Mumpung masih tiba sekitar jam 3 sore di Makassar, akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi objek wisata yang paling dekat yang bisa dicapai dari Terminal Mellengkeri. Sayang banget donk, mumpung hari terakhir, dan waktu yang tersedia juga lumayan banyak, kenapa nggak dimaksimalkan? Akhirnya, sesuai dengan janji saya pada diri sendiri ketika akan berangkat menuju Bira, saya akan mengunjungi Museum Balla Lompoa yang terletak di perbatasan Kota Makassar dengan Kabupaten Gowa ini. Saya menyebut Balla Lompoa pada supir kijang yang mengantar saya dan untungnya ia mengerti dimana harus menurunkan saya. Untungnya, Museum Balla Lompoa memang dilewati oleh kendaraan yang berasal dari Gowa yang menuju Mellengkeri, Saya akhirnya turun di Museum Balla Lompoa setelah membayar sebesar Rp. 35.000.
Persoalan pertama yang muncul adalah, dimana pintu masuknya? Saya tampaknya turun di bagian belakang museum dimana yang saya hadapi adalah tampak belakang bangunan museum, pagar, dan sejumlah kios penjualan makanan yang tutup. Akhirnya, saya memutari hampir setengah bagian keliling halaman museum, dan ketika sampai di jalan raya yang agak ramai, terdapatlah pintu masuk museum yang terbuka dan tidak terjaga. Padahal, di dalam museum tampak ada beberapa orang sedang melihat-lihat, entah dalam porsi sebagai turis atau apa. Museum ini pertama-tama memberikan kesan yang teramat kuat kepada saya bahwa, seperti layaknya museum-museum lain di Indonesia, ia kurang terawat. Walaupun tampak sebuah pelataran di halaman museum yang dipadati kursi-kursi plastik entah bekas sebuah perhelatan acara atau apa namun keseluruhan bangunan memberikan kesan kurang terawat.
Balla Lompoa yang dalam bahasa Makassar berarti rumah besar adalah peninggalan Raja Gowa ke 15, Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Rumah dengan desain arsitektur tradisional Makassar ini berbentuk panggung. Rumah ini baru dibangun bersamaan dengan dinobatkannya I Mangngi Manggi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo menjadi Raja Gowa ke 15 atau sekitar tahun 1936. Walaupun lokasinya berdekatan dengan Mellengkeri, namun rumah ini berdiri di atas wilayah Sungguminasa, Gowa. Semenjak dibangun, rumah ini dijadikan istana dan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa serta tempat tinggal Raja dan keluarga. Berkat pembangunan istana ini pula, Gowa ditetapkan sebagai ibukota kerajaan Gowa yang terakhir. Semua informasi ini bisa anda temukan dwibahasa, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris di sebuah papan dekat pintu masuk museum. Sayangnya, papan tersebut sudah termakan cuaca. Walaupun masih tergolong baru dibandingkan usia rumah, lapuknya cat papan informasi tersebut membuat kesulitan siapapun yang ingin membaca sejarah Balla Lompoa.
Siang itu, tampaknya saya hanya satu-satunya pengunjung di sore itu. Wajar juga mengingat jam buka museum yang umumnya paling siang hanya sampai jam 1 saja. Ada dua bangunan utama di areal museum tersebut. Satu bangunan yang lebih kecil tampaknya merupakan bangunan utama museum yang menyimpan koleksi benda-benda bersejarah, tutup pada saat kunjungan dan satu bangunan lagi (masing-masing bermodel panggung) berukuran jauh lebih besar. Bangunan yang jauh lebih besar ini pada siang itu dikunjungi oleh beberapa orang yang tampaknya sedang survey. Belakangan, setelah saya mengorek sedikit informasi, saya mendapatkan info bahwa rumah yang lebih besar kerap digunakan sebagai aula atau ruang pertemuan. Beberapa orang yang survey di tempat ini bermaksud mengadakan pesta pernikahan di museum ini. Unik juga yah pesta pernikahannya di aula museum? Walaupun terdapat sejumlah barang koleksi di aula tersebut, namun sebagian besar barang koleksi berada di Museum Balla Lompoa yang sesungguhnya, yakni rumah yang lebih kecil. Sayang, karena sudah tutup saya hanya berkesempatan melihat bangunan ini dari luar dan melihat satu buah sado yang diparkir di bagian bawah panggung museum. Bisa jadi, sado ini adalah barang pameran juga namun tidak dimasukkan ke dalam museum karena terlalu besar. Sayangnya, nggak ada keterangan tambahan tentang sado ini.
Sisa waktu saya gunakan untuk berkeliling museum dari luarnya saja. Beberapa hal yang menarik ialah bahwa ukuran panggung dari rumah ini sangat tinggi. Jadi, kalau kita tinggal di rumahnya, kita akan hidup di ketinggian, mungkin lantai 3 kali yach? Tiang-tiang penyangga rumah ini sangat tinggi pokoknya. Berjalan di bagian bawah aulanya saja memberikan kesan saya berada di jembatan atau gedung parkir. Bagian bawah rumah panggung tersebut kemungkinan digunakan sebagai lokasi parkir bagi kendaraan-kendaraan yang datang. Di sudut sisi bawah panggung, terdapat sebuah toilet yang tidak terawat, gelap namun ada airnya. Untungnya, siang itu, bagian bawah panggung sepi jadinya saya buka saja pintunya agar ada cahaya masuk. Kalau gelap-gelapan kan ngga enak juga toh? Hihi...kemudian di pinggir taman terdapat sebuah musholla yang masih difungsikan sebagai tempat menunaikan sholat bagi para pelancong, namun sayang, kondisinya juga agak kurang terawat. Di pinggir-pinggir dekat pintu masuk museum, terdapat sejumlah kios dagangan makanan. Ibu-ibu yang menjaga kios makanan tersebut tampak santai saja melihat turis. Mungkin saya bukan turis potensial yang menghabiskan uang kali yach? Hihihi...akhirnya, saya sudahi kunjungan singkat saya di Museum Balla Lompoa karena harus kembali ke pusat kota. Uniknya lagi, saat saya keluar pun tidak ada satu orang pun yang tampak menjaga tempat ini, setidaknya pegawai keamanan lah. Benar-benar terkesan terabaikan begitu saja.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment