Tuesday, February 21, 2012
Kacang Sihobuk, Oleh-Oleh Tapanuli Utara
Tadi Pagi Ku Pergi Ke Pekan Tarutung
Tau lagu ini? Tadi pagi ku pergi ke pekan, berbelanja buah dan sayuran, jeruk dan semangka, bayam dan selada, kue untuk adik tak kulupakan, dengan becak ku pulang segera, Ibu Bapak sudah menantikan. Lagu ciptaan Pak Kasur ini terdengar janggal di telinga Sekolah Dasar saya. Apakah pekan itu? Kenapa harus disebut pekan? Saya mencoba melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menemukan istilah pekan disana yang artinya “pasar”, selain arti lain seperti “minggu”. Sudah sangat jarang sekali saya menemukan ada orang yang menggunakan kata “pekan” dalam keseharian untuk menyebutkan istilah “pasar”. Di Medan sendiri, pasar dikenal dengan istilah “pajak”. Unik yach? Nah, saya menjumpai istilah “pekan” ini digunakan di Tapanuli Utara, tepatnya pada istilah “Pekan Tarutung”. Saya langsung bertanya-tanya, apakah makna “Pekan” yang dimaksud disini? Otak saya mengembara ke beberapa puluh tahun lampau saat saya menemukan istilah “pekan” di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Ya, Pekan adalah Pasar. Pekan Tarutung atau Pasar Tarutung adalah pasar rakyat yang menjual hampir berbagai jenis kebutuhan rumah tangga, mulai dari sembilan bahan pokok, buah-buahan, bebungaan, daging segar, hingga sanitasi rumah tangga seperti deterjen dan cairan pembersih lantai, sanitasi diri seperti sabun, shampo dan pelembab, hingga buku tulis, peralatan plastik dan sarana belajar anak dan vcd/dvd lagu yang memutarkan lagu-lagu Batak atau lagu-lagu rohani (anda nggak perlu bertanya yach, vcd/dvd nya ini bajakan atau ngga...hehehe). Pekan Tarutung ini cukup luas, terbukti dari sekian banyaknya barang, baik jumlah maupun ragam yang dijual di tempat ini. Saya sendiri sempat muter-muter nggak tentu arah sebelum akhirnya berhasil keluar dari keruwetan pasar tradisional ini. selayaknya pasar tradisional, pasar ini adalah pasar basah. Sejumlah area tempat berjalan kaki dipenuhi dengan genangan air yang bercampur lumpur sehingga terlihat becek dan kotor. Ditambah dengan Tarutung yang pada pagi itu memang agak basah, lengkaplah sudah kios-kios itu becek, basah, kotor, lalu bertutup terpal disana-sini. Berantakan. Walau demikian, saya menyukai jalan-jalan saya ke Pekan Tarutung karena seru. Selain transaksi jual beli dan belanja yang masih sangat ramai dilakukan, harga barang disini tentu saja lebih murah dibanding di tempat lain di luat pekan ini. Buat anda penggemar buah-buahan, silahkan pilih berbagai macam aneka buah segar yang dijual di tempat ini. Buah-buahan ini merupakan produksi Rura Silindung yang berada di dataran tinggi beriklim tropis sehingga cocok untuk berbagai jenis buah dan sayur. Bagi teman-teman yang mau masak sayur-sayuran dijamin gampang pula menemukan aneka macam sayur di tempat ini. Ada lagi penjual tanaman hidup baik bebungaan maupun tanaman hias, semua ada disini. Pekan Tarutung ini terletak tidak terlalu jauh dari seberang Hotel Diadji, Jalan F.L. Tobing. Tidak jauh dari pintu depan Pekan (kebetulan tadi saya masuk lewat belakang via Jalan Raja Saul L. Tobing) terdapat antrean kendaraan antar kota yang akan membawa anda ke Balige, Siborong-borong, atau Dolok Sanggul. Ya, usai dari mengunjungi pasar, sudah saatnya bagi saya untuk beranjak ke Balige.
Ya, Pekan adalah Pasar. Pekan Tarutung atau Pasar Tarutung adalah pasar rakyat yang menjual hampir berbagai jenis kebutuhan rumah tangga, mulai dari sembilan bahan pokok, buah-buahan, bebungaan, daging segar, hingga sanitasi rumah tangga seperti deterjen dan cairan pembersih lantai, sanitasi diri seperti sabun, shampo dan pelembab, hingga buku tulis, peralatan plastik dan sarana belajar anak dan vcd/dvd lagu yang memutarkan lagu-lagu Batak atau lagu-lagu rohani (anda nggak perlu bertanya yach, vcd/dvd nya ini bajakan atau ngga...hehehe). Pekan Tarutung ini cukup luas, terbukti dari sekian banyaknya barang, baik jumlah maupun ragam yang dijual di tempat ini. Saya sendiri sempat muter-muter nggak tentu arah sebelum akhirnya berhasil keluar dari keruwetan pasar tradisional ini. selayaknya pasar tradisional, pasar ini adalah pasar basah. Sejumlah area tempat berjalan kaki dipenuhi dengan genangan air yang bercampur lumpur sehingga terlihat becek dan kotor. Ditambah dengan Tarutung yang pada pagi itu memang agak basah, lengkaplah sudah kios-kios itu becek, basah, kotor, lalu bertutup terpal disana-sini. Berantakan. Walau demikian, saya menyukai jalan-jalan saya ke Pekan Tarutung karena seru. Selain transaksi jual beli dan belanja yang masih sangat ramai dilakukan, harga barang disini tentu saja lebih murah dibanding di tempat lain di luat pekan ini. Buat anda penggemar buah-buahan, silahkan pilih berbagai macam aneka buah segar yang dijual di tempat ini. Buah-buahan ini merupakan produksi Rura Silindung yang berada di dataran tinggi beriklim tropis sehingga cocok untuk berbagai jenis buah dan sayur. Bagi teman-teman yang mau masak sayur-sayuran dijamin gampang pula menemukan aneka macam sayur di tempat ini. Ada lagi penjual tanaman hidup baik bebungaan maupun tanaman hias, semua ada disini. Pekan Tarutung ini terletak tidak terlalu jauh dari seberang Hotel Diadji, Jalan F.L. Tobing. Tidak jauh dari pintu depan Pekan (kebetulan tadi saya masuk lewat belakang via Jalan Raja Saul L. Tobing) terdapat antrean kendaraan antar kota yang akan membawa anda ke Balige, Siborong-borong, atau Dolok Sanggul. Ya, usai dari mengunjungi pasar, sudah saatnya bagi saya untuk beranjak ke Balige.
Tanaman Segar Siap Dipilih Dipilih Dipilih! |
Kangkung, anyone? |
Ritme Pasar Yang Menyenangkan |
Pepaya, Mangga, Pisang, Jambu...eh Salak, Cabe, Tomat, dan.... Buku! |
Kalapana Atuh, Kang #loch |
Biar Backpacking, Tetep Harus Konsumsi Buah Donk Biar Nggak Sembelit |
Ikan Asin, Ikan Asin, Ikan Aseeeeeeeeeennnnn! |
Inang Khas Tapanuli Menunggu Dagangannya |
Biar Becyek Dan Ada Ojyek, Lebih Asyik Berjyalyan Kyakyi #ribet |
Kentaki Pret Ciken! |
Friday, February 17, 2012
Sisi Lain : Tarutung Pagi Hari
Saat terbaik untuk berjalan kaki mengelilingi kota sich sebenarnya bermacam-macam yach, bisa pagi, bisa sore, bisa malam, atau bahkan tengah hari bolong. Namun, dari kesemuanya, saya paling suka berjalan kaki mengelilingi kota pada pagi hari. Saya biasanya menemukan wajah kota yang masih asli, baru menggeliat, baru bersiap-siap untuk beraktifitas, nggak ketinggalan sejumlah penduduk setempat yang baru saja mau mandi, atau mau bersiap-siap ke tempat kerja. Pada pagi hari juga, pemandangan biasanya jauh lebih bersih dan jelas terlihat dibanding sore atau malam hari. Ini sebabnya pada saat backpacking, saya tidak rela waktu habis untuk bermalas-malasan ria di kasur. Sedapat mungkin, sepagi mungkin, kalau bisa saat matahari baru saja mulai tampak, saya sudah siap di jalanan, menjelajahi denyut kehidupan sebuah kota/desa.
Nggak ketinggalan dengan Kota Tarutung. Walaupun saya sudah menjelajahi sebagian dari kota ini pada sore hari dan senja hari sebelumnya, namun saya sangat bersemangat untuk melihat seperti apa wajah kota ini pada pagi hari. Sayangnya, teman saya sudah harus bersiap untuk pulang kembali ke Medan, meninggalkan saya disini yang akan menyebrang ke Gunungsitoli, Nias pada malam hari nanti. Alhasil, dia tidak ikut dalam perjalanan ini karena harus bersiap-siap dan menunggu, siapa tahu angkutan yang akan membawanya sudah akan mengangkutnya. Nah, saya melangkah tak tentu arah kemana kaki akan membawa saya. Pemandangan dari Sungai Sigeaon cukup jelas sich sebenarnya, sehingga saya memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi sudut-sudut kota yang belum saya jamah pada hari sebelumnya. Walaupun Tarutung tidak lebar, namun ternyata jalan-jalan kecilnya banyak sekali sehingga banyak hal yang bisa dilihat di tempat ini. Secara mengejutkan, dalam satu wilayah Tarutung saja ada banyak sekali gereja dari berbagai jenis jemaat, penginapan yang tersembunyi, hingga gedung serba guna, dan Pekan Tarutung atau yang kita kenal sebagai : pasar. Sayang, karena saya berjalan pada pagi hari (belum mencapai jam 10), maka belum banyak toko maupun tempat yang buka untuk waktu yang sedemikian. Bahkan, salah satu toko Ulos yang saya tunggu-tunggu untuk buka ternyata belum memperlihatkan geliatnya sama sekali. Saya tidak bisa menunggu lama karena harus segera ke Balige. Apa boleh buat, mungkin saya akan mencari Ulos untuk souvenir bagi saya sendiri di kota lain saja.
Secara mengejutkan pula, sejumlah penduduk kota ini menyapa saya. Saya terkejut sekaligus memasang muka heran, karena mereka menyapa seakan-akan mereka sudah kenal saya dengan baik. Usut punya usut, mereka yang membaca wajah keheranan saya langsung menjelaskan bahwa mereka adalah rombongan warga di tepi Sungai Sigeaon yang malam sebelumnya telah saya foto. Hoooooo. Langsung kehangatan menjalar di sekujur tubuh saya. Halah. Hihihihi. Mereka menanyakan arah tujuan saya dan bahkan memberikan info tempat-tempat yang akan saya lewati dan kunjungi di perjalanan berikutnya. Hiks, saya jadi terharu dan makin jatuh cinta sama Tarutung.
Secara mengejutkan pula, sejumlah penduduk kota ini menyapa saya. Saya terkejut sekaligus memasang muka heran, karena mereka menyapa seakan-akan mereka sudah kenal saya dengan baik. Usut punya usut, mereka yang membaca wajah keheranan saya langsung menjelaskan bahwa mereka adalah rombongan warga di tepi Sungai Sigeaon yang malam sebelumnya telah saya foto. Hoooooo. Langsung kehangatan menjalar di sekujur tubuh saya. Halah. Hihihihi. Mereka menanyakan arah tujuan saya dan bahkan memberikan info tempat-tempat yang akan saya lewati dan kunjungi di perjalanan berikutnya. Hiks, saya jadi terharu dan makin jatuh cinta sama Tarutung.
Sarapan Pagi Ala Hotel Bali, Tarutung
Monday, February 13, 2012
Babi Panggang Karo khas Tarutung di R.M. Aroma
Salah satu masakan Batak yang paling terkenal se-nusantara mungkin adalah Babi Panggang Karo, atau yang lebih dikenal dengan singkatan BPK. Sesuai namanya, makanan ini berasal dari tanah Karo. Buat yang nggak tahu dimana Tanah Karo itu, kalau sebut Kabanjahe atau Brastagi, mungkin lebih tahu kali yach? Nah, terkenalnya makanan ini nggak hanya meliputi wilayah Karo saja, namun hingga ke seluruh Sumatera Utara. Hampir seluruh kabupaten di Sumatera Utara memiliki rumah makan yang menyajikan makanan ini. Eits, tidak sampai disana saja, banyak tempat di Indonesia bisa ditemukan jenis makanan yang satu ini.
Nah, saya mencicipi makanan ini justru ketika saya sedang berada di Tapanuli Utara, Kota Tarutung. Asimilasi dan akulturasi kebudayaan memang bisa terjadi dimana saja. Kebudayaan Karo yang hadir dalam makanan Babi Panggang Karo ini sudah tercampur dengan dimana makanan itu disajikan dan siapa yang menyajikannya. Uniknya, saya menikmati Babi Panggang Karo justru di Rumah Makan Aroma, rumah makan yang dikelola oleh penduduk Tapanuli Utara yang beretnis China. Walaupun notabene masih banyak rumah makan yang menjual produk yang satu ini, namun rumah makan ini terletak tidak terlalu jauh dari perempatan D.I. Pandjaitan dan F.L Tobing. Plus, ada bocoran pula bahwa Babi Panggang Karo yang dijual oleh Rumah Makan Aroma ini adalah salah satu yang terenak di Tarutung ini. Hmm....mari kita sambangi rumah makan ini.
Yang jelas, selain Babi Panggang Karo, spanduk yang berada di depan rumah makan ini membuat saya penasaran akan menu lainnya. Bagaimana tidak, di spanduk penutup rumah makan ini tertulis menu ajaib lainnya yakni “Kidu-Kidu”. Hmm...semakin penasaran sajalah saya untuk melihat dan mencicipi menu ajaib ini. Kesan ramai tidak tampak begitu anda memasuki rumah makan ini. Pengunjung satu-satunya pada sore itu hanyalah kami berdua saja walupun semakin malam, sejumlah pengunjung berdatangan. Seorang pria paruh baya tampak di meja dalam, dan dua orang anak sedang asyik menonton siaran kartun di televisi yang digantung di dinding. Seketika itu saya mengambil lembaran menu dan sedikit sumringah lantaran harga makanan yang tidak terlalu mahal. Hore! Rata-rata makanan di tempat ini berkisar dari Rp. 10.000 – Rp. 20.000. Untuk Sup Tom Yam memang berharga Rp. 25.000 dan Ikan Kakap Asam Manis Rp. 45.000. Dua itu saja sich yang di luar pakem, namun sisanya, rata-rata berharga murah meriah! Nasi, mie, bihun atau kwetiauw goreng telornya saja dimulai pada Rp. 10.000. Mau makan tengah untuk beramai-ramai juga nggak masalah karena hampir setiap varian menunya cukup terjangkau dan porsinya lumayan. Saya sendiri memesan Ifumie Binjai, teman saya nasi goreng dan tidak ketinggalan tentu saja Babi Panggang Karo yang harganya murah : Rp. 10.000 saja untuk dimakan bersama.
Rasanya sich memang tidak berlebihan Rumah Makan Aroma ini dinobatkan sebagai salah satu rumah makan yang enak di Tarutung ini. Untuk harga yang ditawarkan dan kualitas rasanya, rumah makan ini jempolan! Babi Panggang Karo yang kami nikmati gurih, dan renyah, hampir serupa sebenarnya dengan menu babi panggang di nasi campur restoran Chinese. Yah, saya ambil positifnya saja, mungkin karena dipanggang jadi rasanya nggak jauh beda kali yach? Mungkin juga kali lain saya harus mencoba Babi Panggang Karo di lokasi yang berbeda, kalau perlu di rumah makan khas orang Karo di Kabanjahe! Sebagai penutup, saya menikmati jus wortel yang berharga Rp. 7.000. Menyenangkan rasanya bisa makan enak dan puas, minum segar dengan harga murah dan terjangkau. Hehehehe. Sebelum kami beranjak pergi, nampaknya dua orang pelayan di rumah makan ini melihat blackberry yang kami mainkan. Mereka akhirnya memberanikan diri untuk bertanya mengenai cara menggunakan blackberry, cara aktivasi kartu, hingga mengaktifkan blackberry messengernya. Usut punya usut, mereka membeli Blackberry tersebut di Kota Medan karena selisih harga yang bisa terpaut jauh apabila mereka membelinya di Kota Tarutung, bahkan hingga mencapai Rp. 500.000! Sayangnya, mereka tidak mendapat pelatihan yang memadai dari kios di Medan dan di Tarutung ini, tidak banyak warga yang bisa dimintai info mengenai blackberry. Hehehehe. Yah, hitung-hitung saya bagi-bagi ilmu dech. Toh sudah malam juga dan tidak ada yang akan kami lihat lagi plus sambil menunggu makanan turun, akhirnya saya dan rekan saya mengadakan training singkat mengenai cara menggunakan blackberry, mulai dari aktivasi, hingga mengantur profil blackberry messenger. Whuah, mereka benar-benar antusias sekali untuk belajar blackberry ini. hehehehe
Oya, saya sendiri nggak memesan Kidu-Kidu lantaran sudah memesan cukup banyak menu untuk dimakan pada malam ini. Namun, sayangnya, pelayan yang saya tanyai kurang bisa memberikan jawaban yang memuaskan bagi diri saya tentang deskripsi Kidu-Kidu. Yah, usut punya usut sich, Kidu-Kidu itu adalah jeroan, terutama usus babi yang diisi dengan daging sehingga menyerupai sosis. Sayang, saya sudah terlalu kenyang sehingga nggak sampai hati mau mencicipi Kidu-Kidu ini. Walaupun harganya Cuma Rp. 10.000, namun itu bukan alasan untuk tetap memaksakan memesan Kidu-Kidu ketika perut sudah kenyang. *burp*
Nah, saya mencicipi makanan ini justru ketika saya sedang berada di Tapanuli Utara, Kota Tarutung. Asimilasi dan akulturasi kebudayaan memang bisa terjadi dimana saja. Kebudayaan Karo yang hadir dalam makanan Babi Panggang Karo ini sudah tercampur dengan dimana makanan itu disajikan dan siapa yang menyajikannya. Uniknya, saya menikmati Babi Panggang Karo justru di Rumah Makan Aroma, rumah makan yang dikelola oleh penduduk Tapanuli Utara yang beretnis China. Walaupun notabene masih banyak rumah makan yang menjual produk yang satu ini, namun rumah makan ini terletak tidak terlalu jauh dari perempatan D.I. Pandjaitan dan F.L Tobing. Plus, ada bocoran pula bahwa Babi Panggang Karo yang dijual oleh Rumah Makan Aroma ini adalah salah satu yang terenak di Tarutung ini. Hmm....mari kita sambangi rumah makan ini.
