Sekitar setengah jam bus berlalu dari Desa Mampu tempat berjualan Salak Duri Ra’cak, akhirnya bus pun berhenti kembali. Saat itu pukul setengah 12 siang. Saatnya makan siang! Bus yang kami tumpangi menepi di salah satu rumah makan yang berderet di jalur Tana Toraja – Pare-Pare di Kabupaten Enrekang. Sederetan rumah makan tampak di wilayah yang dikenal dengan istilah “Puncak” ini. Mungkin sebutan Puncak berasal dari tempat terdekat dengan Rantemario dan Rantekombola barangkali yach? Sederetan rumah makan tersebut diparkir oleh beberapa buah bus dan mobil. Sudah pasti, konsumen utama rumah makan ini adalah bus-bus antar kota yang membawa penumpang dari Tana Toraja ke Pare-Pare maupun Makassar. Kalau nggak ada bus-bus ini, entah bagaimana kabar rumah makan ini.
Rumah makan yang saya singgahi bernama Rumah Makan Sidrap. Sidrap artinya Sidenreng Rappang, satu kabupaten yang terletak di selatan Enrekang. Menu utama yang tertulis di depan tembok rumah makan ini adalah ayam dan ikan bakar. Walaupun saya nggak terlalu lapar karena perut masih agak bergejolak, tapi saya paksakan untuk makan karena saya yakin, sehabis ini bus baru akan berhenti di Pare-Pare, yang artinya sekitar dua jam lagi. Gawat! Saya harus makan yang benar kali ini.
Saya benar! Rumah makan yang kami singgahi tersebut dipenuhi oleh penumpang bus yang saya naiki. Hanya ada sejumlah kecil tamu yang bukan berasal dari bus yang sama dengan saya. Rumah makan tersebut tampaknya tak ubahnya sebuah rumah berukuran besar yang difungsikan menjadi rumah makan. Ada satu anak bermain game playstation di salah satu sudut ruangan. Di sudut lain, terdapat sejumlah ruangan yang saya perkirakan itu adalah kamar-kamar tidur. Saya sampai bingung harus melakukan apa di rumah makan tersebut. Pesan dahulu atau duduk dahulu? Berhubung yang lainnya sudah terlanjur memulai kegiatan makan siang mereka, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Dalam kebingungan, saya segera duduk mencari tempat duduk kosong di rumah makan tersebut.
Tak lama, seorang pelayan datang dan bertanya “sudahkah saya memesan?”. Saya jawab belum dan beliau bertanya apa pesanan saya. Saya kurang mengetahui apa yang disajikan dalam rumah makan ini sehingga saya bertanya. Ia menjelaskan tentang ayam bakar dan saya meminta paha. Saya bahkan berkata kepada pelayan tersebut, agar porsinya jangan banyak-banyak berhubung perut saya masih tidak terlalu enak. Saya berpikir ia mengerti sampai kemudian datanglah pesanan yang membuat saya ternganga. Ia membawakan saya satu panci nasi, satu potong paha ayam dibakar, satu piring sayur-sayuran tumis, satu piring sambal (ukuran piringnya sama dengan sayuran dan ayam), satu piring kerupuk serta satu mangkok sop (saya jadi teringat Sop Saudara Pangkajene kalau begini). Wao! Bagaimana caranya saya menghabiskan ini semua? Saya segera mulai mengambil nasi karena beberapa penumpang lain sudah selesai makan dan bersiap kembali ke bus. Mudah-mudahan, saya hanya dicharge untuk apa yang saya makan saja, bukan untuk semua ini. Rasa makanannya jujur saja membuat saya teringat akan masakan Pangkajene, terutama sop-nya. Sop yang disajikan berisi soun dan potongan daging. Apa iya, ciri masakan Sulawesi Selatan seperti ini modelnya? Ayamnya lumayan kalau menurut saya namun sayurnya tidak saya habiskan karena citarasanya agak kurang akrab dengan lidah saya. Ditambah dengan perut saya yang memang agak nggak bener dan rombongan besar penumpang yang bergegas kembali ke bus, saya pun bergegas menyelesaikan sesi makan saya dan tidak menghabiskan nasi. Segera saya melakukan pembayaran dan tersedak kaget. Harga makanan ‘di tengah gunung’ yakni Rp. 22.000. Lumayan mahal untuk apa yang saya makan tadi, sebenarnya. Walau demikian, saya nggak sampai protes dan mempertimbangkan rumah makan yang akan menjadi sepi begitu bus pergi. Seandainya saya boleh ngulang dan makan lagi, saya pasti akan memesan ayam bakarnya saja. Ini sudah lebih dari cukup untuk saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment