Monday, March 25, 2013

Jailolo, Dekaplah Aku Dalam Pelukan Hangat Cintamu


Tulisan ini diikutkan dalam"Jailolo, I'm Coming!" Blog Contest yang diselenggarakan oleh 

Para penari muda dari Jailolo.
gambar diambil dari sini.
Whooaaaa!!! Mau donk ke Jailolo!

Nggak bisa disangkal lagi, Halmahera Barat memang penuh pesona dan daya tarik. Saya langsung membayangkan pohon kelapa, air sejernih kristal, ikan-ikan warna-warni berenang berkeliaran, serta penari adat dalam kostum unik sambil diiringi musik tradisional Halmahera. Widih! Siapa juga yang nggak mau ke Jailolo. Sayangnya, mimpi dari banyak petualang yang gemar beravontur ria di Indonesia mudah kandas karena persoalan klasik : uang. Maklum, biaya transportasi ke Jailolo nggak murah. Belum apa-apa sudah menipiskan dompet, istilahnya. Gimana para petualang ini nggak ciut nyalinya melihat prediksi anggaran?
Pencarian gambar "Jailolo" di laman pencari Google. Cantik dan penuh warna.
Alasan pertama bagi saya (dan bagi semua orang pastinya) sudah dipaparkan di atas. Jailolo pastinya menggiurkan! Siapa juga yang nggak mau ke Jailolo dengan sokongan dana? Lebih asyik lagi, coba ketik “Jailolo” di laman pencari Google dan perhatikan dech foto-foto yang tampil. Duh, siap-siap dech bawa celana pendek agak banyak biar bisa nyemplung ke laut yang jernih itu setiap saat. Nggak Cuma kekayaan alam laut yang indah untuk dijelajahi, Pulau Halmahera, tempat Jailolo berada adalah pulau bergunung api. Hampir setiap sudut pulau ini menyimpan pesona kecantikan alam, yang pastinya masih perawan. Belum lagi menyebut tarian Cakalele yang sudah termashyur sejak dahulu kala. Penasaran khan pastinya untuk menyaksikan tarian Cakalele sambil menikmati Popeda dengan kuah ikan kuning-nya yang tersohor? Belum lagi menyebut rempah-rempah yang kaya asal Jailolo, salah satunya cengkeh. Asyiknya, segudang aktifitas ini bisa disambangi dalam waktu singkat saat berlangsungnya Festival Teluk Jailolo 2013 yang bertujuan untuk memperkenalkan Jailolo ke dunia internasional lho. Kekayaan pesona alam dan budaya Jailolo akan memanjakan semua panca indera kita. Kayaknya saya nggak butuh alasan lebih banyak lagi, mengapa saya harus dan wajib untuk menyambangi Jailolo, terlebih di saat perhelatan akbar Festival Teluk Jailolo yang berlangsung pada 15-18 Mei 2013.
Perkenalan Jailolo pada Car Free Day Jakarta 3 Februari 2013
Sumber gambar diambil dari sini
Sayangnya, walaupun mungkin Cakalele, Popeda, atau Halmahera sudah cukup umum terdengar sebagai bentuk kebudayaan Halmahera Barat, namun nama Jailolo agak kurang terdengar gaungnya. Padahal, sejumlah pesohor, seperti Marischka Prudence dan Nadine Chandrawinata sudah pernah menginjakkan kaki dan menikmati Jailolo. Apa yang ditampilkan Pemda Halmahera Barat saat Car Free Day 3 Februari di Jakarta sebenarnya sangat baik. Disana, masyarakat umum Jakarta bisa mengenal Jailolo melalui tarian adat Cakalele dan Dana-dana. Mengajak partisipasi masyarakat yang menikmati Car Free Day untuk ikut bergoyang bersama sungguh merupakan cara yang sangat efektif untuk memperkenalkan Jailolo. Ada baiknya bentuk keramaian serupa juga dilakukan tidak terbatas di acara gedung saja, namun di pusat keramaian seperti taman, atau mungkin pasar. Tampilan penari adat yang unik bisa lho dengan mudahnya membuat orang yang melihat bertanya-tanya, “itu pakaian adat dari mana sich?”, atau “itu tarian dari daerah mana yach?”. Seperti paparan di awal, nggak mungkin untuk membawa seluruh elemen Jailolo ke kota-kota lain untuk diperkenalkan. Walau demikian, tentu bisa donk kalau membawa penari, makanan khas, hingga lagu daerah yang asyik. Sudah bukan rahasia lagi yach kalau lagu daerah Maluku itu biasanya riang dan semangat, Auliiiiieeeeee! Kalau perlu, pasangan muda Jailolo di perantauan yang ingin menikah wajib untuk melakukan pesta sesuai adat yang berlaku di Jailolo. Antusiasme masyarakat pasti terbangun dan dijamin, mereka pasti penasaran sama Jailolo!
Peta Lokasi Jailolo
sumber : wikimapia

