Friday, October 28, 2011

Masakan Batak : Sangsang RM Robema, Tomok

[Perhatian] Postingan ini mengandung babi.
Apa sich masakan dari Tano Batak yang paling terkenal? Mungkin sebagian dari kita akan menyebut Babi Panggang Karo sebagai makanan yang paling terkenal dari Sumatera Utara, terutama Tano Batak sana. Namun, sesuai dengan namanya, Babi Panggang Karo atau dikenal sebagai BPK yang biasanya disajikan di Lapo Batak sejatinya merupakan makanan khas Tanah Karo loch (dari Merek sampai Sibolangit, Brastagi dan Kabanjahe). Nah, kalau masakan dari Tano Batak, apa sich sebenernya?
Yang jelas, makanan Batak bukanlah seperti makanan Yogyakarta atau Minang yang bisa dengan suksesnya menembus belantara nusantara dan menyebar hingga ke pelosok-pelosok. Siapa sich yang nggak kenal gudeg, bakso, atau nasi kapau? Buat saya, masakan Batak adalah termasuk salah satu masakan yang agak asing di telinga, dan asing juga di lidah saya. Tersebutlah sebuah rumah makan yang berada di tepi Desa Tomok, berada persis di pinggir jalan raya Tomok – Pangururan dengan nama RM. Robema. Rumah makan ini adalah salah satu restoran yang masih asli menyajikan masakan Batak dengan cara memasak yang sederhana dan apa adanya. Di depan pintu rumah makan ini tertulis : “Panggang, Lomok-Lomok, Tanggo-Tanggo, Cincang, Tombur, Napinadar, Naniura”. Namanya unik dan ajaib yach? Namun, buat teman-teman yang tidak mengkonsumsi daging babi atau vegetarian, sebaiknya perlu tahu bahwa rumah makan Batak asli umumnya menyediakan menu berupa daging babi yang diolah dalam berbagai cara. Kalau mau aman, sebaiknya makan di rumah makan yang jelas-jelas bertuliskan “Islam” atau “Vegetarian”. Nggak usah khawatir, terdapat sejumlah rumah makan Islam atau Vegetarian koq di sepanjang Desa Tomok, nggak sukar dicarinya. Berhubung penasaran sama kuliner asli Batak, maka saya memberanikan diri masuk ke dalam Rumah Makan Robema ini.
Saya pernah masuk ke dalam RM. Robema ini tahun 2007 lalu. Hehehe. Penampilan rumah makan ini jelas sudah sangat berubah dibanding empat tahun lalu. Walaupun sang Inang masih menggunakan rumah ini sebagai kediamannya, namun rumah makan ini jelas telah terpoles dengan sangat baik dibanding empat tahun yang lampau. Ya, Puji Tuhan, mungkin usaha beliau cukup sukses dalam menjalankan rumah makan sederhana ini. Sejumlah foto-foto beliau beserta anak-anaknya sedang berpose di Taman Wisata Iman di Kabupaten Dairi terpampang memenuhi sejumlah sudut dinding. Di dalam rumah makan tersebut hanya terdapat tiga deret meja panjang yang bisa digunakan oleh tamu untuk menikmati makanannya. Satu meja di samping yang terletak vertikal digunakan untuk memotong rempah-rempah seperti bawang dan cabai. Sebuah papan iklan lain di dalam rumah makan menginformasikan bahwa mereka tidak hanya menyediakan masakan Batak asli, namun juga beradaptasi dengan hadirnya nasi goreng, mie goreng dan mie rebus. Namun, tetap saja, di bagian atas papan tersebut tertulis dengan jelas babi kecap asam manis dan di bawahnya tertulis “catering”. Mungkin RM. Robema ini bisa menyediakan menu catering seharusnya yach...
Tujuan saya datang kesini ialah ingin mencicipi Sangsang! Walau tidak tertulis di plang depan, namun saya menyempatkan diri untuk bertanya terlebih dahulu kepada sang Inang, apakah ia menyediakan Sangsang atau tidak. Nampaknya, ini adalah makanan Batak standard sehingga bisa dipastikan ada dalam setiap hidangan. Oh ya, Sangsang itu adalah daging babi yang dimasak dengan darah babi itu sendiri. Kalau istilah umum, Sangsang ini lebih dikenal sebagai “Rendang Batak”. Ya, dari segi tampilan sich mereka sangat mirip dengan rendang hanya saja bumbu dan aromanya berbeda. Mengingat porsi makan orang Batak yang cukup besar, maka kami memesan satu Sangsang untuk dimakan berdua. Untungnya, kami nggak salah. Ya, satu porsi Sangsang sangat besar bahkan dua orang pun tidak mampu menghabiskannya. Fiuh. Selain Sangsang, kami memesan masakan standard yakni tempe dan tahu goreng. Selain itu, kami mendapat semacam sup yang sudah standard disajikan apabila makan di restoran Batak. Sup tersebut adalah sup daun labu.
Terus terang, rasa masakan Batak tampaknya bukan menjadi favorit saya. Mungkin bumbu andaliman yang mereka kenakan terlalu kuat sehingga sayur-sayur dan lauk disini berasa mint sekali. Sangsangnya lumayan namun cita rasanya sama sekali tidak mirip rendang. Sama sekali pun tidak menunjukkan kedekatan dengan semur. Sangsang ya Sangsang. Sayang sekali, sayur daun labunya sudah sejuk. Saya nggak tahu, apakah memang makannya demikian atau sebaiknya dihangatkan terlebih dahulu yach? Soalnya, sup daun labu ini rasanya....hampir tidak berasa! Entah bumbunya kurang atau memang aslinya seperti itu, saya tidak tahu. Untung saja ada tempe dan tahu yang sedikit familiar. Ajaibnya, tempe dan tahu yang kami konsumsi pun tidak mewakili tempe dan tahu yang biasa sering kami makan. Ajaib dech. Rasanya menjadi ajaib. Hehehe. Nasinya sendiri pun adalah nasi merah karena warnanya agak kemerahan. Warna nasi ini tidak disengaja melainkan merupakan hasil dari tanah Samosir ini. Untuk makan siang dua orang, kami harus mengeluarkan dana sebesar Rp. 35.000. Cukup murah sich mengingat bahwa Sangsang sendiri harganya Rp. 20.000. Nasi, tempe, tahu dan teh yang kami minum merupakan sisanya. Sayang, saya nggak terlalu puas dengan makan kali ini. Mungkin ada teman-teman tahu dimana saya bisa mendapatkan Sangsang yang lebih nendang? Hehehehe. Oh ya, Napinadar adalah ayam panggang khas Batak dengan siraman saus special Batak di atasnya berupa andaliman dengan darah ayam itu sendiri. Naniura adalah sashimi khas Batak, berupa ikan Mas segar yang tidak dimasak namun direndam dalam larutan asam dan jeruk nipis sementara Tambur adalah ikan khas yang hidup di perairan Danau Toba untuk kemudian dipanggang atau dibakar. Tertarik mencobanya?

