Niat saya sebenarnya sich udah mau pulang, udah malam gitu loch. Tapi, saya kan hanya sebentar di Toraja ini, koq rasanya sayang banget yach kalau cepat-cepat kembali ke hotel? Biarpun waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, saya masih ingin berjalan-jalan. Untungnya, walaupun sudah agak gelap, tapi matahari masih bersinar terik di ufuk barat sana. Agak aneh juga sich. Jadi, kemana lagi yach sesudah Londa dijelajahi?
Saya memacu motor saya pelan-pelan. Tadinya, saya tidak berniat untuk keluar dari jalan raya utama. Saya hanya mencari objek wisata yang ada di jalan utama saja. Tiba-tiba, ketika hampir sampai di Rantepao, jalanan bercabang besar. Ada sebuah patung sapi (atau kerbau) di tengah pertigaan dan sebuah papan petunjuk yang bertuliskan Ke’te’ Ke’su ke arah percabangan tersebut. Jreng! Saya pernah mendengar nama Ke’te’ Ke’su sebelumnya seperti saya pernah mendengar Londa dan Lemo. Tanpa ragu berhubung matahari masih bersinar di ufuk barat, saya membelokkan motor saya ke arah kanan, masuk ke pertigaan Karassik. Ke’te’ Kesu’, saya datang!
Jalanan masuk menuju objek wisata ternyata tidak terlalu sepi walaupun juga nggak bisa dibilang ramai. Pemandangan yang mendominasi sekeliling adalah sawah yang hijau. Sesekali, saya bertemu dengan mobil melintas. Jalan menuju Ke’te Ke’su masih panjang, sekitar 5 KM. Di tengah-tengah perlintasan antara Karassik dan Ke’te’ Kesu’, saya mendapati ada objek wisata lain, Buntu Pune. Saya lurus terus demi mengejar Ke’te’ Kesu’. Buntu Pune bisa dikunjungi kalau masih ada waktu lebih, pikir saya. Tak lama, setelah ada gapura selamat datang di suatu desa (saya lupa namanya), tiba-tiba papan petunjuk objek wisata Ke’te’ Kesu’ tampak di sebelah kiri jalan. Sebuah mobil di depan saya pun ikut berbelok. Gerbang masuk yang kecil, jalanannya agak rusak, beberapa anak-anak menduduki pos penjagaan gerbang, mewarnai pintu masuk Ke’te’ Kesu’. Pemandangan sawah di kanan saya langsung menari-nari. Indah sekali. Beberapa mobil dan bus diparkir di depan sawah tersebut. Hmm...Ke’te’ Kesu’ tampaknya objek yang ramai juga yach?
Beberapa toko souvenir berjejer di tepi seberang sawah tersebut. Jumlah tokonya memang tidak sebanyak Lemo. Namun, kelengkapan barang-barang yang dijualnya boleh dikatakan lumayan. Aneka macam pernak-pernik khas Toraja ada disini. Belanja oleh-olehnya nanti saja kali yach? Saya segera melintas berbarengan dengan para bule tersebut yang membeli tiket masuk. Loket tiket masuk di Ke’te’ Kesu’ dijaga oleh anak-anak. Hampir saja saya dikira turis asing dan diharuskan membayar untuk harga wisman. Buru-buru saya bertanya “berapa harga tiketnya” untuk menegaskan bahwa saya adalah wisatawan lokal. Seperti biasa, harganya Rp. 5.000 untuk wisatawan domestik. Segera saya mengikuti rombongan turis asing tersebut ke kanan,menyusuri deretan toko souvenir yang berjarak jarang-jarang.
