Thursday, June 30, 2011

6 Jam Yang Menyebalkan!

Rasa tidak nyaman itu sudah saya rasakan begitu kaki berpindah dari sisi dermaga ke gerbang kapal. Ketika naik ke atas kabin VIP, rasa tersebut semakin tidak nyaman. Ketika duduk di atas kapal yang terombang ambing dihempaskan ombak pun saya sudah merasa lemas. Saya sudah bisa membayangkan betapa tidak nyamannya perjalanan selama 6 jam menembus Laut Jawa dari Karimunjawa menuju Jepara. Yah, ini akan menjadi pelajaran berguna untuk saya agar selalu menyesuaikan diri dengan keberadaan kapal cepat, bukan sebaliknya. Segera, setelah saya duduk di dapan kursi kabin VIP yang lega, berpenyejuk udara dan nyaman tersebut, saya segera mengkonsumsi antimo. Saya berharap agar dapat tidur saja sepanjang perjalanan dan ketika bangun sudah tiba di Jepara. Itu harapan saya.
Sayang, kadang kenyataan tak seindah impian. Saya yang sudah bertekad untuk segera tidur dan terbangun ketika baru sampai di Jepara, tiba-tiba terbangun sekitar pukul 11 siang. Perut saya berkerucuk minta diisi dan saya sudah berada di tengah-tengah lautan luas yang berwarna biru kehitaman. Haduh, saya pasrah saja. Saya usahakan untuk makan siang, setidaknya mengisi perut agar kalau sampai saya (maaf) mabuk laut dan muntah, maka perut saya tidak sakit karena masih ada makanan yang dikeluarkan. Sayangnya tidak berhasil, saya tidak berhasil memakan seluruh nasi dan telur yang sudah agak benyek tersebut, saya justru sudah terkena efek hantaman gelombang pada kapal. Saya segera meluncurkan isi perut saya ke dalam kantong yang sudah saya genggam erat dari tadi. Benar-benar sensasi yang tidak menyenangkan. Setelah mabuk, saya pun jadi lemas, tidak bertenaga, tidak berminat melakukan apapun, termasuk jalan-jalan keliling dek kapal untuk melihat pemandangan, orang, dan apapun yang bisa dilihat. Sudahlah, saya terima saja nasib saya karena penderitaan ini masih akan berlanjut hingga 3 jam ke depan. Antimo pun sudah tidak mempan lagi karena saya sudah tidak bisa menerima apapun yang dimasukkan ke dalam tubuh.
Saya sudah tidak bisa tidur lagi semenjak pukul 11 siang. Perjalanan terasa sangat lambat, sama lambatnya seperti perjalanan datang. Untung saja, pada pukul 1 siang, saya melihat daratan di ujung depan kapal. Menyenangkan melihat daratan, serasa ada harapan baru yang ingin dicapai. Mungkin ini adalah perasaan orang yang terdampar di lautan kali yach? Rasa bahagia itu membuncah ketika melihat daratan! Kita selamat! Hahahaha. Ya, KMP Muria bukanlah kapal cepat. Ketika saya melihat ada daratan di ujung sana pun, kapal masih bergerak dengan anggun dan perlahan menembus hantaman ombak. Kurang lebih kapal membutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai benar-benar di daratan Jawa sana. Dalam periode satu jam itu pun, saya kembali lagi (maaf) mabuk laut dan muntah berkali-kali. Padahal, musim saat saya melakukan kunjungan adalah musim dimana arus laut tidak terlalu ganas. Entah bagaimana, saya tidak bisa membayangkan kalau angin dan gelombang laut bersekongkol mengerjai saya. Yah, saya senang sudah sampai di daratan Jawa, di Kota Jepara. Padahal kapal baru saja merapat, penumpang belum bisa turun, namun saya merasakan kembali semangat saya kembali, mengisi relung hati saya. Hihihi. Saya kembali bersemangat dan siap melanjutkan jalan-jalan lagi. Udara bumi terasa sangat segar dibanding selama 6 jam dalam kurungan penyejuk udara yang malah membuat badan saya dingin. Selamat datang kembali di Jepara dan tolong, lain kali naik KMP Kartini saja, jangan Muria.