Yang jelas, selain Babi Panggang Karo, spanduk yang berada di depan rumah makan ini membuat saya penasaran akan menu lainnya. Bagaimana tidak, di spanduk penutup rumah makan ini tertulis menu ajaib lainnya yakni “Kidu-Kidu”. Hmm...semakin penasaran sajalah saya untuk melihat dan mencicipi menu ajaib ini. Kesan ramai tidak tampak begitu anda memasuki rumah makan ini. Pengunjung satu-satunya pada sore itu hanyalah kami berdua saja walupun semakin malam, sejumlah pengunjung berdatangan. Seorang pria paruh baya tampak di meja dalam, dan dua orang anak sedang asyik menonton siaran kartun di televisi yang digantung di dinding. Seketika itu saya mengambil lembaran menu dan sedikit sumringah lantaran harga makanan yang tidak terlalu mahal. Hore! Rata-rata makanan di tempat ini berkisar dari Rp. 10.000 – Rp. 20.000. Untuk Sup Tom Yam memang berharga Rp. 25.000 dan Ikan Kakap Asam Manis Rp. 45.000. Dua itu saja sich yang di luar pakem, namun sisanya, rata-rata berharga murah meriah! Nasi, mie, bihun atau kwetiauw goreng telornya saja dimulai pada Rp. 10.000. Mau makan tengah untuk beramai-ramai juga nggak masalah karena hampir setiap varian menunya cukup terjangkau dan porsinya lumayan. Saya sendiri memesan Ifumie Binjai, teman saya nasi goreng dan tidak ketinggalan tentu saja Babi Panggang Karo yang harganya murah : Rp. 10.000 saja untuk dimakan bersama.
Oya, saya sendiri nggak memesan Kidu-Kidu lantaran sudah memesan cukup banyak menu untuk dimakan pada malam ini. Namun, sayangnya, pelayan yang saya tanyai kurang bisa memberikan jawaban yang memuaskan bagi diri saya tentang deskripsi Kidu-Kidu. Yah, usut punya usut sich, Kidu-Kidu itu adalah jeroan, terutama usus babi yang diisi dengan daging sehingga menyerupai sosis. Sayang, saya sudah terlalu kenyang sehingga nggak sampai hati mau mencicipi Kidu-Kidu ini. Walaupun harganya Cuma Rp. 10.000, namun itu bukan alasan untuk tetap memaksakan memesan Kidu-Kidu ketika perut sudah kenyang. *burp*
Thursday, February 09, 2012
Sungai Sigeaon, Tarutung, Senja Hari
Selayaknya kota yang terkenal akan wisata rohani dan wisata alamnya, pada malam hari tidak banyak atau tidak ada objek wisata yang bisa disambangi. Yah, maklum, objek wisata alam di Indonesia jarang tersedia pada malam hari, terutama terkait dengan ketersediaan pencahayaan yang cukup atau tidak. Nah, sepulangnya dari Bukit Siatas Barita (Rp. 3.000), praktis tidak ada hal-hal lagi yang bisa dilakukan di sekitar Kota Tarutung. Eits, jangan sedih, malam hari adalah saatnya untuk wisata kuliner! Sepulangnya saya dari Hutabarat tadi, saya melihat ada banyak sekali jejeran penjual makanan yang tampaknya lezat dan menggairahkan selera saya di Jalan D.I. Pandjaitan. Menuju kesana tidak terlalu sulit, karena bisa ditempuh bahkan dengan berjalan kaki. Ingat kan sebelumnya saya pernah bilang kalau Tarutung adalah kota yang tidak terlalu lebar dan ramai?
Dari Jalan F.L. Lumban Tobing, ada cara termudah untuk mencapai Jalan D.I. Pandjaitan yakni dengan menyusuri tepian Sungai Sigaeon. Bisa juga sich anda naik angkutan umum buat yang malas berjalan kaki. Namun, selama anda berada di Tarutung, sebaiknya mencicipi menyusuri Sungai Singaeon yang cantik dan trotoarnya tertata dengan rapih ini. Jarang-jarang kan, menyusuri sungai yang masih terbilang cukup bersih sambil menikmati semburat lembayung senja merona di ufuk barat, menghiasi dan melatari Rumah Bolon. Ah, koq saya tiba-tiba jadi puitis begini yak? Hehehe. Tarutung memang berhawa sejuk cenderung dingin. Plus, posisinya yang berada di dasar lembah membuatnya menerima terpaan angin lembah yang keras dan dingin. Saya jadi teringat pada malam hari, saya mencoba untuk keluar guna melihat-lihat Kota Tarutung. DI Kota yang sepi tersebut, angin berhembus cukup kencang, memaksa saya untuk tidak berlama-lama di luar dan segera masuk menikmati kamar yang hangat. Nah, buat anda yang menggemari jalan kaki santai, cobain dech menyusuri Sungai Sigeaon sambil menikmati kearifan masyarakat Tarutung pada sore hari, dijamin, anda akan semakin jatuh cinta dengan Tarutung.
