Thursday, May 30, 2013

Sisi Lain : Klasik, Soal Bahan Bakar di Pandan dan Sibolga

Masalah klasik yang masih meliputi kota-kota di luar Jawa pada umumnya, termasuk di dalamnya Kota Pandan adalah soal bahan bakar. Kendaraan yang saya tumpangi menjadi saksi sulitnya mencari bahan bakar di dalam wilayah pantai barat Sumatera ini. Mungkin, kendaraan saya itu berasal dari Medan dan ia tidak mengisi bahasa bakar di Tarutung. Ketika akan berbalik menuju Tarutung, saat bahan bakarnya sudah sekarat, ia tidak bisa mengambil resiko dengan melintasi 66 KM plus 1200 kelokan dalam kondisi menanjak menembus hutan di wilayah Sitahuis dan Adian Koting tanpa adanya stasiun pengisian bahan bakar sama sekali. Sebelum memasuki wilayah hutan di Bukit Barisan yang memisahkan Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, kendaraan saya berputar-putar mencari bahan bakar di Kota Pandan hingga ke sejumlah SPBU. Nihil. Semua SPBU menunjukkan ketiadaan bahan bakar. Antrian kendaraan sudah terlihat berbaris mengantri dalam kondisi mesin mati. Mungkin juga, mereka sudah mengantri beberapa hari lamanya. Konon sich, bahan bakar akan dicurahkan pada hari itu. Namun, sang supir juga tidak bisa mengambil resiko untuk menunggu bahan bakar dicurahkan lantaran harus mengejar waktu menuju Medan. Sebagai informasi, Sibolga - Medan dapat ditempuh dalam 12 jam perjalanan. Wow. Apabila terlambat berangkat dari Sibolga, bisa dipastikan akan sangat terlambat pula untuk tiba di Medan.
Frustasi dalam mencari bahan bakar, akhirnya sang supir nekad membeli bahan bakar eceran di tepi jalan dengan harga lebih mahal tentunya guna menyambung nyawa lebih panjang bagi mobilnya. Kondisi kendaraan pun sudah sedikit kritis karena kendaraan harus berputar-putar di dalam Kota Pandan demi mencari sesuap bahan bakar. Saya sich, anggap ini sebagai jalan-jalan gratis di Kota Pandan. Hehehe. Walaupun ada resiko bahwa saya tidak akan bisa mencapai Pematang Siantar pada malam ini, namun, saya mencoba untuk mengambil positifnya saja.
Mobil pun diarahkan menuju pusat Kota Sibolga sambil sang supir mencari-cari SPBU mana yang kira-kira tersisa bahan bakarnya. Sungguh, mengendarai kendaraan dan bermanuver saja sudah cukup berat, supir di luar Jawa harus dihadapkan pada kondisi minim bahan bakar. Sebagai informasi, kejadian ini bukanlah kejadian yang pertama. Beruntungnya kita yang tinggal di kota-kota besar di Jawa dimana bahan bakar menjadi prioritas. Kota-kota di Kalimantan yang terkena kaya dengan sumber bahan tambang minyak bumi pun harus menerima ironi berupa sulitnya mendapatkan bahan bakar. Ironi ini diperparah lagi dengan pemadaman bergilir yang kerap diderita masyarakat sana walaupun daerah tersebut adalah lumbung batu bara. Ironi.
Untungnya, kekhawatiran tersebut menjadi menguap lantaran sang supir baru menerima sebuah telepon yang mengatakan bahwa truk tangki bahan bakar sudah tiba di pusat Kota Sibolga. Berita ini segera menaikkan semangat sang supir. Ia pun segera memacu kendaraannya ke pusat Kota Sibolga yang sudah dapat diprediksi, menjadi macet karena banyak kendaraan juga berebutan mengisi bahan bakar kendaraan mereka masing-masing. Jalanan Sibolga yang sempit dan tidak lebar tersebut menjadi macet karena antrean kendaraan. Hmm.... isu klasik yang tak pernah selesai untuk dibenahi.
Kalau dilihat dari kacamata positif, untungnya pengisian bahan bakarnya selesai juga akhirnya. Kendaraan segera dipacu menuju ke utara, bersiap menembus hutan Bukit Barisan yang rapat memisahkan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.

Tuesday, May 28, 2013

Selamat Datang di Kota Pandan!


