Su tonton film Tana Air Beta, ko? Akhirnya, setelah dua minggu waktu peredarannya, saya baru dapat menyempatkan diri untuk menonton salah satu film Indonesia yang saya tunggu-tunggu kemunculannya untuk tahun ini. Di Blok M Square, Senin, 5 Juli 2010, akhirnya saya menonton film ini. Tanah Air Beta adalah film karya Ale Sihasale dan Nia Zulkarnaen, produksi Alenia Pictures. Tanah Air Beta bersetting di Pulau Timor, terutama Timor Barat, tahun 1999 dan sesudahnya, pasca jajak pendapat dan referendum yang memisahkan Timor Timur dari Indonesia. Oops, jangan bayangkan film ini adalah film yang berat. Film ini adalah film keluarga dengan target penonton anak-anak dimana unsur politik sama sekali tidak kentara. Film ini justru lebih mengisahkan tentang hubungan keluarga yang tercerai berai akibat referendum dan persahabatan anak-anak yang penuh dengan warna. Saya sendiri, pernah melakukan perjalanan dari Kupang hingga Kefamenanu pada Januari 2009. Sayang, karena keterbatasan waktu, saya tidak mencapai Atambua dan Moto’ain saat itu. Padahal, Moto’ain adalah pintu gerbang perbatasan antara Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste. Setting film ini banyak berlangsung di Moto’ain, selain Kupang tentunya. Sedikit banyak, film ini bisa mengobati rasa rindu saya dan membuat saya bernostalgia akan Tanah Timor yang pernah saya alami saat itu. Salah satu keunikan dan keunggulan lain dari film ini tentunya karena setting. Kisah yang tidak berpusat di Jakarta atau Jawa pada umumnya membuat film ini terasa segaaaaaaar sekali. Sudah saatnya kiblat perfilman bergeser dari Jakarta dan Jawa pada umumnya. Kekayaan budaya Indonesia yang begitu luas harusnya membuat para sineas bisa lebih kreatif dan memiliki banyak pilihan dalam menentukan setting, toh?
Walaupun sudah saya tunggu-tunggu dan telah saya tonton, menurut saya, film ini tidak terlepas dari kekurangan dan kelebihannya tersendiri. Biar adil, sebaiknya saya jatuhkan dahulu baru saya angkat kembali yach? Jadi, saya akan membahas kekurangan terlebih dahulu, baru kelebihannya. Plot film ini berkisah tentang seorang ibu, Tatiana (Alexandra Gottardo), seorang guru dengan anaknya, Merry (Griffith Patricia) yang dengan keterpaksaannya harus menjadi pengungsi akibat referendum yang dilakukan pada tahun 1999. Adegan dibuka dengan berbondong-bondongnya pengungsi berjalan kaki melintasi perbatasan dari Timor Timur menuju Timor Barat sebagai wujud nasionalisme mereka. Inti sari utama cerita ini adalah tercerai berainya keluarga ini saat referendum terjadi. Klimaks film ini adalah menyatukan kembali sang kakak, Mauro (Marcel Raymond) dengan Tatiana dan Merry. Dalam perjalanan menuju klimaks, keluarga ini banyak menghadapi tantangan mulai dari pencarian Mauro, konflik antara Mauro dengan Tatiana, Tatiana yang sakit, konflik khas anak-anak antara Merry dengan Carlo, sulitnya hidup sebagai pengungsi (tergambar dari usaha yang dilakukan Tatiana saat menanam benih), hingga uang habis yang memaksa Merry dan Carlo Gomez (Yehuda Rumbindi) berjalan kaki dan menumpang-numpang dari Kefamenanu hingga Moto’ain. Seperti layaknya film keluarga, film ini berakhir happy ending. Ending seperti ini menyenangkan, apalagi memang target utama konsumen film ini adalah keluarga dan anak-anak. Film ini sangat pas digelontorkan pada saat liburan sekolah. Yach, saya bukan ahli Sinematologi, ahli Sosiologi, atau pakar dalam bidang pengungsi Timor Timur di Timor Barat, namun dalam kacamata awam, ijinkan saya untuk memberi beberapa penilaian.
Ari Sihasale sendiri pernah berkata, bahwa ia tidak akan memasuki ranah politik pada saat referendum terjadi. Ia mau lebih menekankan pada hubungan keluarga yang retak lantaran referendum terjadi. Hasilnya, film ini cukup datar dan tentunya tidak bisa menggambarkan kondisi real yang terjadi di Tanah Timor pada saat pasca jajak pendapat. Entah kebetulan atau tidak, saya mencoba membandingkan film ini dengan Denias, Senandung Di Atas Awan yang juga produksi Alenia Pictures. Kesimpulan saya, kedua film ini kurang kuat dari segi cerita. Film ini bagus, tapi ya itu, sekedar bagus saja, tanpa ada kesan yang biasa timbul kalau saya menonton film yang benar-benar bagus. Apakah ini khas dari Alenia Pictures? Saya tidak tahu. Menurut saya, prolog yang terbangun dari film ini kurang. Saya rasa tidak banyak penonton yang tahu latar belakang referendum yang terjadi di Timor Timur pada tahun 1999. Sehingga, hingga setengah jam cerita, saya masih menerka-nerka, kemana arah cerita akan digulirkan.
