Wednesday, August 28, 2013

Laguboti, Huta Tinggi, Malim, dan Pusat Kebudayaan Batak

Dari Ajibata menuju Balige, Laguboti adalah satu kecamatan tepat sebelum Kota Balige. Wisatawan umumnya menyebrang dari Ajibata menuju Tomok di Pulau Samosir. Wisatawan lainnya umumnya hanya melewati Laguboti hingga Balige. Jadi, keberadaan wisatawan mungkin bukan sesuatu yang umum disaksikan disini, agak berbeda dengan misalnya Tomok atau Ambarita. Namun, menariknya Laguboti ternyata memiliki satu desa yang dikategorikan sebagai desa suci yakni Huta Tinggi karena disinilah agama atau kepercayaan Malim berpusat.
Awalnya, kepercayaan ini berpusat di Bakkara, wilayah Humbang Hasundutan, desa tempat Ompung Sisingamangaraja XII dilahirkan. Dalam perkembangannya, kepercayaan ini berpindah pusat di Huta Tinggi dan mengalami perkembangan hingga hari ini. Umatnya sendiri ada sekitar 1,500 orang di penjuru Indonesia dengan populasi terbanyak di seputaran Danau Toba. Pemimpin kepercayaan ini adalah R.M. Naipospos, keturunan Raja Mulia Naipospos, salah seorang murid dari Ompung Sisingamangaraja XII yang diberikan mandat untuk meneruskan kepercayaan ini sebelum beliau meninggal dunia.Yang perlu diketahui, Malim ini bukanlah kepercayaan tradisional Batak Purba, melainkan bentuk modern dari kepercayaan tradisional karena tempaan jaman kolonialisme kala itu. Sejumlah unsur agama Samawi seperti Yahudi, Katolik, Kristen, dan Islam turut memberi warna kepercayaan ini sehingga menjadi seperti ini sekarang ini. Kepercayaan ini bukanlah kepercayaan kuno masyarakat Batak yang dahulu dikenal dengan nama Pelebegu. Sama sekali berbeda.
Walaupun tidak diakui Negara Indonesia sebagai agama resmi, namun Malim (penganutnya disebut Parmalim) memiliki populasi yang cukup banyak di penjuru Indonesia. Walau bersumber dari anismisme, namun kepercayaan tertingginya ialah menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau yang dikenal sebagai Ompung Debata Mulajadi Nabolon (Ompung=panggilan kehormatan tertinggi dalam budaya Batak, Debata = Tuhan, Mulajadi = Yang Pertama, Utama, dan Satu-Satunya, Nabolon = Maha Besar, Maha Kuasa).  Setiap tahunnya, ada dua perayaan besar yang terjadi sehingga Huta Tinggi dipenuhi oleh penganut kepercayaan Malim dari seluruh Indonesia, bahkan dunia. Perayaan tersebut adalah Parningotan Hatutubu ni Tuhan atau Sipaha Sada (Bulan Pertama) sebagai tanda peringatan akan tahun yang baru dalam kalender Batak (umumnya bulan Maret), dan Pameleon Bolon atau Sipaha Lima (Bulan Kelima) sebagai tanda syukur atas berkat dan rahmat yang diterima terutama dalam hal keberhasilan panen yang umum dirayakan pada bulan Juni-Juli.
Penganut kepercayaan ini umumnya adalah Orang Batak asli dan ritual perayaannya diucapkan dalam Bahasa Batak seutuhnya. Walaupun kepercayaan ini bersifat tertutup, namun kegiatan ini bisa disaksikan oleh orang luar, terutama pengunjung dan wisatawan yang ingin mengenal adat Batak dengan lebih kentara. Sekian informasi yang saya dapatkan tentang kepercayaan Malim di Huta Tinggi. Saya nggak akan membahas tentang Huta Tinggi lebih lanjut karena saya hanya melewati tempat ini tanpa berkunjung sama sekali. Eksterior Laguboti pun kebanyakan berupa sawah dan ladang serta monumen yang berserakan di tepi jalan. Untuk yang mau memanjakan mata dengan aneka monumen maupun kuburan yang unik khas Batak, disinilah adalah tempatnya. Satu objek wisata yang menarik untuk dikunjungi namun terletak di pintu keluar Laguboti adalah Makam Rasul Batak, Ompung Nommensen yang terletak di Sigumpar, kecamatan yang berbeda dengan Laguboti namun terletak tidak jauh di pintu keluar kecamatan Laguboti. Cukup perhatikan papan penanda jalan yang terlihat jelas di tepi jalan. Sejumlah foto-foto dalam blog ini mungkin bisa memberikan anda seperti apa gambaran akan Laguboti itu.