Wednesday, October 26, 2011

Rekonstruksi Eksekusi Tawanan Di Huta Siallagan

Yuk, kita coba lihat proses rekonstruksi eksekusi yang dilakukan beratus-ratus tahun yang lampau oleh Raja Siallagan dan para tetua adat di Huta Siallagan ini. Jangan kuatir, proses rekonstruksinya ini nggak menyeramkan loch, beberapa pemandu bahkan bisa membawakannya dengan gaya jenaka. Pokoknya asyik dech, melihat dan mempelajari sejarah dengan cara santai dan menyenangkan seperti ini. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, setiap kita memasuki Huta Siallagan, anda akan dihampiri oleh satu orang yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Nah, kelebihan mereka bukanlah sekedar memandu anda dalam menjelaskan objek-objek menarik di Huta Siallagan ini, namun hingga melakukan proses rekonstruksi eksekusi para penjahat masyarakat atau tawanan perang yang tertangkap. Soal biaya, silahkan dibicarakan saja sebab tidak ada patokan khusus untuk harga. Umumnya, para pemandu wisata ini menargetkan rombongan walaupun tidak menutup kemungkinan juga kami yang hanya berdua ini ditawarkan jasa mereka.
Batu Parsidangan yang terletak persis di atas pelataran dan di bawah Pohon Hariara adalah tempat para tetua adat dan Raja Siallagan menyidang penjahat yang ditangkap. Sebelumnya, penjahat tersebut dipasung di kurungan “Schand Blok” yang berada persis di depan kediaman Raja Siallagan. Proses menyidang dan mengeksekusi tawanan ini ditentukan oleh kalender Batak yang tidak saja mampu menghitung hari perkawinan, namun juga waktu upacara adat, hingga proses eksekusi tawanan. Nah, dimanakah proses eksekusi tawanan tersebut dilangsungkan? Kita harus bergerak ke belakang, ke bagian belakang kampung dimana terdapat semacam batu besar dengan kursi-kursi batu melingkarinya. Agak mirip dengan Batu Parsidangan, tapi disinilah tempat tawanan dieksekusi. Proses penentuan hukuman mati ini juga bukan proses sembarangan loch. Ada ketentuannya bagaimana seorang penjahat sampai dikenakan hukuman mati. Biasanya, tawanan yang sampai dikenakan hukuman mati adalah mereka yang memiliki ilmu gaib luar biasa atau penjahat yang sangat meresahkan masyarakat.
Pada saat pengeksekusian, sang tawanan akan dibawa oleh algojo ke batu pengeksekusian. Awalnya, sang tawanan konon dipersilahkan untuk makan yang enak-enak, dan minum tuak. Tujuannya apa? Bukan sekedar permintaan terakhir sich hehehe namun agar ia menjadi mabuk dan tidak terlalu sadarkan diri. Setelah itu, kepala sang tawanan akan ditutup oleh kain Ulos. Nah, tawanan ini kan umumnya memiliki ilmu gaib yang kuat. Agar ilmu gaibnya bisa hilang sebelum ia dieksekusi, maka pertama-tama sang algojo akan memukul-mukul sang tawanan yang sudah direbahkan telentang di atas batu. Tujuannya, untuk menghilangkan ilmu gaib yang ada di tubuh tawanan tersebut. Setelah dipukul-pukul, kemudian algojo akan menggunakan pisau kecil untuk menyayat lengan sang tawanan kemudian meneteskan air perasan jaruk limau ke dalam sayatan tersebut. Duh, mikirinnya aja sudah bikin ngilu nggak sich? Nah, di kala tawanan tersebut menjerit-jerit kesakitan karena luka yang diberi limau tersebut, disanalah diartikan bahwa ilmu gaib orang tersebut sudah lenyap dan proses eksekusi bisa dilanjutkan. Konon, orang-orang batak jaman dahulu banyak yang kebal terhadap benda tajam loch. Ini berkaitan dengan ilmu gaib terutama ilmu hitam yang mereka kuasai.
Nah, setelah ilmu gaibnya dipastikan lenyap, sang algojo akan membuka kitab aksara Batak untuk kemudian mendaraskan mantra-mantra sebelum proses eksekusi dijalankan. Setelah selesai, inilah bagian yang paling mengerikan : tubuh sang tawanan dikuliti hidup hidup dan isinya dibiarkan terburai. Hiiiii. Nah, tawanan yang sudah setengah mati secara harafiah tersebut akhirnya dibawa ke batu dengan ceruk untuk menempatkan kepala. Dari posisi telentang dengan isi perut berhamburan, sang tawanan ditempatkan dalam posisi nungging dengan kepala berada di ceruk batu tersebut. Dinilah klimaks dari tugas seorang algojo berada. Kepala sang tawanan harus putus dalam sekali tebas. Nggak heran, pedang pemancung yang digunakan harus benar-benar tajam. Konon, katanya kalau sampai nggak putus, kepala sang algojolah yang akan menjadi taruhannya. Wih, tugas yang teramat berat yach? Nah, disinilah para tetua adat dan masyarakat yang menyaksikan akan beramai-ramai bersorak-sorak ketika kepala sang tawanan sudah lepas dari tubuhnya. Kepala tersebut akan diarak keliling kampung dan kemudian dimasak untuk disantap Raja Siallagan sementara bagian-bagian tubuhnya dibagikan kepada para penduduk untuk dikonsumsi. Pesta yang mengerikan yach? Konon, Raja Siallagan ini mendapat bagian jantungnya agar ilmu gaib yang masih tersisa di orang tersebut bisa diserap ke dalam tubuh raja. Makin saktilah Raja Siallagan yach? Nah, setelah memakan tubuh sang tawanan ini, Raja menggunakan darah orang tersebut sebagai minuman pencuci mulut. Mengerikan yach? Untung saja, tulang-tulangnya tidak ikut-ikutan sampai dikonsumsi melainkan dibuang ke Danau Toba (persis di belakang tempat eksekusi ini adalah Danau Toba). Kalau jaman dahulu sudah ada panci presto, mungkin akan muncul menu tawanan penyet atau tawanan tulang lunak kali yach? Hihihi.
Mungkin saja cerita saya yang terlalu bombastis dan terlalu menegangkan. Namun, aslinya, rekonstruksi peristiwa ini menyenangkan. Sang pemandu mampu melontarkan lelucon jenaka agar rekonstruksi yang diadakan tidak terlalu serius. Bahkan, ketika sang terdakwa yang seharusnya sudah mati tersebut kembali terhuyung-huyung bangun, sang pemandu menginstruksikan agar ia kembali di posisinya semula dengan adegan : mati. Hahahaha. Beruntungnya kami, kami terkena imbas dari rombongan turis yang memang meminta agar rekonstruksi penyembelihan dilakukan. Lumayan, tontonan menarik ini saya dapatkan dengan gratis. Salah seorang relawan yang bersedia menjadi contoh tawanan adalah salah seorang peserta tour yang tampaknya memang paling sering menjadi korban diantara teman-teman seperjalannya. Hehehe. Tidak lupa, kalau anda terkesan akan cerita ini dan Huta Siallagan, anda sangat dihimbau sekali untuk melakukan donasi agar Huta Siallagan ini tetap menarik dan hidup dari masa ke masa. Apresiasi itu penting loch agar sejarah tetap hidup.
Untungnya, ritual mengerikan semacam ini terjadi ratusan tahun yang lampau saat Raja Siallagan dan penduduk Ambarita masih menganut kepercayaan tradisional Batak, Pelebegu. Semenjak kedatangan Bangsa Eropa ke Indonesia, sudah beberapa kali pula ritual mengerikan ini dicoba untuk dihapus seiring dengan kristenisasi yang dilakukan oleh sejumlah misionarisnya. Sayang, proses kristenisasi yang terjadi tidak selalu mulus. Beberapa misionaris mendapat pertentangan dari masyarakat. Bahkan, sejumlah misionaris dilaporkan hilang saat menyebarkan agama kristen di wilayah Ambarita. Kemanakah mereka? Sudah jelas, mereka berakhir di batu pemancungan lantaran Raja Siallagan tidak percaya dengan ajaran kristen. Namun, tersebutlah seorang misionaris dari Jerman yang bernama Ingwer Ludwig Nommensen yang melakukan pendekatan dengan cara berbeda. Ia tidak melakukan proses kristenisasi dengan cara frontal. Terlebih dahulu, ia mempelajari Bahasa Batak dan Melayu. Nah, pendekatan yang dilakukan oleh Nommensen inilah rupanya pendekatan terbaik yang bisa diterima oleh warga Huta Siallagan di Ambarita. Segera, setelah kristen masuk ke dalam Ambarita, ritual penyembelihan ini dihapus sama sekali. Sekarang, Ambarita dan Huta Siallagan adalah desa wisata yang menyenangkan dengan sejarah menarik di masa lalu untuk dipelajari. Nah, sudah tertarikkah anda menyambangi Huta Siallagan?

