Hutabarat Dan Siatas Barita


Siatas Barita adalah nama salah satu bukit yang mengelilingi Rura (=lembah) Silindung, tempat Kota Tarutung berada. Keistimewaan Bukit Siatas Barita adalah keberadaan satu buah objek wisata rohani yang terletak persis di pucuk bukit yakni Salib Kasih. Salib Kasih adalah salib raksasa berukuran besar yang bisa terlihat dari dasar bukit sekalipun, bercahaya dan tampak seakan-akan menerangi, memberkati dan sekaligus melindungi Kota Tarutung. Walaupun tampak cukup dekat, kenyataannya akses menuju puncak Salib Kasih tidaklah sedemikian dekatnya. Saya berpikir bahwa jalan menuju Salib Kasih bisa ditempuh dengan berjalan lurus menaiki lereng bukit yang berhadapan langsung dengan salib tersebut. Kenyataannya, jalan raya menuju salib tersebut berkelok-kelok layaknya pendakian di gunung. Seusai melalui jalan yang berkelok-kelok pun, pengunjung harus melanjutkan dengan menyusuri jalan setapak yang terlah tertata dengan rapih menuju Salib Kasih ini. Perjalanan luar biasa yang sebanding dengan hasilnya. Walaupun memang tampak seperti objek wisata rohani khusus agama Nasrani, namun objek wisata ini adalah objek wisata umum untuk semua kalangan. Di Salib Kasih ini, anda bisa mengetahui siapa itu Ingwer Ludwig Nommensen, dan menikmati pemandangan cantik Rura Silindung dari ketinggian.
Permasalahannya ialah, tidak ada angkutan umum yang terjadwal yang menuju objek wisata ini. Klasik yach? Banyak sekali objek wisata di Indonesia yang tidak memiliki ketersediaan sarana angkutan umum berjadwal yang bisa mengantarkan pengunjung hingga ke pintu masuk objek. Untuk kelas backpacker seperti saya, tentu ini menjadi salah satu persoalan tersendiri dalam menunjungi objek wisata. Saya harus berjuang keras untuk melakukan negosiasi, baik dengan supir angkot ataupun ojek yang bisa mengantarkan saya ke objek wisata yang saya inginkan. Walaupun Siatas Barita tidak terletak terlalu jauh dari Kota Tarutung dan Kota Tarutung sangat terkenal dengan objek wisata rohani-nya, namun ketersediaan angkot berjadwal dan terorganisir menjadi suatu kendala tersendiri. Mungkin bisa menjadi masukan untuk PemKab Tapanuli Utara? Dalam perjalanan melintasi wilayah Hutabarat, seorang Inang bertanya kepada kami, kemanakah tujuan kami? Tentu, bukan tanpa alasan bahwa ia bertanya demikian kepada kami. Sepanjang perjalanan, saya dan rekan saya sibuk melihat kiri dan kanan jalan. Ketika Salib Kasih yang terkenal itu muncul di puncak Bukit Siatas Barita, kami berseru riuh rendah. Hahaha. Heboh sendiri dech pokoknya. Singkat kata, inang itu menjelaskan bahwa tidak ada angkutan umum untuk menuju puncak Siatas Barita. “Berjalan kaki saja, biar tahu rasa!”, begitu ucapan inang tersebut. Walaupun ucapan tersebut bernada keras, saya rasa, maksudnya adalah agar kami dianjurkan berjalan kaki, bahwa jalan menuju puncak tidak terlalu jauh. Namun, seorang amang bersama anaknya mendebat sang inang dan berkata bahwa jarak tersebut terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Si inang tidak mau kalah, ia berkata bahwa ia dan teman-temannya sudah pernah berjalan kaki dari dasar lereng menuju puncak bukit. Hoooo...tampaknya atas dasar inilah maka sang inang menganjurkan saya dan teman untuk berjalan kaki menuju puncak bukit. Namun, pendapat tersebut segera disanggah oleh sang amang. Ia mengatakan bahwa lebih baik naik menggunakan kendaraan karena matahari sudah agak condong ke barat. Kalau mau turun dari bukit saat pulang nanti, terserah kami saja, apakah mau berjalan kaki atau naik angkutan kembali. Si amang sejurus kemudian bertanya kepada supir angkutan apakah dia mau mengantarkan kami berdua ke puncak Siatas Barita. Dalam bahasa Batak, mereka berdua berdebat, yang saya bisa tebak bahwa sang supir agak nggak setuju. Namun, tampaknya perdebatan dimenangkan oleh sang amang karena sang supir mau mengantarkan kami dengan biaya RP. 60.000. Wow! Rp. 60.000?!?! saya langsung menawar harga tersebut tanpa berpikir panjang, “nggak bisa ditawar, Lae?”. Sungguh, sang amang beserta anaknya adalah orang yang baik. Ia memberikan kode dengan tangannya kepada kami dengan tiga jari teracung ke atas menandakan angka tiga. Akhirnya, saya menawar RP. 25.000 (dengan prinsip, kurangin sedikit dari harga yang dimaksud. Hihihihi). Sang supir tidak mau karena terlalu murah dan ia mengatakan bahwa perjalanan tersebut cukup jauh. Yaa…ujung-ujungnya sang supir nyerah sendiri karena akhirnya kami sepakat di harga Rp. 30.000, seperti yang disarankan oleh si amang. Waaah, mauliate godang, amang! Biaya Rp. 30.000 itu mencakup ongkos angkutan kota dari Kota Tarutung ke Hutabarat, dan dari kaki Siatas Barita menuju puncak bukit Salib Kasih untuk dua orang di angkutan yang legaaa itu. Perjalanannya sendiri sih hanya butuh waktu 10 menit saja dari kaki menuju puncak bukit. Namun, angkutan yang kami tumpangi meraung-raung menanjak melintasi jalan yang lumayan terawat dan beraspal. Hohoho. Ayo, kamu bisa!

3 komentar:

  1. Hayah. Jago nawar juga rupanya hahaha... Ayo dilanjutkeun!

    ReplyDelete
  2. Horeeeee.... akhirnya sukses juga masuk ke sini tanpa dituduh device saya lemot. Baik hati betul si amang itu, ya? Memang potensi menemukan orang baik hati dan tidak sombong di Indonesia sangat besar, baik itu di daerah terpencil maupun di kota besar. Besyukur banget tinggal di negeri dengan masyarakat yang senang mengulurkan tangan dan membuka hati. Eh kalau menurut pendapat saya, si inang berkata 'biar tahu rasa' bukan dengan maksud menganjurkan berjalan kaki, deh. Tapi benar-benar 'biar tahu rasa' dalam arti sebenarnya sambil mencibir dalam hati 'emang enak jalan kaki?'. Lho, kok saya jadi menghakimi???!!!

    ReplyDelete
  3. hihihihi.... namanya juga backpacker atuh...penting banged nawar. kecuali saya jalan2 sambil bawa duit sekoper. beda lagi deh urusannya. hehehe.

    hahahaha...soal si Inang, saya yakin sih maksudnya baik. dia sudah berjalan kaki dan membuktikan bahwa dia bisa berjalan kaki dan tahu rasanya berjalan kaki. Saya rasa dia menganjurkan saya berjalan kaki karena memang ternyata nggak sulit koq berjalan kaki di Siatas Barita. hehehe... *tumbuh halo dan sayap di punggung*

    ReplyDelete