Tuesday, July 19, 2011

Borong Bakpia Pathuk 25 Di Asalnya

Saya pertama kali mengenal jenis makanan ini dari lagu yang dibawakan oleh Project Pop. Penyanyinya pun jelas, menyebutkan secara terang-terangan bahwa makanan ini berasal dari Yogyakarta, lengkap dengan lokasinya. Beberapa tahun (mungkin belasan tahun) kemudian, barulah saya mengetahui apa yang disebut dengan Bakpia Pathuk (dalam lagu dilafalkan Bakpia Patok), bagaimana rasanya, dan bagaimana makanan jenis ini merupakan oleh-oleh yang paling terkenal dari Yogyakarta, serta mengapa makanan ini mempunyai nomor (ada juga yang ngga sich).
Perjalanan saya ke lokasi Bakpia Pathuk tidak direncanakan. Saya hanya meminta kepada bapak supir Taksi Citra untuk diantarkan ke lokasi penjualan bakpia yang enak. Bapak tersebut langsung mengusulkan Bakpia Pathuk 25 dan tanpa banyak basa-basi, mobil langsung diarahkan menuju lokasi Bakpia Pathuk 25, Desa Pathuk, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta. Tak lupa, pak supir mengawali perjalanan kami dengan kisahnya akan Bakpia Pathuk 25. Begini ceritanya...
Konon, bakpia terenak adalah bakpia dengan nomor 25, begitu kata pak supir. Nggak heran juga sich, kebanyakan teman-teman saya yang berdomisili di seputaran Jawa Tengah bagian selatan, biasanya menyebutkan angka 25, 75, atau 125, nggak jauh-jauh dari itu. Di luar nomor itu, bahkan ada yang ekstrem mengatakan, palsu! Rasa enak atau nggak sebenarnya relatif. Mungkin ada yang cocok dengan rasa Bakpia Pathuk 25 ini, mungkin orang lain nggak. Namun, menurut info yang berhasil saya korek lagi, bakpia ini adalah pionir pembuatan bakpia di Jalan Pathuk (sekarang bernama Jalan K.S. Tubun) dan diikuti dengan bakpia-bakpia lainnya. Dipadukan dengan manajemen pemasaran yang baik dan, boom, jadilah demam bakpia merajalela di Yogyakarta. Dengan suksesnya, demam ini mengantarkan bakpia menjadi salah satu ikon Yogyakarta selain Gudeg dan Dagadu tentunya. Nah, nomor yang menjadi merek dagang ini dahulunya adalah nomor rumah tempat pembuatan bakpia ini berasal. Ke depannya, walaupun beberapa dari pembuat bakpia tersebut sudah tidak berdomisili di Jalan Pathuk tersebut, nomor tersebut tetap mereka bawa menjadi merek dagang dan dipasarkan di seantero Yogyakarta (bahkan ada Bakpia Pathuk 888. Hmm...saya nggak yakin kalau Jalan Pathuk sebegitu panjangnya).
Bakpia yang akan saya kunjungi adalah bakpia yang cukup legendaris. Katanya sich enak. Nah, entah bagaimana ceritanya, saya mendapatkan info bahwa Bakpia 25 dan 75 ini masih bersaudara. Sementara itu, Bakpia 125 adalah pecahan dari Bakpia 25 yang sama-sama bermaksud ingin sukses dalam menjual bakpia. Bakpia di luar itu merupakan tiruan dari bakpia asli ini. Beberapa bakpia bahkan tidak menggunakan nomor namun menggunakan merek karena tidak dibuat di Desa Pathuk lagi. Yah, saya sich nggak terlalu peduli sama masalah internal seperti itu. Kongsi dan pecah dagang sudah merupakan hal yang biasa dari jaman dahulu. Mau meniru ya sah-sah saja tapi harus inovatif demi bisa mengalahkan sang pionir. Buat saya, yang paling penting adalah rasa dan kualitas! Terserah mereka mau menggunakan taktik dagang apa, namun kelembutan tepung dan renyahnya kacang hijau yang meleleh lembut di lidah ketika digigit, tentu bukan sekedar urusan nomor belaka! Apabila mereka mampu menghasilkan bakpia yang enak, dijamin, nomor mereka akan diingat sepanjang masa. Ini seperti efek domino. Ketika ada teman atau saudara kita yang tahu kita berkunjung ke Yogyakarta, tanpa diminta mereka akan memberikan tips gratis mereka, “bakpia yang enak di nomor sekian loch”. Yah...ujung-ujungnya menjadi nggak gratis juga lantaran mereka tahu kita ke Yogyakarta, dan mereka sudah memberikan tips “gratis”. Ya tentu, ada imbalan “gratis” donk buat mereka yang sudah menyarankan. Hihihi. Di lain sisi, tentu ini sudah menjadi marketing cuma-cuma untuk produsen bakpia yang bersangkutan. Produk enak, perut senang, produsen kipas-kipas, pembeli puas, yang kecipratan oleh-oleh juga sumringah. Lumayan, bisa merasakan Yogyakarta walau cuma lewat bakpia, kata mereka. Hihihi.
Jalan Pathuk terletak tidak jauh dari Jalan Malioboro. Namun, karena Malioboro merupakan jalan satu arah, maka taksi yang kami tumpangi harus agak memutar. Bangunan Bakpia Pathuk 25 ini masih merupakan bangunan lama. Mungkin sudah dari jaman dahulu kala kali yach? Walaupun ramai, tapi kami beruntung masih bisa mendapatkan tempat parkir. Bersama dengan kami, ada segerombolan ibu-ibu dan sejumput wisatawan berkunjung ke lokasi penjualan Bakpia Pathuk 25 ini. Kata sang supir taksi, bahkan kalau beruntung, kami bisa melihat proses pembuatan bakpia. Menyenangkan.
Ternyata ada yang lebih menyenangkan! Saat saya baru masuk ke dalam toko, wangi kacang hijau semerbak memenuhi udara. Mbak-mbak pelayan dengan ramahnya menjajakan bakpia mereka, gratis sebagai tester! Wah, saya tidak lewatkan kesempatan ini. Apabila cicipan bakpia pertama kurang terasa, bakpia kedua masih menunggu untuk dicicipi. Apabila anda belum yakin juga, silahkan cicipi bakpia ketiga yang masih hangat dan lembut tersebut. Sah-sah saja memakan sampai 10 bakpia atau menghabiskan 20 butir bakpia gratis tersebut dengan catatan, anda tahan malu. Hehehe. Saya sendiri menghabiskan sekitar 5 buah bakpia sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli (padahal, bakpia pertama sich memang enak, namun karena gratis, ya kenapa ngga? Hehehe). Sayangnya, bakpia yang dijajakan dengan gratis hanyalah bakpia kacang hijau saja. Bakpia varian lainnya tidak boleh dicicipi. Adapun varian bakpia lainnya antara lain kumbu, nanas, keju, dan coklat. Harganya bervariasi, mulai dari Rp. 20.000 hingga Rp. 25.000. Kalau dihitung-hitung, satunya sekitar Rp. 1.000. Artinya, saya sudah dapat Rp 5.000 gratis di perut saya, YESSS!