Posisi kedua kota ini berhimpitan, namun nampaknya nggak banyak orang tahu bahwa Ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di Kota Pandan. Kota Sibolga sendiri sudah menjadi kota dengan status mandirinya. Walau demikian, pamor Sibolga sebagai pusat Tapanuli Tengah nampaknya belum pudar hingga saat ini. Jalan lintas Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah saja akan bermuara di Sibolga dahulu, baru memecah ke Pandan yang terletak lebih ke selatan. Informasi Kota Pandan pun tidak banyak yang bisa didapat dari belantara internet. Informasi Kota Sibolga jauh lebih banyak dan lebih mudah untuk didapatkan.
Secara umum, bentang kedua kota ini terbilang hampir serupa. Tidak banyak perbedaan kecuali gapura yang menyatakan bahwa anda sudah masuk Sibolga atau sudah berada di Pandan. Karena telah lebih lama berkembang, Bagian tengah Sibolga cukup ramai, jalanannya terkadang pun sedikit macet dengan sejumlah gedung-gedung low-rise di kanan dan kirinya. Sejumlah bus dalam kota pun memenuhi sudut kota ini, sesuatu yang tidak bisa dilihat di Pandan. Maklum sich sebenarnya, Pandan awalnya merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah. Pemindahan ibukota Tapanuli Tengah dari Sibolga ke Pandan baru dilakukan pada tahun 1998, yakni 15 tahun yang lampau. Percepatan pertumbuhan Pandan pun belum sesignifikan Sibolga karena pelabuhan penyebrangan Sumatera Utara ke Nias masih terletak di Sibolga. Hal yang signifikan berada di Pandan hanyalah kantor-kantor pemerintahan Tapanuli Tengah saja. Sarana lain yang mendukung pariwisata, seperti rumah makan  dan hotel, tidak mudah untuk ditemukan di Pandan. Terminal besar lokasi Sampri Tapanuli beroperasi pun berada di Sibolga, bukan di Pandan. Nampaknya Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah harus banyak bekerja keras untuk membuat Kota Pandan ramai dengan sejumlah terobosan. Hehehe.

Thursday, May 23, 2013

Geliat Pagi Sibolga

KMP Tanjung Burang merapat di Pelabuhan Sibolga
Perlahan namun pasti dan diimbangi saya yang sudah nggak bisa tidur, KMP Tanjung Burang yang berangkat semalam pukul 9 dari Gunungsitoli akhirnya hampir tiba di Pelabuhan Sibolga. Waktu kurang lebih sudah menunjukkan pukul 4 pagi, jendela jauh di ujung sana dan saya malas bergerak lantaran masih mengantuk. Hehehe. Namun, sebagian besar penumpang telah tampak tersadar dari tidurnya. Sebagian besar malah tampak terduduk dan terjaga sambil mengobrol dengan sesama penumpang lainnya. Mereka nampaknya tahu bahwa kapal telah hampir tiba di Sibolga namun belum cukup dekat sehinggs mereka tidak sibuk mengepak barang bawaannya. Saya sendiri masih malas-malasan. Melihat handphone saya, saya masih merasa ada sekitar dua jam lagi untuk tiba di Sibolga. Saya mau menikmati istirahat ini lebih lama, apalagi waktu datang posisi saya nggak enak. Sekarang, saya menikmati sofa ini lebih leluasa untuk diri saya sendiri, kenapa nggak dipuas-puasin? Hehehe.
Kesibukan pagi saat KMP Tanjung Burang merapat
Menjelang pagi, ketika kapal mulai melambat dan langit mulai berpendar kebiruan di balik bukit-bukit hijau yang melatari Sibolga, barulah tampak Kota Sibolga dari dekat. Sejumlah warga telah bersiap-siap menunggu di tepi dek pelabuhan untuk menyambut kami, baik dari penjemput ataupun mereka yang mencari peluang usaha dari merapatnya kapal ini. Pak Lömbu sedianya akan menjemput saya pagi ini guna mengantarkan saya ke travel yang akan berangkat menuju Medan. Saya sich nggak terlalu memperhatikan saat kapal merapat dan orang-orang mulai bergegas untuk keluar dari kapal, hingga saya sudah di atas motor milik Pak Lömbu dan keluar dari pelabuhan dan tiba di warung nasi Padang yang sama dengan keberangkatan. Hmm...disinilah nampaknya markas Pak Lömbu berada. Oh ya, warung tersebut nampak baru buka, cukup rajin dibanding sejumlah toko dan warung lain yang belum buka sepagi itu. Saya dipersilahkan mandi untuk mengembalikan kesegaran sebelum menempuh perjalanan panjang yang akan saya lalui hari ini. Ah, mandi, memang sesuatu yang amat saya butuhkan!
Pintu keluar Pelabuhan Sibolga
Seusai mandi di warung tersebut (terima kasih kepada Warung Sarinah Travel yang tekah berkenan menyediakan kamar mandi buat saya walaupun kondisinya 'rata rata' namun cukup untuk melakukan hajat saya di pagi tsb) saya mencoba untuk menikmati makan pagi sambil menunggu kendaraan yang akan membawa saya kembali ke Siantar. Saya sudah pernah cerita khan kalau saya dikira seorang misionaris? hahaha. Barang bawaan lain yang ramai tampak di antara barang-barang yang beredar adalah antena televisi, baik tipe PF maupun piringan. Sambil menunggu kendaraan yang akan membawa saya, saya duduk di tepi warung sambil melihat kehidupan yang baru mulai bergerak pagi itu. Sibolga, selayaknya kota pelabuhan, cukup kosmopolit dengan berbagai etnis yang hidup di dalamnya. Walaupun menjadi kota otonom setelah lepas dari Ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah yang bercirikan Batak, namun Sibolga sejatinya lebih bercita rasa Melayu Pesisir. Aneka macam etnis seperti Nias, Batak Toba, Mandailing, Minang, Cina, hingga Jawa berseliweran di sepanjang jalan. Beberapa wajah tersebut saya tampilkan dalam postingan ini, dengan ekspresi yang sedikit mengantuk. Hehehe.
Sang suami masih mengantuk
Bapak pembawa becak motor ini menengok tepat ke arah frame
Pagi-pagi sudah banyak becak motor
Bapak dengan ekspresi penuh arti
Gadis muda ini masih mengantuk...
Berminat belajar seni budaya Sibolga?

