pelabuhan Gunungsitoli
Sambil menunggu pengepakan, saya melihat-lihat kondisi sekeliling pelabuhan. Ternyata, Pelabuhan Gunungsitoli sudah ramai semenjak pagi. Ratusan penumpang yang tidak langsung melanjutkan perjalanan atau dijemput, memilih untuk menyemut di sekitar areal kedatangan dan memadati sejumlah warung-warung makanan. Sejumlah ibu-ibu pun ditemukan berjualan biskuit dan aneka minuman ringan di seputaran pelabuhan. Sejumlah becak motor datang dan pergi menawarkan dirinya kepada para penumpang yang akan menuju Gunungsitoli. Mereka berpikir bahwa penumpang yang masih tertahan di pelabuhan adalah penumpang yang belum memiliki kendaraan untuk mengangkut mereka ke kota. Oh ya, Kota Gunungsitoli masih berada sekian kilometer lagi ke arah selatan dari pelabuhan (sudah nggak terlalu jauh sich, sekitar 2 KM karena masih bisa dicapai dengan becak motor), sementara Bandara Binaka masih terletak 15 KM lagi dari Gunungsitoli.
Ucapan Selamat Datang di Gerbang Pelabuhan
Saya sendiri sich ingin mengeksplorasi keseluruhan pelabuhan yang tampaknya seru ini. Namun, saya tidak berani jauh-jauh dari Pak Berima yang sedang dan hampir selesai melakukan pengepakan barang-barang. Takut ditinggal, hihihi. Biaya Rp. 50.000 sebagai jasa perjalanan saya bayarkan di awal tepat sebelum saya naik taksi tersebut. Segera, setelah hampir setengah jam menyelesaikan administrasi pembayaran dan pengepakan, kami semua diminta untuk masuk ke dalam taksi guna berangkat menuju Teluk Dalam. Siap?
Proses mengikat barang bawaan

Bersama KMP Tanjung Burang Di Samudera Hindia

Seperti biasa, walaupun sesuai jadwal kapal berangkat pada pukul 8, namun pengumuman agar para pengantar meninggalkan kabin baru dikumandangkan pada pukul 8 malam. Ditambah dengan pengantar yang nakal, pengumuman pun diulang lagi pada pukul setengah 9 malam. Mereka baru benar-benar berangkat ketika kapal sudah bergerak dan tali penambat baru benar-benar dilepas. Kapal baru benar-benar bergerak pada pukul 9 malam dan diperkirakan akan tiba di Gunungsitoli pada pukul 5 keesokan pagi. Seiring dengan berlabuhnya kapal, penjual yang tadinya semakin banyak (bahkan juga ada ibu-ibu) akhirnya beringsut menipis dan hilang untuk kembali ke pelabuhan. Tentu saja, mereka nggak ikut menyebrang. Suasana di dalam kapal sesaat setelah berlabuh menjadi sangat cair. Saya segera akrab dengan seorang ibu di sebelah saya yang ternyata berdarah Minang dan berasal dari Pariaman. Uni ini menjelaskan bahwa dirinya akan berdagang pakaian di Gunungsitoli. Wow, saya agak terperanjat mendengarnya karena jarak dari Pariaman menuju Sibolga saja sudah cukup jauh, ditambah dengan melintasi lautan mencapai Gunungsitoli! Namun Sang Uni hanya menjawab singkat sambil tersenyum, “rejeki saya ada di Gunungsitoli”. Ya, beliau rutin bolak-balik seminggu sekali untuk bertemu keluarganya dan berbelanja barang. Sungguh sosok perempuan Minang yang ulet dan pekerja keras.
Televisi menampilkan siaran tv berlangganan. Saat itu saluran HBO yang diputar namun saya tidak bisa fokus melihat acara yang diputar lantaran posisi saya yang kurang menguntungkan. Namun segera, tak lama setelah kapal bergerak, sejumlah orang mulai berada pada posisi berbaring dan mengeluarkan perangkat tidurnya. Sofa yang tadinya bisa dimuati oleh empat orang duduk, langsung menjelma menjadi kasur untuk dua orang. Orang-orang lainnya yang tampak sudah mengerti situasi ini, membawa alas dan tidur di lantai kabin. Ada sejumlah orang yang bahkan tertidur dengan posisi duduk atau sedikit senderan lantaran keterbatasan tempat. Saya sendiri tidur dengan posisi hampir sempurna di atas sofa namun agak terjepit lantaran di atas kepala saya ada di Uni dan di bawah kaki ada ada seorang bapak. Saya tidak berani menggerakkan badan terlalu banyak karena takut menabrak mereka. Hahaha. Yang menyenangkan dari KMP Tanjung Burang ini adalah, guncangan kapal tidak sebesar KMP Muria yang pernah saya tumpangi. Memang sich, sekilas telihat KMP Tanjung Burang ini lebih besar daripada KMP Muria walaupun tidak terlalu signifikan. Walaupun melintasi Samudera Hindia, namun saya bisa lolos dari jeratan mabuk laut sepanjang perjalanan. Saat saya terbangun pada malam hari (mungkin dini hari) dan televisi sudah mati sama sekali dan semua orang sudah terlelap, saya tidak mabuk dan tidak ada perasaan ingin mabuk sama sekali. Yay! Saya ingin melompat berteriak dan menari-nari karenanya. Namun, saya lebih butuh tidur, alhasil, saya lanjutkan tidur hingga Gunungsitoli menyapa dan menyambut kami keesokan harinya.

