Tuesday, November 05, 2013

Hotel Mutiara, Pilihan di Pematang Siantar?

Harusnya sich ada banyak hotel, losmen, dan segala macam bentuk penginapan di Kota Pematang Siantar. Namun, entah karena saya tidak prediksi akan berhenti di kota ini, atau terlalu asyik menikmati perjalanan, akhirnya saya tidak memiliki informasi apapun tentang penginapan di kota ini. Ujung-ujungnya, saya meminta bantuan kepada supir taksi Sibolga yang mengantarkan saya untuk membawa saya ke salah satu hotel terdekat, yang murah dengan penekanan pada kata murah.
"Murahnya berapa?", tanya sang supir. Saya pun menjawab kategori murah saya adalah tidak melebihi Rp 100,000 per malam per kamar. Disinilah sang supir langsung membawa saya ke Jalan Sisingamangaraja, Hotel Mutiara. Harusnya saat saya mengatakan murah, saya turut menekankan pada kata "baru" juga yach. Tapi, apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur, saya harus mengejar waktu untuk berkunjung ke sejumlah tempat di kota ini. Nggak banyaklah waktu untuk terlalu memilih-milih. Menginaplah saya di Hotel Mutiara.
Kesan pertama? Dengan kata-kata yang positif, hotel ini historikal! Umurnya yang sudah lanjut tidak bisa ditutupi karena mungkin di sisi lain, perawatan yang dilakukan kurang optimal. Walaupun dihiasi dengan berbagai ornamen khas Simalungun yang memenuhi sekujur bagian hotel, namun kesan yang tampak justru, "ini hotel?". bangunan depan hotelnya cukup manis dengan anjungan khas rumah khas Simalungun plus kepala kerbau yang sudah dimakan usia. Lobbynya sendiri dihiasi dengan sejumlah Hiou khas Simalungun. Karyawannya ada beberapa namun nampaknya tidak ada kesibukan berarti di hotel ini. Nah, kamar yang saya tempati seharga Rp 95,000 dan kamarnya sich cukup bersih, spreinya putih. Sebenarnya cukup oke namun dinding kamarnya yang dicat dengan warna krem sudah termakan usia dan parahnya tidak dirawat. Sejumlah dinding terlihat terkelupas dan tampak menghitam ditumbuhi jamur. Sungguh berkesan tidak terawat sekaligus lembab. Kamar mandinya berada di dalam dan ajaibnya, persis di atas kepada kasur ada semacam ventilasi besar yang tembus ke dalam kamar mandi. Pikiran saya langsung berkelana nggak karu-karuan melihat ventilasi tersebut. Hiiii. Saya berharap sekali pada saat saya tidur nanti langsung tidur dan bukannya guling-gulingan kasak kasuk baru bisa tidur. Kamar mandinya jelas sebelas dua belas dengan kamar tidurnya. Walaupun sekilas bersih tapi pembersihan yang dilakukan tidak maksimal. Umur memang sukar untuk ditutupi kali yach. Plafon kamar mandi maupun kamar tidurnya juga sudah tidak tampak kokoh. Walaupun cukup untuk melakukan fungsi dasar kebersihan (airnya cukup bersih sich), namun kalau melihat dinding kanan kirinya mungkin beberapa orang akan berpikir dua kali sebelum menggunakannya kali yach? (Hey, saya akan terbang pada hari berikutnya, jadi inilah hotel terakhir yang saya singgahi di Sumatera Utara ini. Jadi, saya memang perlu sekali mandi). Kamar ini dilengkapi dengan kipas angin dan sebuah televisi. Lumayan murah untuk harga Rp 95,000 walaupun televisinya hanya bisa menyajikan siaran lokal saja. Nggak apa-apa dech, untuk menemani saya melewati malam. Saat begini, saat tiada yang menemani, saya lebih suka tidur dalam suasana berisik daripada pikiran saya berkelana kemana-mana dan mikir yang nggak-nggak. Hiii.
