Tuesday, January 22, 2013

Mencari Kerajinan Tangan Nias di Gunungsitoli

Jalan Sirao di Kota Gunungsitoli ini memang menjawab semua kebutuhan wisatawan. Bukan hanya restoran dan toko oleh-oleh saja, namun di jalan ini, ada toko souvenir khas Nias, tepatnya ada tiga buah. Produk yang dijual sih kurang lebih sama, yakni ukir-ukiran, topeng Nias, pakaian adat Nias (Nias tidak memiliki kain tenun), dan miniatur rumah adat. Karena Gunungsitoli, maka rumah adat yang dijual pun model Nias Utara. Selain produk tradisional, ada pula kerajinan tangan modern seperti aneka kerang-kerangan. Walaupun sejumlah produk seperti ukiran layak untuk kita jadikan buah tangan, namun sejumlah benda terlihat cukup "tua" dan nampaknya menegaskan bahwa mereka adalah benda keramat asli. Sejumlah benda ukiran yang berukuran besar dan berkayu hitam, terlihat berdebu dan bersarang laba-laba. Saya sich ngga tertarik dengan benda ukiran besar, karena terlepas dari kekeramatannya, mereka sukar untuk dibawa pulang. Beli yang kecil-kecil saja saya agak was-was, takut nggak boleh dibawa ketika diperiksa di Bandara nanti. Mana tahu, ternyata produk yang saya beli adalah produk bertuah asli. Hehehe. Kalau anda nggak yakin, lebih baik sih bertanya yach.
Soal harga, produk yang ditawarkan bervariasi. Ada yang cukup murah mulai dari belasan ribu, hingga yang ratusan ribu tupiah untuk yang besar dan proses pembuatannya yang rumit. Cobalah berkeliling diantara beberapa toko tersebut (oh yah, toko-toko ini juga menjual pop khas Nias jaman dahulu dalam bentuk kaset, lho). Salah satu toko tersebut ada yang bernama Elisabeth dan menjual pernak-pernik keperluan sekolah selain souvenir. Walaupun secara umum sama, namun ada sedikit perbedaan antara souvenir yang dijual dengan yang dipajang di Bawomataluo. Rumah adat Nias Utara dan Selatan saja sudah jelas berbeda. Buat yang mungkin sudah jauh-jauh ke Nias, jangan lupakan membeli produk ini dari pengrajin lokal. Lumayan, sambil mendapatkan kekayaan budaya khas Nias, kita juga membantu para pengrajin lokal, bukan?

