Sunday, December 23, 2012

Lagi dan Akhirnya, 3 Jam Dari Teluk Dalam Ke Gunungsitoli

Akhirnya, setelah menjemput para penumpang yang tersisa di Sorake, mobil pun kembali ke Teluk Dalam dan segera bertolak menuju Gunungsitoli. Akhirnya. Akhirnya! Perjalanan panjang ini memakan durasi selama 3 jam. Seperti biasa, kerjaan saya selain melihat-lihat pemandangan adalah tidur. Hehehe. Nggak banyak yang bisa dilakukan di jalan memang. Awalnya masih menyenangkan melihat-lihat pemandangan di kanan dan kiri (kebetulan saya duduk di sebelah kanan, tepat di belakang supir sehingga pemandangan di sebelah kiri sebenarnya nggak bisa terlalu kelihatan juga). Pemandangan yang tersaji kebetulan adalah laut dan selat diantara Pulau Nias dengan daratan besar Sumatera yang masih merupakan bagian dari Samudera Hindia juga. Menjelang area tengah, pemandangan laut ini tergantikan dengan bukit, sungai dan perkampungan. Namun, lama kelamaan, plus suhu yang panas (setelah sebelumnya hujan deras mengguyur tempat ini pada pagi hari) mau nggak mau membuat saya tertidur juga dan terbangun entah dimana.
Hiburan satu-satunya adalah ketika ada penumpang yang membeli Lasi, atau buah langsat yang kita kenal. Dengan rasa egaliter, sang ibu yang membeli lasi untuk anaknya itu membagi-bagikannya kepada seluruh penumpang. Saya pun nggak ketinggalan, ikut kebagian juga. Walaupun Cuma sebiji, namun saya sudah senang dibuatnya. Proses membelinya pun unik karena yang menawar sang supir yang kami tumpangi, bukan si ibu. Begitu harga yang diinginkan tidak dicapai, dibukalah kaca jendela dan berteriaklah sang ibu untuk ikut-ikutan menawar. Kalau sudah begini, mau apa coba? Hehehe.
Satu peristiwa lain yang saya nggak bisa lupa adalah ketika sang anak yang dipangku tersebut sepanjang perjalanan (konon biar sang anak nggak membayar harga kursi-kalau sampai duduk di kursi artinya harus membayar harga kursi), hampir saja mabuk darat. Ketika sang ibu dengan panik mencari-cari kantung plastik untuk menampung muntahan anaknya tersebut, saya dengan sigap memberikan kantung plastik yang saya gunakan untuk berjaga-jaga kalau-kalau saya mabuk duluan. Hehehe. Beruntung saya nggak mabuk sepanjang perjalanan, namun ibu itu kurang cepat membuka kantung plastik tersebut, atau entah saya yang kurang cepat memberikannya. Alhasil, anak tersebut sudah keburu muntah dan membasahi baju sang ibu, dan sedikit terciprat ke saya. Langsung dech sang ibu sibuk mengelap tumpangan muntahan tersebut sambil mengomeli anaknya yang nangis tersebut. Sang ibu yang juga tidak menemukan tisu di dalam tasnya tersebut akhirnya saya berikan tisu yang ada di dalam tas saya yang lebih mudah untuk diraih. Untung Cuma cipratannya doank. Hehehe.
Tapi waspadalah, walaupun nggak bergunung-gunung tapi kontur Nias Selatan yang sebagian memang berbukit di ruas jalan utamanya berpotensi membuat penumpang mabuk darat. Selepas Gomo, jalan sudah cenderung lurus sehingga potensi masuk sudah berkurang. Tiket pulang dari Teluk Dalam menuju Gunungsitoli sama dengan keberangkatan, yakni Rp 50.000. Sang supir ga akan segan-segan memenuhi seluruh kapasitas tempat duduk sampai penuh, kalau perlu menunggu sekalian. Ini sebabnya waktu perjalanan tidak bisa on time. Bersyukurlah kalau kendaraan yang anda tumpangi lekas penuh dan bisa segera berangkat tanpa banyak menunggu.
Banyak pemandangan sungai di sepanjang rute Teluk Dalam - Gunungsitoli
Nias punya sawah juga lho...
kampung di Nias, sebagian sudah merupakan hasil renovasi, sebagian masih bertahan dari gempa
gereja tua (dekat Gunungsitoli) dengan desain yang jadul dan khas
beli baju di tepi jalan? jangan lupa bilang pak supir, ya!