Lokasi pembuatan bakpia berada di belakang toko tersebut. Sayangnya, pada siang itu, mereka sedang tidak membuat bakpia. Namun, secara cerdas, bakpia Pathuk 25 menyediakan rak-rak berisi aneka camilan seputaran Jawa Tengah di depan lokasi pembuatan bakpia tersebut. Lumayan deh, sambil nonton cara bikin bakpia, tamu-tamu bisa memilih, camilan mana yang mau dibawa pulang (bayar dulu maksudnya, donk). Aneka camilan seperti kentang putih, keripik singkong, keripik kentang, gadung, gethuk, dan macam-macam ada disini. Ide yang bagus sich buat wisatawan yang nggak mau repot beli oleh-oleh disana-sini. Saya pun ikut terjebak dengan memasukkan beberapa buah kantong camilan ke dalam keranjang belanjaan saya. Untungnya, beberapa diantara camilan tersebut menyediakan tester. Lumayan, kalau rasanya nggak meyakinkan, kan nggak musti dibeli. Mbak-mbak dan mas-mas yang melayani kami sungguh benar-benar fokus pada pelayanan. Pelayanan mereka ekstra. Mereka mampu untuk menjelaskan produk dengan sangat baik. Orientasi mereka sudah jelas mengacu pada kepuasan pembeli. Apabila ada turis-turis yang pertanyaannya mulai aneh-aneh seperti yang kami lakukan, mereka pun dengan sigap menjawab tanpa harus menampilkan wajah aneh. Hehehe. Segera, setelah saya menyelesaikan pembayaran dengan kartu kredit (maklum, gelap mata jadi borong dech ujung-ujungnya sampai duit cash di dompet nggak cukup), mbak-mbak tersebut dengan sigap membungkus semua oleh-oleh saya dalam satu kemasan kardus. Dengan sigap pula mas-mas tersebut membawa kardus tersebut ke alat pengepak untuk diberikan ikatan dan memberikan kami spidol untuk ditulisi nama. Canggih! Pelayanan sempurna tersebut ditutup dengan mas tersebut bertanya dimana mobil kami agar mereka bisa membawakan kardus-kardus tersebut. Saya bilang nggak usah karena kardus tersebut tidak berat. Namun mereka memaksa dan mengatakan tidak masalah. Oke, saya pandu mereka untuk sampai ke taksi. Ketika saya akan memberikan mereka uang tip, mereka menangkupkan kedua tangan seperti sedang berdoa, sambil memberikan hormat dan berkata “tidak usah pak, terima kasih banyak”. Saya merasa tertampar. Hebat sekali! Pelayanan sungguh-sungguh dan sangat tulus yang mereka berikan. Mereka bahkan tidak mengharapkan uang tip. Bahkan mereka membantu kami mengarahkan mobil agar bisa keluar dari area parkir. Sekali lagi, tanpa mengharapkan tip atau uang rokok atau apapun itu. Sudah jelas, saya akan merekomendasikan Bakpia Pathuk 25 kepada siapapun yang berkunjung ke Yogyakarta. Bakpia Pathuk 25 enak dan pelayanannya luar biasa. Jelas, ini bukan promosi. Tapi hanya curahan hati seorang customer yang puas saja!

Saturday, July 16, 2011

Naik Taksi Plus Plus Yogyakarta

Ada yang menarik di saat detik-detik terakhir saya harus bergegas menuju Bandara Adi Sucipto. Saya yakin, Bus Trans Yogya bisa membawa saya untuk mencapai Bandara pada waktunya. Kalau posisi saya di Malioboro, mungkin saya hanya perlu sekali ganti bus atau tidak perlu ganti sama sekali. Berbekal kepedean tersebut, saya *dengan ransel, tas dan kantong kresek di kanan kiri badan* masuk Halte Bus Trans Yogya Malioboro. Saya membeli tiket seharga Rp. 3.000 dan kemudian bertanya pada petugas akan rute menuju Bandara Adi Sucipto. Singkat cerita, ternyata bisa dan sah-sah saja sich mau mencapai Bandara Adi Sucipto via Trans Yogya. Namun, yang jadi persoalan adalah waktu. Bisa saja, saya nggak mencapai Bandara Adisucipto pada waktunya lantaran busnya ini akan muter-muter dulu sebelum sampai di tujuan. Haduh, saya jadi dilema. Kemudian mbak tersebut menyarankan agar naik taksi saja. Saya berpandang-pandangan dengan teman saya. Entah sudah digariskan dari awal, nggak lama, seekor taksi dengan bentuk Kijang Innova datang melintas. Tanpa pikir panjang, akhirnya saya memutuskan untuk memberhentikan taksi tersebut dan inilah saya, di dalam taksi.
Supir taksinya ternyata seorang bapak tua dengan wajah yang sangat khas Jawa. Sapaan yang pertama meluncur dari mulutnya adalah “Good afternoon sir, where do you want to go?”. Mendengar ucapan ini, saya langsung tanpa basa basi berkata “walahlah Pak, saya iki wong Jakarta, ra usah pake Boso Inggris”. Hahahaha. Yang terjadi berikutnya adalah kehangatan. Ya, bapak tersebut mengira saya adalah turis Jepang/Korea yang biasanya memang banyak berkeliaran di seputaran Malioboro, “saya pikir sampeyan turis. Hahaha”. Selanjutnya bisa ditebak, bapak tersebut berceloteh dengan riang dan mengajak kami mengobrol mengenai apa saja, mulai yang sopan seperti seputaran Kota Yogyakarta, Gunung Merapi, profesi kami, Sultan dan Keraton, seputar politik di Indonesia hingga yang agak nyeleneh seperti kelakuan turis-turis asing dan turis lokal, hingga “area merah” Yogyakarta. Ya, arah pembicaraan ini memang tidak bisa ditebak, namun pembicaraan mengalir begitu saja tanpa ada kebebanan untuk mencari topik. Bapak ini ternyata adalah seorang yang gemar ngobrol, pemerhati politik dan lingkungan sosial Yogyakarta dan Indonesia serta wawasannya luas. Saya senang bisa mengobrol banyak dengan bapak ini.
Dalam mobil Kijang Innova yang nyaman tersebut, saya meminta sang bapak untuk mengantarkan saya keliling Yogyakarta sebelum akhirnya tiba di perhentian terakhir, Bandara Adi Sucipto. Ya lah, mumpung naik taksi, mumpung cepat dan waktunya lebih fleksibel, mengapa nggak dimanfaatkan untuk melihat-lihat Yogyakarta? Alhasil, kami menentukan dua tempat yang akan kami kunjungi secara singkat : Bakpia Pathuk 25 dan Saphir Square di Jalan Solo. Memang, terkadang untuk mengetahui info-info miring dari suatu kota atau wilayah, nggak cukup hanya dengan mengandalkan buku petunjuk semata. Maklum, umumnya info-info semacam itu nggak akan pernah ditulis di buku manapun. Bisa bisa tuh buku/brosur dibredel karena merusak nama baik dan bersifat menghasut. Hehehe. Info-info ini bisa didapatkan dari warga lokal, contohnya supir taksi yang saya tumpangi ini. Seru juga mendengar sisi lain dari Yogyakarta. Mudah-mudahan anda nggak salah mengira akan kesesuaian judul dan isi artikel ini.Buat saya, taksi ini memang plus plus koq. Nggak hanya sampai di tempat dengan selamat, tapi banyak bahan obrolan ringan hingga berat yang menarik dan tentunya, menambah wawasan kami akan Yogyakarta.