Sunday, January 20, 2013

Enak Menyenangkan, Menyentuh Jiwa, dan Membuka Hati dengan Lempok Durian Nias

Sama selayaknya pergi ke daerah-daerah lainnya di Indonesia, saya selalu membeli sejumlah buah tangan sebagai tanda nyata bahwa saya cinta keluarga saya, cinta teman-teman saya dan tentunya, saya ingin agar mereka merasakan sedikit kenikmatan perjalanan yang saya lakukan, walaupun hanya berbentuk buah tangan. Ahahaha. Bokis dech. Nah, saya terus terang agak buta dengan Nias. Saya tahu bahwa Nias memiliki hasil kerajinan tangan yang unik, terutama ukiran kayunya. Namun, makanan apa sich yang khas dari Nias? Jawabannya nggak perlu dicari jauh-jauh, saya tinggal melongok ke seberang Restoran Bintang Terang dan disanalah jawabannya berada. Sebuah spanduk yang menutupi sebuah toko dengan tulisan yang cukup jelas bertuliskan “Lempok Durian” dan di bawahnya “Dodol Durian Nias”. Ohhh jadi ini toh oleh-oleh makanan khas Nias. Sementara itu, di bawah judul tersebut ada tagline “Enaknya menyehatkan, menyentuh jiwa, dan membuka hati”. Hihihihi... jadi makin penasaran sama rasa dodol ini. Lempok, atau yang biasa kita kenal sebagai dodol sebenarnya bukan merupakan makanan asing di Indonesia lho. Di Indonesia, negara iklim tropis dengan pengaruh Asia, durian sangat mudah didapatkan. Hampir semua pulau di Indonesia terutama Indonesia bagian barat memiliki durian khas masing-masing. Kalimantan dan Sumatera adalah pulau yang terkenal khas dalam memiliki cita rasa durian. Maka dari itu, nggak heran, hidangan lempok ataupun olahan durian sangat mudah ditemukan di berbagai tempat di Indonesia, sebut saja Pontianak, Medan, Lampung, hingga Bandung dan Makassar. Nah, ternyata, Nias juga memiliki salah satunya. Bentuknya kurang lebih mirip-mirip, sebentuk/sebongkah entah gulungan atau padatan berwarna coklat kehitaman. Harganya bervariasi, sesuai besaran ukurannya, biasanya mulai dari Rp 10.000 dari yang terkecil. Rasanya? Kalau suka durian sih dijamin suka, walau agak lebih manis dari durian. Namun, untuk yang nggak suka durian pun biasanya juga suka karena nggak terlalu mirip durian sich. Makan ini pun nggak bisa banyak-banyak karena kalau kebanyakan bisa membuat sensasi eneg dan panas dalam. Namanya juga durian beneran. Tertarik mencobanya? Pesen dech sama kawan kalian yang baru kembali dari Nias. Saya nggak menjual, hanya menceritakan kelezatan rasanya saja. Hehehe.

Saturday, January 19, 2013

Rekomendasi Makan Gunungsitoli : Rumah Makan Bintang Terang

Di siang hari yang panas dan terik itu, saya berjalan dengan lengkah gontai menuju salah satu rumah makan. Maklum, makanan yang terakhir saya makan hanyalah sebutir Lasi (Langsat-bahasa Nias-red) pemberian ibu di sebelah saya. Laper? Sudah pasti! Kebetulan banget, ketika melintasi Pasar Gunungsitoli, saya menemukan sebuah rumah makan di Jalan Sirao. Kebetulan sekali lagi, rumah makan ini adalah salah satu yang direkomendasikan oleh Lonely Planet! Yayyy!
Rumah makan ini memang secara gamblang memajang spanduk merek dan sejumlah foto makanan yang direkomendasikan. Namun, entah yach, saya mendapat kesan bahwa rumah makan ini baru saja buka. Belum ada pengunjung siang itu dan saya nampaknya adalah pengunjung pertama. Ruang makannya nampaknya menyatu dengan area tinggal mereka. Ada buaian bayi disana sambil dijaga oleh ibunya. Seorang nenek yang nampaknya memiliki rumah tersebut. Selain itu ayahnya juga disana dan seorang pelayan yang mendatangi saya dan bertanya mau menu apa. Televisi di sudut memutar siaran berita tentang Jakarta. Rumah makan ini memiliki banyak sekali menu. Dari sekian menu, sayangnya banyak juga yang nggak ada. Akhirnya, saya memutuskan untuk memesan cumi goreng tepung dengan minumannya, jus sirsak, kombinasi yang nampaknya nggak pas.
Iya, nggak salah Lonely Planet memasukkan rumah makan Chinese food ini dalam daftar rekomendasi. Enak! Setelah sekian lama makan makanan yang asing di mulut, akhirnya ada sesuatu yang berasa sangat rumah. Sambil makan sambil menitikkan air mata. Hahaha. Sayang, porsinya luar biasa banyak. Satu porsi cumi goreng tepung rasanya bisa dech dimakan 3-4 orang. Satu porsinya saja seharga Rp 45.000. Kalau untuk lain-lainnya sih harganya standard, ngga terlalu mahal. Saat membayar, sudah tampak jelas bahwa saya tidak terlihat seperi warga lokal. Sang nenek yang duduk di meja kasir bertanya dan saya memberikan penjelasan. Hehehe. Selalu, reaksi yang sama yang saya dapatkan, antara takjub, heran, atau mungkin malah aneh kali yah. Hehehe. Namun keluarga Cina ini bukanlah kali pertama saya melihat etnis ini di daratan Nias. Tampaknya, sejak jaman kolonialisme dulu, etnis Nias, Batak, Cina dan Minang telah lama berbaur dalam peri kehidupan masyarakat Nias, bark dari Gunungsitoli, hingga Teluk Dalam sekalipun, bahkan hingga kota-kota kecamatan yang jauh. Kalau mau makan di Gunungsitoli, yang enak, chinese food (makanan Nias agak sukar didapat soalnya), coba dech Restoran Bintang Terang yang saya rekomendasikan juga ini! Lokasi, Jalan Sirao No. 10, Kota Gunungsitoli.