Hotel ini nampaknya pernah melewati masa kejayaannya namun itu berlangsung mungkin puluhan tahun yang lampau. Sejumlah fasilitas tercatat hadir di hotel ini seperti pub dan kolam renang. Pada saat kunjungan, kolam renangnya terlihat kering dan kotor seakan sudah lama tidak dialiri air. Sebuah gazebo yang bisa memandang kolam renang di atas pun tampak tidak terawat dan berdebu. Di sebelah kanan kolam, ada sebuah Pub. Pub-nya sendiri tampak disponsori oleh salah satu minuman keras terkenal namun saya sich nggak yakin buka atau nggak. Seutas rantai terlihat melilit pintu gerbang menuju pub tersebut. Di pintu pub tersebut sejumlah stiker merek kondom lokal terkenal dan anjuran untuk tidak melakukan seks bebas tertempel beragam dan banyak. Kembali ke area utama, Para pegawai yang hadir pun tampak lebih banyak duduk daripada melayani tamu hotel. Mungkin memang bisnis sedang lesu kali yach. Selama saya berkeliling areal hotel, kesibukan kendaraan yang keluar masuk tidak terlalu terasa. Yang saya kagumi adalah kebaikan hati para pegawai hotel ini. Walaupun tidak bisa menjawab seluruh pertanyaan saya tentang lokasi-lokasi di Pematang Siantar dan Simalungun, namun mereka aktif bertanya ke rekan-rekan mereka sampai saya mendapatkan jawaban yang saya inginkan. Mereka juga memberikan sejumlah saran tentang bepergian di kota ini.
Kamar yang saya tempati bukanlah kamar termurah yang dimiliki oleh Hotel Mutiara. Pada saat itu, kamar termurahnya sudah habis kata para pegawai tersebut. Memang sih ada kamar lain yang harganya lebih tinggi, dan nampaknya berada di lantai atas dengan cat dinding berwarna merah, namun saya menyesuaikan budget saya agar tetap rendah donk. Hehehe. Untuk harga yang harus saya bayarkan, hotel ini tidak menyediakan makan pagi. Untuk para pelancong backpacker, sebenarnya cukup asyik untuk tinggal di hotel ini. Hawa Kota Pematang Siantar sendiri cukup bersahabat (tidak terlalu dingin, namun juga tidak terlalu panas karena masih di dataran rendah dan belum memasuki dataran tinggi Toba), sehingga kipas angin tidak terlalu dibutuhkan paling sekedar mengusir pengap saja. Terlepas dari kondisi kamar hotel yang kurang terawat dan agak kurang bersih, hotel ini terletak di jalan besar, Jalan Sisingamangaraja. Angkutan kota berseliweran setiap saat dan akses menuju pasar sentral maupun Jalan Pane cukup mudah.Karyawan hotel pun sebenarnya siap siaga selama 24 jam. Pada malam hari pun saya melihat mereka duduk-duduk di depan lobby hotel. Kalau anda butuh teman mengobrol sambil ingin mengenal Pematang Siantar lebih jauh, silahkan hubungi mereka. Sebagai orang lokal, mereka cukup banyak mengetahui seluk beluk kota, walaupun ada sebagian karyawan yang juga tidak terlalu banyak tahu. Lumayan banget kan untuk mengisi malam.
Yang mengejutkan adalah pada saat saya pulang dan mengetikkan kata kunci "Hotel Mutiara Siantar" di laman pencarian google dan mendapati sejumlah berita yang membuat saya mengerutkan kening dan sungguh bersyukur bahwa saya tidak cukup usil untuk mengetik kata kunci tersebut saat berada disana. Mau tahu hasil pencariannya apa? Coba deh lihat foto berikut ini dan urusan menginap di hotel ini atau tidak, anda yang tentukan sendiri. Oke?