Friday, December 21, 2012

Wajah-Wajah Teluk Dalam

Angkutan umum di Nias, entah saya sudah pernah bilang sebelumnya atau belum, lambat. Buat yang terburu-buru, sebaiknya sich mencarter kendaraan dengan risiko mahal. Buat yang nggak punya dana berlebih, ya jangan terburu-buru! Hehehe. Kendaraan yang disebut taksi, yang wujudnya biasanya berupa APV atau Luxio yang seharusnya berangkat pukul 9, menjadi molor pukul 10. Padahal saya sudah sengaja bangun pagian agar lebih lama menikmati sisa-sisa Teluk Dalam dan bergegas menuju Pasar Teluk Dalam yang memang nggak terlalu jauh sich. Dalam situasi sempurna, dimana penumpang banyak dan terus menerus berdatangan, bisa jadi kendaraan sudah berangkat dari tadi. Namun taksi yang saya tumpangi ternyata masih menunggu sejumlah orang agar penuh. Beberapa lainnya yang telah mendaftar terlebih dahulu, bahkan minta dijemput di Sorake. Wow.
Ini artinya, waktu keberangkatan masih cukup lama. Jam 9, kendaraan masih menunggu di Teluk Dalam. Kendaraan baru diberangkatkan benar-benar pada pukul 10-an, seusai menjemput tamu di Sorake dan kapasitas mobil benar-benar penuh. Daripada sia-sia, saya memotret wajah pagi hari Teluk Dalam yang baru saja mulai menggeliat. Ya, wilayah pasar dimana lokasi saya berdiri tampak baru mulai menggeliat, walaupun jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat. Entah memang karena hujan ataukah karena memang rutinitas sehari-hari seperti itu, saya kurang tahu. Namun pagi itu adalah pagi yang sibuk. Para pejalan kaki lalu lalang, ojek sepeda motor, ojek becak motor, pemilik toko membuka tokonya, hingga kedai makanan yang ditongkrongi oleh sejumlah bapak-bapak. Nggak lupa, para supir dan timer yang bertugas mencari penumpang yang akan bertolak menuju Gunungsitoli. Ya, Teluk Dalam memang kota yang ramai, dan potensinya cukup baik. Tertarik untuk membuka usaha di tempat ini?
Saat saya sedang asyik memotret, tiba-tiba supir Luxio ini muncul dan menunjukkan pose siap untuk difoto. hehehe

