Tuesday, October 30, 2012

Rasa Internasional Di Nias

Buat yang pernah mendengar bahwa Nias lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan asing dibanding warga Indonesia sendiri mungkin tidak bisa begitu saja percaya. Bahkan, bagi mereka yang sudah berkunjung kesana pun, mungkin tidak serta merta saja percaya. Ah, masak iya sich? Mungkin begitu kira-kira bentuk ketidak percayaannya. Namun, percayalah, ada satu tempat di Nias yang sangat internasional sehingga bisa disejajarkan dengan, katakanlah Poppies di Bali, Sosrowijayan di Yogyakarta, Jalan Jaksa di Jakarta, atau tuk-Tuk Siadong di Samosir. Tempat ini adalah Pantai Sorake atau justru yang lebih dikenal dengan Sorake Beach bagi turis internasional. Gunungsitoli dan Teluk Dalam mungkin bukan tempat yang tepat untuk menilai seberapa internasionalnya Nias. Namun, begitu masuk ke wilayah Sorake, disinilah anda baru melihat bahwa Nias memang sangat mendunia dan jauh lebih dipadati oleh bule dibanding warga lokal. Turis asing pun lebih suka berdiam disini dibanding di Teluk Dalam, yang justru lebih diminati oleh warga lokal, termasuk saya. Hehehe.
Jalan dari Orahili tersebut menurun terus menurun hingga kembali ke jalan raya utama Teluk Dalam - Sorake. Mulailah, hutan yang lebat digantikan oleh deretan pepohonan kelapa. Sedikit demi sedikit, mulai tersibak pemandangan laut di sebelah kiri jalan. Jalanan yang rusak pun berganti dengan jalan aspal yang mulus dan lebar. Hampir tidak banyak terdapat tutupan rumah di tempat ini, namun terdapat sejumlah rumah adat Nias Selatan di tempat ini.
Selepas Hiliamaetaniha, masih termasuk dalam wilayah Fanayama, mulailah tampak deretan-deretan penginapan, losmen, rumah makan, cafe dan bar yang sedikit banyak akan mengingatkan anda pada deretan tepi pantai antara Palabuhan Ratu menuju Karang Hawu. Bedanya, penginapan dan losmen di tempat ini bukanlah yang berskala besar, namun dikelola pribadi oleh masing-masing pemilik dan hanya memiliki sejumlah kamar saja. Sejumlah turis asing sudah mulai tampak di tempat ini, berjalan, atau menaiki sepeda motor sambil membawa papan seluncur. Yap, itulah yang mereka lakukan di tempat ini, seluncur atau surfing. Ombak di Nias, atau tepatnya di Teluk Lagundri memang terkenal memiliki panjang gelombang yang bagus dan arah yang unik, yang berbeda dari kebanyakan tempat di dunia ini. Ombak di tempat ini bahkan sudah berskala internasional sehingga kerap digelar kejuaraan surfing internasional di tempat ini. Belum pernah mendengarnya yach? Hehehe.
Pantai Sorake dan Teluk Lagundri yang terletak di bagian selatan pulau Nias ini memang terletak bersebelahan. Penginapan dan losmen menyebar diantara kedua pantai tersebut walaupun jauh lebih banyak terkonsentrasi di antara Pantai Sorake dan Teluk Lagundri. Disinilah, para surfer-surfer sering menjajal keahlian mereka sementara Pantai Sorake yang sepi lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan yang hanya ingin bersantai dan tidak ingin kegiatan surfing di laut. Berkunjung ke Nias Selatan bukanlah hanya desa adatnya saja, namun kekhasan ombak di Nias pun sangat perlu untuk dicicipi, setidaknya dikunjungi.

Wednesday, October 24, 2012

Foto : Semua Bisa Jadi (Tiang) Jemuran Di Nias!

Jemuran mewarnai wajah desa adat Nias Selatan
Konon, aneka macam jemuran ini akan lenyap begitu ada kunjungan pejabat atau pada saat hari raya besar. Nah, pada hari biasa, atau hari minggu bahkan, jemuran aneka warna dan bentuk adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Nias. Maklum, berada di ketinggian bukit hampir membuat desa-desa adat di Nias Selatan hampir tidak memiliki halaman belakang. Satu-satunya lahan yang cukup lebar yang bisa ditempati oleh para jemuran adalah halaman depan. Beginilah, kultur unik akan halaman depan desa-desa adat di Nias Selatan. Sembari menikmati desa adat yang unik dan cantik, jemuran ini turut "mewarnai" wajah desa adat di Nias Selatan.
Jemuran yang masih "wajar"
Menggunakan tiang jemuran dari kayu
Menhir di depan Omo Hada dijadikan alas jemuran
Tiada Menhir, lantai batu yang panas pun jadi
Atap yang panas juga bisa dijadikan alas jemuran
Hingga celana dalam
Dan arca megalitik pun tak luput...