Ambarita Yang Bersahaja

Berminat menyambangi Huta Siallagan di Ambarita? Memutuskan untuk berkunjung ke kampung ini demi menyaksikan sejarah yang berdarah-darah? Hihihi.
Dengan jarak sekitar 4 KM, Desa Ambarita nggak terlalu sukar dicapai ternyata. Menariknya lagi, Desa Ambarita terletak di jalur lintas utara perlintasan Tomok – Pangururan sehingga dilintasi kendaraan umum, dan tentunya mudah dicapai oleh kendaraan sewaan. Untuk mencapai Desa Ambarita, anda akan dijamu oleh pemandangan bukit-bukit cantik selepas Tomok dengan rumah-rumah yang jarang. Yang tersisa hanyalah sawah dan makam-makam yang tersebar di tepi jalan. Di salah satu tepi jalan, saya bahkan melihat tugu berbentuk pohon natal. Unik sekali. Jalan menuju Ambarita lurus tanpa ada belok-belok sama sekali. Sekali waktu, anda akan bertemu dengan plang besar bertuliskan “Selamat Datang Di Desa Ambarita”. Tak lama, jalanan mulai memadat dan bangunan muncul di kanan dan kiri jalan. Jalan utama ini juga berfungsi sebagai Pasar Ambarita. Nah, plang Batu Parsidangan ini terletak tidak jauh dari Pasar Ambarita ini. Dengan jalan kaki pun, Batu Parsidangan hanya berjarak 500 meter saja. Menariknya, jalan desa yang melintasi Batu Parsidangan dan Kampung Siallagan ini terhubung dengan Tuk-Tuk Siadong loch. Artinya, anda bisa saja memasuki Batu Parsidangan tanpa melintasi jalan lintas Samosir sama sekali dari arah Tuk-Tuk Siadong.
Di Desa Ambarita ini, ada satu kampung (huta) yang bernama Huta Siallagan. Sesuai dengan namanya, kampung ini dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Raja Siallagan. Sesuai dengan ciri khas masyarakat Batak kuno, kampung mereka umumnya dibatasi dengan tembok batu yang mengelilingi kampung. Tujuannya jelas, untuk melindungi kampung karena pada masa itu, antar kampung kerap berperang satu sama lain. Saya pernah mengunjungi Huta Siallagan ini pada tahun 2007 lampau dan saya menemukan tidak banyak perubahan berarti disini kecuali adanya tambahan hiasan janur yang mengelilingi tembok huta namun bukan permanen. Hmm...mungkin baru saja digelar perayaan kali yach? Monumen besar Paddiri Raja Siallagan dengan keturunannya pun masih berdiri tegak di tempat ini. Tugu ini terletak persis di depan huta.
Tulisan Huta Siallagan dengan ukiran gorga khas Batak menyambut anda di pintu gerbang Huta. Begitu masuk, anda akan segera disambut oleh seorang ibu penjaga loket tiket yang meminta anda untuk membayar retribusi seharga Rp. 2.000 per orang. Tidak lama, datanglah seorang pemandu wisata yang bisa membantu anda untuk mendalami cerita sejarah di Huta Siallagan ini. Pemandu tersebut akan membantu anda menjelaskan filosofi rumah adat Batak, kondisi bagian dalam rumah, Batu Parsidangan, dan sejarah serta keturunan Raja Siallagan. Kalau anda nggak berminat untuk menggunakan jasa pemandu wisata, dipersilahkan koq untuk menolak jasa mereka. Nah, Batu Parsidangan yang menjadi pusat dari Huta Siallagan ini persis berada di tengah-tengah kampung. Di sebelahnya, ada Pohon Hariara atau pohon hari ketujuh yang tumbuh besar dan melilit pelataran tempat kursi-kursi batu tersebut berada. Anda diharapkan tidak nekad untuk naik ke pelataran Batu Parsidangan tersebut karena dikhawatirkan situs bersejarah ini bisa rusak. Naik saja nggak boleh, apalagi didudukin! Biasa dech, namanya mau eksis, kadang-kadang pose foto tuh suka agak nyeleneh, termasuk duduk berpura-pura menjadi Raja Siallagan dan tetua adat pada jaman dahulu. Hehehehe. Adapun Pohon Hariara adalah pohon yang dianggap suci untuk masyarakat Batak Toba. Konon, sebelum didirikan sebuah kampung, pohon ini akan ditanam terlebih dahulu. Apabila pohon tersebut bertahan hidup dan berkembang selama 7 hari, maka daerah itu layak untuk didirikan sebuah kampung. Pohon Hariara ini selain berumur panjang, memiliki kelebihan tahan segala cuaca dan rindang sehingga sering dijadikan tempat berkumpul masyarakat, atau tempat mamele (pemujaan terhadap alam gaib).
Selain deretan Ruma dan Sopo Batak yang berjejer di kampung ini, Huta Siallagan memiliki makam-makam generasi berikutnya dari Raja Siallagan. Di bagian belakang kampung ini terdapat lokasi penyembelihan terdakwa atau penjahat masyarakat. Hingga kini, atraksi rekonstruksi ulang penyembelihan ini bisa disaksikan oleh wisatawan. Jangan kuatir, tempatnya nggak menyeramkan koq. Bahkan cenderung nyaman karena sudah ada deretan kursi panjang di tempat ini. Di bagian belakang tempat penyembelihan terdapat toko souvenir buat para wisatawan yang ingin berbelanja. Sayang, turis umumnya berkunjung hanya sejauh Tomok saja. Walaupun Ambarita masih memiliki frekuensi kunjungan yang tinggi oleh para wisatawan dibanding Simanindo di utara sana (sekitar 15 KM jauhnya), namun keramaian turis tidak terlalu tampak di tempat ini.
Objek wisata Batu Parsidangan mungkin adalah objek wisata yang paling terkenal se-Ambarita. Adapun objek wisata lainnya seperti Bukit Getsemani di Sanggam dan Pantai Ambarita mungkin tidak menerima kunjungan wisatawan sebanyak Batu Parsidangan ini. Walaupun tidak banyak objek wisata, namun Ambarita sendiri tetap memikat untuk dijelajahi. Desa ini masih memiliki peri kehidupan yang masih cukup tradisional walaupun sebagian penduduknya telah bekerja pada bidang pariwisata. Terbukti, sektor pertanian tetap mendapat perhatian khusus disini. Menarik sekali melihat sawah yang berpadu dengan pantai Danau Toba yang sudah mirip laut karena ombaknya. Ya, Ambarita memang terletak di tepi pantai Danau Toba. Namun, pada beberapa sisi desa, anda tidak akan merasakan pantai tersebut sama sekali. Ya, rasakanlah kebersahajaan Ambarita di tanah lapangnya, di pasarnya, di sekolah, dan di tempat-tempat warga berkumpul.