Friday, May 10, 2013

Sisi Lain : Berkenalan Dengan Tumeri Melalui Manggis



Kalau mengetik kata “Tumeri” di laman pencari Google, pastinya yang muncul adalah kunyit. Ya, Google menganggap kita telah melakukan kesalahan ketik “Turmeric” (kunyit dalam bahasa Inggris) sehingga, alih-alih Tumeri, hasil yang muncul adalah yang berkaitan dengan kunyit, mulai dari deskripsi kunyit, manfaat kunyit, hingga cara memasak dengan menggunakan kunyit. Hehehe. Sayangnya lagi, Tumeri juga agak sepi pemberitaan. Satu-satunya kata yang diasosiasikan dengan Tumeri hanyalah rumah adat Nias.
Tumeri adalah sebuah desa yang terletak di Nias bagian utara, konon terkenal dengan rumah adatnya yang masih terawat baik. Sayangnya, kunjungan turis nampaknya jarang menyentuh Nias bagian ini, namanya saja jarang disebut! Nah, perkenalan saya dengan desa ini justru ketika saya sedang masuk ke dalam KMP Tanjung Burang. Ketika sedang menunggu kapal berangkat, seperti umumnya, banyak sekali penjaja makanan yang hilir mudik menawarkan barang dagangannya kepada para penumpang. Barang dagangannya pun bervariasi, mulai dari roti, biskuit, air minum, hingga makanan jadi siap makan dan aneka buah-buahan. Setelah menolak beberapa penjaja, karena saya tidak berencana untuk makan dan hanya ingin tidur sepanjang malam, akhirnya muncul seorang ibu yang menawarkan salaknya kepada saya. Saya sich sebenarnya nggak terlalu berniat membeli barang di atas kapal. Dalam mindset saya, harganya pasti sudah dikerek tinggi dan nggak rasional. Namun, Ibu yang tampaknya keletihan tersebut duduk di samping saya. Ia kemudian menawarkan manggis dagangannya kepada saya. Dalam keranjang yang dibawanya, Nampak pula buah rambutan selain manggis. Ibu tersebut memohon agar saya membeli manggisnya sambil setengah mengiba. Pertama sich saya menolak. Namun, ibu itu memohon dan memohon untuk membeli barang dagangannya. Ya sudahlah yah, iseng-iseng makan manggis sambil menikmati perjalanan, hitung-hitung membantu ibu juga. Kemudian saya bertanya, “berapa harga manggis tersebut?”. Ibu tersebut menjawab “Dua ribu saja”. “Oh”, pikir saya, “dua ribu sebuah”. Lanjut ibu tersebut, “dua ribu enam” yang membuat mata saya hampir copot. “Ha? Dua ribu dapat enam bu?”, kata saya melalui mata saya. Ibu tersebut pun mengangguk-angguk. “Mau berapa pak? Dihabiskan saja yach”, sambil riang memasuk-masukkan manggis ke dalam plastik. Nah, giliran saya yang panik. “Eh, bu, jangan banyak-banyak, sedikit saja, saya coba dulu manis atau nggak. Enam saja dulu deh yah”. Seperti biasa, tawar menawar pun terjadi agar saya membeli lebih banyak, namun saya telah memutuskan bahwa saya cukup membeli 6 buah saja. Nggak kurang akal, Ibu itu menawarkan saya rambutan sebagai tambahan. Hehehe. Kegigihan Ibu itu patut diacungi jempol. Setelah transaksi selesai, dan rupiah berpindah ibu itu pun berlalu dan menawarkan dagangannya kepada calon pembeli lain. Oh ya, saya sempat bertanya, dari manakah manggis ini berasal karena sepanjang perjalanan Gunungsitoli – Teluk Dalam, rasanya sich saya nggak melihat ada kebun manggis atau penjual buah ini. Saya hanya melihat Lasi atau Langsat yang ramai dijajakan. Ibu itu menjawab dengan singkat “dari Tumeri”. Hoo…saya baru tahu ternyata ada sentra penghasil manggis di Nias. Itulah kisah pendek perkenalan saya dengan wilayah Tumeri.
Dalam menunggu, akhirnya saya memutuskan untuk memakan manggis tersebut. Saya pikir, “daripada dibawa-bawa repot, dan takut busuk karena kelupaan dimakan, mending saya makan sekarang”. Nah, mulailah saya memakan manggis yang tampaknya biasa dan kecil tersebut dan kemudian mata saya hampir copot untuk kedua kalinya! Manggis yang kecil ini luar biasa manis! Enak dan sangat segar buahnya. Dengan antusias, akhirnya saya pelan-pelan menghabiskan manggis tersebut. Eh, ketika tinggal tersisa dua buah, saya memandang berkeliling dan mencari ibu tersebut dengan maksud membeli beberapa (puluh) buah lagi untuk bekal perjalanan. Sayangnya, ibu tersebut sudah nggak ada dan penjaja yang lain tidak membawa manggis. Saya harap-harap cemas agar ibu tersebut atau siapapun dech melewati saya lagi dan menawarkan manggisnya. Sayangnya, harapan tersebut tidak menjadi nyata, bahkan hingga seluruh pedagang dan pengantar dipanggil untuk turun lantaran kapal akan segera berangkat. Ya, itulah perkenalan singkat saya dengan Manggis Tumeri yang luar biasa manis dan luar biasa murah. Saya jadi berpikir, apakah manggis ini ditanam dengan liar, ataukah memang ibu tersebut punya berton-ton manggis sehingga harganya bisa semurah itu? Langsung ide-ide mencuat di kepala saya untuk berbisnis manggis. Hahaha.

Wednesday, May 08, 2013

Rasa KMP Barau (Gunungsitoli - Sibolga)