Friday, July 15, 2011

Hanya "Chicken Soup" Sosrowijayan

Yogyakarta (dan Solo) sich gudangnya makanan murah dan enak. Jadi, kalau mau buka usaha restoran di tempat ini, artinya anda harus masuk dalam kategori “enak” dan “enak sekali”. Kategori “enak” sudah cukup ketat dan desak-desakkan. Kategori “enak sekali” masih cukup lowong dan bisa diisi buat mereka yang mengklaim demikian. Nah, masalahnya, sudah ngga ada tempat lagi buat mereka yang berkategori “biasa saja” dan “nggak enak”. Hahahaha. Tempat yang saya kunjungi ini masuk dalam kategori “enak” sich. Yah, seperti halnya masakan dan makanan di Yogyakarta, hampir semuanya masuk dalam kategori “enak”. Bukan gimana-gimana sich, namun justru saking banyaknya makanan berkategori “enak” tersebut, artinya penilaian “enak” sudah menjadi reguler alias umum. Wahai para pengusaha makanan, anda harus meningkatkan kualitas makanan anda menjadi “enak sekali” atau “wuuuuuueeeennnnaaaaaakkkkkkkk tueeeennnaaaaannnnnnn”. Hahaha.
Awalnya saya bingung. Waktu keberangkatan sudah semakin mepet, saya belum makan siang, saya masih harus menuju bandara, gembolan belanjaan disana-sini. Saya harus makan dengan cepat! Nah, mumpung di Malioboro, nggak ada salahnya dech cari makanan di sekitar sini. Ya itu tadi, makanan di Yogyakarta kan terkenal dengan enaknya. Hehehe. Begitu keluar dari Gang Sosrowijayan, saya segera menjumpai tempat makan ini (nggak juga sich, sebelumnya saya disapa terlebih dahulu sama bapak-bapak yang menawarkan galeri batik, kaos dan kerajinan tangan mereka dulu). Yah, tempatnya lumayan unik dan pengunjungnya ramai, rasanya saya nggak perlu mikir-mikir lebih jauh dech.
Tempat ini bernama Chicken Soup (mungkin untuk memudahkan orang bule mencarinya kali yach?) atau dikenal juga sebagai Sop Ayam. Rasa pertama ketika saya masuk ke dalam tempat ini adalah kejadulannya. Ya, rumah makan ini mengubah sebuah rumah era kolonial sebagai lokasi kegiatan operasional mereka. Meja makan rumah makan ini tersebar diantara ruang-ruang terbuka yang ada di dalam rumah tersebut. Meja kasir dan dapurnya terletak di salah satu ruang. Jadi anggapannya, kalau kita makan di depan, terus pegawainya nggak ngeliat kita, kita bisa aja tuh kabur abis makan *hahaha…malah ngajarin yang ngga-ngga*. Untungnya, pegawainya ada banyak dan berkeliaran dimana-mana. Jadi, nggak susah buat anda memanggil mereka kalau anda ingin memesan makanan. Plus, anda dijauhkan pula dari niat buruk kabur sehabis makan. Hihihi. Toh harganya ngga mahal koq. Sampeyan malu-maluin saja kalau sampai kabur. Ckckck.
Harga makanan di tempat ini bervariasi. Mulai dari Rp. 4.000 sampai Rp. 15.000. Yang termurah adalah sup campuran dan yang termahal adalah sup daging dada. Sup paha Rp. 10.000 dan sup brutu RP. 11.000. Buat yang suka ceker, Cuma RP. 8.000 dan buat yang demen sama sayap, harganya Rp. 9.000. Murah kan? Menu makanan disini semuanya sudah termasuk dengan nasi. Jadi, kalau lagi berhemat parah, makan aja mix chicken soup, Cuma Rp. 4.000 aja koq. Oya, mix chicken soup ini sebagian besar terdiri atas jeroan. Jadi, buat yang berasam urat ria, tolong dihindari yach. Untuk minuman, harganya sich cukup murah juga koq. Es teh, teh hangat, jeruk dingin dan jeruk hangat –secara menakjubkan- harganya dipatok sama semua, Cuma Rp. 1.500. Aneh ya? Apa mereka nggak rugi yach? Yah, tapi untuk Rp. 1.500, anda nggak akan mendapatkan jeruk perasan asli sih. Rasa jeruk yang saya minum mengingatkan saya akan minuman serbuk jeruk instan merek N**** S***. Hehehehe. Untuk tambahan, ada fried soyabean, fried potato dan meatball yang kalau diterjemahkan kurang lebih bermakna : tempe goreng, perkedel dan bakso. Hahahaha. Awalnya saya juga nggak bisa ngebayangin ini makanan apaan. Namun, ketika saya mendapati satu buah lembaran menu lagi yang berbahasa Indonesia, saya baru ngeh. Hahaha. Selain menu tersebut, ada paru dan sate usus juga loch. Harganya cukup terjangkau, diolah secara homemade, dan enak, ini yang paling penting! Walau beberapa menunya cenderung agak nggak sehat seperti jeroan, tapi yah, sekali-kali makan seperti ini nggak salah khan? Lokasi Chicken Soup ini berada di Gang Sosrowijayan, sebelah kanan nggak jauh dari pintu masuk Malioboro.