Sunday, November 03, 2013

Personifikasi 12 Shio Vihara Avalokitesvara Pematang Siantar

Dalam dunia astrologi, dunia membagi zonanya menjadi dua, yakni barat dan timur (ada juga sich zodiak-zodiak minor lainnya seperti Astrologi Mesir, Astrologi Babilonia, Astrologi Islam Abad Pertengahan, dan lain-lainnya). Astrologi Barat atau Zodiak adalah ilmu yang menghubungkan pergerakan benda-benda langit dan kaitannya terhadap nasib manusia. Dalam hal ini, zodiak dalam satu tahun ada 13 buah (dahulu hanya ada 12 saja, dengan penambahan sekarang ophiucus). Saya nggak perlu donk membahas kalau anda misalkan lahir di bulan Januari tanggal 15 atau misalnya lahir di bulan September tanggal 23 itu zodiak (atau lazim disebut bintang)-nya apa? Nah, di belahan dunia bagian timur, ada yang namanya Astrologi Timur. Astrologi Timur ini dikenal sebagai Chinese Zodiac atau lebih dikenal dengan istilah "shio". Agak berbeda konsep dimana Zodiak ditentukan berdasarkan hitungan bulan atau hari, sgio ini ditentukan berdasarkan hitungan tahun. Bagaimana metode perhitungannya? Sudut bujur matahari-lah yang digunakan sebagai pertanda bahwa seseorang itu dilahirkan dalam shio tertentu.
Dalam mitologi Cina, alkisah Kaisar Langit (giok) mengadakan sayembara dalam rangka ulang tahun Kaisar Langit. Sayembara tersebut adalah mengumpulkan 12 binatang tercepat yang bisa sampai ke sisi sungai tertentu setelah menyebranginya, dan mengabadikan para binatang tersebut sebagai nama-nama tahun penanggalan China. Kisah abadi ini ternyata mempunyai implikasi nyata pada kehidupan kita saat ini. Dengarkan cerita berikut baik-baik ya.
Alkisah, pada jaman dahulu tikus dan kucing bersahabat baik. Kucing yang mendengar kabar ini memberitahukan berita ini kepada sahabat baiknya tikus. Nah, pada hari sayembara yang ditentukan, berangkatlah mereka untuk menyebrang sungai. Karena sungai tersebut dalam dan berarus deras, maka mereka menumpang kerbau untuk menyebrangkan mereka ke sisi seberang. Kerbau yang polos dan baik hati pun menyebrangkan mereka tanpa adanya prasangka apapun. Dalam perjalanan, tikus yang licik mulai memiliki ide. Untuk menumbangkan satu saingan, ia mendorong kucing ke dalam sungai. Kucing yang tidak bisa berenang hanyut dan tidak bisa melanjutkan perlombaan. Singkat cerita, kucing dendam sekali kepada tikus dan hingga kini mereka menjadi musuh bebuyutan. Dari cerita ini juga digambarkan bahwa kucing hingga hari ini takut dengan air. Kucing yang tidak mampu melanjutkan perlombaan pun akhirnya tidak masuk dalam daftar 12 shio. Dalam beberapa cerita, disebutkan bahwa pada hari perlombaan, kucing yang gemar tidur asyik tertidur pulas tanpa bisa dibangunkan oleh tikus. Oleh sebab itulah kucing gagal dalam perlombaan dan marah kepada tikus karena merasa tikus tidak sungguh-sungguh membangunkan ia. Oh ya, ketika hampir sampai di sisi seberang, tikus yang licik segera melompat lebih cepat ke sisi seberang. Inilah mengapa tikus mendapat urutan 1 dan kerbau di urutan 2.
Harimau yang datang dengan susah payah pada urutan 3. Harimau sebagai binatang yang kuat dan galak, kepayahan menghadapi arus sungai yang keras. Namun, bukan harimau namanya kalau tidak berusaha. Dengan susah payah, akhirnya ia berhasil tiba di sisi seberang dan dinobatkan sebagai pemenang urutan ke 3. Disusul dengan kelinci yang dengan kecerdikannya, melompat dari satu batu ke batu lain di atas sungai tersebut. Hampir saja ia gagal melompati batu-batu tersebut, namun berkat bergantungan pada sepotong kayu, berhasillah ia untuk tiba di seberang dan dinobatkan sebagai pemenang ke 4.
Naga, satu-satunya hewan yang dapat terbang dan kuat ternyata tiba pada urutan ke 5. Sang Kaisar Langit yang terheran-heran mendapat penjelasan, bahwa dalam perjalanan Naga diminta untuk menurunkan hujan dan ternyata turut andil dalam pemenangan kelinci berkat hembusan anginnya sehingga kelinci tidak terjatuh ke dalam sungai ketika berpegangan di dahan kayu, melainkan tertolong untuk tiba di seberang. Naga pun layak diganjar degan urutan ke 5.
Terdengarlah derapan kuda di kejauhan. Kuda pun datang namun ternyata ular melilit kakinya. Kuda yang takut terhadap ular harus mundur sejenak dan membuat ular memiliki kesempatan untuk maju dan menjadi posisi ke 6. Kuda yang mengalah kepada ular harus puas berada di posisi ke 7.
Tim berikutnya yang datang adalah tim kambing, monyet dan ayam. Tiga hewan yang tidak mampu berenang ini kesulitan jika harus menyebrangi sungai yang berarus deras. Ketika ayam melihat ada rakit, maka dia memanggil kedua sahabatnya untuk menyebrang dengan menggunakan rakit tersebut. Mereka pun akhirnya bisa sampai di sisi seberang dengan selamat dan dianugerahi posisi ke 8, 9, dan 10.
Anjing, satu-satunya hewan yang paling pandai berenang ternyata baru muncul di urutan ke 11. Ternyata, air sungai yang jernih dan bersih menggodanya untuk mandi sebelum menyebrang sungai. Mengingat ia belum mandi, maka mandilah sang anjing terlebih dahulu di sungai tersebut sebelum menuntaskan lomba. Karena inilah maka anjing terlambat tiba dan baru sampai pada urutan ke 11.
Ketika lama sudah tidak ada lagi hewan yang muncul dan Sang Kaisar Langit hendak menutup sayembara tersebut, tiba-tiba muncullah babi dengan dengusannya sambil berjalan tergopoh-gopoh. Dasar babi yang pemalas, sebelum lomba ia makan terlebih dahulu sampai kenyang. Karena kenyang, ia pun tertidur pulas dan baru melanjutkan lomba setelah puas tidur. Sang Kaisar Langit yang keheranan akhirnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku sang babi walaupun tetap memberikan urutan ke 12 padanya. Kucing, seperti diceritakan sebelumnya tidak masuk ke dalam urutan shio ini karena dicurangi oleh tikus dan hanyut ke sungai. Maka dengan ini ditutuplah sayembara dan diumumkan keduabelas pemenang tersebut. Dua belas binatang tersebut datang berurutan mulai dari tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan yang terakhir babi, dan akan diabadikan nama mereka masing-masing di tahun penanggalan China.
Namanya juga fabel, kalau memperhatikan detail pasti banyak sekali yang tidak klop antara realitas dan kenyataan. Yang paling gampang saja, kenapa juga si kucing nggak berupaya bangun dan ikut menyebrang kembali. Atau nggak, kenapa juga babi bisa di posisi 12 setelah makan dan lama tertidur dahulu? Toh masih ada beruang, bebek, badak, kuda nil, burung merak, kalajengking, kelabang, ikan paus, dan lumba-lumba bukan? Hahaha. Yah, biarlah itu jadi pertanyaan yang tidak terjawab.