Ternyata, ini dia tempatnya. Tana Toraja yang selalu ada dalam benak saya ada di Ke’te’ Kesu’! Deretan Tongkonan berhadap-hadapan di sebuah tanah lapang yang seringkali muncul di kartu pos bertuliskan “Indonesia” ternyata diambil disini. Disini, deretan Tongkonan berhadap-hadapan dengan Tongkonan yang difungsikan sebagai lumbung beras. Segera, tidak membuang-buang waktu karena sudah agak malam, saya berfoto di deretan Tongkonan yang menurut saya, sangat autentik Tana Toraja. Seusai (baca : puas) berfoto, saya mengelilingi tanah lapang tersebut. Ke’te’ Kesu’ ternyata lebih ramai dibanding objek wisata lain yang saya kunjungi sebelumnya. Kemungkinan pertama mungkin karena lokasinya yang dekat dengan Rantepao. Kemungkinan kedua, tampaknya disebabkan oleh foto Tana Toraja yang sangat terkenal itu dibuat disini. Kemungkinan ketiga, Ke’te’ Kesu’ ternyata dinobatkan sebagai objek wisata terapih dan terlengkap dari segi atraksinya. Objek wisata yang dimaksud meliputi deretan Tongkonan, toko souvenir, melihat langsung pembuatan ukiran, makam, Tau-Tau, Erong, dan goa tempat meletakkan jenazah serta pemandangan alam yang memang cantik (hijaunya sawah dipadu dengan latar gunung memang membuat meleleh siapa saja yang melihatnya). Uniknya pula, Ke’te’ Kesu’ ramai oleh turis asing yang sudah agak berumur alias kakek dan nenek yang masih lincah dan mahir menggunakan aneka kamera, mulai kamera compact hingga DSLR berlensa tele yang besar. Mereka asik memotret berbagai objek yang memang unik seperti aneka Tongkonan, ukir-ukiran, tanduk kerbau, hingga yang ‘agak’ biasa seperti ayam, kucing, dan anjing yang berkeliaran di sekitar Tongkonan. Kalau Ke’te’ Kesu’ dinobatkan sebagai lokasi wisata terindah dan terlengkap di Tana Toraja, saya juga tidak menyangsikannya. Dibandingkan objek wisata lain, Ke’te’ Kesu’ tergolong yang aksesnya paling mudah dan jalannya ‘terbaik’ diantara yang lain.
Walaupun merupakan objek wisata, ternyata Tongkonan yang ada di Ke’te’ Kesu’ ditinggali! Saya menjumpai beberapa pernak-pernik seperti jemuran di bagian belakang Tongkonan hingga ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya sambil menyuapi makan dengan santai di salah satu rumah. Tampaknya memang beberapa warga masih tinggal di deretan Tongkonan cantik ini. Di bagian belakang deretan, ada sebuah workshop sederhana tempat membuat ukir-ukiran Toraja yang umum ditemui di sekujur tubuh Tongkonan atau Erong. Prosesnya terlihat menyenangkan dan pewarnaannya dengan pewarna alami pula.
Setelah puas bermain dengan deretan Tongkonan, masuklah lebih lanjut ke dalam jalan kecil yang terletak di deretan Tongkonan paling depan dengan Tongkonan kedua. Jalanan kecil ini akan membawa anda menuju makam-makam menakjubkan, aneka Tau-Tau, dan deretan Erong gantung. Walaupun agak gelap, tapi banyaknya turis yang berkunjung kesini membuat kunjungan tidak terlalu menyeramkan. Kalau anda nggak yakin, anda bisa minta bantuan salah satu anak-anak kecil yang ada di Ke’te’ Kesu’ untuk mengantarkan anda masuk ke dalam makam. Jangan kuatir, umumnya mereka memang senang mengantar turis dan mungkin ke depannya mereka ingin berprofesi sebagai tour guide? Bayaran yang pantas antara Rp. 5.000 – Rp. 10.000 sudah cukup membayar jasa mereka. Mereka umumnya banyak bercerita namun harus dipancing terus dengan pertanyaan. Seperti misalnya ada sebuah makam yang berbentuk unik, layaknya sebuah drum besar tempat menyimpan seluruh kerangka keluarga besar mereka. Untuk mengorek