Monday, October 24, 2011

Sisa Praktik Kanibalisme Raja Siallagan

Pernah dengar sarkasme yang berbunyi “Orang Batak Suka Makan Orang”? “Hati-hati, ntar dimakan sama orang Batak lho” untuk menggambarkan Orang Batak tuh galak dan “sadis”. Seram yach? Walaupun sarkasme konotatif semacam ini sudah jarang terdengar lagi, tapi perkataan semacam ini pernah melekat dan menjadi stereotipe Bangsa Batak beberapa puluh tahun yang lalu. Kini, perkataan semacam ini sudah jarang terdengar lagi sich. Namun, pernyataan konotatif ini ternyata memiliki sejarah tersendiri loch. Konon, ungkapan ini berasal dari sebuah kampung Batak yang terletak di pedalaman Samosir. Di Kampung tersebut, memang pernah ada kisah makan-memakan manusia sehingga muncul stereotipe semacam ini di masyarakat. Untuk mencari tahu kisah tersebut, kita harus bergerak ke utara ke Huta Siallagan, Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Memasuki Huta Siallagan, ternyata tempat ini mirip dengan kampung Batak pada umumnya. Huta Siallagan ini terdiri atas deretan Ruma Bolon dan Sopo. Bagian ini cukup standard dan nggak ada yang terlalu istimewa sich. Tempat ini tidak ubahnya kampung Batak pada umumnya. Yang istimewa dan unik dari situs ini adalah adanya deretan bentuk batu-batu berbentuk kursi, tersusun melingkari meja batu di tengahnya yang tepat berada di tengah-tengah kampung. Kompleks batu-batu inilah yang disebut Batu Parsidangan karena fungsinya memang untuk menyidang (perhatikan betapa Bahasa Batak cukup dekat hubungannya dengan bahasa Indonesia). Kompleks Batu Parsidangan ini berada tepat di bawah satu pohon besar dengan akar melilit yang biasa dikenal sebagai Pohon Hariara (pohon hari ketujuh), pohon suci masyarakat Batak yang biasanya ditanam di kampung-kampung. Disinilah kisah stereotipe itu berasal. Dahulu, Raja Siallagan memang memiliki kebiasaan untuk mengadili penjahat di dalam masyarakat atau musuh politiknya di Batu Parsidangan ini. Sebelum disidangkan, tawanan tersebut biasanya dipasung di Ruma Raja Siallagan. Nah, Raja Siallagan akan menggunakan kalender Batak untuk mencari hari baik untuk menyidang sang tawanan dan mengeksekusinya. Proses menyidang tawanan atau penjahat ini akan dilakukan bersama dengan para tetua adat di Huta Siallagan pada masa itu. Apabila memang terbukti bersalah, terdakwa akan dibawa ke belakang kampung untuk dieksekusi, dibedah hidup-hidup, lalu kemudian dipancung. Selesai? Nggak juga, sebab potongan-potongan tubuhnya akan dibagikan untuk dimakan beramai-ramai dan Raja Siallagan tentu mendapat jantungnya. Darah sang terdakwa akan dijadikan minuman pencuci mulut. Tulang belulangnya akan dibuang ke Danau Toba. Agak menyeramkan dan nggak kebayang yach? Namun, justru dari kisah yang pernah terjadi ratusan tahun lampau inilah masyarakat Batak memperoleh stereotipe semacam itu. Untungnya, praktik kanibalisme ini sudah tidak dijalankan hingga saat ini. Walaupun mendapat kesulitan, terutama dengan sejumlah misionaris yang ditawan dan dipancung di Huta Siallagan ini, namun Bapak Ingwer Ludwig Nommensen, rasulnya Orang Batak berhasil mempelajari bahasa Batak untuk kemudian melakukan kristenisasi dan menghentikan praktik menyeramkan ini. Terbukti, setelah kedatangan Nommensen, Raja Siallagan yang sebelumnya menganut Pelebegu, mau masuk Kristen dan berjanji untuk tidak melanjutkan ritual kanibalisme lagi. Sekarang, Huta Siallagan di Desa Ambarita ini hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja untuk mengenang sejarah. Keturunan Raja Siallagan masih berdiam di seputaran Desa Ambarita ini. Beberapa makam keturunannya pun bisa ditemukan di tempat ini.Tertarik menyambangi Huta Siallagan ini?