Wednesday, July 13, 2011

(Kembali) Ke Mirota Batik Malioboro

Saya pernah mengulas tempat ini. Tiga kali ke Yogyakarta, saya pasti akan selalu kembali ke tempat ini. Walaupun ada dua tempat serupa di Yogyakarta, namun saya selalu kembali ke Mirota Malioboro. Ada apa sich di dalam Mirota Malioboro?
Mirota Malioboro adalah department store yang menjual aneka macam oleh-oleh khas Jawa Tengah, terutama Yogyakarta. Harganya luar biasa murah, nggak perlu ditawar, pilihan produknya banyak, tempatnya nyaman dan pegawainya ramah-ramah. Maaf-maaf saja yach buat pedagang kaki lima, saya akan memilih untuk berbelanja di Mirota daripada di emperan lantaran kualitas barang yang dijual lebih menjanjikan (walaupun kaus-kaus khas Yogyakarta seharga RP. 15.000 di emperan juga menarik minat saya sich). Lokasi Mirota Batik atau yang lebih dikenal sebagai Mirota ini ada dua. Satu di Jalan Malioboro yang sangat dekat dengan Sosrowijayan dan Prawirotaman, satu lagi terletak di wilayah Kaliurang. Buat wisatawan yang nggak bertualang sampai wilayah Kaliurang, pastinya akan lebih akrab dengan Mirota Malioboro dech. Yuk mari, kita masuk ke dalam tokonya dan siapkan dompet anda!
Pertama kali saat masuk ke dalam toko, ada satu tumpukan kertas kuning yang menarik minat saya. Ukurannya cukup besar, mungkin sekitar A3. Kertas tipis berwarna kuning tersebut berisi peta Yogyakarta dalam bentuk kartun 3D, menarik sekali. Sementara itu, di baliknya ada sejarah Keraton Ngadiyogyakarta Hadiningrat. Buat petualang, lembaran kertas ini adalah harta karun yang tak ternilai harganya. Lumayan, peta gratis ini bisa mengantarkan kita untuk bertualang menjelajang wilayah kota Yogyakarta sampai ujung Kotagede, Sleman, Kalasan dan Kaliurang. Setelah melewati lokasi deposit penitipan barang, mulailah mata kita dimanjakan dengan deretan rak-rak pakaian yang tentu saja memajang : batik. Aneka macam batik bisa anda temukan disini, mulai dari pakaian tidur hingga dasi! Hihihi. Dasi batik sungguh menarik minat saya sehingga saya merasa harus memilikinya. Uniknya, saya malah jarang melihat produk batik yang benar-benar asli Yogyakarta. Kebanyakan, produk batik yang dijual, mulai dari daster hingga pakaian kerja formal, berasal dari Solo. Sisanya barulah berasal dari Yogyakarta dan Pekalongan. Kenapa yach?
Selain batik, di tengah-tengah ruangan besar tersebut menjual berbagai macam makanan unik khas Jawa Tengah, mulai dari jamu sampai nasi aking! Beranjak ke bagian ujung ruangan, ada deretan blangkon-blangkon Jawa yang menarik. Uniknya, blangkon-blangkon itu dikelompokkan dan diberi label sesuai dengan jenisnya. Misalnya, blangkon Surakarta dan blangkon Yogyakarta, ada ciri khasnya tersendiri. Masing-masing blangkon di dua wilayah kesultanan ini pun memiliki tingkatan. Bisa jadi barang koleksi tuh buat yang gemar akan blangkon. Hehehe. Patung dan diorama kebudayaan Jawa seperti mbok jamu, Loro Blonyo hingga bapak-bapak yang sedang meminta wangsit pun ada disini. Di ujung depan ada seperangkat gamelan dan kereta kencana khas kesultanan. Kayaknya nggak perlu banyak tempat yach untuk belajar kebudayaan Jawa Tengah, di Mirota pun kita bisa melakukannya.
Mirota ini terdiri atas dua tingkat. Kalau di bagian bawah lebih populer untuk sandang dan pangan, nah di bagian atas, kita akan menemukan banyak benda-benda untuk menghiasi papan. Aneka hiasan dinding, gantungan berbunyi, klenengan, wayang kulit, miniatur candi, hingga kipas tangan, perhiasan, aksesoris, dompet, tas dan lukisan serta mainan anak. Pokoknya, mata kita akan dimanjakan dengan ratusan, bahkan ribuan benda-benda unik yang biasanya akan jarang kita temui. Jangan kaget lagi kalau melihat harganya. Harga barang-barang di tempat ini, yaaa nggak bisa dibilang murah juga sich, namun sesuai dengan barangnya! Untuk wayang kulit memang dihargai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Harga yang pantas kalau mengingat proses pembuatannya. Namun, untuk benda-benda seperti miniature Candi Prambanan ukuran sedang hanya dihargai Rp. 6.500 saja! Yah, finishing dan kualitas barang tersebut memang nggak rapih-rapih amat sich. Akan tetapi, untuk harga Rp. 6.500, ini oleh-oleh yang luar biasa! Aneka kalung-kalung etnik yang bisa dipadupadankan dengan batik pun beragam jenis dan harganya, mulai dari Rp. 15.000 hingga Rp. 30.000. Sungguh harga yang pantas untuk kalung dan aksesoris unik yang etnik, sehingga menjadikan kalung tersebut layak masuk ke dalam kantung belanja saya untuk ditukar dengan sejumlah rupiah. Hihihi. Peringatan saya Cuma satu kalau anda nekad masuk ke Mirota Batik : Awas Kalap!

Monday, July 11, 2011

Berkeliling Yogyakarta (Baca : Malioboro)

