Friday, December 30, 2011

Mendaki Bukit Tele Dan Turun Ke Dolok Sanggul

Kata Orang Batak, hidup ini terkadang Naek Tobing, terkadang Manurung. Sagala Butar-Butar ada. Hehehe. Joke ringan a la Tano Batak aja sich. Namun, dari ketinggian Menara Pandang Tele, jalan yang akan saya lalui menuju Dolok Sanggul adalah Manurung. Ya, terus mengulir naik dan akhirnya melandai lurus dan turun. Perjalanan menuju Dolok Sanggul ditempuh dalam waktu satu jam untuk jarak sekitar 40 KM. Di bagian perjalanan ini, walaupun jalur masih berada di tepian Danau Toba, namun secara kasat mata, danau tersebut sudah tidak terlihat lagi dari sisi ini. Jalan raya negara yang menghubungkan Tele – Dolok Sanggul dibuat terlalu jauh dari tepian danau.
Nggak jauh dari Menara Pandang Tele, terdapatlah sebuah pertigaan besar yang menghubungkan Pangururan, Tele, Sidikalang, dan Dolok Sanggul. Kalau saja Sampri yang saya naiki berbelok ke kanan, pasti keseluruhan ceritanya nggak seperti ini. Blog ini bakalan nyambung sama Mas Tri Wijanarko yang berjalan dari Sidikalang. Hehehe. Jadi, Sampri yang saya naiki berbelok ke kiri, menuju Ibukota Humbang Hasundutan, Dolok Sanggul. Sisa jalan meliuk dan berkelok-kelok sudah tinggal sedikit. Mayoritas sisa dari perjalanan rute ini adalah jalanan hampir lurus yang secara umum menurun. Ya, kita meninggalkan ketinggian Tele untuk menuju Dolok Sanggul, dari 1800 mdpl menuju 1400 mdpl. Walaupun menurut saya Dolok Sanggul sudah panas, kenyataannya, kota ini berada pada ketinggian 1400 mdpl, jauh lebih tinggi dari Pangururan yang ‘Cuma’ 1000 mdpl.
Sampri yang kami naiki dari Tele ternyata sudah cukup penuh. Sempat saya ragu apakah tetap akan lanjut atau menunggu Sampri berikutnya. Namun, keraguan kami terbaca oleh supir Sampri tersebut. Ia kemudian turun dari kendaraan, menanyakan tujuan kami dan kemudian segera membantu kami untuk menata barang-barang di Samprinya, walau kami masih ragu-ragu. Benar-benar pelayanan yang privat, personal, dan menyentuh dech. Hahaha. Mungkin memang sudah jalannya kali yach? Kalau nggak dipaksa begini, kayaknya kami bakalan menunggu Sampri terus hingga sore dan baru sadar bahwa rata-rata Sampri yang melewati rute ini biasanya penuh. Toh, saya juga harus mengejar waktu kan? Alhasil, saya dan rekan saya terpisah dan harus duduk nyempil memenuhi slot kursi yang kosong. Pemandangan sepanjang jalan keluar dari Tele masih luar biasa, namun begitu melewati pertigaan Dolok Sanggul – Pangururan – Sidikalang, jalanan mulai hampir lurus dan pemandangannya sudah mulai monoton. Jalanan yang tergolong mulus, dengan hutan sekunder di kiri dan kanan lama kelamaan membuat saya mengantuk dan tertidur selang beberapa saat. Hal ini ditambah dengan supir Sampri yang hobinya menginjak gas (sampai saya yakin Sampri ini nggak ada pedal rem-nya) dan posisi saya berada di pinggir yang membuat saya ditampar bolak balik oleh angin pegunungan. Apalagi hujan agak rintik-rintik nanggung membuat segalanya semakin mendukung. Hihihi. Nggak heran, tidur menjadi agenda utama saya di jalur ini. Selang beberapa saat kemudian saya terbangun ketika menjumpai areal lapangan terbuka diantara hutan-hutan, tertidur kembali dan terbangun ketika sudah mulai memasuki wilayah Humbang Hasundutan.

Thursday, December 29, 2011

Warung Makan Dan Museum Numismatik Satu-Satunya Di Desa Tele

Warung makan ini mungkin satu-satunya warung yang berada di Desa Tele (hmm…desa? Saya nggak lihat adanya hunian lain selain warung makan dan pondok berjaga ini di seputaran Tele…). Lokasinya sedikit banyak mengingatkan saya akan Tinimbayo, lokasi wisata di ketinggian Toraja Utara yang terletak di lereng Gunung Sesean. Walau nggak benar-benar mirip dengan pemandangan di Tinimbayo (jelas, daratan di bawah Tinimbayo dipenuhi Tongkonan dan Alang), namun komposisi tempat ini pas : satu tempat untuk melihat pemandangan dan satu-satunya warung makan yang berada entah berapa kilometer jauhnya dari warung terdekat lainnya. Selain memang bersifat mutualistis antara menara dan warung, keberadaan warung tentunya menguntungkan buat saya, terutama di jalur Pangururan – Dolok Sanggul yang sepi ini. Daripada bengong di pinggir jalan, makan, minum, sambil melihat-lihat sekeliling nggak jelek juga.
Seperti halnya standar warung di pinggir jalan yang bermaksud untuk memanjakan para petualang yang lelah, haus, maupun lapar, warung ini menjual berbagai penganan umum seperti minuman teh, atau minuman ringan dalam kemasan, kopi hangat, snak ringan yang bisa dibawa-bawa (yang isinya cuma angin doank hihihi), dan permen. Ada pula sejumlah makanan unik yang saya jamin nggak bisa ditemui di tempat lain di Indonesia karena biasanya hanya diproduksi secara lokal saja dan didistribusikan tidak dalam skala luas. Contohnya adalah sebuah kue yang menarik perhatian saya dari namanya : Roti Ketawa. Secara fisik, roti ini nggak menimbulkan perasaan ajaib bagi saya, nggak beda jauh dengan roti-roti lokal yang biasa diproduksi masyarakat setempat. Namun, buat saya, namanya yang unik lah yang justru menarik perhatian saya. Bentuknya mirip croissant kecil yang dipadatkan dan ditaburi wijen pada bagian atasnya. Roti Ketawa ini keras, beda sama croissant yang kosong dan melesak ketika ditekan. Oh ya, Roti Ketawa Cap Bintang Terang ini diproduksi di Pematang Siantar. Cukup jauh juga loch wilayah jelajahnya mengingat roti ini bukanlah jenis roti yang bisa tahan cukup lama.
Memasuki warung ini, waktu serasa mundur beberapa puluh tahun ke belakang. Selain foto-foto sang pemilik yang sudah tampak jadul, warung ini juga memajang sejumlah foto orang-orang penting seperti Ludwig Ingwer Nommensen, rasulnya orang Batak berkebangsaan Jerman kelahiran Denmark yang menyebarkan Kristen ke penduduk Batak yang kala itu masih menganut Pelebegu. Foto Ompu Nommensen (begitu orang Batak memanggilnya) dan keluarganya tersebut bertanggal 1909 dan diambil di Sipoholon, satu kota yang terletak antara Siborong-borong dan Tarutung, masih terletak di Tapanuli Utara. Poster jadul lain yang langsung menarik mata saya adalah poster minuman bir hitam Anker Stout yang entah sudah dipasang dari tahun berapa. Hahaha. Nggak cuma warna posternya yang sudah pudar, namun desain poster dan minumannya sendiri pun sudah tidak pernah saya jumpai dalam keseharian saya. Entah dech kalau ada teman-teman yang masih menjumpai poster sejenis di lingkungannya. Adakah?
Nggak cuma warung makan dan minum serta tempat istirahat saja. Suatu kejutan yang menarik ternyata warung yang terletak di Desa Tele ini menyimpan koleksi mata uang Tapanuli dari jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa-masa awal kemerdekaan. Memang sich, koleksinya nggak banyak, namun museum mini ini membuat saya kagum karena benda koleksi yang ditampilkan masih cukup terawat walaupun nggak bisa dibilang sangat terawat. Yang menarik buat saya, adalah uang yang digunakan pada jaman pra-kemerdekaan dan masa penjajahan ternyata berbeda dengan yang kita kenal di Jawa, atau di belahan Indonesia lainnya. Uang yang ditampilkan disini jelas-jelas mencantumkan keterangan “mata uang Tapanuli” yang artinya hanya bisa dipakai selama anda berada di wilayah Tapanuli. Kalau misalnya saya mau ke Karesidenan Sumatera Timur seperti Labuhan Batu, Asahan atau Pematang Siantar, maka tampaknya peran money changer diperlukan disini. Hehehe. Saya nggak terlalu yakin bahkan, apakah money changer pada masa itu sudah ada atau belum. Hihihi. Repot juga yach? Walaupun uang atau alat pembayaran pada jaman itu masih sangat sederhana dari segi corak dan warna, namun saya cukup terkagum-kagum oleh kearifan lokal yang sudah diangkat oleh pemerintah setempat kala itu seperti memasukkan gambar burung rangkong, burung kakaktua jambul, hingga wayang orang.
Saya senang berada di Desa Tele ini. Selain menikmati pemandangan yang indah dari ketinggian Menara Pandang Tele dan hawa sejuk yang luar biasa, saya juga bisa menikmati museum mini numismatik akan alat pembayaran yang sah di Karesidenan Tapanuli. Nggak cuma makan, minum, atau meluruskan kaki sejenak dan melihat pemandangan, warung ini menyediakan toilet yang bersih dan airnya dingin. Buat penggemar bebungaan, bersyukurlah karena pemilik warung ini nampaknya memang senang berkebun dan menanam bunga-bungaan khas pegunungan yang bentuk dan warnanya indah. Aneka baby breath, hibiscus, bougenville, dan keluarga duranta ditanam di sejumlah titik, baik di dalam pot maupun langsung di sepanjang lereng. Nggak terasa, sambil saya menunggu dan menikmati koleksi uang kertas jaman dahulu dan bebungaan, eh, Sampri-nya sudah datang untuk membawa saya ke kota berikutnya : Dolok Sanggul.