Kalau foto ini nggak membuat anda jatuh cinta dengan Jailolo, saya nggak tahu apa lagi yang bisa membuat anda tertarik.
sumber gambar diambil dari sini.


Saturday, March 16, 2013

Sisi Lain : Menentukan Jenis Kelamin Adu Zatua dan Adu Niu

Patung leluhur Nias adalah patung dengan bentuk badan lurus, kotak, ataupun gilig hingga sangat realistis. Patung-patung ini dikenal dengan nama Adu Zatua. Namun, tahukah anda bahwa patung-patung ini memiliki jenis kelamin? Adu (Nias) dalam bahasa Indonesia artinya pahatan, sementara Zatua artinya leluhur. Secara harafiah, Adu Zatua memang berarti pahatan leluhur. Konon, Adu Zatua ini memang berisi dari roh leluhur yang telah meninggal. Penduduk Nias percaya, dengan menyembah leluhur dalam bentuk Adu Zatua, keselamatan hidup akan dijaga oleh mereka. Praktek ini terjadi ketika kepercayaan kuno sebelum kristen masuk ke Nias. Pada saat pendudukan Belanda, praktik ini disunat. Banyak Adu Zatua yang dihancurkan karena kepercayaan animisme yang dianut masyarakat setempat bertentangan dengan ajaran Kristen. Kini, setelah Kristen hampir mendominasi kepercayaan yang dianut oleh Ono Niha, Adu Zatua tetap ada namun maknanya murni semata hanya untuk pariwisata saja.
Adu Zatua memiliki pose khas berupa kedua tangan terkatup di depan dada atau sambil memegang sesuatu yang umumnya pinang. Posisi kaki mereka pun khas, yakni dengan lutut setengah tertekuk. Walau demikian, bentuk Adu Zatua kini bervariasi dan tidak dengan gaya yang monoton saja. Terkadang, ada yang tanpa lengan, dengan kedua tangan terbuka lebar, atau bahkan ada yang sedang memegang senjata. Adu Zatua adalah patung leluhur yang merepresentasikan laki-laki. Sementara itu, Adu Niu adalah patung leluhur yang digunakan untuk merepresentasikan perempuan. Nah, bagaimana cara membedakan jenis kelamin kedua patung leluhur ini?
Perlu diingat, Adu Zatua yang merepresentasikan laki-laki biasanya memiliki anting sebelah yang berukuran besar. Anting ini tidak ditemukan pada daun telinga satunya lagi. Buah dada Adu Zatua, walaupun ada tapi berukuran kecil, hanya sebatas bulatan saja. Pada Adu Zatua, biasanya ada hiasan berupa gelang lengan. Sementara itu, aksesori seperti kumis atau jenggot umum ditemukan di tubuh Adu Zatua. Penggambaran alat kelamin laki-laki pada Adu Zatua pun terkadang sangat realistis. Adu Zatua diukir/dipahat dengan bentuk alat kelamin laki-laki yang sedang mengarah ke atas. Sementara pada Adu Niu, kedua belah daun telinganya umumnya dihiasi oleh anting. Buah dada Adu Niu pun dibentuk lebih besar dan bergelayut jika dibandingkan dengan Adu Zatua. Ekspresi muka baik pada Adu Zatua maupun Adu Niu, walaupun bukan patokan utama, namun bisa dijadikan penentu apakah patung leluhur ini berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Nah, melihat gambar-gambar yang ada di sekujur post, apakah anda bisa menentukan, yang mana Adu Zatua dan yang mana Adu Niu?