(Bersiap) Meninggalkan Karimunjawa

Saya sudah puas mencicipi Karimunjawa! Yah, sebenarnya kalau mau dibilang sich, manusia tidak akan pernah ada puasnya yach. Saya sich mau-mau saja tinggal lebih lama di Karimunjawa dan mencicipi pulau-pulau yang terletak di timur dan barat jauh. Sayangnya, persediaan uang serta cuti saya sudah menipis dan aroma kantor sudah semakin kental. Saatnya kembali ke kehidupan nyata kalau begitu… *menghela nafas*
Biasanya, turis mengujungi Karimunjawa dalam hitungan sejumlah hari. Alasannya jelas, karena kapal yang melayani pulau ini tidak berlayar setiap hari. Akibatnya, turis harus menyesuaikan waktu kunjungannya di Karimunjawa, sesuai dengan jadwal keberangkatan dan kepulangan kapal. Bagi saya, 4 hari 3 malam di Karimunjawa sudah sangat cukup. Saya sudah mengelilingi Kota Karimunjawa, menjelajahi daratan Karimunjawa dan Kemujan, serta mencicipi pulau-pulau cantik di sekitar pulau besar dan menembus birunya Laut Jawa demi menyaksikan biota laut yang mengagumkan. Saya rasa, saya sudah cukup dengan Karimunjawa. Memang sich, saya sempat bertemu dengan turis lain dan kebetulan bertanya akan ajdwal kunjungannya di Karimunjawa. Ia mengatakan akan tinggal seminggu disini. Wow! Betah sekali! Ia mengatakan jadwal hariannya adalah snorkeling dan diving. Ckckckck.
Karena saya sudah mencukupkan diri saya akan Karimunjawa, maka sekaranglah saatnya saya kembali ke hotel, membereskan barang-barang saya dan bersiap menuju pelabuhan untuk berlabuh kembali. Sebelum pulang, hal yang wajib dilakukan adalah menyelesaikan administrasi pembayaran terhadap Wisma Wisata. Hihihi. Iya, dari hari pertama, kami tidak membayar apapun untuk semua yang kami gunakan. Hari terakhir adalah saatnya rekonsiliasi pembayaran. Wisma Wisata mungkin adalah salah satu penginapan kelas melati atau lebih bawah lagi yang standardnya di atas rata-rata. Bukan soal kualitas kamar atau kebersihannya semata. Walaupun saya sudah menyelesaikan pembayaran kamar dan lain-lainnya termasuk kapal, Mas Amin masih mau mengantarkan saya ke pelabuhan dengan tulus, bahkan hingga kapal yang saya tumpangi mengangkat sauh. Hebat. Wisma Wisata ini harus menjadi pilihan pertama anda saat tiba di Karimunjawa nantinya.
Tiket yang akan kami gunakan untuk pulang kembali ke Jepara memang sudah dibooking sebelumnya. Namun, tidak ada jaminan bahwa anda akan mendapatkan tiket untuk pulang kalau anda tidak bergegas ke pelabuhan pada pagi hari. Kapal yang berangkat pada pukul 8 pagi biasanya sudah membuka loketnya semenjak pukul 6 pagi. Sebaiknya anda bergegas mengambil tiket agar tidak diambil orang lain, terutama VIP. Alasannya jelas, apabila pihak ASDP melihat kebutuhan masih tinggi, namun tiket yang belum diambil masih banyak, maka mereka akan lebih memilih untuk menjual saja tiket yang ada sebab tidak ada jaminan orang-orang yang sudah melakukan booking akan mengambil tiketnya toh? Sekali lagi, untung saja sudah ada Mas Amin yang dengan inisiatif tinggi menawarkan diri untuk mengambilkan tiket kami di pelabuhan, sementara kami disuruh istirahat dan santai-santai terlebih dahulu sebelum naik kapal. Benar-benar pelayanan yang luar biasa!
Sebelum mencapai pelabuhan, jangan lupa untuk mengisi perut terlebih dahulu! Maklum, perjalanan dengan KMP Muria akan memakan waktu sekitar 6 jam (berangkat pukul 8 pagi dan akan tiba di Pelabuhan Kartini Jepara pada pukul 2 siang). Sebaiknya anda mengisi tenaga dahulu sebelum berlayar cukup panjang (walaupun praktiknya tidak melakukan aktifitas apapun di dalam kapal sich). Untuk anda yang mau hemat, saya anjurkan untuk membeli bekal di daratan karena harganya jauh lebih murah disbanding kalau kita kepepet dan terpaksa beli di atas kapal (semangkuk mie instan seduh siap saji saja berharga Rp. 10.000. Ck ck ck). Setelah selesai packing, makan, maka marilah kita menuju ke pelabuhan sebelum pukul 8 agar nggak ditinggal.
Saya akhirnya sudah mencapai pelabuhan 15 menit sebelum kapal belayar. Sekali lagi, saya harus berterima kasih kepada Mas Amin yang sudah repot-repot mau mengantarkan hingga ke pelabuhan, padahal jalan kaki dari Wisma Wisata ke Pelabuhan sekitar 500 meteran saja koq. Pelabuhan Perintis Karimunjawa saat itu sudah ramai oleh para pelancong dan warga setempat. Rata-rata, mereka sudah memiliki karcis dan sudah memasukkan barang bawaan mereka ke dalam dek. Saya menyempatkan diri untuk berfoto-foto sejenak sebelum kapal berlabuh dan menjumpai Pak Hakim, pelatih selam kami yang kebetulan juga sedianya akan berangkat ke Tanah Jawa beserta satu keluarga karena ada keperluan. Kami mengobrol sejenak dan kemudian bergegas naik ke kapal karena peluit kapal sudah dibunyikan, tanda kapal akan segera mengangkat sauh. Selamat tinggal Karimunjawa!