Wednesday, February 08, 2012
Lintas Siatas Barita Dengan Berjalan Kaki
Tergerak untuk mencoba saran seorang Inang di Hutabarat yang mengatakan bahwa kami bisa berjalan kaki dari dasar menuju puncak Siatas Barita, ditambah dengan ucapan “biar tahu rasa!” yang terngiang-ngiang, akhirnya saya mencoba untuk menuruni bukit Siatas Barita dari Salib Kasih hingga pintu masuk di bawah sana. Mungkin ceritanya akan jauh berbeda kalau waktunya siang hari, ada matahari menyengat, dan arahnya pun diputar, dari bawah ke atas. Hehehe. Untungnya, saya keluar dari Salib Kasih saat matahari sudah condong ke arah barat. Saat itu sudah pukul setengah lima sore, angin sejuk sudah bertiup dan matahari sudah tidak diketahui keberadaannya, tertutup lebatnya pepohonan di sekitar Siatas Barita. Buat anda yang nggak kepikiran untuk melakukan jalan kaki, mungkin anda bisa mencarter kendaraan karena tidak ada angkutan umum sama sekali yang akan mengantarkan anda dari bawah menuju atas, dan kebalikannya. Sayang yah, objek wisata yang bagus tapi aksesnya cukup sulit. Untung saja, saya penggemar jalan kaki sehingga total perjalanan menurun selama satu jam (ditambah dengan ekstra setengah jam di tengah perjalanan karena mampir ke Danau Tiberias) saya jalani dengan senang dan senang.
Monday, February 06, 2012
Danau Tiberias Asli Siatas Barita
Salah satu objek wisata lain yang ada di Bukit Siatas Barita selain Salib Kasih adalah Danau Tiberias. Bedanya, kalau Salib Kasih terletak di puncak bukit, Danau Tiberias atau dalam Bahasa Batak “Tao Tiberias” ini terletak di lereng bukit. Dalam perjalanan naik atau turun dari Salib Kasih, niscaya anda akan menjumpai Danau Tiberias ini. Sebenarnya, danau ini sih nggak istimewa-istimewa banget. Danau ini malah merupakan danau buatan yang berukuran kecil dan memiliki satu buah restoran yang tepat berada di tepinya. Hampir nggak ada yang istimewa akan danau ini kecuali akan adanya patung Yesus berukuran besar di tepi kolam, tepat di atas sebuah kepala perahu. Posisi patung Yesus tersebut tampak seolah sedang menerjang badai dengan satu tangan mengarah ke depan. Peristiwa ini tentu akan segera mengingatkan pengunjung akan salah satu peristiwa yang terjadi di alkitab yakni “Yesus meredakan angin ribut”. Patung Yesus yang berukuran besar tersebut tampak sedang menerjang badai, lengkap dengan efek seakan-akan jubah yang dikenakannya tersibak angin kencang. Tangan yang mengarah ke depan sebenarnya adalah saluran air yang tampaknya digunakan sebagai air mancur. Sayang, pada saat kedatangan saya, airnya tidak mengalir sama sekali.
Papan nama lokasi wisata ini sudah meneguhkan bahwa lokasi ini adalah rumah makan, karena disponsori oleh salah satu minuman paling laris di negeri ini. Selain rumah makan, tempat ini juga membeli dan menjual bebungaan maupun ikan mas. Sejumlah patung hewan dan manusia tampak berada di tepi kolam. Ada pula satu orang tentara Romawi yang tampak sedang memegang senjata namun air keluar dari ujung senjatanya tersebut. Yang paling baru, atau mungkin sekaligus diresmikan bersamaan dengan Danau Tiberias ini adalah Obor Paskah tahun 2009 yang muncul di ujung geladak kapal dan bersepuh warna emas. Walaupun tidak menyala, namun tampak jelas bahwa tangan yang mencuat dan memegang obor tersebut bisa digunakan sebagai tempat untuk menyalakan api. Tidak ada keramaian berarti di tempat ini selain sejumlah anak muda yang sedang bersantai dan menikmati suasana sore hari di danau ini. Nggak berlama-lama, saya mencoba untuk naik hingga ke lokasi patung di atas. Walaupun tidak bisa mencapai geladak, namun cukup jelas terlihat situasi dari bagian dalam danau ini masih berantakan. Apakah masih dalam tahap renovasi atau masih proses pengerjaan? Tidak terlalu jauh dari danau ini ada sebuah rangka bola besar yang entah digunakan untuk keperluan apa. Lagi-lagi, saya tidak tahu apakah masih proses pengerjaan, renovasi, atau jangan-jangan merupakan kerangka besi sisa?
Danau Tiberias sendiri adalah danau nyata yang terletak di salah satu wilayah paling membara di muka bumi sekarang ini, Israel. Danau ini dikenal dengan banyak nama, salah satunya adalah Danau Galilea, danau yang paling sering muncul dalam kejadian-kejadian di Injil dan menjadi terkenal karenanya. Salah duanya adalah adegan Yesus menenangkan angin ribut dan Yesus berjalan di atas air. Walaupun terletak di bawah permukaan air laut, namun danau ini tawar dan menjadi sumber air minum maupun irigasi untuk warga Israel. Selain berisi air tawar, kehidupan di danau ini cukup kaya karena banyak dihuni tetumbuhan dan hewan-hewan. Sungai Yordan Atas adalah sungai yang menjadi mata air sumber bagi danau ini. Air dari danau ini pun dialirkan lagi ke Sungai Yordan Bawah baru kemudian menuju Laut Mati yang menjadi muara akhir. Danau Tiberias ini terbagi wilayah dan peruntukannya untuk Israel, Suriah, Lebanon dan Tepi Barat. Walaupun nggak mirip sama sekali dengan Danau Tiberias yang asli (saya juga belum pernah ke Israel sich...hihihi), namun usaha Tao Tiberias dengan membuat replika patung Yesus meredakan angin ribut dan membuat suasana serupa, lengkap dengan kapalnya boleh banget diapresiasi. Plus, kutipan-kutipan ayat dari alkitab seputar kejadian angin ribut tersebut terpampang jelas di sejumlah sudut kapal dan taman. Semakin mengukuhkan eksistensi Tarutung sebagai Kota Wisata Rohani.
