Thursday, September 30, 2010

Isi Perut Di Shopping Center Jepara : Lontong Telur

Saya sudah tiba di Jepara! Hohohoho. Saat itu, saya tiba di Jepara pukul 9 malam. Saya masih harus menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam lagi untuk mencapai penginapan saya di Pantai Kartini. Sebelum menuju ke Pantai Kartini, ini adalah saat yang paling tepat nich untuk makan malam! Maklum, dari jam 5 sore pendaratan saya di Semarang, saya belum makan apapun nich. Saya lapar sangat! Sebelum mencapai Pantai Kartini, mari kita makan. Nah, kebetulan saya turun di Alun-Alun Jepara, titik yang paling tepat untuk mencari makan malam. Walaupun di Alun-alun ada sejumlah makanan ringan, tapi coba dech anda berjalan sedikit ke arah pusat pertokoan Shopping Center Jepara (SCJ). Pusat pertokoan ini sich biasanya sudah tutup menjelang malam tiba, hanya beberapa kios saja saja yang masih terbuka. Tujuan anda bukanlah SCJ ini, tapi pusat jajanan malam yang terletak di belakangnya. Tempat ini ramai dan tumpah ruah oleh para pedagang aneka makanan pada malam hari. Seru sekali! Saya tiba di Jepara pada jumat malam, saya nggak kebayang dech bagaimana kondisi pusat jajanan itu pada akhir pekan, mungkin lebih ramai lagi kali yach?
Sejatinya, tempat ini adalah sebuah tanah lapang berkonblok yang disulap dan dibatasi dengan sekat-sekat besi untuk setiap kios yang berdagang. Aneka dagangan tidak hanya memenuhi seluruh lapnagn saja, sejumlah toko di SCJ yang masih buka pun turut menjual makanan. Anda bisa pilih aneka makanan yang tersaji disini. Memang sich, umumnya makanan yang ditemukan di tempat ini adalah makanan yang cukup ‘biasa’ dan umum kita temukan sehari-hari seperti mie pangsit, mie goreng, nasi goreng, bakso dan es-esan. Namun, kalau anda jeli mencari, beberapa makanan khas Jepara dan Kudus (Jepara kan deket sama Kudus) seperti Nasi Tahu, Lontong Telur & Gimbal, Soto Kudus, dan Garangasem.
Saya penasaran sama Lontong Telur tempat ini. Karena berdekatan, Jepara dan Kudus biasanya memiliki makanan khas yang mirip-mirip. Ternyata, Lontong Telur mirip banget sama Tahu Telor-nya Surabaya, minus bumbu kacangnya saja. Alih-alih kacang ulek dicampur dengan gula jawa, bumbu Lontong Telur lebih cair, mengandung kecap manis dan ada bulir-bulir kacang goreng utuhnya. Rasanya sich menurut saya nggak jauh beda dari Tahu Telor, namun tetap memiliki kekhasan tersendiri. Harganya itu loch, yang luar biasa murah : Rp. 6.000 saja! Bumbunya bisa disesuaikan, manis, sedang, pedas dan sangat pedas. Makanan ini sich sejatinya nggak bikin kenyang, karena porsinya tergolong sedikit untuk orang dewasa. Hehehe. Maka dari itu, teman saya memesan martabak telur bebek (yang jual baik banget loch). Harganya juga luar biasa murah, hanya Rp. 13.000 saja. Nggak ada beda apakah anda seorang turis atau warga lokal, harga makanan di SCJ ini tetap murah meriah. Hehehehe. Wisata kuliner disini murah meriah, pilihannya banyak macam dan hati-hati, jangan samai perut jebol lantaran terlalu banyak milih makanan!

Wednesday, September 29, 2010

Dari Semarang Ke Alun-Alun Jepara

Saya menunggu di pintu keluar Terminal Terboyo kurang lebih selama 15 menit. Untungnya, areal pintu keluar ini ramai. Banyak penumpang yang juga menunggu di tempat ini. Tempat ini menjadi lebih hidup lagi lantaran banyak warung penjual makanan yang menjajakan dagangannya di tempat ini, mulai dari makanan ringan hingga makanan berat sekelas Soto. Bus Semarang – Jepara akhirnya tiba juga. Saya kaget. Bus Semarang – Jepara adalah bus kecil berukuran ¾. Eh, tidak ada bus yang berukuran besar yach? Tambahan lagi, bus ¾ ini adalah bus non-ac. Bukannya saya mau sombong yach. Tapi, bus non-ac biasanya adalah bus lambat. Mereka suka sekali ngetem di berbagai titik demi menunggu sejumlah penumpang. Padahal, saya sudah letih dan ingin sekali tiba di Jepara. Saya selalu memprioritaskan bus AC kalau ada pilihan yang AC. Lama menunggu, akhirnya saya nekad bertanya kepada bapak-bapak yang tampaknya merupakan orang terminal. Beliau menjawab bahwa tidak ada bus jurusan Jepara yang ber AC. Tidak puas dengan jawaban beliau, saya berjalan-jalan kembali demi mencari jawaban yang mengena di hati. Saya menjumpai seorang pedagang makanan. Saya menanyakan hal yang sama dengan sebelumnya. Ia kembali menjawab hal yang sama, tidak ada bus AC dari Semarang ke Jepara. Yang tersedia hanyalah bus ¾ non AC.
Saya tidak memiliki pilihan lagi kalau begitu. Daripada terkatung-katung di jalanan tidak jelas seperti ini, saya lebih memilih terbenam dalam perjalanan bus ¾ non ac. Akhirnya, saya memutuskan untuk naik bus ¾ ini saja. Saya segera menaikkan barang-barang saya ke rak bagasi yang ada di bagian atas setiap bangku penumpang. Loch? Kayaknya ada yang salah yach? *Maaf* pantat saya mengapung sebelah di udara! Ternyata, bangku penumpang bus ¾ ini berukuran 1,5! Kalau dimuati oleh dua orang, maka orang kedua yang berada di sisi gang akan melayang setengah. Orang pertama yang berada di sisi jendela akan terjepit, terdesak oleh saya. Bener-bener kacau ini bus. Kondisi ini diperparah dengan bus yang waktu itu cukup padat. Saya nggak bisa mengokupansi bangku lain untuk saya jajah sendiri. Berhubung sangat padat, saya hanya bisa menahan-nahan duduk dalam posisi yang serba terbatas tersebut. Mengerikan. Untungnya, perjalanan hampir didominasi oleh jalur lurus antara Semarang – Demak – Kudus. Namun, begitu di ruas antara Demak – Kudus, bus pun berbelok dan masuk ke dalam jalan yang lebih kecil daripada ruas utama. Inilah ruas Demak – Jepara. Parah, saya terpontang-panting di tempat ini lantaran saya hanya duduk setengah di kursi yang tersedia. Saya harus berjuang keras memegang benda apapun(misalnya bangku atau tiang) agar tidak terlontar saat bus melewati jalanan berbelok-belok di ruas Demak – Jepara. Jujur saja, perjalanan sejauh hampir 2 jam ini terasa begitu menyiksa. Ditambah dengan saya yang ingin buang air kecil, makin menderitalah saya di dalam bus kecil ini.
Untungnya, setengah perjalanan menuju Jepara dari Demak (ternyata, Jepara masih sangat jauh loch dari Demak), sejumlah besar penumpang turun. Bus pun sekejab menjadi kosong dan saya segera berpindah tempat untuk mengokupansi kursi sisa yang masih tersedia. Duduk mengapung begitu selama berjam-jam ternyata membuat pegal. Anda nggak usah berpikir untuk mencari bus lain ketika sampai di Terboyo sebelumnya. Bus jurusan Semarang – Jepara hanya satu-satunya dan berjenis seperti ini. Jam keberangkatan yang saya naiki (sekitar jam 19.00) merupakan jam keberangkatan terakhir (kira-kira, jam 21.00 akan tiba di Jepara). Setelah itu, anda akan kesulitan sekali untuk mencari bus jurusan Jepara. Bus bergerak dalam kecepatan sedang, cukup cepat menurut saya, dan melewati aneka macam kota-kota kecamatan di Jepara. Jepara, secara mengejutkan, ternyata termasuk kota yang ramai dan cepat berkembang. Entah mungkin disebabkan karena posisinya yang berada di tepi pantai kali yach? Tapi, pada saat malam sekalipun kota ini tidak terlalu sepi. Toko-toko 24 jam buka disana sini. Nggak hanya itu, beberapa bidang usaha yang agak nggak wajar buka 24 jam seperti restoran dan rumah makan, ternyata membuka usaha 24 jam juga disini. Mungkin ini indikator bahwa Jepara cukup ramai didatangi oleh tamu dari luar kali yach? Perjalanan saya selama 1,5 jam tidak terasa membosankan karena bisa banyak melihat kegiatan kota, bukan sekedar pabrik dan sawah saja seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Harusnya, bus yang saya tumpangi akan berhenti di Terminal Jepara. Namun, menurut kenek bus tersebut, karena sudah malam dan bus ini merupakan bus terakhir, maka bus hanya akan sampai alun-alun saja. Kami pun terpaksa harus diturunkan di alun-alun. Jarak antara terminal dan alun-alun sich nggak terlalu jauh. Anda nggak rugi-rugi amat kalau diturunkan di alun-alun karena masih cukup ramai dan bepergian ke Pantai Kartini harusnya lebih mudah dari sini.

