Thursday, December 31, 2009

Jembatan Merah Yang Historis

Jembatan Merah identik dengan Surabaya. Tapi, dimana tepatnya lokasi jembatan ini? Kalau kita sering lihat acara dokumentasi perjalanan atau liputan jalan-jalan, jembatan merah ini menjadi ikon dimana penyiar atau peliput berada. Jadi, dimana lokasi jembatan merah ini?
Jembatan merah ini berada di Surabaya Utara, wilayah yang pada waktu itu menjadi cikal bakal pembentukan kota Surabaya tua. Pada jaman kolonialisme dahulu, banyak kota-kota di pesisir terbangun dari wilayah utara baru kemudian menyebar ke bawah, ke arah selatan. Jakarta dan Semarang adalah contoh lain dari kasus ini. Nah, di bagian Surabaya yang ini, mata anda akan terpuaskan oleh banyaknya bangunan tua bergaya kolonialisme yang menyebar di berbagai titik kemanapun anda memandang. Sedikit banyak, gaya kolonialisme ini berpadu dengan gaya pecinan karena di ujung jembatan merah ini terdapat kya-kya (yang artinya jalan-jalan).
Jembatan ini memang secara fisik warnanya merah. Di jembatan inilah terjadi peristiwa sejarah tewasnya Brig. Jend. Mallaby (sekutu) pada tanggal 30 Oktober 2009. Peristiwa ini memicu dikeluarkannya ultimatum dari sekutu pada 9 November 1945 agar Indonesia meletakkan senjata selambat-lambatnya pada 10 November 1945. Tidak mau meletakkan senjatanya dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan, akhirnya Surabaya digempur habis-habisan oleh sekutu. Tahu donk, 10 November tuh hari apa? Hari Pahlawan! Karena perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya dalam melawan sekutu dan penjajah, maka 10 November 1945 dinobatkan menjadi Hari Pahlawan. Pada tanggal ini juga terjadi perobekan warna biru dari bendera merah putih biru di Hotel Yamato (Hotel Oranje) di Tunjungan. Merahnya jembatan ini bukan karena darah para pejuang yang gugur di wilayah ini. Jembatan ini dahulunya sudah berwarna merah semenjak jaman kerajaan Mataram. Kini, jembatan yang dahulunya kayu tersebut telah diubah pinggirannya menjadi besi pada tahun 1980 dengan tetap mempertahankan warna merahnya.
Wilayah ini memang dikenal sebagai kota lama-nya Surabaya. Jalan utama yang membelah wilayah ini adalah Jalan Rajawali. Nah, di ujung jalan Rajawali terdapat Jembatan Merah yang langsung terhubung dengan Kya-Kya, kawasan pecinan kota lama. Tepat di sisi utara Jembatan Merah terdapat Jembatan Merah Plaza, sejenis pusat perbelanjaan dan monument Jembatan Merah dengan bentuk seperti kobaran api berwarna merah. Wilayah sekitar Jembatan Merah ini sangat ramai dan agak berantakan. Tukang becak dan angkot banyak mendominasi wilayah ini. Mendekati jembatan merah, keramaian semakin menjadi-jadi. Hamper setiap langkah saya selalu ditawari oleh bapak becak yang menawarkan jasanya. Kalau bicara jujur, jembatan ini tidak terlalu istimewa kecuali berkat kehadiran plaza dan Monumen Jembatan Merah. Sudah cukup rasanya bisa melintas di atas jembatan ini. Sayangnya, saya banyak menerima nasehat agar banyak berhati-hati di sekitar jembatan ini. Cukup banyak pencopet dan tindak kejahatan yang terjadi di sekitar wilayah ini. Berhati-hati adalah nasehat yang bijak untuk diberikan.

Wednesday, December 30, 2009

Sisa-Sisa Dari Penjara Kalisosok Yang Menyeramkan

Dalam perjalanan saya menuju House of Sampoerna di Surabaya Utara, saya menjumpai satu area besar bertembok tinggi dengan sejumlah menara pengawas plus cat tembok kreatif dan warna-warni. “Ini adalah penjara Kalisosok yang sudah tidak digunakan lagi” begitu terang Cak pengayuh becak yang saya tumpangi. Kalisosok, rasanya saya pernah mendengar nama itu….
Kalisosok adalah sebuah daerah di Surabaya Utara, dekat dengan Kembang Jepun dan Rajawali. Di Kalisosok ini, berdiri sebuah penjara tua dari jaman penjajahan Belanda yang kerap digunakan untuk menyiksa para pejuang kemerdekaan Indonesia. Dahulu, Kalisosok terkenal dengan keangkeran dan seramnya tempat ini. Saat ini, selepas masa kemerdekaan Indonesia, penjara tersebut sudah mulai memudar pamornya. Kalisosok banyak menampung para narapidana politik dan kelas berat, terutama jika dikaitkan dengan situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 1960-1970-an yang sedang panas-panasnya. Saat ini, Kalisosok sudah tidak digunakan lagi sebagai lembaga pemasyarakatan. Begitu informasi sekilas yang saya tahu dan saya dapatkan dari berbagai sumber.
Kalisosok sudah banyak berubah saat ini. Dulu, setiap saya mendengar nama Kalisosok, ingatan saya pasti tertuju ke penjara seram tempat menampung para penjahat ganas. Sekarang, areal luas itu sudah tidak begitu terawat (tampak dari menara pengawas yang sudah berdebu dan terbengkalai). Satu-satunya bagian yang paling terawat adalah dinding luar eks-penjara tersebut yang dicat oleh para seniman kota. Dinding tersebut dicat dan digambari dengan suasana kota yang ramah dan menyenangkan, sangat jauh dari kesan menyeramkan. Konon, menurut informasi yang saya terima, eks-penjara ini mau dijadikan kompleks perhotelan. Entah betul atau tidak. Dinding-dinding yang digambar dan dicat warna warni tersebut memang sangat mencolok dan bisa menjadi objek foto-foto yang sangat panjang karena hampir dari jalan masuk Kalisosok hingga ke arah dalam, hampir dekat dengan House of Sampoerna, dinding tersebut dicat semua bagiannya. Jalanan yang sepi membuat saya nekad berjalan kaki dari House of Sampoerna hingga ke depan, ke Jalan Rajawali. Apabila di bagian kiri, pemandangan yang tersaji berupa dinding Kalisosok yang sudah dicat warna-warni, maka di sebelah kanan adalah rumah-rumah bergaya kuno berdiri dengan kontrasnya. Warna-warni modern dinding luar penjara menjadi begitu kontras dengan warna putih dan oranye kecoklatan bangunan-bangunan tua tersebut. Di satu titik sebelum penjara, saya bahkan menemukan Bioskop Kalisosok yang sudah terbengkalai sama sekali. Cat-cat yang mengelupas, dinding berjamur, tiang spanduk film yang hanya tersisa tiangnya saja menandakan tempat ini sudah ditinggal cukup lama. Mungkin juga sekeliling tempat ini dulunya sangat menyeramkan sehingga pembangunan tidak berjalan terlalu drastis di tempat ini. Siapa tahu?

