4 Kilometer dari Pangururan arah timur laut, ada sebuah desa yang dikenal sebagai lokasi pembuatan Ulos di wilayah Samosir. Nama tempat ini adalah Desa Lumban Suhi-Suhi. Desa ini terletak tepat di tepi perlintasan jalur Simanindo – Pangururan. Anda nggak harus bingung mencari posisi desa ini sebab, dalam sekali pandangan saja, anda akan melihat sejumlah inang dan beberapa gadis muda, sedang asik menenun Ulos di depan rumah mereka, sambil bercengkrama dengan anggota keluarga lainnya. Mereka melakukan pekerjaan tenunan dengan santai, sambil mengobrol dan bersenda gurau bahkan. Jari-jemari mereka yang lincah bermain diantara benang-benang yang meluncur dan kayu-kayu yang bergerak menjepit. Seru sekali melihat tenunan mereka.
Dari Simanindo, desa Lumban Suhi-Suhi ini sudah tidak terlalu jauh. Namun, jalanan lintas Samosir yang lurus dan cukup mulus, terkadang bisa membuat perjalanan ini menjadi cukup panjang. Dari Simanindo, saya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapai Lumban Suhi-Suhi. Padahal, kondisi jalan cukup bagus dan tiada kemacetan berarti. Untungnya, sepanjang perjalanan dari Simanindo menuju Lumban Suhi-Suhi, kami banyak dihibur oleh bangunan-bangunan menarik, terutama makam di sepanjang tepi jalan. Sepanjang perjalanan pun terkadang kami menjumpai sawah, hingga tepi Danau Toba.
Kata sang Ibu penjual Kacang Rondam, Desa Lumban Suhi-Suhi terletak sekitar 3 jembatan sesudah Simanindo. Alhasil, sembari berjalan menuju barat daya, saya mencoba menghitung berapa jembatan yang sudah terlewati. Mungkin maksudnya si ibu adalah jembatan besar. Namun, ternyata ada banyak jembatan kecil dan jembatan “nanggung” yang membuat saya dan rekan saya was-was, sudah lewatkah hitungan kami? Dalam sekejab saya harus segera memberhentikan motor yang saya tumpangi lantaran mata saya menangkap seorang inang yang sedang asyik menenun di halaman depan rumahnya. Peralatan yang digunakannya sederhana, hanya sejumlah bilah kayu saja. Sambil menenun, ia ditemani suaminya yang sedang menjaga kios bahan bakar sederhana. Yang jelas, ekspresi mereka menyiratkan keheranan lantaran kedatangan kami sambil menenteng-nenteng kamera. Hihihi. Nggak biasa didatangin turis kayaknya si Ibu. Ya, mulailah kami bertanya-tanya seputar Ulos ini. Pertanyaan-pertanyaan standard sich. Tapi si Inang tampak seperti ogah-ogahan menjawab hingga kemudian suaminya berkata bahwa sekitar seratusan meter dari sini terdapat pusat pelatihan penenunan Ulos sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Yah, baiklah, mungkin si Ibu dan bapak sedang nggak mau diganggu kali yach? Ibu itu memang berkata bahwa Ulos yang dia buat hanya untuk konsumsi pribadi saja, walau ada beberapa yang dijual. Oleh karena itu, saya dan teman saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat yang dimaksud.
Ternyata, tempat yang dimaksud bukanlah sentra kerajinan Ulos yang dimaksud. Bangunan sederhana dengan alas pasir ini merupakan lokasi pelatihan yang hanya berlangsung sementara saja. Nggak mengherankan mengingat tempatnya pun sangat sederhana dan beralaskan pasir. Sejumlah alat tenun Ulos manual hingga alat pemintal benang dan alat pembuat kain teronggok di dalam bangunan. Beberapa gadis sedang berkumpul bersenda gurau sementara beberapa lainnya sedang asyik mencoba menggunakan alat-alat tersebut. Seorang gadis muda yang sedang membuat kain utuh mencoba menjelaskan pada saya bahwa alat rumit yang digunakannya bukanlah peralatan untuk membuat Ulos. Ulos dibuat dengan alat-alat sederhana yang teronggok di tanah dengan alas kayu tempat penenun duduk. Alat yang sudah sangat mekanis ini membuat kain utuh namun bukan Ulos. Proses pembuatannya pun rumit, ada benang yang harus diselipkan setiap beberapa saat. Ada saatnya menginjak, ada saatnya melepas. Jadi, seluruh anggota badan akan bergerak semua, nggak perlu olahraga lagi deh. Bikin kain ternyata membakar kalori juga, walau nggak sampai keringetan sich. Hehehe.
