Saya pernah menuliskan ini di postingan sebelumnya bahwa agak sukar mencari penduduk asli Nias yang berdagang masakan asli mereka. Rata-rata para penjual makanan di tempat ini adalah orang non-Nias seperti yang umum ditemui misalnya masakan Padang, masakan Chinese, dan masakan Jawa. Kayaknya tiga etnis ini nggak usah dipungkiri soal keuletannya akan menyebarkan kuliner khas mereka ke penjuru nusantara yach. Hampir di setiap sudut nusantara bisa dengan mudah ditemukan makanan dari tiga etnis ini, walau tidak ada makanan penduduk asli sekalipun, ironisnya. Nah, selain tiga etnis ini, saya kali ini berkeinginan mencicipi makanan khas Batak, etnis yang merupakan tetangga Nias di Indonesia ini.
Ada satu rumah makan Batak yang cukup rapih dan mencolok di tepi Jalan Diponegoro, Kota Teluk Dalam saat saya pulang kembali ke penginapan, senja itu. Saya memilih rumah makan ini karena cukup terang dibanding rumah makan lain, serta lumayan ramai pengunjungnya. Walaupun tempatnya nggak luas, namun jumlah pengunjung yang sekedar menunggu pesanan atau makan di dalam rumah makan tersebut harusnya sich sudah menjadi indikator yang cukup baik akan kualitas makanan di tempat ini yach. Untuk menu, memang sich, seperti rumah makan Batak pada umumnya, makanan di tempat ini non-halal semua. Walau demikian, saya lebih merasakan unsur Chinese di tempat ini dibanding Batak. Deretan menu yang ditawarkan berbunyi antara lain, Babi Kecap, Chap Cay, Ifu Mie, Mie Hun, Nasi Goreng, Mie Sop, dll. Bayangan saya akan rumah makan di tepian Danau Toba dengan Arsik, Sangsang, Lomok-Lomok buyar sudah. Hehehe. Senja itu, saya menikmati Ifu Mie Kuah yang menghangatkan badan dan jus alpukat untuk kesehatan di perjalanan. Hihihi. Nggak nyambung yach? Selayaknya rumah makan yang berada di pulau dan jauh dari kota besar, harga makanan pada umumnya mahal. Untuk semangkuk Ifu Mie rumah makan biasa, dihargai Rp 14.000. Walaupun cukup enak, tapi harga ini jelas sudah berbeda dibandingkan warung makan, sebut saja di Yogyakarta. Untuk nasi putih sepiring, dihargai Rp 5.000. Untungnya, jus nggak ikut-ikutan mahal. Jus Pokat (Alpukat) yang saya pesan dihargai Rp 7.000. Beberapa jenis buah-buahan seperti Terong Belanda juga Rp 7.000. Buah lain seperti wortel, tomat, jeruk malah lebih murah yakni Rp 6.000. Mungkin karena buah-buah tersebut lebih mudah didapatkan kali yach? Kalau teman-teman main ke Teluk Dalam, mungkin bisa mencicipi makanan di tempat ini. Walaupun varian menunya nggak banyak, namun rasanya, jumlah pengunjung yang bolak balik keluar masuk tempat ini bisa dijadikan indikator yang baik.
Ada satu rumah makan Batak yang cukup rapih dan mencolok di tepi Jalan Diponegoro, Kota Teluk Dalam saat saya pulang kembali ke penginapan, senja itu. Saya memilih rumah makan ini karena cukup terang dibanding rumah makan lain, serta lumayan ramai pengunjungnya. Walaupun tempatnya nggak luas, namun jumlah pengunjung yang sekedar menunggu pesanan atau makan di dalam rumah makan tersebut harusnya sich sudah menjadi indikator yang cukup baik akan kualitas makanan di tempat ini yach. Untuk menu, memang sich, seperti rumah makan Batak pada umumnya, makanan di tempat ini non-halal semua. Walau demikian, saya lebih merasakan unsur Chinese di tempat ini dibanding Batak. Deretan menu yang ditawarkan berbunyi antara lain, Babi Kecap, Chap Cay, Ifu Mie, Mie Hun, Nasi Goreng, Mie Sop, dll. Bayangan saya akan rumah makan di tepian Danau Toba dengan Arsik, Sangsang, Lomok-Lomok buyar sudah. Hehehe. Senja itu, saya menikmati Ifu Mie Kuah yang menghangatkan badan dan jus alpukat untuk kesehatan di perjalanan. Hihihi. Nggak nyambung yach? Selayaknya rumah makan yang berada di pulau dan jauh dari kota besar, harga makanan pada umumnya mahal. Untuk semangkuk Ifu Mie rumah makan biasa, dihargai Rp 14.000. Walaupun cukup enak, tapi harga ini jelas sudah berbeda dibandingkan warung makan, sebut saja di Yogyakarta. Untuk nasi putih sepiring, dihargai Rp 5.000. Untungnya, jus nggak ikut-ikutan mahal. Jus Pokat (Alpukat) yang saya pesan dihargai Rp 7.000. Beberapa jenis buah-buahan seperti Terong Belanda juga Rp 7.000. Buah lain seperti wortel, tomat, jeruk malah lebih murah yakni Rp 6.000. Mungkin karena buah-buah tersebut lebih mudah didapatkan kali yach? Kalau teman-teman main ke Teluk Dalam, mungkin bisa mencicipi makanan di tempat ini. Walaupun varian menunya nggak banyak, namun rasanya, jumlah pengunjung yang bolak balik keluar masuk tempat ini bisa dijadikan indikator yang baik.