Buat yang bingung dan hanya memiliki waktu sempit di Yogyakarta (misalnya : pesawat yang akan anda tumpangi akan take off sekitar jam 12 siang atau 3 sore), ternyata, menghabiskan waktu di dalam Kota Yogyakarta sendiri menjadi sesuatu yang menyenangkan. Sebenarnya, waktu masih cukup banyak sich kalau anda mau ke Prambanan, atau Borobudur (yang ini kayaknya harus agak buru buru), namun di dalam Kota Yogyakarta sendiri ternyata banyak sekali tempat untuk menghabiskan waktu sampai waktu check out dan anda harus kembali ke Bandara Adi Sucipto (Kalau Bandara Achmad Yani, beda cerita yaaaa…apalagi Bandara Juanda…hahaha).
Lupakan dahulu soal Prambanan, mari saya ajak anda berkeliling kota. Kota Yogyakarta, mungkin masuk dalam salah satu kategori kota yang cukup ramah untuk pejalan kaki dan pesepeda. Di kota ini, jalur pedestrian cukup tertata (walaupun terkadang bersanding dengan para pedagang kaki lima) dan jalur sepeda sudah muncul sebelum Jakarta memulainya. Yah, memang sich, walaupun termasuk dalam kota yang ramah bagi pejalan kaki, tapi di sepanjang jalan anda akan bertemu dengan lapak pedagang kaki lima, parkiran sepeda motor, pedagang yang menawarkan cenderamata (terutama merek Dagadu), pengayuh becak yang menawarkan jasanya (takut kita capek kalau jalan kaki, katanya…), dan sebaiknya anda tidak meletakkan dompet atau handphone anda di tempat yang terbuka dan mudah terekspos. Awasi semua barang agar selalu dalam perlindungan dan jangkauan anda. Hati-hati sajalah.
Berkeliling Malioboro dan berputar-putar di area sekitarnya tampaknya sich memang cocok untuk penggemar belanja. Maklum, khan sudah hari terakhir, jadinya musti belanja buat oleh-oleh donk? Hahahaha. Ya, jalanan di seputaran Yogyakarta menawarkan banyak sekali toko-toko unik, makanan menarik, buah tangan memikat, benda-benda murah yang tampaknya memang disiapkan untuk memenuhi selera belanja wisatawan. Nggak heran, kemanapun anda melangkah selama masih berada dalam koridor Malioboro, anda akan selalu bertemu dengan toko-toko dan lapak (walaupun frekuensi tawaran pedagangnya menurun apabila anda keluar dari jalan raya utama Malioboro). Sambil jalan dan belanja, ada banyak pula tempat makan yang menarik untuk dicoba. Bahkan, sampai salah satu sudut jalan, saya melihat ada pempek Palembang dijual. Hihihi. Buat para pengelana dari Palembang yang kangen sama pempek kali yach?
Yang jelas, konsumen benar-benar dimanjakan di sepanjang rute ini. Selain lapak-lapak dan toko yang berada di sepanjang Jalan Malioboro, ada mall yang bisa diperhitungkan untuk disambangi, yakni Mall Malioboro. Lumayan khan, saat matahari sudah mulai terik dan berada di atas kepala kita, masuklah ke dalam mall untuk ngadem. Fasilitas anjungan tunai mandiri pun tersebar banyak sekali di sepanjang jalan ini. Pilihan lainnya untuk berbelanja adalah di Pasar Beringhardjo yang lebih tradisional dan Departemen Store Mirota yang terkenal dan menawarkan kelengkapan, kenyamanan dalam hal belanja dan memilih barang. Saat sudah bosan dengan belanja, mampirlah ke Benteng Vredeburg atau Taman Sari di ujung jalan. Bosen juga kali yach ngeliat barang jualan mulu. Cuci matalah dengan peninggalan sejarah dan kekayaan budaya Yogyakarta. Kalau sudah capek, panggil saja becak untuk mengantarkan anda kembali ke hotel. Mereka akan dengan senang hati mengantarkan anda kemanapun, dengan bayaran yang pantas tentunya. Bus Trans-Yogya pun sudah melalui rute ini. Jalan-jalan seharian disini harusnya tidak akan menyusahkan anda. Yang menyusahkan mungkin hanyalah barang bawaan yang semakin besar dan kresek disana sini lantaran nafsu belanja digeber habis. Seandainya saja ada fasilitas kirim langsung ke hotel. Upsss..jangan dech, bisa makin besar bagasinya dan semakin tipis dompetnya…

Lintas Mangkubumi Malam Hari

Sebenarnya sich saya sudah capek. Ingin rasanya langsung berbaring di kasur dan tidur sampai besok. Wuih, padahal hari ini perjalanan hanya dihabiskan di alat transportasi saja loch. Sayang sekali yach? Saya berangkat pagi hari dari Karimunjawa pada pukul 8, dan baru tiba di Yogyakarta sekitar pukul 10 malam. Saya membuang 14 jam di perjalanan saja. Ada rasa sebal juga sich ketika liburan yang diharapkan justru menghabiskan banyak waktu di jalanan alih-alih tempat wisatanya. Tapi, yah mau bagaimana lagi. Sudah seperti itu rancangannya. Jadi, yah, kembali lagi ke urusan capek. Walaupun capek, saya belum makan malam. Perut berkerucuk dan semenjak tadi sore hanya terisi lumpia Semarang saja. Yah, selama beberapa hari di Karimunjawa saya hanya menikmati ikan, ikan, ikan dan ikan saja. Pilihan lainnya agar nggak bosen adalah cumi, udang, telur dan nasi goreng. Terus terang saya bosan! Hahaha. Saya ingin menu makanan yang berbeda, kalau perlu pasta dan berkeju sekalian. Hm…jadilah, malam itu saya berkunjung ke Pizza Hut di percabangan Jalan Pangeran Diponegoro dan Pengeran Mangkubumi, tepat di sebelah Tugu Golong Gilig. Jarak 1 KM dari Malioboro saya habiskan di atas kayuhan sepeda seorang bapak penarik becak agar lebih terasa suasana Yogyakarta-nya. Sayang, berhubung sudah malam, beberapa jepretan foto Yogyakarta kala malam hari saya nggak terlalu jelas, beberapa malah buram. Inilah Yogyakarta malam hari yang kala itu tidak terlalu ramai.