Monday, August 26, 2013

Balige, Di Selatan Danau Toba


Saya pernah mampir ke kota ini sebelumnya. Ingat kunjungan singkat saya ke T.B. Silalahi Center dan Makam Sisingamangaraja XII di Soposurung, Pagar Batu? Itu adalah tepian kota Balige. Saya sendiri baru mampir di Balige ketika beranjak dari Tarutung menuju Parapat. Sayangnya, saya nggak berhenti karena saya tidak memiliki tempat yang ingin dituju di Balige ini. Saya harus cepat karena waktu liburan saya tinggal tiga hari lagi. hiks.
Balige adalah Ibukota dari Kabupaten Toba Samosir. Posisi kota ini terletak di bagian selatan Danau Toba. Buat saya sich menarik ya, saking lebarnya danau ini (percaya dech, buat yang belum pernah berkunjung, danau ini adalah satu dari banyak tempat di dunia yang wajibbbb banget kalian kunjungi. Buat yang memiliki waktu lebih panjang, boleh dech coba sambangi kota-kota di tepiannya), kota-kota yang mengelilingi juga banyak. Percaya atau tidak, setiap kota memiliki rasanya tersendiri. Adapun kota yang terletak di tepian Danau Toba antara lain : Parapat dan Ajibata di timur (pengunjung biasanya banyak bertandang kesini), Balige dan Muara di selatan, Pangururan di barat, Bakkara di barat daya, Tongging di utara, Silalahi di barat laut, Nainggolan di timur laut (konon pada era 1980an, Nainggolan dinobatkan sebagai kota paling cantik alias 'picturesque' mengutip istilahnya Lonely Planet atau Foot Prints untuk menggambarkan kecantikannya kala itu), dan Porsea serta Laguboti di sisi tenggara. Percayalah, setiap kota menawarkan kecantikan dan hawa yang berbeda. Dari sudut pusat Kota Balige, mungkin tepian danau ini tidak terlihat jelas. Namun, dari tepian wilayah Pagar Batu, danau cantik ini terlihat sangat jelas. Dipadu dengan ladang jagung yang menguning, nuansa unik seketika tercipta. Yang khas dari Kota Balige adalah pasar tradisionalnya (bahasa Batak Pasar=Onan) yang berupa deretan rumah adat khas Batak. Sayang, saya nggak dapat kesempatan untuk memotretnya secara utuh lantaran kendaraan saya hanya melintas cepat di wilayah pusat kota.
Balige bisa jadi terkenal karena Sisingamangaraja XII yang dimakamkan disini. Selain itu, T.B Silalahi Center yang berpusat di kota ini juga turut mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan ke kota ini (Ada lho rombongan bule naik motor entah dari mana yang berkunjung ke T.B. Silalahi Center di siang bolong-menurut saya sich mereka naik motor gede tersebut dari Parapat-). Selain kedua hal tersebut, menurut saya tingkat kunjungan ke Balige juga didongkrak berkat Huta Tinggi, pusatnya agama Malim, agama tradisional yang masih banyak dianut oleh banyak sekali Orang