Sisi Lain : Menara Pandang Tele Yang Terlantar

Objek wisata di Indonesia terutama yang dikelola oleh pemerintah umumnya hanya memiliki satu kondisi : rusak, kotor, nggak terurus, terabaikan, dan kurang perawatan. Upsss...itu ada 5 yach. Ehehehe. Memang sich, pendapatan utama objek wisata bergantung dari retribusi tiket masuk yang dipungut bagi setiap wisatawan yang datang berkunjung, sisanya dari subsidi pemerintah pusat ataupun lokal, tergantung instansi mana yang berwenang memegang objek wisata tersebut. Walau demikian, objek wisata besar nggak menjamin kondisinya sempurna. Sejumlah objek wisata yang terhitung cukup besar dan dikunjungi banyak turis pun terkadang mengalami nasib yang menyedihkan, kurang terurus, minim perawatan dan biasanya menjadi korban vandalisme dan ujung-ujungnya tampak kotor. Objek wisata besar dan terkenal saja bisa bernasib demikian, apalagi objek wisata kecil, jauh dari lalu lintas turis, sukar dijangkau, dan berada di tengah-tengah-entah-dimana pula!
Ini yang saya rasakan ketika mengunjungi Panorama Indah Tele yang terkenal dengan Menara Pandang Tele-nya. Nggak usah jauh-jauh mengeksplorasi ke dalam sich, tulisan besar “Menara Pandang Tele” dan di bawahnya “Kabupaten Samosir” saja terlihat kotor, lusuh dan sangat butuh untuk dicat ulang. Padahal, Kabupaten Samosir baru berdiri tahun 2003. Namun, kondisi lusuhnya papan nama tersebut membuat si papan terlihat seumuran dengan si menara yang terbangun pada tahun 1988. Masuk ke dalam menara, saya bisa melihat bahwa tangan masyarakat kita terkenal dengan “kreatifitas tinggi”-nya namun salah tempat. Sejumlah bagian pilar dinding terkena coretan kreatif hasil karya anak negeri ini dengan aneka macam tulisan yang menegaskan bahwa mereka, kisah cinta dan asmara mereka, klub mereka, geng mereka, sekolah mereka atau apapun itu pernah berada di Menara Pandang Tele. Biar eksis ya, bo! Harusnya PemKab Samosir membuat Walk Of Fame bagi mereka yang berkunjung ke menara ini. Alih-alih mencorat-coret dinding, mereka bisa menulis sesuatu atau mencap tangan mereka di atas semen untuk kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti. Ide yang bagus, bukan?
Selain vandalisme tak bertanggung jawab, bagian dalam menara memang cukup menunjukkan usia dan kelapukkannya seperti plafon yang lembab dan lapuk, berjamur, terkena vandalisme (lagi), hingga cat yang termakan usia. Sejumlah bekas tempelan brosur iklan pun tampak terlihat di sejumlah sudut plafon. Di setiap lantai menara sebenarnya ada sebuah aula kecil di tengah-tengah bangunan guna pengunjung bisa mengamati pemandangan tanpa terkena hembusan angin atau terik matahari (apabila ada). Namun, pada lantai satu, pintu masuk aulanya ternyata rusak, gagangnya hilang, dan hanya diganjal dengan menggunakan sebentuk kawat. Tanpa perlawanan berarti, saya dorong pintu tersebut dan pintu tersebut terbuka lebar memperlihatkan isi dari aula kecil tersebut. Pintu tersebut pun sudah tidak terlalu utuh karena dari sela-sela pintu, saya bisa melihat tembus ke sisi aula yang lain. Yah, memang sich, dengan kunjungan wisatawan yang sangat sedikit dan biaya retribusi masuk yang hanya Rp. 2.000 per orang, tampaknya menara ini tidak bisa berbuat apa-apa. Semangkuk bakso saja harganya Rp. 5.000! Saya yakin, Rp. 2.000 tersebut tidak disetorkan sebagai penerimaan tiket masuk objek wisata (nggak ada tiket yang disobek juga), namun lebih dilihat kepada : upah menjaga menara. Wajar banget sich kalau saya pikir-pikir ini sebagai imbalan atas mereka melakukan kerja secara swadaya. Usaha pembersihan menara walau nggak rutin dilakukan setiap hari pun mungkin merupakan upaya swadaya mereka sendiri. Jadi yah, sangat wajar kalau penerimaan tersebut tidak disetorkan lebih lanjut. Pekerjaan Rumah PemKab Samosir yang lebih penting daripada sekedar menagih retribusi yang saya yakin nggak seberapa tersebut adalah meramaikan jalur wisata Sidikalang atau Dolok Sanggul – Pangururan. Ajak wisatawan untuk melihat Danau Toba dari sisi yang berbeda dan jadikan sebuah paket wisata. Bukan ide yang sulit mengingat mereka bisa pameran disana-sini, hingga keluar negeri. Apa iya, negeri ini hanya jago berbicara saja namun payah dalam hal pelaksanaan? Loch, koq saya jadi komplain begini? Hahaha.