Sepinya Semarang Bandara - Terboyo

Semarang adalah kota yang sepi, buat saya. Perjalanan saya via taksi dari Bandara Achmad Yani, Semarang Barat hingga ke Terminal Terboyo, Genuk, harus saya lalui dengan melewati wilayah kota yang gelap dan sepi. Jarang sekali terdapat bangunan menyala di kanan kiri. Yang tampak di sekeliling saya hanyalah bangunan-bangunan gelap yang saya nggak terlalu yakin itu apa lantaran terlalu gelap. Ketika sudah bertemu keramaian pun, kendaraan-kendaraan berat berukuran panjang mendominasi perjalanan ini. Di kejauhan, tampak Pelabuhan Tanjung Mas bersinar terang. Oh, saya sudah berada di wilayah pelabuhan tampaknya. Pantas saja, banyak kendaraan-kendaraan berat.
Sekitar setengah jam, taksi berhenti di Terminal Terboyo. Seperti yang sudah-sudah, saya sudah tahu bagaimana cara mencari bus di terminal ini. Mirip-mirip sama terminal-terminal lainnya di Indonesia sich. Kalau mau cepet, jangan pernah masuk terminal. Carilah bus di pintu keluar terminal saja. Bus-bus ini biasanya sudah siap berangkat. Memang sich, ini jadi celah bisnis bagi para supir angkutan tersebut. Mereka menjadi malas untuk berlama-lama di dalam terminal namun langsung bergegas menuju pintu keluar terminal. Untungnya, lokasi perhentian bus di tempat ini tidak terlalu lebar. Akibatnya, bus-bus yang sudah mencapai tempat ini hanya bisa berhenti dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Bus yang berhenti terlalu lama dipercaya akan menganggu bus lain yang akan keluar juga. Berhubung Terminal Terboyo adalah terminal besar di Semarang, maka terminal ini melayani hampir semua rute di seluruh Jawa Tengah, hingga luar propinsi. Anda harus bersabar mencari bus rute anda, terlebih apabila rute bus anda termasuk bus yang agak jarang frekuensinya, contoh : Semarang - Jepara.

Monday, September 27, 2010

Bandara Achmad Yani Semarang Yang (Ternyata Berukuran) Kecil

Perjalanan awal menuju Karimunjawa dimulai dari Semarang. Ya jelas, bandara utama di Jawa Tengah bagian utara adalah Bandara Achmad Yani yang terletak di Semarang. Penerbangan Jakarta – Semarang ditempuh dalam 55 menit. Penerbangan jarak pendek tidak membuat saya terkesan. Serba salah rasanya. Hehehe. Belum sempat rasanya mata ini mencoba terpejam, pengumuman yang berkumandang di seantero kabin mengingatkan bahwa pesawat akan segera mendarat. Sama sekali nggak ada kesempatan untuk tidur dan beristirahat sebelum saya memulai perjalanan panjang ini. Untungnya, saya sedikit terhibur dengan sepotong roti coklat merek Batavia dan segelas air minum. Lumayan, walaupun penerbangan murah meriah (Rp. 247.000), masih ada layanan snack ringan yang disediakan oleh Batavia.

Saya baru pertama kalinya nich mendarat di Bandara Achmad Yani, Semarang. Ternyata, bandara ini berukuran kecil. Saya kaget sama ukuran bandara ini. Sebagai salah satu bandara utama di Jawa Tengah, saya pikir bandara ini berukuran besar. Ternyata saya salah. Selepas turun dari pesawat, saya segera masuk ruang kedatangan di bandara. Di dalam ruang kedatangan, kami langsung disambut oleh ban berjalan tempat koper-koper penumpang berjalan. Disinilah kami harus mengambil koper-koper yang dititipkan di bagasi. Setelah itu, saya langsung keluar dari bandara dan bertemu dengan halaman bandara. Deretan toko-toko penjual makanan dan aneka kebutuhan berada di luar bandara. Disinilah saya disambut oleh segerombolan warga Semarang yang sedang menjemput sanak saudaranya di bandara. Bandara yang kecil ini pun tumpah ruah oleh kehadiran mereka. Baunya pun turut bercampur baur. Aneka rupa dech. Hahaha. Nggak hanya itu, calo-calo taksi memenuhi seluruh halaman bandara dan menawarkan jasanya kepada saya. Tumpah ruah banget pokoknya. Sayangnya, Bandara Achmad Yani (SER) adalah salah satu dari sekian banyak bandara di Indonesia yang belum punya fasilitas DAMRI dari bandara ke pusat kota. Padahal, bandara yang terletak di Semarang Barat ini cukup jauh dari pusat kota. Satu-satunya angkutan yang tersedia kalau anda nggak punya kendaraan pribadi/dijemput adalah taksi. Untuk mencapai pusat kota (sekitar wilayah Semarang Tengah), biaya yang diperlukan sekitar Rp. 55.000 – Rp. 60.000. Anda bisa beli voucher taksi di loket taksi yang tersedia. Disini tersedia berbagai macam tujuan di seputaran Semarang dengan berbagai jenis harga. Anda tinggal pilih mana yang paling dekat dengan lokasi tujuan anda. Berhubung saya bertujuan ke Jepara, maka taksi saya minta untuk berhenti di Terminal Terboyo, terminal utamanya Semarang. Nggak mungkin banget taksi mengantarkan saya sampai ke Jepara. Hahaha. Mungkin-mungkin saja sich sebenarnya, namun, bisa anda bayangin nggak, kira-kira berapa argo taksi yang tampak ketika saya sudah tiba di Jepara. Duh, nggak kebayang dech.

Monday, September 20, 2010

Mengapa Harus Ke Karimunjawa?

Tahun ini tampaknya merupakan waktu bagi saya untuk kembali mengunjungi daerah-daerah wisata yang sebelumnya pernah saya kunjungi. Kali ini, saya kembali mengunjungi Jawa Tengah untuk kali kedua dalam selang tiga bulan saja. Untungnya, saya tidak harus mengulang rute yang sama. Kalau pada perjalanan saya sebelumnya, saya mengunjungi Semarang, Kudus, Solo, Yogyakarta, Magelang dan Purwokerto, maka tujuan perjalanan saya kali ini adalah Jepara dan Karimunjawa. Destinasi lainnya akan saya anggap sebagai bonus. Hehehe.
Karimunjawa, adalah sekumpulan pulau (sekitar 27 buah pulau) yang tersebar di utara Kabupaten Jepara, di Laut Jawa. Karimunjawa masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Jepara. Kumpulan kepulauan ini sedang naik daun akhir-akhir ini loch. Penyebabnya adalah trend olahraga menyelam atau diving yang sedang naik daun. “Kalau nggak menyelam, kayaknya kurang oke yach”, begitu kata mereka. Semuanya berlomba-lomba menyambangi tempat-tempat indah untuk menyelam. Kiblat wisata semuanya mengarah ke wisata bahari. Menyelam jadi semacam trend untuk saat ini. Spot-spot penyelaman menarik di seluruh Indonesia (dan dunia) digandrungi oleh penikmat dan bakal-penikmat kegiatan ini. Salah satunya adalah Kepulauan Karimunjawa Di Jepara. Di Indonesia, sebenarnya ada banyak sekali spot-spot penyelaman menarik dari ujung barat ke ujung timur, sebut saja Sabang, Sikuai, Bangka, Derawan, Bali, Takabonerate, Lombok, Riung 17 Pulau, Labuan Bajo, Wakatobi, Togean, Bunaken, Halmahera, Seram, Raja Ampat, Biak dan banyak lagi. Namun Karimunjawa menang dari segi tempat. Posisinya yang cukup dekat dengan Jakarta membuat turis-turis reguler mudah menjejakkan kakinya di sini. Lagipula, ongkos perjalanan jauh lebih murah dibanding harus menuju Sulawesi, apalagi Papua yang berada di ujung timur. Oh yah, satu hal lagi, Karimunjawa termasuk dalam salah satu tempat penyelaman untuk kategori pemula. Ini juga alasan penguat mengapa Karimunjawa naik daun dengan cepat.
Nah, agar anda bisa ikut dalam percakapan-percakapan seputar diving yang sedang nge-trend di masyarakat saat ini dan nggak menjadi penonton saja, pastikan donk, anda sudah mencicipi jenis olahraga yang satu ini. Masalah nanti anda suka atau nggak, ya itu urusan belakangan. Yang penting, anda sudah pernah mencoba dan bisa memberikan komentar. Bukan hanya sekedar terkagum-kagum saja ketika melihat foto bawah laut yang eksotis dan berwarna-warni. Jadi, sudah siap mencicipi diving? Yuk, kemasi barang-barang anda, kita berangkat ke Karimunjawa!

Sunday, September 19, 2010

Di Ujung Perjalanan : Sultan Hasanuddin II

Anda nggak mungkin berjalan kaki untuk mencapai bandara. Walaupun terhitung dekat, ada baiknya anda naik ojek untuk masuk ke dalam kompleks bandara. Untuk jarak ini, ojek biasanya akan meminta harga Rp. 10.000. Saya masih sempat sich menawar Rp. 5.000. Hehehe. Sayangnya, sang supir ojek nggak mau menurunkan harganya. Ya sudah lah. Saya tahu koq, jaraknya memang lumayan jauh. Rp. 10.000 memang masih cukup pantas untuk biaya masuk ke dalam bandara. Di samping itu, saya harus bergegas. Waktu saya sudah tidak banyak lagi. Sebelum pulang, kalau waktu masih banyak, sempatkan waktu untuk berfoto di air mancur depan bandara. Banyak warga masyarakat yang melakukan ini. setelah usai, segeralah check in agar anda bisa memiliki banyak waktu untuk berfoto dengan interior Bandara Hasanuddin II yang memang modern dan cantik. Arsitektur bandara ini mengikuti konsep anjungan Kapal Phinisi. Bagian dalamnya bergaya art deco dengan warna dasar putih, gelap dan oranye. Ada miniatur Kapal Phinisi berada di dalam ruang tunggu bandara. Ucapan selamat datang di Sulawesi Selatan justru baru saya temukan disini. Saya tidak menemukan ucapan tersebut pada saat kedatangan saya di bandara ini. Agak aneh tampaknya. Untuk anda yang punya kartu kredit gold atau platinum, bisa menikmati menunggu di executive lounge yang ada di bandara. Untuk yang mau berhemat, sebaiknya tidak membeli makanan atau minuman di bandara. Saya terkejut ketika ingin membeli sebotol air mineral 600 ml. Mbak tersebut memberitahukan Rp. 10.000. Waduh, saya langsung mundur. Saya memprediksi harga sebotol air sekitar Rp. 6.000. Namun saya salah. Begitu saya diberi tahu harga sebotol air mineral sebesar Rp. 10.000, saya memilih menahan haus. Toh, di dalam pesawat juga mendapat minuman koq. Saya sendiri menunggu di waiting room saja sambil menunggu waktu keberangkatan pesawat yang akan membawa saya ke Jakarta. Pesawat yang akan menjemput saya berasal dari Biak dan Jayapura, sama seperti kedatangan. Sekitar pukul 8 kurang, pesawat Merpati dari Biak tiba di Bandara Hasanuddin. Saya bergegas menaiki pesawat dan pulang! Jadi, selamat tinggal Bumi Sulawesi Selatan! Jumpa lagi kali lain waktu! Aku pasti akan merindukanmu, selalu!