Beberapa detail dalam film ini dibuat terlalu singkat. Alenia mungkin bermaksud memberikan gambaran betapa kerasnya hidup di pengungsian pada saat itu –hingga saat kini-. Kenyataannya, pesan tersebut kurang tersampaikan dengan baik. Mereka memang memasukkan adegan seperti menanam tanaman di tanah pengungsian, pengisian bahan bakar yang dilarang menggunakan jerigen (disiasati dengan kreatif oleh Abubakar (Asrul Dahlan) yang justru menjadi pemancing tawa penonton), hingga ketidakmampuan baca tulis. Namun untuk saya, beberapa unsur ini tampak sebagai tambahan saja, bukan penguat jalinan cerita film ini secara keseluruhan. Beberapa adegan malah justru tampak sebagai embel-embel semata, tidak memiliki makna apapun. Soal pemilihan aktor dan aktris, tampaknya perfilman Indonesia harus lebih berani lagi mengeksplorasi aktor-aktris di luar aktor dan aktris kawakan yang sudah cukup sering tampil di televisi. Memang, akting mereka bagus. Namun akan lebih bagus lagi kalau ada aktor-aktris yang segar namun memiliki kualitas akting yang memikat. Sudah berapa kali Robby Tumewu berperan sebagai ncek-ncek pemilik toko kelontong? Saya rasa anda bisa menyebutkan judul filmnya!
Saya juga nggak terlalu mengerti, apakah anak-anak di Timor terbiasa untuk bepergian ke Moto’ain, atau katakanlah ke Kefamenanu dari Kupang seorang diri tanpa ditemani? Memang, plot perjalanan Merry dan Carlo berdua saja melintasi Timor Barat merupakan bagian utama dari cerita film ini. Tapi buat saya, koq tampak terlalu mengada-ada yach? Terlalu ekstrim kalau saya bilang. Mungkin juga saya salah, siapa tahu anak-anak di Timor sudah terbiasa bepergian seorang diri melintasi ratusan kilometer di Timor. Buat informasi saja, Kupang – Kefamenanu bisa dicapai dalam durasi sekitar 5 – 5,5 jam perjalanan. Kupang – Atambua dapat dicapai dalam 7 - 8 jam perjalanan. Atambua adalah kota besar terakhir yang paling dekat lokasinya dengan Moto’ain. Dari Atambua ke Moto’ain, tambah sekitar 1 – 1,5 jam lagi. Merry dan Carlo tidak memiliki uang lagi setelah mereka sampai di Kefamenanu dengan menumpang bus. Mereka harus melakukan perjalanan sisa dengan berjalan kaki, melintasi Jalan Lintas Timor (aspal) dan terkadang melewati areal perbukitan tandus (tidak ada jalan aspal disini). Menakjubkan, buat saya. Buat anda yang pernah ke Timor, harusnya anda tahu bahwa alam bisa sangat ganas pada musim kemarau di Dataran Tinggi Timor. Suhu bisa turun drastis pada malam hari di perbukitan tersebut. Agak janggal rasanya mereka berdua mampu melewati malam dengan pakaian setipis itu.
Yach, mungkin karena film ini dinobatkan sebagai film keluarga, semua unsur-unsur tersebut –baik yang nyata maupun yang agak sureal- harus dicampur menjadi satu. Walaupun beberapa adegan tampak agak memaksa dan kebetulan, namun inilah adanya film ini, tentu, untuk menyederhanakan persoalan karena lagi-lagi, target pasarnya adalah keluarga dan anak-anak. Satu lagi kekagetan saya adalah pada saat melihat Mauro. Loch? Tampangnya tidak terlalu Timor, padahal Merry sangat Timor sekali. Aneh melihat mereka semua menyanyikan “Kasih Ibu” di pintu perbatasan padahal di bagian awal tidak terlalu diceritakan bahwa lagu tersebut memiliki makna yang dalam bagi mereka sekeluarga. Lagu tersebut hanya pernah dimainkan oleh Merry beberapa kali di harmonika pemberian Mauro. Jarak waktu antara jajak pendapat, arus pengungsi dan pertemuan mereka kembali pun tidak terlalu jelas diceritakan seberapa lamanya.
Nah, sesuai janji saya, saya mau memuji-muji habis-habisan film ini juga loch. Satu hal yang pertama paling saya amati adalah make up artistnya. Saya sangat menyukai dandanan aktor dan artis dalam film ini, sangat membumi dan tidak dibuat-buat. Sangat natural. Tepuk tangan paling meriah harus saya berikan untuk Alexandra Gottardo yang sudah dipoles sedemikian rupa sehingga fisiknya tidak jauh berbeda dengan orang Timor. Walaupun pada beberapa adegan tampak Tatiana terlalu putih dibandingkan orang-orang sekitarnya, namun riasan, properti (saya suka baju gombrong Tatiana saat ia menanam benih), dan aktingnya sangat natural. Terlepas dari apakah dialek yang dilafalkannya tepat atau tidak, namun akting beliau di film ini sangat natural. Saya suka.
Kehebatan Ale dan Nia lainnya adalah pada saat shooting arus pengungsi dilakukan. Penggambaran arus pengungsi cukup mumpuni. Saya menyukai properti yang digunakan, bahkan hingga ada anak yang membawa salib Yesus dan gerobak-gerobak yang ditempeli dengan poster-poster Yesus. Penduduk Timor Timur yang mayoritas beragama Katolik pasti memiliki kekhasan ini. Alenia menggambarkan detail tersebut dengan sangat baik. Saya menyukai adegan para pengungsi yang berjalan tanpa alas kaki, memakai ornamen khas tenun ikat Timor, membawa kotak pinang dan sirih, hingga ibu-ibu yang membawa anaknya sambil memegang payung. Saya belum pernah melihat seperti apakah arus pengungsi kala itu di Timor Timur. Saya juga nggak tahu apakah penggambaran Alenia akan arus pengungsi ini sudah cukup tepat atau tidak. Namun adegan ini adalah salah satu adegan yang membuat saya bergetar.
Selain Tatiana, Merry dan Carlo serta Abubakar berakting sangat bagus dan natural, sesuai dengan porsinya disini. Merry dan Carlo berakting layaknya anak-anak seusianya, tanpa canggung. Gerak-gerik, tingkah laku dan kebiasaan mereka sangat natural untuk anak seusia mereka. Sayangnya, ada adegan dua kali Carlo mencuri demi mendapatkan air dan makanan. Walaupun akhirnya dinasehati oleh Merry dan para penonton menganggap adegan pencurian Carlo adalah sesuatu yang lucu (dikemas dalam balutan komedi), namun saya tidak menganggap hal ini bagus untuk anak-anak yang melihat. Yach, anda boleh katakan saya terlalu kaku dan serius, namun ide lain agar mereka bisa mendapatkan makanan tampaknya banyak yang bisa dieksplorasi. Kenapa harus melakukan pencurian?
Sayang, detail waktu dan tempat banyak terlewatkan oleh film ini. Sayang, padahal beberapa kali kamera mengambil sudut panorama alam Timor yang luar biasa unik dan indah. Saya menyukai lansekap dataran tinggi Timor dan bentang alam pegunungan yang beberapa kali bertemu wilayah perairan. Saya semakin jatuh cinta dengan Timor. Sayangnya, promosi yang baik ini kurang diakomodir oleh Alenia dengan menyertakan nama tempat dan waktu. Padahal, ini bisa jadi ajang promosi Pulau Timor oleh film ini loch. Alam yang unik dan jarang ditemukan di tempat lain bisa menjadi magnet kuat bagi para wisatawan yang menonton film ini. Kalau ada adegan kebudayaan yang saya sangat nikmati, itu mungkin berkaitan dengan adegan pernikahan yang berlangsung di tepi pantai. Adat pernikahan orang Timor mungkin tidak begitu lazim ditemukan di Tanah Jawa. Tapi disitulah uniknya! Dimana lagi ada orkes lengkap dengan alat musik petik mendominasi dengan menyanyikan lagu-lagu Timor, kemudian para tamu undangan ramai-ramai berdansa-dansi berpasangan dengan gembira? Saya yakin, anda tidak akan pernah menemukan yang seperti ini di Tanah Jawa atau Jakarta. Hmm…saya jadi ingin pergi ke pernikahan Orang Timor. Hehehe.