Monday, June 27, 2011

(Pencarian) Tanjung Gelam / Ujung Gelam Yang Privat

Mau merasakan pantai pribadi untuk anda sendiri, tidak ada siapapun sejauh mata memandang, pasir putih membentang, dan laut biru muda yang dangkal, serta pohon kelapa melambai mesra di sepanjang sisinya? Anda nggak perlu menjadi miliarder terlebih dahulu atau merasakan sengsaranya terdampar! Hanya butuh sedikit usaha saja untuk mencapai Tanjung Gelam.
Tanjung Gelam! Dimanakah tempat itu berada? Saya rasa, sebagian besar dari pembaca mungkin malah belum pernah mendengar namanya. Namun, bagi yang sudah pernah menjejakkan kaki di Karimunjawa, mungkin pernah mendengar atau mungkin pula sudah pernah mencicipi tempat ini. Tanjung Gelam (terkadang disebut Ujung Gelam) adalah sebuah pantai yang berada di sebuah Tanjung Pulau besar Karimunjawa. Lokasi Tanjung Gelam yang berada di sebelah barat pulau menjadikan tempat ini sebagai lokasi yang baik untuk menyaksikan matahari terbenam. Tanjung Gelam mungkin lebih dikenal sebagai lokasi penyelaman atau lokasi untuk memulai belajar selam karena laut di area ini cukup dangkal dan ombaknya bersahabat. Namun, apakah pantai berpasir putih agak kekuningan yang lembut tersebut tidak menarik perhatian anda? Maukah anda mencoba mendaratinya?
Untuk mencapai Tanjung Gelam bisa melalui dua cara yakni lewat laut dan lewat darat. Cara pertama tentu saja jauh lebih populer. Tanjung Gelam sudah menjadi rute umum para wisatawan yang menginginkan wisata pantai murah meriah dan masih terawat baik. Pada pagi hari, Tanjung Gelam sudah biasa disinggahi oleh rombongan wisatawan yang belajar teknik penyelaman untuk pemula. Sementara itu pada sore hari, Tanjung Gelam beberapa kali didarati oleh sejumlah wisatawan yang menginginkan pantai privat. Berhubung Karimunjawa adalah wilayah kepulauan, maka angkutan laut memang menjadi andalan utama untuk berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya, termasuk Tanjung Gelam yang masih berada dalam satu pulau besar Karimunjawa. Akan tetapi, saya tertarik untuk mencoba jalur darat guna mencapai Tanjung Gelam. Dimanakah areal pintu masuk menuju pantai ini?
Dalam pencarian saya akan Tanjung Gelam via darat, saya menggunakan motor sewaan yang disewakan oleh Wisma Wisata. Dengan mengikuti rute utama Karimunjawa – Kemujan sejauh kurang lebih 6 KM ke arah barat laut (arah menuju Kemujan), anda akan tiba di papan petunjuk “kiri, arah Ujung Gelam 0.5 KM”. Pastikan anda tidak melewati Makam Sunan Nyamplungan karena Tanjung Gelam berada sebelum makam ini. Usaha anda baru bermula disini. Guna mencapai Pantai Ujung Gelam yang cantik, bersih, dan privat memang membutuhkan usaha ekstra. Jangan membayangkan adanya suatu gapura besar yang menandakan bahwa anda telah memasuki wilayah Ujung Gelam. Alih-alih hal tersebut, anda akan sedikit kebingungan karena jalan masuk yang dimaksud adalah sebuah jalan kecil dari tanah yang hanya bisa dimuati satu buah mobil saja. Jalan masuk ini berada di pinggir sebuah musholla yang dirimbuni oleh pohon-pohon besar. Kendaraan seperti mobil atau motor hanya bisa masuk sampai pada sebuah areal terbuka namun tetap dirimbuni oleh pepohonan. Tidak ada petunjuk sama sekali di tempat ini, anda harus bertanya pada warga (ada sejumlah rumah warga di areal terbuka ini) dimana arah Tanjung Gelam. Sisa perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Siapkan kaki anda.
Jangan kuatir menitipkan motor atau mobil di tempat ini. Namun tetap saja, untuk keamanan, sebaiknya anda tetap memasang kunci pengaman tambahan. Perjalanan menuju Tanjung Gelam diperkirakan sekitar 500 meter namun akan memakan waktu sekitar 10 menit karena medan jalan yang tidak rata dan naik turun. Perjalanan ini akan membawa anda melewati lebatnya hutan di sekitar Karimunjawa. Walau demikian, jangan kuatir, karena sudah ada jejak rumput yang roboh karena dilewati oleh warga yang beraktifitas. Apabila anda melewati tempat pengupasan batok kelapa, artinya anda sudah di jalur yang benar. Sampai disini saya sempat agak sangsi, “mungkinkah saya salah mengambil arah jalan?” sebab tidak terdengar deburan ombak sama sekali, hanya kesunyian hutan yang agak mencekam. Namun teruskanlah perjalanan melewati undakan tanah naik turun dan di balik rerimbunan tanaman pandan, disanalah Tanjung Gelam berada.
Pertama kali keluar dari rerimbunan pandan, saya disambut oleh silaunya cahaya matahari yang memantul di pasir putih dan laut yang cemerlang. Begitu mata saya sudah bisa menyesuaikan dengan lingkungan sekitar, terbentang disana, pantai privat untuk saya sendiri! Tanjung Gelam, inilah saya!
Bicara soal cantik, saya rasa masih banyak pantai cantik di Indonesia yang kecantikannya melebihi Tanjung Gelam ini. Pasirnya tidak terlalu lebar, warnanya agak kekuningan alih-alih putih alami. Vegetasi di sekelilingnya malah lebih didominasi oleh keluarga bakau dan pandan alih-alih nyiur melambai yang anggun. Namun, yang saya cari dari pantai ini adalah privasinya! Tidak ada orang sama sekali sejauh mata memandang, termasuk pedagang makanan, persewaan ban renang, warung rokok, hingga turis –turis lain! Pantai ini pribadi milik saya. Saya bisa berguling-guling, berteriak-teriak, berenang dengan bebas dengan cueknya karena pantai ini benar-benar serasa milik saya. Hmm…tidak perlu jadi miliarder untuk memiliki pantai pribadi kan?
Adapun kelebihan pantai ini adalah lautnya yang dangkal. Beberapa ratus meter dari bibir pantai, lautnya masih tergolong dangkal. Walaupun sejumlah batu karang besar menghiasi sudut pantai ini, areal yang bisa dinikmati untuk berenang tanpa tersangkut karang cukup lebar pula. Saking minimnya aktifitas manusia di tempat ini menjadikan Tanjung Gelam cukup bersih dari sampah. Sampah yang jelas terlihat kebanyakan yang berasal dari alam seperti buah kelapa dan ranting-ranting tanaman. Walau demikian, Tanjung Gelam tidak benar-benar bersih dari sampah. Jejak aktifitas manusia –walaupun cukup tersembunyi- bisa terlihat di tempat ini. Beberapa kemasan bekas mie instan dan peralatan makan teronggok di sela-sela batu. Dilihat dari wujud fisiknya, masa pakai benda-benda tersebut masih tergolong sangat baru. Sedikit dari hati saya mengharapkan, Tanjung Gelam sebaiknya tetap terpencil atau nantinya akan rusak, sama seperti pantai-pantai yang dibuka untuk tujuan komersil.
Beberapa aktifitas yang asyik untuk dilakukan di pantai ini adalah berenang –tentu saja, kita berada di pantai!-, menyelam (ada sejumlah karang dan ikan di kedalaman tidak sampai 2 meter), berjemur, malas-malasan, dan bermain pasir. Soal aktifitas yang terakhir, tampaknya bisa menjadi alternatif seru di kala anda sudah bosan bermain air dan bosan bermalas-malasan. Jam kunjungan saya adalah jam 3 sore, saat matahari masih cukup tinggi namun sudah tidak terlalu membakar kulit. Sekitar pukul 4 lewat, beberapa perahu tampak lalu lalang di sekitar Tanjung Gelam dan beberapa diantaranya menurunkan rombongan wisatawan yang berwisata di pantai ini. Saya cuek dengan kehadiran mereka yang lumayan instan memenuhi pantai. Saya tetap asyik dengan kegiatan saya membuat benda-benda dari pasir. Toh, menjelang sore sekitar pukul 5, mereka sudah beranjak dan meninggalkan Tanjung Gelam. Tanjung gelam pun kembali sunyi dan menjadi milik saya seorang.
Satu aktifitas terakhir yang layak untuk dilakukan di Tanjung Gelam adalah menyaksikan matahari terbenam. Walaupun menghadap arah barat, namun saya tidak seberuntung itu dalam mendapatkan pemandangan matahari terbenam yang sempurna. Sejumput awan terlihat memenuhi cakrawala sehingga proses terbenamnya matahari terhalang dan hanya menyisakan seberkas sinar keemasan saja di ufuk barat sana. Walau demikian, saya tetap nekad menunggu proses terbenamnya matahari sampai pukul 6 sore. Nah, sedikit saran buat anda yang berwisata ke Tanjung Gelam melalui jalur darat, sebaiknya anda sudah bersiap-siap sebelum pukul 6 sore dan keluar dari Tanjung Gelam sebelum pukul 6 atau sebelum gelap merambat. Alasannya adalah jalur kedatangan maupun jalur pulang yang akan kita tempuh nantinya adalah areal hutan. Tidak ada penerangan sama sekali di jalur tersebut. Anda nggak bisa membayangkan donk, bagaimana kalau anda harus menembus hutan sekitar 10 menit tanpa penerangan sama sekali? Agak menyeramkan jadinya. Maka, usahakan untuk menyelesaikan kunjungan wisata anda di Tanjung Gelam sebelum malam menjelang. Niscaya, Tanjung Gelam akan menjadi pantai terprivat yang pernah anda kunjungi, tanpa perlu terdampar, atau menjadi miliarder. Hehehe.