Thursday, July 07, 2011

Hotel Merbabu Yogyakarta

Mungkin bis ini akan berakhir di Terminal Giwangan. Namun, ketika bus ini melewati Jalan Pangeran Mangkubumi dan bersiap berbelok ke Jalan Kleringan, saya segera bergegas untuk turun. Ya, saya telah sampai di Yogyakarta, persis di depan Stasiun Tugu, di seberang Jalan Malioboro. Entah mengapa, Jalan Malioboro adalah Yogyakarta yang paling autentik menurut saya. Tiada tempat di Yogyakarta yang seautentik sepotong jalan ini. Bukan di Sleman, bukan di Bantul, bukan di Kotagede, bukan di Gunungkidul ataupun di Kulon Progo. Bahkan, wilayah lain di Kota Yogyakarta tidak bisa menandingi rasa Malioboro akan Yogyakarta! Jalan ini adalah Yogyakarta yang sebenar-benarnya. Persis seperti nyanyian Kla Project “ada setangkup haru dalam rindu”. Ya, saya sudah menjejakkan kaki di tempat ini sekitar 3 kali. Pada kali keempat pun, rasa rindu itu selalu ada. Ah, Yogyakarta, bagaimana saya tidak merindukanmu? Setiap teringat Yogyakarta, saya selalu kembali menjadi puitis seperti ini. Hihihi.
Ya, saya kembali menyusuri Jalan Malioboro untuk menuju wilayah Sosrowijayan, wilayah di Yogyakarta yang sangat terkenal akan hotel-hotelnya, mulai dari kelas backpacker hingga hotel berbintang. Walaupun malam ini adalah malam di bulan Juni dan orang-orang berkata “saatnya liburan”, namun malam ini terasa sepi. Keramaian tidak terlalu tampak. Malam itu malah bapak pengayuh becak yang lebih banyak mendominasi jalanan dan menawarkan jasanya kepada saya. Saya tolak dengan halus tawaran bapak-bapak tersebut lantaran Sosrowijayan tidak terlalu jauh. Plus, berjalan kaki adalah sesuatu yang sangat saya gemari. Senang rasanya bisa berjalan kaki di Malioboro.
Hotel yang saya cari adalah Hotel Merbabu di Jalan Sosrowijayan GT I/32 Telepon (0274) 551421. Kalau tadi di Malioboro, saya cukup agresif ditawari jasa becak, di Sosrowijayan, selain becak saya ditawari jasa hotel pula. Hehehehe. Untungnya, saya nggak perlu menggunakan bantuan mas-mas yang menawari jasa hotel tersebut. Saya sudah booking Hotel Merbabu semenjak dari Jepara sana. Bahkan, ketika saya kemalaman di jalanan, saya kembali menginformasikan bahwa saya tetap jadi menyewa kamar. Untuk informasi saja, adalah sangat penting bagi anda untuk terus menginformasikan kepada pihak hotel apabila anda kemalaman (lebih dari jam 6 malam –batas waktu check in) dan anda tetap membooking kamar. Hal ini penting dilakukan agar kamar pesanan tidak dijual ke orang lain yang walk-in. Walaupun jalanan Malioboro terasa cukup sepi malam itu, namun kamar hotel ternyata cukup penuh. Entah apa jadinya kalau saya nggak booking kamar terlebih dahulu. Di Yogyakarta sich nggak perlu ketakutan harus tidur di jalanan. Akan tetapi kualitas hotel yang akan didapat mungkin di luar ekspektasi kita jadinya.
Hotel Merbabu, walaupun terletak agak di dalam gang, ternyata cukup kental suasana Yogyakartanya. Hotel Merbabu bukanlah hotel baru dengan gaya modern minimalis, namun hotel klasik dengan barang-barang antik yang bisa memuaskan hasrat anda akan barang-barang antik. Sebagai permulaan, ruang tamunya saja dihiasi dengan sofa berukir dan partisi berukir (mungkin ukiran Jepara yah). Di sudut ruang tamu, ada satu lemari yang berisi barang-barang antik, termasuk kamera tua. Menarik sekali! Di sudut meja resepsionis ada satu set poci teh yang terbuat dari tembikar, sangat khas Jawa. Jangan membayangkan hotel megah dengan lobby lebar disini. Hotel Merbabu justru lebih kental suasana rumahannya, dengan lorong-lorong sempit antar kamar dan tangga kecil antar lantai.
Wah, saya sudah tidak sabar ingin segera masuk ke kamar dan merasakan guyuran air untuk membersihkan sekujur tubuh saya yang sudah lengket seharian, terkena angin laut dan keringat. Saya bersama teman saya memesan kamar dengan twin bed, pendingin udara, televisi dan kamar mandi dalam dengan air panas. Harga kamar tersebut Rp. 175.000/malam. Kamar ini adalah kamar kelas terbawah yang menggunakan pendingin udara. Kamar-kamar di bawah kamar saya hanya menggunakan kipas angin saja. Sebenarnya, saya bisa saja memilih kamar tanpa pendingin udara selama itu bisa menekan anggaran total perjalanan saya. Namun, teman saya tidak bisa, ia harus menggunakan pendingin udara, ya jadi harus saling berkompromilah kalau mau jalan-jalan bareng. Ya sudah, saya memilih kamar berpendingin udara. Toh, sudah letih juga. Kamar berpendingin udara bisa membuat tidur nyenyak nich. Hehehehe. Setiap kamar di Hotel Merbabu sudah dilengkapi dengan sarapan pagi untuk dua orang berupa pilihan kopi dan teh serta roti bakar dengan isi yang dapat dipilih. Pilihan isinya biasanya selai, Strawberry atau kornet. Sarapan berlangsung di balkon lantai teratas hotel ini. Dari balkon, saya bisa melihat seputaran Kota Yogyakarta walaupun tidak terlalu jelas karena pemandangan utamanya adalah Jalan Sosrowijayan. Sembari makan, saya menikmati aneka macam ornament gantung dan lukisan di sekujur hotel yang ternyata, ditata dengan cukup apik. Lebih menyenangkan lagi, ada hot spot gratis di hotel ini. Lumayan banget han bisa makan pagi gratis sambil membaca berita hari ini. Hehe. Saya suka Hotel Merbabu, cukup layak untuk dijadikan pilihan walaupun anda bukan seorang backpacker.

Wednesday, July 06, 2011

Dari Semarang Ke Yogyakarta

Saya tiba di Semarang pada pukul 5 sore. Kantor perwakilan Travel Joglosemar terletak di Tourist Information Center di Jalan Pemuda 147 (024) 3515451, di sebelah SMA 3 Semarang dan di seberang Balai Kota Semarang. Perjalanan dua jam dengan minibus berkapasitas 12 orang dari Jepara sampai Semarang saya usaikan disini. Di Semarang, saya harus berganti kendaraan dengan bus berkapasitas besar untuk menuju Yogyakarta. Jumlah penumpang pun naik signifikan, baik dari Jepara maupun yang baru saja naik dari Semarang. Semua penumpang dari Jepara wajib turun disini untuk melakukan pendataan ulang. Saya memiliki waktu kurang lebih setengah jam untuk melihat-lihat Semarang. Yuk!
Kantor Tourist Information center (TIC) Semarang dan Jawa Tengah adalah lokasi yang oke untuk dijadikan tempat melihat-lihat. Walaupun kesibukan di dalam tempat ini sangat tidak kentara, namun tempat ini ternyata secara luar biasa menyediakan banyak sekali brosur dan informasi tentang hampir setiap kabupaten di Jawa Tengah, dari Cilacap sampai Blora, dari Wonogiri sampai Jepara. Saya sampai senang sekali berkunjung dari satu lemari ke lemari lain guna mengumpulkan brosur. Selama saya mencur..eh, mengumpulkan brosur tersebut, tidak ada satupun petugas yang datang menghampiri saya. Mereka tampak asik dengan kerjaan mereka dan tidak menggubris saya sama sekali. Malah lebih bagus! Hahahaha. Saya dengan sigap mengumpulkan seluruh brosur mengenai informasi pariwisata khas di tiap kabupaten, stiker, bahkan hingga poster-posternya. Lumayan, bahan bacaan menarik sepanjang perjalanan nich.
Bangunan di sekitar Jalan Pemuda pun tidak luput dari jepretan kamera saya. Sejumlah bangunan yang ada di sekitar Jalan Pemuda bukan merupakan bangunan baru. Mereka mungkin sudah ada setelah jaman kemerdekaan, tampak jelas dengan gaya arsitekturnya. Saya tidak berlama-lama menikmati arsitektur Semarang di sekitar Jalan Pemuda ini sebab bus yang menuju Yogyakarta sudah dipersiapkan di depan TIC dan kami segera digiring masuk ke dalam bus. (Eh iya, sesaat setelah anda sampai Semarang, anda harus meregistrasikan ulang tiket anda agar anda keangkut ke Yogyakarta loch. Kalau ngga, ya mungkin anda akan ditinggal atau tidak mendapat kursi. Gawat khan?)

