Selamat Pagi Kota Padang! Selamat Pagi juga Sumatera Barat. Setelah tidur semalaman(catat : tidur semalaman tanpa bergerak sama sekali karena ranjang yang sempit harus dibagi dua dengan seorang rekan saya), akhirnya pagi ini saya akan mencoba menjajaki tempat-tempat terindah di punggung Bukit Barisan ini. Perjalanan hari ini akan cukup jauh karena hampir melingkari sisi tengah dan timur Sumatera Barat. Siap-siap untuk melihat keindahan alam, keunikan adat Minang, dan ademnya udara bukit dan lembah. Siap? Yuk, mari…!
Tujuan pagi ini adalah Padang Scenic Point, tempat dimana kita bisa melihat Kota Padang dari ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Saya tidak terbayang sama sekali seperti apa lokasi ini sebelum melihatnya langsung. Saya membayangkan suatu tebing terjal dengan laut cadas di bawahnya, tempat Kota Padang berada. Jadi, kita ada di suatu ketinggian tepat di atas Kota Padang sementara itu air laut dengan ganas menggerogoti tepian tebing. Terlalu imajinatifkah? Ketika mencoba membuka peta dan melihat dimana Padang Scenic Point berada, saya agak bingung: Padang Scenic Point bukan berada di tepi laut, namun jauh di daerah pedalaman sana, di perbukitan. Seperti apa yah bentuk pemandangan yang akan saya terima?Padang Scenic Point ini berada di suatu tempat yang terkenal dengan sebutan Sitinjau Lauik. Lokasi tempat ini berada di lingkar luar pinggir Kota Padang. Jadi, masih masuk dalam wilayah Kota Padang yah ternyata. Walau masih masuk dalam wilayah kota, ketinggian tempat ini mencapai 1000 meter di atas permukaan laut. Apa pasal? Sitinjau Lauik ini berada di kaki / lereng Gunung Talang. Gunung Talang sendiri adalah gunung yang berada paling dekat dengan Kota Padang dengan ketinggian 2690 meter. Sudah cukup ceritanya, yuk kita lanjut ajah.
Dengan jarak sekitar 30-an kilometer dari pusat kota menuju ke Sitinjau Lauik, harusnya kita bisa mencapai tempat tersebut dengan cepat (apalagi kalau ngebut yach?). Sayangnya, tiada yang bisa kita lakukan untuk menghemat waktu karena jarak 30 kilometer tersebut hampir setengahnya lebih berupa perbukitan dan jalan menanjak. Ya, kita melalui jalan penghubung lingkar luar Kota Padang ke arah Solok. Jalanan yang saya lalui pada awalnya berupa jalanan lurus dengan sebuah gunung membentang menghadang di depan ujung jalan tersebut. Seakan-akan, saya dan rekan-rekan berjalan menuju gunung tersebut. Lama kelamaan, jalanan yang saya lalui mulai berubah wujudnya. Perumahan dan kehidupan masyarakat di kanan dan kiri mulai tergantikan oleh rimbun-rimbunan hijau-hijauan dan sawah, walaupun masih terdapat beberapa kota kecamatan kecil lagi di sepanjang jalan tersebut. Jalan mulai menanjak.Adalah Indarung. Mungkin waktu pelajaran di sekolah dasar dahulu anda pernah mendengar nama kota ini disebut-sebut dalam bagian bahan galian tambang. Indarung adalah kota dengan predikat penghasil bahan baku semen. Kalau ada kota yang menghasilkan semen, pasti ada pabriknya donk? Yang jelas, Pabrik Semen Padang berdiri di lokasi yang sama berdekatan dengan lokasi penambangan. Pabriknya luas sekali. Walaupun jalanan mulai menyempit dan kiri kanan dipenuhi oleh truk-truk bermuatan besar, saya masih melihat sejumlah kehidupan masyarakat biasa hingga pasar tradisional. Pasar tradisional dan rumah-rumah warga ini berdampingan mesra dengan kegiatan perpabrikan mulai dari bangunan pabrik, ban berjalan yang besar sekali, kompleks perkantoran dan asrama para buruh pabrik. Jalanan di beberapa tempat tampak terkelupas dan berdebu tebal akibat truk-truk besar yang berlalu lalang. Adalah sangat bijak apabila anda tidak membuka jendela anda disini kalau anda nggak mau makan semen, gratis! Hehehe…Di samping kanan saya, di kejauhan, tampak sebuah bukit yang separuh hijau sementara separuh lainnya sudah tergerus namun dengan sangat rapih. Bukit tersebutlah yang digerus yang digunakan sebagai bahan baku semen. Uda yang bersama kami mengatakan, bahwa berpuluh-puluh tahun digerus dan dikeruk, bukit tersebut tampak sama seperti sedia kala. Tidak ada yang berubah semenjak ia kecil hingga dewasa seperti sekarang. Bukit tersebut masih tetap sama. Mungkin memang kekayaan alam tanah di sekitar Indarung yang membuat bahan baku semen selalu tersedia. Sempat khawatir juga apabila bukit tersebut mengalami longsor atau habis dikeruk sehingga mereka akan mencari bukit baru sebagai sasaran. Kalau begitu, habis donk bukit disini?