Papan nama lokasi wisata ini sudah meneguhkan bahwa lokasi ini adalah rumah makan, karena disponsori oleh salah satu minuman paling laris di negeri ini. Selain rumah makan, tempat ini juga membeli dan menjual bebungaan maupun ikan mas. Sejumlah patung hewan dan manusia tampak berada di tepi kolam. Ada pula satu orang tentara Romawi yang tampak sedang memegang senjata namun air keluar dari ujung senjatanya tersebut. Yang paling baru, atau mungkin sekaligus diresmikan bersamaan dengan Danau Tiberias ini adalah Obor Paskah tahun 2009 yang muncul di ujung geladak kapal dan bersepuh warna emas. Walaupun tidak menyala, namun tampak jelas bahwa tangan yang mencuat dan memegang obor tersebut bisa digunakan sebagai tempat untuk menyalakan api. Tidak ada keramaian berarti di tempat ini selain sejumlah anak muda yang sedang bersantai dan menikmati suasana sore hari di danau ini. Nggak berlama-lama, saya mencoba untuk naik hingga ke lokasi patung di atas. Walaupun tidak bisa mencapai geladak, namun cukup jelas terlihat situasi dari bagian dalam danau ini masih berantakan. Apakah masih dalam tahap renovasi atau masih proses pengerjaan? Tidak terlalu jauh dari danau ini ada sebuah rangka bola besar yang entah digunakan untuk keperluan apa. Lagi-lagi, saya tidak tahu apakah masih proses pengerjaan, renovasi, atau jangan-jangan merupakan kerangka besi sisa?
Bergelar "Lomar Sinaga" Sekarang
Dengan berakhirnya kunjungan kami ke Salib Kasih, selesailah pula perjalanan saya untuk hari ini di Sumatera Utara. Kami bergegas keluar dan memberikan salam kepada seorang Inang yang berjaga di pintu keluar. Mungkin tampang-tampang kami agak berbeda dari orang kebanyakan namun bisa berhasa Indonesia, jadilah beliau agak “tergoda” untuk menyapa kami sedikit. Pertama-tama beliau menanyakan asal kami yang kami jawab, “saya Orang Indonesia bu, dari Jakarta” dengan maksud agar sang Inang nggak perlu repot-repot mengerahkan kemampuannya dalam berbahasa Inggris, apalagi Korea. Hihihihi. Lalu kemudian ia bertanya lagi, “orang mana?”. Hah? Saya nggak terlalu mengerti maksud pertanyaan ini karena sebelumnya sudah saya jawab kan? Namun, sejurus kemudian saya segera tersadar dan menjawab, “Oh, saya Katolik, Inang, dan teman saya ini Protestan”. Akhirnya sang inang tampaknya tidak basa-basi dan langsung bertanya, “marga apa?”. Oooo...ternyata yang ia tanyakan adalah marga kami. Hohoho. Saya langsung menjawab saya tidak memiliki marga Batak karena memang saya bukan orang Batak. Kemudian ia bertanya lagi, “Orang Cina-kah?”. “Yap, kami orang Cina, Inang”. Lalu dengan tersenyum ia mengucapkan, “kalau begitu, marga kalian adalah Sinaga!”. Hah? Saya berpandangan dengan teman saya...Sinaga? Inang tersebut membaca keruwetan bentuk alis kami dan langsung menjelaskan, “kan tadi saya bertanya, kalian orang Cina, kan? Sina-kan? Sinaga!” sambil tersenyum lebar. Kami yang mengerti maksudnya langsung tersenyum mesem-mesem dan tertawa. Hehehe. Sang inang pun tidak mau ketinggalan, beliau tertawa dan mengatakan agar kami jangan tersinggung karena itu hanya guyonan ringan saja. Oh, tentu tidak Inang! Saya tidak akan tersinggung. “Jadi saya bermarga Sinaga sekarang ya, Inang?”. “Ya, semua orang Cina memang marganya Sinaga di tanah Batak ini...hehehe”, begitu tutupnya.
Setelah guyonan ringan yang menghangatkan tersebut, akhirnya kami berpamitan dengan sang Inang yang tampaknya adalah salah satu staff petugas di Taman Wisata Rohani Salib Kasih ini. Saya sama sekali tidak tersinggung, saya malah senang karena sepulangnya dari Salib Kasih, kami diberi gelar kehormatan marga Batak, Lomar Sinaga. Cocok tidak?
Belajar Bahasa Batak Melalui Patik Ni Debata Di Salib Kasih
Intinya, saya sich nggak mengikuti aturan lazim yang sudah ditetapkan yach. Memang sich nggak ada tabu tertentu atau larangan yang mengharuskan saya mengikuti dengan benar petunjuk arah jalan, namun terus terang saya nggak terlalu memperhatikan petunjuk jalan naik dan jalan turun di Salib Kasih. Akibatnya, saya naik di jalur turun (yang ada Taman Prasastinya) dan turun di jalur naik (yang baru akan saya lalui ini). Akibatnya lagi, sepanjang saya naik menuju Salib Kasih, saya menjumpai orang-orang yang berjalan turun. Anda tahu donk, saya ketemu siapa di jalan turun? Orang-orang yang naik, kata anda? Haha. Maaf, salah, saya tidak bertemu seorang pun lantaran hari sudah terlalu sore. Hihihihi.