Tuesday, December 18, 2012

(Batal Ke) Hilinawalo Mazingo Yang (Ternyata) Super Jauh

Sebelum kembali ke daratan Sumatera, rasanya nggak afdol kalau saya nggak memaksimalkan waktu saya berkunjung di Nias. Sebelum kembali menuju Gunungsitoli, saya ingin berkunjung ke salah satu desa adat yang ada di Nias dan masih memiliki Omo Sebua. Desa itu adalah Hilinawalo Mazingo. Selain memang masih memiliki Omo Sebua atau rumah adat kepada desa yang berukuran besar, saya justru terpikat dengan nama desa ini yang unik. Hehehe. Sayangnya, tidaklah mudah untuk menuju Hilinawalo Mazingo.Agak berbeda dengan Bawomataluo dan desa-desa lain di seputaran Nias Selatan, Hilinawalo Mazingo justru terletak di jalur balik antara Teluk Dalam dan Gunungsitoli, sebelum Gomo. Jarak yang tidak bisa dikatakan dekat tersebut membuat akses menuju desa tersebut sulit. Terlebih lagi, dari tepi jalan raya, dimana masih bisa ditemukan kendaraan umum melintas, jalan masuk menuju desa tersebut tidaklah dekat. Pilihan satu-satunya hanyalah carter kendaraan agar bisa menikmati Hilinawalo Mazingo. Carter mobil? Tentu saja tidak, soalnya saya sendirian. Opsi lainnya adalah sewa ojek. Mudah-mudahan harganya masuk akal sebab saya ingin sepagi mungkin kesana, foto-foto, kemudian kembali lagi menuju Teluk Dalam untuk bergegas kembali ke Gunungsitoli naik taksi pukul 10 pagi. Apa kata supir ojek yang hendak saya carter?"Wah, jauh itu. Dan bapak nggak bisa kembali tepat waktu karena perjalanan saya sudah membutuhkan waktu sekitar dua jam lantaran medan jalan yang kurang baik dan naik turun. Kalau mau kesana, mungkin sore baru bisa kembali lagi kesini". Oke, kesimpulan yang lumayan untuk membuat saya membatalkan rencana pagi ini. Berapa sich harganya? Bapak itu membuka harga Rp 250.000 yang membuat saya terbelalak. Saya utarakan keheranan saya akan harganya dan perbandingan harga murah yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Bawomataluo. Bapak tersebut nggak heran rupanya dengan keheranan saya. Jarak Teluk-Dalam Bawomataluo ternyata nggak ada apa-apanya dibanding Teluk Dalam - Hilinawalo Mazingo yang menurutnya cukup jauh dan lumayan naik turun. Walaupun akhirnya si bapak menurunkan harga menjadi Rp 200.000 dengan alasan mau membantu saya dan dia tidak untung banyak, namun saya sudah tidak meminati berkunjung ke Hiliwalo Mazingo. Saya tetap harus kembali ke Gunungsitoli saat siang agar bisa memutari kota tersebut. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada sang bapak dan membatalkan rencana saya berkunjung ke Hilinawalo Mazingo. Kebetulan, seusai penawaran pagi itu, hujan turun dengan lebatnya membasahi Teluk Dalam padahal langit terik panas. Saya akhirnya menghabiskan pagi itu dengan menunggu di losmen sambil menikmati sarapan pagi.

Monday, December 10, 2012

Semangkuk Ifu Mie Hangat Di Senja Teluk Dalam

Saya pernah menuliskan ini di postingan sebelumnya bahwa agak sukar mencari penduduk asli Nias yang berdagang masakan asli mereka. Rata-rata para penjual makanan di tempat ini adalah orang non-Nias seperti yang umum ditemui misalnya masakan Padang, masakan Chinese, dan masakan Jawa. Kayaknya tiga etnis ini nggak usah dipungkiri soal keuletannya akan menyebarkan kuliner khas mereka ke penjuru nusantara yach. Hampir di setiap sudut nusantara bisa dengan mudah ditemukan makanan dari tiga etnis ini, walau tidak ada makanan penduduk asli sekalipun, ironisnya. Nah, selain tiga etnis ini, saya kali ini berkeinginan mencicipi makanan khas Batak, etnis yang merupakan tetangga Nias di Indonesia ini.
Ada satu rumah makan Batak yang cukup rapih dan mencolok di tepi Jalan Diponegoro, Kota Teluk Dalam saat saya pulang kembali ke penginapan, senja itu. Saya memilih rumah makan ini karena cukup terang dibanding rumah makan lain, serta lumayan ramai pengunjungnya. Walaupun tempatnya nggak luas, namun jumlah pengunjung yang sekedar menunggu pesanan atau makan di dalam rumah makan tersebut harusnya sich sudah menjadi indikator yang cukup baik akan kualitas makanan di tempat ini yach. Untuk menu, memang sich, seperti rumah makan Batak pada umumnya, makanan di tempat ini non-halal semua. Walau demikian, saya lebih merasakan unsur Chinese di tempat ini dibanding Batak. Deretan menu yang ditawarkan berbunyi antara lain, Babi Kecap, Chap Cay, Ifu Mie, Mie Hun, Nasi Goreng, Mie Sop, dll. Bayangan saya akan rumah makan di tepian Danau Toba dengan Arsik, Sangsang, Lomok-Lomok buyar sudah. Hehehe. Senja itu, saya menikmati Ifu Mie Kuah yang menghangatkan badan dan jus alpukat untuk kesehatan di perjalanan. Hihihi. Nggak nyambung yach? Selayaknya rumah makan yang berada di pulau dan jauh dari kota besar, harga makanan pada umumnya mahal. Untuk semangkuk Ifu Mie rumah makan biasa, dihargai Rp 14.000. Walaupun cukup enak, tapi harga ini jelas sudah berbeda dibandingkan warung makan, sebut saja di Yogyakarta. Untuk nasi putih sepiring, dihargai Rp 5.000. Untungnya, jus nggak ikut-ikutan mahal. Jus Pokat (Alpukat) yang saya pesan dihargai Rp 7.000. Beberapa jenis buah-buahan seperti Terong Belanda juga Rp 7.000. Buah lain seperti wortel, tomat, jeruk malah lebih murah yakni Rp 6.000. Mungkin karena buah-buah tersebut lebih mudah didapatkan kali yach? Kalau teman-teman main ke Teluk Dalam, mungkin bisa mencicipi makanan di tempat ini. Walaupun varian menunya nggak banyak, namun rasanya, jumlah pengunjung yang bolak balik keluar masuk tempat ini bisa dijadikan indikator yang baik.
Waktu saya berkunjung, Kota Teluk Dalam hampir menjelang Pilkada. Perhatikan seruan kampanya yang ditulis dalam bahasa Nias.