Masih Sempat Rehat Sejenak Di Barru


Saya Senang! Cuaca sore hari di Barru cukup mendung namun tidak turun hujan sehingga kami yang berada di dalam bus pun tidak merasa kegerahan. Dalam perjalanannya mencapai Makasar, bus pun berhenti sekali lagi di Barru, tepatnya di Rumah Makan Arung Pala. Rumah makan ini berdiri tepat di pinggir pantai. Memang, secara umum wilayah Barru banyak berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Demikian juga dengan Jalan Trans Sulawesi yang dibangun mengikuti pantai di Barru. Maka dari itu, nggak heran banyak rumah makan di Barru yang terbangun di pinggir pantai. Walau pantainya tidak menawarkan pasir putih atau resort, namun berwisata di pinggir pantai Kota Barru cukup menarik. Sayangnya, banyak bagian pantai yang sedang direklamasi. Pantai yang sedang direklamasi tersebut banyak dipadati oleh para pekerja, alat-alat berat, dan jalanan yang becek dan rusak. Sayang, pantai di Barru rata-rata tidak memiliki pasir pantai. Misalnya saja di Rumah Makan Arung Palla, pantai yang berada persis di sebelah rumah makan ini dibatu. Tidak ada pengunjung yang nekad berenang di pantai ini walau airnya bersih sekali. Yang bisa dilakukan disini adalah menikmati makanan khas Barru berupa pisang goreng yang dicocol dengan sambal. Minumnya bisa pilih antara kopi atau teh. Banyak penumpang termasuk pak supir dan kernetnya yang menikmati sore di Barru sambil menikmati penganan kecil tersebut. Walau demikian, banyak juga penumpang yang tidak menikmati penganan kecil tersebut namun hanya menikmati semilir angin pantai saja. Di samping rumah makan ini terdapat sejumlah gezebo yang bisa difungsikan sebagai tempat bersantai. Sayang, kenikmatan bersantai sore itu cukup terganggu lantaran jalan yang diperlebar. Suara mesin penggiling semen berpadu dengan rusaknya jalan yang diperbaiki sedikit banyak membuat suasana menjadi kurang nyaman. Walaupun sudah cukup dekat, namun Makassar baru dapat dicapai dalam dua jam perjalanan lagi. Ini salah satu alasan mengapa bus kembali beristirahat untuk yang ketiga kalinya dalam perjalanan Tana Toraja – Makassar.
Akhirnya, bus pun bergerak lagi setelah setengah jam beristirahat. Saya sampai takut tidak bisa sampai di bandara tepat waktu lantaran jam keberangkatan pesawat saya adalah pukul 8. Melewati daerah Pangkajene, jalan rusak yang diperbaiki masih saja mewarnai. Di daerah Pangkajene, ada banyak Dangke, makanan khas Pangkajene yang dijual. Sayang, bus tidak berhenti untuk membeli Dangke lantaran sudah sore. Mungkin kalau saya naik mobil pribadi bisa berhenti sesuka hati kali yach? Demikian pula serupa dengan kejadian di Maros. Bus tidak berhenti di lokasi penjualan Roti Maros, kuliner khas Maros. Bus terus melaju menembus senja yang turun makin larut. Bukit-bukit karst sudah tampak di kejauhan, tanda sudah dekat dengan bandara. Bukit-bukit karst memang menjadi pertanda ciri khas wilayah Maros dan Pangkajene. Selepas Kota Maros, bus akan segera menjumpai Pasar Maros dan Rumah Adat Maros yang dipasang sebagai gapura di ruas Makassar – Maros. Saya segera bergegas bersiap karena bandara tidak terlalu jauh dari gapura rumah adat Maros ini. Benar saja, tidak lama kemudian, jalanan bercabang dan bandara terletak di sebelah kiri. Saya bergegas turun disini.

Dari Enrekang Ke Barru


Setengah jam adalah waktu yang diberikan kepada para penumpang untuk mengisi perut di Rumah Makan Panorama, Enrekang. Tidak semua penumpang mengisi perut di tempat ini rupanya. Beberapa memilih duduk bersantai saja, atau bahkan tidak keluar bus sama sekali. Sudah kenyang semua kali yach? Perjalanan dimulai lagi dalam setengah jam. Bus kembali merayap menuruni lereng gunung, kembali ke arah kota. Saya kembali tertidur beberapa kali di beberapa ruas. Saya kembali terbangun di Maroangin, Maiwa. Daerah Maiwa ini adalah wilayah transisi dari wilayah pegunungan Enrekang ke wilayah dataran rendah. Tidak banyak yang bisa dilihat di Maroangin selain hamparan sawah dan ladang yang sangat luas. Lepas dari Maroangin, bus akan memasuki wilayah dataran rendah yang tentu saja panas di Sidenreng. Bus akan berhenti cukup lama di Pare-Pare. Disini, bus akan beristirahat dan menunggu penumpang. Maklum, di Terminal Pare-Pare ada depo bus Litha juga sich. Walaupun tidak banyak penumpang naik namun bus tetap menunggu. Penumpang bisa buang air kecil ataupun makan makanan ringan yang dijajakan oleh banyak anak-anak di tempat ini. Sekitar setengah jam, barulah bus kembali berjalan. Mulailah rombongan bus kami bertemu dengan perbaikan jalan. Perbaikan jalan sangat terasa di area ini. Selepas Pare-Pare, kami memasuki wilayah Barru. Kondisi jalan yang sedang dalam tahap perbaikan dan pelebaran jalan membuat laju bus sedikit tersendat. Terkadang, bus harus berjalan di satu lajur saja bersama dengan kendaraan lain berlawanan arah lantaran lajur lain sedang diperbaiki. Laju kendaraan menjadi cukup lambat di tempat ini. Sayang sekali, padahal jalur Pare-Pare ke Makassar cukup lurus dan tidak berkelok-kelok. Kalau tidak ada hambatan, harusnya jarak tempuh kedua kota tersebut bisa dipangkas menjadi 3 jam saja. Namun, lantaran banyak hambatan dan perhentian, jarak yang hanya 155 km tersebut harus ditempuh selama 4 jam.

Rumah Makan Panorama Buntu Kabbobong

Usai puas memborong salak (cuma beli sekilo doank sich), bus kembali menuruni lereng gunung menyusuri Taman Nasional Bamba Puang dengan pemandangan Buntu Kabbobong di sebelah kiri jalan. Tadinya saya kira saya kembali harus menikmati pemandangan cantik ini dari bus yang melaju saja. Untungnya, bus berhenti. Pemandangan cantik ini akan benar-benar bisa dinikmati saat bus berhenti di Rumah Makan Panorama. Rumah makan ini dipilih sebagai persinggahan penumpang bus untuk makan siang. Begitu turun, saya segera berlari menuju ke sisi jendela rumah makan ini. segera saja saya mengeluarkan kamera dan asyik berfoto-foto. Lupa dech sama urusan perut. Hehehe. Memotret pemandangan jauh lebih menarik. Menu satu-satunya yang tersedia adalah nasi campur (nasi dengan ayam goreng dan aneka sayuran dan sup). Tidak ada yang spesial dari makanan yang disajikan pada siang ini. Rasa makanan ini hanya satu : enak saja. Sebelum makan, saya sempat loch meminta buku menu terlebih dahulu. Namun mbak penjaga rumah makan ini berkata bahwa tidak ada buku menu. Satu-satunya menu yang ada hanyalah nasi campur saja. Saya melihat, piring-piring nasi berisi potongan ayam goreng sudah dijajarkan rapih di atas meja. Apabila ada tamu yang ingin menikmati makan siang, piring tersebut tinggal dikomplitkan saja dengan sayuran dan mangkuk sup, kemudian dihidangkan kepada tamu. Untungnya, saya masih bisa memilih potongan paha, bagian tubuh favorit dari ayam. Keistimewaan rumah makan ini adalah pemandangannya. Rumah makan ini memiliki jendela yang sangat lebar dan tidak terutup serta menghadap Buntu Kabbobong. Udara segar berhembus menyegarkan para tamu yang makan di restoran ini. Walaupun siang hari, sama sekali tidak terasa panas menyengat di restoran ini. Menyenangkan bisa menikmati makan siang sambil melihat ke arah Buntu Kabbobong. Sayangnya, posisi Buntu Kabbobong yang benar-benar tepat tidak ditemukan disini. Posisi Buntu Kabbobong yang secara eksplisit menjelaskan maksud dari ‘Gunung Nona’ tersebut masih berada jauh di bawah lereng sana. Tapi tidak mengapa, saya sudah cukup senang bisa berhenti di tepi Buntu Kabbobong, demi melihat dari dekat panorama pegunungan ini. Hmm...saya sich sama sekali nggak kebayang, pada saat malam hari, seperti apakah rumah makan ini. Jendela Rumah Makan Panorama ini lebar sekali dan tanpa tutup loch. Bagaimanakah hembusan angin di rumah makan ini pada malam hari?