Orahili Di Kaki Bawömataluo

Setelah mengunjungi tiga desa adat di Nias Selatan, saya mulai mengambil kesimpulan sendiri, bahwa bentuk desa adat kurang lebih serupa. Intinya hanya berupa jalan yang panjang dan lebar dengan deretan rumah di kanan dan kirinya, baik rumah agak baru dengan bahan baku batu bata, kayu atau rumah asli masyarakat Nias Selatan yang bernama Omo Hada dengan fondasi persegi dan atap juga persegi. Selalu, semua desa adat memiliki jalan masuk yang berupa tangga yang bersusun cukup tinggi. Selain itu, ada sebuah batu yang digunakan untuk Hombo Batu yang terdapat persis di tengah-tengah desa. Umumnya, setiap desa masih memiliki peninggalan megalitik seperti batu-batu yang diukir sangat khas Nias. Selain ketiadaan Omo Sebua yang menjadi rumah besar tempat tinggal pemimpin adat masyarakat, hampir semua desa adat di Nias sama bentuknya.
Demikian pula dengan Orahili yang terletak tidak jauh dari Desa Bawomataluo. Walaupun dari Bawomataluo, Orahili sedikit terlihat, akan tetapi dari Orahili koq saya nggak bisa melihat Bawomataluo yach? Apakah saya berada di titik pandang yang salah-kah? Lagi-lagi, fenomenalnya desa adat Nias mungkin hanya dimiliki oleh Bawomataluo saja yang sudah sangat turistis. Dibanding Bawomataluo, Orahili sangat jauh berbeda. Kesan turistis sama sekali tidak tertangkap di desa ini. Bahkan, dua orang ibu-ibu menyapa saya terlebih dahulu sebelum memasuki pintu gerbang desa. Mereka berdua lalu segera berlalu sambil tertawa malu-malu saat saya hendak mengabadikan gambar tangga masuk desa ini.
Walaupun tidak sefenomenal Bawomataluo, namun Orahili layak untuk dikunjungi juga. Deretan Omo hada yang berjejer memanjang masih bisa ditemukan di tempat ini. Dasar alas desa ini pun mirip dengan Bawomataluo, yakni menggunakan susunan batu. Sembari memasuki desa, anda akan disambut oleh batu-batu peninggalan megalitik di desa ini, baik berupa semacam arca biasa, Menhir, ataupun Dolmen. Yang cukup merusak suasana romantisme khas Nias Selatan, tetap, yakni baju-baju yang dijemur tak tentu arah. Baju-baju hasil cucian tersebut, selain dijemur dengan cara digantung dengan tali di depan setiap Omo Hada, juga digantungkan di arca, dolmen, menhir, hingga ditebarkan di atas jalanan persis di depan rumah. Eh, bukannya jadi kotor lagi yach itu?
Yang sedikit membedakan di desa ini dengan desa-desa adat sebelumnya adalah adanya semacam balai pertemuan tanpa dinding yang berada di tengah desa, dan di sebelahnya dilengkapi dengan semacam lonceng pemanggil, yang sudah tidak digunakan saat ini. Selain lonceng yang sudah tidak dipergunakan, balai tersebut masih dipergunakan oleh para warga untuk berkumpul guna bercengkrama, atau rapat adat desa. Nggak jauh dari lonceng dan balai di tengah desa tersebut, berdirilah batu yang dipergunakan para Fahombe untuk melompat. Saya sendiri sedikit mengobrol dengan para penduduk yang berkumpul di balai tersebut. Cukup terlihat bahwa arus kunjungan turis tidak sebanyak di Bawomataluo. Ini terlihat dari masih tingginya ketertarikan mereka terhadap turis yang datang. Selain itu, tidak adanya pusat penjualan souvenir maupun kantor pariwisata cukup menegaskan bahwa desa ini adalah salah banyak dari desa adat Nias Selatan yang non-turistis.
Walaupun sudah tidak memiliki Omo Sebua, namun desa ini cukup kaya akan peninggalan batu-batuan megalitik yang penuh ukiran dan makna. Kalau tertarik dengan bebatuan dan seni pahat Nias Selatan, mungkin anda bisa mencoba berkunjung ke Desa Orahili ini. Sambil berkunjung, jangan lupa untuk menyapa dan bercengkrama dengan penduduk sekitar yach. Kalau perlu, sempatkan diri untuk duduk dan mengobrol di sofa batu yang cantik ini.