Thursday, December 06, 2012

Keramahan Khas Teluk Dalam

Menjelajahi Nias terutama Kota Teluk Dalam, menyenangkan. Di keremangan senja, kala berjalan-jalan santai di sekitar pekuburan Cina, saya disapa oleh sejumlah warga kota yang tinggal di sekitar pekuburan tersebut. Melihat saya membawa kamera, reaksi mereka sungguh tak terduga dan menurut saya sangat berharga. Mereka memanggil saya dan meminta saya untuk memfoto mereka. Begitu saya sanggupi dan saya menuju rumah sang bapak, ia masuk ke dalam rumahnya dan keluar kembali sambil menggendong anaknya. Anaknya sendiri tak luput juga berpose gembira, senang karena difoto kali yach. Hehehe. Usai berfoto, saya mengobrol sedikit dengan keluarga bapak tersebut. Obrolan biasa sich, seperti asal darimana, mau kemana, di Teluk Dalam mau ngapain dan sebagainya. Menariknya, seusai melakukan sesi pemotretan dan berpamitan dengan bapak tersebut, ternyata tugas saya belum benar-benar selesai. Tiga orang anak yang sedang bermain di tepian jalan berbisik-bisik penuh arti ketika saya lewat. Dan saya pun senyum-senyum penuh arti kepada mereka. Namun, kali ini saya nggak berhenti melainkan terus saja melewati mereka hingga salah seorang diantara mereka berkata “foto!”. Hehehe. Saya langsung berbalik dan bertanya, “mau difoto?”. Mereka pun tanpa jawaban langsung melakukan pose siap untuk difoto. Ah, saya cinta Teluk Dalam.