Friday, September 17, 2010

Lagi-Lagi, Borong Salak Sangeran, Enrekang


Sekitar pukul setengah sepuluh (saya sampai tidak berani melihat jam lagi), setelah mengetem setengah jam di depo bus Makale, bus berjalan ke selatan, meninggalkan Makale dan Tana Toraja. Akhirnya! Selamat tinggal Tana Toraja, sampai jumpa kali lain! Bus bergerak dengan kecepatan yang lumayan menyusuri jalan Trans-Sulawesi. Berhubung bus yang saya naiki adalah bus non-AC (bus AC berangkat pada pukul 9 pagi –terlalu siang untuk saya-), sengatan matahari mulai terasa panas menyelimuti. Saya pun tertidur di ruas Makale – Enrekang dan baru terbangun ketika bus berhenti untuk berbelanja oleh-oleh Salak khas Enrekang. Sentra berbelanja salak di Enrekang ada banyak. Umumnya mereka tersebar di kecamatan Alla dan Anggeraja. Bus yang kami tumpangi berhenti di Salak Yoko, Sangeran, Desa Mampu, Anggeraja. Hampir serupa dengan kios-kios salak lainnya, kios ini nggak hanya menyediakan oleh-oleh utama berupa salak, kios ini menyediakan aneka penganan kecil lainnya. Namun sudah pasti, Salak Enrekang ini menjadi sesuatu yang primadona untuk dijadikan oleh-oleh. Hampir setiap penumpang yang saya amati, berbelanja salak ini. Salak ini dijual dengan harga RP. 5.000 per kilonya. Saya sendiri sangsi akan berat timbangan ibu penjual salak ini. Kayaknya timbangan si ibu ngaco dech. Saya diberikan salak beberapa belas buah. Apa iya, salak sekilo sampai sebanyak ini? Banyak betul!? Salak Enrekang memiliki rasa yang khas yakni agak sepat namun citarasa manisnya tetap ada. Unik. Saya bisa menghabiskan satu kilo salak ini sendiri saja saking ketagihannya. Selain salak, anda bisa membeli berbagai produk seperti kue merah, lapis legit, wajik dan aneka cemilan kering. Namun jujur, aneka cemilan kering tersebut tidak menggugah selera saya. Saya tertarik sekali dengan salak yang baunya harum ini. Perhentian ini dilakukan kurang lebih selama setengah jam saja. Ayo, borong-borong buat orang rumah!

Ballo' Atau Balok Tana Toraja Pelengkap Pesta


Balok, atau lebih dikenal sebagai Ballo', adalah minuman keras asal Tana Toraja. Menurut beberapa sumber, minuman keras ini bukan berasal dari Tana Toraja saja, tapi banyak ditemukan di penjuru Sulawesi Selatan. Sayangnya, selama saya melarungi Sulawesi Selatan, saya malah nggak pernah bertemu dengan penjual Ballo' ini nich, selain di Toraja. Saya sudah mencapai Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sengkang, Pangkajene, Soppeng, Pinrang, Enrekang, Maros, Barru, Takalar, Gowa, Makassar, Bone, dan Pare-Pare, rasanya saya nggak pernah liat ada yang menjual Ballo' ini. Apa saya yang kurang pengamatan yach? hehehehe. Nah, di Tana Toraja ini, saya beberapa kali melihat Ballo' dijual dan dikonsumsi, terlebih pada saat perayaan. Seperti misalnya pada saat perayaan Rambu Solo di Balusu, saya melihat Ballo' umum diminum oleh para tamu acara, terutama yang sudah berumur yach, yach, level bapak-bapak ke atas dech. Hehehehe. Di Makale, bahkan saya melihat Ballo' dijual secara komersil oleh ibu-ibu yang mangkal di depan depo Bus Litha. Jadi, Ballo' ini adalah arak atau dikenal sebagai tuak, minuman fermentasi dari sadapan pohon suku palem-paleman (nira/lontar bukan sich?). Karakteristik Ballo' ini adalah warnanya seperti susu dan baunya mirip asam cuka dengan kadar alkohol 5%-10%. Yang menarik, Ballo' ini disajikan dalam potongan-potongan bambu. Konon, minum Ballo' sebanyak apapun tidak akan memabukkan, saya juga nggak tahu kenapa. Yang jelas, minuman ini katanya bisa bikin panjang umur loch. Nggak heran, di Toraja banyak ditemukan orang-orang dengan usia lanjut yang masih sehat. Saya sendiri bukanlah penggemar minuman keras (pernah mencicipi di bibir saja dan langsung tidak tertarik) dan tidak tertarik sama sekali untuk mencobanya. Sempat saya ditawari Ballo' yang merupakan minuman lambang persahabatan ini di Balusu, namun saya tolak secara halus. Maaf, minuman keras nggak ada dalam daftar to-do list hidup saya. Hehehehe. Walaupun ini unik dan sekaligus etnik, rasanya saya lebih baik tidak mencobanya dech. Hal ini diperparah dengan saya yang belum pernah atau jarang sekali 'minum'. Konon, bukannya orang yang belum pernah minum akan keleyengan lantaran mabuk? Nggak tahu juga sich, saya nggak nyoba soalnya. Hehehehe. Mungkin kalau ada teman-teman yang berniat mencicipinya, boleh banget untuk cerita disini.

Lambatnya Bus Litha Di Tana Toraja

Hari ini adalah hari terakhir saya di Sulawesi Selatan. Saya terbangun pada pagi hari di Tana Toraja, Kota Rantepao. Berhubung bus akan berangkat pukul 07.30, maka saya sudah terbangun pada pukul 6 untuk mandi. Dinginnya air mandi tidak saya hiraukan. Saya memilih untuk meloncat-loncat menahan dingin saja ketika air dingin mengguyur tubuh saya. Brrr....saya pasti akan merindukan dinginnya air Toraja sepulangnya nanti. Segera saya berpakaian dan bergegas menuju ruang makan Wisma Maria. Saya menjumpai ruang makan yang kosong. Tampaknya, staff Wisma Maria pun belum sepenuhnya tersadar sepagi itu. Makanan belum siap sehingga saya perlu menunggu makanan tersebut siap. Untungnya, staff Wisma Maria bergerak cepat. Makanan spesial khas Wisma Maria segera tersaji pagi itu. Seperti biasa, beberapa potong roti, telur goreng dan kopi atau teh menemani saya pagi itu. Selai Straberry dan sejumput margarin menjadi teman yang pas untuk roti panggang saya. Tak lama, saya segera bergegas check out dan menuju depo bus Litha untuk memulai perjalanan menuju Makassar. Depo bus Litha terletak di Pasar Rantepao, Jalan Raya Andi Mappanyuki. Depo bus Litha ini mudah dicapai koq. Nggak usah naik kendaraan, anda bisa jalan kaki saja koq untuk menuju ke depo bus Litha ini. Menurut bapak yang menjaga dan menjual tiket, perjalanan Rantepao – Makassar bisa berlangsung selama kurang lebih 10 jam lantaran ruas Maros – Barru yang sedang diperbaiki. Heran yach, pada kepergian saya Bulan Agustus 2009, ruas jalan ini juga masih dalam tahap perbaikan loch. Koq Nggak selesai-selesai yach? Pada kondisi normal, perjalanan ini bisa ditempuh dalam waktu 8 jam saja. Kalau anda tidak berhenti-berhenti di sepanjang jalan, anda bisa mencapai Makassar dalam 6 jam saja dari Rantepao! Pembelian tiket dilayani sejak beberapa hari sebelum keberangkatan. Saya sangat merekomendasikan anda membeli tiket sebelum hari keberangkatan agar tidak tumpang tindih dengan penumpang lain sekaligus mendapat kepastian tempat duduk. Saya sendiri telah memesan tiket menuju Makassar pada malam sebelumnya. Loket tiket bus ini buka hingga pukul 10 malam. Ada perbedaan yang cukup jelas antara depo Litha di Rantepao dengan Makassar. Kalau di Makassar, Litha sudah menggunakan tiket yang dicetak dengan printer. Nah, di Rantepao, tiketnya agak berbeda karena masih ditulis dengan tangan. Pembaharuan mesin tampaknya belum mencapai Tana Toraja nich. Hehehe. Oh yah, jadwal keberangkatan bus pertama dari Toraja pada pukul 07.30. Bus kedua akan berangkat pada pukul 09.00. Silahkan hitung sedetail mungkin, kapankah anda harus mencapai Makassar. Saya sendiri harus mencapai Makassar sebelum pukul 7 malam lantaran pesawat saya berangkat pukul 8. Jadi, saya harus mengambil bus yang paling pagi. Seperti biasa, seperti umumnya bus dimanapun, ngaret pasti terjadi. Bus yang seharusnya berangkat pada pukul setengah delapan pagi, baru beranjak dari Rantepao pada pukul delapan. Berharap mendapatkan perjalanan yang lancar, bus masih berhenti-berhenti di sejumlah titik di Rantepao demi mendapatkan penumpang dan baru tiba di Makale pada pukul 9 siang. Duh, saya sampai keringet dingin. Mungkinkah mencapai Makassar sebelum pukul 7 malam lantaran pesawat yang harus saya tumpangi akan berangkat pada pukul 8 malam? Saya hanya berdoa saja semoga ngetemnya bus ini tidak mempengaruhi waktu destinasi untuk tiba di Makassar. Bus sendiri berhenti cukup lama di Makale demi mengangkut penumpang. Duh! (Note : Menumen Lakipadada, Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan adalah ikon Kota Makale. Patung ini terdapat di pusat kota, dengan ukuran yang menakjubkan dan berdiri di tengah-tengah kolam buatan).