Thursday, January 17, 2013

Selamat Datang (Kembali) Ke Gunungsitoli

Waktu yang saya miliki untuk melintasi Nias, tidaklah banyak. Pada malam hari nanti, saya sudah harus kembali menaiki kapal untuk kembali menuju Sibolga dan menyusuri kembali perjalanan balik menuju Kota Medan. Nah, maka dari itu, pada siang harinya, saya sudah sampai di Gunungsitoli, demi persiapan agar tidak repot pada malam harinya. Pelabuhan Gunungsitoli yang saya singgahi pada saat kedatangan di hari sebelumnya, bukanlah merupakan pusat kota. Teman-teman tidak akan bisa melihat wajah Nias yang sesungguhnya dari pelabuhan tersebut. Pusat kota Gunungsitoli sendiri sich, berada tidak jauh dari pelabuhan. Namun, kalau teman-teman langsung menaiki jalur lintas Gunungsitoli - Teluk Dalam, teman-teman akan melewatkan kotanya. Seperti apa sich wajah Gunungsitoli? Mari kita simak!
Gunungsitoli, walaupun namanya berbau-bau Batak, selayaknya Simanungkalit, Simarmata, Sitohang, atau Sipoholon dan Siborong-borong, namun mayoritas etnis yang mendiami kota ini adalah etnis Nias, yang secara kultur dan budaya, jauh dari Batak. Walaupun dalam mitologi Radja Batak disebutkan bahwa bangsa Nias memiliki hubungan darah bertalian sebagai anak dari Raja Asiasi, anak dari Raja Isombaon (atau dalam versi lain, keturunan Raja Jau, cucu dari Engbanua atau cicit dari Raja Miok Miok) namun secara kasat mata dan gamblang, Nias bukanlah Batak. Hal yang sangat nyata tersebut terlihat dari budaya, serta bahasa dan ciri fisik orangnya. Etnis lain yang mendukung peri kehidupan di Nias tentu saja adalah orang Batak, dengan sejumlah Puak-nya. Selain Batak, Gunungsitoli juga dihuni oleh sejumlah besar Etnis Minang, terutama dari wilayah Padang dan pesisir sebelah barat, serta Orang Jawa (umumnya Jawa Tengah) dan Orang Cina.
Gunungsitoli adalah kota terbesar di kepulauan Nias. Wajar, mengingat kota ini dari dahulu sudah didengung-dengungkan sebagai ibukota Nias kabupaten secara keseluruhan (dahulu hanya ada kabupaten Nias sebelum pemekaran). Walaupun Teluk Dalam adalah kota terbesar kedua di kepulauan Nias, namun ukuran Gunungsitoli tergolong cukup besar, jauh meninggalkan Teluk Dalam. Selain ukuran kota yang jauh lebih lebar dan penduduk yang jauh lebih banyak, gedung-gedung berukuran besar (walaupun belum betingkat tinggi) dan aneka ruko memenuhi wajah kota ini. Pasar Gunungsitoli pun berukuran besar dan lumayan lama untuk dijelajahi, karena merupakan pasar besar untuk wilayah Nias kepulauan. Aneka macam barang dagangan dijajakan oleh para pedagang, bahkan dari lintas pulau sekalipun. Pedagang Cina dan Minang banyak berjualan di tempat ini. Pakaian, aksesoris, hingga furnitur dan lain-lain bisa dengan mudah dicari disini. Apabila Teluk Dalam hanya memiliki sejumlah losmen, maka Gunungsitoli memiliki sejumlah bangunan yang sudah dikategorikan sebagai hotel. Hotel Gomo, misalnya, merupakan bangunan berlantai 3 yang sudah cukup berumur. Adapula hotel tepi pantai yang letaknya agak jauh di luar kota yakni Wisma Soliga dan Miga Beach Bungalow. Intinya, menjelajah kota ini dengan berjalan kaki selama sehari adalah nggak mungkin. Lebarnya itu lho.