Singgah Sejenak Di Makam Raja Matio Sidabutar Tomok

Inilah keuntungan dari menyewa motor selama berada di Samosir alih-alih menggunakan kendaraan umum. Kalau ada objek wisata yang “tidak disangka-sangka” di tengah jalan, saya bisa dengan mudah memutuskan untuk berhenti dan melihat-lihat. Rasanya, kemudahan ini nggak akan didapatkan dengan menaiki kendaraan umum dech. Apalagi, harus menyetop kendaraan yang melaju dengan cepat, lokasi sekitar nggak kelihatan dari dalam, dan harus membayar biaya angkot. Biaya angkotnya sich nggak seberapa. Untuk jarak dekat dari Tomok palingan biayanya Rp. 2.000 – Rp. 3.000 saja. Tapi males juga khan kalau setiap ketemu objek wisata yang unik harus berhenti dan membayar biaya angkot? Mendingan sewa motor kan? Capek sedikit karena mengendarai motor sich tapi terbayar dengan kemudahan berhenti di banyak tempat lho. Apalagi, sepanjang perjalanan di Samosir banyak sekali tugu-tugu makam yang unik. Kalau anda menyukai tugu-tugu unik dan bangunan ajaib, mungkin disinilah tempatnya.
Saya sebenarnya sudah melewati tempat ini di kala malam hari. Namun, karena tidak memiliki penerangan apapun, maka makam ini tidak terlihat sama sekali. Pada siang hari, barulah saya menyadari apa yang saya lewati ini. Ini adalah Makam Ompu Raja Matio Sidabutar. Tulisan di sebelah pintu gerbang adalah Tugu Omp. Raja Matio Sidabutar. N.M. Br. Harianja. dohot : Pinomparna. Mm...sebentar...Sidabutar lagi? Iya, tampaknya ini adalah makam lain dari Raja Sidabutar yang berkuasa di Tomok. Agak berbeda dengan Makam tua Raja Sidabutar yang berada di dekat Pasar Tomok, makam ini tidak terlalu ramai dikunjungi, malah tampaknya saya dan teman sayalah pengunjung satu-satunya pada hari itu! Ya, dengan posisinya yang berada di belokan di pertengahan antara Tomok dan Tuk-Tuk Siadong, rasanya makam ini akan dengan mudahnya terlewatkan. Seperti yang saya bilang tadi, kalau naik angkot, mungkin orang akan malas berhenti-berhenti kali yach? Pintu gerbang makam ini pun setengah tertutup. Saya jadi bertanya-tanya, apakah legal memasukinya? Teman saya tidak ikut masuk karena dia tidak menyukai makam yang benar-benar makam. Apalagi saat itu hanya kamilah pengunjung makam ini. Makin jiper lah dia. Hihihi.
Karena penasaran dan tanggung, akhirnya saya nekad memasuki kompleks makam yang tampaknya tua ini. Kondisi cat bangunan memang tampaknya telah termakan usia dan cuaca cukup banyak. Maklum lah, cat aslinya warnanya kan putih. Penapilan fisik makam ini adalah putih dengan bopeng dan keropeng disana-sini. Namun, benda tertua yang ada di kompleks ini bukanlah bangunan makam melainkan sebuah sarkofagus yang mirip bentuknya dengan sarkofagus di Makam Tua Raja Sidabutar di Pasar Tomok sebelumnya. Saya tidak menemukan referensi apapun mengenai Raja Matio Sidabutar di belantara internet sama sekali. Di kompleks ini pun, tidak ditemukan satu informasi apapun mengenai sejarah orang ini. Sayang sekali. Berhubung hanya satu makam yang resmi diakui dan dibuat plang resmi oleh dinas pariwisata daerah Sumatera Utara, maka saya berkesimpulan sendiri bahwa Raja Matio Sidabutar ini adalah keturunan dari Raja Asli Sidabutar yang pertama kali menjejakkan kaki di Tomok ini. Walaupun keturunan, namun bahan sarkofagus yang digunakan tampaknya sudah berbeda dengan Makam Tua Raja Sidabutar yang berada di Pasar Tomok (walaupun masih berupa makam batu tanpa sambungan dan tampaknya masih menganut Pelebegu). Alih-alih batuan andesit, makam ini terbuat dari batu yang lebih modern dengan warna coklat kekuningan. Bagian yang tampaknya termakan jamur hanyalah bagian kepala sarkofagus yang diukir dengan bentuk muka, yang konon menyerupai sang almarhum yang dikuburkan di dalamnya. Sarkofagus ini berada di atas tanah, di bawah semacam bangunan tanpa dinding dengan atap khas Ruma Bolon Batak Toba. Bangunan ini sudah terbuat seutuhnya dari semen, penuh dengan hiasan cecak dan singa yang menyeringai menyeramkan di pojok-pojok bangunan. Nggak kebayang kalau malam-malam ada di makam ini. Hiii...
Nah, di sebelah bangunan bersarkofagus ini persis ada sebuah bangunan makam yang jauh lebih modern. Makam orang Batak modern biasa mengusung bentuk Ruma Bolon, baik yang kotak sederhana atau yang seperti ini, bertingkat. Dari kemegahan bangunannya, saya sich percaya, keluarga Raja Sidabutar dan keturunannya adalah orang terpandang di Tomok ini. Selayaknya makam, ada sejumlah lubang-lubang yang tampaknya tempat menguburkan jasad mereka yang telah tiada. Jujur saja, saya sich tidak tertarik sama sekali untuk melongok ke dalam lubang-lubang tersebut. Hihihihi. Nah, di depan lubang-lubang yang diberi teralis tersebut ada sejumlah salib yang diberi nama para almarhum. Menariknya, semua yang meninggal di makam ini adalah mereka yang meninggal di penghujung abad 20 hingga awal abad ke 21. Padahal Raja Sidabutar ini menginjak Tomok beratus-ratus tahun yang lalu loch. Artinya, kemungkinan besar yang dimakamkan di tempat ini adalah keturunannya yang kesekian. Dari empat mendiang yang disemayamkan di tempat ini, hanya dua yang masih menyandang boru Sidabutar. Lainnya, sudah menyandang boru Manik dan Naibaho. Salib-salib ini menunjukkan bahwa mendiang telah memeluk agama nasrani, apalagi dengan hiasan salib di pintu persemayaman jenazah. Di setiap salib ada tulisan Tubu, Dison Do Maradian, dan Monding yang masing-masing berarti “lahir”, “meninggal dalam damai(rest in peace)”, dan “meninggal”. Menariknya, bangunan ini memiliki 3 lantai. Entah apa yang merasuki saya tapi saya penasaran untuk naik ke puncak makam. Apalagi, makam ini memiliki akses tangga yang ternyata mudah didaki (mungkin untuk memudahkan peziarah kali yach?). Ya, pertama sich saya sempat ragu untuk naik. Naik nggak yach? Gimana kalau ada yang nggak-nggak di atas sana? Hihihi. Pikiran semacam itu berkecamuk di pikiran saya lantaran ketiadaan pengunjung makam tersebut. Teman saya bahkan tidak berani memasuki kompleks makam dan berjaga di luar saja. Artinya, hanya saya sendiri yang memasuki makam tersebut sendirian. Yah, akhirnya karena rasa penasaran jauh lebih dashyat daripada rasa takut, alhasil saya memberanikan diri untuk menaiki kompleks makam ini. Hohohoho.
Di atas sana, nggak ada yang aneh sih. Selain ada lubang-lubang untuk persemayaman terakhir jenazah, nggak ada hal aneh yang patut ditakuti. Yang paling menyeramkan selain lubang-lubang tersebut mungkin hanyalah arsitektur makam yang penuh dengan ukiran Batak yang berwajah sangat ekspresif dan enigmatik. Secara mengejutkan pula, kondisi lantai atas makam cukup bersih dan tidak ada penumpukan sarang hewan secara berlebihan. Mungkinkah karena makam ini sering diziarahi sehingga cukup rutin dibersihkan? Padahal, ekspektasi saya adalah terdapat sejumlah sarang laba-laba besar yang cukup menakutkan. Nah, di lantai dua ini, saya tiba-tiba ragu kembali untuk naik ke puncak tertinggi. Namun, karena sudah kepalang tanggung, saya memaksakan diri untuk menaiki makam hingga ke lantai tertinggi. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya menyapa teman saya yang berjaga di jalan raya untuk memastikan bahwa saya baik-baik saja. Hehehe. Di puncak tertinggi, tidak ada sesuatu yang mengesankan selain pemandangan Tomok dari ketinggian. Mungkin makam ini adalah salah satu dari bangunan Tomok yang bisa melihat Tomok dari ketinggian. Dari kejauhan pun, Kota Parapat dan resort-resortnya cukup tampak jelas terlihat. Hehehe. Fakta ada sebuah lubang lain di bagian puncak makam dan bentuk atap Ruma Bolon yang berukir unik dan eksotis pun tidak mampu mengalihkan pemandangan cantik tersebut dari tempat ini. Saya kembali melambai-lambaikan tangan kepada teman saya untuk memberitahukan bahwa saya baik-baik saja. Hehehe.
Secara keseluruhan, makam Raja Matio Sidabutar ini terawat dengan rapih dan tergolong cukup baru. Untuk makam baru, semua lantainya tertutup dengan keramik loch, bukan sekedar semen saja. Kesan tidak rapih baru terasa di halaman kompleks makam yang didominasi oleh rerumputan besar dan panjang yang tidak terurus. Padahal saya telah berkeliling bolak-balik, naik-turun makam namun tiada seorang pun penjaga atau petugas yang mendatangi saya atau seorang pun yang sekiranya berjaga di tempat ini. Hihihi. Saya sich nggak yakin-yakin banget bahwa ini adalah objek wisata untuk umum. Namun, menilik dari kondisi pintu gerbang yang setengah tertutup (atau terbuka?), nggak salah donk saya mengasumsikan bahwa masuk makam ini adalah hal yang diijinkan? Kalau anda berjalan dari Tomok menuju Tuk-Tuk Siadong, coba dech perhatikan posisi makam ini yang berada tidak jauh dari Makam Tua Raja Sidabutar yang sebenarnya. Posisi makam ini bahkan berada tepat di pinggir jalan sehingga yang naik angkutan umum pun pasti bisa melihat dengan jelas.