Tuesday, December 29, 2009

House Of Sampoerna, Museum Sejarah Rokok Sampoerna

Tujuan utama saya datang ke Surabaya Utara adalah rumah ini. Perjalanan pun nggak bisa dibilang dekat. Untuk jarak dari Gubeng, argo taksi menunjukkan harga Rp. 30.000 untuk sampai pada wilayah ini. Menariknya, perjalanan saya dari Gubeng menuju Surabaya Utara banyak ditemani oleh pemandangan objek-objek menarik. Salah duanya adalah Tugu Pahlawan dan Museum 10 November yang bentuknya kotak-kotak berteralis.
Memasuki Jalan Rajawali, saya sudah bisa melihat banyak bangunan tua bertebaran di kanan dan kiri jalan. Salah satu hotel yang cukup terkenal di jalan ini adalah Ibis Rajawali, hotel yang menggunakan bangunan lama. Namun sebelum sampai ke Ibis Rajawali dan Jembatan Merah, taksi yang saya tumpangi berbelok ke arah kiri. Saya berjumpa dengan dinding-dinding tinggi bercat warna-warni bermenara pengawas. Saya melihat eks-Penjara Kalisosok untuk pertama kalinya! Setelah beberapa kali belokan, akhirnya saya sampai di House of Sampoerna atau HoS, ikon pariwisata utama di Surabaya bagian utara.
Sejatinya, rumah ini adalah pabrik rokok kretek merek Sampoerna yang masih beroperasi hingga saat ini. Puluhan tukang becak setia menunggu di depan rumah ini, menunggu para pekerja yang akan pulang dengan menggunakan jasa mereka. Oh yah, untuk wilayah utara ini, becak masih bebas beroperasi. Jadi, nggak heran, dimanapun kita berada akan melihat becak dan tentu saja, ditawari jasa oleh bapak-bapak tersebut.
Kompleks House of Sampoerna terdiri atas beberapa bangunan. Bangunan utama yang akan saya tuju adalah sebuah museum sejarah perkembangan rokok kretek merek Sampoerna di Indonesia. Bangunan yang mengapit di sisi kanannya adalah A Café dan galeri seni lukis. Bangunan paling ujung adalah pos keamanan. Menariknya, semua bangunan ini merupakan bangunan lama yang berdiri semenjak tahun 1858 (kurang lebih). Pada pos satpamnya sendiri tertulis angka romawi kuno : MDCCCLVIII. Silahkan anda terjemahkan sendiri, angka tersebut menunjukkan apa. Kalau bangunan utamanya, angka yang tertulis adalah 1932 Anno Domini. Sementara itu, galeri seni lukis dan A Café sendiri sedikit banyak merupakan campuran antara arsitektur Belanda dan Jawa. Mungkin waktu pembangunan tiap bangunan berbeda-beda kali yach? Sayangnya, saya nggak masuk ke A Café dan Galeri-nya karena keterbatasan waktu. Akhirnya, saya hanya sempat mengeksplorasi bangunan utamanya saja yang berfungsi sebagai museum utama saja. Yuk, ikut saya melihat-lihat ke bagian dalam!
Museum House of Sampoerna terletak di bangunan utama kompleks ini. Bangunan utamanya terlihat cukup jelas karena paling besar dan paling megah dibanding bangunan lainnya. Pilar-pilar besar dengan cap 234 di setiap pucuknya secara gamblang menggambarkan bangunan ini adalah bangunan Sampoerna. Tak hanya itu, di bagian pucuk bangunan terdapat nama Liem Seeng Tee, Bapak pendiri Grup Sampoerna. Di atasnya lagi terdapat tulisan dalam bahasa Belanda : N.V. Handel. MIJ Sampoerna Sigaretten Fabriek (bisa nebak lah yach artinya apa? Kurang lebih “Perusahaan Dagang Sampoerna, Pabrik Rokok”). Tak lupa, lambang tiga telapak tangan yang menunjuk dengan berpusat pada satu poros banyak tersebar di berbagai sudut bangunan ini. Museum ini buka setiap hari mulai pukul 9 pagi hingga pukul 10 malam. Yang paling menarik dari semuanya, kunjungan ke museum ini gratis. Yak, anda tidak salah dengar. Gratis, tis, tis! Mau bolak balik 10x sehari juga gak masalah. Apakah dengan gratisnya tiket masuk lalu kondisi di dalamnya menyedihkan? Mari, kita masuki pintu besar yang berkaca patri ini.
Pertamanya, saya agak ragu juga. Katanya buka, koq pintunya tertutup sich? Namun gak lama kemudian ada sekelompok remaja yang masuk dengan cuek dan mendorong pintu besar tersebut begitu saja. Ooo…ternyata, hanya masuk saja, tidak perlu melakukan apapun. Ketika masuk pertama kali, kita akan disambut oleh dua orang pegawai museum Sampoerna (masih muda-muda) dengan senyum. Kolam air mancur kecil berisi sejumlah ikan koi tepat berada di tengah ruangan. Bangunan ini terbagi menjadi beberapa bagian. Hampir semuanya memang diperuntukkan untuk ruang pameran, namun bagian pertama ini (kalau saya simpulkan) kayaknya lebih cenderung ke arah pengenalan kepada siapa pribadi Liem Seeng Tee dan istrinya Siem Tjiang Nio. Di bagian ini terdapat peninggalan-peninggalan mereka seperti koleksi kebaya, keramik hingga warung pertama mereka. Masa-masa kedatangan Liem Seeng Tee dari Cina daratan menuju Asia Tenggara hingga berkarya di Surabaya dijabarkan di bagian ini.
Bagian kedua, agak masuk ke dalam, adalah ketika usaha yang mereka rintis mulai berkembang. Disini, terdapat sejumlah foto-foto anak dan kemenakan yang mereka percayai untuk mengelola perusahaan ini, lukisan dan sejumlah lemari besi tua. Pada bagian ini terdapat sebuah toilet unik (saking bagusnya) yang didekorasi dengan baik, terutama wallpaper toilet yang bercorak bungkus rokok Sampoerna. Toilet yang seperti ini yang membuat saya betah berlama-lama di toilet. Tentunya untuk foto-foto donk!
Bagian ketiga, adalah ketika usaha yang mereka rintis sudah sangat berhasil dan sudah besar. Di bagian ini, terdapat sejumlah karya bakti mereka kepada masyarakat seperti peralatan marching bands, warung rokok modern dan peta pendudukan bisnis Sampoerna dari Sabang hingga Merauke. Selain sejarah keluarga Sampoerna, di setiap bagian juga diletakkan mesin-mesin yang banyak digunakan untuk pemrosesan produk rokok, mulai dari mesin pengeringan, mesin pengepakan, percetakan kertas bungkus, laboratorium mini dan banyak lainnya. Suasana museum yang remang-remang dan agak sedikit berbau tembakau sedikit banyak membuat saya betah di tempat ini. Museum ini memang terkelola dengan baik dan bersih tentunya. Walaupun gratis, hal-hal yang ditampilkan dalam museum ini bukan ala kadarnya saja. Oh yah, anda boleh berfoto (kalau nggak yakin tanyakan dahulu) di seluruh wilayah museum lantai 1 saja. Anda boleh berfoto produk-produk mereka, peralatan, koleksi sejarah, foto maupun lukisan yang ada di dalam museum. Namun demikian, mereka melarang anda untuk berfoto di lantai 2. ada apa di lantai 2?
Saya mencoba naik ke lantai 2 dan tercengang menemukan pabrik pelintingan rokok tepat di depan mata saya. Pada bagian ini, ada sebuah kaca yang memisahkan saya dengan tempat para pekerja tersebut melinting rokok. Sayang, saya datang ketika para pekerja tersebut sudah pulang. Apabila mereka masih melinting, anda bisa melihat proses pekerjaan mereka melinting rokok. Jumlah alat lintingannya sendiri ada banyak sekali. Mungkin ratusan jumlahnya. Pastinya mengasyikkan melihat mereka melinting rokok. Sayang, kamera dilarang di bagian ini. Tentu ada sebabnya kali yach?
Selain atraksi melinting rokok, pada bagian ini juga terdapat sebuah stand penjualan produk-produk dari A store seperti kaos, tas, dan macam-macam lainnya. Harga jual di tempat ini sama saja seperti A store manapun yang anda jumpai di mall-mall. Perbedaannya, hanya mungkin pada koleksi di tempat ini yang lebih lengkap. Kalau sudah selesai, silahkan tinggalkan pesan dan kesan anda di buku tamu yang tersedia. Saya nggak mau ketinggalan donk untuk meninggalkan kesan-kesan saya akan tempat ini. Hehe..
Ini adalah salah satu museum ‘menarik’ yang terkelola dengan baik di Indonesia. Walaupun mengusung karya pribadi, namun menurut saya, museum ini penting karena mampu memperkenalkan kepada generasi muda akan sejarah rokok kretek di Surabaya dengan merek Sampoerna. Walau demikian, saya tetap anti rokok loch! Walaupun bau tembakau cukup menyenangkan (baunya sangat santer di dalam gedung) dan House of Sampoerna menjadi kunjungan wajib saat anda ke Surabaya, sebaiknya anda menjauh dari barang haram ini. Tidak ada bagus-bagusnya dilihat dari sisi manapun bagi kesehatan.
Oh yah, kalau anda lapar, anda boleh coba makan di A Café walaupun menurut saya menu makanan di tempat ini agak up-priced (setara dengan makanan mall-lah). Menu yang tersaji di tempat ini antara lain produk-produk makanan eropa seperti sosis, burger, sandwich, dan jenis kentang-kentangan dan pasta.