Monday, June 20, 2011

Dermaga Perintis Karimunjawa

Saya masih bisa mengingat dengan detail dan jelas saat pertama kali saya menjejakkan kaki di daratan Karimunjawa. Orang tumpah ruah, ojek berkeliaran mencari penumpang, pemandu wisata menjemput turisnya, truk sayur dan bahan pangan mengangkut hasil bumi yang idbawa dari daratan Jawa, kuli-kuli angkut membantu membawakan barang-barang dari dalam kapal dan sebaliknya, suasana hiruk pikuk ini hanya terjadi ketika ada kapal merapat di pelabuhan Karimunjawa. Siang hari, ketika tidak ada jadwal kapal yang merapat ke pelabuhan, pelabuhan tersebut ternyata luar biasa lengang dan kosong. Tidak ada keramaian atau satu batang hidung pun tampak di dermaga yang luar biasa kosong ini. Tampaknya, di siang itu, hanyalah kami yang menyambangi dermaga tersebut. Alasannya sich sudah cukup jelas, selain panas menyengat, mungkin sebagian besar dari wisatawan sedang berada di lautan, seperti yang tengah kami lakukan pada hari sebelumnya.

Kebetulan lah, sekaligus memanfaatkan waktu istirahat kami dari perjalanan lintas daratan Karimunjawa – Kemujan – Karimunjawa. Tanpa terasa, sambil didera sengatan panas matahari, rasa capai akhirnya mendera tubuh kami dan kami beristirahat di sekitar pendopo utama tempat menerima kedatangan penumpang kapal. Mungkin inilah yang disebut liburan, bermalas-malasan sambil menikmati alam sekitar, walaupun nggak banyak sich yang bisa dinikmati karena suasana panas dan pemandangan di sekitar hanyalah lautan yang terbentang luas. Untung saja lautnya bersih dan berwarna biru bergradasi kehijauan, lumayan meredakan penat lah. Ada beberapa bagian dangkal yang terdapat di sekitar dermaga namun tidak ada orang yang cukup bodoh untuk mencoba berenang di tempat tersebut. Entah memang karena tempat ini adalah dermaga atau memang ada alas an tertentu nggak boleh berenang di dermaga kali yach? (di sekitar dermaga banyak terdapat rumput laut, ikan-ikan kecil dan pelampung aneka bentuk). Ya, daripada bengong akhirnya saya iseng berkeliling dermaga sambil mencari hal-hal menarik untuk difoto. Yah, inilah saya, bilangnya mau istirahat ketika liburan. Bahkan ketika ada saat untuk diam dan tak melakukan apapun, kaki tetap gatal. Saya merasa, the art of doing nothing, tidak melakukan apapun adalah salah. Saya harus tetap bergerak dan beraktifitas, bahkan pada saat liburan sekalipun! Hehehe. Ya, akhirnya saya berjalan ke ujung dermaga, menyaksikan burung-burung laut berterbangan, melihat deburan ombak (yang ternyata cukup keras menghantam dermaga), dan mengamati benda-benda ajaib di sekitar dermaga. Ternyata, teman saya sampai bosan menunggu saya berkeliaran nggak jelas di tempat tersebut.
Tak lama kemudian, datanglah dua orang wanita yang membawa sejumlah bahan makanan dan bumbu ke dalam pendopo utama dermaga. Hmm..tampaknya mereka akan membuka warung di tempat ini. Dugaan saya benar, mereka masuk ke dalam salah satu ruangan yang memang didesain seperti warung. Daripada jauh-jauh dan tidak mendapatkan hasil sesuai yang kami inginkan, maka lebih baik kami memesan mie instan di tempat ini. Entah mengapa, untuk saya mie instan dengan telur, sayur hijau dan potongan cabe rawit adalah makanan terenak selama liburan. Di daerah panas seperti pantai saja rasanya enak luar biasa, apalagi menikmati mie tersebut di pegunungan yang dingin sambil menyeruput kuah hangat yah? Hmm…
Warung tersebut cukup komplit menjual berbagai makanan dan minuman. Sambil makan siang dan menikmati minuman dingin, kami mengobrol, membahas jalur tujuan berikutnya yang akan kami jelajahi. Sembari mengobrol, kami menyadari ternyata keadaan di sekeliling kami bertambah ramai. Mulai dari satu dua orang yang memesan makanan hingga beberapa kendaraan yang dating dan parker di sekitar dermaga. Obrol punya obrol, saat itu adalah jam kedatangan kapal dari Jepara. Yah, beginilah kondisi dermaga perintis ini. Pada pagi hari, sisi dermaga akan dipenuhi oleh kapal-kapal nelayan. Saat siang menjelang, dermaga ini sepi luar biasa. Saat matahari mulai jatuh ke barat, dermaga mulai ramai kembali karena menyambut kedatangan kerabat atau wisatawan dari daratan Jawa sana. Kami berada di dermaga, mengobrol dengan beberapa wisatawan yang sedianya esok baru akan menyelam. Lumayan, kami dapat banyak informasi untuk bekal sisa perjalanan. Dari hasil mengobrol juga, kami mengetahui bahwa harga paketan menyelam yang ditawarkan ternyata sudah standard. Hampri semua pemandu wisata mengenakan harga yang sama untuk paket penyelaman ke pulau-pulau rutin seperti Menjangan dan Cemara. Untuk pulau yang jarang dikunjungi, harganya tentu berbeda mengingat posisi pulau-pulau tersebut yang agak jauh dari jalur utama. Kami bertahan di warung pendopo tersebut hingga keramaian di dermaga benar-benar surut dan matahari sudah semakin condong sehingga suasana sudah semakin sejuk.