Sunday, October 23, 2011

Melongok Makam Raja Sidabutar, Sang Penguasa Tomok

Di Tano Batak, melihat makam dimana-mana adalah hal yang lumrah. Makam-makam tersebut pun terkadang bukan sekedar sebuah pusara dengan batu nisan saja, namun cukup eksotis hingga berupa tugu, rumah adat, hingga bangunan unik. Kalau anda turun dan hanya bermain di Medan, anda nggak akan melihat makam-makam ini. Namun, begitu memasuki wilayah masyarakat Batak, misalnya anda masuk dari Sibolangit, Deli Serdang atau Pematang Siantar wilayah Simalungun, mata anda mau tidak mau akan mulai terpincut satu dua kali untuk melihat bangunan tidak biasa yang berada di tepi jalan, di sebelah rumah, di pekarangan, dan di tengah sawah. Semakin mendekati wilayah Samosir, terutama di Pulau Samosir atau di Toba Samosir, konsentrasi makam-makam itu akan semakin banyak dan menarik mata. Nggak jarang, makam bahkan bisa menjadi objek wisata yang menarik lantaran bentuk fisik bangunannya yang memikat.
Di Desa Tomok, ada satu kuburan yang terkenal yang sudah biasa banget jadi objek wisata. Kuburan ini adalah Makam Raja Sidabutar, Raja penguasa Tomok. Walaupun bergelar raja, namun kekuasaannya tidaklah mutlak dan absolut yach. Raja disini bisa disamakan dengan kepala desa yang juga berfungsi sebagai kepala adat. Agak susah menemukan kisah Raja Sidabutar ini di belantara internet, namun kalau anda tertarik akan kisahnya, anda bisa minta dipandu oleh pemandu wisata yang biasanya akan menawarakan diri begitu anda tiba di kompleks Makam Raja Sidabutar ini. Penjelasan singkat yang bisa anda temukan di internet adalah Raja Sidabutar adalah orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Tomok. Hmmm... berarti sebelum sampai di Tomok, Raja Sidabutar ini sudah melalui Onan Runggu atau Simanindo donk? Logikanya begitu nggak sich? Kan Orang Batak Toba aslinya berasal dari Gunung Pusuk Buhit, wilayah Sianjur Mula-Mula di barat Samosir, khan? Disebut-sebut pula, Raja Sidabutar yang pertama masih menganut Malim, agama tradisional masyarakat Batak yang kini masih dianut oleh sejumlah kalangan di Tano batak ini dengan pusatnya di Laguboti, Toba Samosir. Hmmm...kalau peristiwa ini sudah lama sekali, mungkin maksudnya bukan Malim tapi Pelebegu kali yach? Karena dikisahkan bahwa ini adalah agama tradisional orang Batak sebelum Kristenisasi terjadi. Mau tahu yang mana makamnya? Lihat saja makam yang masih berupa sarkofagus, biasanya terbuat dari batu utuh tanpa sambungan dan memiliki ukir-ukiran pada tutupnya. Makam Raja Sidabutar adalah makam terbesar yang ada di kompleks ini, lengkap dengan ukiran dan bukan yang berbentuk Ruma Bolon. Mengagumkan yach membayangkan orang jaman dahulu mampu mengukir batu sebesar itu menjadi makam, lengkap dengan ukiran yang konon katanya ukirannya ini mengikuti wajah sang almarhum. Semakin modern makam, anda akan melihat bentuknya lebih sederhana dan memiliki tanda salib apabila telah memeluk agama Nasrani. Makam yang lebih berusia tua biasanya terbuat dari bebatuan, mirip dengan batuan andesit pada lahan vulkanis. Selain Raja Sidabutar dan keturunannya, konon disini juga disemayamkan salah seorang ajudan setia sang Raja yang berasal dari Aceh loch.
Kompleks makam ini tertata dengan rapih, bahkan memiliki semacam tangga masuk dan beranda untuk menerima tamu. Warna merah, hitam dan putih mewarnai hampir seluruh bagian dari kompleks makam, mulai dari warna ukir-ukiran hingga kain yang menutupi bagian atas makam-makam ini. Ya, ketiga warna ini adalah warna suci masyarakat Batak. Unik dan serunya, setiap wisatawan yang hendak memasuki kompleks makam ini diwajibkan untuk mengenakan Ulos baik pria maupun wanita. Cara mengenakannya adalah dengan menyilangkannya di salah satu pundak dan dijuntaikan ke bawah. Agak berbeda dengan Uluwatu di Bali, celana yang memperlihatkan lutut wajib ditutup oleh kain ungu bertali kuning tersebut. Di Tomok, Ulos wajib dikenakan namun tidak ada batasan minimal untuk pakaian wisatawan. Yah, sesopannya saja lah. Nggak mungkin banget donk ke makam trus pakai bikini two pieces? Mau dagang? Hahahaha. Ulos-ulos ini dipinjamkan dengan gratis-tis-tis-tis. Akan sangat diharapkan bahwa anda menyewa pemandu untuk menceritakan sejarah Raja Sidabutar ini. Tempat untuk mendengarkan sejarah ini pun sudah tertata rapih dan berkanopi koq. Nyaman dan santai. Di pintu keluar (tepat di seberang pintu masuk), ada petugas yang bertugas mengumpulkan Ulos pinjaman sembari menghimbau agar para wisatawan mendonasikan beberapa untuk kelestarian dan perawatan Makam Raja Sidabutar ini. Oh ya, di tengah kompleks ada pohon besar yang sudah ditebang dan hanya tinggal pangkalnya saja. Tahun 2007 saat saya berkunjung ke kompleks makam ini, pohon tersebut sudah seperti itu. Dilihat dari diameternya, mungkin ini bekas Pohon Hariara kali yach? Pohon Hariara (beringin) itu pohon suci masyarakat Batak yang biasanya ditanam di tengah-tengah Huta (kampung). Kompleks makam yang tidak begitu luas ini pun dapat dengan mudah anda selesaikan sebelum berkunjung ke lokasi wisata berikutnya.