Menariknya, dua belas hewan ini sering dimunculkan, sekaligus dipersonifikasikan dalam berbagai ornamen dan ukiran di pelbagai Vihara. Beberapa contohnya adalah di Pulau Kemaro di Palembang, atau di Kuil Langit Gerbang Suci Kong Miao-nya Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Di Vihara Avalokitesvara di Pematang Siantar sendiri pun demikian, personifikasi terhadap 12 shio juga dihadirkan disini. Anda sudah tahu shio anda masing-masing bukan? Coba dech ditengok mana yang merupakan shio lahir anda di deretan foto-foto ini.

Ikon Baru Pematang Siantar, Patung Dewi Kwan Im Avalokitesvara

Tujuan pertama saya di Pematang Siantar adalah Patung Dewi Kwan Im di Vihara Avalokitesvara di Jalan Pane. Dari Universitas Simalungun yang terletak persis di depan rumah makan pemberhentian, untuk menuju ke vihara tersebut hanya membutuhkan satu kali perjalanan naik angkutan umum. Jarak tempuhnya pun tidak terlalu jauh, tidak sampai beberapa belas menit. Lokasi vihara tersebut terlihat jelas dari Pasar Sentral Siantar, tempat saya turun berkat patung Dewi Kwan Im yang menjulang tinggi (22,8 meter). Dari Pasar Sentral inilah saya berjalan kaki menuju Vihara Avalokitesvara yang ternyata terletak di antara pemukiman penduduk tersebut.