Sunday, December 02, 2012

Rasa Cina Di Pekuburan Kota Teluk Dalam

Di penghujung Jalan Diponegoro, pusat Kota Teluk Dalam, Nias Selatan, arah menuju luar kota ke Gunungsitoli, terdapat sebuah kompleks kuburan. Saya kebetulan sedang berjalan kaki santai menjelajahi Kota Teluk Dalam pada keremangan senja sebelum matahari benar-benar tenggelam. Dalam perjalanan, saya menemukan kompleks pekuburan ini. Aneka macam kuburan mulai dari yang sangat khas Nias Selatan seperti bentuk Omo Hada hingga batu-batu berbentuk kubus dengan ukiran Adu Zatua atau Adu Niu mewarnai kompleks ini. Yang menarik, selain kuburan khas Nias yang masih tradisional (berbentuk rumah atau ukiran, pahatan), saya menjumpai aneka nisan khas pekuburan Cina.
Nisan khas pekuburan Cina biasanya sangat khas, yakni berupa lempengan setengah bulat yang ditempeli marmer, kemudian dihiasi sejumlah aksara mandarin. Walau tidak semua nisan mayoritas berbentuk seperti ini, namun pakem nisan pekuburan Cina biasanya nggak jauh-jauh dari konsep ini. Menarik sekali melihat sejumlah nama-nama tersebut yang masih menggunakan nama aslinya (dan nama babtisnya) berusia cukup tua, bahkan telah lahir sebelum jaman kemerdekaan Indonesia. Usia paling tua yang saya lihat di deretan nisan tersebut adalah yang bertanggal 1912 dan meninggal sekitar tahun 1964. Batu nisan tersebut masih mencantumkan nama asli orang tersebut, nama babtisan orang tersebut, shio orang tersebut dan lokasi lahir dan wafatnya. Selain biodata, nisan juga mengungkapkan siapa istri/suaminya, dan siapa anak-anak serta menantunya. Nggak heran, nama-nama anak dan menantunya dipampang di nisan tersebut. Lebih menarik lagi buat saya adalah anak-anak yang biasa masih mengikuti warisan marga dan nama Cina telah banyak memilih untuk menikah dengan penduduk asli Nias. Anda bisa melihat marga-marga seperti Zebua, Waruwu, Lase, dan sebagainya. Satu buah nisan bisa saja dipenuhi dengan semua keterangan tersebut dan ditambah tulisan hanzi, setidaknya pada nama asli mereka. Pada nisan-nisan yang baru, dimana sang almarhum/ah sudah tidak lagi menganut paham nenek moyang dari daratan Cina sana, mereka telah memilih menggunakan salib karena memang Protestan adalah agama mayoritas di tempat ini. Walau demikian, nama asli dan tulisan hanzi tetap tidak berubah posisinya.
Proses percampuran kebudayaan tampaknya cukup berhasil di tempat ini. Di suatu tempat di Pasar Teluk Dalam, saya mendengar bahasa Cina dengan dialek khek terdengar namun agak berbeda dengan apa yang saya ketahui. Kebudayaan asli Nias juga mungkin turut menyebabkan variasi dialek tersebut. Walaupun bukan tujuan objek wisata yang menarik, apalagi di saat senja menjelang, namun saya gembira, di tempat yang tidak terekspos di Nias Selatan, kerukunan antar etnis dan agama telah berjalan dengan sangat baik, hingga saat ini.

Saturday, December 01, 2012

Durian Batubara Di Nias Selatan

Kota Teluk Dalam bukanlah kota yang besa. Dibandingkan dengan Gunungsitoli, jelas ukurannya terpaut cukup jauh. Walau demikian, Teluk Dalam adalah kota terbesar kedua di Pulau Nias dan sekaligus juga menjadi pusat pergerakan turis yang ingin menjelajah Nias Selatan sekaligus mengisi perbekalan mereka. Menjelajahi kota ini cukup asyik buat saya ditambah dengan ukurannya yang tidak terlalu luas. Nggak sampai setengah hari, kayaknya anda sudah bisa menyelesaikan mengelilingi kota ini dengan berjalan kaki. Rasa kota ini mirip dengan Kefamenanu, ibukota Timor Tengah Utara yang berupa satu jalan panjang yang membelah bukit. Seperti inilah bentuk Teluk Dalam kira-kira.
Kehidupan di kota ini cukup ramai, mulai dari pagi hingga petang menjelang. Namun, selepas petang, anda mungkin nggak bisa berharap banyak kecuali pusat kota di Jalan Diponegoro selepas simpang pasar hingga masjid. Kehidupan di kota ini perlahan menyurut dan tenggelam seiring dengan sang surya. Lampu jalanan pun bisa dihitung dengan jari, maka hindarkan aktifitas di pinggir kota terlebih saat malam menjelang. Walau demikian, ada satu hal yang menarik di kota ini saat malam menjelang. Di Jalan Diponegoro arah menuju luar kota ke Gunungsitoli, pada sore hari berkumpullah beberapa penjual durian di tepi jalan. Peminatnya lumayan banyak juga. Banyak diantara pengunjung yang membeli untuk dibawa pulang ataupun langsung dimakan di tempat. Duriannya sich ngga besar, khas durian Sumatera. Walau demikian, wanginya durian ini membuat saya melambatkan jalan dan sedikit berbincang dengan para penjualnya. Menariknya, durian ini bukanlah durian Nias. Walaupun terkenal dengan hasil durian untuk wilayah Sumatera, namun Nias kurang mendapat berkah itu (justru berkah Nias adalah manggis). Durian ini didatangkan dari Batubara, salah satu kabupaten yang berada di pantai timur Sumatera Utara. Wowww..jauh juga yach. Menarik juga melihat durian dibawa sejauh itu dan ternyata peminatnya cukup banyak di Nias ini. Harga durian ini tidak terlalu mahal. Apabila ingin, mungkin anda bisa meminta untuk dikupas satu buah sembari langsung mencicipi di tempat. Inilah santai sore ala Nias Selatan.