Gunungsitoli juga merupakan kota yang komplit. Semua fasilitas dasar dan pendukung sudah tersedia di tempat ini. Terminal Bus khusus, tempat ibadah, rumah sakit, hingga hotel, pasar, toko souvenir, restoran, pelabuhan, bandara, pengadilan negeri dan museum ada di tempat ini. Sayangnya, agak berbeda dengan Nias Selatan, mencari rumah adat khas Nias Utara agak sukar disini. Rumah adat yang paling mudah didapatkan terletak di kompleks Museum Pusaka Nias dan di tepi Bandara Binaka. Beberapa gedung memang sich masih menggunakan arsitektur atap rumah adat Nias Utara sebagai ciri khasnya, namun mencari rumah adat yang masih digunakan sehari-hari dan berdiri dalam satu sistem desa agak sulit. Saya mencoba mencari beberapa nama desa di Nias Utara yang konon masih memiliki kompleks rumah adat yang masih ditinggali seperti Siwareo Siwahili (tempat ini sering salah dimaksud dengan suatu etnis yang tinggal di Afrika Selatan) yang konon dekat. Namun sejumlah jawaban yang saya terima dari becak motor membuat saya kecewa. Mereka mengatakan antara tidak tahu atau tempatnya jauh. Sayang sekali. Kalau saya masih punya ekstra waktu, pasti akan saya kejar desa ini. Apalagi di peta lokasinya hanya sekian kilometer saja, tidak ada bandingannya dibanding Gunungsitoli - Teluk Dalam. Namun, karena waktu pulang yang semakin mepet, dan saya masih belum menyambangi Museum Pusaka Nias, maka saya memilih untuk melewatkan desa. Toh, mencarinya pun masih membutuhkan waktu, bukan?
Secara umum, hampir tidak ada tempat yang dingin di Nias. Termasuk pula salah satunya adalah Gunungsitoli. Kondisi Gunungsitoli hampir sama seperti Teluk Dalam, hanya saja lebih lebar, lebih ramai dan lebih kosmopolit. Wilayah sekitar Gunungsitoli masih merupakan hutan belantara yang menutupi sebagian besar wajah Nias. Kelembapan yang sesuai, menjadikan lokasi ini sebagai tempat endemik penyakit Malaria yang ditularkan oleh Nyamuk Anopheles sp. Selalu berhati-hati, minum anti malaria dan gunakan autan selama berkeliling kota. Nggak butuh waktu lama untuk jatuh cinta dengan Nias. Demikian pula kota ini, nggak butuh waktu lama bagi saya untuk jatuh cinta dengan Kota Gunungsitoli. Taksi yang saya naiki tidak bisa mengantarkan saya sampai ke dekat museum. Walau demikian, saya diturunkan di dekat pasar. Pilihan seru, menurut saya, karena saya bisa melihat keriuhan aktifitas jual beli di pasar utama Gunungsitoli, sembari mencari rumah makan untuk mengisi perut. Maklum, sudah tengah hari dan saya lapar. Hehehehe.