Pematang Siantar mungkin kota yang demografisnya serupa dengan Medan. Populasi Cina di kota ini cukup signifikan, bersanding dengan mayoritas, Batak Simalungun dan Batak Puak lainnya. Lokasi Vihara Avalokitesvara pun terletak di antara pemukiman rumah masyarakat yang notabene keturunan Cina. Untuk masuk menuju lokasi, saya melewati sejumlah rumah dan restoran yang menjajakan masakan khas Siantar yang terletak di dalam rumah. Mencari vihara ini tidak susah karena patung Dewi Kwan Im nya terlihat menjulang tinggi.
Bagian dalam kompleks vihara ini ternyata cukup luas lho. Objek wisata utama tentu saja adalah patung Dewi Kwan Im yang nampaknya bisa menjadi ikon Kota Pematang Siantar. patung besar tersebut terletak di tengah-tengah areal kompleks dan untuk mencapainya harus menaiki sejumlah anak tangga. Namun, tidak perlu terburu-buru karena dari pintu masuk hingga menuju patung Dewi Kwan Im, banyak objek yang bisa dinikmati. Areal taman yang ditata dengan rapih di bagian pintu utama itu sendiri saja sudah merupakan objek yang menarik untuk dinikmati. Suasana negeri China langsung terasa begitu memasuki kompleks ini. Walaupun belum pernah kesana sama sekali, namun areal yang ditata dengan sangat apik, beserta sejumlah patung yang berada di taman dan tulisan Chinese yang diukir pada sejumlah tempat membuatnya sangat bernuansa China.
Patung Dewa Kwan Im sendiri sejatinya berada di atap bangunan utama vihara ini. Untuk menuju ke patung tersebut, pengunjung wajib untuk menaiki anak tangga yang terletak di depan vihara ini. Tak disangka, bagian pelataran atas dari Vihara Avalokitesvara ini cukup ramai dikunjungi oleh masyarakat setempat. Walaupun pemandangan dari bagian atas vihara tidak terlalu cantik-karena merupakan pemandangan deretan rumah- namun warga setempat dan warga Pematang Siantar pada umumnya senang menghabiskan waktu pada sore hari di areal ini. Mengingat arealnya yang cukup luas, nggak heran lokasi ini sering dijadikan tempat untuk rekreasi ringan bagi penduduk setempat.
Selain patung Dewi Kwan Im yang berdiri kokoh dan tegak di atas Bunga Padma, ada sejumlah patung lain yang berada di pelataran atas dan sebuah bel raksasa. Di bagian sisi bunga padma pun terdapat empat dewa yang masing-masing menunjukkan empat wajah berbeda, mulai dari bahagia, diam, tegang, dan marah. Filosofinya? Saya kurang tahu karena tidak ada penjelasan berarti yang bisa saya temukan di pelataran ini. Ada sich sejumlah dinding marmer dengan deretan aksara Mandarin namun karena saya belum belajar bahasa Mandarin, terjemahannya ditunggu nanti setelah saya selesai belajar ya...



Buat teman-teman yang mau merasakan pengalaman berfoto di negeri Tiongkok, mungkin Vihara ini bisa menjadi salah satu alternatif yang menarik mengingat banyak sekalio ornamen ukiran, patung ataupun benda-benda yang mengingatkan kita akan suasana di negeri Tiongkok sana. Pada bagian bawah, selain banyak sekali Buddha Rupang (patung) dalam berbagai pose Meditasi, ada satu miniatur rumah adat Simalungun bentuk sederhana yang juga dipajang di lokasi. Ini menunjukkan bahwa budaya lokal pun tidak dilepas dan tetap bersanding dengan kebudayaan dari luar sana.
Buat teman-teman yang mampir di Pematang Siantar, coba dech mampir ke Jalan Pane. Nggak butuh waktu panjang koq untuk menyambangi keseluruhan area. Untuk yang buru-buru, waktu setengah hingga satu jam pun sudah cukup untuk melihat seluruh areal Vihara ini. Yang menyenangkan, karena statusnya sebagai rumah ibadah, maka masuk Vihara ini gratis alias tidak dipungut biaya apapun. Namun tetap saja, karena merupakan rumah ibadah, sebaiknya tetap berpakaian dan berperilaku sopan, serta tidak membuat kegaduhan. Oke?