Saturday, November 17, 2012

Lagundri, Surganya Peselancar Di Nias

Di sisi timur Pantai Sorake, ada Teluk Lagundri. Walaupun gempa Nias 2004 dan 2005 sedikit banyak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pulau Nias, namun untungnya pariwisata di Teluk Lagundri kembali berbenah dan hidup kembali. Turis-turis terutama asing yang ingin menjajal manisnya ombak di Teluk Lagundri sudah ramai berdatangan dan banyak menginap di homestay sederhana yang berderet di tepi teluk. Untuk pariwisata, saya sendiri lebih menyukai Teluk Lagundri karena suasananya yang lebih turis dibanding Pantai Sorake yang lebih sepi. Deretan homestay sederhana yang berjejer di tepi teluk pun rata-rata dipenuhi oleh turis plus papan selancarnya.
Ada batas jelas antara area penginapan dan pantai. Area semen dan pasir yang cukup jelas membedakan dua tempat ini. Sebelum tsunami menghantam, air laut pasang hingga cukup dekat ke bibir pantai. Ini sebabnya, saat tsunami terjadi, banyak penginapan yang hancur diterjang gelombang. Saat Pulau Nias dijungkat-jungkit oleh gempa, garis pantai menjauh beberapa puluh meter ke tengah laut. Di Teluk Lagundri, anda bisa menyaksikan sejumlah areal karang yang kering, basah karena pasang, hingga yang benar-benar sudah kering, berpasir dan ditumbuhi oleh rumput darat. Untuk melakukan surfing, para turis harus berjalan cukup jauh melalui karang-karang tersebut guna mencapai arah aliran ombak.
Masuk menuju Teluk Lagundri memang nggak bayar karena tidak ada loket tiket sama sekali. Namun, untuk menikmati fasilitas, umumnya turis harus menyewa losmen dan penginapan yang memang nggak mahal tersebut. Buat yang sudah kangen dengan suasana desa wisata yang ramai dengan turis asing macam Prawirotaman, Poppies, Tuk-Tuk Siadong, atau Jalan Jaksa, Teluk Lagundri ini bisa menjadi alternatif. Untuk menginap, coba dengan Manuel Keyhole Losmen di 081397396410.