Wednesday, December 28, 2011

Menara Pandang Tele Di Ketinggian Harian

Di salah satu belokan yang terus menanjak mengarah ke puncak, disanalah, sebongkah, sebentuk menara berada, tepat di sisi kiri jalan. Unik dan sekaligus aneh melihat menara setinggi itu di tengah-tengah gunung yang saya yakin populasinya sangat sedikit ini. Namun, itulah dia Menara Pandang Tele yang saya tuju. Tidak ada tanda-tanda spesifik yang menyatakan bahwa saya akan segera tiba di menara tersebut, hanya ketekunan melihat kondisi jalan dan lingkungan sekeliling yang membuat saya yakin bahwa saya sudah sampai di tempat yang dituju. Tidak juga dengan Lae, sang supir yang telah saya pesan sebelumnya untuk menurunkan saya di Tele. Jauh panggang dari api, ia tidak terlihat akan menurunkan kecepatannya sama sekali. Akhirnya, saya memberhentikan Sampri tersebut agar saya bisa menikmati Menara Pandang Tele ini. Sempat terbersit dalam pikiran saya, “jangan-jangan ini menara pertama, atau kedua dan ada satu menara lagi makanya si Lae tidak mau memberhentikan kendaraannya”. Maklum, mengingat pengalaman saya di Sitinjau Lauik, ternyata ada dua gazebo pandang dengan posisi salah satu gazebo lebih tinggi dan lebih memiliki pemandangan yang luar biasa. Nggak mau salah, saya sempatkan dahulu donk bertanya kepada sang supir, namun sayangnya jawaban yang diberikan nggak jelas atau dia nggak terlalu memahami maksud pertanyaan saya. Daripada ribet dan ujung-ujungnya terlewat, saya akhirnya memberhentikan Sampri yang saya tumpangi dan membayar biaya perjalanan dari Pangururan sebesar Rp. 15.000 untuk 22 KM dengan medan rusak, sempit, dan menanjak dalam waktu 30 menit.
Saya baru tahu bahwa jalur yang baru saja saya lewati adalah jalur yang terkenal rawan sehubungan dengan sempitnya badan jalan, medan jalan yang berbatu-batu dan kondisi yang terus menanjak. Ini menjelaskan mengapa lintas barat Samosir sangat jauh dari hingar bingar turis. Kendaraan yang melewati tempat ini bisa dihitung dengan jari dan kebanyakan merupakan Sampri yang beroperasi antara Sidikalang atau Dolok Sanggul menuju Pangururan. Mencapai Menara Pandang Tele, saya tidak menjumpai satu orang pun. Apakah tempat wisata ini dibuka? Saya mencoba melihat keadaan sekeliling sambil memasuki areal menara.
Menara Pandang Tele adalah sebuah menara yang terletak di tepi jalan negara Pangururan – Sidikalang. Menara ini terletak di sisi kiri kalau anda berjalan dari arah Pangururan. Menara empat lantai ini (dihitung dari lantai dasar) adalah menara pandang biasa yang dibangun untuk menikmati pemandangan sekeliling Tanah Toba. Keunikan menara ini hanya terletak di bagian atap menara yang dibangun menyerupai arsitektur atap rumah Bolon sejumlah empat buah mengarah ke empat penjuru. Untuk menaiki menara, hanya terdapat pilihan tangga saja. Dari lantai dasar menara, Gunung Pusuk Buhit, Danau Toba, desa-desa di sekeliling Tele dan sejumlah air terjun terlihat cukup jelas. Walaupun pemandangan dari lantai teratas akan jauh lebih baik, namun perbedaannya tidak terlalu signifikan, dan terdapat kaca yang menghalangi pandangan langsung ke sekeliling. Menara ini dibangun pada era akhir 1980-an dan diresmikan pada 22 April 1988 oleh Bupati Tapanuli Utara saat itu, Drs. G. Sinaga. Ya, pada saat itu, wilayah yang kini menjadi wilayah Samosir masih merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara sebelum akhirnya mekar menjadi Toba Samosir dan akhirnya Kabupaten Samosir (tulisan Menara Pandang Tele di puncak menara sudah ditambahkan dengan Kabupaten Samosir). Areal sekeliling menara ini dikenal dengan nama Panorama Indah Tele.
Sedang asyik-asyiknya kami berfoto ria dan mengamati keindahan panorama di sekeliling, tiba-tiba datanglah dua orang pria berjaket menghampiri kami. Nggak memperkenalkan diri, mereka tiba-tiba saja berceloteh tentang Menara Pandang Tele dan kemudian menanyakan asal usul kami. Sembari menjawab pertanyaan kedua pria tersebut, saya dan teman saya masih asyik berfoto-foto di sekeliling menara. Saya sebetulnya sudah bisa menebak sich maksud dari kedatangan mereka, namun saya tunggu sampai mereka mengatakannya. Oleh karena itu, saya cuek berfoto sambil mengobrol dengan mereka. Mereka bahkan menawarkan kami untuk naik ke atas menara, sambil mereka menjadi pemandunya. Sayang, kami masih senang berada di bawah dan mengeksplorasi keadaan sekeliling sehingga kami menunda naik ke atas. Lama nggak disusul, akhirnya mereka turun kembali dan mendapati saya dan rekan saya masih asyik berkeliling di bawah. Sambil menunggu saya dan rekan saya yang lama nggak naik-naik ke atas karena asyik mengeksplorasi sekeliling, akhirnya mereka memberanikan diri berkata, “biaya retribusinya Rp. 2.000 per orang”. Hooo...jadi mereka menunggu biaya retribusinya ternyata. Ya, saya jadi ingat akan Museum Huta Bolon di Simanindo yang tidak ditunggui namun begitu turis terdeteksi datang, mereka akan keluar untuk menerima uang retribusi tiket masuk. Wajar sich, Menara Pandang Tele ini sangat sepi. Mungkin dahulu pernah ramai sehingga dibangunlah menara pandang ini di sisi barat Danau Toba. Namun saat ini, hampir satu jam kami berkeliaran di Menara Pandang Tele ini, tidak ada seorang pengunjung lain pun terlihat. Segera, setelah membayar biaya retribusi sebesar Rp. 2.000 per orang, mereka kembali ke pondokan di seberang warung satu-satunya di Tele ini yang tampaknya merupakan tempat berkumpul orang-orang yang hidup di Tele. Soal nama “Tele” itu sendiri, saya nggak terlalu yakin bahwa “Tele” adalah bahasa Batak. Saya lebih mengasosiasikan “Tele” yang dimaksud sebagai cara untuk melihat jarak jauh, seperti pada lensa tele. Apakah mungkin ada teman-teman yang tinggal di Dairi, Samosir, atau Humbang Hasundutan yang bisa memberikan informasi mengenai ini?
Dari ketinggian menara, saya bisa melihat jalan berliku-liku yang kami lalui sebelumnya dari arah Pangururan. Dari atas, sangat jelas terlihat bahwa jalan yang kami lalui tadi adalah jalan yang sangat sepi. Kalau beruntung, anda bisa mendapatkan satu buah motor, atau sebuah mobil bergerak anggun di jalan meliuk-liuk tersebut. Bagian dalam menara sebenarnya sebuah ruang aula kecil yang dapat digunakan sebagai pengamat hampir di segala sisinya (lantai tertinggi, semua sisinya) untuk melihat pemandangan. Lucunya, lantai menara terbuat dari keramik yang sebenarnya bagus, namun sayangnya menjadi licin kalau hujan. Pada saat kunjungan, sedang terjadi hujan gerimis rintik-rintik di Tele sehingga terdapat sejumlah genangan di sisi menara yang tidak tertutup. Alhasil, saya harus berjalan pelan-pelan untuk menyusuri tangga agar tidak terpeleset. Plus, tangga yang agak sedikit curam membuat saya harus berhati-hati menyusurinya. Untungnya, bagian dalam dari aula merupakan tempat tertutup. Selain angin kencang pegunungan yang ditahan oleh kaca jendela yang lebar, bagian dalam aula terlindung dari hujan dan sengatan panas matahari. Sayangnya, kaca yang melingkari aula pemandangan justru membuat foto-foto pemandangan yang saya ambil menjadi bias karena memantulkan bayangan kaca. Filter CPL yang sedianya bisa mengoreksi bayangan berlebihan tersebut pun tidak mampu menghilangkan keseluruhan pantulan. Sayang sekali.
Ya, Tele memang merupakan titik tertinggi di wilayah sekitar. Hampir semua objek foto dan pemandangan terletak di bawah menara ini. Saya senang bisa berkunjung ke menara ini dan melihat Danau Toba dari sudut yang berbeda. Buat teman-teman yang sekiranya berminat mampir di menara ini, usahakan agar jangan terlalu sore biar nggak susah menunggu Sampri yang melintas yach. Repot juga khan kalau sampai kemalaman di Tele, masak iya harus tidur di dalam menara? Pagi dan siang hari sih hawanya sejuk dan segar. Namun, saya percaya pada malam hari suhu di tempat ini akan luar biasa dingin.