Sarana penyebrangan laut pastinya menjadi sarana vital yang amat dibutuhkan oleh penduduk Nias dan penduduk sekitarnya. Setiap hari, jumlah komuter yang menuju Nias atau bertolak dari Nias cukup banyak dan tidak terhitung. Mereka yang kerap menggunakan jasa penyebrangan laut ini kebanyakan adalah orang-orang “bisnis”, yang mempunyai urusan di Nias atau luar Nias seperti berdagang, sales, hingga urusan jasa yang menyerempet urusan pelabuhan seperti penjualan (dan percaloan) tiket. Nggak lupa juga orang-orang yang bergantung pada sektor pelabuhan dalam skala kecil seperti pedagang kue, buah, makanan siap jadi, bekal, mainan, hingga becak motor dan ojek serta angkutan kota. Wah, ternyata banyak sekali yach komponen yang bergantung pada keberadaan pelabuhan di Nias. Kondisi ini ditambah dengan Nias sebagai wilayah kepulauan yang dikelilingi Samudera Hindia. Arus suplai barang dan jasa dari luar maupun dalam akan sangat bergantung pada pelabuhan. Apabila karena suatu hal pelabuhan harus ditutup, maka Nias bisa dikatakan hampir terisolasi karena opsi lainnya hanya jalur udara yang pastinya lebih mahal dan daya angkutnya terbatas.
Untungnya, kapal yang melayani rute Nias keluar maupun ke dalam cukup banyak, walaupun jadwal dan ketersediaannya bervariasi, namun ada sejumlah kapal-kapal lain di luar KMP Barau dan Belanak yang melayani kepulauan ini. Nggak hanya kapal malam saja, kapal cepat pun tersedia di rute ini yang membuat Sibolga-Nias bisa ditempuh hanya dalam waktu sekian jam saja. Hanya saja, memang di luar kedua kapal reguler tersebut, kapal-kapal lain nggak memiliki jadwal reguler, atau bahkan beberapa diantaranya sedang docking atau yang lebih parah sudah tidak beroperasi lagi. Sarana yang paling bisa diandalkan memang hanya kapal reguler yang beroperasi setiap harinya dengan pengecualian hari minggu. Tetap konsultasikan rencana perjalanan anda dengan tour dan travel setempat agar itinerary anda nggak berantakan jadinya.
Selayaknya kapal-kapal lain yang beroperasi di seluruh wilayah Indonesia pada umumnya, KMP barau sebenarnya bisa dikatakan cukup nyaman. Untuk kelas ekonomi, hanya ada kursi-kursi plastik yang ditata untuk memenuhi area dek belakang. Apabila malam menjelang, lantai dek akan berubah menjadi lautan manusia yang tertidur pulas. Kondisi ini sedikit lebih manusiawi di kelas bisnis karena kursi yang dimilikinya adalah sofa. Apabila kapal kosong, satu orang penumpang bisa mendapatkan satu sofa utuh untuk dirinya sendiri. Namun apabila kapal penuh, bukan nggak mungkin anda harus tidur menekuk atau bernasib sama seperti di kelas ekonomi : tidur di lantai dek. Toilet menjadi persoalan lain yang harus dihadapi oleh penumpang kapal ini. Saya nggak melihat kondisi toilet di kelas ekonomi, namun toilet di kelas bisnis, walaupun sebenarnya nggak terlalu kotor, namun agak sedikit berbau pesing. Ukuran toilet yang kecil dan kapal yang bergoyang-goyang selama perjalanan dijamin akan membuat anda kesulitan untuk menunaikan hajat di dalamnya. Apabila anda berpikir untuk mandi sebelum menempuh perjalanan panjang melintasi laut, lupakanlah. Kondisinya tidak senyaman itu hingga anda bisa memutuskan untuk mandi. Apabila kapal berguncang terlalu keras, sebaiknya anda nggak mencoba untuk ke kamar kecil sama sekali. Efeknya bisa mengerikan! Hehehe. Saya sendiri lebih memilih untuk melap tubuh saya dengan tisu basah saja dan berkumur dengan mouthwash. Menggosok gigi nampaknya bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Kelas ekonomi sendiri berpendingin udara dan memiliki televisi yang sayangnya berukuran kecil dan hanya bisa dilihat oleh penumpang yang duduk di bagian depan saja. Kalau memang berniat menonton televisi, sebaiknya pilih tempat duduk di bagian depan (oh ya, tiket yang ada beli memiliki nomor kursi lho). Secara umum, kapal ini lumayan baik dan layak dikategorikan sebagai hotel bergerak. Saya tidur dengan nyenyak sepanjang malam di atas Samudera Hindia yang konon katanya berombak dashyat (mungkin juga saat itu bukan musim angin barat kali yah…). Saya terbangun pada esok harinya tepat saat kapal hampir merapat ke Sibolga. Buat saya, kapal malam seperti ini sangat sangat membantu para petualang yang ingin berhemat dalam urusan transport dan tidak membuang waktu perjalanan pada siang harinya. Masalahnya mungkin cuma urusan kamar mandi saja. Kalau anda benar-benar nggak tahan, usahakan mandi sebelum naik kapal atau mandi setelah merapat di Sibolga.