Waktu saya berkunjung, Kota Teluk Dalam hampir menjelang Pilkada. Perhatikan seruan kampanya yang ditulis dalam bahasa Nias. |
Soal keuletan etnis Jawa dalam rangka memopulerkan masakan mereka memang benar saya akui. Di Manado sini, ayam goreng (biasa disebut ayam lalapan atau seringkali bahkan lalapan saja) amat sangat populer. Ada satu cerita yang bikin geli. Waktu pertama-tama di sini, keluarga suami sangat gegap gempita memamer-mamerkan saya ke sana-ke mari. Suatu hari saya diajak ke pesta yang digelar oleh keluarga suami dari kakak ipar perempuan saya. Nah, di tempat itu tentu saja mereka mengoar-ngoarkan ke-Jawaan saya (seakan dapat ipar Jawa setara dengan kejatuhan sekarung berlian, hihihi...). Tuan rumah bereaksi dengan sangat ceria dan kontan menyeret saya ke meja makan, berkata dengan nada sangat bangga, "Ayo makan. Ini ada lalapan." Saya mengedarkan pandangan ke seisi meja. Mana lalapannya? batin saya. Cuma ada masakan-masakan Minahasa dan ayam goreng. Tak ada lalapan sama sekali. "Lalapannya mana?" tanya saya lugu. "Itu, dang," kata empunya rumah sambil menunjuk ke arah ayam goreng. Saya tambah terlongong-longong. "Mana lalapannya?" tanya saya tambah bengong. Giliran tuan rumah memandang saya dengan ekspresi frustrasi. Dipikirnya saya bego, kali. Hihihi... Untung kakak ipar yang sudah sering tugas ke Jawa menengahi. "May," katanya, "Di sini ayam lalapan biar lalapannya sudah habis tetap dibilang lalapan." Oalah, begitu to maksudnya. Hahaha....
ReplyDeleteMengenai indikator kelezatan masakan sebuah rumah makan, kalau di Jawa Tengah bukan semata jumlah pengunjung. Ada pemeo di kalangan orang Jawa begini, "Kalau kamu ke luar kota dan nggak tau mana restoran yang enak, cari aja yang banyak pengunjung CIna-nya. Pasti masakannya enak." Jadi indikator utama adalah lidah orang Cina yang bagi kami dipercaya sebagai jaminan mutu. Nah, cerita dimulai, begini: sahabat saya -orangnya cablak dan agak bocor, hehehe..- suatu kali dapat tugas ke Solo. Berangkat dari rumah jam setengah enam pagi, sampai di Solo ia kelaparan berat, lalu mengajak makan teman tugasnya. "Cari rumah makan yang banyak CIna-nya." Putar-putar, dapatlah warung soto yang isinya Cina belaka. Dengan penuh keyakinan mereka memesan, dan ternyata rasanya nggak enak sama sekali. Dan berhubung teman saya ini -seperti yang sudah saya jelaskan- agak bocor, spontan tanpa aturan dia berseru, "Dasar Cina Solo nggragas kabeh!!!" (Dasar Cina Solo rakus semua!!!). Hahahaha... Rasis dan setengah gila.
huakakakakkakaka....hiburan di kala malam hari :)) saya ngakak ngakak bacanya, mbak :p
ReplyDeletebingung kali ya, mana lalapannya? (otak langsung berpikir selada, kol, timun, sama sambel ulek) hihihihi. ternyata ayam lalapan iku jenenge ayam goreng...hihihi.
kalau soal Cina, hm...saya belum pernah denger malah bagian yg itu. ada sebuah rumah makan bubur di bilangan Jakarta Utara yang konon terkenal enak dan enak. rekomendasi banged deh. temen temen saya sampai berbusa busa dan muncrat waktu cerita soal kelezatan buburnya. ya udah, saya sekeluarga datang bertandang. bener lho mbak, pengunjung datang ga berhenti-berhenti padahal waktu itu sudah lewat tengah malam. rasanya? anehnya, dari kami berempat, nggak ada satupun yang mengatakan bahwa makanan di tempat tsb enak. suerrr...hahaha.
belakangan saya tahu, buat pengetahuan juga nih. Cina Medan, Cina Pontianak, dan Cina-cina lainnya kayaknya mengadaptasi kultur lokal sehingga satu golongan Cina bilang satu masakan enak, belum tentu Cina yang lain bilang hal serupa. misalnya saja, Cina Manado bisa saja bilabng Ayam Woku atau Ikan Rica Rica enak, tapi Cina Solo bisa saja bilang Nasi Liwet is the best! Cina Bangka mungkin bilang Bakminya lah yg terbaik, namun Cina Medan bilang nasi campurnya yang hau ce.... omong-omong, resto bubur tsb ternyata berasal dari Medan. bukannya mau rasis sih, tapi kayaknya lidah papa mama saya yang Bengkayang dan Sambas beda tipe sama lidah Medan yang bilang itu enak. menarik untuk dipelajari juga nich, mbak? :p