Thursday, October 20, 2011

Museum Batak Tak Bertuan Di Desa Tomok

Sumatera Utara adalah salah satu negeri dengan koleksi museum kebudayaan terbanyak di Indonesia. Gimana nggak mau banyak coba, untuk museum berkategori “Batak” sendiri saja ada beberapa dan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Sumatera Utara ini. Sebut saja, Museum Batak Tomok, Museum Batak Tuk-Tuk Siadong, Museum Batak Huta Bolon Simanindo, T.B. Silalahi Center, Museum Simalungun, Museum Karo Lingga, Balai Budaya Batak Arjuna (koq namanya Arjuna sich?) dan Museum Rumah Bolon Pematang Purba. Ini sendiri masih di luar Museum Negeri Sumatera Utara yang memiliki koleksi kebudayaan Nias dan Melayu, serta Museum Pusaka Nias yang terletak di seberang lautan sana. Buat penjelajah dan penikmat kebudayaan Batak, rasanya kurang banget yach kalau berkunjung ke Tano Batak tapi nggak mencoba setidaknya satu museum kebudayaan Batak yang ada disini. Salah satu yang bisa dikatakan boleh (dan wajib) kunjung adalah Museum Batak yang terletak di Desa Tomok.
Di Desa Tomok, sebenarnya ada tiga objek wisata yang wajib kunjung, terutama buat para turis yang waktunya sempit dan terburu-buru. Secara berurutan dari belakang Pasar Tomok, mereka adalah Museum Batak, Makam Raja Sidabutar, dan Pertunjukkan Patung Sigale-Gale. Nah, biar nggak terlewat, sebaiknya kunjungi Museum Batak dahulu baru ke depan ke arah jalan raya. Tadinya saya mau berjalan dengan rute ini. Namun, karena terpesona oleh musik Batak yang mengalun di pertunjukkan Sigale-Gale, saya kepincut dan bergerak ke depan dulu dech. Hahaha.
Tahun 2007, saya melewatkan Museum Batak Tomok ini karena keterbatasan waktu dan lebih memilih untuk ke utara, ke Ambarita. Namun, disinilah saya sekarang, berkunjung ke Museum Batak Tomok. Museum ini terletak di ujung perlintasan Pasar Tomok ke arah dalam Makam Sidabutar. Siapkan senyum dan tolakan kalau anda nggak berminat membeli sesuatu. Hehehe. Niscaya, dijamin anda akan terus menerus diberondong oleh penawaran oleh-oleh sepanjang jalan kenangan ini. Hahaha. Museum ini merupakan bentuk utuh dari sebuah Ruma Bolon, bukan Sopo seperti yang tampak pada lokasi pertunjukkan Sigale-Gale yach. Bedanya? Ruma adalah untuk tempat tinggal, namun Sopo biasa dipergunakan sebagai balai pertemuan atau gedung serbaguna. Dari segi fisik, keduanya tidak begitu berbeda namun pintu masuk Ruma biasanya tertutup celah bangunan sementara pintu masuk Sopo lebih terlihat jelas dari luar. Di depan Ruma Bolon yang besar ini, ada empat buah gazebo yang lengkap dengan tempat duduk yang terbuat dari batu. Di sisi seberangnya, ada miniatur Batu Parsidangan yang terbuat dari batuan andesit, tanpa kursi, dengan batu pemancungan dan kepala sang terdakwa yang dihukum pancung di atas meja. Untung saja, semua itu terbuat dari batu dan tidak asli, hanya diorama saja. Yang aslinya ada di Ambarita, Desa Siallagan sana.
Ruma Bolon ini berukuran besar, lengkap dengan gorga dan ornamen khas Batak seperti empat payudara, cicak (atau tokek?) dan ornamen singa pada setiap ujung sudut gorga. Sayang, ini sudah bukan Ruma Bolon yang benar-benar asli sebab bagian bawahnya sudah berupa semen dan di sisi bangunan ada sayap yang merupakan bangunan tambahan. Walaupun dalamnya masih asli kayu, namun banyak bagian dari ruma ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Mungkin untuk mengantisipasi dari terpaan cuaca dan kerusakan kali yach? Makanya seiring perjalanan, renovasi dan “modernisasi” terus dilakukan. Buat yang penasaran seperti apa sich interior sebuah Ruma Bolon itu, kenapa nggak mencoba saja masuk ke dalam museum ini?
Hal pertama yang mengejutkan adalah, Museum Batak Tomok ini tidak membebankan tiket masuk sama sekali. Malah, tidak tampak ada batang hidung penjaganya sama sekali. Nggak takut koleksinya akan hilang dicuri kah? Atau sudah ada mistis dan magis tertentu agar benda-benda ini tidak dapat dicuri? Hihihi. Saya tidak tahu, namun yang jelas, pada saat kunjungan, saya hanya menemukan sebuah buku tamu dan kotak sumbangan sukarela bagi setiap pengunjung yang datang. Di depan saya ada sepasang turis lokal yang sedang mengenakan pakaian adat Batak Toba dan difoto oleh seseorang yang nampaknya pemandu wisata mereka. Tak lama, mereka menanggalkan pakaian adat tersebut yang ternyata berasal dari museum ini dan pergi keluar. Akhirnya, hanya tinggal kami saja di ruangan museum yang tidak terlalu lebar tersebut. Kalau sendirian, ruangan yang remang-remang tersebut mungkin agak terasa menyeramkan. Terutama dengan pencahayaan seadanya dan koleksi-koleksi yang sangat eksotis tersebut. Untungnya, saya berdua dengan teman saya. Saya jadi punya kesempatan untuk melihat ini itu dan bahkan, mencoba berpose dengan pakaian adat Batak Toba yang tersedia! Hore!
Jangan dibayangkan bahwa Museum Batak Tomok ini benar-benar merupakan museum yang lengkap dengan penjelasan dan koleksinya bervariasi yah. Jauh panggang dari api, koleksi yang ada di museum ini bisa dikatakan menyedihkan. Selain ditata dengan sembarangan di atas meja particleboard (kayaknya merek olymp*c dech), setiap benda koleksi yang dipajang hampir tidak memiliki keterangan apapun yang memuaskan. Jangankan keterangan, nama benda tersebut pun tidak disebutkan sama sekali. Sejumlah benda seperti topeng-topeng yang banyak dipergunakan dalam ritual Batak Toba, hingga gerabah, peralatan rumah tangga dari batu, tungkot, dan patung-patung dari batuan andesit tampak memenuhi sebagian besar koleksi Museum Batak Tomok ini. Di bagian depan, terdapat untaian beberapa kain Ulos. DI bagian tengah, ada sejumlah benda ukiran dan koleksi uang Rp. 1.000 tahun 1987 yang bergambar Sisingamangaraja XII dan uang Rp. 1.000 tahun 1992 yang bergambar Danau Toba serta di baliknya ada Lompat Batu Pulau Nias yang bersetting di Bawomataluo, Nias Selatan.
Di bagian sayap kanan bangunan, ada tambahan yang tampaknya difungsikan sebagai lokasi penjualan cenderamata khas Batak Toba. Lagi-lagi, koleksi cenderamata ini nggak ada yang menjaga sama sekali. Padahal, kalau dilihat dari bentuknya, saya jauh lebih tergiur dengan cenderamata karena warnanya terang serta dipelitur dengan halus untuk beberapa benda. Benda-benda di bagian cenderamata ini cenderung lebih rapih, lebih teroganisir, walaupun tidak ada keterangan sama sekali juga. Benda-benda yang dipajang disini sebagian besar adalah patung-patung Batak. Namun anda juga bisa menemukan aksara Batak, kalender Batak, tungkot, dan ukir-ukiran kreatif. Etalase tempat memajang benda-benda ini pun tetap unik : meja belajar (entah, kayaknya memang merek Olymp*c dech) yang terbuat dari particle board. Hihihihi. Saya sengaja agak lamaan berdiam di bagian ini, termasuk megang-megang benda jualan, ketawa-ketiwi, dan berpose sambil memegang barang jualan, kali-kali yang punya akan datang. Sayang, itu nggak terwujud. Sampai saya sudah bosan di dalam museum pun, kurator, penjaga keamanan, atau bagian tiketing dan panjual souvenir pun tidak ada yang datang. Hmm...benar-benar museum yang sangat percaya sekali terhadap turis yang berkunjung yach? Atau, apakah mereka berpikir nggak bakalan ada turis yang akan membeli souvenir di museum ini lantaran sudah tersaring oleh para penjual yang berderet di sepanjang jalan? Bisa jadi...
Usai berkunjung, jangan lupa untuk membubuhkan nama anda pada buku tamu sebagai tanda bahwa anda pernah berkunjung ke tempat ini. Jangan lupa, berikan sedikit donasi untuk membantu biaya perawatan museum ini. Nah, kalau cape, duduklah dahulu di gazebo-gazebo yang berderet tepat di depan museum ini sambil menikmati semilir angin (kalau ada minuman dingin sich lebih pas lagi). Ada seekor monyet yang dirantai di depan gazebo ini yang tampaknya dimiliki oleh orang yang menjaga Museum Batak Tomok ini. Sembari saya menunggu dan memfoto sang monyet dalam berbagai pose pun, orang yang seharusnya berkepentingan dan bertanggung jawab untuk Museum Batak Tomok ini tidak tampak sama sekali. Hmm... saya jadi bingung. Museum ini bertuan apa nggak sich?

Wednesday, October 19, 2011

Anak-Anak Tomok, Simanindo, Samosir

Sambil menyaksikan Sigale-gale dan serombongan turis yang manortor, saya tidak dapat menyembunyikan ketertarikan saya kepada anak-anak yang bermain-main di kompleks wisata ini. Jelas, mereka adalah anak-anak penduduk lokal yang tinggal di sekitar Desa Tomok ini. Mereka tampak tidak terlalu terganggu dan tidak terlalu menghiraukan kerumunan turis yang sedang manortor dan tetap asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Satu dari anak tersebut bahkan ada yang menangis dan tampak sedang berusaha didiamkan oleh kakaknya. Mereka bermain berkeliaran di antara Sopo namun tertarik juga ketika saya mencoba memotret beberapa diantara mereka. Yang menarik, walaupun mereka tinggal di Desa Tomok yang menurut saya sangat turistik, tapi mereka tampak penasaran sekali dengan kamera yang saya pegang. Saya meminta mereka berpose beberapa gaya khas anak-anak dan ternyata mereka gemar berpose! Beberapa kali saya tunjukkan hasil jepretan saya dan mereka tertawa riang gembira sambil menunjuk-nunjuk seakan ingin menegaskan bahwa itulah mereka. Sayangnya, saya nggak begitu mengerti akan kata-kata yang mereka ucapkan. Mungkin mereka memang dibesarkan dalam lingkungan yang bahasa Batak Tobanya cukup kental kali yach? Yang jelas, anak-anak ini menyenangkan. Mereka mudah akrab dengan saya. Pada saat akan berpisah pun saya melambaikan tangan dan mereka melambaikan tangannya balik kepada kami. Anak-anak yang lucu.