Perjalanan Semarang – Yogyakarta memakan waktu sekitar 4 jam. Bus berjalan mulai pukul setengah 6 dan tiba di Yogyakarta pada pukul setengah 10 malam. Jalur utama Semarang menuju kota-kota di selatan Jawa Tengah ada dua, satu yang menuju Solo dan satu lagi yang menuju Yogyakarta. Jalur utama Semarang menuju Solo hampir sama dengan yang menuju Yogyakarta. Perbedaannya hanyalah sebuah percabangan yang berada di Bawen dan percabangan tersebut memisahkan segala-galanya. Awalnya, bus berjalan saat hari sudah gelap dari Semarang. Bus perlahan melewati Lawang Sewu dan kemudian beringsut keluar dari kota menanjak menuju Ungaran. Di Ungaran, bus berhenti di pool Joglosemar terlebih dahulu untuk menaikkan sejumlah penumpang. Bus berhenti cukup lama sembari membagikan snack kepada penumpangnya. Eh, di luar pool Joglosemar sana ada penjual lumpia Semarang. Hm….kayaknya nggak layak untuk dilewatkan dech. Maka jadilah saya dan teman saya membeli beberapa potong lumpia Semarang yang masih hangat, mencicipi rasa Semarang sambil perlahan bus beringsut menuju Yogyakarta (sambil ngunyah lumpia goreng dan basah tentunya. Hihihi). Melewati pertigaan Bawen, bus berbelok ke kanan melewati Kota Ambarawa (kalau kiri, bus akan masuk Salatiga, keluar di Boyolali yang berlembah-lembah, Sukoharjo, Kartasura dan berakhir di Tirtonadi, Solo). Dari Ambarawa, bus melewati Kerep dan deretan penjual serabi di sepanjang jalan (bus tidak berhenti disini…hiks) untuk kemudian masuk ke Temanggung yang bergunung-gunung. Setelah Temanggung kemudian bus keluar di Secang, Magelang kemudian melewati Muntilan dan sampai di Sleman dan berakhir di depan Stasiun Tugu, Yogyakarta. Sayang sekali, perjalanan ini ditempuh bus dalam kegelapan malam sehingga sudah tidak memungkinkan untuk berfoto-foto pemandangan di sekitar Temanggung yang menurut saya, indah kalau saat siang hari. Saya sempat melihat di tengah-tengah gunung di kawasan Temanggung, terdapat sebuah café cantik dengan hiasan lilin dan buka 24 jam. Café tersebut memiliki tangga berundak-undak sebelum sampai ke bagian dalam ruangannya. Kalau nggak naik bus umum mungkin saya mau mencoba untuk berhenti di café cantik tersebut dan menikmati malam hari di Temanggung deh. Mungkin teman-teman yang kebetulan melewati daerah Pringsurat, Temanggung bisa mencoba café cantik yang tidak sempat saya foto tersebut dan bercerita (namanya pun saya ngga tahu, maklum, sudah malam). Saya juga agak merasa aneh sich. Koq bisa ada café cantik di tengah-tengah gunung begini? Namun herannya saya tersebut tidak saya nikmati lama-lama. Saya lebih focus akan kapan bus ini mencapai Yogyakarta. Saya sudah tidak sabar mandi dan menggosok tubuh saya dari banyaknya daki yang menempel. Hihihi.

Secuplik Jepara

Apa sich yang ada di benak anda kalau mendengar kata Jepara? Buat saya, satu nama selalu mencuat di dalam ruang pikiran saya ketika mendengar kata “Jepara”. Lagu akan tokoh ini selalu terngiang-ngiang dan sudah saya pelajari lama, bahkan sedari bangku sekolah dasar. Raden Ajeng Kartini atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Kita Kartini adalah tokoh terkenal –sangat terkenal, malah- di Indonesia yang selalu diasosiasikan sebagai pelopor dan penggerak kemajuan kaum perempuan di Jawa Tengah secara khusus. Lahir di Jepara dalam keluarga bangsawan, Kartini muda mengalami masa-masa pingitan selepas umur 12 tahun. Ia mengalami pula masa-masa tidak bebas menikmati bangku sekolah, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenalnya, hingga harus bersedia dimadu. Ia mempertanyakan system Patriarki yang berlangsung pada masyarakat Jawa kala itu. Ia melihat bahwa perempuan pribumi terutama di Jawa memiliki status sosial yang rendah. Oleh karena itu, dengan melihat kemajuan dan pola piker perempuan Eropa, maka ia berniat untuk memajukan dan menyetarakan derajat kaum perempuan di Jawa. Karya nyatanya beliau adalah membangun Sekolah Kartini dan tulisan-tulisan tangannya yang diterbitkan di surat kabar berbahasa Belanda. Setelah ia meninggal, kumpulan surat-suratnya dibukukan oleh Abendanon menjadi buku yang cukup terkenal sepanjang masa : Door duisternis tot Licht atau “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Oleh karena itu, Raden Ajeng Kartini atau yang lebih akrab disapa dengan Kartini menjadi sangat lekat dengan masyarakat Jepara. Namanya digunakan di banyak sekali tempat, seperti misalnya Pantai Kartini dan Rumah Sakit Kartini.
Selain Raden Ajeng Kartini, satu hal lagi yang sangat mudah diasosiasikan dengan Jepara adalah seni ukirnya. Masih ingat nggak waktu SD dahulu, kota apa yang terkenal dengan seni ukirnya? Jepara-lah jawabannya. Seni ukir ini sudah berlangsung sangat lama, lebih dari ratusan tahun. Bukti sederhana saja, Kartini, semasa ia hidup berniat untuk mengembangkan dan memajukan seni ukir dari Jepara ini. Seni ukir Jepara terkenal penuh corak, indah dan sangat mendetail. Sentra kerajinan ukir khas Jepara berderet sepanjang jalan dan bisa ditemui hampir dimana saja di Jepara ini. Saya bahkan melihat satu buah rumah yang seluruh bagiannya dipercantik dengan seni ukir khas Jepara. Cantik, unik dan terkesan mewah. Soal harga, seni ukir ini jelas akan menaikkan secara signifikan suatu produk furnitur atau patung yang tidak memiliki ukiran sama sekali. Proses pengukirannya sendiri memakan waktu lama, dari benda biasa menjadi benda yang memiliki nilai unik dan indah. Wajar sekali donk kalau ukir-ukiran tersebut mampu menaikkan harga jual suatu produk kayu?
Jepara terletak di luar jalur pantura dan tidak dilewati oleh bus antar kota yang melewati Semarang menuju Surabaya dan sebaliknya. Untuk menuju Jepara, selepas Demak, sebelum mencapai Kota Kudus ada sebuah belokan besar ke arah kiri. Inilah jalan utama menuju Jepara. Dari percabangan ini, mencapai Kota Jepara dengan bus ¾ masih membutuhkan waktu sekitar 2 jam lagi. Yuk, main-main ke Jepara :D