Wednesday, November 14, 2012

Sepinya Sorake Saat Sekarang

Nias adalah salah satu pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkat posisinya, sebagian besar wilayahnya menghadap langsung ke Samudera Hindia, lokasi laut yang terkenal dengan ombak ganasnya. Tidak luput pula adalah Pantai Sorake yang terletak di bagian selatan agak barat daya pulau ini. Pantai Sorake yang terkenal dan terletak di Nias Selatan memang menghadap langsung Samudera Hindia.
Saya agak sedikit salah soal Sorake ini. Saya berpikir pantai yang masih alami dan jauh dari sentuhan kreatifitas manusia di dalamnya. Selayaknya sebuah pantai yang masih benar-benar pantai saja, berpasir putih (seperti layaknya pantai di Samudera Hindia), dan tanpa polesan apapun. Nggak disangka, ojek yang saya tumpangi membawa saya ke sebuah bangunan besar yang cukup lebar, dengan sejumlah penginapan bergaya Omo Hada di seberang atrium utama tersebut. Memang sich, semuanya terlihat berjaya dan tertata dengan baik. Walau demikian, usia tempat ini nggak bisa dibohongi. Walaupun fasilitas cukup lengkap sehingga membuat area ini berkesan "mahal", namun perawatan yang nampaknya agak kurang telah membuat kusam lokasi ini. Ketiadaan staff yang berjaga, kurangnya perawatan, cuaca, angin laut, dan pengabaian terhadap bangunan dan tanaman liar sedikit banyak telah menurunkan wajah Pantai Sorake. Ditambah dengan bungalow-bungalow yang saya nggak terlalu yakin apakah ditempati atau tidak, plus ketiadaan rumah makan dan penunjang kehidupan turis, saya nggak yakin mau berlama-lama apalagi melewatkan malam di tempat ini.
Memang, sejumlah fasilitas seperti kolam renang terlihat dibuat dengan serius dan bukan ala kadarnya. Sejumlah bungalow dan pendopo bangunan dibuat dengan manis plus bercita rasa dan arsitektur khas Nias Selatan, lengkap dengan ukir-ukirannya. Sebut saja aneka lukisan, ornamen batu alam pada dinding dan lantai, dan sofa rotan beserta sejumlah bantal empuk. Lagi-lagi, minimnya perawatan yang mungkin juga disebabkan oleh minimnya kunjungan membuat pengabaian terjadi. Bahkan, jalan masuk menuju pantai dari areal atrium utama tertutup oleh tingginya rerumputan dan sejumlah sampah. Tidak ada jalan utama yang tegas yang memberitahukan posisi dimana pengunjung seharusnya berjalan. Pohon kelapa menjadi pemandangan umum yang memenuhi pantai di wilayah ini.
Sore itu, sejumlah remaja lokal tampak berkunjung ke Pantai Sorake. Namun bukan untuk bermain-main sebab kondisi pantai Sorake tidak bisa dikatakan bagus kalau nggak mau disebut jorok. Lepas dari pantai yang tidak terlalu lebar dan pasirnya agak menguning, tampaklah hamparan batu karang yang cukup lebar dan digenangi oleh air pasang yang tidak bisa keluar lantaran laut sedang surut. Kondisi tersebut membuat ombak pecah jauh di tengah laut sana. Tidak ada pengunjung yang niat untuk bermain air karena situasi yang demikian. Sang ojek saya bahkan berkata, "berbahaya" untuk mendeskripsikannya. Entah maksudnya pantainya yang berbahaya, ombaknya yang berbahaya, atau batu karangnya yang berbahaya, saya tidak bertanya lebih lanjut. Jadi, saya berpikir untuk melewatkan saya bermain air di Sorake ini. Para muda-mudi tersebut pun nampak hanya menikmati semilir angin laut, sambil beberapa diantaranya berfoto. Walaupun ada juga yang mengenakan busana pantai lengkap dengan kainnya, namun nampaknya berjemur, apalagi bermain air menjadi sesuatu hal yang agak sulit dilakukan di pantai ini.
Tsunami tahun 2004 dan 2005 pernah menghantam wilayah ini. Kerusakan cukup parah pernah dilanda kawasan ini dengan hancurnya sejumlah bungalow yang terkena ombak dan diseret ke laut. Walau demikian, kerusakannya tidaklah masif dan para pengusaha setempat segera berbenah diri untuk membangun ulang dan kembali melayani para wisatawan yang sebagian besar adalah peselancar asing. Walaupun sekian tahun sudah berlalu semenjak kejadian tsunami tersebut dan perbaikan telah rampung diselesaikan, namun dampak nyata dari gempa dan hantaman tsunami masih ada. Hal yang paling jelas adalah efek jungkat-jungkit di Pantai Sorake, yang mungkin terjadi juga pada sejumlah pulau di lepas pantai barat Sumatera. Pada Pantai Sorake, air laut yang dahulu langsung menghantam tepian pantai, kini bergeser menjauh menjadikan Sorake adalah pantai berkarang. Itu sebabnya mengapa air laut tergenang tersisa diantara karang-karang yang nampak tersebut. Di sisi lain, ada bagian pulau Nias ini yang terendam air laut karena efek tersebut. Beberapa jepretan saya akan Pantai Sorake akan lebih menjelaskan.