Berikut adalah empat wajah berbeda yang tampak di kaki padma.
Dewa dengan muka tegang
Dewa dengan muka bahagia
Dewa dengan muka diam (datar?)
Dewa dengan muka marah

Sambutan Pematang Siantar : Rumah Makan Padang


Setelah menembus lebatnya hutan di Tiga Dolok dan kebun sawit yang berbaris rapih, akhirnya saya sampai di Pematang Siantar. Disini, motor (taxi kijang) tujuan Medan yang saya naiki akan berhenti satu kali lagi untuk istirahat makan. Istirahat makan sebelumnya telah terjadi beberapa saat lalu di Adiankoting, wilayah sebelum Tarutung. Perjalanan Adiankoting - Pematang Siantar sendiri memakan waktu sekitar 6 jam.

Disinilah saya harus turun dan berganti moda untuk menjelajahi Pematang Siantar. Segera, setelah semua penumpang turun dan menikmati makan siang (termasuk saya juga yang mengisi perut), saya segera berpamitan dengan sang supir (maksudnya biar beliau nggak nyari saya lagi). Saya nggak bisa makan berat karena sudah malas makan (Tebak donk makanannya apa? Yak, tepat, another rumah makan pilih-dan-ambil khas Padang yang ala kadarnya. Semua menu yang berwarna oranye hingga merah dan nampaknya bernuansa pedas telah membuyarkan nafsu makan saya. Tiba-tiba perut saya terasa penuh tanpa ada keinginan untuk diisi lagi. Saya cukup menyegarkan diri dengan segelas jus mangga dan 3 buah pisang. Harganya Rp 10.000. Mungkin jusnya Rp 7,000 dan pisangnya sebutir Rp 1,000 kali ya? Tapi diet buah begini juga boleh terutama buat saya yang memang nggak kerap mengalami masalah pencernaan kalau sedang melakukan perjalanan. Hehehe.

Yang menarik dari makanan yang saya santap mungkin cuma pisangnya. Daging buah si pisang berwarna kuning! Bukan sekedar kekuningan lho. Saking penasarannya saya sampai memakan buah tersebut sebanyak 3 buah, entah penasaran atau entah lapar kali ya. Bisa jadi sich, sayanya juga yang agak-agak kampungan karena bisa jadi pisang begini ada di daerah lain. Kalau pisang di Jakarta yang cavendish atau sunpride atau bahkan pisang susu kan warnanya putih kekuningan ya.Jadi inget sama durian merah atau buah-buahan yang umum kita kenal tapi warnanya ajaib. Rasanya? Sama saja sich seperti pisang pada umumnya hanya saja agak keset dan terasa lebih banyak getahnya.

Sunday, September 15, 2013

Sisa-sisa Kejayaan Parapat

Sudah pernah berkunjung ke Danau Toba? Pastinya pernah donk ke Parapat? Kalaupun nggak pernah, setidaknya mungkin pernah setidaknya 'tahu' kali yach? Kenapa Parapat selalu diidentikkan dengan Danau Toba, nggak lain dan nggak bukan adalah karena kota ini terletak di tepi pantai danau tersebut. Dalam sejumlah paket-paket perjalanan wisata yang 'standar', Parapat pasti masuk dalam rute perjalanan kunjungan sebelum menyebrang menuju Tomok. Selain Parapat, gerbang perkenalan wisatawan dengan Danau Toba lainnya yang terkenal mungkin hanya Tongging. Sayang, tidak banyak arus transportasi pilihan dari Tongging menuju Samosir. Pilihan utama penyebrangan wisatawan memang di Parapat dan Ajibata (sebelah Parapat persis). Pangururan? Kayaknya bisa dihitung dengan jari dech wisatawan yang memasuki Samosir dari kota ini.