Tuesday, January 08, 2013

Tidak Jadi Ke Sulawesi Tengah

Pada tanggal 12 Oktober 2012, Batavia Air mengadakan promo tiket semua rute hanya sebesar Rp 124.000 saja. Wow! Kesempatan ini nggak saya sia-siakan untuk melancong ke wilayah timur Indonesia dengan harga murah. Alhasil, dengan tanpa perjuangan saya membeli Jakarta - Palu, agak sedikit berjuang saya membeli Jakarta - Manado, dan akhirnya walaupun sudah di tangan karena keterlambatan sekian detik, saya harus melepas Jakarta - Sorong. Wah, sering-sering aja dech Batavia mengadakan promosi begini. Lumayan.
Eh, menjelang hari keberangkatan, pada tanggal 7 Januari 2013, saya dapat sebuah telepon di sore hari yang mengklaim bahwa mereka dari Batavia Air dan mengatakan bahwa Rute Jakarta - Palu dicancel. Saya yang terbengong-bengong tidak bisa berkata apa-apa namun segera membuka situs mereka. Betul, jadwal untuk rute tersebut sudah tidak bisa diketemukan dalam beberapa bulan ke depan. Sialnya, pegawai tersebut mengatakan rute tersebut efektif cancel per 7 Jan 2013 dan belum ada pemberitahuan lebih lanjut apakah akan dibuka kembali atau tidak. Tiket hanya bisa refund full tanpa ada opsi lainnya.
Dalam keterkejutan saya, selama penjelasan customer service tersebut, langsung saja saya memotng dan meracau, "Batavia Air mau bangkrut ya, Pak? HEH?! Batavia Air mau bangkrut yaaaa?!?!". Tentu, anda nggak perlu mempertanyakan seberapa marahnya saya saat itu. Jelas lah, dua hari menjelang, tentu saya sudah cukup mempersiapkan rute dan itinerary. Konsentrasi saya cukup banyak apalagi mengingat Sulawesi Tengah belum terlalu terpetakan dengan baik sebagai jalur wisata. Sang customer service pun hanya bisa mengatakan maaf sambil terus menjelaskan. Saya yang masih nggak terima melanjutkan, "Ini bukan kejadian pertama kalinya! dari kemaren sudah banyak kejadian dicancel begini!", dan kemudian saya mengulang lagi, "Batavia Air bener bener mau bangkrut ini!", sebuah klausa yang membuat teman-teman sekantor saya menengok ke arah saya. Saya melanjutkan racauan saya, "Saya masih ada penerbangan lainnya setelah ini, mau dicancelin juga?! HEHH?!?". Customer service yang malang tersebut pun hanya bisa menjelaskan bahwa ia belum memiliki informasi lebih lanjut soal ini. Percakapan ditutup dengan saya yang mendengus kesal dan si cs yang sudah nggak sabar untuk meletakkan gagang telepon namun tetap harus mempertahankan etika karena saya sebagai raja disini.
Orang-orang sih sebenernya nggak habis pikir. Sulawesi Tengah. Kenapa saya harus pergi ke Sulawesi Tengah? Saya ingin sekali ke Sulawesi Tengah lantaran ingin masuk ke Taman Nasional Lore Lindu, tempat batu batu megalitik purba terutama Palindo yang memiliki tinggi beberapa meter dan sampai sekarang masih misterius kenapa tersebar di dataran luas antara Tonusu dan Gimpu. Ini adalah tujuan utama saya, selain kota lain yang angker namun menarik bagi saya : Poso. Ya, Poso, Tentena dan Pendolo adalah tujuan utama kedua setelah berhasil menyelesaikan trek di Taman Nasional Lore Lindu. Lagi-lagi orang-orang nggak habis pikir, mengapa saya menggemari menuju