Thursday, July 05, 2012

Anak-anak Sibolga dan Nias di Atas KMP Tanjung Burang

Pikiran saya kembali melayang saat tiket saya diperiksa oleh sejumlah petugas dan kaki saya melangkah menaiki KMP Tanjung Burang. Pikiran saya terbang ke masa setahun lalu, saat saya mabuk tak henti saat menaiki KMP Muria yang berlabuh dari Pelabuhan Kartini di Jepara menuju Karimunjawa. Duh, sejujurnya saya takut apakah peristiwa pahit (dan agak masam tersebut) akan terulang kembali? Terlebih, malam ini saya melintasi Samudera Hindia, sudah barang tentu, Laut Jawa nggak ada apa-apanya donk? Duh, saya sudah mempersiapkan segalanya termasuk menu makan malam darurat, minyak angin, tolak angin dan kantung plastik yang banyak.
Pak Daniel Lömbu mengantarkan saya hingga ke kelas bisnis. Kelas bisnis adalah kelas tertinggi yang ada di KMP ini. Pertimbangan mengambil kelas bisnis adalah karena lamanya perjalanan. Sibolga – Gunungsitoli ditempuh dalam 8 jam perjalanan. Perjalanan ini melintasi malam. Tidak ada yang bisa dilihat di perjalanan selain langit malam dan laut yang menghitam. Sudah barang tentu, tidur menjadi pilihan utama bukan? Yah...hitung-hitung sebagai penginapan saja lah. Bedanya, penginapan yang ini bisa berjalan melintasi kota. Hehehe. Saya seneng sich sama perjalanan tipe ini karena hemat waktu dan uang. Kalau bisa, semua kota-kota di Indonesia memiliki angkutan malam untuk jarak tempuh yang panjang, jadi para petualang seperti saya nggak membuang-buang waktunya di jalan. Amin 
Suasana di dalam kabin kelas bisnis bukanlah seperti hotel mewah berbintang lima. Namun, dibandingkan dengan kelas ekonomi, kabin ini jauh lebih manusiawi karena memiliki deretan-deretan sofa yang nantinya bisa dipergunakan untuk para penumpang yang ingin tidur. Ya, saya bahkan bisa melihat sejumlah penumpang telah mempersiapkan ritual malam hari mereka ini dengan sangat baik. rata-rata, semua pengunjung mempersiapkan selimut, sarung, dan baju agak hangat hingga ada pula yang membawa bantal! Maklum, pendingin udara di ruangan ini bekerja cukup baik. Tanpa adanya aktifitas berlebihan dari manusia di dalamnya, saya yakin ruangan ini akan menjadi dingin pada malam hari. Untung juga, sofa-sofa yang tersedia cukup nyaman dan empuk untuk teman tidur selama perjalanan. Akan mabukkah saya?
Seiring dengan perjalanan saya masuk ke dalam KMP Tanjung Burang, beberapa anak-anak yang membawa barang dagangan mulai dari air mineral, makanan ringan, hingga buah-buahan lokal seperti manggis dengan riang membantu menunjukkan jalan menuju tempat duduk saya. Pertama-tama sich mereka memang ingin melihat lokasi tempat duduk saya (iya, kursi kelas bisnis di KMP ini menggunakan nomor lho). Setelah itu, mereka berebutan untuk mengantarkan saya menuju tempat duduk saya. Hmmm...ada apa gerangan sich? Ternyata, seusai saya duduk, mereka langsung menawarkan barang-barang dagangan mereka. Aneka macam dagangan seperti air mineral, minuman, makanan ringan, dan buah-buahan pun tersedia. Bahkan, mereka juga menjual surat kabar walaupun surat kabarnya nggak meyakinkan karena terlihat tua dan sudah menguning. Apakah itu surat kabar baru? Di luar dari surat kabar, ternyata mereka adalah penjual yang baik. Harga makanan dan minuman yang mereka tawarkan tidaklah mahal. Air mineral botol kecil (air mineral bermerek lhooo) dijual seharga Rp. 3.000 dan botol besar Rp. 5.000. Nggak jauh beda sama warung khan? Saya bahkan yakin beberapa warung ada yang menjual di atas harga tersebut. Untuk manggis, harganya bervariasi mulai dari Rp. 2.000 – Rp. 3.000. Rasanya? Manis! Untuk Lasi (bahasa Nias untuk Langsat) dijual hanya Rp. 5.000 sekilo! Penasaran dan pengen borong nggak sich? Yah, akhirnya saya membeli sejumlah makanan ringan dan air mineral untuk menemani saya di perjalanan. Kalau temen-temen naik kapal yang bertolak menuju Nias, jangan sungkan-sungkan untuk membeli produk dagangan mereka yach!