Monday, December 26, 2011

Gunung Pusuk Buhit, Awal Mula Orang Batak

Gunung Pusuk Buhit adalah gunung sakral bagi masyarakat Batak. Gunung ini dipercaya sebagai tempat Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) menurunkan keturunanNya. Kampung Sianjur Mula-Mula yang terletak di kaki Gunung Pusuk Buhit ini menjadi tempat bermukimnya Siraja Batak, nenek moyangnya orang Batak sebelum lama kelamaan beranak pinak dan meneruskan garis keturunan marga Batak (boru) yang dapat ditelusuri melalui Tarombo. Siapakah si Siraja Batak itu bisa ditelusuri disini. Gunung ini tidak terlihat jelas dari Tomok atau Ambarita karena terhalang oleh perbukitan Pulau Samosir. Namun dari sisi barat seperti Tele atau Pangururan, Gunung Pusuk Buhit ini terlihat sangat jelas. Tempat terbaik untuk mengamati Gunung Pusuk Buhit ini jelas berada di Menara Pandang Tele. Wisatawan bisa melakukan kegiatan wisata di gunung ini karena gunung ini memang populer sebagai tujuan pendakian. Untuk anda yang nggak berminat melakukan pendakian, bisa berkunjung ke beberapa tempat wisata sejarah yang dipercaya berkaitan dengan asal muasal Suku Batak seperti Batu Sawan (Air terjun rasa jeruk purut dengan batu berbentuk cawan besar), Aek Sipitu Dai (pancuran dengan tujuh macam rasa air), Batu Hobon (Batu berdiameter 1 meter dan bagian bawahnya berongga), dan Sopo Guru Tatea Bulan (rumah kediaman Guru Tatea Bulan, anak Siraja Batak).
Gunung Pusuk Buhit ini merupakan gunung berapi aktif yang memang merupakan sisa-sisa letusan dari supervolcano Gunung Toba yang meletus dashyat puluhan ribu tahun yang lalu. Sisa keaktifan gunung ini masih bisa dilihat di jejak Aek Rengat, sumber mata air panas yang ada di kaki gunung Pusuk Buhit. BMKG pun sering memantau gunung ini dan baru saja memberikan status waspada, naik dari status normal untuk Pusuk Buhit pada tanggal 15 Desember 2011 ini. Di balik keindahan gunung ini, tersimpan bahaya yang dikandung di dalamnya apabila Gunung Pusuk Buhit sampai meletus. Salah satu bukti lain bahwa dataran Toba berada di atas sesar aktif adalah meletusnya Gunung Sinabung pada 29 Agustus 2010 dan gempa Tarutung tahun 2011 lalu. Ini menunjukkan bahwa dataran Toba dan sekitarnya memang berada di atas dapur magma yang aktif. Mudah-mudahan saja Naga Padoha yang dipasung oleh Siboru Deak Parujar tidak mengamuk terlalu lama agar keturunan Siraja Batak tidak sengsara dibuatnya.

