Di penghujung Jalan Diponegoro, pusat Kota Teluk Dalam, Nias Selatan, arah menuju luar kota ke Gunungsitoli, terdapat sebuah kompleks kuburan. Saya kebetulan sedang berjalan kaki santai menjelajahi Kota Teluk Dalam pada keremangan senja sebelum matahari benar-benar tenggelam. Dalam perjalanan, saya menemukan kompleks pekuburan ini. Aneka macam kuburan mulai dari yang sangat khas Nias Selatan seperti bentuk Omo Hada hingga batu-batu berbentuk kubus dengan ukiran Adu Zatua atau Adu Niu mewarnai kompleks ini. Yang menarik, selain kuburan khas Nias yang masih tradisional (berbentuk rumah atau ukiran, pahatan), saya menjumpai aneka nisan khas pekuburan Cina.
Nisan khas pekuburan Cina biasanya sangat khas, yakni berupa lempengan setengah bulat yang ditempeli marmer, kemudian dihiasi sejumlah aksara mandarin. Walau tidak semua nisan mayoritas berbentuk seperti ini, namun pakem nisan pekuburan Cina biasanya nggak jauh-jauh dari konsep ini. Menarik sekali melihat sejumlah nama-nama tersebut yang masih menggunakan nama aslinya (dan nama babtisnya) berusia cukup tua, bahkan telah lahir sebelum jaman kemerdekaan Indonesia. Usia paling tua yang saya lihat di deretan nisan tersebut adalah yang bertanggal 1912 dan meninggal sekitar tahun 1964. Batu nisan tersebut masih mencantumkan nama asli orang tersebut, nama babtisan orang tersebut, shio orang tersebut dan lokasi lahir dan wafatnya. Selain biodata, nisan juga mengungkapkan siapa istri/suaminya, dan siapa anak-anak serta menantunya. Nggak heran, nama-nama anak dan menantunya dipampang di nisan tersebut. Lebih menarik lagi buat saya adalah anak-anak yang biasa masih mengikuti warisan marga dan nama Cina telah banyak memilih untuk menikah dengan penduduk asli Nias. Anda bisa melihat marga-marga seperti Zebua, Waruwu, Lase, dan sebagainya. Satu buah nisan bisa saja dipenuhi dengan semua keterangan tersebut dan ditambah tulisan hanzi, setidaknya pada nama asli mereka. Pada nisan-nisan yang baru, dimana sang almarhum/ah sudah tidak lagi menganut paham nenek moyang dari daratan Cina sana, mereka telah memilih menggunakan salib karena memang Protestan adalah agama mayoritas di tempat ini. Walau demikian, nama asli dan tulisan hanzi tetap tidak berubah posisinya.
Proses percampuran kebudayaan tampaknya cukup berhasil di tempat ini. Di suatu tempat di Pasar Teluk Dalam, saya mendengar bahasa Cina dengan dialek khek terdengar namun agak berbeda dengan apa yang saya ketahui. Kebudayaan asli Nias juga mungkin turut menyebabkan variasi dialek tersebut. Walaupun bukan tujuan objek wisata yang menarik, apalagi di saat senja menjelang, namun saya gembira, di tempat yang tidak terekspos di Nias Selatan, kerukunan antar etnis dan agama telah berjalan dengan sangat baik, hingga saat ini.
Nisan khas pekuburan Cina biasanya sangat khas, yakni berupa lempengan setengah bulat yang ditempeli marmer, kemudian dihiasi sejumlah aksara mandarin. Walau tidak semua nisan mayoritas berbentuk seperti ini, namun pakem nisan pekuburan Cina biasanya nggak jauh-jauh dari konsep ini. Menarik sekali melihat sejumlah nama-nama tersebut yang masih menggunakan nama aslinya (dan nama babtisnya) berusia cukup tua, bahkan telah lahir sebelum jaman kemerdekaan Indonesia. Usia paling tua yang saya lihat di deretan nisan tersebut adalah yang bertanggal 1912 dan meninggal sekitar tahun 1964. Batu nisan tersebut masih mencantumkan nama asli orang tersebut, nama babtisan orang tersebut, shio orang tersebut dan lokasi lahir dan wafatnya. Selain biodata, nisan juga mengungkapkan siapa istri/suaminya, dan siapa anak-anak serta menantunya. Nggak heran, nama-nama anak dan menantunya dipampang di nisan tersebut. Lebih menarik lagi buat saya adalah anak-anak yang biasa masih mengikuti warisan marga dan nama Cina telah banyak memilih untuk menikah dengan penduduk asli Nias. Anda bisa melihat marga-marga seperti Zebua, Waruwu, Lase, dan sebagainya. Satu buah nisan bisa saja dipenuhi dengan semua keterangan tersebut dan ditambah tulisan hanzi, setidaknya pada nama asli mereka. Pada nisan-nisan yang baru, dimana sang almarhum/ah sudah tidak lagi menganut paham nenek moyang dari daratan Cina sana, mereka telah memilih menggunakan salib karena memang Protestan adalah agama mayoritas di tempat ini. Walau demikian, nama asli dan tulisan hanzi tetap tidak berubah posisinya.
Proses percampuran kebudayaan tampaknya cukup berhasil di tempat ini. Di suatu tempat di Pasar Teluk Dalam, saya mendengar bahasa Cina dengan dialek khek terdengar namun agak berbeda dengan apa yang saya ketahui. Kebudayaan asli Nias juga mungkin turut menyebabkan variasi dialek tersebut. Walaupun bukan tujuan objek wisata yang menarik, apalagi di saat senja menjelang, namun saya gembira, di tempat yang tidak terekspos di Nias Selatan, kerukunan antar etnis dan agama telah berjalan dengan sangat baik, hingga saat ini.
saya memang menduga orang Tionghoa sudah lama bercampur dengan penduduk setempat. beberapa teman saya orang Nias terlihat kulitnya lebih terang soalnya tapi mereka mengaku bukan warga Tionghoa dan punya marga seperti yg beberapa Lomie sebutkan di atas :)
ReplyDeleteAh, Nias indah sekali.
Suami sy org nias..tp sy nga pernah kenias :(
ReplyDelete