Monday, October 22, 2012

Jembatan Unik Menuju Orahili

Setelah Siwalawa, saya menuju desa adat terakhir dalam kunjungan hari tersebut. Desa tersebut adalah Orahili (terkadang disebut Orohili, Orihili). Kalau anda masih ingat beberapa postingan sebelumnya, Orahili terletak di bawah Bawömataluo. Namun, ini tidak membuat Orahili mudah diakses. Walaupun ada jalan menuruni tangga yang bisa dituruni dari Bawömataluo, namun sang supir ojek saya memutar hingga ke jalan raya Teluk Dalam untuk masuk melalui jalan yang berbeda. Nggak mungkin juga donk kalau sepeda motornya ditinggalkan begitu saja di Bawömataluo? Sehabis ini kan saya masih mau ke pantai. Hehehe.
Yang unik dan sangat membekas dari kunjungan saya menuju Orahili adalah kondisi jalannya. Walaupun sudah beraspal dan cukup bagus untuk dilalui (lebih enak lah daripara Bawömataluo - Siwalawa). Namun ada tiga buah jembatan yang menurut saya, nggak laik digunakan dan mengerikan. Ini mungkin bisa menjadi cerminan betapa buruknya infrastruktur kita (atau justru saya malah harus berpandangan positif bahwa masyarakat kita kreatif dan cerdas?). Jembatan yang dimaksud, walaupun dua diantaranya sudah memiliki pegangan pinggir dan ujung-ujungnya sudah beraspal, namun secara keseluruhan, badan jembatan terbuat dari susunan batang pohon kelapa (walau ada juga kayu jenis lain yang panjang, tegak dan gilig). Jreng!.
Satu diantara jembatan tersebut bahkan sudah bolong-bolong dan mengerikan untuk kendaraan yang melintas di atasnya. Walaupun nggak terlalu panjang, namun rute ini sudah mampu dilalui oleh mobil. Yang mengerikan sich tetap jembatan tersebut yang bisa dikategorikn sebagai jembatan darurat. Salah-salah melintas, bisa saja roda mobil tersebut amblas ke dalam lubang di antara pohon tersebut, bukan? Yang paling mengerikan dari tiga jembatan serupa yang dilalui adalah yang potongan pohonnya tidak rata dan tidak memiliki pegangan di pinggir sama sekali. Dijamin, setiap pengendara harus berdoa terlebih dahulu sebelum melintas jembatan pendek ini. Hihihi. Bawahnya jembatan-jembatan tersebut sih anak sungai yang tidak terlalu dalam dan tidak terlalu berair. Jarak antara pijakan jembatan dan dasar sungai sebenarnya nggak terlalu jauh juga, bukan seperti jembatan di wilayah pegunungan. Namun demikian, tentu tidak ada yang mengharapkan suatu masalah ketika ada seseorang, satu motor, atau mobil mencoba menyebrangi jembatan ini, bukan? Saya sendiri diminta untuk turun oleh supir ojek saya agar beliau bisa melakukan manuver sendiri di atas jembatan tersebut. Saya? Saya berjalan kaki sendiri sambil melakukan manuver juga.
Antara batang-batang pohon tersebut diikat dengan tali dan sebagian lainnya oleh rantai bekas sepeda atau sepeda motor. Walaupun masing-masing dari batang kayu tersebut tidak bisa berputar di porosnya, namun tetap saja pengalaman ini sungguh pengalaman yang unik dan sedikit membuat ketar-ketir. Kalau saya tetap berada di atas motor pada saat penyebrangan sich, mungkin ketar-ketirnya lebih parah kayaknya. Hehehehe. Nggak kebayang dech kalau yang melintas itu adalah mobil atau truk kalau melihat kondisi jalanannya yang demikian. Pasalnya, kedua sisi penyambung jembatan sudah mulus beraspal. Kenapa juga jembatannya belum dibikin yang lebih baik? Masalah kearifan lokalkah? Saya rasa nggak.

Saturday, October 20, 2012

Sisi Lain : Setelah Desa Siwalawa

Ada yang aneh dari supir ojek yang saya sewa untuk berkeliling Nias Selatan. Dia tidak merekomendasikan desa setelah Siwalawa, walaupun saya memintanya. Saya lihat di peta, desa berikutnya adalah Desa Ono Hondro yang memiliki Omo Sebua yang konon telah rusak. Namun, posisi dan kedekatannya dengan Siwalawa membuat saya tidak terlalu yakin bahwa desa berikutnya adalah Siwalawa. Desa berikutnya tersebut bisa terlihat jelas dari pelataran desa Siwalawa. Harusnya Ono Hondro dan Siwalawa tidak berjarak sedemikian dekatnya, bukan?
Iseng-iseng saya mencoba mengusut mengapa sang supir yang saya sewa tidak mau untuk mengantarkan saya menuju desa berikut, walaupun jaraknya nampak sudah tidak terlalu jauh. Setelah sedikit jawaban berbelit-belit dan menggumam yang ia keluarkan, ia akhirnya berkata bahwa desa berikut tidak baik. Tidak baik disini dalam artian pernah ada kejadian kurang baik yang menimpa turis yakni berupa pemalakan. Saya sendiri tidak bisa mengklarifikasi apakah berita ini benar- atau tidak, namun sang supir ojek ini berkata dengan sungguh-sungguh dan berkata bahwa bukan hanya turis saja yang pernah mendapatkan pengalaman tersebut, namun dirinya sendiri pernah menjadi korban disana, walaupun sama-sama penduduk Nias. Saya nggak tahu dech, apakah maksudnya dia nggak mau mengantarkan saya karena hal lain? Ataukah memang hal yang dikatakannya tersebut benar-benar terjadi. Terus terang, pasca gempa Nias, saya pernah mendengar selintingan kisah seperti itu di sejumlah desa. Tanpa bermaksud memberi stigma buruk atau negatif, namun akhirnya saya tidak jadi mengunjungi desa berikutnya dan mengikuti saran dari supir ojek tersebut. Dengan segera, ia segera mengembalikan motornya untuk kembali ke jalan yang menghubungkan Siwalawa dengan Bawomataluo. Mohon klarifikasi dari desa yang terletak di balik Siwalawa. Saya berharap, tidak pernah ada kejadian buruk apapun yang pernah menimpa turis, terlebih turis adalah penyumbang devisa bagi suatu desa, bukan? Kalau sampai citra suatu tempat menjadi buruk, bukan nggak mungkin ucapan dari mulut bisa menghancurkan kredibilitas suatu destinasi, bukan? Saya berharap, ini hanyalah masalah pribadi sang supir ojek yang sewa, yang tidak ada hubungannya dengan perilaku penduduk desa tersebut kepada turis secara umum. Bagi anda para wisatawan, selalu cek lah informasi terkini dari para warga lokal yang bisa dipercaya. Petugas yang bekerja di hotel tempat anda menginap tentu saja sangat layak dijadikan acuan.