Monday, December 28, 2009

Makan Di Selasar Pitoe Galaxy Mall Surabaya

Awalnya saya sudah menyerah. Nggak mungkin lah ada tempat makan yang ramah di kantung saya di tempat seperti ini. Sudah memutari hampir seluruh bagian Galaxy Mall dan tidak melihat adanya satupun restoran atau tempat makan, bahkan di foodcourt sekalipun yang murah meriah. Sudahlah, makan siangnya di luar saja. Jangan buang-buang uang disini, begitu pikir saya.Nggak salah juga sich, mulai dari restoran-restoran mahal yang terdapat di bundaran utama, hingga food court, tidak ada satupun yang menarik minat dan menggugah selera saya. Apalagi food court, makanannya terlihat biasa saja untuk saya namun dengan harga yang mencengangkan. Buru-buru saya melenggang keluar dari tempat ini. Pendapat tersebut langsung berubah ketika saya melihat ada sebuah restoran yang terletak menggantung di atas balkon, tepat di deretan lorong restoran The Dining Town. Restoran tersebut mengusung gaya Jawa namun sepi. Nggak papa dech, yuk, mari kita coba lihat saja.
Saya harus berjalan mencari elevator lagi untuk bisa naik ke balkon nanggung tersebut. Restoran tersebut berada di ujung. Kalau nggak jadi gimana nich? Tengsin nggak yach kalau balik lagi? Hehehe…tapi keingintahuan saya lebih besar daripada rasa malu saya. Cuek aja ah, pikir saya. Restoran tersebut bernama Selasar Pitoe dengan arsitektur Jawa campuran yang cukup kental. Interiornya bagus menurut saya. Terus terang, ini sudah bikin saya jiper duluan dan sudah nggak minat lagi untuk melihat daftar menu. Beberapa sangkar burung dari rotan tergantung di langit-langit walaupun tanpa burung. Payung-payung kertas tergantung di langit-langit berpadu dengan kipas tangan besar tertempel di dinding. Piring-piring keramik ditanamkan ke tembok membuat interior menjadi sedikit banyak bercampur dengan Cina keturunan. Lampu kuno dan lukisan-lukisan tua terpajang di pilar-pilar utama membuat suasana Jawa Kuno semakin mengental di tempat ini. Tidak lupa, kerai bambu dan pinggiran atap khas Joglo membingkai tempat ini. Satu lagi, kursi yang digunakan bukan sekedar kursi plastik murah tapi kursi kayu hitam dengan ukiran yang mengingatkan saya akan kebudayaan Jawa Pesisiran. Gimana nggak jiper sama interior kayak gini? Pasti mahal dech...hiks...saya menatap dompet saya dengan sendu.
Kejutan terjadi waktu saya mengintip buku menu yang terpajang di pintu masuk Waroeng Selasar Pitoe ini. JRENG! Loch? Koq...Harga makanannya ramah di kantong saya yach? Sekilas, beberapa produk makanan yang saya lihat hanya berharga Rp. 10.000an saja. Aneka minuman pun berada di bawah harga Rp. 10.000. makanan utama yang tersaji di tempat ini sudah tentu makanan Indonesia dengan keistimewaan masakan Jawa tentunya. Lebih spesifik lagi, mayoritas makanan di tempat ini adalah makanan khas Jawa Timur. Tiba-tiba, dengan sangat herannya, perut berteriak-teriak minta diisi dan kaki pun menurut, memasuki restoran ini. Aneka kejutan datang silih berganti di tempat ini. Ketika kami masuk, seorang Mas berpakaian seragam yang bagus dan rapih dan tetap bercorak Jawa datang menghampiri kami dan mempersilahkan kami duduk. Berhubung masih pagi, kami satu-satunya pengunjung di restoran ini. Untuk ukuran makanan dengan harga yang cukup terjangkau. Sepintas, kualitas pelayanan di tempat ini mendekati sempurna. Sempurna! Mas yang tadi mempersilahkan kami duduk bersiap mencatat pesanan kami. Banyak menu-menu aneh dan menarik yang ada di buku menu. Tentu, ini nggak disia-siakan oleh saya untuk mempelajari banyak jenis makanan khas Jawa Timur. Saya pun bertanya tentang aneka jenis makanan yang ada di buku menu dan Mas tersebut mampu menjawab berbagai pertanyaan saya, tetap dengan senyum! Sempurna sekali lagi! Product knowledge Mas ini sangat bagus. Ia bisa menjelaskan dengan detail menu yang terpampang di buku menu, mulai dari kandungannya hingga kemungkinan cita rasanya. Mas tersebut juga pandai menyarankan kami untuk memilih menu-menu favorit di restoran ini. Untuk makan siang saya memesan nasi tahu telur yang menjadi khas Jawa Timur, tahu pong, dan es mangga. Teman saya memesan es kacang dan nasi tahu telur juga. Untuk makanan pembuka dan pembangkit selera, saya memesan bakwan jagung. Kalau melihat menu-menu yang ada, ditambah dengan murahnya harga dan perut yang sedang menari Ludruk sambil bernyanyi Tanduk Madjeng, rasanya saya ingin memesan semua makanan di buku menu ini. Hehehe…
Sambil menunggu, tentu kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk berfoto dan mengamati sekeliling. Ternyata, di atas meja yang saya tempati, ada sejumlah makanan kecil dalam keranjang yang bisa menjadi makanan pembuka sebelum menyantap hidangan utama. Makanan pembuka tersebut antara lain berupa aneka keripik dan kerupuk. Sambil nunggu, boleh banget nich nyobain kerupuk-keripik mini yang ada. Bagusnya lagi, makanan yang saya pesan tidak menunggu lama. Mereka cukup pintar untuk menyajikan bakwan jagung dan tahu pong di awal sebelum berlanjut pada makanan berat. Bakwan jagungnya memang sedikit terlihat ‘hitam’ tapi rasanya enak. Saya sendiri belum pernah makan tahu pong tapi saya jadi tahu bahwa tahu pong ternyata tidak berasa apapun sama sekali. Tahu pong disajikan dengan sambal berwarna coklat kehitaman yang rasanya cenderung manis. Tahu pong enak dimakan saat hangat-hangat.
Akhirnya, makanan utama yang saya tunggu datang! Saya sudah penasaran ingin mencoba tahu telor yang asli dimasak di Surabaya, tanah asal makanan ini, bukan yang dimasak di Jakarta atau kota lainnya. Aslinya, tahu telor sendiri cukup digado tanpa disertai nasi. Namun, karena ingin emndapatkan kepuasan lebih, saya memesan nasi yang dipadu dengan tahu telor. Oh yach, tahu telor sendiri adalah tahu yang digoreng bersama dengan telur yang dikocok lepas, kemudian diberi bumbu kacang dan ditaburi tauge yang banyak setelah itu ditimbun dengan kerupuk merah. Buat saya, bagian paling enak dari tahu telor adalah bumbunya! Menurut saya juga, tahu telor di Selasar Pitoe ini enak! Wajib coba. Hehehe…
Minuman sekaligus sebagai makanan pencuci mulut saya adalah es mangga. Baru kali ini saya meminum minuman yang segar dan enak seperti ini. Jadi, potongan mangga disusun dalam gelas, diberi sirup manis bening dan es. Rasa dan bau mangganya sangat segar dan manis. Pas banget diminum di kala siang hari bolong yang panas. Duh, saya rindu es mangga ini jadinya…
Berhubung tadinya saya sudah melihat buku menu terlebih dahulu, saya jadi punya perkiraan. Berapa kira-kira harga yang harus saya bayar untuk makan disini. Untuk berdua, saya kurang lebih menghabiskan Rp. 60.000an saja. Cukup murah yach dibandingkan dengan kepuasan yang kita dapat dengan memesan aneka jenis makanan dan minuman. Sampai saat-saat terakhir pun, pegawai Waroeng Selasar Pitoe ini tetap ramah dan supel. Mereka bisa diajak ngobrol untuk ditanya-tanya tentang restoran ini atau makanan yang terhidang. Pada saat kunjungan, kartu HSBC sedang mengadakan promosi 25% setiap pembelanjaan minimal Rp. 150.000. buset, ngasih makan berapa orang tuh yach sampai habis Rp. 150.000? makan sampai kenyang dan puas saja hanya sekitar RP. 30.000 per orang disini.
Seusai makan siang, saya menyempatkan diri untuk berfoto-foto di depan warung ini. Ada sebuah patung petruk yang membawakan buku menu berada tepat di depan restoran ini. Yang menariknya lagi, ada semacam whiteboard yang berisi foto-foto dan testimoni para artis dan figur publik yang menyempatkan diri untuk makan di Waroeng Selasar Pitoe ini. Nama-namanya nggak usah saya sebut kali yach, anda bisa memeriksanya sendiri kalau anda berkunjung ke Waroeng Selasar Pitoe di Galaxy Mall, Surabaya ini.

