Banyak sekali keunikan perjalanan saya dari Kupang mencapai Kefa Menanu. Terburu-buru turun dan membayar ojek ketika bus Kupang – Atambua sudah bersiap berangkat. Express! Terpental di dalam bus di dalam hutan dengan jalan berkelok-kelok antara Camplong – So’E. Bus berhenti ketika pengemudinya dan sejumlah penumpang ingin buang air kecil. Ya, saya benar-benar berada di tengah-tengah hutan di Timor. Walaupun statusnya jalan negara, tapi disini benar-benar hutan. Nggak ada kendaraan lain di depan ataupun belakang. Bagaimana kalau malam hari yach? brrr...Kemudian saya juga melintasi jembatan terpanjang di Pulau Timor di Batu Putih. Masuk So’E dengan disambut dinginnya udara yang menerpa kulit. Melihat rumah tradisonal Timor yang atapnya menjuntai hingga kaki rumah. Dan terakhir, bersiap-siap mengeluarkan isi perut ketika sudah sampai Niki-Niki.
Dan, disanalah saya mengeluarkan isi perut. Tepat di samping bus yang diparkir di sebuah rumah makan Padang, saya terduduk lesu di atas sebuah batu. Gejolak perut yang sudah berlangsung dari So’E tadi tidak dapat ditahan lagi. Saya mengisi satu kantong penuh dan setelah itu, saya kembali merasa segar. (mudah-mudahan anda nggak sambil makan ketika membaca bagian ini yach...hehehe...maap maap aja nich).
Setelah cukup sadar dan mengambil udara segar, saya mengamati sekeliling. Bus diparkir di sebuah rumah makan. Beberapa laki-laki dari dalam bus turun dan merokok di sekitar bus sementara sisanya masuk ke dalam rumah makan Padang tersebut. Dimanakah saya berada? Saya mengambil kekuatan dan berjalan masuk ke rumah makan Padang tersebut untuk mengisi perut saya yang kosong akibat isinya baru saja dimuntahkan. Rumah makan tersebut bernama Singgalang. Sesuai dengan namanya, rumah makan ini menjual makanan Padang. Segala macam menu nasi mulai dari nasi telur, nasi perkedel, nasi paru, nasi ayam, nasi ikan, nasi daging, dan lain-lainnya tertulis di papan menu yang ada di atas meja. Harga makanannya bervariasi mulai dari Rp. 7.000 hingga Rp. 15.000. Tidak sanggup untuk makan yang terlalu berbumbu, saya memilih nasi telur dan teh. (Perhatian! Satu porsi rumah makan ini sangatlah banyak. Nasi yang tampaknya sedikit, ketika dibelah segera menjadi banyak sampai saya kebingungan untuk menghabiskan satu porsi tersebut. Sementara untuk teh, saya diberikan teh manis hangat. Memang, asosiasi teh di Timor adalah teh manis. Apabila anda ingin minum teh yang benar-benar teh, pesanlah teh tawar). Sesuai dengan dugaan, nasi yang sangat banyak tersebut tidak habis saya makan. (sayang...hiks...) Segera, saya tidak ingin membuang-buang waktu, saya segera membayar kepada ibu berjilbab yang berada di meja kasir. Harga makanan yang saya makan adalah Rp. 10.000 sudah termasuk dengan teh manis yang saya minum. Sempat saya melirik ke bagian bawah etalase, ternyata rumah makan ini menjual cemilan kecil seperti kacang-kacangan dan keripik. Namun, belum saatnya belanja oleh-oleh donk! hehe...
Ternyata, saya sudah berada di Niki-Niki, wilayah Amanuban Tengah, Timor Tengah Selatan. Segera saya mengeluarkan handphone saya. Tidak ada satu potong sinyal pun yang tampak di layar. Handphone saya menjadi bisu. Panik, saya segera mencari toko perlengkapan handphone. Untungnya, sekitar sepelemparan batu berjalan dari rumah makan, terdapat sebuah warung yang menjual kartu perdana dan voucher. Wilayah Timor Tengah ini memang belum terlayani sama sekali oleh operator XL, operator yang saya pakai. Satu-satunya operator yang masih punya gigi di dataran tinggi Timor adalah Simpati. Maka, saya membeli kartu perdana Simpati seharga Rp. 15.000 guna mendapatkan kepastian sinyal di kawasan ini. Walaupun berstatus desa dan terletak di tengah-tengah dataran tinggi Timor, namun soal sarana telekomunikasi, Niki-Niki nggak kalah loch. Sejumlah kios menjual kartu perdana dan voucher (fiuh...). Saya kandangkan kartu XL saya untuk sementara waktu. Sebagai informasi, XL hanya dapat anda temukan di Kupang dan Atambua, kata rekan saya yang asli warga Timor. Persiapkanlah diri anda sebelum masuk ke pedalaman Timor Tengah sebelum sinyal handphone anda dicerabut dari hak anda. haha...berlebihan...
Sempat berbincang dengan ibu penjual kartu perdana, Rumah Rajah yang menjadi objek wisata Niki-Niki ini terletak tidak jauh dari tempat saya berdiri. Niki-Niki sendiri adalah sebuah desa kecil yang terletak di tengah-tengah perlintasan Jalan Trans Timor. Suasana siang itu sangat sepi. Sekali dua kali melintas bus besar yang menawarkan saya untuk menuju Kupang (arah sebaliknya). Beberapa kios penjual apel tampak di dekat rumah makan Singgalang. Saya yang membawa kamera cukup mencolok perhatian warga sekitar dan penumpang lainnya. (Kayaknya nggak ada atau jarang banged ada turis sampai di tempat ini. Warga lainnya adalah penumpang komuter yang memang hidup di Timor). Suara ceprat cepret kamera mewarnai jalanan sepi tersebut sementara beberapa pasang mata mengamati saya sambil terheran-heran. Namun saya tidak dapat berfoto atau berkeliling terlalu banyak, kenek bus saya memanggil karena bus akan melanjutkan perjalanan menuju Atambua. Bersiap-siap mengambil udara segar sebanyak-banyaknya untuk dideposit di paru-paru dan bersiap merasakan sensasi tidak menyenangkan kembali, saya memasuki bus dengan gontai. Akankah saya muntah lagi? hehehe...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
perjalanan darat terutama naik bus emang favorit gw bro...
ReplyDeletebisa liat apa aja yg dilewati selama perjalanan.
gw nggak pernah sih muntah gara2 mabuk perjalanan.:)
wah di Niki-niki ini belum ada XL ya.nah pengalaman gak ada sinyal itu juga jd cerita yg asik untuk dikenang.
blog lo benar2 produktif.banyak bgt postingan dan foto baru.oh iya, gw ada postingan baru tuh..mampir ya.hihi promosi.
hehehe...iya...bus sih seru...asalkan jangan lama2...pegel juga nih di bawah...hahahaha
ReplyDeletegue langganan mabuk darat deh, apalagi kalau jalannnya tergolong baru buat gue, pasti deh gue kenalan dengan cara muntahe ituhe...hehehehe
sebel banged de, doyan jalan2 tapi mabokan....hhhhh
iya, Niki-Niki itu di pedalaman Dataran Timor, belum ada XL. musti cari kartu baru...hehehe
thanks for comin yah :D