Di dasar tangga tersebut, saya memandang puncak Gunung Bromo yang mengepulkan asap bergulung-gulung dan tebal berwarna kelabu. Saya telah sampai di kaki Gunung Bromo. Hanya dipisahkan oleh ratusan anak tangga, saya sudah sampai di bibir kawah Gunung Bromo. Perjalanan menaiki anak tangga ternyata sebuah perjuangan keras. Bukan soal usia bukan soal kekuatan kaki tapi soal tipisnya udara. Walaupun udaranya segar, tapi Bromo adalah sebuah gunung. Udara di tempat ini cukup tipis. Aktifitas yang lumayan memicu adrenalin –salah satunya mendaki tangga- cukup membuat saya ngos-ngosan dan beristirahat satu kali di tengah perlintasan. Banyak wisatawan yang tertatih-tatih menaiki anak tangga, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dan kaum senior. Walau demikian, ada juga yang tetap semangat dan lancar mendaki ratusan anak tangga tersebut. Ketahanan tubuh dan tipisnya udara berpengaruh berbeda-beda pada setiap orang ternyata.
Hampir sama seperti yang cerita yang beredar di banyak tempat tentang tangga. Jumlah tangga di tempat ini konon katanya berubah-rubah kalau dihitung. Wah, ya sudahlah, daripada menghitung dan tidak mendapatkan angka yang sama, sebaiknya saya menikmati perjalanan pendakian ini saja daripada menghitung dan mengkalkulasikan jumlah anak tangga. Bisa jadi, saking kecapean dan nggak konsen lagi, maka jumlah anak tangga akan berubah. hehehe...Pemandangan dalam upaya pendakian ternyata spektakuler. Saya melihat lautan pasir dan padang savana di sekeliling Gunung Bromo, kompleks pura dan gunung-gunung yang mengelilingi lautan pasir ini. Saat itu pukul 8 pagi dan cuaca sudah cukup panas. Matahari bersinar cerah menerpa kulit setiap wisatawan. Saya beristirahat satu kali di tengah-tengah jalur tangga (kebetulan ada sedikit ceruk di tengah-tengah sehingga saya bisa berhenti tanpa menggangu orang lain di jalur tersebut). Saya menyempatkan berfoto di titik ini.
Perjalanan sisanya saya tempuh dengan cepat karena sudah tak sabar ingin melihat kawah Bromo. Sesampai di puncak, saya semakin ngos-ngosan (bersama dengan sejumlah orang yang ngos-ngosan juga). Wilayah puncak bibir kawah Bromo ternyata tidak terlalu luas. Kawah Bromo dibatasi dengan pagar. Langit sekitar puncak Bromo berwarna kelabu pekat, asap yang keluar dari dalam perut gunung ini bergulung hebat tak henti ke udara. Untung saja asap terbang menjauh dari gerombolan wisatawan. Angin yang berhembus lumayan menjauhkan asap sehingga wisatawan masih aman berkeliling di wilayah bibir kawah. Tapi waspada, asap yang berwarna putih keabu-abuan tersebut bisa dengan mudah berubah arah tergantung arah angin berhembus. Kalau yang terjadi adalah sebaliknya, sebaiknya anda tidak nekad menaiki puncak bibir kawah Bromo. Dari jarak yang cukup jauh saja, asap tersebut sangat berbau belerang. Entah bagaimana kalau sampai berhembus ke arah wisatawan, pasti nggak karu-karuan jadinya. Pada bagian dasar kawah, Bromo termasuk salah satu gunung berapi unik yang hampir tidak memiliki timbunan material yang cukup terlihat jelas di dasar kawah. Contoh lain adalah Gunung Tangkuban Perahu, kawah gunung ini memiliki tumpukan material berbentuk cair di dasar kawahnya. Gunung Bromo tidak memiliki tumpukan material sama sekali, hanya kepulan asap tanpa henti saja yang mengepul terus dari lubang di dasar kawah. Agak mengerikan sebenarnya.
Di puncak, pemandangan spektakuler lebih terasa. Beberapa turis bule yang agak-agak ekstrim memanjat hingga ke area yang saya nggak yakin bisa melakukannya. Satu orang turis Perancis bahkan nekad memanjat pagar pembatas yang memisahkan bibir kawah dengan kawah. Entah apa jadinya kalau ia tergelincir, saya tidak mau membayangkannya. Mungkin turis tersebut mencari objek foto yang agak-agak unik kali yach? Pagar pembatas bibir kawah pun memiliki celah yang ukurannya cukup lebar untuk dimasuki anak-anak. Sebaiknya anda berhati-hati kalau membawa anak-anak. Saya sendiri tidak memutari area pandang bibir kawah sampai ke ujung karena khawatir akan hembusan angin yang bisa saja merubah arah kepulan asap. Saya hanya bermain dan berfoto-foto di sekitar bibir kawah yang paling dekat dengan anak tangga saja.
Haus? Nggak usah khawatir, ada sejumlah ibu atau bapak yang berjualan minuman atau makanan ringan di atas puncak Bromo. Dengan alas seadanya dan baju tebal plus sarung, mereka memeluk tubuhnya menahan hawa dingin demi berjualan minuman dan makan ringan tersebut. Di atas puncak juga ada oleh-oleh yang bisa anda bawa pulang. Bukan syal atau kaos bromo loch. Nggak ada kios sama sekali di atas sini. Oleh-oleh satu-satunya hanyalah bunga edelweiss yang dikeringkan dan diberi warna mencolok. Oleh-oleh ini ada di Puncak Penanjakan tadi. Kalau tadi anda lupa beli atau baru menyadari ingin membelinya, bisa banget nich beli di puncak Bromo ini.
Berhubung sudah siang, puncak Bromo sama sekali nggak dingin. Beberapa orang yang mengenakan pakaian tebal umumnya sudah berada di puncak semenjak pagi hari. Kalau anda ikut paket, umumnya anda akan tiba di puncak sekitar pukul 7-8 pagi. Sudah tidak terlalu dingin di puncak sini. Anda hanya perlu mengeluarkan usaha lebih saat menaiki anak tangga. Tidak ada angkutan yang dapat diandalkan, termasuk kuda yang dapat membawa anda ke puncak bibir kawah. Anda harus menggunakan kaki anda saja. Bawalah minuman dan mendakilah dengan perlahan untuk menghemat tenaga. Hal sama juga perlu anda terapkan pada saat pulang. Tangga yang tadinya begitu menantang untuk ditaklukan, menjadi begitu curam saat dituruni. Berhati-hatilah melangkahi ratusan anak tangga tersebut hingga ke lereng Bromo. Terlebih, bagian lintasan tengah tangga merupakan bentuk luncuran yang landai, entah digunakan untuk apa. Saya sich nggak melihat adanya motor atau sepeda ada di atas puncak kawah. Tidak perlu berlama-lama juga berada di puncak kawah. Satu jam sudah lebih dari cukup. Jangan sampai anda keracunan hawa belerang yang kuat menguar dari dasar kawah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
bromo memang keren
ReplyDeletetentu bro :D kali lain datang kesini harus nyobain rute berbeda dan cara berbeda :D
ReplyDelete