Monday, October 08, 2012

Siwalawa, Di Balik Bawömataluo

Desa yang terletak di balik rerimbunan pohon kelapa tersebut bernama Siwalawa. Posisinya tidak tinggi sehingga hanya desa lainnya yang sejajaran yang bisa terlihat dari tepian Siwalawa. Posisi Siwalawa tidak jauh dari Bawömataluo, tinggal teruskan saja perjalanan anda menuju ke pedalaman, menjauhi Teluk Dalam. Kurang lebih 3 KM dari Bawömataluo, tibalah anda di Siwalawa. Permasalahan utama menuju Siwalawa hanyalah kontur jalan yang lumayan ekstrem naik dan turun. Saya harus memegang diri saya erat-erat di atas motor yang menderu agar tidak terlontar karena kontur jalanan yang berdisko ini. Seru? Ya, seru banget!
Walaupun Siwalawa tidak berlokasi terlalu jauh dari Bawömataluo, namun cukup tenggelam oleh kebesaran nama Bawömataluo karena kunjungan turis pada umumnya hanya mencapai Bawömataluo saja. Akses jalannya walaupun memiliki kontur naik turun, namun secara umum masih cukup baik untuk dilalui motor maupun mobil. Namun, walapun tidak sefenomenal Bawömataluo, Siwalawa memiliki kebersahajaan tersendiri. Siwalawa jauh dari hingar bingar turisme, penjualan souvenir, hingga tawaran Hombo Batu. Penduduk yang tinggal disana, walaupun pada awalnya masih agak kagok dengan kehadiran turis, namun tetap melanjutkan aktifitas sehari-harinya tanpa merasa terganggu dengan kedatangan saya. Tidak ada loket tiket, tidak ada buku tamu, tidak ada tour guide atau perwakilan masyarakat yang hadir untuk menyambut tamu. Semuanya sangat alami.
Jalan masuk yang membingkai Siwalawa tidaklah tinggi dan besar seperti Bawömataluo. Jalan masuknya hanya berupa deretan tangga yang tidak terlalu lurus. Sebagai penanda, ucapan “Selamat Datang di Desa Siwalawa” terpampang di papan bagian depan desa ini. Mengapa rasa Nias Selatan di desa ini sangat kurang? Tampaknya jawabannya cukup jelas dari sangat minimnya Omo Hada yang tersisa di desa ini. Ya, walaupun memiliki bentuk desa yang hampir mirip-mirip, terutama dengan jalan yang cukup lebar yang memisahkan deretan rumah, sebagian besar rumah di Siwalawa telah berubah bentuk menjadi modern. Sebagian besar rumah di Siwalawa telah berdinding batako, memiliki ornamen semen, atau tersusun atas kayu namun bukan merupakan Omo Hada melainkan mengadopsi rasa Melayu Pesisir. Semua ini ditambah dengan jemuran ekstra yang dipampang di masing-masing setiap rumah, makin buyarlah rasa dan romantisme Nias Selatan di desa ini. Beberapa Omo Hada yang masih bertahan pun sudah tidak terlalu banyak. Bahkan ada satu Omo Hada yang memiliki atap genteng berwarna biru! Kenapa sich bisa seperti ini kondisinya? Konon, Siwalawa dahulu pernah terkena kebakaran hebat yang menghanguskan hampir seluruh isi desa. Siwalawa yang kita lihat sekarang adalah desa hasil pembangunan kembali namun tidak dibarengi dengan pembangunan Omo Hada yang konon pula, rumit, dan memakan lebih banyak biaya walaupun –ironisnya- sejalan dengan kearifan lokal.
Satu lagi, Siwalawa tidak memiliki Omo Sebua di pusat desanya. Sebagai catatan, empat Omo Sebua yang masih ada di Nias adalah yang berada di Ono Hondro, Hilinawalo Mazingo, Bawömataluo, dan Hilinawalo Fau. Siwalawa, walaupun masih memiliki batu yang digunakan para Fahombe untuk melompat di tengah-tengah desa, namun keberadaan Omo Sebua sukar diidentifikasi dengan cepat di tempat ini. Keberadaan susunan batu maupun peninggalan megalitikum masih tersisa di desa ini. Sayang, seperti halnya di desa-desa lain, peninggalan tersebut terkadang dipergunakan untuk menjemur pakaian basah dan bahan makanan. Realitas ekonomi tampaknya bertubrukan dengan pelestarian kebudayaan. Cobalah untuk mengunjungi desa adat yang tidak terlalu jauh dari Bawömataluo ini.