Jalan turun yang sejatinya adalah jalan naik ini memang lebih sepi dari jalan naik yang sejatinya adalah jalan turun yang tadi saya naiki. Hayooo, bingung nggak bacanya? Kalau bingung, coba dibaca sekali lagi klausa barusan. Hehehe. Di jalan kepulangan saya ini (saya sebut demikian biar gampang mencernanya) tidak terdapat Taman Prasasti seperti yang saya temui sebelumnya. Mungkin itu maksudnya kali yach? Orang naik dahulu guna mencapai Salib Kasih, berdoa, menatap Rura Silindung, kemudian membeli prasasti di kantor, baru kemudian meletakkan prasasti di Taman Prasasti sekaligus pulang. Masalahnya, saya terbalik. Hihihi. Di jalan kepulangan saya ini, hanya sejumlah kutipan-kutipan alkitab yang dipajang di antara pepohonan pinus, tidak ada prasasti sama sekali. Selain kutipan alkitab standar, ada juga sepuluh perintah Allah yang ditulis dalam tiga bahasa (Batak, Indonesia, Inggris) dan delapan sabda bahagia yang ditulis hanya dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Sebagai catatan, sepuluh perintah Allah dalam bahasa Batak disebut dengan Patik Ni Debata. Perintah pertama disebut Patik Parjolo, dan seterusnya adalah Paduahon, Patoluhon, Paopathon, Palimahon, Paonomhon, Papituhon, Paualuhon, Pasiahon, Pasampuluhon. Hitung-hitung sambil hiking, belajar bahasa Batak lah. Hehehe. Walaupun kata dalam bahasa Batak cukup mirip dengan Bahasa Indonesia dan Jawa seperti yang saya pernah utarakan sebelumnya (contohnya dalam kata tolu, pitu, dan manuk), namun cita rasa Thailand agak susah saya lepaskan (yang memang diyakini adalah asal mula permulaan orang Batak) seperti dalam kalimat : “Unang Ho Mangalangkup”. Kerasa nggak nuansa Bahasa Thai dalam kalimat tersebut? Coba dech dibaca! Sambil menikmati kembali kutipan-kutipan dari alkitab (maklum, saya orangnya termasuk kelompok yang malas membuka Alkitab. Hehehe), tiba-tiba saya sudah sampai di Patung Dr. Ingwer Nommensen yang berada di pintu masuk Salib Kasih. Selesailah sudah kunjungan saya di Salib Kasih.
Saturday, February 04, 2012
Dr. Ludwig Ingwer Nommensen, Rasulnya Orang Batak
Selama berkeliling di Tanah Batak, terutama wilayah Samosir hingga ke Tapanuli, sedikit banyak anda pasti akan mendengar nama Nommensen, atau bahkan melihat prasasti, makam atau bahkan patung dirinya. Siapa sich sebenarnya Nommensen ini? Ompu Nommensen, begitulah kurang lebih dia dikenal, adalah seorang pekabar injil asal Schleswig (dahulu merupakan wilayah Denmark), Jerman yang dikenal karena jasa-jasanya mengkristenkan wilayah Batak. Gelar Ompu (dibaca : Oppu) diberikan kepadanya karena beliau sungguh dihormati karena jasa-jasa semasa hidupnya. Gelar ini setara dengan gelar yang dimiliki Ompu Sisingamangaraja XII loch. Bahkan, Dr. Ingwer Ludwig Nommensen diberi gelar apostles atau rasul dan ephorus atau uskup. Dari semua orang pekabar Injil asal Eropa yang berkarya di wilayah ini, hanya beliau-lah yang mendapat gelar “Rasul Orang Batak” karena karyanya. Ini dimungkinkan karena dia menetap cukup lama dan menyerahkan segenap jiwanya untuk melayani masyarakat Batak. Ucapannya yang paling terkenal ialah “Ya Tuhan, hidup atau mati biarlah aku berada di tengah-tengah Bangsa Batak ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan Mu”. Konon, ucapannya ini disebutkan ketika dia berada di atas bukit Siatas Barita, ketika ia memandang betapa indahnya Rura Silindung ini, tempat yang sekarang diberi prasasti dan salib di atasnya.

Membaca kisah hidup Nommensen, tidak lepas dari sejarah panjang dan kelam proses kristenisasi Bangsa Batak oleh Bangsa Eropa. Seperti halnya proses penyebaran kepercayaan yang baru di tengah-tengah kepercayaan lama, umumnya yang dituai bukan selalu kepercayaan melainkan tentangan, bahkan hingga berujung kematian. Inilah yang terjadi kepada dua pendeta Munson dan Lyman asal Amerika Serikat yang melakukan penginjilan menuju wilayah Silindung namun dihadang di wilayah Lobu Pining dan dibunuh oleh Raja Panggalamei beserta pengikutnya. Hal ini terjadi jauh sebelum kedatangan Nommensen di Tanah Batak ini. Kalau ada pertanyaan mengapa agama Kristen cepat sekali menyebar di wilayah Batak dan Tapanuli, mungkin jawaban yang paling tepat adalah karena alkitab diterjemahkan ke dalam Bahasa Batak Toba (pada perjalanannya, alkitab juga diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Angkola). Walaupun cepat menyebar, namun Agama Kristen juga mendapatkan resistensi kuat sehingga penyebarannya tidak berlanjut ke wilayah lain. Sebut saja pedagang muslim di wilayah Barus - Tapanuli Tengah, mendaratnya Laksamana Ceng Ho di Sungai Batang Gadis wilayah Tapanuli Selatan, pergolakan Perang Paderi di Sumatera Barat, Pengaruh kerajaan Siak di Riau dan Kerajaan Deli di Sumatera Timur, serta kekuatan Islam di wilayah Aceh kala itu cukup menahan pergerakan penyebaran Kristen di Tanah Batak. Adapun semacam ketakutan yang timbul dari penduduk setempat bahwa agama Kristen yang dibawa masuk pada saat itu adalah bentuk lain dari penjajahan Belanda. Walaupun sebagian besar Tapanuli sudah berhasil dikristenkan, namun wilayah Tapanuli Selatan dan sebagian Angkola terkena efek dari Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Rao kala itu. Anda bisa lihat sekarang bahwa wilayah Tapanuli Selatan, seperti Sidempuan dan Natal merupakan wilayah dengan mayoritas penduduk muslim.
