Pangururan ternyata kota yang kecil. Saat pagi tiba, barulah saya menyadari hal ini. Jalan Putri Lopian tempat hotel kami berada yang sebenarnya sudah agak ke pinggir pun bisa dengan mudah mencapai pusat kota tanpa hambatan berarti. Dengan berjalan kaki paling dibutuhkan sekitar 15 menit sambil bersantai ria. Anehnya, masyarakat sekitar mengatakan bahwa jarak tersebut jauh dan menyarankan saya untuk naik becak saja. Hah? Saya memang seringkali mendapatkan pengalaman bertemu warga lokal yang menyarankan saya untuk menaiki kendaraan umum. Kenyataannya, jarak yang saya tempuh dengan kendaraan umum ternyata tidak sejauh bayangan saya, bahkan cenderung masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tanpa pegal! Apa karena orang lokal biasanya nggak terlalu suka berjalan-jalan kali yach? Sementara saya, jalan kaki adalah suatu keharusan. Kalau masih bisa jalan kaki biar tetap hemat, kenapa ngga? Hahaha. Namun uniknya, di balik tidak sukanya orang lokal terhadap kegiatan jalan kaki ini, mereka kerap meremehkan yang namanya jarak. Jarak tempuh dari pintu gerbang ke suatu objek wisata, misalnya yang "hanya" 5 kilometer dikatakan hanya 1 kilometer saja. Pas saya coba tes berjalan kaki, barulah saya merasakan gempor dan akhirnya memilih untuk naik kendaraan umum. Hahaha.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di Pangururan pada pagi hari. Selain objek wisata yang rata-rata berjarak cukup jauh dan tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki, kota ini juga cenderung sepi. Keramaian baru tampak di sekitar terminal Sampri di tengah kota yang berbatasan langsung dengan Pasar Pangururan. Selebihnya, jumlah manusia bisa dihitung dengan menggunakan jari. Sebelum kami mulai berkeliling, saya menikmati menu sarapan pagi di Hotel Dainang yakni berupa nasi goreng dengan cetakan mangkok dan sepotong telur dadar. Nasi gorengnya pedas antara cabai dan lada! Walaupun nggak sampai menyiksa, namun buat pembenci pedas, sebaiknya hati-hati dech. Nah, pagi hari kami diawali dengan melihat pemandangan Danau Toba dari sisi Pangururan yang ternyata tidak secantik di Tuk-Tuk Siadong, namun tetap cantik sich. Dari segi hawa, Pangururan pun terhitung lebih “hangat” dibanding Tuk-Tuk Siadong. Nggak ada hal efektif yang bisa kami lakukan pada pagi hari akhirnya memaksa kami untuk segera bergegas mnerapihkan isi tas, check out untuk kemudian bergegas menuju terminal.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di Pangururan pada pagi hari. Selain objek wisata yang rata-rata berjarak cukup jauh dan tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki, kota ini juga cenderung sepi. Keramaian baru tampak di sekitar terminal Sampri di tengah kota yang berbatasan langsung dengan Pasar Pangururan. Selebihnya, jumlah manusia bisa dihitung dengan menggunakan jari. Sebelum kami mulai berkeliling, saya menikmati menu sarapan pagi di Hotel Dainang yakni berupa nasi goreng dengan cetakan mangkok dan sepotong telur dadar. Nasi gorengnya pedas antara cabai dan lada! Walaupun nggak sampai menyiksa, namun buat pembenci pedas, sebaiknya hati-hati dech. Nah, pagi hari kami diawali dengan melihat pemandangan Danau Toba dari sisi Pangururan yang ternyata tidak secantik di Tuk-Tuk Siadong, namun tetap cantik sich. Dari segi hawa, Pangururan pun terhitung lebih “hangat” dibanding Tuk-Tuk Siadong. Nggak ada hal efektif yang bisa kami lakukan pada pagi hari akhirnya memaksa kami untuk segera bergegas mnerapihkan isi tas, check out untuk kemudian bergegas menuju terminal.
nasi goreng semangkok gitu emang nampol?! *dudududu*
ReplyDeletehmm....ketahuan porsi makannya Oom Brad :D
ReplyDeleteNasgor di tanah Batak rasanya standart nggak? Atau ada unsur kedaerahannya, gitu.... Saya tebak harganya sekitar 12 ribu:p.
ReplyDeleterasanya sih nggak seenak nasi goreng di ujung gang rumah saya, mbak...hehehe...harganya gratis karena bonus dari penginapan :p
ReplyDelete