Saturday, December 26, 2009

Galaxy Mall Yang Jauh Banget

Wuih….mall ini letaknya jauh banget darimana-mana. Jauh dari pusat kota, jauh dari keramaian dech. Lokasinya malah di tengah-tengah perumahan. Walaupun ada berseliweran angkot, taksi yang melintasi wilayah ini, rasa-rasanya mall ini sangat tidak ramah pada pengunjung yang berkendaraan umum dech.
Galaxy Mall menjadi sejajar dengan Tunjungan Plaza IV dalam hal kelas pengunjung yang dianutnya. Dilihat sekilas dari tenant-tenant yang ada, sudah dapat dipastikan bahwa pengunjung mall ini adalah pengunjung dari kelas menengah ke atas. Sayangnya, pada saat kunjungan, sebagian sisi mall sedang mengalami pembangunan (atau renovasi?).
Sekeliling mall ini terasa gersang, terutama dengan adanya ‘hanya’ sejumlah pohon palem kecil saja yang ‘ditumbuhkan’ di sudut-sudut jalan raya dan sekeliling mall. Anda tahu Surabaya donk, jam 9 pagi saja rasanya sinar matahari sudah terasa menyengat kulit. Panas sekali berlama-lama menunggu di luar. Pohon-pohon kecil yang tumbuh sama sekali tidak bisa diperbantukan untuk mengurangi sengatan panas di kepala. Perlu perhatian serius dari pengelola mall (dan perumahan sekitar) untuk merimbunkan tempat ini tampaknya.
Isi dari mall ini tidak berbeda jauh dengan mall-mall kelas atas yang ada. Department store besar, Sogo membuka gerai besarnya disini. Sisanya, sebagian tempat di Galaxy Mall terisi oleh butik-butik mahal, hingga butik-butik sekelas ITC, restoran mahal hingga restoran ‘cukup’ murah meriah. Tidak ada yang spesial sekali di mall ini yang membuatnya berbeda dari mall lainnya selain sebagai tempat anak-anak muda berkumpul dan bergaul. Yang cukup unik mungkin wilayah sekitar food courtnya yang semi terbuka dengan dipenuhi oleh rerimbunan pohon palem di sisi yang terbuka tersebut. Lumayan menyejukkan mata sich kalau saya bilang. Di area bawah, ada area tematik wonderland yang diisi dengan berbagai café dan restoran mulai dari yang mahal sampai yang ‘lumayan’ ramah di kantong.