Thursday, June 16, 2011

Singgah Siang Di Pantai Tak Bernama

Apa sich yang ada dalam benak teman-teman soal pulau terpencil? Katakanlah misalnya Karimunjawa yang pulaunya sedang saya jelajahi ini. Pulau-pulau terpencil biasanya pantainya bagus dan pasirnya masih putih ya? Air lautnya bening dan dasar lautnya terlihat jelas harusnya yach? Yah, lupakan soal tersasar di Pantai Duyung di Pulau Kemujan yang pantainya nggak banget itu dech. Sekarang saya berada di Pulau besar Karimunjawa. Saat ini siang hari, saya lapar, capek, dan terpanggang matahari. Kami berada di jalanan yang tidak terlalu lebar, jalan raya penghubung Karimunjawa dan Kemujan. Jalanan ini sepi dan kami tidak tahu dimana Tanjung Gelam yang cantik itu berada. Tiba-tiba saja, pantai pasir putih terhampar di pinggir jalan begitu saja. Akhirnya, kami memberhentikan motor kami dan mencoba untuk menikmati pantai tanpa nama ini sejenak.

Yah, harus saya akui, saya agak lebai sedikit. Alih-alih putih, pasir di pantai ini berwarna agak kekuningan. Fitur pantainya pun tidak terlalu bersih, pantai dengan lebar pasir yang pendek tersebut harus bersaing dengan pohon kelapa, batang-batang pepohonan serta perahu-perahu nelayan yang ditambatkan. Bukan pantai yang memang khusus buat wisata sich, namun bersih dan cukup resik. Kalau ini di dekat Jakarta atau di kota besar sich dijamin sudah penuh dengan anak-anak, keluarga yang piknik sambil menggelar tikar, pasangan muda-mudi bersenda gurau dan berenang, persewaan ban warna hitam, tukang jualan makanan keliling, parkiran mobil, warung rokok, dan pembuat tato serta kepangan. Hihihi. Tapi pantai tanpa nama ini bersih. Bersih dari sampah, dan bersih dari orang sama sekali. Sepanjang mata memandang ke kiri dan kanan arah pantai, tidak ada orang sama sekali di pantai ini. Resikonya juga jelas, tidak ada warung makanan sehingga kami tidak dapat makan siang di tempat ini. Untung ada bekal roti yang dibawa dari tadi pagi. Hihihi.
Pantai tenang ini seharusnya berada di sekitar Tanjung Gelam, namun kami belum melihat ada plang petunjuk jalan menuju Tanjung Gelam sama sekali. Di belakang pantai ini, terdapat Bukit Gajah dan hamparan pohon kelapa sejauh mata memandang. Pantai ini terletak di pinggir jalan raya Karimunjawa, sisi sebelah barat. Ada untungnya juga bahwa pantai ini memiliki fitur sejumlah pepohonan rindang, kami bisa berteduh di bawah pohon sambil menikmati debur ombak. Tempat duduknya pun alami, kami duduk di salah satu batang pohon yang roboh atau di perahu yang ditambatkan di tepi pantai. Apabila memang saat itu tidak terlalu panas terik menyengat, tampaknya saya mungkin mau membuka baju saya dan mencoba berenang di sekitar tempat ini. Airnya luar biasa bersih dan sejauh mata memandang, tampaknya hanya pasir dangkal saja yang ada. Sayang, saya nggak melihat adanya fitur terumbu karang di pantai dangkal ini. Memang pantai buat main air saja tampaknya. Terumbu karangnya mungkin masih berada beberapa ratus meter dari bibir pantai ini. Nggak susah koq mencapai pantai ini dari Kota Karimunjawa, mungkin sekitar 30 menit – 60 menit perjalanan dengan motor ke arah utara. Kalau misalnya mau cari pantai gratisan yang sepi dan lumayan oke, anda boleh coba pantai tak bernama ini. Tapi jangan siang-siang, lumayan bikin gosong juga. Hehehe.

Saturday, June 11, 2011

Ziarah Ke Makam Sunan Nyamplungan

Terus terang, wisata ziarah tidak terlalu menarik minat saya. Jadi, Makam Sunan Nyamplungan yang berada di pinggir jalan (berada di sebelah kanan kalau anda melaju dari Karimunjawa ke Kemujan) tidak saya masuki sama sekali. Makam Sunan Nyamplungan ini berada di Pulau Besar Karimunjawa. Makamnya ini berada di sebuah rumah yang dipagar dengan warna putih. Papan petunjuk jalan yang menginformasikan keberadaan Makam Sunan Nyamplungan ini sudah tampak tua dan berkarat sana sini. Pengaruh angin laut kali ya? Alhasil, saya hanya berhenti sebentar di depan kompleks makam (tidak ada orang sama sekali di area), berfoto dari depan dan kembali melanjutkan perjalanan. Namun, pencarian saya akan Sunan Nyamplungan ini di internet menghasilkan temuan yang unik. Ada satu artikel yang saya suka karena menceritakan banyak hal tentang silsilah Karimunjawa termasuk asal nama Karimunjawa (berasal dari Kata kremun yang artinya samar-samar), Nyamplungan yang merupakan nama tanaman yang dibawa oleh Amir Hasan (nama asli Sunan Nyamplungan), hubungan Sunan Nyamplungan dengan Sunan Kudus dan Sunan Muria (putra dari Sunan Muria dan keponakan dari Sunan Kudus), Asal nama Legonlele, siput Karimunjawa yang berpunggung bolong, Ular Edor yang buta namun sangat berbisa dan menghuni gunung di Karimunjawa(Mas Tono penjaga Wisma Setia pernah bercerita soal ular ini), dan perihal Kayu Dewadaru. Artikel selengkapnya bisa dibaca di sini.