Hampir sampai, jalanan menjadi semakin sempit dan hanya bisa dilalui oleh dua kendaraan saja. Uda yang bersama kami menyarankan untuk membeli makanan atau minuman barang satu atau dua karena selepas titik jalanan menyempit ini, agak susah menemukan warung makanan atau minuman. Kami pun berbelanja sedikit disini dan menemukan beberapa bungkus Karipiak Sanjai Balado. Karipiak ini ternyata mudah ditemukan bahkan hingga warung-warung sederhana sekalipun.
Yang membuat kami khawatir, Uda meminta kami untuk membuka jendela dan beliau mematikan radio dan AC. Kendaraan yang kami tumpangi pagi itu menggerung keras, berjuang untuk naik. Memang sich, kalau dilihat, tanjakannya lumayan. Mobil di bawah 1300cc pastinya akan kesusahan untuk menanjak disini. Saya dan rekan-rekan sampai terdiam dan menahan nafas. Hehe...untung saja, kendaraan bisa melintasi tanjakan tersebut dengan sukses. Kami pun berceloteh riang lagi. Jalanan di sekitar sudah mulai berubah penampakannya. Dari warung dan pabrik hingga menjadi tebing di kanan kiri dan hijau-hijauan hutan. Untungnya, jalanannya cukup mulus.Hampir sampai di Sitinjau Lauik, tentu saya sudah sangat senang. Penasaran, mau melihat seperti apa sich lokasi tempat ini. Selain itu, siapa sih yang betah lama-lama di dalam kendaraan. Ya ngga? Hehe... Sayangnya, kesenangan tersebut harus ditunda dahulu. Sitinjau Lauik memiliki dua titik pengamatan yang terkenal. Pos pertama dan pos kedua. Pos pertama terletak tidak terlalu tinggi dan bisa dicapai dengan berbelok beberapa kali di ruas menanjak diantara perbukitan. Pemandangan di sisi kanan kami sudah berupa tebing dengan jurang menganga di bawah. Sayang, pos pertama bukanlah tujuan akhir dari Sitinjau Lauik ini. Pos pertama yang posisinya tidak terlalu tinggi ini memiliki pemandangan kurang bagus. Pemandangan total ke arah Kota Padang akan terhalang total atau sebagian karena adanya bukit-bukit yang lebih tinggi yang menutupi arah pandang ke barat. Tidak tampak adanya wisatawan juga yang berada di titik ini. Ya, kendaraan dipacu lebih jauh lagi ke atas, berkelok-kelok. Buat yang mudah mabok darat, sebaiknya mulai bersiap-siap dari titik ini.
Setelah beberapa kelokan kemudian (dan beberapa suara tanda mual..hoek..hoek), akhirnya pos kedua yang saya rindukan telah tampak di ketinggian tebing. Mungkin agak berlebihan, namun rasanya jalanan yang dilalui tampaknya hanya cukup dilalui oleh satu kendaraan saja. Tepat sesaat di tengah jalanan utama yang akan mengantarkan kita ke Solok, ada sebuah belokan kecil ke arah kanan. Naik sedikit, akhirnya sampai juga di destinasi pertama hari ini. Sitinjau Lauik pos kedua.
Ternyata, memang imajinasi saya agak kurang yach. Sitinjau Lauik bukanlah wilayah di atas tebing cadas di tepi laut. Sitinjau Lauik adalah sebuah titik di atas perbukitan di lereng Gunung Talang dengan pandangan terbuka jauh ke arah cakrawala. Jauh di cakrawala sana, ada Kota Padang dengan bangunan yang menyemut, pabrik yang mengepulkan asap, dan tentu saja, Laut Hindia. Perpaduan warna biru langit, biru laut, rumitnya sebuah kota, dan hijaunya perbukitan memang cukup manis untuk dinikmati. Sayang, Sitinjau Lauik tidak dingin, malah cenderung panas walaupun panasnya tidak terasa menyengat di kulit. Sitinjau Lauik sendiri ditandai dengan sebuah pos pengamatan berbentuk gazebo dengan atap bagonjong a la rumah adat Minangkabau. Baik di pos pertama maupun pos kedua, bangunan gazebo ini ada. Secara gamblang saja sich terlihat bahwa wilayah ini dibangun oleh Semen Padang. Logo Semen Padang memenuhi setiap sudut wilayah ini, mulai dari atap gazebo, hingga pagar pengaman yang berada di tepi bukit untuk menghindari wisatawan terjatuh ke lereng. Semuanya berlogo Semen Padang Indonesia namun penuh dengan coretan grafitti tangan-tangan jahil.
