Mabuk di ruas Camplong – Niki-Niki? Nah, sekarang bersiaplah menempuh ruas terparah di Jalan Trans Timor, Niki-Niki – Kefa Menanu. *tarik nafas dalam-dalam* Setelah dua setengah jam tersiksa di dalam kendaraan dan setengah jam beristirahat, saya kembali harus mengalami terpontang-panting di dalam mini bus selama dua setengah jam, menempuh ruas Jalan Trans-Timor yang penuh dengan tanjakan, tukikan, miringan dan belokan tajam. Jujur, inilah bagian terburuk bagi anda dan saya, pendatang baru yang belum pernah menempuh Jalan Trans Timor sebelumnya(terlebih, saya mabukan...hiks...). Jalanan yang ditempuh justru mulus, namun kelokan dashyat ketika bus melintasi tepian bukit-bukit di Dataran Tinggi Timor yang membuat saya tidak berdaya sama sekali. Di sisi lain, kelokan dan bantingan yang saya rasakan sepanjang perjalanan berbanding terbalik dengan pemandangan sangat indah yang saya temukan di ruas ini. Mantep! Ada satu tempat yang tampaknya dahulu berupa rawa-rawa. Berhubung hujan deras dalam beberapa hari terakhir, lokasi ini menjadi telaga yang sangat indah. Hampir saja saya meminta supir untuk memberhentikan bus dan menepi agar saya bisa berfoto di lokasi. Sayangnya, ini bukan bus pribadi dan sang supir pun harus mengejar waktu untuk tiba di Atambua. Hehehe...Maka, pemandangan indah tersebut pun terlewatkan begitu saja. Pemandangan tersebut hanya terekam di otak saya saja. Sungguh sayang sekali.
Di sela-sela rasa mual yang saya rasakan, saya pun turut menikmati pemandangan indah rumah tradisional Timor yang tersebar memenuhi wilayah ini. Timor Tengah, walaupun secara suku berasal dari satu suku, Atoni, namun dalam hal kebudayaan, suku di utara dan selatan memiliki perbedaan mencolok. Ketinggian lokasi tempat warga Atoni hidup turut membuat perbedaan kecil ini. Lopo, atau rumah tradisional Timor yang terdiri atas empat tiang penyangga dan atap ijuk memiliki perbedaan pada fisik rumah di kedua wilayah. Wilayah selatan, yang jauh lebih tinggi dan lebih dingin, memiliki bentuk Lopo dengan ijuk yang hampir menutupi kaki rumah. Sepintas, bangunan ini hampir serupa dengan bola ijuk. Pada wilayah utara yang ketinggian wilayahnya lebih rendah daripada wilayah selatan, atap Lopo dibuat lebih tinggi sehingga kaki rumah terlihat jelas. Pada wilayah utara, bentuk rumah terlihat jelas. Perbedaan yang paling jelas antara wilayah utara dengan selatan hanyalah berdasarkan suhu udaranya saja. Kalau di Selatan, dinginnya bisa membuat menggigil, kalau di utara, dingin bercampur dengan sejuk dan panas.
Hampir di sela-sela pepohonan atau kemanapun saya memandang, Lopo menyembul dimana-mana. Lopo-Lopo tersebut pun memiliki berbagai varian fungsi seperti rumah utama dan lokasi penyimpanan untuk yang bentuknya yang lebih kecil. Sembari menikmati Lopo-Lopo, bus pun terkadang berhenti untuk mengangkut penumpang (biasanya ibu-ibu dalam balutan kain tenun ikat tradisional dengan membawa barang bawaan yang besar).
Saya memaksakan tidur di dalam bus selama sisa perjalanan agar tidak terlalu mual. (Sebenernya, sayang banged tidur di ruas ini, tapi apa daya, badan ini maunya tidur aja kalau udah mabuk...hiks...) Namun, bagaimana pun dua setengah jam cukup panjang untuk dilewatkan dengan tidur. Sebagian dari hati kecil saya pun berontak tidak mau tidur. Kalau tidur, saya akan kehilangan kesempatan untuk menyaksikan alam Timor. Namun, kalau tidak tidur, serangan mual akan terjadi.
Dua setengah jam yang panjang, akhirnya hampir menemui klimaksnya. Pemandangan di sekitar bus sudah bukan berupa hutan lagi. Hawa dingin sudah tidak begitu keras menerpa kulit. Di beberapa sudut jalan terdapat satu atau dua rumah bata dan bengkel kendaraan. Sudah masuk kota-kah saya? Tidak berapa lama kemudian, bus berhenti di suatu jalan yang cukup besar dengan kendaraan lalu lalang di sekitarnya. “Kefa Kefa” begitu panggil kenek. Kefa Menanu. Saya sudah tiba di Kefa menanu dalam lima setengah jam perjalanan. Saya sempat bimbang, tujuan utama saya datang ke Timor adalah melintasi Atambua hingga Kupang. Namun, waktu 5 hari yang saya miliki tampaknya tidak cukup untuk menyelesaikan rute ini. Alhasil, dengan cepat dan segera saya memutuskan untuk turun di Kefa. Ongkos perjalanan seharga Rp. 40.000 saya bayarkan kepada kenek dan saya pun turun di Kefa Menanu. Kefa, inilah saya :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
kalo mabuk, sebelum jalan minum antimo dulu dong mas...hehehe. wah sayang telaganya gak difoto, pdhal dari atas bis juga bisa kan..jeprat jepret (henny)
ReplyDeletewaduh...kayaknya saya sudah kebal sama antimo...hahaha...ga ngefek deh rasanya.
ReplyDeleteiyaaaa...sedih banged, telaganya ga bisa difoto...*ehm* jangan bayangkan bis besar seperti di jawa yach....bus disini mirip sama angkot berukuran ekstra besar. ditambah dengan penuh penumpang dan padat barang bawaan, dijamin, susah bergerak di dalam bus. apalagi buat foto-foto...hehehe...padahal kalo mereka banyak berhenti, mau banged deh foto foto terus...sayangnya, sepanjang perjalanan tuh hanya hutan. ga ad yg naek...T_T
gw org jawa.namun gw senang sekali cari2 info baik tulisan maupun foto daerah tts dan ttu karena pemandangan ddaerah itu tdk djumpai ddaerah indonesia bag barat.tambah foto2ny yg bnyk dong mas.
ReplyDeletehehehe....terima kasih untuk kunjungannya ya Nying :) senang dech ada yang mencintai TTS dan TTU...hehehe...sip, doakan saya kapan2 bisa lintas NTT lagi dan bisa publikasikan lebih banyak foto yach :)
ReplyDeleteWah,,, jadi kangen ni sama kampungku KEFA ..
ReplyDelete