Thursday, May 02, 2013

Berburu Tiket Untuk Pulang Ke Sibolga


Pak Daniel Lömbu ternyata tidak dapat membeli tiket dari sisi Sibolga! Anda harus catat itu baik-baik! Kalau ingin kembali dari Gunungsitoli menuju Sibolga, ternyata tiket tidak dapat dipesan melalui Sibolga! Pak Lömbu memberikan saya sebuah nomor yang konon bisa saya hubungi untuk memastikan keberadaan tiket. Saya mencoba menghubungi nomor tersebuit namun sayang saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan, telepon tersebut tidak diangkat sama sekali. Ketika saya konfirmasikan balik kepada Pak Lömbu, dia hanya bisa berkata, “Kalau begitu belinya di pelabuhan ya pak. Jangan terlambat nanti kehabisan”. Wah, terima kasih sekali ya Pak sudah membuat saya tenang. Hmmm.
Untungnya, saya sudah menyelesaikan kunjungan saya di Museum Pusaka Nias pada sore itu dan tiba di pelabuhan pada saat senja. Ternyata, memang loket penjual tiket jumlahnya banyak dan tersebar di sepanjang jalan menuju pelabuhan. Loket-loket yang tadi saya kira kosong dan tak terurus lantaran tidak diisi orang pada saat pagi hari, ternyata ramai dikerumuni massa yang ingin membeli tiket. Koq begini sich, pikir saya? Dari kerumunan tersebut, tentu saja saya bukan satu-satunya yang ingin membeli tiket dan yang lainnya hanya meminta tanda tangan. Helloooo. Konser musik kali yaaaa. Semua orang tersebut menunggu tiket yang sedianya akan diberikan kepada mereka. Semuanya berjuang untuk mendapatkan tiket KMP Barau yang akan berangkat ke Sibolga pada malam itu. Bedanya? Nampaknya hanya di ukuran kelas.
Seorang pria yang saya yakin tidak berdarah Nias menanyakan apa keperluan saya. Saya menjawab bahwa saya membutuhkan tiket untuk ke Sibolga. Dengan segera, ia menjawab “tiket sudah habis” yang tentu saja membuat saya lemas di dengkul. Ck, masak bermalam satu hari lagi di Nias? Gagal total donk kunjungan saya ke Pematang Siantar dan Simalungun? Saya duduk dengan segera di dalam warung masakan Padang yang berada di bagian dalam loket tiket tersebut sambil memikirkan langkah selanjutnya. Saya mulai memikirkan alternatif loket lain yang sekiranya menjual tiket. Kenekatan saya ingin pulang menjadikan saya bertanya, “tiketnya di sana masih ada kali?” kepada pemuda tadi. Pemuda tadi melihat saya dan berkata, “tiketnya ada tapi kelas bisnis, mau?”. “Berapa harganya?”, sambar saya sebelum ia menjelaskan lebih jauh. “Rp 120.000”, katanya segera. “Saya mau satu”, kata saya seraya bernafas lega di dalam hati. Malam ini saya akan tidur di hotel bergerak di atas lautan yang bernama KMP Barau!
