Sungguh, siksaan 4 jam tersebut bermula dari sini. Pernah terbayang situasi yang sangat tidak menyenangkan sehingga kita gak mau mengalaminya untuk kedua kalinya? Naik bus jurusan Kalideres-Labuan via Serang mungkin adalah salah satu persitiwa tersebut.
Siksaan tersebut bermula ketika saya mencari bus tujuan Labuan di bagian belakang terminal Kalideres. Tiba-tiba seorang yang tampaknya bertitel kenek alias kenek preman menanyakan jurusan saya. "mau ke Labuan kan Mas?". Saya yang masih buta Kalideres langsung mengiyakan saja pertanyaan tersebut. Segera, ia menarik saya menuju bus yang agak di tengah, bukan di deretan terdepan bus bus yang akan berangkat. Sempat terpikir oleh saya untuk meloloskan diri dengan bertanya "saya mau cari yang AC". Wah, langsung ditangkis oleh mereka dengan "wah, Labuan gak ada yang AC mas!". Ya sudah, daripada berpusing-pusing ria, langsung saja saya naik bus ini. Dan siksaan bermula....
Seperti dugaan anda semua, bus ini TIDAK LANGSUNG JALAN. Ia mengantri terlebih dahulu agar bus bus di depannya berjalan baru perlahan lahan bus KOSONG yang saya tumpangi maju ke depan. Kurang lebih membutuhkan waktu satu jam setengah baru bus saya sampai ke barisan paling depan dan sekitar 15 menit lagi untuk ia melaju (akhirnya!). Sayangnya, siksaan belum berakhir. Bus tersebut berhenti dahulu di tengah terminal, mencari penumpang lagi sekitar 10 menit, berhenti di depan terminal, saya dimintai uang jasa terminal sebesar Rp. 500, berhenti lagi di halte depan terminal untuk menarik penumpang, dan berhenti berhenti lagi di banyak tempat guna menarik penumpang.
Sungguh, sangat menyebalkan karena meskipun bus tersebut sudah setengah terisi, mereka tetap saja terus menerus berhenti di tempat tempat manapun untuk mengambil penumpang. Yang menyebalkan bukan hanya itu, selama berada di dalam terminal, mengantri, ataupun berjalan, para pedagang asongan, makanan siap saji, kurma, minuman, tisu, mainan, elektronik, kopiah, buku-buku, pengamen, pengamen kasar, peminta sumbangan, majalah dan koran hingga pedagang buah-buahan dan donat masuk memberikan penawaran mereka. Mereka keluar masuk tanpa henti selama bus melaju di jalan raya, membuat geram karena suasana menjadi tidak menyenangkan selama mereka berada di dalam bus. Kehadiran mereka yang sangat mengganggu tersebut juga berkaitan dengan aksi mereka yang memaksa sehingga kita harus menggunakan sedikit urat untuk menyingkirkan mereka dari pandangan.
Siksaan bertambah lagi sesampainya di Terminal Poris Plawad, terminal kedua setelah Kalideres. SIksaan baru berhenti setelah bus hampir akan mencapai jalan tol. Bahkan sebelum masuk tol pun, ada pengamen yang meluncurkan aksinya. Sungguh menyebalkan. Untungnya, perjalanan selama kurang lebih dua jam di jalan tol cukup mulus walaupun di beberapa bagian jalan berlubang-lubang sehingga bus yang saya naiki melonjak lonjak. Akhirnya, setelah suasana tenang didapatkan, tibalah siksaan jilid 2 ketika bus harus keluar di Pintu Tol Serang Timur. Perlahan, bus kota melambatkan kecepatannya dan bergerak menuju terminal Serang. Disinilah siksaan versi dua berlanjut. Hampir serupa dengan apa yang terjadi di Kalideres, namun berhubung saya sudah mendengar ocehan serupa selama beberapa lama waktu sebelumnya, maka tingkat toleransi saya sudah jauh berkurang dibanding sebelumnya. Jumlah yang masuk ke bus menggila dan bahkan ditambahi dengan para peminta sumbangan yang tidak habis-habisnya keluar masuk bus. Maaf, saya bukan anti sumbangan, tapi saya mau berlibur, saya tidak berniat merusak mood berlibur saya dengan ocehan ocehan tersebut. Sempat bus berhenti di terminal Serang cukup lama sampai akhirnya datang bus penyelamat jurusan Labuan yang menyundul bus saya sehingga bus yang saya tumpangi pun maju dan berjalan kembali. Disinilah siksaan tanpa henti mendera bus ini. Sepanjang perjalanan dari Serang, Lebak, hingga Pandeglang dan Labuan kurang lebih dua jam lebih, saya terus menerus disuguhi oleh pedagang tanpa henti. Berhubung jalan yang saya lalui bukanlah jalan tol, namun jalan kabupaten (di kana kiri ditanami sawah dan kebun), maka para pedagang dan pengamen serta peminta sumbangan tersebut dapat leluasa masuk ke dalam bus dan menawarkan jasa mereka atau menunjukkan atraksi mereka. Sungguh, lelah sekali menghadapi mereka. Perjalanan yang menurut saya menyenangkan terutama karena alam Lebak dan Pandeglang yang cenderung berbukit bukit serta gunung, langsung amblas karena kedatangan pengganggu pengganggu tersebut. Beberapa penumpang lain bahkan sudah tidak berminat mengurusi mereka dengan tidak melihat sama sekali barang yang ditawarkan. Untungnya, sepanjang perjalanan saya beberapa kali menjumpai warga Pandeglang dan Lebak yang naik bus yang saya tumpangi. Mereka ramah dan baik serta informatif dengan memberitahu bahwa Labuan terletak di ujung dari rute ini dan masih jauh adanya. Syukurlah, begitu melewati daerah Cimanuk-Cipeucan, berangsur angsur penumpang semakin berkurang dan pedagang juga semakin berkurang. Alhasil pemandangan indah yang harusnya dapat saya nikmati di wilayah Saketi menjadi buyar dan tidak menarik lagi karena saya sudah letih mental oleh serbuan pedagang tersebut. Sisa perjalan yang masih sekitar sejam jauhnya menjadi siksaan juga bagi saya karena saya ingin agar segera sampai dan merefresh kembali energi. Upss...jangan senang dahulu...begitu sampai di pintu terminal Labuan, segera sekitar segerombolan orang menaiki bus dan mendekati penumpang penumpang yang tersisa. Mereka menawarkan jasa angkutan, baik angkot maupun angkutan sewa yang tentu saja mahal (mencapai ratusan ribu). Argghhh..letih sudah saya menerima tawaran mereka. Dengan sopan tetap saya katakan "Kang, maaf, saya sudah dijemput". Walaupun demikian itu tidak menyurutkan niat para penawar lain untuk menawarkan jasa mereka. Keterlaluan.
Untungnya, begitu menaiki angkot warna abu abu dari terminal ke Pasar Labuan, siksaan tersebut barulah secara resmi dapat dikatakan berhenti. Dengan membayar Rp. 3.000 maka saya berhenti di Pasar Labuan dan berganti angkot menuju Anyer untuk turun di Teluk Carita. Siksaan terakhir disini sebelum dapat bersenang senang adalah harus melewati Pasar Labuan yang sempit, amis, dan tentu saja membuat perjalanan menjadi semakin lama (kalau saya segar bugar dan masih full of energy, kunjungan ke pasar pasti akan menjadi sesuatu yang menarik!). Akhirnya, sekurangnya 20 menit kemudian, sampailah saya di Teluk carita dengan membayar Rp. 5.000. Selamat datang di Carita dengan kuyu dan lemas.
Untuk informasi saja, ada jalur kereta dari Jakarta menuju Pantai Barat Banten. Jalur kereta yang paling umum adalah Jakarta - Anyer dan Jakarta - Labuan. Sayang sekali, untuk yang mendambakan kenyamanan tampaknya kedua jalur ini bukanlah jalur yang dapat diandalkan. Kedua jalur ini dilayani dengan kereta jenis ekonomi. Apabila mau mencari angkutan umum, berharaplah hanya pada angkutan desa warna hitam yang melintasi Jalan Raya Anyer-Carita selama kurang lebih satu jam. Tidak ada bus sama sekali yang melintasi daerah ini selain bus carteran. Bus umum yang sampai di pantai barat hanya sejauh Cilegon di utara atau Labuan di tengah. Saya sarankan, ambillah Cilegon untuk mendapatkan kenyamanan dengan AC karena bus yang menuju Cilegon dari Jakarta kebanyakan ber AC. Bus dari Jakarta menuju Labuan tidak ada yang ber AC. Untuk harga Rp. 25.000, silahkan pikir-pikir terlebih dahulu untuk menuju carita dengan angkutan umum seperti itu. Sangat tidak disarankan kecuali anda kebanyakan energi dan ingin disalurkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
week end kemarin saya naik bis cikokol - labuan dan labuan - cikokol tarif nya sudah 30 hingga 35 ribu ...
ReplyDeletegile ya ..
wowww
ReplyDeleteda kualitas perjalannnya masih sama kah? :D
udah naek 40% gara gara resesi yah....ck ck ck....lo
emang bener gan .. terminal jakarta memang menyebalkan.. DISHUB dan Pemerintahan gak berkutik untuk mengatur.. saya aja sempat berpikir Jakarta Adalah ibu Kota Negara, Kalau Mengatur kenyamanan Ibu kota negara aja nggak becus .. apalagi ngatur seluruh negara.. sungguh Pegawainya cuma bisa makan Gaji Buta dan uang Renumerasi buta yang absensinya aja bisa di inject databasenya...
ReplyDelete