Tuesday, October 30, 2012

Rasa Internasional Di Nias

Buat yang pernah mendengar bahwa Nias lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan asing dibanding warga Indonesia sendiri mungkin tidak bisa begitu saja percaya. Bahkan, bagi mereka yang sudah berkunjung kesana pun, mungkin tidak serta merta saja percaya. Ah, masak iya sich? Mungkin begitu kira-kira bentuk ketidak percayaannya. Namun, percayalah, ada satu tempat di Nias yang sangat internasional sehingga bisa disejajarkan dengan, katakanlah Poppies di Bali, Sosrowijayan di Yogyakarta, Jalan Jaksa di Jakarta, atau tuk-Tuk Siadong di Samosir. Tempat ini adalah Pantai Sorake atau justru yang lebih dikenal dengan Sorake Beach bagi turis internasional. Gunungsitoli dan Teluk Dalam mungkin bukan tempat yang tepat untuk menilai seberapa internasionalnya Nias. Namun, begitu masuk ke wilayah Sorake, disinilah anda baru melihat bahwa Nias memang sangat mendunia dan jauh lebih dipadati oleh bule dibanding warga lokal. Turis asing pun lebih suka berdiam disini dibanding di Teluk Dalam, yang justru lebih diminati oleh warga lokal, termasuk saya. Hehehe.
Jalan dari Orahili tersebut menurun terus menurun hingga kembali ke jalan raya utama Teluk Dalam - Sorake. Mulailah, hutan yang lebat digantikan oleh deretan pepohonan kelapa. Sedikit demi sedikit, mulai tersibak pemandangan laut di sebelah kiri jalan. Jalanan yang rusak pun berganti dengan jalan aspal yang mulus dan lebar. Hampir tidak banyak terdapat tutupan rumah di tempat ini, namun terdapat sejumlah rumah adat Nias Selatan di tempat ini.
Selepas Hiliamaetaniha, masih termasuk dalam wilayah Fanayama, mulailah tampak deretan-deretan penginapan, losmen, rumah makan, cafe dan bar yang sedikit banyak akan mengingatkan anda pada deretan tepi pantai antara Palabuhan Ratu menuju Karang Hawu. Bedanya, penginapan dan losmen di tempat ini bukanlah yang berskala besar, namun dikelola pribadi oleh masing-masing pemilik dan hanya memiliki sejumlah kamar saja. Sejumlah turis asing sudah mulai tampak di tempat ini, berjalan, atau menaiki sepeda motor sambil membawa papan seluncur. Yap, itulah yang mereka lakukan di tempat ini, seluncur atau surfing. Ombak di Nias, atau tepatnya di Teluk Lagundri memang terkenal memiliki panjang gelombang yang bagus dan arah yang unik, yang berbeda dari kebanyakan tempat di dunia ini. Ombak di tempat ini bahkan sudah berskala internasional sehingga kerap digelar kejuaraan surfing internasional di tempat ini. Belum pernah mendengarnya yach? Hehehe.
Pantai Sorake dan Teluk Lagundri yang terletak di bagian selatan pulau Nias ini memang terletak bersebelahan. Penginapan dan losmen menyebar diantara kedua pantai tersebut walaupun jauh lebih banyak terkonsentrasi di antara Pantai Sorake dan Teluk Lagundri. Disinilah, para surfer-surfer sering menjajal keahlian mereka sementara Pantai Sorake yang sepi lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan yang hanya ingin bersantai dan tidak ingin kegiatan surfing di laut. Berkunjung ke Nias Selatan bukanlah hanya desa adatnya saja, namun kekhasan ombak di Nias pun sangat perlu untuk dicicipi, setidaknya dikunjungi.

Wednesday, October 24, 2012

Foto : Semua Bisa Jadi (Tiang) Jemuran Di Nias!

Jemuran mewarnai wajah desa adat Nias Selatan
Konon, aneka macam jemuran ini akan lenyap begitu ada kunjungan pejabat atau pada saat hari raya besar. Nah, pada hari biasa, atau hari minggu bahkan, jemuran aneka warna dan bentuk adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Nias. Maklum, berada di ketinggian bukit hampir membuat desa-desa adat di Nias Selatan hampir tidak memiliki halaman belakang. Satu-satunya lahan yang cukup lebar yang bisa ditempati oleh para jemuran adalah halaman depan. Beginilah, kultur unik akan halaman depan desa-desa adat di Nias Selatan. Sembari menikmati desa adat yang unik dan cantik, jemuran ini turut "mewarnai" wajah desa adat di Nias Selatan.
Jemuran yang masih "wajar"
Menggunakan tiang jemuran dari kayu
Menhir di depan Omo Hada dijadikan alas jemuran
Tiada Menhir, lantai batu yang panas pun jadi
Atap yang panas juga bisa dijadikan alas jemuran
Hingga celana dalam
Dan arca megalitik pun tak luput...