Yach, terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan film ini, Tanah Air Beta telah dikemas dengan sangat manis dan layak menjadi tontonan aman bagi anda sekeluarga. Jangan kuatir, seperti yang saya bilang, film ini jauh dari unsur politik yang mewarnai jajak pendapat kala itu. Film ini justru masuk kepada genre film keluarga. Film ini aman ditonton keluarga, bahkan anak-anak sekalipun. Layaknya film keluarga, banyak adegan komedi, namun bukan komedi murahan, mendominasi film ini. Saya suka gaya humor yang dibawakan oleh film ini. Tidak biasa, segar dan natural. Porsi humor terbesar tentu saja dilakonkan oleh Carlo yang berkali-kali berhasil memancing tawa keluar dari mulut saya. Ia memancing tawa bukan dengan fisiknya namun dengan tingkah lakunya. Akting Carlo di film ini sangat perlu diberi acungan jempol. Saya menyukai mimik wajahnya ketika diberi tambahan piring dan gelas untuk dicuci. Sangat asli dan natural! Mungkin Alenia bisa membantu beasiswa anak ini untuk belajar seni dan mendalami drama demi masa depan karirnya? Syukur-syukur, berkat film ini, potensi warga Timor akan perfilman dapat tergali dengan ditemukannya bakat-bakat segar dan muda yang potensial. Kiranya, kita patut memberikan tepuk tangan yang meriah kepada Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen karena niat mereka yang telah mengangkat topik ini ke permukaan, sehingga penduduk Indonesia punya pandangan yang lebih luas lagi akan masalah-masalah sosial yang terjadi di negeri ini. Walaupun belum terlalu berani mengangkat topik sensitif, kiranya film-film serupa bisa menjadi pionir bagi sineas-sineas lainnya untuk menghasilkan karya yang idealis, bukan semata berorientasi profit semata tapi kemajuan film Indonesia. Indonesia sudah haus akan film-film segar bermutu! Film ini adalah salah satunya yang mempu menghapus dahaga itu. Wajib tonton!
PS: Agar lebih mendalami film ini, ada baiknya anda mempelajari terlebih dahulu kisah referendum di Timor Timur pada tahun 1999. Lebih baik lagi, anda sebaiknya sudah harus tahu beberapa kosa kata sehari-hari dalam dialek Timor seperti su=sudah, sa=saya, be=beta/saya, deng=dengan, pi=pergi, sonde=tidak, pung=punya, ko=dipakai di akhir kalimat sebagai artikel kalimat tanya. Manjakan pula mata anda disini kala melihat warga Timor yang mungkin jarang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita, namun mereka masih satu saudara dengan kita, Warga Negara Indonesia. Mereka memiliki tradisi, budaya dan hasil kerajinan tangan yang unik. Yang terakhir, film ini memiliki pesan moral yakni selalu mencuci tangan sebelum makan (adegan mencuci tangan cukup jelas diclose up beberapa kali dalam film ini) dan jangan mencuri (untungnya, Carlo bisa menemukan cara lain untuk mendapatkan makanan selain mencuri).
Gambar : diambil dari http://www.tanahairbetathemovie.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
haha, kok bisa sama begini ya hatinya. saya juga baru meluncurkan tulisan refleksi film Tanah Air Beta di blog saya. ^^
ReplyDeletewakakakakak...saya baru baca komen ini setelah saya kasih komen di blog Oom Brad...iya nich, hati kita sama...hahaha
ReplyDeletelomar dasika...beta satuju sekali...hoahahaha
ReplyDeleteHalo Noven,
ReplyDeletesalam kenal!
Hmm...satuju apanya nich? hehehe
Regards
Lomar Dasika
KEREN SKALI.... kupang memang indah tergantung dr segi mana kita melihat....
ReplyDeleteyup.....dari segi manapun, Kupang, Timor tetap indah buat saya :)
ReplyDeleteTerima kasih su mampir :)
kapan lae b pulang kupang e... su lama sonde pulang....
ReplyDeleteayooo pulang...:)
ReplyDeletethx untuk postingan menarikx lomie dan mencintai Timor, lomie musti kesini lg tp bilang jauh2 hr br bt temani hehehe...
ReplyDeletesaat teman2 CIS bertemu ale dan nia di kupang sblm lounching, sempat diskusi tentang konteks pengungsian trus dialekx yg sangat papua, lebih tepatx "protes" kecil hehehe... terlepas dr beberapa catatan kekuranganx kita patut ancungi keberania mereka untuk produksi film2 dgn latar belakang seperti ini....
ayooo, kapan ke kupang lg?
hehehe...pasti donk! Beta mau ke Kupang lagi. tapi kalau kali lain ke Kupang, Beta mau sampai Atambua, lanjut ke Kalabahi, lintas Flores dan Sumba. hehehe...butuh berapa lama tu ya?
ReplyDeletedoakan saja Mama, mudah2an beta bisa sampai Tanah NTT lagi yaaa :D
btw, soal dialeknya itu, kayaknya memang nggak terlalu Timor, tapi lebe ke Papua ya? hehehe...mudah2an bisa menjadi masukan untuk mereka di film film mendatang :D