Thursday, December 24, 2009

Patung Gubernur Suryo

Kalau anda berjalan kaki (atau naik kendaraan) dari arah Tunjungan Plaza ke Jalan Pemuda (Gubernur Suryo), pasti akan bertemu dengan patung yang besar ini di sisi kanan jalan, dikelilingi oleh rerimbunan taman. Inilah Patung Gubernur Suryo, gubernur Jawa Timur periode masa perebutan kemerdekaan dari tangan penjajah, gubernur yang memimpin serta memajukan Jawa Timur (buktinya, beliau sampai dibuatkan patungnya segala).
Kalau malam hari, patung ini akan berpendar kekuningan disinari cahaya lampu yang tersebar di sekitar taman. Taman ini cukup terang untuk dikunjungi, walau pada malam hari sekalipun. Pada siang hari, patung ini memandang lurus ke arah kediaman Gubernur Jawa Timur, berdiri tegak memandangi kendaraan yang padat berseliweran di Jalan Pemuda (Jalan Pemuda adalah jalan satu arah saja).
Lumayan banget ada taman ini, bisa berteduh di teriknya matahari Surabaya di siang bolong. Seperti yang saya jumpai pada pagi tersebut, sejumlah anak TK bermain dengan riangnya di pelataran yang agak rimbun, dekat dengan bagian bawah pedestal patung. Patung ini memang dikelilingi taman dengan bebungaan warna-warni dan pepohonan. Selain patung, di bagian taman ini banyak papan reklame unik yang berisi seruan seperti misalnya : “Jauhkan Anak-Anak Kita Dari Eksploitasi dan Kekerasan” dan sebagainya. Di bagian kaki fondasi patung, ada sejumlah air mancur kecil yang mengelilingi patung.
Patung Gubernur Suryo ini terbangun pada tahun 1979, tepat diresmikan pada hari Pahlawan, 10 November. Di bagian pedestal patung ini terdapat potongan pidato Pak Suryo yang berjuang membakar semangat pemuda kala itu untuk tidak takut kepada penjajah dan terus berjuang hingga penghabisan. Potongan pidatonya antara lain untuk tidak takut kepada pihak Inggris yang mengultimatum kita.
Sambil sejenak berfoto di patung ini, saya mengamati lokasi ini ternyata juga dijadikan sebagai tempat bermain bagi anak sekolahan, tentu, dengan didampingi oleh gurunya. Mungkin kegiatan makan siang di taman ini juga diperbolehkan kali yach asal tetap menjaga kebersihan.

Wednesday, December 23, 2009

Hotel Majapahit a.k.a Hotel Yamato a.k.a Hotel Oranje Tempat Peristiwa 10 November Terjadi

Tersebutlah di salah satu sudut jalan yang hampir sejajar dengan Tunjungan Plaza, plus sedikit tanya-tanya sana sini, akhirnya saya menemukan Hotel Majapahit. Kembali ke masa silam, Hotel ini dahulu pernah dikenal sebagai Hotel Oranje (Hotel Yamato) , hotel tempat para pejuang kemerdekaan naik ke puncak menara dan merobek warna biru dari bendera Belanda. Kalau anda ingat-ingat pelajaran sejarah pada saat sekolah dasar, anda mungkin teringat kembali akan peristiwa ini. Peristiwa ini terjadi karena Belanda yang nekad menaikkan bendera merah putih biru di hotel ini. Rakyat (pemuda) yang marah pada saat itu ramai-ramai turun ke jalan dan memanjat puncak menara hotel untuk merobek warna biru dari bendera Belanda. Sejak saat itu, bendera Indonesia, Sang Saka Dwi Warna Merah Putih terus berkibar di Bumi Indonesia hingga saat ini. Tulisan akan peristiwa tersebut terekam jelas dan terdeskripsikan dengan jelas di salah satu dinding hotel. Saya, yang memang tidak menginap di hotel ini dan hanya melewatinya saja menyempatkan diri untuk membaca kisah sejarah tersebut. Karena alasan tersebut, hotel tersebut merupakan benda cagar budaya yang bentuknya masih dipertahankan hingga saat ini. Padahal, kalau dilihat dari bangunan dan ukurannya, nuansa jadul dan ukuran yang kecil sangat membayang-bayangi hotel ini. Namun, tampaknya disitulah letak kelebihan dan keunggulan hotel ini. Nilai sejarah yang dikandungnya serta nuansa kolonialisme yang membuat hotel ini berbeda.
Hotel ini pernah terkenal dengan sebutan Hotel Mandarin Majapahit selama masih dipegang manajemennya oleh Mandarin Oriental grup. Sekarang, hotel ini bernama Hotel Majapahit saja. Nuansa jaman dahulu masih sangat terasa terlihat mulai dari eksterior bangunan, bentuk menara, lampu, serta tiang lampu taman yang banyak terdapat di halaman hotel. Hotel ini jelas merupakan salah satu objek wisata wajib kunjung saat anda bermain-main ke Surabaya. Hotel ini bisa dicapai dengan mudah kalau anda berjalan kaki dari arah Tunjungan. Namun, kalau anda menaiki kendaraan bermotor, anda perlu tahu bahwa jalanan di depan hotel ini adalah jalan satu arah. Artinya, anda harus memutar terlebih dahulu baru bisa mencapai jalana satu arah di depan hotel ini.Hingga kini, hotel ini kerap dijadikan simbol atau ikon Surabaya sebagai Kota Pahlawan selain lambang Sura dan Baya yang paling populer. Keberanian arek-arek Surabaya pada masa itu dalam mempertahankan kemerdekaan (19 September 1945) dan pidato pengobaran semangat Bung Tomo pada 10 Oktober secara tidak langsung menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan dengan puncak menara Hotel Majapahit ini dijadikan simbolnya.
Berikut adalah tulisan yang muncul di dinding Hotel Majapahit. Pada tanggal 19 September 1945…. Ketika melihat bendera merah-putih-biru berkibar kembali di Hotel Oranye (Yamato Hotel). Kemarahan rakyat dan pemuda-pemuda di Surabaya tidak tertahan lagi. Dengan serempak rakyat bergerak suasana menjadi panas,. Jalan Tunjungan menjadi lautan manusia yang bergelora….
Terjadilah….Insiden bendera, fajar permulaan meletusnya api revolusi, karena rakyat hanya menghendaki supaya Sang Dwi-Warna Merah-Putih saja yang berkibar di angkasa Indonesia. Sedang si tiga-warna harus turun….
Kemudian…berkibarlah Sang Dwi Warna hingga detik sekarang dan untuk seterusnya sebagai lambang kemegahan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia.
Potongan kalimat dalam prasasti batu di dinding luar hotel tersebut yang menarik turis untuk mengunjungi hotel ini, termasuk saya. Walaupun Hotel Majapahit adalah hotel yang cukup up-priced, namun ukurannya tidak terlalu lebar. Tentu, ini karena mempertahankan nilai sejarah yang dikandungnya. Kalau punya budget lebih, boleh dech cobain tidur di hotel yang sarat nilai historis ini.