Saturday, October 06, 2012

Sisi Lain : Tentang Fahombe (Fahombo) dan Hombo Batu

Masyarakat Indonesia telah lama tahu bahwa ada tradisi lompat batu yang dilangsungkan oleh penduduk Nias, lepas pantai Sumatera Utara sebelah barat. Terima kasih kepada pecahan Rp. 1.000 edisi tahun 1992! Namun, tidak banyak yang tahu bahwa tradisi ini tidak berlangsung di semua tempat di Nias. Hanya desa-desa di Nias Selatan lah yang melakukan atraksi lompat batu ini. Apabila anda berkunjung ke Nias bagian utara, hampir tidak ditemukan sama sekali atraksi serupa. Desa-desa adat di Nias bagian selatan pun tidak semuanya memiliki bentuk kebudayaan yang serupa. Kunjungan saya di Bawömataluo, Siwalawa dan Orihili membuktikan bahwa setiap desa memiliki batu setinggi dua meter ini di pusat desanya. Sebenarnya, apa sich maksud dari tradisi Hombo Batu ini?
Seorang Fahombe sedang latihan
Sejalan dengan tradisi lama Nias yang gemar berperang antar desa, tradisi Hombo Batu ini sebenarnya merupakan ujian yang dibebankan kepada para prajurit. Dengan berhasil melompati batu ini, maka mereka telah dianggap tangguh untuk bertempur dan mempertahankan desa. Seiring perjalanan waktu, tradisi bertempur tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi. Walau demikian, Hombo Batu masih dipertahankan karena merupakan ujian kedewasaan bagi seroang pria di Nias Selatan. Bagaimana caranya? Awalnya, sedari kecil, tradisi Hombo Batu ini telah diajarkan kepada para anak-anak laki-laki namun dilakukan bertahap dengan melompati batu setinggi setengah meter. Semakin besar usianya, batu yang digunakan pun semakin tinggi mulai dari semeter, satu setengah meter hingga dua meter yang merupakan batu asli. Dengan berhasilnya seorang pria Nias Selatan melompati batu tersebut, ia artinya telah cukup dewasa dan boleh menikah. Bisa melompati batu ini, tentu merupakan kebanggaan bagi seorang pria Nias Selatan yang beranjak dewasa.
Seorang Fahombe bersiap melompati batu
Sebelum memulai ritual Hombo Batu ini, mereka berpakaian adat Nias seperti yang terlihat pada gambar. Pada masa kini, mereka menggunakan pakaian dalam kaus singlet alih-alih bertelanjang dada seperti masa lalu. Ini saya alami dan lihat sendiri pada para Fahombe di Bawömataluo. Walau demikian, pada perhelatan besar, umumnya singlet tidak dipergunakan. Sebelum melompat, mereka biasanya mengambil ancang-ancang untuk berlari terlebih dahulu. Tidak lupa, ritual adat dan doa dilaksanakan agar sang Fahombe berhasil melompati batu. Di depan batu yang besar, terdapat sebuah batu yang kecil sebagai penumpu tolakan agar sang Fahombe bisa melewati batu tersebut. Nggak lupa, seorang Fahombe pun harus mampu menguasai teknik pendaratan yang baik agar kakinya tidak terkilir dan menyebabkan lompatannya gagal. Rumit juga yach?
Pecahan Rp. 1.000 tahun 1992 (gambar dari sini)
Seperti yang saya katakan di postingan sebelumnya, niat yang suci serta hati tulus bersih diperlukan agar seorang Fahombe bisa melewati batu tersebut. Tidak bisa melakukan Hombo Batu secara sembarangan, apalagi mereka yang tidak terlatih karena dapat menyebabkan cidera serius. Buat teman-teman yang menyambangi desa-desa di wilayah sekitar Teluk Dalam, jangan lupa untuk menyaksikan atraksi ini yang rata-rata harus ditebus dengan harga Rp. 50.000 per lompatan. Apabila beruntung, mungkin teman-teman bisa melihat tarian perang yang kolosal yang melibatkan banyak sekali pria yang menari di seluruh areal Desa Bawömataluo sekaligus atraksi Hombo Batu. Kedua tarian yang tidak bisa dilepaskan ini terkadang digelar pada acara tertentu atau kedatangan tamu penting. Selain Bawömataluo, teman-teman bisa menyaksikan atraksi Hombo Batu ini di sejumlah desa sekitar walaupun atraksi ini akan terasa lebih menggigit apabila dilaksanakan di Bawömataluo karena latarnya yang lebih menggigit.