Selain alat membuat kain yang sedang dikerjakan, ada alat tenun kain yang lebih rumit lagi dan sedang dikerjakan oleh, nggak hanya perempuan namun juga, sejumlah pria. Para pria tersebut sedang mengikat sejumlah gulungan benang yang tampaknya rumit. Proses tersebut dilakukan berkali-kali hingga gulungan benang yang tidak terikat pun habis. DI belakang pria tersebut, ada sejumlah blok kayu bertumpuk dan berdiri dan terikat dengan sejumlah tali. Saya nggak melihat bagaimana cara kerjanya alat ini sebab persiapan penenunan masih dilakukan. Akan tetapi, nampaknya blok-blok kayu tersebut akan naik dan turun berirama sesuai dengan pola penenunan. Kain yang ada di tempat ini pun sebagian dibuat oleh sejumlah orang. Bukan oleh satu orang saja. Alhasil, anda akan melihat kain panjang dengan hasil dan tingkat kerapatan berbeda-beda. Untuk satu kain yang sedang aktif di kerjakan saja, saya bisa melihat bahwa bagian atas kain agak renggang dan berantakan dibanding bagian bawah yang sudah lebih teratur. Kata si Ito, ini dikerjakan oleh sejumlah penenun yang baru saja memulai sehingga hasilnya belum standard dan masih berantakan. Yang Ito tersebut lakukan hanyalah memperbaiki sisa hasil tenunan yang ada, bukan memperbaiki yang sudah terlewat. Menariknya, sembari sang Ito menenun, ada satu buah selongsong benang yang bergerak kesana kemari meluncur bebas sesuai dengan pijakan kaki si penenun. Selongsong tersebut membawa benang yang akan menjalin kain.
Nah, belakangan barulah sejumlah gadis penenun Ulos baru mengambil posisi mereka masing-masing. Mereka duduk di atas papan kayu yang tampaknya satu paket dengan peralatan penenun Ulos tersebut. Mereka melakukan gerakan mengayak tepung sambil memajukan bilah-bilah kayu tersebut maju mundur untuk merapihkan benang dan mengencangkan tenunan. Sembari menenun, sebuah selongsong benang dilemparkan dari sudut kanan ke kiri serta sebaliknya untuk membuat motif. Menyenangkan sekali melihat proses kerja mereka yang tampaknya menyenangkan. Saya sich ingin-ingin saja mencoba., tapi ngegangguin mereka nggak yach? Hehehe.
Kata sang Ibu penjual Kacang Rondam, Desa Lumban Suhi-Suhi terletak sekitar 3 jembatan sesudah Simanindo. Alhasil, sembari berjalan menuju barat daya, saya mencoba menghitung berapa jembatan yang sudah terlewati. Mungkin maksudnya si ibu adalah jembatan besar. Namun, ternyata ada banyak jembatan kecil dan jembatan “nanggung” yang membuat saya dan rekan saya was-was, sudah lewatkah hitungan kami? Dalam sekejab saya harus segera memberhentikan motor yang saya tumpangi lantaran mata saya menangkap seorang inang yang sedang asyik menenun di halaman depan rumahnya. Peralatan yang digunakannya sederhana, hanya sejumlah bilah kayu saja. Sambil menenun, ia ditemani suaminya yang sedang menjaga kios bahan bakar sederhana. Yang jelas, ekspresi mereka menyiratkan keheranan lantaran kedatangan kami sambil menenteng-nenteng kamera. Hihihi. Nggak biasa didatangin turis kayaknya si Ibu. Ya, mulailah kami bertanya-tanya seputar Ulos ini. Pertanyaan-pertanyaan standard sich. Tapi si Inang tampak seperti ogah-ogahan menjawab hingga kemudian suaminya berkata bahwa sekitar seratusan meter dari sini terdapat pusat pelatihan penenunan Ulos sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Yah, baiklah, mungkin si Ibu dan bapak sedang nggak mau diganggu kali yach? Ibu itu memang berkata bahwa Ulos yang dia buat hanya untuk konsumsi pribadi saja, walau ada beberapa yang dijual. Oleh karena itu, saya dan teman saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat yang dimaksud.