Thursday, September 16, 2010

Kopi Kalosi Toraja Dari Aurora Wibrianne

Inilah wajah Kopi Toraja yang mendunia itu. Saya bertemu dengan teman saya di Tana Toraja ini, Aurora Wibrianne dan dia memberikan dua kotak (eh, kotak, atau apa yach namanya?) sebagai kenang-kenangan bahwa saya menjejakkan kaki di Tana Toraja untuk kali keduanya. Yang menyenangkan, saya kenal Aurora Wibrianne dari kunjungan kali pertama saya ke Tana Toraja. Dari situ, kami berkenalan dan bersahabat. Nah, ketika ada kesempatan untuk saya kembali ke Tana Toraja untuk kali kedua, saya sangat bersemangat untuk menjumpai Aurora (panggilan : Aure). Ternyata, gadis yang rajin menulis blog dan gemar mempromosikan kebudayaan Toraja ini adalah gadis yang periang, penuh dengan cerita dan wawasan serta seru diajak ngobrol! Waw, rasanya semua topik seru sekali untuk diobrolkan, hingga lupa waktu dan lupa bahwa Mama-nya Aurora menunggu di mobil yang diparkir di depan Wisma Maria. Hehehe. Maaf ya Tante :)
Nah, Aurora memberikan saya dua kotak kopi Toraja, kopi yang berasal dari Kalosi, satu desa di Kecamatan Alla di Kabupaten Enrekang yang bertugas mengumpulkan kopi di wilayah sekelilingnya. Uniknya, walau bukan berada di Toraja, namun nama Kalosi-Toraja sering sekali disebut dalam satu tarikan nafas untuk memberi merek generik kopi yang berasal dari wilayah Tana Toraja. Ada yang tahu kenapa? Hidung dan mulut saya belum terlalu pandai membedakan jenis-jenis kopi. Arabika dan Robusta saja masih terasa sama untuk saya. Hehehe. Tapi, saya bisa merasakan bahwa Kopi Toraja ini harum dan memiliki rasa yang agak masam saat hisapan pertama. Entah bener atau tidak, tapi ini yang saya rasakan. Buat para penggemar kopi di luar sana, boleh banget mengkoreksi saya. Hehehehe. Cantiknya kopi Kalosi-Toraja yang dikemas dalam kotak bambu berbentuk aneka rupa (bulat, kotak, dll) lalu diukir dengan ukiran Toraja layak banget anda jadikan buah tangan. Ini adalah buah tangan yang khas Toraja. Terlebih kemasannya, bisa berguna untuk banyak hal sekaligus sangat etnik. Oleh-oleh kopi ini bisa ditemukan dengan mudah hampir di seluruh wilayah Kota Rantepao, mulai dari supermarket hingga kios-kios. Oleh-oleh ini bisa mengingatkan kita akan Tana Toraja dan orang yang memberikan oleh-oleh tentunya :) Aurora, Terima Kasih untuk oleh-olehnya yang sangat berkesan yach. Teruskan perjuanganmu untuk selalu mempromosikan Tana Toraja, dimanapun! :)