Batak. Sayangnya, waktu tempuh hingga enam jam dengan kendaraan pribadi atau carteran (nggak kebayang dech kalau naik angkutan umum sepotong-potong), mungkin sudah akan membuat malas orang berkunjung ke Balige. T.B. Silalahi Center-nya sich sangat bagus untuk memperkenalkan orang luar tentang budaya Batak. Sayangnya, ketika wisatawan baru pertama kali berkunjung ke Sumatera Utara, mereka umumnya akan kaget dengan jarak tempuh antar kota dan antar objek wisata yang berjauhan. Sebagai gambaran, jarak tempuh satu jam lebih hingga dua jam untuk menuju objek wisata sebenarnya sudah terbilang cukup jauh untuk wisatawan yang umumnya berasal dari Jawa. Maklum, objek wisata di wilayah Jawa tuh dekat-dekat dan berdempetan, beda dengan di Tano Batak ini. Maka dari itu, nggak heran kalau banyak wisatawan kaget ketika waktu tempuh mencapai pinggiran Danau Toba (entah Tongging atau Parapat) mencapai empat jam lamanya, apalagi ketika mencapai Balige yang bisa enam jam di perjalanan! Belum lagi Pulau Samosir, Air Terjun Sipiso-Piso, Pematang Siantar hingga Brastagi sudah memuaskan indera sang tamu akan budaya Batak, untuk wisatawan berdurasi sebentar, ada kemungkinan besar Balige tidak akan disinggahi. Ditambah lagi wisatawan juga ingin berkeliling Kota Medan untuk melihat Istana Maimun, Masjid Raya Medan, Tjong A Fie Mansion, hingga Merdeka Square dan mencicipi kuliner khas Medan. Habislah waktu liburan mereka di Sumatera Utara yang rata-rata hanya berdurasi 3-4 hari lamanya.  Memang sich, Toba Samosir memiliki bandar udara di Sibisa, wilayah Ajibata. Namun, apakah anda yakin soal kepastian pesawat terbang yang akan membawa anda dari Medan menuju Sibisa? Belum lagi soal harga tiketnya yang bisa jadi mahal, malah mungkin saja menyaingi harga tiket Jakarta - Medan.
Saya sendiri walaupun hanya melewati sekilas, namun cukup terhibur juga ketika melihat banyak sekali monumen di kota ini yang bertujuan untuk menghormati leluhur, pahlawan atau ingin memperingati sesuatu. Bagi yang punya waktu lebih, saya sangat sangat merekomendasikan T.B. Silalahi Center di barat kota untuk dikunjungi. Percaya dech, museum ini adalah museum Batak terbaik, bukan hanya di Balige, namun juga di seluruh Sumatera Utara, bahkan Indonesia. Sembari ke T.B. Silalahi Center, jangan lupa untuk menyambangi Huta Tinggi untuk melihat adat Parmalim yang masih kental, siapa tahu ketika anda datang sedang ada perayaan misalnya Pamaleon Bolon (Perayaan Besar) di Sipaha Lima (Bulan Kelima Kalender Batak), bentuk syukur Umat Parmalim kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan) atas rejeki dan segala rahmat yang Ia berikan. Yuk, mampir ke Balige!