Nah, Parapat yang terkenal di kalangan turis adalah sebuah area kecil yang memang dikhususkan untuk para wisatawan. Disana terdapat deretan hotel-hotel kecil hingga besar, rumah makan, dan segala macam infrastruktur maupun sarana penunjang kehidupan turis. Sejatinya, Parapat adalah sebuah kota yang lebih luas daripada sekedar area konsentrasi turis saja. Sejumlah fasilitas 'besar' penunjang turis dan kehidupan warga kota ini justru terletak di area luar wilayah konsentrasi turis tersebut. Sebut saja theatre (ini mengejutkan lho, fasilitas theatre itu umumnya terletak di kota yang umurnya sudah cukup mumpuni, dan di masa lalunya memiliki masyarakat yang kebiasaannya menonton pertunjukkan atau mencari hiburan) dan sejumlah rumah makan serta travel agent. Saya jadi bisa membayangkan, seperti apa sich ramainya Kota Parapat pada era 1970 atau 1980an ini.

Sayangnya, pariwisata Danau Toba sedang lesu dalam beberapa tahun atau dekade ini. Ini sebabnya Pemkab gabungan sejumlah kabupaten yang berada di sekeliling Danau Toba (Karo, Simalungun, Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan, serta Dairi) dibantu dengan pemprov Sumatera Utara menggelar Festival Danau Toba yang baru saja berakhir awal September ini. Tujuannya, ya untuk meramaikan dan menghidupkan kembali pariwisata Danau Toba yang terpuruk beberapa dekade belakangan ini.

Parapat yang saya lihat di siang itu adalah Parapat yang sepi. Walaupun secara umum jalur utama Sumatera Utara dari Medan menuju Sibolga tersebut ramai, namun bangunan yang tampak sebagian besar adalah bangunan kejayaan masa lalu. Hampir tidak ada bangunan baru yang signifikan tampak di jalur tersebut. Yang paling mencolok mungkin hanya papan atau neon reklame yang disponsori perusahaan rokok yang tergolong baru. Papan nama kios usaha atau jasa pada umumnya masih warisan lama dengan cat dan permukaan yang pudar disana-sini. Balkon di tepi jalur Tiga Dolok-Parapat yang memungkinkan pengunjung bisa menikmati jagung bakar dan minuman sambil melihat Danau Toba dari tepian pun sepi. Entah apakah baru ramai menjelang malam, saya nggak tahu yach. Walau demikian, kafe balkon itu rata-rata berukuran besar dan banyak lho, bertebaran hingga ke atas. Bisa jadi, di masa yang lalu kafe-kafe ini penuh sesak dipadati pengunjung yang terpukau oleh romantismenya Danau Toba. Saya membayangkan pula, kabut menggantung mesra di atas permukaan air, membuat suasana menjadi semakin lomantit. Ihik.

Kini, Parapat yang terletak di wilayah Girsang Sipangan Bolon wujudnya menyerupai kota transit. Pusat destinasi turis selain Danau Toba tentu saja Desa Tomok dan Desa Ambarita yang terletak di sisi seberang, yakni Pulau Samosir. Turis yang memiliki waktu panjang, nampaknya akan lebih menyukai romantismenya Tuk-Tuk Siadong dibanding Parapat. Parapat lebih cocok untuk turis yang memiliki tidak banyak waktu sehingga harus tinggal di sisi Parapat. Kelebihan lain Parapat dibanding Samosir tentu saja infrastruktur yang lebih memadai, baik dalam hal transport maupun jasa. Turis asing yang bersama saya dalam satu mobil, memutuskan turun di Parapat untuk mengurus perjalanan berikutnya melalui sejumlah travel agent yang banyak bertebaran di jalan raya tersebut. Hal ini lebih sukar dilakukan apabila turis tersebut berada di sisi Samosir.