Ternyata, tempat yang dimaksud bukanlah sentra kerajinan Ulos yang dimaksud. Bangunan sederhana dengan alas pasir ini merupakan lokasi pelatihan yang hanya berlangsung sementara saja. Nggak mengherankan mengingat tempatnya pun sangat sederhana dan beralaskan pasir. Sejumlah alat tenun Ulos manual hingga alat pemintal benang dan alat pembuat kain teronggok di dalam bangunan. Beberapa gadis sedang berkumpul bersenda gurau sementara beberapa lainnya sedang asyik mencoba menggunakan alat-alat tersebut. Seorang gadis muda yang sedang membuat kain utuh mencoba menjelaskan pada saya bahwa alat rumit yang digunakannya bukanlah peralatan untuk membuat Ulos. Ulos dibuat dengan alat-alat sederhana yang teronggok di tanah dengan alas kayu tempat penenun duduk. Alat yang sudah sangat mekanis ini membuat kain utuh namun bukan Ulos. Proses pembuatannya pun rumit, ada benang yang harus diselipkan setiap beberapa saat. Ada saatnya menginjak, ada saatnya melepas. Jadi, seluruh anggota badan akan bergerak semua, nggak perlu olahraga lagi deh. Bikin kain ternyata membakar kalori juga, walau nggak sampai keringetan sich. Hehehe.
Selain alat membuat kain yang sedang dikerjakan, ada alat tenun kain yang lebih rumit lagi dan sedang dikerjakan oleh, nggak hanya perempuan namun juga, sejumlah pria. Para pria tersebut sedang mengikat sejumlah gulungan benang yang tampaknya rumit. Proses tersebut dilakukan berkali-kali hingga gulungan benang yang tidak terikat pun habis. DI belakang pria tersebut, ada sejumlah blok kayu bertumpuk dan berdiri dan terikat dengan sejumlah tali. Saya nggak melihat bagaimana cara kerjanya alat ini sebab persiapan penenunan masih dilakukan. Akan tetapi, nampaknya blok-blok kayu tersebut akan naik dan turun berirama sesuai dengan pola penenunan. Kain yang ada di tempat ini pun sebagian dibuat oleh sejumlah orang. Bukan oleh satu orang saja. Alhasil, anda akan melihat kain panjang dengan hasil dan tingkat kerapatan berbeda-beda. Untuk satu kain yang sedang aktif di kerjakan saja, saya bisa melihat bahwa bagian atas kain agak renggang dan berantakan dibanding bagian bawah yang sudah lebih teratur. Kata si Ito, ini dikerjakan oleh sejumlah penenun yang baru saja memulai sehingga hasilnya belum standard dan masih berantakan. Yang Ito tersebut lakukan hanyalah memperbaiki sisa hasil tenunan yang ada, bukan memperbaiki yang sudah terlewat. Menariknya, sembari sang Ito menenun, ada satu buah selongsong benang yang bergerak kesana kemari meluncur bebas sesuai dengan pijakan kaki si penenun. Selongsong tersebut membawa benang yang akan menjalin kain.
Nah, belakangan barulah sejumlah gadis penenun Ulos baru mengambil posisi mereka masing-masing. Mereka duduk di atas papan kayu yang tampaknya satu paket dengan peralatan penenun Ulos tersebut. Mereka melakukan gerakan mengayak tepung sambil memajukan bilah-bilah kayu tersebut maju mundur untuk merapihkan benang dan mengencangkan tenunan. Sembari menenun, sebuah selongsong benang dilemparkan dari sudut kanan ke kiri serta sebaliknya untuk membuat motif. Menyenangkan sekali melihat proses kerja mereka yang tampaknya menyenangkan. Saya sich ingin-ingin saja mencoba., tapi ngegangguin mereka nggak yach? Hehehe.
yaaaah kenapa gg nyobain om :D kan biar bisa diceritain pengalaman pribadinya bikin ulos :) soalnya kalau diliat mah kayak yang gampang tapi diliat lebih serius lagi malah rumit banget ya
ReplyDeletebanged Neng Tiara! kelihatannya asik cuma dijepit2 gitu doank. Tapi pas prakteknya, saya yakin pasti jadinya amburadul. hahaha. persoalan paling umum buat yg baru belajar sih biasanya soal kerapihan. soal motif mah belakangan lagi. hahahaha
ReplyDelete