Sayangnya, leganya saya tidak berlangsung lama. Pria tersebut pergi yang saya kira ingin mengambilkan tiket untuk saya. Perginya pria tersebut cukup lama dan satu persatu calon penumpang yang berkerumun di loket penjualan tiket pun memudar dan menghilang sama sekali. Jadi, saya gimana? Saya nggak mau banget menunggu dalam ketidakpastian seperti ini. Kalau memang nggak pasti dan nggak dapat tiket, saya mau mengusahakan sebelum malam menjelang pastinya. Sayangnya, hujan yang memang mudah sekali turun di Nias secara tiba-tiba membuat saya nggak bisa berbuat banyak. Saya terpaksa harus menunggu hujan reda. Nggak enak dengan pemilik warung Padang yang saya tumpangi untuk berteduh, akhirnya saya memesan makanan sambil menunggu kepastian tiket dan menunggu hujan reda. Menu makanan di Nias, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya tidak ada yang sangat autentik Nias. Kebanyakan makanan di Nias didominasi oleh produk luar seperti Padang, Batak, Jawa, maupun Chinese. Harganya, serupa tapi tak sama, untuk nasi (sepuasnya), sepotong perkedel, dan sebuah paha ayam dengan kuah saya harus membayar sebesar Rp 17.000. Untung saja, aqua botol 600ml yang dijualnya murah seharga Rp 3.000 saja.
Ketika makanan dan hujan saya selesai, waktu telah berubah dari senja menjadi malam. Langit di luar mulai berwarna ungu gelap yang menandakan malam segera turun. Dalam beberapa jam, kapal akan segera berangkat. Bagaimanakah nasib saya? Di tengah ketar-ketir tersebut pria tadi datang kembali dan menyerahkan tiket kepada saya. Mungkin memang begitu barangkali ya gaya membeli tiket di pelabuhan? Saya sich lebih suka segala sesuatunya rapih dan terjadwal. Saya sich bukan seorang perfeksionis, namun apabila memungkinkan, membeli tiket satu atap di lokasi yang ditunjuk akan jauh lebih menyenangkan dibanding harus membeli di loket-loket yang disebar sepanjang jalan. Rasanya seperti sesuatu yang tidak pasti! Oh ya, harga tiket VIP Rp 100.000 sudah termasuk pajak. Bagaimana dengan Rp 20.000-nya? Yah, wajar lah mengingat orang tersebut pastinya mengambil untung dari praktek percaloan tiket ini. Tiket yang anda beli ini belum termasuk tiket masuk pelabuhan seharga Rp 2.000 lho. Sebaiknya anda mempersiapkannya di saku agar mudah diraih. Kenapa saya memilih VIP? Rasanya kalau anda baca postingan saya sebelumnya, alasannya jelas bahwa tiket VIP memungkinkan saya untuk bisa tidur dengan posisi benar di atas kapal. Perjalanan 8-9 jam pun tidak terlalu terasa di atas KMP Barau yang sofanya lumayan, walaupun bukan kasur asli. Nah, dimanakah saya harus menunggu hingga beberapa jam ke depan? Untungnya ada warung masakan Padang yang lumayan nyaman dan memutar film-film Indonesia jaman dahulu kala untuk dijadikan lokasi menunggu. Sambil menunggu pukul 9 malam, saya memutuskan untuk berada di warung tersebut saja. Saya sudah tidak berminat untuk berkeliling kesana-kemari membawa perbekalan yang lumayan berat.