Tuesday, July 05, 2011

Travel Joglosemar Melayani Jepara - Semarang - Yogyakarta

Inilah alternatif lain yang bisa digunakan kalau kita mau menuju Yogyakarta dari Jepara. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, pilihan satu-satunya untuk keluar dari Jepara hanyalah bus ¾ yang menurut saya cukup nyaman kalau kita mendapatkan tempat duduk di sisi kaca dengan barang bawaan sedikit. Masalah baru akan muncul kalau kita mendapatkan tempat duduk di sisi lorong dengan barang bawaan cukup banyak. Saya tidak merasakan jok empuk di bawah sana tapi udara kosong. Ya, saya melayang selama perjalananan dan itu harus dibayar dengan harga Rp. 11.000 per orang dari Semarang menuju Jepara (Jepara Shopping Center). Bus ini kemungkinan ada setiap jam tapi begitu malam tiba, frekuensinya akan sedikit sekali. Bus jam 6 sore yang kala itu membawa saya keluar dari Semarang menuju Jepara adalah bus terakhir karena begitu tiba di Jepara, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Untuk anda yang memiliki dana lebih dan tidak mau bergulat dengan ketepatan waktu, mobil pribadi atau carteran adalah solusinya. Tentu, dana perjalanan anda akan membengkak cukup banyak. Bagaimana kalau mau mencari alternatif diantara kedua pilihan tersebut?
Alternatif menarik kalau anda ingin keluar dari Jepara namun tidak mau menggunakan bus kecil ataupun menunggu cukup lama di terminal adalah dengan travel. Salah satu jasa travel yang kami gunakan adalah Travel Joglosemar yang melayani rute Jepara – Semarang kemudian lanjut ke Solo atau Semarang. Sebenarnya, travel ini memiliki banyak trayek, hampir setiap 3 jam atau dengan interval lain. Saya tiba di Hotel Segoro pada pukul setengah 3 sore dan travel pukul 3 sudah siap di depan hotel. Sayangnya, karena saya tidak melakukan booking terlebih dahulu, maka saya mendapat jatah tempat untuk pukul 6 (Kebayang nggak seech nungguin 3 jam di Jepara). Memang sich, penumpang yang booking belum muncul di tempat dan apabila beruntung (dan sedikit berdoa juga) apabila penumpang yang book tersebut tidak muncul-muncul, maka tempatnya bisa dijual ke penumpang walk-in yang menunggu (baca : saya). Saya sudah agak lemas saja memikirkan bahwa saya baru akan berangkat pukul 6 sore dimana kalau dihitung, akan tiba di Yogyakarta sekitar pukul setengah satu pagi dini hari. Tubuh ini rasanya sudah ingin diguyur air dan sabun untuk kemudian tidur di ranjang. Maka dari itu, saya tidak berhenti berharap dan menunggu untuk mendapatkan kursi pada pukul 3 sore ini, lumayan, nggak perlu nunggu cukup lama.
Sambil menunggu, saya berjalan-jalan di sekitar Hotel Segoro. Ada patung yang menggambarkan perjuangan tentara dengan Burung Garuda, lambang Republik Indonesia di depannya. Sayang, selain tidak ada keterangan apapun mengenai monumen tersebut, kolam yang harusnya berisi air tampak kotor dan tidak terawat. Taman kecil lokasi monumen ini berada pun terpagari dan ketika saya masuk tadi, pintunya memang dalam kondisi tertutup. Dari tengah-tengah taman ini, saya bisa melihat sekeliling Kota Jepara. Daerah Hotel Segoro ini masih termasuk pusat kota, ditandai dengan banyaknya toko-toko, warnet dan stasiun pengisian bahan bakar. Saya tidak berlama-lama di depan taman karena matahari masih lumayan terik membakar. Jam 3 sore kurang 5 menit, saya kembali ke pool travel Joglosemar dan mendapati informasi bahwa orang yang sudah membooking tidak jadi datang. Tiket diberikan ke saya. Horeeee! Segeralah, uang Rp. 78.000 berpindah tangan dari saya ke mbak yang mengurusi reservasi tiket. Tiket seharga Rp. 78.000 itu sudah mencakup perjalanan dari Jepara ke Semarang dan kemudian berganti moda di Semarang menuju Yogyakarta.
Di dalam travel minibus berkapasitas sekitar 12 orang tersebut, saya diberikan segelas air minum sebagai bekal perjalanan. Travel Joglosemar ini memang sangat nyaman dan lega. Saya sampai tidak sempat menikmati nasi kotak yang sudah saya persiapkan sebagai bekal perjalanan, saya langsung tertidur pulas sepanjang perjalanan hingga mencapai wilayah Sayung. Hujan rintik-rintik hingga lebat yang turun lumayan melegalkan tidur saya sepanjang perjalanan tersebut. Hanya sesekali saja saya terbangun untuk melihat posisi kendaraan dan kemudian tertidur lagi karena di luar cukup gelap, hampir tidak bisa mengetahui posisi dengan jelas kecuali adanya deretan usaha kerajinan ukir Jepara.