Tuesday, October 18, 2011

Manortor Bersama Sigale-Gale

Salah satu kekhasan budaya Batak Toba yang unik dan tiada duanya serta fenomenal mungkin Patung Sigale-Gale. Ya jelas saja unik, kisah ini nggak akan anda temukan di luar dari lingkup Danau Toba, kecuali memang dibawa untuk pertunjukkan hingga melanglang buana. Saya pernah menuliskan kisah singkatnya di blog ini medio 2007. Sejarah lengkap dari terciptanya kisah Sigale-Gale ini pun bisa dibaca disini. Namun, semakin mencari informasi mengenai Sigale-Gale ini, semakin menarik juga mengetahui fakta dan cerita yang ada di belakangnya. Termasuk fakta bahwa dahulunya patung berukuran satu setengah meter yang dipakaikan baju dan didandani selayaknya laki-laki Batak Toba ini digerakkan dengan kekuatan mistis, bukan mekanis seperti yang kita kenal sekarang.
Alkisah ada seorang Raja yang kaya dan berkuasa bernama Tuan Rahat. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat disayanginya, Manggale namanya. Suatu ketika, ketika terjadi perang, sang Raja turut mengirim anaknya untuk ikut berperang melawan musuh. Sayang, takdir berbicara lain, anak laki-laki yang disayanginya tersebut tewas dalam peperangan. Perasaan terlalu sayang dan kangen anak semata wayangnya ini membuat sang Raja menjadi sangat sedih. Alhasil, sang Raja pun jatuh sakit. Dalam proses penyembuhannya, seluruh tabib di penjuru kerajaan dipanggil untuk menyembuhkan sang Raja. Seorang tabib mengatakan bahwa sang Raja sakit rindu. Oleh karena itu, ia meminta kepada penasehat kerajaan untuk memahat sebuah kayu yang menyerupai wajah Manggale. Namun sang Raja berpesan agar patung tersebut ditempatkan saja agak jauh dari rumah, yakni di Sopo Balian (rumah-rumahan yang berada di tengah sawah). Pada saat upacara kematian, patung tersebut dijemput untuk menari di samping jenazah Manggale. Dalam upacara kematian Manggale, sang tabib memanggil roh Manggale dan dimasukkan ke dalam boneka yang dipahat menyerupai wajah Manggale tersebut. Demikianlah boneka kayu yang dipahat dari pohon nangka tersebut manortor selama 7 hari 7 malam dengan iringan musik Batak Toba yakni Sordam dan Gondang Sabangunan.
Ada banyak tempat untuk menyaksikan pertunjukkan Patung Sigale-Gale di seputaran Danau Toba. Salah satu yang paling terkenal tentu saja yang berada di Desa Tomok, persis di sebelah makam Raja Sidabutar. Sepanjang perjalanan saya menjelajahi wilayah Danau Toba, sedikitnya saya menemukan tujuh buah Patung Sigale-Gale yang tersebar dengan konsentrasi utama tentu di Pulau Samosir. Lainnya, saya mendapatkan patung Sigale-Gale ini di Desa Simanindo, Desa Pagarbatu (Balige), sebuah toko souvenir di Tuk-Tuk Siadong, dan untuk pementasan di Bagus Bay Tuk-Tuk Siadong. Di Tomok sendiri ada dua buah patung Sigale-Gale yang berada lebih dekat ke jalan raya dan bukan berada di area inti pertunjukkan Patung Sigale-Gale. Patung-patung Sigale-gale ini memang tidak ada yang berwajah sama. Bahkan, Patung Sigale-Gale di Simanindo terdiri atas dua patung dalam satu keranda peti mati. Uniknya, Sigale-Gale kedua berukuran lebih kecil dan tampaknya merupakan representasi dari seorang wanita (terlihat dari ikat kepala yang dikenakannya). Konon, katanya patung-patung ini merupakan perwujudan untuk mengenang kembali orang yang telah tiada. Maka dari itu, wajah Sigale-gale dibuat menyerupai orang yang ingin kita kenang tersebut. Lebih dari pada itu, ada kepercayaan di masyarakat bahwa orang yang siap memahat Sigale-Gale sudah harus siap untuk menyerahkan nyawanya agar tarian Sigale-Gale Nampak hidup dan nyata. Seram yach? Hiiiii... Konon, apabila ada seseorang yang memahat patung Sigale-Gale, maka ia akan segera meninggal. Dari sebab inilah maka Patung Sigale-Gale tidak pernah dibuat banyak-banyak. Berangkat dari kejadian-kejadian ini, proses pembuatan Sigale-Gale tidak pernah dikerjakan oleh satu orang, termasuk untuk peti mati yang penuh ukiran dan tali-tali mekanik penarik gerakan Sigale-Gale ini.
Yuk, mari kita tengok seseram apakah pertunjukkan Sigale-Gale yang berlangsung di Desa Tomok ini! Pertunjukkan Sigale-Gale dapat diselenggarakan dengan biaya hanya Rp. 80.000 saja lho! Biaya ini dibebankan per pertunjukkan. Jadi, kalau anda bepergian rame-rame,ini sangat menguntungkan! Belum lagi ada Ulos yang dipinjamkan secara gratis. Hehehe. Biaya ini nggak begitu tergerus inflasi yach mengingat empat tahun lalu biaya yang diperlukan hanya Rp. 60.000 saja. Namun, saya mendapat keberuntungan pada pagi itu. Ketika saya datang, musik khas Batak berkumandang di wilayah pertunjukkan. Oho, ternyata sedang ada pertunjukkan Sigale-Gale dihelat dan sedang ada rombongan turis lokal yang sedang mengikuti acara ini. Asyik! Sebelum memulai, Pemandu wisata sekaligus sebagai pemimpin pertunjukkan ini menceritakan kisah Sigale-Gale. Kemudian, ia membagikan Ulos dan mengajak seluruh peserta untuk manortor mengikuti gerakan yang ia contohkan. Gerakannya sederhana, hampir berupa melebarkan telapak tangan di samping tubuh atau di depan dada sambil menari mengikuti irama. Sayangnya, musik yang dimainkan hanyalah musik rekaman saja. Sayang sekali. Saya berharap ada orkestra Batak lengkap dengan Gondang-Gondang khas Batak itu.
Menarik sekali melihat rombongan ibu dan bapak tersebut manortor. Beberapa diantara mereka ada yang cuek dan keluar dari barisan, membentuk grup sendiri untuk kemudian eksis-eksisan berfoto sendiri. Hahaha. Teuteup yach…. Di belakang mereka, disanalah Sigale-Gale bergerak secara ganjil yang membuat suasana agak magis. Saya melihat Patung Sigale-Gale tersebut mengkerut, kemudian bergetar, kemudian tangannya memuntir, memelintir, kemudian sambil manortor dan telapak tangan di arahkan ke depan. Indah dan sekaligus mistis ketika Sigale-Gale tersebut manortor sambil mengikuti irama musik Batak. Namun, kemagisan tersebut sirna lantaran saya bergerak ke samping dan menjumpai seorang dalang yang sedang menarik tali-temali mekanik penggerak Sigale-Gale. Pertunjukkan Sigale-Gale ini dilakukan dalam beberapa repertoar. Setiap perpindahan lagu, sang pemandu wisata akan berhenti dan menjelaskan ritual yang harus dilakukan dan maknanya. Di ujung pertunjukkan, semua peserta dipersilahkan untuk menyawer Sigale-Gale. Menarik sekali melihat tangan Sigale-Gale yang menari tersebut penuh dengan lembaran uang, mulai dari Rp. 5.000 hingga Rp. 10.000. Wuih...panen dech. Hehehe. Saya sich nggak ikutan manortor karena saya bukan dari grup tersebut dan saya nggak bayar Rp. 80.000. Hehehe. Saya Cuma jadi pengamat dan fotografer saja di pinggir. Lumayan, walau gratis, tapi bisa melihat pertunjukkan Sigale-Gale di pagi ini. Sebenarnya sich aneh juga kali yach kalau rombongan yang berjumlah dua orang saja mau manortor bersama Sigale-Gale ini. Entah kenapa, pertunjukkan ini rasanya baru seru dilakukan dengan rombongan orang yang banyak. Yah, terlepas dari magisnya cerita di belakang Sigale-Gale ini atau serunya manortor bersama Sigale-Gale, saya sendiri tidak terlalu menyukai ekspresi Sigale-Gale ini. Ada rasa seram yang timbul ketika saya memandangi wajah Sigale-Gale ini lama-lama. Mungkin memang mistisnya Sigale-Gale ini memang benar adanya yach. Menurut anda bagaimana?