Kue Tori Manalagi Dan Sirup Markisa Tana Toraja

Malam akhirnya tiba di Tana Toraja. Sudah tidak ada lagi objek wisata alam yang buka selepas malam. Maka, saya mengakhiri kunjungan saya di Ke'te' Kesu'. Saya memutuskan untuk kembali ke kota dan menghabiskan malam disana. Saat malam begini, adalah saat yang tepat untuk belanja oleh-oleh! Setelah mengisi perut (jujur saja, gado-gado di Tana Toraja tidak seenak di tempat aslinya), akhirnya saya berkeliling pasar untuk mendapatkan produk pangan khas Tana Toraja. Hasil pencarian tersebut membuahkan satu jenis makanan berwarna hitam, panjang, kering dan berwijen serta tidak tampak menarik untuk dikonsumsi. Penganan ini diletakkan dalam ember-ember besar di tepi jalan di pasar Rantepao. Makanan apakah itu?
Iseng-iseng saya bertanya pada para penjual tersebut. Mereka, alih-alih menjelaskan, malah meminta saya untuk mencicipi kue tersebut. Saya sempat kaget. Ada testernya, barangkali? Ternyata mereka membuka ember besar tersebut dan meminta saya untuk mengambil kue tersebut. Ember besar tersebut terisi setengahnya oleh benda hitam berbentuk panjang dan saling tumpang tindih tersebut. Saya yang kurang yakin bertanya sekali lagi dan mereka mengijinkan. Saya mencicipi kue tersebut. Dilihat dari bentuknya, saya membayangkan sesuatu yang keras dan terlalu manis. Namun, ketika saya menggigitnya, saya terkejut. Kue ini tidak keras, lembut dan manisnya pas. Ditambah dengan taburan wijen di kulit kue tersebut, tampaknya semakin menggurihkan cita rasa kue ini. Inilah Kue Tori, kue khas Toraja yang terkadang dikenal sebagai Kue Manalagi (Maklum, merek dagang paling terkenal Kue Tori ini adalah merek Manalagi). Kue ini aslinya berada di perbatasan Karassik-Rantepao, 1 kilometer di selatan Kota Rantepao. Namun dalam perkembangannya, kue ini merambah hingga ke tengah kota dan dijual dimana saja, mulai dari kaki lima hingga ruko. Kue ini mengingatkan saya akan kue cucur yang dipotong-potong dan dipadatkan hingga kering. Cita rasanya kuat di gula aren. Kue ini pas sekali dibawa sebagai oleh-oleh karena rasanya enak, cukup awet, dan tidak ditemukan di tempat lain selain Toraja. Sebungkus kue ini (sekitar 200-250 gram) dihargai Rp. 10.000 - Rp. 20.000. Harganya berbeda-beda tergantung lokasi penjual. Harga toko tentunya lebih mahal dibanding emperan pedagang kaki lima.
Oleh-oleh lain yang menarik dan bisa ditemukan di Toraja adalah Sirup Markisa. Ada juga sich Sirup Tamarilla atau Terong Belanda namun yang paling umum ditemukan adalah Sirup Markisa. Sirup-sirup ini hadir dalam berbagai kemasan dan harga. Harga sirup tidak pernah berbohong terhadap kualitasnya. Sirup yang harganya mahal umumnya adalah penyaringan pertama dari buah markisa. Sirup yang harganya murah umumnya adalah hasil penyaringan berkali-kali dari buah markisa. Akibat dari penyaringan berkali-kali, cita rasa markisa sudah sangat hilang dalam cairan tersebut. Gula pun terlalu banyak ditambahkan pada sirup yang berharga murah. Berbeda dengan sirup yang mahal dimana rasa markisa sangat kuat dan manisnya tidak berlebihan. Pada sirup yang mahal, kandungan serat asli buah markisa masih banyak terkandung di dalamnya. Sirup ini dijual mulai dari harga Rp. 7.000 per botol hingga Rp. 30.000. Dari harga ini, seharusnya anda sudah tahu yach, mana sirup yang penyaringan pertama, mana sirup yang sudah penyaringan berkali-kali.
Oleh-oleh lainnya yang banyak ditemukan di Rantepao namun bukan asli berasal dari Toraja adalah Enting dan Bagea. Enting banyak terdapat dari Enrekang. Dalam perjalanan anda dari Enrekang menuju Toraja, anda pasti menemukan makanan ini di ruas Enrekang - Makale. Sementara itu, Bagea adalah makanan khas Indonesia Timur dan cukup terkenal di Maluku dan Manado. Namun, umumnya bagea yang disajikan di tempat ini berasal dari Palopo dengan bahan baku kacang kenari. Walaupun kurang autentik, anda tetap saya sarankan untuk membawa kedua produk ini sebagai oleh-oleh. Rata-rata, snack lainnya ini berharga Rp. 15.000 - Rp. 25.000. Buat anda yang kuatir bagaimana cara membawa barang-barang ini, jangan kuatir! Mulai dari toko hingga emperan toko menyediakan kardus-kardus yang bisa anda pilih untuk mengepak oleh-oleh Toraja anda. Menyenangkan bukan?

Gado-Gado Dari Tana Toraja Di Restoran Mambo?

Kayaknya, ada hukum dasar yang berlaku tentang makanan khas daerah, dimanapun makanan itu berasal. Ini menurut saya loch. Hehehe. Buat saya, makanan khas daerah yang paling enak adalah makanan yang berasal dari tanah airnya itu sendiri. Begitu makanan tersebut dibawa keluar dari daerah asalnya, rasanya tidak akan pernah bisa sama lagi. Bahan-bahan pendukung dan keahlian pembuatnya sudah jelas akan berbeda. Belum lagi kualitas tanahnya, tanaman yang hidup di atasnya, hewan bahan baku yang makan tanaman tersebut, kualitas air, kualitas angin, kualitas matahari, iklim dan banyak faktor lainnya. Nah, saya punya pertanyaan nich. Pernah cobain masakan Minang yang asli di Batusangkar? Pernah nyobain Soto Banjar asli di Banjarmasin? Pernah nyobain Nasi Liwet asli di Solo? Tahu Telur Surabaya? Bingka Pontianak? Pempek Palembang Ulu 9/10? Sop Konro Makassar? Se’i Babi Timor? Dan Babi Guling Denpasar? Malam terakhir saya di Tana Toraja saya habiskan di satu restoran di Jalan Sam Ratulangi. Restoran ini adalah salah satu restoran yang cukup terkenal di kalangan wisatawan yang mengunjungi Tana Toraja. Namanya Restoran Mambo. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Wisma Maria I, sederetan dengan Mart’s Cafe. Restoran ini masuk dalam daftar rekomendasi restoran yang wajib dicicipi selama di Tana Toraja. Hidangan andalan restoran ini tentu saja Masakan Toraja seperti Pa’piong dan Londong selain menu internasional, chinese food dan masakan asli Indonesia. Lagi-lagi, saya tidak mempersiapkan diri untuk memesan pa’piong terlebih dahulu. Kali ini pun, saya nggak sempat mencicipi makanan tersebut. Ketika menelusuri daftar menu, saya tertegun di menu “gado-gado”. Seru juga kali yach makan gado-gado di Tana Toraja, malam-malam begini. Tiba-tiba, saya sangat ingin sekali menikmati gado-gado. Ya sudah, tanpa berpikir panjang lagi,akhirnya saya memesan gado-gado. Pilihan ini juga saya buru-burukan lantaran Restoran Mambo tutup pada pukul 10. Saya baru mencapai restoran ini pada pukul 21.30 malam. Nggak ada waktu lagi untuk memilih-milih. Tak lama, gado-gado yang saya pesan keluar. Umumnya, gado-gado memang tidak terhidang bersamaan dengan nasi. Namun, biar kenyangnya benar-benar pol, akhirnya saya memesan nasi juga. Nah, seperti yang saya bilang di awal, terus terang kalau saya boleh berkata jujur, rasa gado-gadonya mengecewakan. Gado-Gado yang asli dari wilayah Jakarta tersebut tidak memuaskan saya. Saya pernah makan gado-gado kampung di tepi pasar di sudut Jakarta yang enak banget! Rasa gado-gado yang saya makan di Tana Toraja ini agak ajaib, tidak mirip seperti gado-gado. Memang sich, kandungan sayur-sayur pendukungnya mirip. Saya menemukan adanya tempe, tahu, telur, kacang panjang, kol, dan sayur-sayuran hijau. Semua sayur tersebut disiram dengan bumbu kacang yang berwarna kehitaman, tidak seperti bumbu kacang pada umumnya yang berwarna coklat muda terang. Setelah itu, gado-gado tersebut ditutup dengan kerupuk. Maaf saja, Restoran Mambo ini harusnya masuk dalam daftar rekomendasi. Tapi tampaknya, saya salah memilih menu. Hehehe. Harusnya, saya memesan menu makanan Toraja atau menu makanan internasional saja kali yach? Jujur saja, gado-gadonya mengecewakan saya. Menariknya, gado-gado termasuk salah satu menu yang harganya cukup murah dibanding menu makanan lain. Menu Toraja pada umumnya seperi Pa’piong dan Londong, masing-masing dihargai Rp. 40.000. Untung saja, saya memesan menu jus Mambo yang terdiri atas wortel, pepaya dan mangga yang rasanya enak banget! Kalau minuman ini, segelas sich rasanya kurang. Hehehe. Untuk anda yang nanti berencana makan malam atau siang di restoran Mambo ini, coba dech untuk tidak memesan menu makanan daerah non-Toraja. Coba anda pesan makanan internasionalnya yang terlihat jauh lebih menggiurkan dibanding menu yang saya pesan.