Friday, June 10, 2011

Tertipu Oleh (Jalan) Pantai Duyung

Begitu anda memasuki Pulau Kemujan, setelah berjalan beberapa kilometer jauhnya sebelum bertemu SDN 01 Kemujan, pasti mau tidak mau mata anda akan tertarik ke sisi kanan jalan dimana terdapat papan tanda sederhana buatan tangan dengan cat merah yang bertuliskan “Jl. Pantai Duyung” dan “Gang Pungkruk”. Berhubung apa yang saya cari adalah pantai di Pulau Kemujan, maka papan ini terasa sangat jelas sekali begitu kami melewati jalan yang lurus ini. Penasaran donk, kayak apa sich Pantai Duyung ini. Ya udah, kami nekad masuk ke dalam jalan percabangan ini. Eh, begitu anda nanti bener-bener kesana, jangan heran ya. Jalan utama memang terbuat dari aspal, namun Jalan Pantai Duyung ini bukan merupakan jalan aspal. Buat saya, jalanan ini malah lebih mirip semak-semak yang dibuka paksa untuk dilintasi. Hihihihi.
Jalan ini membawa kami masuk ke dalam hutan pohon kelapa yang tumbuh tinggi dan rapat. Kami mulai merasa ada yang nggak beres nich. Mau kembali koq tanggung karena penasaran, tapi mau maju lagi juga nggak yakin. Ya udah deh, masih siang ini, hajar aja terus, begitu pikir kami. Walaupun saat itu siang hari, namun deretan pohon kelapa yang tinggi dan rapat membuat sejuk suasana di dalam hutan tersebut (jalanannya sudah hilang sama sekali, hanya rebahan rumput saja tempat motor kami melintas). Kemudian, di depan sana tampaklah sebuah gubug sederhana beratap rumbia yang tampaknya digunakan sebagai tempat untuk mengupas kelapa (tumpukan batok kelapa tertumpuk di depannya sementara lainnya dibakar untuk dijadikan arang). Beberapa anak main-main di depan gubug tersebut. Permasalahan baru muncul disini. Setelah gubug tersebut, jalanan bercabang dua, ke kanan dan kiri. Memang sich, nggak jauh dari rumah tersebut kami sudah bisa melihat air laut. Namun, itu bukanlah pantai yang kami cari. Air laut tersebut tampak langsung bersatu begitu saja dengan tanah pulau. Tidak ada pasir sama sekali. Tanah pulau yang tergenang air laut tersebut tampak becek. Keseluruhan pemandangan tersebut dibungkus dengan rerimbunan pepohonan dan beberapa perahu yang bersandar. Hmm....tampaknya bukan pantai yang bisa dijadikan idaman. Saya saja nggak yakin untuk menjejakkan kaki ke arah sana. Nggak lucu donk kalau kejeblos?
Ya sudah, akhirnya dengan tebak-tebakkan dan pertimbangan kecil, kami memilih jalan ke kiri (anak-anak tersebut agak bingung ketika ditanya “dimana Pantai Duyung berada?”. Mereka justru melihat kami dengan pandangan sangat tertarik). Oke, motor kami arahkan ke kiri, menyusuri jalan yang lurus. Tidak lama, kami bertemu lagi dengan pemandangan pantai serupa seperti yang kami lihat sebelum percabangan. Bedanya, kali ini ada jembatan dan sungai kecil yang bermuara menuju pantai tersebut. Tetap saja ini bukan pantai idaman yang kami cari. Rerimbunan pepohonan dan kapal-kapal yang disandarkan begitu saja membuat keseluruhan pemandangan yang tersaji menjadi agak err...menakutkan. Ya sudah, kami berpandangan positif bahwa di depan sana jalanan semakin mendekat ke arah pantai. Pantai pasir putih sudah menunggu kami. Oke, kami berjalan terus menyusuri jalan lurus tersebut. Nggak lama, niat positif kami segera menjadi ketidakyakinan. Jalanan yang semula masih tampak bekas jejak maupun rebahan rumput, kini semakin menghilang. Rumput semakin meninggi dan semak-semak tumbuh semakin rapat di sisi kiri dan kanan kami. Segera, tanpa membuang waktu, begitu melihat area yang agak terbuka sedikit, saya meminta teman saya yang mengendarai motor untuk putar balik. Tidak akan ada pantai di tempat seperti ini. Saya yakin!
Akhirnya kami kembali menyusuri jalanan tersebut dan kembali ke percabangan setapak utama. Kali ini, kami mengambil kanan untuk menuntaskan rasa penasaran kami. Harapan kami agak cerah disini, sebab, setelah melewati rerimbunan tanaman pakis yang tumbuh rapat dan menggantung rendah, pohon kelapa semakin tumbuh jarang dan kami bisa melihat langit lebih leluasa disini. Hore! Tak lama, setelah menyusuri jalan, kami melihat sesuatu yang kami sebut pantai –atau setidaknya mirip pantai karena kondisinya lebih baik dibanding rerimbunan pohon di tepi pantai tadi-. Namun, sesuatu yang tampaknya seperti pantai tersebut tidak berada dekat dengan jalan setapak tempat kami melintas. Sejumlah tanaman dan pepohonan menghalangi arah jalan kami kesana. Kami juga nggak yakin dengan apa yang akan kami injak apabila kami mendekat ke arah pantai tersebut. Pasir hisap mungkin? Hihihi. Ya sudah, kami berjalan semakin jauh menyusuri setapak untuk menemukan Pantai Duyung ini. Yah, kami akhirnya menemukan satu lokasi kecil yang bisa disebut pantai, namun fiturnya tetap sama, rerimbunan pepohonan, kapal disandarkan, tidak ada pasir dan airnya mencurigakan untuk dicelupi. Uh... kami segera bergegas dan melanjutkan perjalanan kami. Kami masih yakin, pantainya di sisi setapak sebelah kanan ini walaupun keyakinan tersebut perlahan mulai goyah. Hahahaha.
Akhirnya kami mengulang cerita di setapak kiri tadi. Jalanan setapak yang kami lalui semakin lama semakin menjauh arahnya dari pantai. Debur ombak maupun suara laut semakin menghilang dan kami yakin rutenya memutar, menjauhi arah pantai. Walaupun di setapak sebelah kanan ini lebih terurus lantaran kami melihat ada satu atau dua gubug di tempat ini, namun tetap saja kondisinya membuat kami yakin 100% tidak ada pantai apapun di tempat ini. Lupakan saja. Akhirnya, dengan penuh kekecewaan kami keluar kembali ke arah jalan raya utama. perjalanan setengah jam yang sia-sia kami habiskan di dalam Jalan Pantai Duyung. Mungkin saja Pantai Duyung memang bukan merupakan nama sebuah pantai, tapi nama jalan. Mungkin saja. Hihihi.

Thursday, June 09, 2011

Dermaga Legonbajak, Ujung 22 KM Perjalanan

Setelah bertanya sana sini, tersesat beberapa kali dan bertanya-tanya lagi, akhirnya kami semakin mendekati suara deburan ombak. Sampai di suatu percabangan, tibalah kami di ujung pencarian kami, pantai. Ya, secara resmi kami sudah menempuh 22 KM jalan raya Kemujan – Karimunjawa. Namun, saya sebenarnya agak mengharapkan pantai yang berpasir putih lembut, dengan banyak pohon kelapa dan pantai yang lebar. Kenyataannya, kami sampai di pantai yang sudah diturap dengan bebatuan. Ya, ujung pantai tempat kami berada ini sedang “dirapihkan” untuk menjadi dermaga. Dari informasi yang kami himpun, dermaga ini bernama Dermaga Legonbajak. Pembangunan baru dimulai sekitar April 2010 dan estimasi pembangunan akan memakan waktu 150 hari. Seharusnya, pada saat tulisan ini diturunkan, dermaga tersebut sudah jadi dan bisa digunakan.
tidak banyak yang bisa dilakukan di dermaga ini selain melihat-lihat proses pembangunannya saja. Tepi dermaga sudah dipagar dan hampir tidak ada pohon penaung yang besar pada siang itu kecuali sebuah pohon kecil. Alhasil, siang itu matahari benar-benar terik membakar kulit kami. Panas luar biasa! Proses pembangunan pos-pos dermaga pun masih dilangsungkan. Disana sini masih terdapat hamparan konblok, batu dan papan. Masih berantakan lah pokoknya. Yang jelas, bukan dermaga ini yang menarik minat kami, tapi perairan di sekitarnya. Walaupun pembangunan dermaganya masih berantakan, agak kontras dengan deretan pohon kelapa di sekelilingnya, namun air laut di tempat ini luar biasa jernih. Sampai di beberapa titik kejauhan, kami masih bisa melihat gradasi biru kehijauan. Langsung deh saya ingin menceburkan diri saya ke dalam air yang terlihat dangkal tersebut. Namun, air lautnya terlihat tidak terlalu bersahabat. Gelombangnya tampak cukup besar dan agak membuat nyali saya ciut. Ombaknya agak berbeda dengan desiran pelan yang biasa kita lihat di pantai-pantai wisata. Memang sich, di sekitar dermaga nggak ada orang yang nekad mencoba untuk berenang. Di sekeliling dermaga, walaupun nggak terlalu dekat banyak terdapat perahu. Mungkin spesifikasi pantai untuk dermaga dan untuk wisata memang dibedakan kali yach? Entah, saya bukan orang Teknik Sipil tapi nampaknya sich seperti itu.
Walau tidak tampak adanya orang yang berenang, namun papan peringatan dan informasi menyelam tetap dipasang di tempat ini. Intinya sama seperti yang sudah pernah saya lihat di bagian Karimunjawa lainnya. Papan tersebut menginformasikan peralatan yang harus diperiksa dan kesehatan yang sempurna sebelum menyelam. Papan tersebut juga mencantumkan kata-kata “utamakan keselamatan daripada keinginan anda”. Mungkin di sekitar sini ada lokasi yang baik untuk menyelam barangkali? Sayangnya, secara nggak sengaja saya melihat sekumpulan sampah yang tersangkut di bagian pinggir dermaga. Sampah tersebut tampak terbawa arus laut dan bukan sekedar merupakan efek dari pembangunan dermaga ini saja. Lumayan bikin miris dan sebel sich. Pantai yang masih masuk kategori perawan seperti ini ternyata memiliki sejumlah masalah juga yang harus dibenahi. Jujur aja, melihat sampah seperti itu, walau belum terlalu banyak, tapi niat saya untuk main air sudah lenyap..nyap..nyap...