Tuesday, December 22, 2009

Jalan - Jalan Di Surabaya Pada Pagi Hari

Hampir sama seperti malam hari, saya mau olahraga pagi di sekitar Surabaya. Jalan kaki dengan rute serupa adalah jawabannya! Hehehe…buat anda yang sudah mengetahui saya telah melakukan rute Tunjungan Plaza – Hotel Olympic pada malam hari lewat Jalan Pemuda, maka pagi ini saya akan melakukan rute Hotel Olympic – Tunjungan Plaza via Basuki Rachmat dan pulang kembali ke hotel via Jalan Pemuda. Tujuannya? Mencari objek-objek menarik di seputaran kecil kota dan olahraga ringan di pagi hari (jalan kaki juga olahraga sehat khan?) :D
Pagi hari tentu memberikan nuansa yang berbeda dibanding malam hari. Pagi hari sekitar pukul 7 ketika saya mengelilingi tempat ini, saya berjumpa dengan warga Surabaya yang ingin memulai aktifitas hariannya termasuk berangkat bekerja. Berbeda dengan Jalan Pemuda walaupun tidak berbeda jauh, Jalan Basuki Rachmat di Surabaya dipenuhi oleh kantor, hotel dan segala macam kebutuhan kunjungan turis pokoknya. Hotel-hotel besar berskala bintang tiga ke atas banyak berpusat di tempat ini. Sebut saja Hotel Bumi Surabaya, Hotel Cendana, Hotel Tunjungan dan Hotel Sheraton Surabaya. Selain hotel, banyak terdapat rumah makan dan restoran di tempat ini. Salah duanya adalah McDonald dan Dapur Desa. Tapi berhubung saya kepagian mencapai ruas jalan ini, banyak tempat belum buka. Baru menggeliat saja. Bahkan saya bertemu dengan pedagang tanaman di dalam gerobak yang menarik dagangannya menyusuri tepi trotoar. Pagi yang menarik.
Ada sebuah monumen yang terletak di tengah-tengah Jalan Basuki Rachmat yang menceritakan heroisme para pejuang jaman dahulu dalam merebut kemerdekaan. Monumen tersebut bernama Monumen Merdeka Atau Mati. Ada cerita di balik monumen ini yang tertulis dalam bahasa lama ejaan Soewandi (tertanggal 10 Nopember 1970). Dahulu bahwasanya jalan ini merupakan Jalan Kaliasin (sekarang berubah menjadi Basuki Rachmat) yang menjadi markas-markas pertempuran arek-arek Surobojo dalam menghadapi kaum pendjadjah pada 17 Agustus dan 10 November 1945. Monumen ini hanya menempati sepetak kecil taman yang terletak di pertigaan jalan. Tapi cukup lah kalau mau berpose sebentar di taman ini.
Ada lagi sebuah monumen yang terletak di persimpangan Jalan Embong Malang dan Tunjungan. Monumen Pers Perjuangan Surabaya namanya. Monumen ini terletak di sudut jalan yang ramai. Sukar sekali untuk menyebrang di tempat ini walaupun ada zebra cross. Jarang kendaraan mau berhenti apabila melihat ada orang yang akan menyebrang. Monumen ini lebih menyerupai sebuah gedung daripada monumen. Batu monumen yang sesungguhnya terletak di dalam bangunan ini dan terlindung oleh kaca. Tepat di sisi bangunan ini, terdapat galeri Seiko. Gak heran, ada tulisan Seiko besar di pucuk bangunan plus jam analog yang tampaknya memang persembahan dari Seiko untuk monumen ini. Monumen Pers Perjuangan Surabaya ini kurang lebih menceritakan tentang perjuangan pers Surabaya dan pendirian kantor berita Antara pada masa perebutan kemerdekaan dari tangan penjajah. Sejumlah diorama yang dipahat pada sebuah batu tampak di sisi monumen ini. Bukan tempat yang terlalu bagus untuk berfoto dari dekat kalau menurut saya. Banyaknya kaca membuat hasil fotonya tidak bagus.
Berhubung Surabaya memang Kota Pahlawan, maka banyak sekali objek kepahlawanan yang bisa dijadikan tempat untuk belajar sejarah dan berfoto tentunya. Saya baru menemukan objek-objek ini pada jalur yang lalui sejauh 4 kilometer berjalan bolak-balik. Berjalan kaki pagi hari di Surabaya lebih menyenangkan daripada malam hari. Walaupun demikian, anda tetap harus menjaga kewaspadaan kapanpun. Tidak ada kecuali. Selain itu, matahari cepat menjadi terik di tempat ini padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 8 pagi. Segera, saya tidak dapat bertahan lama-lama panas-panasan dan segera berbalik menuju hotel agar tidak terpanggang. Hehehe…

Monday, December 21, 2009

Wee Biawak Di Malamnya Surabaya

Iseng ingin mencoba berjalan malam hari di Kota Surabaya, saya berjalan kaki dari Tunjungan Plaza ke Hotel Olympic. Cukup menyenangkan sebenarnya mengingat trotoar yang ada berukuran besar dan situasi masih ramai. Nah, dalam perjalanan pulang ini, saya menjumpai hal yang tidak biasa.
Di bundaran besar tugu bambu runcing yang mengeluarkan air, saya melalui jalur kiri menuju Hotel Olympic. Di tepian jalan dekat suatu bentuk bangunan tertentu yang menyerupai sisi bangunan kuno candi, ada seorang pedagang makanan beserta sepeda jualnya plus satu orang yang makan disana. Nama produk makanan ini sudah cukup menyita perhatian saya karena namanya yang unik. Pertama, saya berpikir bahwa saya salah baca karena di dekat tukang makanan tersebut, lampunya sedikit redup. Namun, ketika saya mendekat karena penasaran, saya membaca “Wee Biawak”. Apa itu?
Saya pun mendekat lagi dan iseng-iseng bertanya kepada Cak penjual makanan tersebut. Disana, ia terlihat sedang menguliti biawak (tampak hanya tinggal isi bagian dalam biawaknya saja) dan dipotong-potong di talenan. Ketika mendengar biawak, saya langsung membayangkan kadal pohon yang paling besar kira-kira seukuran telapak tangan. Namun, melihat biawak ini, saya mengaku kaget karena biawak yang dimaksud berukuran sepanjang lengan orang dewasa, bahkan lebih besar lagi, mirip dengan buaya kecil namun dalam perawakan kadal. Ajaib. Saya langsung penasaran, “Bapak nangkap atau beternak, Pak?”. Beliau menjawab bahwa ia menangkap biawak ini. Saya pun semakin heran karena tidak setiap hari saya bisa melihat biawak berukuran besar seperti itu. Melihat saja susah, bagaimana mau ditangkap yach? Dia bilang, ada tempat tertentu dimana dia biasa menangkap biawak. Dalam sehari dia bisa mendapatkan dua hingga tiga ekor biawak. Padahal saya berpikir, kalau susah menangkap, artinya dia belum tentu berjualan dan biawak ini pasti mahal harganya. Sekali lagi saya salah, seporsi Wee Biawak ini seharga Rp. 10.000 saja. Murah meriah ternyata. Wee yang dimaksud tampaknya sejenis Swie Kee. Daging biawak yang sudah dikuliti dan dibersihkan tersebut dipotong-potong untuk kemudian direbus dan diberi tambahan bumbu secukupnya saja. Cara memakan Wee ini adalah dengan nasi putih.
Saya sendiri tidak begitu tertarik dengan kuliner ekstrem. Maksudnya, selama masih ada makanan yang bisa dimakan dengan cara normal, kenapa harus memaksakan diri untuk memakan yang aneh-aneh? Hehehe…bukannya saya anti Wee Biawak loch. Untuk yang penasaran seperti apa Wee Biawak ini atau bahkan penasaran dengan rasanya, silahkan datang ke Surabaya di dekat Tugu Bambu Runcing pada malam hari. Coba deh iseng-iseng cari Cak penjual Wee Biawak ini. Niscaya dia ada disana menawarkan Wee-nya. Kalau enak, kasih tahu saya yach :)