Sunday, August 25, 2013

RM Mahligai, Pelepas Lapar Dan Dahaga Ala Adiankoting

 
Nampaknya sich sudah menjadi semacam jawaban atas pertanyaan permintaan (susah ya bahasanya?). Dimana ada kebutuhan, disana ada solusi untuk penyedianya. Begitu juga dengan rumah makan Mahligai yang terletak di antah berantah di tengah-tengah jalur Sibolga-Tarutung tepatnya di wilayah Adiankoting. Mata saya yang tak lepas-lepasnya mengamati lebatnya bukit barisan yang mulai luntur dan tergantikan oleh dataran tinggi berbukit-bukit tiba-tiba tertanam pada sebuah bangunan lumayan besar yang terletak di atas bukit yang agak datar. Kanan kirinya? bangunan hanya sedikit sekali, disertai dengan sejumlah rumah, gereja, dan sekolah. Jelas, jalur ini adalah jalur utama yang menghubungkan Tapanuli Utara dengan Tapanuli Tengah. Jika entah karena suatu hal jalur ini tertutup, pelaju antara dua kabupaten ini mungkin agak kesulitan untuk berpindah. Pilihan lainnya hanyalah melalui Dolok Sanggul - Pakkat - Barus di utara atau Sipirok di selatan.  
Rumah makan ini menjawab kebutuhan dasar supir dan pelancong yang melewati jalur ini. Masakannya? Seperti yang sudah bisa ditebak, jenis makanan yang 'hadir' untuk jalur semacam ini adalah jenis makanan yang dimasak sekali pada pagi hari sementara bisa tahan hingga sepanjang hari (dan beberapa jenis makanan bisa tahan beberapa hari). Ciri khas makanan di restoran ini adalah khas Padang. Makanannya bisa ditebak donk? Kentang balado, perkedel, ikan maupun ayam gulai nggak lepas dari deretan menu yang ada. Saya sendiri nggak terlalu berminat makan banyak ketika melakukan perjalanan jauh. Namun, 'berkat' makanan ini, saya semakin nggak berminat untuk makan lagi. hehehe. Walau demikian, saya tetap harus mengisi perut karena saya tidak tahu lagi kapan mobil akan berhenti untuk beristirahat. Saya tiba-tiba teringat dengan rumah makan khas Padang di Niki-Niki (So'E dan Kefa) , Tiga Binanga (Kutacane dan Kabanjahe), Samalanga (Banda Aceh dan Bireun), Toho (Pontianak dan Sanggau), Ise-Ise (Takengon dan Blangkejeren), Aimere (Borong ke Bajawa), maupun Perbaungan (Medan dan Tebing Tinggi). Sejumlah kota-kota ini memang merupakan kota yang terletak diantara dua kota besar yang jaraknya berjauhan. Mungkin memang sudah menjadi ciri khas kali ya kalau jarak jauh antara dua kota biasanya makanan Padang akan hadir di tengah-tengah itu. Yang agak berbeda mungkin hanyalah di Pulang Pisau (Banjarmasin - Palangkaraya) dan di Barru (Makassar - Pare-Pare) atau Sidenreng Rappang (Pare-Pare - Enrekang). Makanan di kedua kota ini masih menonjolkan ciri khas lokal.
Ciri khas lain dari makanan di kota antara ini adalah soal harga. Untuk menu seperti yang tampak di gambar ini, saya cukup hanya membayar biaya Rp 8.000. Bisa jadi, tanah Tapanuli Utara sangat kaya dan bahan makanan mudah didapatkan sehingga harga dasarnya memang murah. Soal rasa, jangan ditanya dech. Rasa makanannya jauhhh berbeda dengan makanan Padang di tanah aslinya. Makanan di kota antara nampaknya kurang memperhatikan soal rasa, namun lebih sebagai sumber kalori saja. Oh saya jadi teringat makanan Padang dengan gaya Ponorogo di Toho yang terletak sama-sama di tengah entah dimana. Untuk dua orang, saya harus membayar sekitar Rp 50.000 ke atas. Rasanya agak nggak rela dibandingkan rasa makanan yang harus diterima. Hiks.
Yang menyenangkan hanyalah saya bisa sedikit melemaskan kaki dan berjalan di sekitar wilayah ini untuk melihat wajah Adian Koting. Seorang turis asing di sebelah saya juga asyik mengabadikan pemandangan sekeliling melalui handycamnya. Perlu diingat, di lokasi seperti ini agak-agak sukar untuk menemukan penjual makanan, baik makanan siap santap maupun makanan kering yang dipergunakan sebagai bekal. Oleh sebab itu, sebaiknya anda makan makanan yang ada, mengingat Tarutung masih sekitar 1 jam perjalanan lagi tanpa mengetahui ada kemungkinan berhenti atau tidak. O ya, kalau ngga mau makan nasi, ada sejumlah kue kering produksi wilayah setempat yang bisa digunakan sebagai bekal. Biskuitnya agak unik dan nggak biasa ditemukan di belahan lain nusantara namun biasanya produksi Pematang Siantar yang memang biasanya terkenal memproduksi makanan ringan di penjuru Sumatera Utara.
Satu hal lain yang menyenangkan ialah tehnya. Teh di tempat ini menggunakan Teh Bendera, favorit saya selama berkelana. Teh manis sungguh melegakan sekaligus membuat perut menjadi tenang untuk perjalanan panjang. Saran saya, teh manis nggak boleh absen sih untuk rumah makan ini. Kalau kebetulan melewati rumah makan ini (kemungkinan besar sih akan berhenti disini), silahkan mampir dan menikmati secarik alam Adian Koting sambil meluruskan kaki (oh ya, Monumen Munsonn Lyman tidak jauh dari sini walau nggak bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, sebaiknya dijadwalkan kalau misalnya memang anda menaiki mobil sewaan).