Wednesday, September 15, 2010

Wajib Mengunjungi Ke'te' Kesu'

Tujuan akhir saya sebagai penutup jalan-jalan di Toraja Utara adalah Ke'te' Kesu'. Saya memilih tempat ini karena Ke'te' Kesu' adalah pusat kunjungan wisatawan yang paling terkenal di seluruh Tana Toraja. Dengan akses jalan yang bagus, dekat Rantepao, desa wisata terawat dan komplit atraksinya, wajar banget Ke'te' Kesu' menjadi terkenal dan ramai dikunjungi turis. Saya menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Balusu hingga ke Ke'te' Kesu'. Saya harus kembali menempuh semua jalur yang saya lewati tadi dan mengikuti aliran Sungai Sa’dan. Ke'te' Kesu' terletak di sisi lain Kota Rantepao. Saya harus melewati Rantepao dulu baru bertemu Ke'te' Kesu'. Walau pernah mengunjungi Ke'te' Kesu', tapi saya merasam kunjungan ke Tana Toraja nggak pernah lengkap kalau nggak menyambangi tempat ini. Yuk, kita kembali lagi sekaligus bernostalgia.

Sayang, sore itu Ke'te' Kesu' diguyur hujan. Saya tetap nekad memacu kendaran saya kesana. Sewa motornya masih ada sisa jam. Sayang banget kalau hujan menghambat perjalanan saya. Untungnya, jalanan menuju Ke'te' Kesu' cukup baik walaupun berukuran tidak terlalu besar. Walaupun hujan, sejumlah wisatawan tetap tampak di Ke'te' Kesu'. Ke'te' Kesu' adalah desa wisata yang terkenal akan deretan Tongkonan dan Alangnya yang berjejer cantik. Serupa dengan Desa Pallawa, Ke'te' Kesu' menawarkan lebih banyak atraksi dan variasi kerajinan tangan. Adalah sesuatu yang sangat wajib dilakukan bila anda berkunjung ke Tana Toraja dan berfoto dengan latar belakang yang cantik khas Toraja ini. Sejumlah Tongkonan yang masih digunakan hingga kini berpadu dengan deretan Alang yang difungsikan sebagai lumbung padi memang menjadi pemandangan khas Toraja yang banyak sekali menghiasi pemandangan di kartu pos maupun internet dan majalah. Mencari Ke'te' Kesu' tidaklah susah. Dari Rantepao, berjalanlah ke arah selatan menuju Makale. Kurang lebih satu kilometer dari pintu gerbang kota, anda akan bertemu dengan pertigaan Karassik yang memiliki patung kerbau belang di tengah-tengah jalan raya. Dari pertigaan ini, beloklah ke kiri dan terus sekitar 5 kilometer jauhnya, anda akan bertemu plang Ke'te' Kesu' di sebelah kanan jalan. Dari jalan masuk menuju Ke'te' Kesu', anda akan melihat deretan Tongkonan dan Alang yang menjadi khas pemandangan Toraja. Dilatari dengan sawah dan pegunungan, pemandangan ini sungguh cantik.
Tiket masuk untuk memasuki Ke'te' Kesu' sebesar Rp. 10.000. Loket masuk sudah tersedia di tempat ini. sebelum masuk, anda akan melihat deretan toko souvenir dan kerajinan khas Toraja berjejer di tempat ini. Semua toko tersebut memajang banyak kerajinan dengan harga yang bersaing dan murah. Selepas toko-toko souvenir, inilah Ke'te' Kesu', Toraja yang sesungguhnya.
Kalau sudah dari Pallawa, Ke'te' Kesu' ini tidak akan terlalu spesial untuk anda. Bentang Tongkonan antara kedua tempat ini hampir serupa. Foto yang dihasilkan pun cenderung akan mirip. Perbedaan yang cukup jelas adalah Ke'te' Kesu' lebih berkembang, terutama dari adanya museum yang ada di dalam kompleks dan sebuah workshop pembuatan ukiran Toraja di salah satu rumah. Ini menunjukkan, perkembangan Ke'te' Kesu' sudah berorientasi wisata. Sementara itu, Desa Pallawa masih ditinggali layaknya desa pada umumnya. Sembari melihat dan berfoto-foto, anda bisa melihat bagaimana ukiran Toraja dibuat dan kalau perlu belajar dari para pembuatnya. Setelah belajar, jangan lupa untuk membeli beberapa produk ukiran tersebut.
Setelah puas berfoto dengan latar belakang Tongkonan, sekarang saatnya anda melihat makam Toraja. Ada sebuah jalan masuk diantara Tongkonan dua dan tiga yang akan mengantarkan anda ke makam. Jangan takut, walaupun jalanannya kecil dan penuh oleh rerimbunan tanaman sehingga berkesan gelap dan suram, namun disini banyak terdapat toko souvenir sehingga anda tidak perlu merasa takut. Jalan masuk tersebut akan berujung pada sebuah tebing dan beberapa bangunan unik makam Toraja. Adalah makam para bangsawan Toraja yang dimakamkan di tempat ini. Salah satu bangunan dengan bentuk seperti drum raksasa menyimpan banyak sekali koleksi tulang belulang dari keluarga bangsawan dan seluruh silsilah keluarganya. Beberapa tau-tau (boneka representasi manusia) leluhurnya masih tampak dan dipajang di depan makam. Sementara itu, makam yang jauh lebih berkesan Toraja terdapat di atas tebing. Deretan erong (peti mati) atau kubur batu khas Toraja tampak digantung di langit-langit tebing. Beberapa erong yang hancur memperlihatkan isinya : tengkorak dan tulang belulang. Ada sebuah pintu sorong yang dibuat di antara erong di tengah-tengah tebing. Pintu tersebut melindungi puluhan tau-tau yang dipajang di tempat itu. Sudah merupakan ritual kebiasaan Orang Torajalah bahwa harta benda sang almarhum ketika masih hidup biasanya akan diikutsertakan pada mayat atau tau-taunya. Sudah jamak ditemukan bahwa tau-tau memiliki perhiasan emas berlian yang cukup mahal. Oleh karena itu, nggak heran tau-tau menjadi sasaran empuk para pencuri. Sudah sering dilaporkan kasus pencurian perhiasan atau benda berharga di tau-tau. Demi mengantisipasi hal tersebut agar tidak terjadi lagi, maka keturunan dari sang almarhum akhirnya membuatkan pintu yang bisa dikunci untuk melindungi tau-tau dari tangan-tangan jahil.
Walaupun sudah sore, Ke'te' Kesu' masih cukup ramai. Beberapa turis bahkan memanjat tebing hingga ke puncak, sesuatu yang tidak saya lakukan karena sudah agak gelap, hampir menjelang malam. Akhirnya, saya kembali ke depan, bersama dengan segerombolan turis yang hendak pulang juga. Walaupun secara umum tempat wisata di Toraja tutup setelah gelap, namun secara praktek, beberapa toko souvenir masih buka melewati jam 6 sore, bahkan cenderung masih ramai. Beberapa turis yang menyudahi kunjungan mereka di Ke'te' Kesu' umumnya masih asik berbelanja souvenir di toko-toko yang banyak bertebaran di pintu keluar. Saya sendiri termasuk orang yang memborong aneka souvenir cantik tersebut. Saya membeli kain, ukiran khas, dan benda-benda khas Toraja yang bagus-bagus dan harganya cukup murah. Memang, dibandingkan dengan harga di Pasar Rantepao, harga di tempat wisata jauh lebih murah. Beberapa benda seperti ukiran, bisa beda hingga setengah karena umumnya tiap toko di lokasi wisata memiliki workshop untuk mengerjakan ukiran tersebut sendiri. Kecuali anda terpaksa sekali, usahakan untuk membeli produk kerajinan tangan ini di tempat asal dimana mereka memproduksinya. Anda akan mendapatkan harga murah yang menarik.