lokasi konflik padahal bara tersebut belum benar-benar padam dan kejadian terakhir berupa bom di pasar justru baru terjadi beberapa minggu sebelumnya. Mengerikan ya? Saya sendiri membaca Tentena, adalah ibukota Pamona Utara, terletak hampir di tepi Danau Poso yang merupakan danau terluas ketiga di Indonesia, dengan pemandangan gereja di kaki bukit serta rumah-rumah berpagar kayu yang dicat putih. Cantik ya pastinya? Konflik di Poso adalah hal lain, yakni kita tetap harus hati-hati dan tidak membicarakan soal agama disana. Beberapa desa memang sebaiknya tidak dimasuki lantaran sejarah berdarah yang cukup mengerikan, seperti misalnya di Buyumboyo. Akan lebih bijak sebenarnya mengunjungi Poso, terutama wilayah Poso Pesisir yang belakangan, seperti Tamanjeka yang memakan korban dari pihak kepolisian.
Tempat menarik yang wajib kunjung adalah Tojo Una-Una yang terkenal dengan panorama bawah lautnya yang menawan, Luwuk, wilayah Sulawesi yang paling dekat dengan Maluku, Morowali dengan Taman Nasionalnya dan Burung Maleo, Donggala dan Tanjung Karang dengan keindahan pantainya, Parigi Moutong dimana di Desa Tinombo ada Tugu Khatulistiwa juga, jalur menuju Toli-Toli yang ekstrem, misterius sekaligus menantang, dan Buol, lokasi yang hangat akhir-akhir ini karena kasus suap dan kebun sawitnya. hehehehe. Sulawesi Tengah memang menantang dan menarik, nggak habis habis keinginan saya untuk bertandang ke dalamnya. Ditambah dengan jarangnya turis yang menghabiskan waktu disini, membuat Sulawesi Tengah menjadi semakin misterius sekaligus eksotis. Duh, saya sudah kebayang mengenakan celana pendek suku Kulawi, menari bersama suku Mori, memainkan musik bambu suku Kaili, dan menari Dero bersama suku Pamona. Gadis-gadis ber-rok tumpuk, lenyap sudah dari bayangan saya....hiks...
Ya, bagaimanapun, walaupun konsumen adalah raja, namun perusahaan tetaplah pemenangnya. mereka hanya menawarkan refund 100% tanpa ada harapan untuk pilihan lain seperti pindah jalur atau entah bagaimana caranya. Ya sudah, sayaq tidak marah lagi sekarang. Mungkin ini memang sudah jalanNya. Sama seperti Aceh, saya akan berhasil ke Sulawesi Tengah setelah gagal sebelumnya. Tahan dulu untuk Sulawesi Tengah yang eksotis.

Osa-Osa Yang Teronggok

Melintasi Teluk Dalam menuju Gunungsitoli, ada pemandangan yang membuat saya bertanya-tanya. Sejumlah Adu Zatua (Patung Leluhur Laki-Laki), Adu Niu (Patung Leluhur Perempuan), bahkan Osa-Osa (Bentuk hewan seperti Naga dengan ekor burung, menjulurkan lidah dan memiliki alat kelamin serta payudara yang menonjol) teronggok di halaman depan rumah, tampak terabaikan, dan terkadang digunakan sebagai jemuran pakaian atau menjemur biji-bijian hasil bumi. Memang sich, pada kasus Siwalawa atau Bawomataluo, sudah pemandangan umum bahwa batu-batu menhir tersebut dipergunakan sebagai jemuran. Namun, ternyata fenomena serupa terjadi pula di lintas kota, di tepi jalan raya. Satu rumah pun terkadang tidak hanya memiliki satu buah patung saja, namun beberapa. Lokasi kejadian ini banyak ditemukan di wilayah Lahusa, Nias Selatan, hingga Idanogawo di Nias Tengah.