Mitologi Batak Pra Siraja Batak, Silsilah Orang Batak

Nggak kalah dari Bangsa Yunani dan Bangsa Romawi lho, orang Batak memiliki mitologinya sendiri dan sejarah asal usul Orang Batak. Menariknya, banyak sekali tulisan-tulisan mengenai mitos asal usul Orang Batak di internet namun hanya sedikit yang benar-benar mirip. Walaupun secara garis besar serupa, namun detailnya banyak yang berbeda. Beberapa lainnya ada yang menggunakan versi yang lebih unik lagi. Entah apakah cerita tersebut dituturkan secara lisan saja sehingga wujud ceritanya berubah-ubah? Yang jelas, setelah sedikit mencari, saya mendapatkan gambaran seperti ini : (disarikan secara singkat dari sini)
Dunia dalam mitologi Orang Batak terbagi menjadi Banua Ginjang (dunia atas-dewa-dewa), Banua Tonga (bumi, tempat manusia berada) dan Banua Toru (dunia bawah, tempat ruh berada). Di Banua Ginjang, ada seekor ayam yang bernama Manuk-Manuk Hulambujati yang mengerami telur sebesar periuk (perhatikan istilah manuk disini dalam Bahasa Batak, Jawa, dan Toraja). Dari telur tersebut, menetaslah tiga orang yang bernama Tuan Batara Guru, Ompu Tuan Soripada, Ompu Tuan Mangalabulan. Manuk-Manuk Hulambujati membesarkan mereka semua dan memohon kepada Debata Mulajadi Nabolon untuk memberikan pendamping hidup (wanita) kepada mereka semua. Tuan Batara Guru diberi pendamping bernama Siboru Pareme dan memiliiki keturunan : Tuan Sori Muhammad, Datu Tantan Debata Guru Mulia, dan Siboru Sorbajati dan Siboru Deak Parujar (dua orang yang disebut belakangan ini kembar). Karena tidak mau dijodohkan dengan Siraja Enda-Enda (anak dari Ompu Tuan Soripada dan Siboru Parorot) yang berwujud kadal, ia melompat ke Banua Tonga. Dalam proses “kaburnya”, Siboru Deak Parujar lebih menyukai tinggal di Banua Tonga dan tidak mau kembali ke Banua Ginjang walaupun sudah dibujuk oleh Debata Mulajadi Nabolon. Akhirnya, Debata Mulajadi Nabolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suami dari Siboru Deak Parujar. Mereka menikah dan mendapatkan dua anak kembar, Raja Ihat Manisia dan Boru Itam Manisia. Raja Ihat Manisia memiliki tiga anak : Raja Miok Miok, Patundal Na Begu, dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok memiliki anak bernama Engbanua. Engbanua ini memiliki tiga cucu, yakni : Raja Ujung, Raja Bonang Bonang, dan Raja Jau. Nah, anak dari Raja Bonang Bonang bernama Raja Tantan Debata. Anak dari Raja Tantan Debata inilah yang bernama Siraja Batak, leluhur dari masyarakat Batak dengan sistem Tarombo (penurunan marga dengan garis keturunan patrilineal). Wiiiih, panjang dan ribet yach silsilah keturunan Orang Batak dari Siboru Deak Parujar hingga Siraja Batak. Nah, sejumlah mitos yang saya temukan di belantara internet ini terkadang agak menyerempet sedikit atau benar-benar beda sama sekali. Saya menemukan satu versi mitos yang berkisah tentang Raja Jau (saudara Raja Bonang Bonang) yang menjadi leluhur Orang Nias, padahal dalam versi lainnya, leluhur Orang Nias adalah Raja Asiasi, anak dari Raja Isombaon, atau cucu dari Siraja Batak itu sendiri. Ada versi ekstrim pula menyebutkan bahwa Siboru Deak Parujar meminta burung layang-layang menenun Ulos dan dari dalamnya muncullah Siraja Batak. Disini disebutkan bahwa Siboru Deak Parujar diperistri oleh Siraja Batak! Nah loh! Padahal dalam versi lain jelas-jelas Siboru Deak Parujar adalah nenek dari nenek dari nenek dari nenek moyang Siraja Batak. Mana yang bener? Ini baru versi cerita dari pra-Siraja Batak. Belum lagi silsilah Pasca-Siraja Batak yang menerangkan tentang semua boru yang ada di Sumatera Utara dan sekitarnya, lho!
Berhubung cerita di atas adalah Mitos, memang belum bisa dipastikan kebenarannya. Sama saja seperti kita mendiskusikan nenek moyang manusia adalah Adam dan Hawa, bukannya hasil evolusi dari primata. Nggak akan pernah ketemu! Menurut sejumlah penelitian antropologi, bangsa Batak berasal dari daratan Thailand. Sejarah panjang termasuk penyerangan orang Mongolia membuat mereka terdesak dan keluar dari tempat tinggalnya, berlayar ke segala arah dan membuat suku bangsa baru hasil akulturasi. Orang Batak, turun di Barus, pintu barat Sumatera. Dari Barus, mereka berpindah-pindah hingga mencapai Sianjur Mula-Mula, tempat yang diklaim sebagai asal usul Orang Batak (sayangnya, selain Batak Toba dan Batak Angkola, puak yang lain menolak konsep ini karena mereka tidak merasa konsep tersebut sesuai dengan sejarah mereka). Padahal, nenek moyang bangsa Batak yang berpindah dari Thailand itu menyebar kemana-mana, termasuk Filipina, Taiwan, Nias, dan Sumatera Selatan, termasuk salah satunya di Barus yang menjadi cikal bakal orang Batak. Artinya, orang Batak ada keterikatan hubungan dengan orang Thailand yang menetap di wilayah Indochina. Yah, apapun sejarahnya, Masyarakat Batak, terutama Batak Toba dan Batak Angkola secara khusus percaya bahwa Gunung Pusuk Buhit yang berada di wilayah Sianjur Mula-Mula adalah tanah leluhur mereka, tempat pertama kali diturunkan oleh Debata Mulajadi Nabolon. Mereka percaya, kunjungan ke tempat ini adalah perjalanan spiritual menuju lokasi leluhur mereka berada.

Thursday, December 15, 2011

Nangkok Tu Dolok Tele - Mendaki Ke Bukit Tele

Begitu keluar dari Tano Ponggol, secara resmi sebenarnya saya sudah keluar dari Pulau Samosir. Namun, secara administratif, wilayah tempat saya berdiri ini masih masuk dalam Kabupaten Samosir. Ya, selain 6 kecamatan yang ada di dalam Pulau Samosir, ada 3 kecamatan lain yang berada di luar wilayah Pulau Samosir dan terletak di sisi barat danau (Harian, Sianjur Mula-Mula, dan Sitio-Tio). Tele yang akan saya sambangi ini masuk dalam wilayah kecamatan Harian.
Di jalur Pangururan – Tele, saya melihat wajah Samosir yang belum pernah saya lihat. Kalau selama ini saya mengenal wilayah Samosir adalah wilayah yang turistik, wajah di kawasan barat danau ini sungguh kontradiktif dengan kenyataan tersebut. Saya memasuki wilayah yang jarang dihuni, jalanan rusak dan sebagian besar sedang diperbaiki (atau justru baru dibuka?), dengan pemandangan di salah satu sisi yakni Danau Toba dan lama kelamaan berupa bukit tandus nan gersang di kanan dan kiri jalan. Kalau sukar untuk membayangkannya, coba dech ingat-ingat seperti apa sich wujud Jalan Tol Cipularang waktu pertama kali dibuka dulu. Jalan tol sepanjang 60 KMan tersebut jauh dari tanda-tanda kehidupan manusia, hanya bukit kering di kanan dan kiri. Bukit-bukti penuh bebatuan dan sedikit vegetasi mengisyaratkan tanda-tanda ketandusan di sekeliling. Bedanya, jalan lintas Pangururan – Tele merupakan jalan negara, bukan jalan tol. Sekali dua kali Sampri yang saya kendarai harus menurunkan kecepatan lantaran bertemu gundukan tanah yang belum diratakan. Entah apa jadinya kalau sang supir nekad untuk menerobos gundukan tanah tersebut, mungkin jadi Sampri terbang kali yach. Hahaha.
Buat saya, perjalanan ini terbagi menjadi tiga wilayah kawasan. Kawasan pertama adalah wilayah tepian Danau Toba. Lanskap di sebelah kanan jalan merupakan perbukitan yang masih hijau dan masih dipenuhi pepohonan. Di sebelah kiri, adalah wilayah perairan Danau Toba yang masih asri, terkadang dipenuhi keramba atau sawah. Jalanan di tempat ini walaupun sudah beraspal, namun tidak dapat dikategorikan baik. Beberapa gundukan tanah di tengah perjalanan membuat Sampri harus melambat. Kawasan kedua adalah jalur sempit di tengah-tengah perbukitan. Walaupun masih ada perkampungan, namun jumlahnya semakin menyusut seiring dengan semakin melajunya Sampri. Kondisi jalan di tempat ini mungkin yang terburuk dari ketiga kawasan, entah memang belum dibuat atau justru baru diperbaiki. Sejumlah alat berat untuk meratakan jalan memang terdapat di sejumlah tempat. Kondisi jalan yang kami lalui secara umum adalah jalan tanah dengan hiasan bebatuan disana-sini. Kecepatan Sampri menurun dengan drastis. Salah satu kampung yang saya ingat adalah Sosor Silinjuang. Unik juga sebab makna kata “Sosor” dalam bahasa Batak adalah “kampung yang baru saja dibuka”. Beberapa babi hutan terlihat berkeliaran di tempat ini. Danau Toba? Sudah tidak terlihat lagi dari sisi ini.

