Sisa-sisa Kejayaan Parapat

Sudah pernah berkunjung ke Danau Toba? Pastinya pernah donk ke Parapat? Kalaupun nggak pernah, setidaknya mungkin pernah setidaknya 'tahu' kali yach? Kenapa Parapat selalu diidentikkan dengan Danau Toba, nggak lain dan nggak bukan adalah karena kota ini terletak di tepi pantai danau tersebut. Dalam sejumlah paket-paket perjalanan wisata yang 'standar', Parapat pasti masuk dalam rute perjalanan kunjungan sebelum menyebrang menuju Tomok. Selain Parapat, gerbang perkenalan wisatawan dengan Danau Toba lainnya yang terkenal mungkin hanya Tongging. Sayang, tidak banyak arus transportasi pilihan dari Tongging menuju Samosir. Pilihan utama penyebrangan wisatawan memang di Parapat dan Ajibata (sebelah Parapat persis). Pangururan? Kayaknya bisa dihitung dengan jari dech wisatawan yang memasuki Samosir dari kota ini.

Nah, Parapat yang terkenal di kalangan turis adalah sebuah area kecil yang memang dikhususkan untuk para wisatawan. Disana terdapat deretan hotel-hotel kecil hingga besar, rumah makan, dan segala macam infrastruktur maupun sarana penunjang kehidupan turis. Sejatinya, Parapat adalah sebuah kota yang lebih luas daripada sekedar area konsentrasi turis saja. Sejumlah fasilitas 'besar' penunjang turis dan kehidupan warga kota ini justru terletak di area luar wilayah konsentrasi turis tersebut. Sebut saja theatre (ini mengejutkan lho, fasilitas theatre itu umumnya terletak di kota yang umurnya sudah cukup mumpuni, dan di masa lalunya memiliki masyarakat yang kebiasaannya menonton pertunjukkan atau mencari hiburan) dan sejumlah rumah makan serta travel agent. Saya jadi bisa membayangkan, seperti apa sich ramainya Kota Parapat pada era 1970 atau 1980an ini.

Sayangnya, pariwisata Danau Toba sedang lesu dalam beberapa tahun atau dekade ini. Ini sebabnya Pemkab gabungan sejumlah kabupaten yang berada di sekeliling Danau Toba (Karo, Simalungun, Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan, serta Dairi) dibantu dengan pemprov Sumatera Utara menggelar Festival Danau Toba yang baru saja berakhir awal September ini. Tujuannya, ya untuk meramaikan dan menghidupkan kembali pariwisata Danau Toba yang terpuruk beberapa dekade belakangan ini.

Parapat yang saya lihat di siang itu adalah Parapat yang sepi. Walaupun secara umum jalur utama Sumatera Utara dari Medan menuju Sibolga tersebut ramai, namun bangunan yang tampak sebagian besar adalah bangunan kejayaan masa lalu. Hampir tidak ada bangunan baru yang signifikan tampak di jalur tersebut. Yang paling mencolok mungkin hanya papan atau neon reklame yang disponsori perusahaan rokok yang tergolong baru. Papan nama kios usaha atau jasa pada umumnya masih warisan lama dengan cat dan permukaan yang pudar disana-sini. Balkon di tepi jalur Tiga Dolok-Parapat yang memungkinkan pengunjung bisa menikmati jagung bakar dan minuman sambil melihat Danau Toba dari tepian pun sepi. Entah apakah baru ramai menjelang malam, saya nggak tahu yach. Walau demikian, kafe balkon itu rata-rata berukuran besar dan banyak lho, bertebaran hingga ke atas. Bisa jadi, di masa yang lalu kafe-kafe ini penuh sesak dipadati pengunjung yang terpukau oleh romantismenya Danau Toba. Saya membayangkan pula, kabut menggantung mesra di atas permukaan air, membuat suasana menjadi semakin lomantit. Ihik.

Kini, Parapat yang terletak di wilayah Girsang Sipangan Bolon wujudnya menyerupai kota transit. Pusat destinasi turis selain Danau Toba tentu saja Desa Tomok dan Desa Ambarita yang terletak di sisi seberang, yakni Pulau Samosir. Turis yang memiliki waktu panjang, nampaknya akan lebih menyukai romantismenya Tuk-Tuk Siadong dibanding Parapat. Parapat lebih cocok untuk turis yang memiliki tidak banyak waktu sehingga harus tinggal di sisi Parapat. Kelebihan lain Parapat dibanding Samosir tentu saja infrastruktur yang lebih memadai, baik dalam hal transport maupun jasa. Turis asing yang bersama saya dalam satu mobil, memutuskan turun di Parapat untuk mengurus perjalanan berikutnya melalui sejumlah travel agent yang banyak bertebaran di jalan raya tersebut. Hal ini lebih sukar dilakukan apabila turis tersebut berada di sisi Samosir.


Ketika anda berkunjung ke Parapat, terutama untuk anda yang memiliki waktu panjang, cobalah untuk tidak terburu-buru menyebrang ke Danau Toba. Nikmatilah sejenak kehidupan Parapat dan arsitektur kolonial yang dimilikinya yang merupakan warisan jaman Belanda. Mungkin nggak banyak yang tahu, di Parapat ini juga ada rumah pengasingan Bung Karno lho. Walaupun sudah tidak terlalu asli lantaran banyak bagian bangunan dan furnitur yang terlah diganti, namun ini bisa menjadi destinasi wisata saat berkunjung ke Parapat. Penasaran juga donk dengan Parapat Theatre yang menjulang tinggi? Jangan lupa, sempatkan pula mencicipi jagung bakar dan minuman jahe di tepi Danau Toba saat matahari terbenam. Wuih, dengan merogoh kocek nggak terlalu dalam, anda bisa menikmati romantismenya Danau Toba di kala senja. Sayang, ramainya Parapat saat ini mungkin telah memudarkan romantisme dan sejuknya tempat ini. Beberapa dekade lampau, saya membayangkan pemandangan di tepi Parapat mungkin serupa dengan pemandangan di tepi Loyang Koro di tepi Danau Laut Tawar. Walaupun demikian, sekali lagi, bukan alasan bagi anda untuk tidak mengunjungi kota ini, bukan?


Dengan melihat gazebo yang dibangung Semen Padang ini, anda sudah hampir tiba di Parapat

0 komentar:

Post a Comment