Selain teater dan mimbar, bagian bawah persis dari Salib Kasih ini adalah kamar doa. Kamar doa ini jumlahnya banyak dan posisinya melingkari Salib Kasih. Kebanyakan kamar doa ini merupakan sumbangan dari pengunjung yang datang (soalnya ada nama penyumbangnya). Saya memasuki kamar doa yang berada persis di bawah fondasi Salib Kasih. Ada beberapa peraturan tegas yang harus dipatuhi yakni alas kaki harus dilepas, tidak boleh berfoto, dan tidak boleh meninggalkan uang sumbangan di dalam kamar doa. Memang, suasana sejuk dan kamar yang hampir kedap membuat orang bisa berdoa dengan tenang di kamar ini. Bahkan, dalam kamar doa ini ada Alkitab dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris versi King James, dan Bahasa Batak. Whoaaa. Saya tertarik banget dengan Alkitab Bahasa Batak, walaupun saya nggak ngerti satupun isinya. Hehehe. Usai berdoa, saya kembali mengelilingi areal Salib Kasih ini dan menemukan satu bentuk batu yang bersalib tepat di sisi kanan mimbar yang saya kira adalah makam. Di atas batu tersebut ada prasasti yang diperuntukkan untuk Dr. Ingwer Ludwig Nommensen, sehingga sempat saya mengira bahwa ini adalah makam rasul tersebut. Namun saya teringat, Nommensen dimakamkan di Sigumpar, Toba Samosir. Belakangan saya baru tahu bahwa batu ini adalah lokasi dimana Nommensen berdoa meminta berkat dan berucap akan melayani Bangsa Batak. Konon, pada jaman dahulu sebelum kedatangan misionaris Bangsa Eropa, di puncak bukit Siatas Barita ini sering diadakan penyerahan tumbal untuk menyenangkan Sombaon (roh alam yang kedudukannya tinggi). Konon pula, puncak Siatas Barita ini terkenal angker. Nah, demi memutus mata rantai tersebut, Nommensen yang pada waktu itu ingin ditumbalkan oleh Sibaso (pemimpin ritual), mengatakan kepada Sibaso bahwa Simbaon adalah roh jahat karena nenek moyang tidak pernah meminta keturunannya untuk dijadikan tumbal. Konon lagi, Sibaso tersebut terjatuh dan mulai saat itu orang-orang mulai percaya kepada Nommensen.
Selain teater dan mimbar, bagian bawah persis dari Salib Kasih ini adalah kamar doa. Kamar doa ini jumlahnya banyak dan posisinya melingkari Salib Kasih. Kebanyakan kamar doa ini merupakan sumbangan dari pengunjung yang datang (soalnya ada nama penyumbangnya). Saya memasuki kamar doa yang berada persis di bawah fondasi Salib Kasih. Ada beberapa peraturan tegas yang harus dipatuhi yakni alas kaki harus dilepas, tidak boleh berfoto, dan tidak boleh meninggalkan uang sumbangan di dalam kamar doa. Memang, suasana sejuk dan kamar yang hampir kedap membuat orang bisa berdoa dengan tenang di kamar ini. Bahkan, dalam kamar doa ini ada Alkitab dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris versi King James, dan Bahasa Batak. Whoaaa. Saya tertarik banget dengan Alkitab Bahasa Batak, walaupun saya nggak ngerti satupun isinya. Hehehe. Usai berdoa, saya kembali mengelilingi areal Salib Kasih ini dan menemukan satu bentuk batu yang bersalib tepat di sisi kanan mimbar yang saya kira adalah makam. Di atas batu tersebut ada prasasti yang diperuntukkan untuk Dr. Ingwer Ludwig Nommensen, sehingga sempat saya mengira bahwa ini adalah makam rasul tersebut. Namun saya teringat, Nommensen dimakamkan di Sigumpar, Toba Samosir. Belakangan saya baru tahu bahwa batu ini adalah lokasi dimana Nommensen berdoa meminta berkat dan berucap akan melayani Bangsa Batak. Konon, pada jaman dahulu sebelum kedatangan misionaris Bangsa Eropa, di puncak bukit Siatas Barita ini sering diadakan penyerahan tumbal untuk menyenangkan Sombaon (roh alam yang kedudukannya tinggi). Konon pula, puncak Siatas Barita ini terkenal angker. Nah, demi memutus mata rantai tersebut, Nommensen yang pada waktu itu ingin ditumbalkan oleh Sibaso (pemimpin ritual), mengatakan kepada Sibaso bahwa Simbaon adalah roh jahat karena nenek moyang tidak pernah meminta keturunannya untuk dijadikan tumbal. Konon lagi, Sibaso tersebut terjatuh dan mulai saat itu orang-orang mulai percaya kepada Nommensen.
Label:
Sumatera Utara
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bukan cuma Oom Bradley yang penasaran dengan teman Lomie.
ReplyDeleteDan saya sebel sama Lomie karena pas bagian penting Nonsense eh Nomensen kok malah tumpang-tindih sama foto, sih? Kan gelora belajar saya yang selalu haus akan ilmu jadi terkoyak (halah). Dan sejauh saya amati, ini adalah postingan Lomie yang paling puitik *lega, akhirnya bisa komen juga*
hahahaha Mbak May penasaran juga tho? :p
ReplyDeletesoal Nommensen, saya memang tertarik untuk mengulas kisahnya di satu postingan khusus yang saya masukkan hari ini. hehehe. met belajar ya mbak :)
ah, masak sih saya jadi makin puitis? karena kata-kata awalan yg membuka postingan doank atuh? :D
walah... fotoku tertempel di sini. tapi kok ketindihan tulisan Lom?
ReplyDeleteAyo yg penasaran kalo mau kenalan #eh?!
jiaaaahhh dia promosi :))
ReplyDeleteeh, ketindihan tulisan gimana ya? kata Mbak May, bagian Nommensen juga kena tulisan tuh. koq layoutnya bisa beda beda gitu yah?
Lha iya kok. ketumpuk. tapi kalo pas pop-up, ga ketumpuk sih. Bingung kan? Sama, gw jg bingung... wwkkwkwkw...
ReplyDeleteBtw, I miss Tarutung. I miss Salib Kasih. And for sure I miss my lens cap......
ReplyDeletehahaha kudu liat di kompie lain buat layoutnya kayaknya :p
ReplyDeletehehehe tempatnya ngangenin ya? mau kangen akan tempat baru ngga? :p 22 february ini nich :)) F-L-O-R-E-S ^^