Wednesday, June 08, 2011

Ada Kampung Bugis Di Pulau Kemujan, Karimunjawa

Rumah asli masyarakat Jawa adalah Joglo. Untuk wilayah pesisir timur laut Jawa Tengah, arsitektur tumahnya dikatakan bergaya Kudus, perpaduan gaya China, Arab, India dan ditambah dengan ukir-ukiran khas Jepara. Namun, begitu menjejaki wilayah di ujung utara Kemujan, Karimunjawa yang notabene masuk dalam wilayah administrative Kabupaten Jepara, anda akan terkaget-kaget melihat rumah-rumah yang berdiri di tempat ini. Deretan rumah panggung bergaya Bugis model Balla Lompoa atau Bola Soba berdiri dalam bentuk lebih sederhana, dalam balutan warna warni tampak di kanan kiri jalan. Saya jadi ingat ketika menyusuri Watansoppeng atau Pinrang. Tapi ini di Karimunjawa. Koq bisa?
Orang Bugis sudah cukup terkenal sebagai pelaut ulung dari jaman dahulu kala. Mereka mengarungi lautan dengan perahu khas mereka Phinisi yang dibuat di Tanaberru, Bulukumba demi aktifitas niaga dan mencari ikan. Dalam kebudayaan mereka, terdapat pula istilah sompe’ atau yang diterjemahkan artinya adalah merantau. Nggak heran, banyak sekali komunitas Orang Bugis di Indonesia, bahkan seluruh dunia seperti di Afrika Selatan dan Singapura. Ini adalah komunitas Orang-Orang Bugis yang menetap dan berkarya di tempat perantauannya. Nggak terkecuali di Karimunjawa, mereka juga menetap di bagian utara Pulau Kemujan dan membentuk komunitasnya dengan mendirikan rumah-rumah adat khas Bugis.
Sebelum sampai di Kampung Bugis, saya agak sedikit tersasar. Kenapa? Selain petunjuk jalan yang sudah semakin minim, ada percabangan, dan lebar jalanan yang makin “dipangkas”. Selepas Bandara Dewadaru, memang ada percabangan jalan, kanan dan kiri. Yang kiri menuju Kampung Jawa (artinya komunitas Orang Jawa di Karimunjawa) dan Kampung Bugis di sebelah kanan. Untuk mengetahui arah jalan, karena saya sudah nggak yakin, akhirnya saya bertanya pada satu orang anak yang sedang menjaga warung sambil bermain dengan adik-adiknya. Ternyata, kami harus menyusuri jalan ke kanan yang agak mengkhawatirkan karena lebar jalannya semakin menyusut. Memang sich, di kanan dan kiri jalan kami melihat rumah-rumah dengan arsitektur Bugis, serasa di Sidenreng Rappang atau Barru. Hehehe. Sepenglihatan saya saja, tidak ada rumah adat Bugis yang besar seperti Balla Lompoa. Hampir semua rumah berukuran setara. Selain rumah arsitektur Bugis, ada juga rumah-rumah yang telah bersemen dan berbatu-batu serta tidak berdiri di atas panggung. Walaupun agak terpencil, namun tampaknya akses informasi tidak mengenal batasan. Antena parabola berdiri dengan tegak di beberapa sudut rumah. Yah, jalanan semakin menyempit dan akhirnya kami bertemu jalan buntu dengan rimbunan pepohonan di depan kami. Alhasil, kami harus bertanya kepada seorang bapak yang sedang duduk di rindangan pohon, dimana arah pantai. Maklum, lokasi Kampung Bugis yang kami piker sudah berada di ujung pulau, namun kami sangat sukar mendengarkan deburan ombak maupun desir angin laut dari tempat tersebut. Kemungkinannya, ya pantai masih cukup jauh.

Tuesday, June 07, 2011

Bandara Dewadaru, Pilihan Cepat, Nyaman dan (Lumayan) Menguras Kocek


Ini adalah alternatif buat teman-teman yang tidak menggemari perjalanan laut. Karimunjawa nggak hanya bisa dicapai dengan tranportasi laut saja loch. Buat yang berkocek tebal dan waktunya terbatas, bisa memilih opsi perjalanan udara. (Eh, saya nggak suka perjalanan laut, berkocek tipis, maunya cepet sampai, pilihannya apa duonk?!). Tentu saja, pilihan transportasi ini akan membengkakkan total biaya perjalanan dari murah meriah menjadi wisata mahal. Gimana nggak mahal, pesawat yang digunakan saja adalah pesawat Cassa atau Cirrus carteran milik Kura-Kura Resort yang berkapasitas bervariasi, 3 – 8 orang, tergantung jenis pesawat yang digunakan. Perjalanan lintas udara ini hanya memakan waktu selama 35 menit, bandingkan dengan KM Kartini yang 2,5 jam dan KM Muria yang 6 jam! Ada rupa, ada harga. Sekedar info saja, dengar-dengar untuk tiket pesawat yang terbang rendah dari Bandara Achmad Yani Semarang ini berkisar 1 juta rupiah per kepala. Hihihi. Bandingkan sama tiket ekonomi Muria yang Cuma Rp. 30.000 (ekonomi, panas-panasan dan 6 jam perjalanan) dan tiket termahal Kartini yang Cuma Rp. 150.000 (VVVVIP, berac, kursi terbatas, 2,5 jam perjalanan). Soal harga sih bisa cek di Semarang Aviation (024-7612282) berhubung saya belum pernah dan kayaknya ngga tertarik untuk mencoba rute udara dengan kocek saya sendiri. Hihihi.
Bandara Dewadaru terletak di Pulau Kemujan. Selain untuk keperluan Angkatan Udara (namanya saja bukan bandara (Bandar Udara), tapi paud alias Pangkalan Udara. Serem ga sich?!) , bandara ini hanya didarati oleh pesawat carteran yang menghubungkan wisatawan ke Pulau Menyawakan dimana terdapat Kura-Kura Resort. Pulau Menyamawakan adalah pulau tidak bepenghuni namun dijadikan resort untuk keperluan wisata saja. Perjalanan non stop dari Bandara Dewadaru menuju Kota Karimunjawa di ujung selatan memakan waktu sekitar 35 – 40 menit lamanya.
Saya tiba di Bandara Dewadaru pada saat tengah hari. Panas dan menyengat. Langsung saja saya kembali mengoleskan tabir surya a.k.a sunblock kepada bagian yang terpapar. Kami tidak nekad masuk ke dalam areal bandara karena nggak yakin dibuka untuk umum. Pintu gerbangnya saja tampaknya tertutup dan dijaga oleh satpam. Alhasil, kami hanya berputar di sekeliling bandara yang dipagari dengan teralis beli setinggi 2 meter saja. Siang itu, hampir tidak ada kegiatan berarti pesawat yang naik maupun turun di bandara ini. Maklum saja, bandara ini hanya terhubung dengan Semarang saja. Apabila tidak ada aktifitas turis di kedua tempat, maka aktifitas penerbangan juga tidak terlalu lancar. Tambahan lagi, berapa banyak sich orang yang mau menghabiskan uang jutaan demi kenyamanan selama 35 menit saja? Vegetasi utama di sekeliling bandara tentu saja Pohon Dewadaru, pohon yang menjadi simbol Karimunjawa. Selain Dewadaru, anda akan banyak menemukan rimbunan pohon pisang di sekitar area. Sejumlah rumah terlihat tampak berdiri di luar pagar bandara. Sayangnya, di siang yang panas itu tidak tampak ada penjual minuman ringan dingin, apalagi makanan! Saya hanya menemukan satu toko yang menjual bahan bakar namun penjualnya entah berada dimana. Tidak mau berlama-lama (tidak ada aktifitas pesawat naik atau turun juga) akhirnya kami melanjutkan perjalanan kea rah utara, berharap ada sesuatu yang bisa digunakan untuk mengganjal perut yang sudah mulai nyinden.