Ludwig Inger Nommensen lahir pada tahun 1834 di Schleswig dan memulai penginjilan pada tahun 1962 di Barus. Ia belajar bahasa Melayu dan Batak sebelum memulai penginjilan di Tanah Batak yang dikenal sebagai tempatnya orang-orang kafir pada masa itu. Awalnya, Nommensen tidak diijinkan oleh pemerintah kolonial untuk masuk ke dalam wilayah Batak karena alasan keamanan. Masih ingat cerita saya tentang misionaris yang dibunuh di Ambarita? Atau misionaris Munson dan Lyman yang dibunuh di Lobu Pining? Ya, masyarakat Batak di kala itu yang masih menganut Pelebegu bahkan tidak segan-segan membunuh mereka yang tidak memelihara adat atau bahkan dianggap meresahkan masyarakat, apalagi sampai dianggap penjelmaan dari penjajah. Kisah orang Batak makan manusia, pembunuhan yang mudah untuk dilakukan, hingga pemenggalan kepala menambah cerita seram dan tentu saja, larangan untuk masuk ke dalam wilayah Batak. Namun, wilayah Tapanuli Selatan yang kala itu sudah menganut Islam tidak membuat karya penginjilan berjalan dengan cepat. Ia akhirnya meminta ijin untuk masuk ke dalam wilayah Silindung (diantar oleh Raja Pontas Lumban Tobing-Raja Batak pertama yang dibabtis) dan memulai karya penginjilannya di wilayah Pearaja dan Huta Dame pada tahun 1864. Sebagai informasi, tahun 1861 adalah tahun dimana Gereja HKBP berdiri. Pada tahun 1861, selain ditandai sebagai berdirinya HKBP, terdapat pula sejumlah orang Batak yang berhasil dibabtis secara Kristen. Walau berdiri pada tahun 1861, namun baru tiga tahun kemudian atau pada 1864, jemaat HKBP pertama dan gereja HKBP pertama berdiri di Tanah Batak, yakni di Huta Dame (=kampung Damai, terjemahan bebas dari Jerusalem). Rumah Nommensen di Pearaja kini difungsikan sebagai kantor pusat HKBP di seluruh dunia, bahkan HKBP memiliki rekor sebagai Gereja Asia dengan jemaat terbanyak di seluruh dunia.
Keberhasilan Nommensen dalam melakukan proses kristenisasi tidak terbatas sampai disitu saja. Ia mendirikan sekolah, pusat pelayanan kesehatan, sekolah guru, seminarium, sekolah pendeta, perbaikan kualitas pendidikan, peternakan, hingga menerjemahkan isi dari Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba. Ada peristiwa yang membuat masyarakat Batak perlahan mulai percaya kepada Nommensen yakni ketika ia ditekan oleh masyarakat yang menekannya, namun ia tetap bersikap ramah dan lemah lembut. Adapun masa ketika ia ingin dikorbankan kepada Simbaon, ia tetap bersikap tenang dan mengatakan bahwa Simbaon tidak mungkin meminta tumbal anak cucu-nya. Konon, ketika ia berdoa, muncullah angin puting beliung yang memporak-porandakan lokasi persembahan kepada Simbaon dan jatuhlah Sibaso (pemimpin ritual) ke tanah. Kocar-kacir lah para penduduk dan mereka mulai percaya kepada Nommensen. Satu peristiwa lagi ketika para Raja yang tidak percaya kepada Nommensen berkumpul di rumahnya hingga larut malam dan tertidur. Nommensen menyelimuti semua raja-raja tersebut dengan selimut dan keesokan harinya ketika mereka semua terbangun, semua Raja-Raja tersebut menjadi malu karena kebaikan hati Nommensen.
Walaupun usaha kristenisasi yang dilakukan oleh Nommensen sangat berhasil di Tanah Batak hingga ia mendapatkan gelar apostle (rasul) dan ephorus (uskup), namun perjalanan yang ia lakukan bukanlah tanpa halangan sama sekali. Dua anak pertamanya meninggal dunia di usia awal kehidupan. Ia bahkan terkena disentri parah hingga pasrah menunggu kematian sebelum akhirnya berobat ke Sidempuan dan melanjutkan karya penginjilannya. Tantangan terberat lainnya ialah Raja Sisingamangaraja XII yang menganggap Nommensen sebagai kaki tangan pemerintah kolonial Belanda. Usaha pengkristenan wilayah Toba pun tidak dilakukan dengan damai melainkan dengan Perang Toba I yang bahkan melibatkan kekuatan militer. Setelah menumpas pasukan Sisingamangaraja XII, Nommensen mampu untuk meyakinkan raja-raja di wilayah Toba bahwa apa yang ia lakukan adalah kebaikan. Ia mampu melanjutkan misi penginjilannya dengan lebih lancar bahkan hingga ke wilayah utara, wilayah Pakpak, Simalungun, Karo hingga ke Medan. Nommensen meninggal dunia di Sigumpar, wilayah Toba Samosir setelah hidup selama 84 tahun (1918). Pemakamannya dihadiri puluhan ribu orang, dan tercatat sebagai pemakaman yang paling banyak dihadiri orang Batak di Tanah Batak. Ringkasan kehidupan beliau bisa dilihat disini. Yah, saya harus berterima kasih banyak kepada Dr. Ingwer Ludwig Nommensen karena telah membuka wilayah Tanah Batak sehingga sekarang kita bisa menikmati keindahan Danau Toba, menikmati arsitektur rumah-rumah Batak dan menyaksikan tarian adat yang mempesona. Tanpanya, bukan nggak mungkin semua hal ini tidak akan terjadi.