Tidak ada yang bisa dilakukan di tempat ini selain duduk, beristirahat dan bersantai. Angin bukit tampaknya bisa membawa efek senang dan nyaman. Beberapa tukang ojek (atau bukan yach?) tampak duduk dan bersantai di dalam gazebo. Selain saya dan rombongan, tidak tampak adanya turis atau wisatawan lain yang bakunjuang ke tempat ini. Jalanan yang kami lalui tadi juga sebenarnya sangat sepi sekali. Hanya sesekali kami berjumpa kendaraan balik yang melintas. Mungkinkah karena ini bukan hari libur? Yang jelas, jangan harap anda bisa menemukan penjual makanan atau fasilitas pendukung lainnya. Sitinjau Lauik tampaknya memang dibangun sebagai tempat untuk bersantai sejenak saja. Kalau anda lapar dan berniat piknik disini, bawalah makanan secukupnya dan jangan membuang sampah sembarangan apalagi sampai merusak daerah ini. Mungkin kalau saya sempat mengunjungi titik ini di kala libur, akan terdapat penjual makanan kali yach, seperti halnya lokasi wisata di Indonesia? Alhasil, yang saya dan rombongan lakukan di titik ini hanyalah berfoto-foto, melihat dan mengamati Kota Padang dari ketinggian. Itu saja. Namun perlu diakui, bahwa pemandangan yang tersaji cukup spektakuler. Saya yakin, nggak semua tempat di Indonesia memiliki pemandangan seperti ini. Sehingga, anda perlu banget untuk mengabadikan bahwa anda sudah pernah berada di titik ini. Walaupun pemandangan Kota Padang tidak akan terlalu terlihat dari kejauhan, namun kombinasi warna hijau dan biru sudah merupakan paduan yang oke untuk dipajang dan dipamerkan kepada teman-teman anda. Walaupun tidak terlalu adem, yang jelas udara di Sitinjau Lauik segar. Saya bernafas lega-lega dan rakus dengan membuka lebar-lebar lubang hidung saya. Membersihkan paru-paru maksudnya, hehehe... Setelah berfoto dan duduk istirahat sebentar dan mengademkan bokong, praktis tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan disini. Mengingat waktu yang masih panjang dan destinasi lain yang masih harus disambangi, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Tidak ada fasilitas apapun disini mulai dari rumah makan hingga toilet. Kalau anda kebelet, seharusnya anda sudah membuangnya tadi di bawah atau nanti sekitar 30-60 menit lagi mencapai Kota Solok. Sabar yach...
Tepat sebelum mencapai Sitinjau Lauik, ada sebuah tempat yang dinamakan Lubuk Peraku atau Lubuk Paraku. Ini adalah sejenis tempat pemandian umum air dingin dengan air yang segar dan mengalir. Plang nama tempat ini begitu menggoda ketika saya melewatinya. Sayang, waktu yang sungguh terbatas hanya membuat saya mengiler memandangi tempat ini dari kejauhan. Air yang mengalir deras dan dingin tampaknya sudah memanggil-manggil agar saya dapat bermain air di dalamnya. Apabila anda memiliki waktu lebih dan tidak mau berkeliling terlalu jauh, coba dech sambangi pemandian ini.
Di sisi yang berbeda dengan Lubuk Paraku, seturun dari Sitinjau Lauik, ada sebuah hamparan taman yang disebut Taman Hutan Raya Bung Hatta. Taman ini memiliki beberapa titik pintu masuk. Ada satu pintu masuk diantara pos pertama dan pos kedua Sitinjau Lauik. Namun, pintu masuk yang berukuran besar terdapat sesudah anda melintasi pos kedua Sitinjau Lauik. Taman hutan Raya atau THR ini adalah sebuah taman sejenis kebun raya yang menyajikan berbagai koleksi tanaman pegunungan di lereng Gunung Talang dengan komplit. Hampir saja saya lupa, untuk yang mau makan atau ke toilet, THR memiliki fasilitas tersebut. Jadi, kalau bosan dengan Sitinjau Lauik yang hanya dapat digunakan untuk melihat pemandangan saja, boleh dech cobain ke THR Bung Hatta. Sayang sekali, karena alasan keterbatasan waktu (lagi-lagi), maka THR Bung Hatta harus saya lewatkan.
Dari sini, tujuan jalan bercabang dua, menuju Solok ke utara atau menuju Solok Selatan dimana dalam perjalanan ke selatan ini anda akan menemukan Danau Di Atas dan Danau Di Bawah yang terkenal sebagai Danau Kembar (beberapa ibu-ibu penjaja makanan di lereng Indarung menanyakan apakah kami akan berkunjung ke Danau Kembar?). Apabila anda memiliki waktu lebih dan siap untuk beralih menuju wilayah selatan (dengan asumsi, anda akan menjelajahi Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan , Sawah Lunto, Dharmasraya, dan Sijunjung), kedua danau ini pantas disambangi. Sedikit saran dari warga lokal, kedua danau ini lebih elok dikunjungi pada saat sore hari. Jadi, apa pilihan anda?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment