Selama berkeliling di Tanah Batak, terutama wilayah Samosir hingga ke Tapanuli, sedikit banyak anda pasti akan mendengar nama Nommensen, atau bahkan melihat prasasti, makam atau bahkan patung dirinya. Siapa sich sebenarnya Nommensen ini? Ompu Nommensen, begitulah kurang lebih dia dikenal, adalah seorang pekabar injil asal Schleswig (dahulu merupakan wilayah Denmark), Jerman yang dikenal karena jasa-jasanya mengkristenkan wilayah Batak. Gelar Ompu (dibaca : Oppu) diberikan kepadanya karena beliau sungguh dihormati karena jasa-jasa semasa hidupnya. Gelar ini setara dengan gelar yang dimiliki Ompu Sisingamangaraja XII loch. Bahkan, Dr. Ingwer Ludwig Nommensen diberi gelar apostles atau rasul dan ephorus atau uskup. Dari semua orang pekabar Injil asal Eropa yang berkarya di wilayah ini, hanya beliau-lah yang mendapat gelar “Rasul Orang Batak” karena karyanya. Ini dimungkinkan karena dia menetap cukup lama dan menyerahkan segenap jiwanya untuk melayani masyarakat Batak. Ucapannya yang paling terkenal ialah “Ya Tuhan, hidup atau mati biarlah aku berada di tengah-tengah Bangsa Batak ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan Mu”. Konon, ucapannya ini disebutkan ketika dia berada di atas bukit Siatas Barita, ketika ia memandang betapa indahnya Rura Silindung ini, tempat yang sekarang diberi prasasti dan salib di atasnya.
Membaca kisah hidup Nommensen, tidak lepas dari sejarah panjang dan kelam proses kristenisasi Bangsa Batak oleh Bangsa Eropa. Seperti halnya proses penyebaran kepercayaan yang baru di tengah-tengah kepercayaan lama, umumnya yang dituai bukan selalu kepercayaan melainkan tentangan, bahkan hingga berujung kematian. Inilah yang terjadi kepada dua pendeta Munson dan Lyman asal Amerika Serikat yang melakukan penginjilan menuju wilayah Silindung namun dihadang di wilayah Lobu Pining dan dibunuh oleh Raja Panggalamei beserta pengikutnya. Hal ini terjadi jauh sebelum kedatangan Nommensen di Tanah Batak ini. Kalau ada pertanyaan mengapa agama Kristen cepat sekali menyebar di wilayah Batak dan Tapanuli, mungkin jawaban yang paling tepat adalah karena alkitab diterjemahkan ke dalam Bahasa Batak Toba (pada perjalanannya, alkitab juga diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Angkola). Walaupun cepat menyebar, namun Agama Kristen juga mendapatkan resistensi kuat sehingga penyebarannya tidak berlanjut ke wilayah lain. Sebut saja pedagang muslim di wilayah Barus - Tapanuli Tengah, mendaratnya Laksamana Ceng Ho di Sungai Batang Gadis wilayah Tapanuli Selatan, pergolakan Perang Paderi di Sumatera Barat, Pengaruh kerajaan Siak di Riau dan Kerajaan Deli di Sumatera Timur, serta kekuatan Islam di wilayah Aceh kala itu cukup menahan pergerakan penyebaran Kristen di Tanah Batak. Adapun semacam ketakutan yang timbul dari penduduk setempat bahwa agama Kristen yang dibawa masuk pada saat itu adalah bentuk lain dari penjajahan Belanda. Walaupun sebagian besar Tapanuli sudah berhasil dikristenkan, namun wilayah Tapanuli Selatan dan sebagian Angkola terkena efek dari Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Rao kala itu. Anda bisa lihat sekarang bahwa wilayah Tapanuli Selatan, seperti Sidempuan dan Natal merupakan wilayah dengan mayoritas penduduk muslim. Ludwig Inger Nommensen lahir pada tahun 1834 di Schleswig dan memulai penginjilan pada tahun 1962 di Barus. Ia belajar bahasa Melayu dan Batak sebelum memulai penginjilan di Tanah Batak yang dikenal sebagai tempatnya orang-orang kafir pada masa itu. Awalnya, Nommensen tidak diijinkan oleh pemerintah kolonial untuk masuk ke dalam wilayah Batak karena alasan keamanan. Masih ingat cerita saya tentang misionaris yang dibunuh di Ambarita? Atau misionaris Munson dan Lyman yang dibunuh di Lobu Pining? Ya, masyarakat Batak di kala itu yang masih menganut Pelebegu bahkan tidak segan-segan membunuh mereka yang tidak memelihara adat atau bahkan dianggap meresahkan masyarakat, apalagi sampai dianggap