Tuesday, March 05, 2013

Sisi Lain : Dilarang Memotret Di Dalam Museum Pusaka Nias



Salah satu larangan yang menurut saya kurang masuk akal adalah larangan memotret benda-benda koleksi di dalam Museum Pusaka Nias. Ada beberapa skenario yang saya pikirkan ketika larangan ini diberitahu kepada saya. Larangan berlaku kepada semua jenis kamera lho, bukan cuma kamera DSLR saja. Saya nggak ngerti dech kalau misalnya ada yang iseng iseng berfoto pakai kamera handphone. Jadilah, selama berkeliling, bertanya dan dijelaskan, saya nggak boleh memotret benda koleksi sama sekali. Sayang banget. Setidaknya, beberapa penjelasan akan larangan tersebut hadir di benak saya seperti ini :
Skenario pertama, benda koleksi adalah koleksi yang teramat berharga. Penggunaan flash bisa merusak benda-benda koleksi tersebut (catatan, benda-benda yang dipamerkan sebagian besar terbuat dari kayu atau batu. Beberapa benda bahkan ada pula yang dipajang di bagian depan museum yang bisa dipotret. Perhiasan hanya sedikit dan tidak banyak). Nah, khan bisa yach kalau berfoto tanpa menggunakan flash? Jadi alasan ini dianulir oleh saya sendiri. Skenario kedua, agar foto benda koleksi tidak tersebar keluar secara sembarangan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti apa sich hal-hal yang tidak diinginkan? Mungkin saja seperti dipergunakan dalam keperluan yang tidak semestinya dan tanpa ijin, atau dibuat replikanya berdasarkan foto yang dijepret tersebut. Bisa jadi, foto-foto tersebut dikomersilkan tanpa ijin untuk keperluan brosur, artikel atau publikasi semacamnya. Bisa jadi pula, benda koleksi direplika dan dijual secara gelap ke penjuru dunia, atau dibuat tiruan palsunya. Entah yach, menurut saya alasan ini adalah alasan yang paling masuk akal dan bisa diyakini kebenarannya. Eits, masih ada alasan lain lho.  
Skenario ketiga, mungkin skenario yang paling nggak masuk akal namun logis juga dari segi supranatural. Hehehehe. Saya berpikir bahwa benda-benda ini adalah benda keramat yang sudah ada semenjak lama sehingga "bertuah". Sebagian bear dari benda yang dipajang memang memiliki makna filosofis tertentu dan digunakan dalam kegiatan upacara. Bukan nggak mungkin benda-benda tersebut "berisi" sehingga sukar atau tidak bisa difoto. Hiyyyyy. Memang, terkadang beberapa kali dalam hidup saya, saya menemukan sejumlah tempat yang memiliki larangan untuk berfoto. Misalnya saja di ruang pamer emas dan perhiasan Museum Nasional di Merdeka Barat, Jakarta dan Museum Sampoerna di Surabaya (khusus yang ini, kamera biasa dibebaskan, namun pemilik kamera DSLR diharuskan mengisi formulir pernyataan bahwa hasil jepretannya tidak akan dipublikasikan dan hanya akan menjadi koleksi pribadi semata). Apapun alasannya, saya rasa Museum Pusaka Nias memiliki alasan yang tepat mengenai mengapa menetapkan alasan tersebut. Jadi, yach saya ikuti saja walaupun ada rasa sesal karena jauh-jauh ke Nias tidak bisa memotret isi museum. Isi museum tersebut hanya terpatri, yang saya tidak tahu lama atau tidak, dalam pikiran saya.