Saturday, December 19, 2009

Jalan - Jalan Di Surabaya Pada Malam Hari

Penasaran akan Surabaya pada malam hari membawa saya pada petualangan setengah nekad : melintasi Surabaya pada malam hari dengan berjalan kaki dari Tunjungan Plaza ke Hotel Olympic. Jaraknya lumayan, antara Tunjungan Plaza dan Hotel Olympic tercatat sekitar 2 kilometer melewati Jalan Gubernur Suryo.
Bagaimana saya nggak penasaran? Selepas pulang dari Tunjungan Plaza, lidah ingin mencicipi es krim Zangrandi di dekat Hotel Garden Palace, maka mulailah saya berjalan kaki dengan menganggap bahwa lokasinya terletak cukup dekat. Selepas turun dari plaza, saya memang melihat sejumlah bangunan tua bernuansa antik yang menarik mata saya. Sambil jalan-jalan, saya juga sambil menikmati dan berfoto dengan bangunan tua tersebut. Sesampainya di Zangrandi, ternyata pada hari itu kedai Zangrandi tutup (kedai es krim ini tutup pada hari selasa). Tanggung, ya sudah, berjalanlah saya sekalian sampai ke hotel tempat saya menginap.
Petualangan saya dimulai semenjak keluar dari Tunjungan Plaza. Bangunan Tunjungan Plaza itu sendiri, Hotel Tunjungan, dan bangunan “Occasion” di depan hotel yang berwarna kekuningan sekaligus bernuansa antik art deco (kurang lebih alirannya adalah ini yach). Walaupun jalanannya terkadang agak gelap, namun jalanan yang ramai tidak membuat saya takut sama sekali. Sesekali masih saya jumpai orang yang berjalan di trotoar, baik yang baru pulang kerja atau menunggu kendaraan. Memang, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, predikat ‘keras’ sudah terlanjur melekat pada kota ini. Banyak orang bilang, berhati-hatilah selama di Surabaya. Banyak kejadian kejahatan jalanan yang terjadi. Untungnya, hingga kini, saya merasa aman dan nyaman berjalan kaki di Surabaya, walau malam sekalipun.
Memasuki Jalan Gubernor Suryo (dikenal sebagai Jalan Pemuda) , saya berjumpa dengan trotoar yang lebih lebar lagi dan lebih nyaman plus jalan satu arah. Disini terdapaty sejumlah hotel seperti misalnya Hotel Inna Simpang yang mempertahankan bentuk gaya lama-nya. Kediaman Gubernur Jawa Timur pun berlokasi di jalan ini, tepat berseberangan dengan patung Gubernur Suryo yang menyala kekuningan pada malam hari. Menyebrang di bagian jalan yang ini sudah cukup susah. Harus menggunakan jembatan penyebrangan mengingat melalui zebra cross pun, kendaraan agak-agak susah untuk diberhentikan.
Sisanya, di sepanjang jalan kita bisa melihat Tourist Information Center (Gedung Balai Pemuda) yang beratap kubah berwarna biru donker, air mancur di persimpangan Jalan Pemuda yang bisa berubah warna, Kedai es krim Zangrandi yang tutup pada hari selasa (hiks…), tugu bambu runcing di tengah Jalan Panglima Sudirman yang dapat mengucurkan air ke segala arah, lampu-lampu bentuk hewan di sepanjang jalan (merak,flamingo, bajing, dan lainnya), tempat hang out masyarakat Surabaya pada malam hari yang dikenal sebagai “Sparkling” dimana berisi puluhan café, dan perbaikan gorong-gorong jalanan di sisa Jalan Sudirman menuju Jalan Urip Soemohardjo(hati-hati, banyak tutup gorong-gorong yang dilepaskan dan gundukan pasir dan konblok). Kesan saya akan jalan-jalan malam ini adalah menyenangkan dan jauh dari kesan menyeramkan. Mengapa harus takut berjalan di Surabaya pada malam hari? (tentu saja, apabila anda berjumlah lebih dari satu orang akan mengurangi rasa takut tersebut secara signifikan). Masih banyak orang melintas di tempat ini dan terbantu dengan lampu trotoar yang cukup terang pula. Hanya saja, saya yakin tidak ada orang aneh yang berjalan nekad pada malam hari dari Tunjungan Plaza ke Hotel Olympic. Pastinya, mereka lebih memilih angkot kalau ingin berjalan sejauh itu. Buat anda yang ingin menikmati angin malam Surabaya di rute ini (trotoarnya cukup oke), silahkan saja asal jangan lupa mengenakan jaket yach. Udaranya lumayan dingin loch…
Oh yach, menjelang Jalan Urip Soemohardjo, banyak pedagang sayur keluar untuk menjajakan dagangannya sekitar pukul 9 malam. Pada saat ini, mereka mulai menggeliat dan semakin malam semakin kencanglah aktifitas mereka. Lumayan menyegarkan mencium aroma sayur. Jangan harapkan mereka ada pada siang hari. Pada siang hari, aktifitas kantorlah yang merajalela disini. Mereka tidak mungkin ada pada siang hari.