Kawasan ketiga adalah kawasan tertinggi dari keseluruhan kawasan. Maklum, perjalanan di wilayah ini menanjak terus dan meliuk-liuk melewati gunung. Sampri yang saya tumpangi meraung-raung menanjak gunung. Pemandangan di kawasan ketiga ini tergolong indah buat saya. Di satu sisi, kita bisa melihat Danau Toba di ketinggian, sementara itu persis di sebelahnya, ada Gunung Pusuk Buhit yang cantik, tempat yang diyakini menjadi lokasi asal muasal Orang Batak Toba. Kondisi jalan di lintas pegunungan ini sudah beraspal hotmix, jauh lebih baik dibanding kawasan sebelumnya. Semakin menanjak, udara semakin dingin dan tak jarang kabut melintas berarak di sekeliling. Hawa tentu saja menjadi semakin dingin. Jalan yang kami lalui terlihat cukup jelas di bawah sana. Tele merupakan satu titik tertinggi diantara Pangururan dan Dolok Sanggul. Yang mengerikan, kendaraan yang melintas balik ataupun berada di depan/belakang kami bisa dihitung menggunakan sebelah tangan. Bahkan, saya merasa Sampri yang saya tumpangi bergerak pelan dan sendirian di tengah-tengah gunung ini. Saya tidak menemukan adanya kendaraan lain dan perkampungan di gunung yang saya lintasi ini untuk waktu yang menurut saya cukup lama. Jangan membayangkan kawasan puncak yang penuh dengan rumah, villa, pedagang, dan mobil yang mengantri yach! Melihat orang melintas saja rasanya langka di tempat ini. Hahaha. Untung saja, kengerian tersebut bisa saya tepis dengan pemandangan indah berupa Danau Toba dan pegunungan dari ketinggian.
Walaupun Sampri yang saya naiki bergerak perlahan sambil meraung-raung sehingga perjalanan ini terasa cukup panjang, namun kenyataannya, saya tiba di Tele kurang lebih setengah jam saja selepas meninggalkan Pangururan. Jarak di atas kertas Pangururan – Tele adalah 22 KM, kalau dibulatkan 30 KM, artinya Sampri melaju dalam kecepatan 1KM/menit. Cukup cepat juga ternyata! Oh ya, penumpang yang naik atau turun di jalur ini pun bisa dibilang langka. Seingat saya, hanya ada satu penumpang yang turun di jalur yang saya lintasi ini. Sisanya, hanya saya dan rekan saya yang turun di Tele. Percayalah, anda nggak akan mau terjebak malam di tempat ini. Melihat perjalanan yang saya lakukan barusan, saya juga nggak akan mau untuk kembali ke Pangururan guna mengambil tas sekiranya tadi saya menitipkan tas di hotel. Hohoho. Oh, itu dia Menara Pandang Tele. “Berhenti, Bang!”.

Wednesday, December 14, 2011

Menjadi Pulau Samosir Berkat Tano Ponggol

Pulau apa yang terletak di tengah-tengah Danau Toba? Semenjak Sekolah Dasar, kita sudah dicekoki dengan pemahaman bahwa Samosir adalah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau Toba. Walaupun nggak sepenuhnya salah, namun pernyataan ini nggak sepenuhnya benar juga. Samosir sejatinya adalah sebuah daratan yang menjadi satu dengan daratan Sumatera. Pada masa itu, posisi Danau Toba berada di utara, timur, dan selatan daratan Samosir. Samosir terhubung dengan Sumatera via daratan sempit di wilayah timur, di sekitar wilayah Pangururan. Nah, pada masa penjajahan Belanda kurang lebih pada tahun 1907, dilakukanlah rencana untuk membuat terusan sepanjang 1 KM yang betul-betul memisahkan daratan Samosir dari Pulau Sumatera. Dua daratan yang terpisah tersebut dihubungkan oleh sebuah jembatan dengan lebar kurang lebih 20 meter. Terusan di bawah jembatan inilah yang dikenal hingga saat ini sebagai Tano Ponggol atau secara harafiah memiliki arti : “tanah yang dipotong”. Terusan ini dimaksudkan agar transportasi air di Samosir lancar dan kapal mampu mengelilingi bakal calon pulau tersebut.
Sayangnya, hingga saat ini, Tano Ponggol tampak kurang terurus. Sepotong tanah yang sebenarnya memiliki nilai historikal tersebut jauh dari kesan spesial. Selepas gerbang utama Kota Pangururan yang berhiaskan ukir-ukiran Batak (dan running text LED), Sampri yang saya kendarai berbelok ke kiri, melewati sebuah kedai kopi, dan masuk ke satu jalan sempit dengan deretan rumah-rumah di kanan dan kiri jalan. Jalanan yang saya lalui tidak halus, banyak berisi pasir. Tiba-tiba saja Sampri melewati sebuah tempat yang nampaknya jembatan, lengkap dengan pemandangan sungai di kanan dan kiri. Tak lama, Sampri berbelok ke kiri dan menyusuri jalan menuju ke barat. Saya iseng bertanya walaupun sudah tahu jawabannya, “Pak, Tano Ponggol dimana yach?”. “itu, barusan kita lewat”, jawab sang supir sambil terus memacu kendaraannya. Sayang sekali, walaupun memang berukuran tidak terlalu lebar, tapi sebaiknya sepotong wilayah yang bersejarah ini diberi petunjuk, kalau perlu gapura penanda bahwa kita sedang memasuki Tano Ponggol. Lebih asyik lagi kalau ada papan informasi sejarah akan keberadaan tempat ini. Saya yang melewati tempat ini kurang dari 1 menit tidak merasakan adanya keistimewaan akan tempat ini. Ketidakterurusan tempat ini terlihat jelas dari pagar besi berwarna kuning yang berada di sisi jembatan namun sudah tergerus dimakan karat. Sisi kanal yang seharusnya rapih pun dipenuhi oleh berbagai macam “benda” mulai dari keramba nggak jelas hingga aneka macam tumbuhan seperti eceng gondok dan tanaman air lainnya. Nggak heran, masalah pengerukan Tano Ponggol dan kapal yang tidak bisa melewati terusan ini (bahkan kapal kecil sekalipun) menjadi hal yang tidak akan selesai untuk dibicarakan. Konon, biaya yang dikucurkan untuk mengeruk kanal ini cukup besar namun hasilnya tetap sama saja : pendangkalan Tano Ponggol terus terjadi hingga hari ini. Sayang dan sayang sekali mengingat terusan ini memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan menjadi objek wisata menarik di Kabupaten Samosir, terutama di dalam Kota Pangururan. Sayang banget khan, kalau terusan yang sebenarnya menarik ini nggak bisa menimbulkan kesan apapun terhadap turis atau penduduk yang melintas kurang dari 1 menit di atasnya. "Eh, memangnya kita barusan melewati apaan sich?".

Tuesday, December 13, 2011

Wajah-Wajah Pangururan

Membawa tiga lensa dalam perjalanan kali ini menyadarkan saya akan satu hal : saya butuh satu lensa all-round yang nggak usah dilepas-lepas sehingga nggak ribet dalam situasi apapun, termasuk terburu-buru kala menaiki kendaraan umum. Ribet bener dech kalau kita sampai mengganti lensa di kendaraan umum. Dijamin, kita akan menjadi tontonan (walaupun ujung-ujungnya ada yang ngajak kenalan dan saya bisa promosi Indahnesia sich). Hahaha. Saya sich senang dengan lensa tele saya karena bisa menangkap wajah-wajah khas di suatu daerah dengan lebih detail dan lebih natural. Namun, tele saya benar-benar lensa tele, sehingga pada saat ada objek yang berjarak sangat dekat, lensa saya nggak memiliki kemampuan untuk menangkap objek/momen tersebut. Sayang sekali. Berbekal pengalaman ini, saya merasa bahwa saya membutuhkan Tamron AF 18-270mm f/3.5-6.3 VC sehingga objek sangat dekat atau jauh tetap bisa tertangkap dalam kondisi apapun, termasuk saat ribet dan nggak bisa bergerak karena angkutan yang terlalu penuh. Sayang, masalah anggaran tentu jadi persoalan utama. Duit segitu bisa buat jalan-jalan ke tiga tempat berbeda. Hohoho. Yah, kalau ada lensa AF 8-10000mm f/1.2 VC dengan bentuk yang lebih compact dan harga di bawah satu juta rupiah sich saya mau banget. Hahaha. “Ngimpi!”, kalau kata iklan. Jadi sebelum memiliki si Tamron itu, saya harus cukup puas dengan proses ganti-mengganti lensa demi mendapatkan foto wajah yang natural. Sambil menunggu Sampri saya menuju Tele berangkat, saya mencoba untuk menangkap wajah-wajah Pangururan dan geliatnya di pagi hari.

Monday, December 12, 2011

Bagaimana Caranya Keluar Dari Pangururan?

Sampri adalah angkutan generik untuk semua minibus yang beroperasi di banyak wilayah Sumatera Utara, namun wilayah jelajahnya masih di seputaran Samosir sich. Untuk keluar dari Pangururan, saya membutuhkan Sampri yang beroperasi di rute Pangururan – Tarutung (rencananya, perjalanan saya malam ini akan berakhir di Tarutung). Rute Sampri di Kota Pangururan sich ada banyak: rute utara melalui Sidikalang ke arah Medan, atau rute selatan melalui Dolok Sanggul, Siborong-borong, Tarutung dan berakhir di Sibolga. Tujuan saya berikutnya adalah Menara Pandang Tele (Rp. 15.000, ±30KM dari Pangururan dengan kondisi jalan tepian gunung dan luar biasa parah) yang difungsikan untuk melihat Danau Toba dari ketinggian. Menara Pandang ini terletak di wilayah Harian, terletak di perlintasan antara Pangururan dengan Dolok Sanggul atau Pangururan dengan Sidikalang, jadi naik sampri apapun nggak masalah sich karena umumnya akan melewati Tele ini.
Seperti umumnya angkutan lokal apapun di Indonesia, mereka nggak mengenal jadwal. Selama kendaraan belum penuh maka kendaraan tidak akan diberangkatkan. Tentu, ini maksudnya untuk menghemat bahan bakar dan biar nggak rugi dalam kegiatan operasionalnya. Masuk akal sich hitung-hitungannya (apalagi kalau nanti saya cerita soal medan yang ditempuh!). Namun bagi seorang backpacker semacam saya, waktu adalah harta yang tak boleh di sia-siakan. Semakin cepat di perjalanan, semakin banyak hal yang bisa saya dapatkan di objek wisata. Namun, sampri saya belum terlihat akan bergerak sama sekali walaupun tas saya sudah dijejalkan masuk ke dalam bagasi kendaraan (bukan bagasi sich, tapi celah sempit antara kursi paling belakang dengan pintu). Penumpang yang masuk baru kami berdua dan seorang ibu dengan dua orang anaknya saja. Agak berbeda dengan angkutan di Jawa yang mungkin jumlahnya lebih banyak sehingga kita bebas memilih angkutan mana yang dirasakan lebih cepat membawa kita. Sayangnya, pilihan di Pangururan tidak banyak dan cukup terbatas. Kalau mau cepat jawabannya cuma carter! Kendaraan umum berjalan sesuai antrian dan jumlahnya nggak sampai jumlah jari di satu tangan dalam satu jam! Nah, makanya saya nggak bisa seenaknya dech mau milih-milih angkutan disini. Daripada bengong atau jadi nggak asyik, alhasil, saya berkeliling Pasar Pangururan sambil menunggu kendaraan berangkat. Tas saya? Tinggalin saja, kayaknya aman koq. Supir dan sekaligus kenek Sampri tersebut malah berkata agar saya berjalan-jalan saja, nanti kalau sudah mau berangkat akan dipanggil. Hahaha. Angkutan umum cita rasa carter.

Monumen Perjuangan TNI Di Pintu Masuk Pangururan

Pangururan sebagai ibukota Samosir praktis nggak memiliki objek wisata apapun yang bisa memaksa turis untuk tinggal lebih lama. Seperti yang saya bilang sebelumnya, objek wisata yang ada di wilayah Pangururan kebanyakan berada agak jauh di luar jangkauan kaki. Rata-rata, objek wisata terdekat yang ada harus menggunakan kendaraan dan jarak tempuhnya bisa dikatakan lumayan. Hmm.... untung saja ada monumen yang berdiri tidak jauh dari Pasar Pangururan, lumayan lah kalau mau mengenal Kota Pangururan lebih intim. Hihihi.
Lokasi berdirinya monumen ini membelakangi jalan masuk Pangururan dari wilayah timur (Tomok). Ya, pintu masuk kota ini memang ada tiga : satu yang utama dari arah barat via Tele - Tano Ponggol, satudari arah Tomok, dan satu lainnya dari arah selatan via Onan Runggu. Nggak banyak yang bisa diceritakan monumen ini selain tulisan yang ada pada bagian pedestal patung. Tulisan pada pedestal patung bertuliskan : “Dengan Rahmat Tuhan YME, Monumen Perjuangan TNI Sektor II, DMTT/STT SUB TERR – VII Komando Sumatera Telah Diresmikan Pada Tanggal : 2 Mei 1992”. Monumen ini diresmikan oleh Raja Inal Siregar, Gubernur Sumatera Utara pada masa itu dan ditandatangani juga oleh A.E Manihuruk, putera Samosir yang sukses di dunia militer Indonesia. Di sisi lain pedestal, ada semacam grafiran timbul yang melukiskan perjuangan pada masa Perang Kemerdekaan II tahun 1948. Saya tidak tahu patung ini siapa karena tidak ada informasi lebih lanjut. Namun buat saya, patung ini unik karena walaupun berstatus patung militer (atribut militernya cukup terasa loh), namun tangan kanan bapak ini memegang tongkat alih-alih senjata. Jalan damaikah? Entah apakah beliau A.E. Manihuruk atau bukan, saya tidak tahu, mungkin ada teman-teman di Pangururan yang bisa memberikan konfirmasi?
Sayang, seperti halnya tempat umum dan fasilitas publik di banyak tempat di Indonesia, lokasi monumen dan monumen ini tidak jauh dari ketidakpedulian dan vandalisme. Kolam air mancur yang berada persis di depan monumen ini tidak menyala dan sejumlah rerumputan meranggas dan terlihat kurang terawat. Yang paling parah, tampaknya ada yang memasang stiker kampanye pemilu di bagian tengah pedestal dan menutupi lambang Burung Garuda Pancasila. Entah apakah segera disobek kembali atau lama baru disobek namun tampak jelas sisa bekas stiker tempel di sekeliling Burung Garuda Pancasila, lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pangururan memang kota kecil sich, namun bukan tidak mungkin apabila monumen yang ada dirawat dan dimaksimalkan, bisa menjadi objek wisata menarik yang masuk dalam daftar wajib kunjung kebanyakan wisatawan, bukan?