Wednesday, August 14, 2013

Kembali Menyusuri 9 Jam Sibolga - Siantar

Nampaknya, jalan raya berliku-liku sepanjang 66 kilometer tersebut harus saya hadapi kembali. Jalan raya meliuk liuk menembus Hutan Bukit Barisan yang menembus Sitahuis adalah jalan utama yang menghubungkan Sibolga dan Tarutung. Dua kota yang harusnya bertetangga ini dipisahkan oleh jalan raya yang seakan memisahkan dua dunia. Konon, jalan ini banyak memakan korban, namun bukan korban nyawa melainkan para penumpang yag mabok lantaran harus menempuh kelokan yang konon bisa mencapai 1200 buah jumlahnya. Untungnya, melewati Sitahuis, jalanan kembali melandai di Adiankoting, wilayah Tapanuli Utara. Hutan yang lebat sudah tergantikan dengan padang rumput dan pegunungan dataran tinggi di kejauhan. Jujur saja, saya lebih suka melihat bentang alam seperti ini dibanding hutan yang tumbuh dengan rapat.
Perjalanan panjang ini harus diganjar dengan selembar uang kertas warna merah. Saya berangkat pada pagi hari dan diperkirakan akan mencapai Pematang Siantar lewat tengah hari, menjelang petang. Rute yang dilewati adalah Sibolga - Pandan (mencari bahan bakar terlebih dahulu) - Batu Simaninggir - Gunung GM Panggabean - Sitahuis - Adiankoting - Lobu Pining (Sayang sekali saya nggak sempat berhenti untuk melihat monumen Lymann Munson) - Tarutung - Sipoholon - Siborong-borong - Silangit - Balige - Laguboti - Porsea - Ajibata - Parapat - Tiga Dolok - Pematang Siantar. Perjalanan panjang ini seharusnya menarik kalau beberapa kondisi terpenuhi. Kondisi alam yang bervariasi sudah tentu menjadi penghiburan tersendiri sepanjang perjalanan. Lebanya hutan berganti dengan padang rumput berbukit di dua bagian Tapanuli akan menjadi pemandangan menarik. Cadas batu kapur di Silangit dan berganti menjadi titik pertama Danau toba terlihat di Balige juga menarik. Ramainya kota di wilayah Laguboti - Porsea menjadi hutan lebat di Ajibata dan kembali menjadi keramaian di Parapat juga sesuatu yang menarik untuk disimak. Terakhir, pemandangan hutan sekunder selepas Parapat menjadi perkebunan sawit ketika memasuki wilayah Simalungun semakin memanjakan mata penumpang. Saya yang gemar foto-foto sepanjang perjalanan perjalanan pun tampaknya menjadi hal yang menarik untuk dilihat oleh penumpang lainnya. Hahaha. Hal terakhir, kecintaan sang supir pada musik lumayan menghibur telinga. Walaupun sedikit sekali memiliki koleksi lagu Batak dalam playlistnya, namun sebagian lagu-lagunya masuk kategori enak didengar. Yang saya paling ingat adalah Hijau Daun feat Luna Maya - Suara karena diputar beberapa kali di sepanjang ruas. hehehe.
Oh, satu lagi, penumpang yang merokok akan sangat menyebalkan. Walaupun mobilnya ber AC namun AC tidak dinyalakan sepanjang perjalanan dan penumpang maupun sopir bebas merokok sepanjang perjalanan. Untungnya, saya duduk di samping jendela persis di belakang kursi samping supir. Jendela saya buka lebar-lebar dan makan angin lebih menyenangkan buat saya.