Thursday, December 17, 2009

Rek..Ayo Rek..Rame-Rame Ke Tunjungan Plaza

“Rek ayo rek…rame-rame ke Tunjungan” begitu sepenggal lagu Rek Ayo Rek yang sangat identik dengan Surabaya (dan Jawa Timur pastinya). Walaupun terlihat dari fisiknya bahwa Tunjungan Plaza merupakan bangunan lama, namun lagu tersebut sudah ada sejak lama sebelum Tunjungan Plaza atau yang umum disebut TP ini terbentuk. Dengan adanya lagu ini, bisa donk TP memanfaatkannya untuk promosi kunjungan ke plaza? Ya tidak?
Tunjungan Plaza adalah salah satu plaza besar yang ada di Surabaya. Bangunan yang terletak di Jalan Basuki Rachmat ini mempersatukan berbagai umat dan warga Surabaya dan Jawa Timur dari berbagai macam ragam latar belakang. Apa pasal? Secara sederhana, Tunjungan Plaza terbagi menjadi 4 buah walaupun mereka semua berada hampir dalam satu kesatuan gedung yang sama. Banyak orang menilai dan memang kenyataan yang sebenarnya terjadi di tempat ini, bahwa makin awal angka Tunjungan, makin membumi juga tampilannya. Sebaliknya, semakin tinggi angkanya, semakin ‘wah’ tampilannya. Hal ini menjelaskan mengapa Tunjungan Plaza 1 lebih cenderung berkonsep pasar dan pusat grosir (ITC) sementara Tunjungan Plaza 4 menekankan pada konsep gaya hidup dan mall berkelas. Jadi, tidak salah donk kalau disebutkan bahwa semua kelas masyarakat Surabaya dan Jawa Timur dipersatukan oleh plaza ini? Ini sekedar hipotesis saya saja loch...hehehe...
Hati-hati menyebrang di jalan di depan Tunjungan Plaza ini. Jalan Basuki Rachmat adalah salah satu jalan tersibuk dan terramai yang ada di Surabaya. Jarang sekali anda mendapatkan kesempatan untuk melintasi jalan tanpa terganggu oleh kendaraan. Adanya pos polisi yang berjaga membuat anda tidak bisa menyebrang sembarangan. Begitu anda ketahuan nekad, anda akan segera diserukan oleh para polisi tersebut melalui megafon yang berada di atas pos. *PRIIIIITTT!!!* Gunakanlah jembatan penyebrangan yang benar yang terdapat di depan Hotel Tunjungan, persis di sebelah Tunjungan Plaza.
Apa sich yang ada di Tunjungan Plaza ini? Ya, seperti yang tadi saya bilang. Mau cari butik mewah hingga pasar, semua ada disini. Mau ngantri beli roti atau beli aksesoris murah meriah, semua ada disini. Mall yang sangat luas dan sangat lebar ini memang membuat kita perlu mengeluarkan energi ekstra untuk menjelajahinya. Mengelilingi satu TP saja sudah membuat kaki pegal, gimana dengan 4 TP yach? Saya nggak akan bahas satu-satu tenan yang ada di TP ini. Waktu kedatangan terbaik ke mall/plaza untuk saya adalah malam hari di kala objek wisata outdoor sudah tutup sama sekali karena kurangnya cahaya. Walaupun produk-produk yang dijual hampir sama dengan mall-mall pada umumnya, namun kunjungan ke Plaza cukup dapat mengisi waktu kita yang tersisa di malam hari. Angkutan paling mudah yang dapat digunakan untuk mencapai Tunjungan Plaza adalah taksi. Mengingat banyaknya jalan satu arah di sekeliling Tunjungan Plaza, ada baiknya anda mengantisipasinya dengan mengetahui betul rute dan arah jalan disini.

Wednesday, December 16, 2009

Rasa Indonesia Di Tunjungan Plaza

Saya heran! Bersamaan dengan itu, saya bahagia! Saya menemukan adanya sebuah restoran yang murah meriah namun terletak di dalam mall yang cukup mewah di Surabaya. Di dalam Tunjungan Plaza, ketika saya ingin mencari makan malam dengan harga murah meriah, saya menemukan Restoran Indonesia Corner di lantai tertinggi bangunan ini, tepat di percabangan pertemuan antara Tunjungan 3 dan Tunjungan 4.Sebelumnya, saya sudah melihat beberapa makanan franchise yang ‘umum’ dijumpai di mall di kota manapun. Saya berpikir, tolong dech, masak jauh-jauh ke Surabaya makannya Cuma makanan sejenis ini? Yang kreatif donk! Dan jawaban tersebut muncul ketika saya berpijak antara Tunjungan 3 dan 4. Restoran ini bernuansa coklat dengan lampu klasik sehingga agak remang-remang. Foto-foto makanan yang dipajang di dinding menceritakan semua menu yang mereka punya yang pastinya adalah makanan Indonesia khas Jawa Timur. Sebut saja soto ayam, tahu telur, kupang lontong, tahu tek, tahu campur, rujak cingur dan macam-macamnya. Sebelum saya tahu harganya, saya agak jiper juga sich. Tempatnya saja oke banged soalnya. Makanan kelas Indonesia yang dibawa ke mall biasanya kan makanan mahal toh? Iseng-iseng saya memeriksa buku menu yang dipajang di depan pintu masuk restoran. JRENG! Saya terkejut sekaligus bahagia. Harga menu di restoran ini sangat terjangkau. Tidak terlalu mahal. Pas sesuai kocek orang-orang yang bisa masuk mall lah. Hehehe…dengan langkah mantap akhirnya saya masuk dan memesan makanan.
Saya memesan soto ayam Ambengan Pak Sadi, kerupuk semanggi, dan es merah delima. Harganya berkisar antara beberapa ribu hingga belasan ribu rupiah. Untuk tiga benda yang saya makan ini, rasanya gak sampai Rp 30.000 deh. Rp 20.000 aja Cuma lewat dikit. Murah khan? Rekan saya tidak mau kalah. Ia memesan nasi tahu telur dan minumannya wedang angsle. Harganya? Tetap murah. Nggak rugi banged deh makan di tempat ini.
Pelayanan rumah makan ini terbilang oke punya. Walaupun bukan restoran yang sangat mahal, namun pelayanan para staffnya cukup patut diacungi jempol. Sigap dan tanggap ketika saya meminta sesuatu. Pengetahuan mereka akan produk makanannya pun lumayan, bisa menjawab ketika ditanya sesuatu. Hehehe…soto ayam Ambengan Pak Sadi adalah soto ayam yang paling terkenal se-Surabaya (atau Jawa Timur yach?). Soto ayam ini diklaim sangat enak sekali sehingga saya penasaran untuk mencoba. Kemudian ada kerupuk semanggi. Tampaknya, sangat jelas bahwa bahan baku utama kerupuk ini bukanlah daun semanggi daun keberuntungan yang sering kita lihat itu. Rasanya lebih ke arah beras dech. Harganya murah banget, Cuma Rp. 1.500 saja! Hihihi…nah untuk minumannya, saya memesan es merah delima yang boleh lah buat lidah saya. Enak!
Sebagai pembanding, teman saya memesan nasi tahu telur, makanan khas Jawa Timur berupa tahu yang dicampur dengan telur kocokan dan digoreng kemudian dilumuri saus kacang dan kecap, tauge dan kerupuk. Nikmat sekali! Saya jadi rindu sama bumbu kacangnya itu. Untuk minumannya, wedang angsle sebenarnya bisa disamakan dengan sekoteng. Hampir mirip lah. Hanya saja, pada wedang angsle, penggunaan santan dari kelapa menjadi begitu kentara, berbeda dengan sekoteng yang umumnya hanya menggunakan susu saja. Untuk kombinasi isi wedangnya, rasa-rasanya hampir sama dengan sekoteng. Sebut saja kacang hijau dan kacang tanah, potongan roti, merah delima, pacar cina…mmm..apalagi yach?
Rumah makan ini pun adalah rumah makan yang ramai. Kalau saya, sehabis makan masih saya lanjutkan lagi dengan acara foto-foto dulu. Sementara itu, orang di samping saya makan-makan dengan keluarganya, dan begitu selesai segera bergegas. Sambil makan, mereka melirik ke arah saya yang asik foto-foto dengan makanan dan ornamen restoran yang antik seperti misalnya lampu klasik. Mungkin mereka pikir, “nich orang koq aneh yach? Makanan aja difoto?” hehehe….