penjelmaan dari penjajah. Kisah orang Batak makan manusia, pembunuhan yang mudah untuk dilakukan, hingga pemenggalan kepala menambah cerita seram dan tentu saja, larangan untuk masuk ke dalam wilayah Batak. Namun, wilayah Tapanuli Selatan yang kala itu sudah menganut Islam tidak membuat karya penginjilan berjalan dengan cepat. Ia akhirnya meminta ijin untuk masuk ke dalam wilayah Silindung (diantar oleh Raja Pontas Lumban Tobing-Raja Batak pertama yang dibabtis) dan memulai karya penginjilannya di wilayah Pearaja dan Huta Dame pada tahun 1864. Sebagai informasi, tahun 1861 adalah tahun dimana Gereja HKBP berdiri. Pada tahun 1861, selain ditandai sebagai berdirinya HKBP, terdapat pula sejumlah orang Batak yang berhasil dibabtis secara Kristen. Walau berdiri pada tahun 1861, namun baru tiga tahun kemudian atau pada 1864, jemaat HKBP pertama dan gereja HKBP pertama berdiri di Tanah Batak, yakni di Huta Dame (=kampung Damai, terjemahan bebas dari Jerusalem). Rumah Nommensen di Pearaja kini difungsikan sebagai kantor pusat HKBP di seluruh dunia, bahkan HKBP memiliki rekor sebagai Gereja Asia dengan jemaat terbanyak di seluruh dunia.
Keberhasilan Nommensen dalam melakukan proses kristenisasi tidak terbatas sampai disitu saja. Ia mendirikan sekolah, pusat pelayanan kesehatan, sekolah guru, seminarium, sekolah pendeta, perbaikan kualitas pendidikan, peternakan, hingga menerjemahkan isi dari Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba. Ada peristiwa yang membuat masyarakat Batak perlahan mulai percaya kepada Nommensen yakni ketika ia ditekan oleh masyarakat yang menekannya, namun ia tetap bersikap ramah dan lemah lembut. Adapun masa ketika ia ingin dikorbankan kepada Simbaon, ia tetap bersikap tenang dan mengatakan bahwa Simbaon tidak mungkin meminta tumbal anak cucu-nya. Konon, ketika ia berdoa, muncullah angin puting beliung yang memporak-porandakan lokasi persembahan kepada Simbaon dan jatuhlah Sibaso (pemimpin ritual) ke tanah. Kocar-kacir lah para penduduk dan mereka mulai percaya kepada Nommensen. Satu peristiwa lagi ketika para Raja yang tidak percaya kepada Nommensen berkumpul di rumahnya hingga larut malam dan tertidur. Nommensen menyelimuti semua raja-raja tersebut dengan selimut dan keesokan harinya ketika mereka semua terbangun, semua Raja-Raja tersebut menjadi malu karena kebaikan hati Nommensen.
Walaupun usaha kristenisasi yang dilakukan oleh Nommensen sangat berhasil di Tanah Batak hingga ia mendapatkan gelar apostle (rasul) dan ephorus (uskup), namun perjalanan yang ia lakukan bukanlah tanpa halangan sama sekali. Dua anak pertamanya meninggal dunia di usia awal kehidupan. Ia bahkan terkena disentri parah hingga pasrah menunggu kematian sebelum akhirnya berobat ke Sidempuan dan melanjutkan karya penginjilannya. Tantangan terberat lainnya ialah Raja Sisingamangaraja XII yang menganggap Nommensen sebagai kaki tangan pemerintah kolonial Belanda. Usaha pengkristenan wilayah Toba pun tidak dilakukan dengan damai melainkan dengan Perang Toba I yang bahkan melibatkan kekuatan militer. Setelah menumpas pasukan Sisingamangaraja XII, Nommensen mampu untuk meyakinkan raja-raja di wilayah Toba bahwa apa yang ia lakukan adalah kebaikan. Ia mampu melanjutkan misi penginjilannya dengan lebih lancar bahkan hingga ke wilayah utara, wilayah Pakpak, Simalungun, Karo hingga ke Medan. Nommensen meninggal dunia di Sigumpar, wilayah Toba Samosir setelah hidup selama 84 tahun (1918). Pemakamannya dihadiri puluhan ribu orang, dan tercatat sebagai pemakaman yang paling banyak dihadiri orang Batak di Tanah Batak. Ringkasan kehidupan beliau bisa dilihat disini. Yah, saya harus berterima kasih banyak kepada Dr. Ingwer Ludwig Nommensen karena telah membuka wilayah Tanah Batak sehingga sekarang kita bisa menikmati keindahan Danau Toba, menikmati arsitektur rumah-rumah Batak dan menyaksikan tarian adat yang mempesona. Tanpanya, bukan nggak mungkin semua hal ini tidak akan terjadi.