Sawer Sigale-Gale

Menyawer Sigale-gale dengan rupiah ataupun dollar sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan sepanjang tarian.

Buat yang baru pertama kali ke Pulau Samosir, pulau di tengah Danau Toba, jangan lupa mampir ke Tomok ya. Di pulau yang kental dengan adat dan kebudayaan Batak ini, ada pementasan Tarian Sigale-gale yang bermakna kerinduan seorang ayah kepada anaknya yang telah tiada. Dalam rangka mengobati kerinduan akan anaknya tersebut, sang ayah yang juga seorang raja tersebut membuat sebuah patung yang mirip dengan anaknya, kemudian diisi oleh jiwa dari sang anak agar patung tersebut bisa bergerak dan menari layaknya orang hidup. Cerita lengkapnya sich bisa dibaca disini. Nah, pada masa modern ini, Tarian Sigale-gale ini sepenuhnya merupakan seni. Pergerakan Sigale-gale semata urusan mekanis aktor yang memainkan boneka ini di belakang panggung. Menariknya, sebagai turis anda tidak hanya sekedar menyaksikan tarian ini, namun diharapkan juga ikut berpartisipasi dalam menari di dalamnya. Nggak bisa menari? Jangan kuatir, tariannya mudah dan gampang untuk diikuti koq. Oh ya, agar lebih terasa nuansa "Batak"nya, setiap partisipan juga dipinjami Ulos untuk dikenakan. Seru ya?! Yuk, kita manortor (menari-red) bersama Sigale-gale. Jangan lupa sawerannya yach. Hehehe.

Oh ya, foto ini diikutkan dalam Turnamen Foto Perjalanan Ronde ke 20 yang diselenggarakan oleh Yoesrianto dengan tema : FESTIVAL/TARIAN.



Yuk, bagi teman-teman yang punya foto dengan tema FESTIVAL/TARIAN yang menarik dan punya cerita, Yuk ikutan turnamen ini!