Ketika anda berkunjung ke Parapat, terutama untuk anda yang memiliki waktu panjang, cobalah untuk tidak terburu-buru menyebrang ke Danau Toba. Nikmatilah sejenak kehidupan Parapat dan arsitektur kolonial yang dimilikinya yang merupakan warisan jaman Belanda. Mungkin nggak banyak yang tahu, di Parapat ini juga ada rumah pengasingan Bung Karno lho. Walaupun sudah tidak terlalu asli lantaran banyak bagian bangunan dan furnitur yang terlah diganti, namun ini bisa menjadi destinasi wisata saat berkunjung ke Parapat. Penasaran juga donk dengan Parapat Theatre yang menjulang tinggi? Jangan lupa, sempatkan pula mencicipi jagung bakar dan minuman jahe di tepi Danau Toba saat matahari terbenam. Wuih, dengan merogoh kocek nggak terlalu dalam, anda bisa menikmati romantismenya Danau Toba di kala senja. Sayang, ramainya Parapat saat ini mungkin telah memudarkan romantisme dan sejuknya tempat ini. Beberapa dekade lampau, saya membayangkan pemandangan di tepi Parapat mungkin serupa dengan pemandangan di tepi Loyang Koro di tepi Danau Laut Tawar. Walaupun demikian, sekali lagi, bukan alasan bagi anda untuk tidak mengunjungi kota ini, bukan?


Dengan melihat gazebo yang dibangung Semen Padang ini, anda sudah hampir tiba di Parapat

Porsea, Tepi Danau Toba Tanpa Pemandangan Danau

Kalau berbicara mengenai Porsea, saya pasti teringat akan tiga hal. Pertama, Porseni, Pekan Olah Raga dan Seni. Hehehe. Walaupun nggak nyambung, namun kedua kata ini entah kenapa kayak bersaudara. Yang kedua, waktu dahulu bekerja sebagai sales alat komputer, saya pernah mendapat pesanan dari Kota Porsea. Saya sampai buka peta untuk mencari-cari, dimanakah Porsea berada. Setelah tahu dimana Porsea berada, saya baru menghitung ongkos pengiriman per kilo dan ternyata pembelinya tidak jadi membeli lantaran ongkos kirimnya kemahalan. Sebagai gambaran saja, apabila sekilo paket harganya Rp 40,000, maka satu box CPU rata-rata bisa mencapai 10 Kg lengkap dengan kardusnya. Bisa dihitung donk berapa harga pengirimannya? Yang terakhir, ada satu Toko Porsea Indah (kalau nggak salah ya) di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan yang menjual aneka macam makanan dan minuman ringan secara grosir. Bukan tanpa alasan donk toko tersebut dinamakan Porsea Indah? Pemiliknya pasti berasal dari Porsea (maksa, apalagi nggak pakai validasi terlebih dahulu).
Akhirnya, di satu sore yang super cerah dari Sibolga ke Siantar, saya melewati kota ini. Kota Porsea dari Tarutung berada persis setelah Balige, Laguboti, dan Sigumpar. Bentuknya, walaupun tidak se'kota' Balige, namun Porsea adalah kota yang maju dan ramai. Hal ini terlihat dari ramainya toko-toko dan pasar yang saya lalui di jalan raya utama Parapat - Balige. Toko-toko tersebut menjual berbagai produk makanan, minuman, aneka jasa, apotik, elektronik, bank, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Harusnya, apa yang dicari bisa diketemukan dengan mudah di Porsea ya. Toko-toko tersebut, masih bernuansa Sumatera, lengkap dengan pintu kayu yang memang menjadi ciri khas rumah di wilayah Sumatera. Harusnya sich, karena terletak di tepian Danau Toba, Porsea seharusnya sejuuk atau bahkan dingin pada malam hari ya. Namun, karena saya lewat kota tersebut pada siang hari, maka nggak kerasa hawa dinginnya sama sekali.
Di luar dari areal pasar, Porsea nampaknya masih memiliki bentangan lahan yang cukup luas berupa sawah dan diselingi beberapa unit makam khas Batak yang megah dan dekoratif. Mungkin karena sebagian besar terletak di dataran tinggi, maka wilayah Porsea cukup datar dan tidak memiliki kontur naik turun (oleh karena itu cocok digunakan sebagai areal persawahan yang luas). Wajah Porsea bisa dilihat di blog ini. Harap sabar untuk yang melewati pasar ya. Ramainya angkutan umum seringkali membuat lambat perjalanan walaupun kemacetannya sama sekali bukan apa-apa apabila dibandingkan dengan Jakarta. Jalan raya utama kota ini adalah jalan negara yang menghubungkan Medan hingga Sibolga, maka nggak heran pusat keramaian kota ini juga terletak di jalur utama ini. Pada situasi lancar, Porsea bisa habis ditempuh dalam kurun waktu 30 menit saja.