Saturday, December 10, 2011

Ifumie Dan Mie Thai-Pedas A La Panguruan

Malam yang sudah larut membuat kami lapar! Bukan malamnya yang membuat kami lapar, tapi karena nggak diisi apapun sepanjang perjalanan, itulah yang membuat kami lapar. Memang ada sich satu rumah makan persis di samping Hotel Dainang, nempel dengan Gereja Katolik Inkulturasi St. Mikhael. Namun kayaknya jalan-jalan ke kota lebih seru dech daripada makan cuma sepelemparan batu. Hihihi. Yah, disinilah kami berjalan kaki menyusuri malam, menghindari anjing yang menggonggong, demi pencarian akan makanan pengganjal perut, pemuas dahaga, pelega jiwa, pemulih sukma *halah*. Makanan di Pangururan sich sebenarnya ada beberapa. Walaupun sudah malam hari, namun kami bisa melihat sejumlah rumah makan atau kedai masih buka hingga larut malam. Pilihan makanannya memang nggak terlalu banyak walaupun nggak sedikit juga sich. Sejumlah rumah makan yang masih buka mengusung menu siap saji dan bayar sebanyak yang diambil. Hmm...pada malam hari yang dingin ini, saya ingin merasakan kehangatan *apa sich*. Menu makanan yang hangat tampaknya cocok untuk malam ini.
Yah, kembali lagi, iklan terbaik dalam mempromosikan suatu makanan adalah aroma! Nggak perlu iklan mahal-mahal, nggak perlu model ganteng dan cantik, nggak perlu tempat elegan dan menawan! Cukup perpaduan antara perut lapar dan aroma masakan yang menggugah, dijamin, pengunjung akan datang berduyun-duyun. Mungkin inilah yang terjadi pada salah satu rumah makan di Pangururan : Pondok Indah yang terletak di Jalan SM. Raja. Rumah makan ini cukup terang (terang dalam hitungan Pangururan) dan aroma masakan yang menguar dari tempat ini sangat memikat. Saya bisa mencium aroma nasi goreng dan mie goreng dari tempat ini. Dengan segera, saya menobatkan mie goreng menjadi makanan terenak di seluruh dunia. Hihihi.
Menu makanan yang ditawarkan sich standard. Namun, menu makanan hangatnya memang menarik. Ditambah dengan harga yang tidak terlalu mahal dan beberapa menu yang unik, akhirnya kami memutuskan untuk makan di tempat ini. Yum! Menu yang terjadi di tempat ini sich standard seperti Nasi Goreng, Mie Goreng, Ifumie, Capcay, Fuyunghai, Ikan Asam Manis, hingga Babi Kecap. Hmm...teman-teman yang muslim nggak boleh mencicipi restoran ini donk yach? Ditilik dari makanannya, menu makanan di tempat ini masuk dalam kategori Chinese food. Namun, pemilik dari tempat ini bernama Ompu Toman dan muka beliau nggak kelihatan Cina sama sekali, malah cenderung Batak. Hehehe. Ya iyalah, namanya saja “Ompu”. Beda cerita kalau namanya “Babah” atau “Ngkoh” hehehe. Nama menu makanan yang agak unik dan membuat saya ingin mencicipinya adalah Mie Thai-Pedas. Seberapa pedas sich? Kata Ito yang berjaga sich cukup pedas (dia menjawab sambil malu-malu dan ketawa-ketawa mesem-mesem). Berhubung harganya pun nggak terlalu mahal (Rp. 15.000), ya sudahlah saya coba saja bagaimana rasa Mie Thai-Pedas itu sementara teman saya memesan Ifumie (Rp. 14.000). Sambil memesan saya berkata,”pedasnya jangan banget-banget yach” yang kemudian langsung disambut oleh ucapan si Ito, “bumbunya sudah jadi dari sananya”, sambil tak lupa tertawa dan senyum mesem-mesem. Ow...baiklah, jadi kadar pedasnya nggak bisa ditera ulang tampaknya. Baiklah, kita coba saja bagaimana rasa makanan ini.
Pesanan teman saya, Ifumie, datang terlebih dahulu. Alih-alih Ifumie, bentuk makanan teman saya ini lebih terlihat menyerupai Mie Goreng atau Mie Capcai. Saya sampai berusaha bertanya ke Ito yang melayani dan meyakinkan bahwa ini memang pesanan yang tepat. Ternyata, memang wujud dari sang Ifumie seperti ini, mienya digoreng bersama dengan sayur-sayuran yang didominasi oleh potongan wortel. Hmm...bagaimana kalau kita pesan Mie Goreng beneran yach? Hehehehe. Ifumie yang sebenarnya kan harusnya digoreng kering dan kemudian disiram oleh kuah kental bercampur sayur-sayuran. Yah, untung saja rasanya masih enak dan gurih untuk dimakan. Perbandingan antara aroma dan rasa tidak terlampau jauh. Enak! Nah, permasalahan muncul dengan pesanan saya. Mie Thai-Pedas yang saya pesan tidak datang-datang. Cukup lama saya menunggu sembari mencicipi Ifumie milik teman saya. Setelah memanggil si Ito, nggak lama si Mie Thai-Pedas ini barulah datang. Mungkin proses pembuatannya memang cukup rumit dan lama sehingga pesanan ini nggak keluar-keluar. Soal wujud, Mie-Thai Pedas ini memang berwarna merah menyala, terbalut oleh cairan pedas yang tentunya membuat air liur terbit apalagi kalau lapar. Rasanya? Yah, memang pedas sich! Hahaha. Pertama-tama memang tidak terasa pedasnya, namun lama kelamaan, campuran antara lada dan cabai membuat makanan ini menjadi pedashhhhhh. Menu yang satu ini memang nikmat, apalagi kala panas dan hangat-hangat. Namun, perut saya nggak kuat kalau dipaksakan makan sepedas ini (catet : level pedas saya tidak terlalu keterlaluan koq) alhasil Mie Thai-Pedas ini tidak saya habiskan. Sayang sich, tapi saya nggak mau mencri-mencri sepanjang perjalanan (masih ada 5 hari ke depan soalnya). Untungnya, teh di rumah makan ini tersedia gratis dan menurut saya yang penggemar teh, teh disini harum dan nikmat. Hihihi. Apalagi gratis! Makin nikmat saja dech. Pengalaman makan malam di Pangururan akhirnya ditutup dengan sekotak susu dingin untuk menetralkan perut agar tidak bergejolak esok harinya. Hehehehe.