Membaca kisah hidup Nommensen, tidak lepas dari sejarah panjang dan kelam proses kristenisasi Bangsa Batak oleh Bangsa Eropa. Seperti halnya proses penyebaran kepercayaan yang baru di tengah-tengah kepercayaan lama, umumnya yang dituai bukan selalu kepercayaan melainkan tentangan, bahkan hingga berujung kematian. Inilah yang terjadi kepada dua pendeta Munson dan Lyman asal Amerika Serikat yang melakukan penginjilan menuju wilayah Silindung namun dihadang di wilayah Lobu Pining dan dibunuh oleh Raja Panggalamei beserta pengikutnya. Hal ini terjadi jauh sebelum kedatangan Nommensen di Tanah Batak ini. Kalau ada pertanyaan mengapa agama Kristen cepat sekali menyebar di wilayah Batak dan Tapanuli, mungkin jawaban yang paling tepat adalah karena alkitab diterjemahkan ke dalam Bahasa Batak Toba (pada perjalanannya, alkitab juga diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Angkola). Walaupun cepat menyebar, namun Agama Kristen juga mendapatkan resistensi kuat sehingga penyebarannya tidak berlanjut ke wilayah lain. Sebut saja pedagang muslim di wilayah Barus - Tapanuli Tengah, mendaratnya Laksamana Ceng Ho di Sungai Batang Gadis wilayah Tapanuli Selatan, pergolakan Perang Paderi di Sumatera Barat, Pengaruh kerajaan Siak di Riau dan Kerajaan Deli di Sumatera Timur, serta kekuatan Islam di wilayah Aceh kala itu cukup menahan pergerakan penyebaran Kristen di Tanah Batak. Adapun semacam ketakutan yang timbul dari penduduk setempat bahwa agama Kristen yang dibawa masuk pada saat itu adalah bentuk lain dari penjajahan Belanda. Walaupun sebagian besar Tapanuli sudah berhasil dikristenkan, namun wilayah Tapanuli Selatan dan sebagian Angkola terkena efek dari Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Rao kala itu. Anda bisa lihat sekarang bahwa wilayah Tapanuli Selatan, seperti Sidempuan dan Natal merupakan wilayah dengan mayoritas penduduk muslim. Ludwig Inger Nommensen lahir pada tahun 1834 di Schleswig dan memulai penginjilan pada tahun 1962 di Barus. Ia belajar bahasa Melayu dan Batak sebelum memulai penginjilan di Tanah Batak yang dikenal sebagai tempatnya orang-orang kafir pada masa itu. Awalnya, Nommensen tidak diijinkan oleh pemerintah kolonial untuk masuk ke dalam wilayah Batak karena alasan keamanan. Masih ingat cerita saya tentang misionaris yang dibunuh di Ambarita? Atau misionaris Munson dan Lyman yang dibunuh di Lobu Pining? Ya, masyarakat Batak di kala itu yang masih menganut Pelebegu bahkan tidak segan-segan membunuh mereka yang tidak memelihara adat atau bahkan dianggap meresahkan masyarakat, apalagi sampai dianggap penjelmaan dari penjajah. Kisah orang Batak makan manusia, pembunuhan yang mudah untuk dilakukan, hingga pemenggalan kepala menambah cerita seram dan tentu saja, larangan untuk masuk ke dalam wilayah Batak. Namun, wilayah Tapanuli Selatan yang kala itu sudah menganut Islam tidak membuat karya penginjilan berjalan dengan cepat. Ia akhirnya meminta ijin untuk masuk ke dalam wilayah Silindung (diantar oleh Raja Pontas Lumban Tobing-Raja Batak pertama yang dibabtis) dan memulai karya penginjilannya di wilayah Pearaja dan Huta Dame pada tahun 1864. Sebagai informasi, tahun 1861 adalah tahun dimana Gereja HKBP berdiri. Pada tahun 1861, selain ditandai sebagai berdirinya HKBP, terdapat pula sejumlah orang Batak yang berhasil dibabtis secara Kristen. Walau berdiri pada tahun 1861, namun baru tiga tahun kemudian atau pada 1864, jemaat HKBP pertama dan gereja HKBP pertama berdiri di Tanah Batak, yakni di Huta Dame (=kampung Damai, terjemahan bebas dari Jerusalem). Rumah Nommensen di Pearaja kini difungsikan sebagai kantor pusat HKBP di seluruh dunia, bahkan HKBP memiliki rekor sebagai Gereja Asia dengan jemaat terbanyak di seluruh dunia.
Keberhasilan Nommensen dalam melakukan proses kristenisasi tidak terbatas sampai disitu saja. Ia mendirikan sekolah, pusat pelayanan kesehatan, sekolah guru, seminarium, sekolah pendeta, perbaikan kualitas pendidikan, peternakan, hingga menerjemahkan isi dari Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba. Ada peristiwa yang membuat masyarakat Batak perlahan mulai percaya kepada Nommensen yakni ketika ia ditekan oleh masyarakat yang menekannya, namun ia tetap bersikap ramah dan lemah lembut. Adapun masa ketika ia ingin dikorbankan kepada Simbaon, ia tetap bersikap tenang dan mengatakan bahwa Simbaon tidak mungkin meminta tumbal anak cucu-nya. Konon, ketika ia berdoa, muncullah angin puting beliung yang memporak-porandakan lokasi persembahan kepada Simbaon dan jatuhlah Sibaso (pemimpin ritual) ke tanah. Kocar-kacir lah para penduduk dan mereka mulai percaya kepada Nommensen. Satu peristiwa lagi ketika para Raja yang tidak percaya kepada Nommensen berkumpul di rumahnya hingga larut malam dan tertidur. Nommensen menyelimuti semua raja-raja tersebut dengan selimut dan keesokan harinya ketika mereka semua terbangun, semua Raja-Raja tersebut menjadi malu karena kebaikan hati Nommensen.
Walaupun usaha kristenisasi yang dilakukan oleh Nommensen sangat berhasil di Tanah Batak hingga ia mendapatkan gelar apostle (rasul) dan ephorus (uskup), namun perjalanan yang ia lakukan bukanlah tanpa halangan sama sekali. Dua anak pertamanya meninggal dunia di usia awal kehidupan. Ia bahkan terkena disentri parah hingga pasrah menunggu kematian sebelum akhirnya berobat ke Sidempuan dan melanjutkan karya penginjilannya. Tantangan terberat lainnya ialah Raja Sisingamangaraja XII yang menganggap Nommensen sebagai kaki tangan pemerintah kolonial Belanda. Usaha pengkristenan wilayah Toba pun tidak dilakukan dengan damai melainkan dengan Perang Toba I yang bahkan melibatkan kekuatan militer. Setelah menumpas pasukan Sisingamangaraja XII, Nommensen mampu untuk meyakinkan raja-raja di wilayah Toba bahwa apa yang ia lakukan adalah kebaikan. Ia mampu melanjutkan misi penginjilannya dengan lebih lancar bahkan hingga ke wilayah utara, wilayah Pakpak, Simalungun, Karo hingga ke Medan. Nommensen meninggal dunia di Sigumpar, wilayah Toba Samosir setelah hidup selama 84 tahun (1918). Pemakamannya dihadiri puluhan ribu orang, dan tercatat sebagai pemakaman yang paling banyak dihadiri orang Batak di Tanah Batak. Ringkasan kehidupan beliau bisa dilihat disini. Yah, saya harus berterima kasih banyak kepada Dr. Ingwer Ludwig Nommensen karena telah membuka wilayah Tanah Batak sehingga sekarang kita bisa menikmati keindahan Danau Toba, menikmati arsitektur rumah-rumah Batak dan menyaksikan tarian adat yang mempesona. Tanpanya, bukan nggak mungkin semua hal ini tidak akan terjadi.
wonderful article bro..glad to see this..gbu :)
ReplyDeletei thing this blog reminds all batak people around the world to remember Nommensen's struggle...He was in a big trouble to introduce Christian for Batak land. He who never tired to teach that being an animisme is an abomination in God's eyes.. so, Thank You Mr.Nommensen for being part in Batak's journey for Batak people aware that God is the only one worthy of worship. Your sincerity is something very precious.
ReplyDeleteThis story needs to be told to our child nowadays, to every generation to keeps the memory of Him as an apostle who introduce the love of Jesus Christ to our descendants. It is very important for us to rejoice our roots, wherever and whenever we are :)
ReplyDelete