Tuesday, October 02, 2012

Sisi Lain : Buah Tangan, Oleh-Oleh, Souvenir A La Bawömataluo

Omong-omong, bagaimana sich cara mengucapkan nama Desa Bawömataluo? Untuk huruf Ö, cara membacanya adalah seperti huruf e seperti dalam kata "emas" atau "belang". Nah, sudah pergi jauh-jauh ke Bawömataluo, rasanya agak kurang enak yach kalau nggak membawa "sesuatu" dari sana. Apa sich yang Bawömataluo tawarkan untuk para wisatawan?
Yach, selain keindahan struktur desa, manisnya Omo Hada dan megahnya Omo Sebua serta piawainya para Fahombe melompati batu, ada satu komoditi menarik yang ditawarkan oleh para penduduk desa. Yang jelas, komoditi ini bukan berbentuk makanan melainkan kerajinan tangan. Ya, sebagian besar penduduk desa yang menjual komoditi ini berdiam di bagian bawah Omo Sebua di Bawömataluo yang bergelar Omo Nifolasara ini. Ada apa sich produk jualan mereka? Sebagian besar souvenir yang diletakkan di atas meja batu megalitikum tersebut bisa anda lihat di gambar ini, namun yang paling autentik tentu saja patung prajurit Nias yang terbuat dari kayu sambil memegang tombak dan tameng. Dilihat dari bentuknya, walaupun masih sangat "alami", terlihat bahwa proses pembuatan patung ini tidaklah mudah. Souvenir lainnya yang lumayan merepresentasikan nias adalah miniatur dinding batu yang dilompati oleh para Fahombe. Sejumlah produk seni lainnya seperti kotak perhiasan, kotak tembakau yang cukup rumit pun bisa anda bawa pulang, tentu harus ditebus dengan harga yang tidak murah pula. Berapa sich kisaran harga untuk produk-produk ini? Yach, produk-produk ini dibuat langsung oleh para pengrajin di desa ini sehingga dengan turut membeli, anda turut membantu menyokong perekonomian para seniman desa ini. Untuk patung kayu, ekspektasi harganya adalah Rp 100.000-an tergantung dari ukuran dan kerumitan. Sementara miniatur batu bisa didapatkan di bawah harga tersebut, namun tidak demikian halnya dengan kotak tembakau yang harus ditebus dengan beberapa lembar uang merah plastik. Wow.
Nampaknya, hanya komoditi itu saja yang cukup autentik Nias Selatan. Beberapa benda lainnya yang dihargai lebih murah, seperti kalung dan gelang, tidak terlalu autentik menurut saya dan bahkan bisa ditemukan di belahan lain nusantara dengan harga yang lebih murah seperti Bali atau Yogyakarta. Keautentikan gelang dan kalung tersebut hanya karena ada tulisan Nias, Nias Selatan, atau Bawömataluo di bandul atau sisinya. Nah, tugas anda sekarang adalah membeli. Walaupun untuk membantu dan melestarikan budaya Nias, anda tetap boleh koq menawar disini. Justru itulah seninya. Psssttt... Mereka bahkan nggak segan-segan banting harga kalau anda menunjukkan gelagat tidak tertarik. Hihihi. Koq jadi kontradiktif yach? Yach, bagaimanapun, anda bisa memiliki penilaian sendiri akan produk seni yang dihasilkan, apakah sesuai dengan uang yang anda bayarkan atau tidak. Kalau menurut anda sesuai, ya silahkan bayar dan bawa pulang benda seni sekaligus souvenir bahwa anda pernah berkunjung ke Bawömataluo, Nias Selatan.
Omong-omong, para penjual souvenir ini tidak hanya berprofesi sebagai pedagang semata loch. Mereka juga menunaikan misi kebudayaan dengan cara menawarkan atraksi Hombo Batu untuk setiap turis yang datang. Saya pernah utarakan ini di postingan sebelumnya. Untuk satu atraksi lompatan seorang pemuda Nias Selatan dari Desa Bawömataluo yang gagah berani dan mengenakan kostum adat (dalamnya sudah mengenakan kaus singlet, bukan telanjang dada), harga yang dipatok adalah Rp. 50.000. Yach, anda yang datang ke Bawömataluo beramai-ramai tentu beruntung karena bisa patungan untuk menyaksikan atraksi ini. Kalau sendiri? Yach, semoga anda mendapatkan grup besar yang bisa anda tebengi, atau bawalah uang cash yang banyak. Hehehe.

Monday, October 01, 2012

Selamat Datang Di Bukit Matahari, Bawömataluo

Walaupun nggak semulus campuran hotmix yang baru saja melapisi jalanan aspal, namun jalan masuk menuju Bawömataluo adalah jalan yang kualitasnya cukup baik dibanding ketika anda mencoba untuk menyambangi desa-desa adat lainnya di Nias Selatan. Untuk menuju ke tempat ini sama sekali bukan suatu perjuangan, apalagi Bawömataluo merupakan desa yang sudah sangat umum disinggahi oleh pelancong. Masyarakatnya pun tahu benar bagaimana menghadapi turis dan tampak sudah terbiasa karenanya. Seperti yang sudah saya ungkap sebelumnya bahwa akan lebih mudah kalau anda mencarter kendaraan untuk mengunjungi desa adat di Nias Selatan. Maka dari itu, disinilah saya, mendaki bukit dengan motor yang dikendarai oleh seorang supir ojek, menuju Bawömataluo yang konon tidak terlalu jauh dari Teluk Dalam.
Secara etimologis, Bawo dalam bahasa Nias artinya bukit dan Mataluo artinya matahari. Jadi, Bawömataluo artinya Bukit Matahari. Kenapa bisa disebut bukit matahari? Ada beberapa teori yang menyebutkan tentang asal usul nama ini, namun versi yang paling dikenal adalah posisi desa ini yang cukup tinggi di atas bukit, dan pada saat sore hari, pemandangan cantik matahari terbenam bisa terlihat jelas dari desa ini tanpa terhalang apapun. Ya, ketika saya mencapai puncak desa ini, pemandangan saya tidak terhalang oleh apapun. Bisa jadi, posisi Bawömataluo adalah yang tertinggi di area ini, walau desa ini sendiri bukan titik tertinggi di Nias. Sebelum memasuki desa yang terletak di Kecamatan Fanayama ini, anda akan bertemu dengan sebuah gereja BNKP yang bertuliskan “Jemaat Bawömataluo”. Wow! Artinya saya sudah sampai donk?! Namun, dimanakah desa itu berada? Gereja yang besar tersebut seakan tidak memberi peluang bagi Bawömataluo untuk memperkenalkan diri. Di sekitar tempat ini hanya ada gereja besar tersebut, deretan warung-warung sederhana, dan tangga batu! Persis di sebelah kanan dan kiri tangga batu tersebut ada patung batu kepala naga, mirip seperti Osa-Osa kepala tiga namun ini kepalanya hanya satu. Namanya mungkin Osa-Osa kepala satu aja kali yaaa...hihihi. Nah, tangga yang menjulang tinggi tersebut (konon katanya berjumlah sekitar 85 buah) adalah pintu masuk menuju Desa Bawömataluo. Tidak ada gerbang besar bertulisan Bawömataluo atau apalah, tidak ada yang menegaskan bahwa desa ini adalah lokasi wisata populer, tidak ada loket tiket, dan tidak ada tempat parkir. Sejumlah kendaraan memarkirkan kendaraanya di pojok-pojok jalan, termasuk ojek saya. Jadi, jangan harapkan gerbang masuk yang spektakuler yang menegaskan bahwa ini adalah tempat wisata yach. Tidak ada.
Bentuk susunan tangga dengan patung batu di kanan kirinya inilah yang mengingatkan saya akan struktur piramida di Mesoamerika. Yah, daripada lama-lama berasumsi dan terpanggang matahari (teori nama Bawömataluo lainnya adalah desa ini yang selalu terpanggang matahari), mari segeralah naik deretan tangga tersebut. Nggak kuat? Kaki lemas duluan? Jangan kuatir, Desa Bawömataluo ini hanya terletak di ketinggian 300an meter di atas permukaan laut saja. Kalau capek naik pelan-pelan saja. Walau demikian, ada baiknya jangan menengok ke belakang saat mendaki tangga. Sebaiknya selesaikanlah dahulu pendakian baru menengok ke belakang kalau nggak mau kena serangan pusing mendadak. Hehehehe.
Ada cerita tersendiri mengapa desa-desa adat di Nias terutama Nias Selatan menerapkan bentuk tangga yang banyak dan desanya sendiri terletak di puncak bukit seperti susunan piramida. Konon, masyarakat Nias jaman dahulu gemar sekali berperang. Skala perangnya adalah hingga desa-desa tetangga. Itu mengapa, struktur desa harus dibuat tinggi karena tangga tersebut bisa diartikan sebagai benteng. Keuntungan Bawömataluo adalah sebagai desa yang berdiri paling tinggi di area ini, artinya seluruh area bisa jelas terlihat tanpa ada halangan berarti yang memudahkan Bawömataluo untuk menyerang desa-desa lainnya. Desa Orihili saya terletak tidak jauh dari kaki Bawömataluo dan terlihat cukup jelas saat turun tangga utama desa Bawömataluo. Kalau soal posisi, Orihili ini mungkin tidak cukup beruntung kali yach...hehehe.
Setelah mencapai puncak tangga, yang saya lihat adalah tanah datar berbentuk jalan terbuat dari batu, cukup lebar untuk dilalui manusia (bahkan tiga atau empat mobil sekaligus-walau tidak ada mobil di atas sini-) dengan deretan rumah adat Nias Selatan, Omo Hada di sisi kiri dan kanan. Ohhh saya sudah tiba di Nias yang benar-benar autentik! Walaupun tidak semua masih mempertahankan bentuk rumah adat Nias Selatan dengan fondasi persegi dan atap persegi (beberapa diantaranya telah berubah menjadi rumah bata), namun sebagian besar rumah di Bawömataluo masih didominasi oleh Omo Hada. Dari semua deretan rumah-rumah tersebut yang membentuk jalur huruf T, sebagai pusatnya berdirilah Omo Sebua (Omo Sebua di Bawömataluo bergelar Omo Nifolasara), atau rumah yang dihuni oleh kepala desa dengan ukuran yang luar biasa besar, jauh mengalahkan Omo Hada di sekelilingnya. Itulah pusat desa adat di Nias Selatan.
Sembari berjalan masuk ke dalam pusat desa, tentu saja pemandangan seorang turis asing tampak begitu menarik untuk dilihat oleh warga. Sejumlah perempuan tampak melihat ke arah saya dan beberapa anak-anak tampak mengikuti langkah saya sambil bermain di sekeliling. Desa adat Nias Selatan, tidak hanya berfungsi sebagai pusat kebudayaan, namun masih difungsikan sebagai tempat tinggal hingga saat ini. sejumlah bangunan Omo Hada dan bangunan yang sudah baru dan terbuat dari bata diantara Omo hada bahkan telah difungsikan menjadi semacam warung yang menjual pernah-pernik dan kebutuhan sehari-hari. Realitas jaman telah menggiring pola hidup manusia, yach? Tampak di depan deretan Omo Hada tersebut, ada batu-batu megalitik yang teronggok dan mayoritas berwarna hitam. Nampaknya, bebatuan tersebut tidak lagi dipergunakan dalam ritual apapun karena mereka justru melakukan aktifitas ekonomi dan rumah tangganya di seputaran batu, mulai dari menjemur pakaian hingga menjemur biji-bijian hasil pangan. Pemandangan yang agak lucu ketika sebuah meja megalitik dipergunakan untuk menjemur biji-bijian dan disampingnya sejumlah pakaian basah dijempur persis di atas batu-batu tersebut. Konon, batu yang panas tersebut akan membuat pakaian lebih cepat kering walau sejumlah penduduk lainnya sudah cukup modern dengan menggunakan jemuran alumunium atau kayu. Sayang, pemandangan ini sedikit banyak menghilangkan romantisme Nias Selatan dan sedikit menggangu bayangan saya akan desa adat di Nias Selatan.
Rata-rata, Omo Hada yang berdiri di Bawömataluo sudah menggunakan atap seng sebagai pengganti sirap. Ada sich sejumlah rumah yang masih bertahan dengan atap sirapnya, namun sebagian besar telah menggunakan seng sebagai bahan baku atapnya. Walaupun lebih panas, namun atap seng diyakini lebih tahan api dibanding sirap. Selain itu, alasan lainnya adalah mencari sirap tidak mudah disbanding mendapatkan seng di toko bangunan. Kalau anda melambatkan jalan anda sedikit, selain meja dan kursi batu yang terletak di depan setiap Omo Hada, mereka juga memiliki sejumlah patung leluhur atau Adu Zatua. Ada pula bentuk-bentuk ukiran lain yang tentunya memiliki fungsi tertentu namun sudah tidak terlalu dipedulikan lagi oleh warga karena difungsikan menjadi lokasi jemur pakaian. Sebuah meriam yang tampaknya peninggalan dari jaman penjajahan dahulu masih bisa ditemukan dalam kondisi cukup terawat namun tanpa penjelasan yang memuaskan.
Tidak jauh dari Omo Sebua, terdapatlah sesuatu yang saya ingin lihat dari dekat dan dahulu pernah muncul di mata uang Rp. 1.000 keluaran tahun 1992. Deretan batu berbentuk menara setinggi dua meteran tampak berdiri tunggal. Ya, inilah batu yang dipergunakan untuk atraksi Lompat Batu atau Hombo Batu, keahlian tradisional masyarakat Nias. Sejumlah teman saya asal Nias yang berada di Jakarta pun berkata bahwa mereka mampu untuk melakukan Hombo Batu ini. Menarik yach, bahwa kebiasaan dan keterampilan tradisional mampu bertahan dan dilestarikan oleh generasi masa kini. Tentu saja, melompati batu setinggi dua meteran ini bukan perkara mudah. Namun, dengan latihan bertahun-tahun, seorang Fahombe (pelompat batu) mampu untuk melakukan atraksi ini. Buat turis yang nggak biasa melakukannya, sebaiknya memang tidak nekad mencobanya karena selain unsur latihan, sedikit warna mistik juga turut andil dalam tradisi Hombo Batu ini. Menurut guide saya, Hombo Batu tidak bisa dilakukan sembarangan. Walaupun sudah latihan bertahun-tahun dan sudah yakin bisa, namun jika di dalam dirinya masih ada halangan atau memang tidak diperbolehkan untuk melompat, pasti tidak akan bisa melompat. Efek terburuknya adalah bisa sampai meninggal karena kecelakaan saat melompati batu tersebut. Selain keterampilan matang, masyarakat Nias percaya bahwa seorang Fahombe harus berhati bersih dan melakukan ini bukan dengan tujuan yang buruk. Kini, atraksi ini bisa dinikmati dengan membayar Rp. 50.000 untuk seorang Fahombe dan untuk satu kali lompatan. Yach, anda kalikan saja sendiri kalau anda misalnya ingin melihat 3-4 lompatan. Hehehe. Makanya, kunjungan beramai-ramai juga merupakan sesuatu yang asyik karena bisa meringankan biaya untuk menonton Fahombe ini. Nggak asyik juga kan kalau Fahombenya cuma satu dan begitu selesai melompat, sret, selesai. Hahaha. Fahombe yang melompati batu pun nggak setengah hati loch dalam melakukan aksinya ini. Setiap Fahombe akan selalu berpakaian adat nias lengkap khusus untuk melompati batu ini. Kebayang donk gimana kerennya? Apabila anda mau menonton atraksi Hombo Batu ini, bicarakanlah niat anda kepada guide anda atau para penjual souvenir di bagian bawah Omo Sebua yang rata-rata menawarkan jasa pertunjukkan ini. Para pemainnya pun bisa dicari setiap saat karena mereka memang penduduk Bawömataluo yang sudah sering sekali melompat untuk pertunjukkan.
Walaupun pernah digoyang gempa dan luluh lantak, namun cerita-cerita miring masyarakat Nias yang dahulu pernah saya dengar tidak saya alami pada saat kunjungan. Masyarakat tampak lebih terbuka dan tidak terlalu heboh dengan kedatangan turis. Sejumlah anak-anak memang masih menawarkan souvenir khas Bawömataluo dan Nias, namun tiada unsur pemaksaan berlebihan ketika sang turis tidak berniat membeli. Mungkin juga kunjungan BRR Nias telah membuat mereka terbiasa dengan orang asing kali yach? Nah, coba dech temen-temen yang sudah sampai ke Nias, jangan lewatkan desa adat yang paling fenomenal di nias Selatan ini yach. Kalau beruntung, pada saat kunjungan mungkin teman-teman bisa melihat tarian perang kolosal yang ditarikan oleh ratusan pria dengan pakaian adat dan memenuhi seluruh bagian Bawömataluo. Tentu, ini peristiwa yang pastinya menarik banget untuk disaksikan.