info ini, anak tersebut harus ditanya-tanya terus karena tidak proaktif dalam memberikan informasi. Untungnya, mereka masih bisa memberikan informasi walaupun harus sedikit dikorek-korek terlebih dahulu. Deretan makam unik ini meliputi makam yang mirip dengan drum besar, Tongkonan yang berwarna pucat tidak berwarna, dan sebuah makam Toraja biasa dengan Tongkonan di atasnya yang dihiasi dengan foto-foto di kala sang almarhum masih hidup. Selain beberapa makam berbentuk unik yang ada disini, ada sebuah tangga menuju atas dinding batu yang menampilkan jejeran Erong yang tergantung di atas, sebagian masih utuh dan dalam kondisi baik, sementara itu sebagian besar sudah dalam kondisi hancur dan menampilkan isinya kemana-mana : tengkorak dan tulang belulang. Sementara itu, deretan Tau-Tau yang terduduk di balkon dibuat mirip dengan aslinya, bukan sekedar manifestasi manusia seperti di Lemo. Sayangnya, mereka semua duduk di dalam terali besi yang digembok. Model terali besi ini seperti pintu ruko yang bisa disorong dan geser. Adanya pintu terali ini untuk mencegah pencurian benda-benda berharga yang biasanya disertakan di tubuh Tau-Tau sebagai bekal mereka di dunia sana. Orang Toraja percaya, dalam upacara kematian, benda-benda kesayangan diikutsertakan dalam jenazah mereka atau disematkan di Tau-Tau agar di dunia sana, mereka masih bisa menikmati benda-benda tersebut. Benda-benda tersebut umumnya meliputi pakaian kesukaan, pakaian yang dipakai sehari-hari hingga perhiasan yang terbuat dari emas dan berlian. Inilah masalahnya. Para pencuri yang mengetahui bahwa benda-benda tersebut dikuburkan bersama dengan jenazah atau disematkan di tubuh Tau-Tau, berusaha membongkar makam atau mempreteli perhiasan di Tau-Tau. Akan sebab itulah, kini jarang ditemui perhiasan mahal yang masih ditanam bersama dengan jenazah atau disematkan di Tau-Tau. Untuk perhiasan yang masih ada, penggunaan terali besi menjadi kewajiban untuk melindungi Tau-Tau dan jenazah dari pembongkaran.
Ke’te’ Kesu’ tutup cukup malam. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat, walaupun matahari sudah setengah terbenam di ufuk barat, Ke’te’ Kesu’ masih cukup ramai. Beberapa turis bahkan ada yang baru tiba. Saya saja sampai heran, ngapain malam-malam begini datang ke Ke’te’ Kesu’? untungnya juga, toko-toko souvenirnya tutup cukup malam. Saya masih sempat memilih-milih oleh-oleh di salah satu toko souvenir yang masih buka. Toko yang terletak paling depan, dekat dengan parkiran ini dikelola oleh seorang bapak beserta putrinya. Uniknya, bapak ini pernah lama tinggal di Yogyakarta sehingga sedikit banyak ia tahu bagaimana caranya memasarkan kain-kainan tradisional. Selain menjual kain Toraja, toko ini menjual semua yang anda bayangkan tentang Tana Toraja, mulai dari ukir-ukiran, miniatur Tongkonan, aneka peralatan rumah tangga bercorak ukiran Toraja, kaus, tas, aksesoris kalung dan gelang hingga gerabah. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli tenun ikat Toraja. Senang rasanya mendapatkan barang bagus dengan harga oke, bisa ngobrol banyak juga dengan bapak tersebut tentang dunia kerajinan tangan di Toraja. Saya pun pulang seiring dengan semakin gelapnya langit dan berlalunya satu persatu tamu di Ke’te’ Kesu’.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
saya senang anda berinisiatif mempromosikan daerah kami,,,
ReplyDeleteHore...saya senang juga post ini dikunjungi oleh warga lokal yang saya tulis. salam kenal ya! :)
ReplyDelete